Pengantar

      Antihumanisme

      Penghapusan Gender

      Negativitas Radikal

      Sedikit Tambahan

Pengantar

Kami menemui jalan buntu. Politik pembebasan trans saat ini telah mempertaruhkan klaim mereka pada pemahaman mengenai penebusan identitas. Baik melalui diagnosis dokter atau psikolog, ataupun melalui afirmasi diri (self affirmation)[1] dalam bentuk ucapan sosial; akhirnya kita menjadi percaya bahwa ada beberapa kebenaran internal mengenai gender yang harus kita tuhankan.

Serangkaian proyek politik positif yang tak ada habisnya telah memberikan tanda pada jalan yang kita tempuh saat ini; satu set kata ganti (pronouns), bendera kebanggaan (pride flag)[2], dan label yang tak terbatas. Gerakan politik trans saat ini berusaha memperluas kategori gender, dengan harapan dapat mengurangi rasa sakit kita. Hal ini sangatlah naif.

Judith Butler mengemukakan gender sebagai, “aparat yang digunakan untuk produksi dan normalisasi identitas maskulin dan feminin bersamaan dengan bentuk jaringan dari hormon, kromosom, psikis, dan performatif yang diasumsikan gender.” Jika politik liberal kawan-kawan dan saudara trans kita saat ini mengakar dalam upaya memperluas dimensi sosial yang diciptakan oleh aparatus ini, maka pekerjaan kita adalah menuntutnya untuk dibakar habis.

Kami adalah kelompok radikal yang sudah muak dengan upaya untuk menyelamatkan gender. Kami tidak percaya bahwa hal ini dapat berhasil. Kami melihat bagaimana berhadapan dengan transmisogini dalam kehidupan kami sendiri; kami melihat bagaimana kekerasan gender yang dihadapi kawan-kawan kami, baik trans maupun cis; dan kami menyadari bahwa aparat itu sendiri berbuat kekerasan, hal itu sudah tak terelakkan lagi. Kami rasa semuanya sudah cukup.

Kami tidak ingin menciptakan sistem yang lebih baik, karena kami sama sekali tidak tertarik pada politik positif. Semua yang kita tuntut saat ini adalah serangan tanpa henti terhadap gender dan mode makna sosial (social meaning)[3] dan kejelasan yang diciptakannya.

Inti dari Nihilisme Gender ini terletak pada beberapa prinsip yang akan dieksplorasi secara rinci di sini: Antihumanisme sebagai pondasi dan landasan, penghapusan gender (gender abolition) sebagai tuntutan, dan negativitas radikal (radical negativity) sebagai metode.

Antihumanisme

Antihumanisme adalah landasan yang menyatukan analisis nihilis gender. Dari sinilah kita mulai memahami situasi kita saat ini sangatlah krusial. Yang kami maksud dengan antihumanisme adalah penolakan terhadap esensialisme.[4] Tidak ada manusia yang esensial. Tidak ada sifat manusia. Tidak ada diri yang transenden.[5] Menjadi subjek bukanlah berbagi kesamaan keadaan metafisik (ontologi) dengan subjek lain.

Diri (self ), diri sebagai subjek adalah produk kekuasaan (product of power). Kata “Saya” dalam “Saya seorang laki-laki” atau “Saya seorang perempuan” bukanlah “saya” yang melampaui (transcend) pernyataan itu. Pernyataan tersebut tidak mengungkapkan kebenaran tentang “aku”, melainkan merupakan “aku”. Laki-laki dan Perempuan tidak ada sebagai label untuk kategori metafisik atau esensial tertentu dari keber-ada-an (being), mereka lebih merupakan simbol diskursif, sosial, dan linguistik yang secara historis kontingen. Mereka berkembang dan berubah seiring waktu; implikasinya selalu ditentukan oleh kekuasaan.

Siapa kita, inti dari keberadaan kita, mungkin tidak ditemukan sama sekali di alam kategorikal keberadaan. Diri adalah konvergensi kekuasaan dan wacana. Setiap kata yang Anda gunakan untuk mendefinisikan diri Anda sendiri, setiap kategori identitas yang Anda temukan di dalamnya, adalah hasil dari perkembangan kekuatan secara historis. Gender, ras, seksualitas, dan setiap kategori normatif lainnya tidak merujuk pada kebenaran tentang tubuh subjek atau tentang jiwa subjek. Kategori-kategori ini membangun subjek dan diri. Tidak ada diri yang statis, tidak ada “aku” yang konsisten, tidak ada sejarah yang melampaui subjek. Kita hanya bisa merujuk pada diri sendiri dengan bahasa yang diberikan kepada kita, dan bahasa itu telah berfluktuasi secara radikal sepanjang sejarah, dan terus mengalami fluktuasi dalam kehidupan kita sehari-hari.

Kami tidak lain adalah konvergensi dari banyak wacana dan bahasa yang berbeda, yang sama sekali di luar kendali kami, namun kami mengalami sense of agency. [6] Kami menavigasi wacana ini, kadang-kadang subversif, dan selalu berhasil bertahan. Kemampuan untuk menavigasi tidak menunjukkan secara metafisik diri yang bertindak atas dasar sense of agency, itu hanya menunjukkan bahwa ada kelonggaran yang simbolis dan diskursif di sekitar konstitusi kita.

Dengan demikian, kami memahami gender melalui istilah-istilah ini. Kami melihat gender sebagai seperangkat wacana spesifik yang diatur dalam dunia kedokteran, psikiatri, ilmu sosial, agama, dan interaksi kita sehari-hari dengan orang lain. Kami tidak melihat gender sebagai fitur dari “diri sejati” kami, tetapi sebagai keseluruhan tatanan makna dan kejelasan yang kami temukan sendiri beroperasi di dalamnya. Kami tidak melihat gender sebagai sesuatu yang dapat dikatakan sebagai diri yang stabil. Sebaliknya, kami mengatakan bahwa gender sebagai proses yang mana diri itu dikerjakan dan diikutsertakan; dan perbuatan ini adalah proses kreatif yang dengannya diri dikonstruksi dan diberi signifikansi dan makna sosial.

Radikalisme kami tidak dapat berhenti di sini, kami selanjutnya menyatakan bahwa bukti sejarah dapat diberikan untuk menunjukkan bahwa gender beroperasi sedemikian rupa. Karya dari banyak feminis dekolonial telah berpengaruh dalam mendemonstrasikan bagaimana kategori gender barat dipaksakan dengan keras ke dalam masyarakat adat, dan bagaimana hal ini membutuhkan perubahan linguistik dan diskursif yang total. Kolonialisme menghasilkan kategori gender baru, dan dengannya berarti menghasilkan kekerasan baru untuk memperkuat seperangkat norma gender tertentu. Aspek visual dan budaya maskulinitas dan feminitas telah berubah selama berabad-abad. Tidak ada gender yang statis.

Ada komponen praktis untuk semua ini. Pertanyaan humanisme vs antihumanisme adalah pertanyaan yang akan mendasari perdebatan antara feminisme liberal dan penghapusan gender nihilis.

Feminis liberal mengatakan “Saya seorang perempuan” dan dengan itu berarti bahwa mereka secara spiritual, ontologis, metafisik, genetis, atau cara-cara lain “pada esensinya” adalah seorang perempuan.

Penganut nihilis gender mengatakan “Saya seorang perempuan” dan berarti mereka berada dalam posisi tertentu dalam matriks kekuasaan yang membentuk mereka sebagai perempuan.

Feminis liberal tidak menyadari cara-cara kekuasaan menciptakan gender, dan karenanya melekat pada gender sebagai alat untuk melegitimasi diri mereka sendiri di mata kekuasaan. Mereka mengandalkan upaya untuk menggunakan berbagai sistem pengetahuan (ilmu genetika, klaim metafisik tentang jiwa, ontologi kantian) untuk membuktikan kepada kekuasaan bahwa mereka dapat beroperasi di dalamnya.

Gender nihilis, Penghapusan gender (gender abolitionist), melihat sistem gender itu sendiri dan melihat adanya kekerasan pada intinya. Kami mengatakan tidak untuk cakupan positif gender. Kami ingin melihatnya dihilangkan. Kami tahu bahwa menarik formulasi kekuasaan saat ini adalah jebakan liberal. Kami menolak untuk melegitimasi diri kami sendiri.

Hal ini sangat penting untuk dipahami. Antihumanisme tidak menyangkal pengalaman hidup banyak saudara trans kita yang telah memiliki pengalaman gender sejak usia muda. Sebaliknya, kami mengakui bahwa pengalaman gender seperti itu selalu dideterminasi melalui term-term kekuasaan. Kami melihat pengalaman masa kecil kami sendiri. Kami melihat bahwa, bahkan dalam pernyataan transgresif “Kami adalah perempuan” di mana kami menyangkal kekuatan kategori yang telah dipaksakan ke tubuh kami, kami berbicara bahasa gender. Kami tidak merujuk pada gagasan tentang “perempuan” yang tidak ada (not exist) di dalam diri kita sebagai kebenaran yang stabil, tetapi merujuk pada wacana yang dengannya kita dibentuk.

Dengan demikian, kami menegaskan bahwa tidak ada jati diri yang dapat ditahbiskan sebelum wacana, sebelum pertemuan dengan orang lain, sebelum mediasi simbolik. Kita adalah produk kekuasaan, jadi apa yang harus kita lakukan? Jadi, kami mengakhiri eksplorasi antihumanisme kami dengan kembali ke kata-kata Butler:

“Agensi [7] saya (perasaan, pikiran, dan kesadaran – penerjemah) tidaklah konsisten menyangkal kondisi tubuh saya ini. Jika saya memiliki sense of agency, itu menunjukkan secara fakta bahwa saya dibentuk oleh dunia sosial yang tidak pernah saya pilih. Bahwa agensi saya dipenuhi oleh paradox, bukan berarti (sense of agency – penerjemah) itu tidak mungkin. Artinya hanya paradoks itulah yang merupakan kondisi kemungkinannya. ”

Penghapusan Gender

Jika kita menerima bahwa gender tidak ditemukan di dalam diri kita sebagai kebenaran transenden, melainkan berada di luar kita dalam ranah wacana, apa yang harus kita perjuangkan? Mengatakan gender itu diskursif berarti mengatakan bahwa gender muncul bukan sebagai kebenaran metafisik dalam subjek, tetapi muncul sebagai alat perantara interaksi sosial. Gender adalah bingkai, bagian dari bahasa, dan seperangkat simbol dan tanda, yang dikomunikasikan di antara kita, yang membangun kita dan direkonstruksi oleh kita secara terus menerus.

Jadi, aparatus gender[8] beroperasi secara siklis/berputar layaknya roda; sebagaimana kita dibentuk melaluinya, demikian juga tindakan kita sehari-hari, ritual-ritual kita, norma-norma kita, dan pertunjukan-pertujukan kita menyusunnya kembali. Kesadaran inilah yang memungkinkan terjadinya gerakan melawan siklus itu sendiri. Gerakan seperti itu harus memahami sifat aparatus yang sangat menusuk dan meresap. Normalisasi memiliki cara yang berbahaya untuk menaturalisasi, memperhitungkan, dan memasukkan resistensi.

Pada titik ini, kita tergoda untuk merangkul ekspansi politik liberal tertentu. Para ahli teori dan aktivis yang tak terhitung jumlahnya telah mempertaruhkan klaim bahwa pengalaman manifestasi transgender kita mungkin dapat menjadi ancaman bagi proses normalisasi, yaitu gender. Kami telah mendengar saran bahwa identitas non-biner, identitas trans, dan identitas queer mungkin dapat menciptakan subversi gender. Hal ini tidak mungkin menjadi kasus.

Dalam mempertaruhkan klaim kami pada label identitas non-biner, kami menemukan diri kami selalu kembali terjebak dalam ranah gender. Mengambil identitas dalam penolakan gender biner masih menerima biner sebagai titik acuan. Dalam perlawanan terhadapnya, seseorang hanya merekonstruksi status normatif dari biner. Norma telah menjelaskan perbedaan pendapat; mereka memberikan kerangka kerja (framework) dan bahasa yang melalui kerangka kerja dan bahasa itulah perbedaan pendapat dapat diungkapkan. Bukan hanya perbedaan pendapat yang terjadi secara verbal di dalam bahasa gender, tetapi juga secara tindakan (action) yang kita ambil untuk menumbangkan gender dalam pakaian dan pengaruh itu sendiri hanya subversif melalui referensi mereka pada norma.

Jika politik identitas dari identitas non-biner tidak dapat membebaskan kita, benar juga bahwa politik identitas trans atau queer tidak memberi kita harapan. Keduanya jatuh ke dalam perangkap yang sama dalam mereferensikan norma dengan mencoba “melakukan” gender secara berbeda. Basis politik semacam itu didasarkan pada logika identitas, yang mana hal itu merupakan produk wacana kekuasaan modern dan kontemporer. Seperti yang telah kami tunjukkan secara menyeluruh, tidak ada identitas stabil yang dapat kami rujuk. Jadi, seruan apapun pada identitas revolusioner atau emansipatoris hanyalah seruan pada wacana tertentu. Dalam hal ini wacana tersebut adalah gender.

Ini bukan untuk mengatakan bahwa mereka yang mengidentifikasi diri sebagai trans, queer, atau non-biner telah bersalah atas gender. Ini adalah kesalahan dari pendekatan feminis radikal tradisional. Kami menolak klaim tersebut, karena mereka hanya menyerang yang paling terluka berdasarkan gender. Bahkan jika penyimpangan dari norma selalu dipertanggungjawabkan dan dinetralkan, hal itu sudah pasti dihukum. Tubuh seorang queer, trans, dan non-biner masih menjadi lokasi kekerasan besar-besaran. Saudara dan rekan kita masih dibunuh di sekitar kita, masih hidup dalam kemiskinan, masih hidup dalam bayang-bayang. Kami tidak mencela mereka, karena itu berarti mencela diri kami sendiri. Alih-alih, kami menyerukan diskusi yang jujur ​​tentang batas-batas politik kami dan tuntutan untuk jalan baru ke depan.

Dengan sikap ini di garis depan, bukan hanya rumusan tertentu dari politik identitas yang ingin kita lawan, tetapi kebutuhan akan identitas itu sendiri. Klaim kami adalah bahwa daftar kata ganti pilihan pribadi yang terus berkembang, label yang semakin bernuansa untuk berbagai ekspresi seksualitas dan gender, dan upaya untuk membangun kategori identitas baru secara lebih luas tidak sebanding dengan upaya yang dilakukan.

Jika kita telah menunjukkan bahwa identitas bukanlah kebenaran tetapi konstruksi sosial dan diskursif, kita kemudian dapat menyadari bahwa penciptaan identitas baru ini bukanlah penemuan mendadak dari pengalaman hidup yang sebelumnya tidak diketahui, melainkan penciptaan istilah-istilah baru yang dapat kita bentuk. Yang kami lakukan saat memperluas kategori gender adalah membuat saluran baru yang lebih bernuansa di mana kekuasaan dapat beroperasi. Kami tidak membebaskan diri kami sendiri, kami menjerat diri kami sendiri dalam norma-norma yang tak terhitung dan bahkan lebih bernuansa dan kuat. Masing-masingnya adalah rantai baru (pembelenggu baru – penj).

Untuk menggunakan terminologi (penghapusan gender – penj) ini bukanlah sesuatu yang hiperbolik; kekerasan gender tidak bisa dilebih-lebihkan. Setiap perempuan trans dibunuh, setiap bayi interseks dioperasi secara paksa, setiap anak queer yang dilempar ke jalan adalah korban gender. Penyimpangan dari norma selalu dihukum. Meskipun gender telah dicatat sebagai penyimpangan, tetap saja dihukum. Perluasan norma adalah perluasan dari penyimpangan; ini adalah perluasan cara kita dapat berada di luar cita-cita diskursif. Identitas gender yang tidak terbatas menciptakan ruang penyimpangan baru yang tidak terbatas yang akan dihukum dengan kejam. Gender harus menghukum penyimpangan, maka gender harus dihapuskan.

Dan dengan demikian kita sampai pada kebutuhan untuk penghapusan gender. Jika semua upaya kami pada proyek ekspansi positif gagal dan hanya menjerat kami dalam rangkaian perangkap baru, maka harus ada pendekatan lain. Bahwa perluasan gender telah gagal, tidak berarti bahwa kontraksi akan memenuhi tujuan kita. Dorongan seperti itu murni reaksioner dan harus disingkirkan.

Feminis radikal reaksioner melihat penghapusan gender sebagai kontraksi (penyusutan: anonim dari kata ekspansi – penj) semacam itu. Bagi mereka, kita harus menghapus gender, jadi seks itu (ciri fisik tubuh: penis dan vagina – penj) bisa menjadi basis material yang stabil di mana kita bisa dikelompokkan. Kami menolak ini dengan sepenuh hati. Seks itu sendiri didasarkan pada pengelompokan diskursif, diberikan otoritas melalui pengobatan, dan dengan kekerasan dipaksakan pada tubuh individu interseks. Kami mengutuk kekerasan ini.

Tidak, kembali ke pemahaman gender yang lebih sederhana dan lebih kecil (bahkan jika seharusnya konsepsi material) tidak akan berhasil. Ini adalah pengelompokan badan yang sangat normatif di tempat pertama yang kami tolak mundur. Baik kontraksi maupun ekspansi tidak akan menyelamatkan kita. Satu-satunya jalan kita adalah kehancuran.

Negativitas Radikal

Inti dari misi penghapusan gender kami negativitas. Kami berusaha untuk tidak menghapus gender sehingga jati diri dapat dikembalikan; tidak ada diri yang seperti itu. Penghapusan gender bukan seolah-olah akan membebaskan kita untuk eksis sebagai diri yang sejati atau asli, terbebas dari norma-norma tertentu. Kesimpulan seperti itu akan bertentangan dengan keseluruhan klaim antihumanis kami. Dan dengan demikian, kita harus mengambil lompatan ke dalam kehampaan (void).

Diperlukan momen kejelasan yang gamblang di sini. Jika kita adalah produk dari wacana kekuasaan, dan kita berusaha untuk menghapus dan menghancurkan wacana itu, kita mengambil risiko sebesar mungkin. Kami menyelam ke dalam hal yang tidak diketahui. Istilah, simbol, gagasan, dan realitas yang dengannya kita telah dibentuk dan diciptakan akan terbakar api, dan kita tidak dapat mengetahui atau memprediksi akan menjadi apa kita ketika kita keluar dari sisi lain.

Inilah mengapa kita harus merangkul sikap negativitas radikal. Semua upaya sebelumnya pada politik gender yang positif dan ekspansionis telah mengecewakan kami. Kita harus berhenti mengasumsikan pengetahuan tentang seperti apa pembebasan atau emansipasi, karena ide-ide itu sendiri didasarkan pada ide tentang diri yang tidak tahan terhadap pemeriksaan; ini adalah ide yang telah telah digunakan untuk membatasi wawasan kita. Hanya penolakan murni, sebuah perpindahan dari masa depan yang dapat diketahui atau dapat dipahami yang mampu memberikan kita kemungkinan untuk masa depan yang baru.

Meskipun risiko ini sangat kuat, risiko ini perlu. Namun dalam hal terjun ke yang tidak diketahui, kita memasuki perairan yang tidak dapat dipahami. Air ini bukannya tanpa bahaya; ada kemungkinan yang nyata pada kehilangan diri sendiri yang radikal (radical loss self). Istilah-istilah yang kita gunakan untuk saling mengenali mungkin akan dibubarkan. Tetapi tidak ada jalan keluar lain dari dilema ini. Kami setiap hari diserang oleh proses normalisasi yang mengkode kami sebagai penyimpang. Jika kita tidak kehilangan diri kita dalam gerakan negativitas, kita akan dihancurkan oleh status quo. Kami hanya punya satu pilihan, terkutuklah risiko.

Hal ini dengan kuat menangkap kesulitan yang kita hadapi saat ini. Meskipun risiko menerima negativitas tinggi, kita tahu alternatifnya akan menghancurkan kita. Jika kita kehilangan diri kita sendiri dalam prosesnya, kita hanya mengalami nasib yang sama seperti yang seharusnya kita alami. Jadi, dengan pengabaian sembrono kita yang menolak untuk mempostulasikan apa yang mungkin ada di masa depan, dan seperti apa kita di masa depan itu. Penolakan makna, penolakan terhadap kemungkinan yang diketahui, penolakan terhadap keberadaan itu sendiri. Nihilisme. Itulah sikap dan metode kami.

Kritik tanpa henti terhadap politik gender positif dengan demikian merupakan titik awal, tetapi harus dilakukan dengan hati-hati. Karena jika kita mengkritik dasar normatif mereka demi sebuah alternatif, kita hanya akan menjadi mangsa bagi kekuasaan netralisasi normalisasi. Dengan demikian, kami menjawab permintaan tersebut – alternatif yang dinyatakan dengan jelas dan tindakan yang akan diambil – dengan jawaban tegas: “tidak”. Hari-hari manifesto dan podium sudah berakhir. Penolakan semua hal, termasuk diri kita sendiri, adalah satu-satunya cara yang melaluinya kita akan pernah mampu mendapatkan apapun.

Sedikit Tambahan

Teks ini merupakan kritik dari Alyson Escalante terhadap ketergantungan komunitas trans pada esensialisme gender dan proposal untuk negasi radikal sebagai solusi untuk alienasi dan penindasan gender. Teks ini akan dimasukkan dalam sebuah antologi yang akan terbit di masa depan, Fuck Your Gender Neutral Prison! A Nihilist Insurrection Against Gender.

Perhatikan bahwa versi ini telah ditambah dengan kutipan dari adendum oleh penulis yang membahas beberapa batasan dari teks aslinya.

[1] Teknik penguatan dan penegasan keyakinan dalam diri.

[2] Bendera berwarna pelangi yang menjadi simbol kebanggaan dan perjuangan gerakan sosial LGBTQ.

[3] Mode makna sosial menegaskan perilaku verbal dan nonverbal (khususnya dalam pembahasan ini berkaitan dengan gender) memiliki makna relasional yang diakui secara konsensual dalam lingkungan bermasyarakat.

[4] Individu memiliki karakteristik inheren yang melekat yang mendefinisikan individu tersebut dan tidak dapat dilepas.

[5] Konsep eksistensialisme yang merupakan kebalikan dari imanen.

[6] Kesadaran subjektif untuk memulai, melaksanakan, dan mengendalikan perbuatan sesuai kehendak sendiri. Kesadaran ini sifatnya pra-reflektif. (Penerjemah kesulitan untuk menemukan padanan kata dalam bahasa Indonesia)

[7] Mengacu pada sense of agency.

[8] Individu maupun kelompok yang terorganisi atau tidak, baik legal maupun ilegal, yang berupaya menegakkan norma-norma, hukum, aturan, moralitas, yang berkaitan dengan gender yang terkategorisasi, terkespansi, dan teridentifikasi sesuai dengan yang berlaku di lingkungan.