Title: Kanno Sugako
Subtitle: “Anda mungkin bisa hidup seratus tahun lamanya, namun apalah artinya hidup tanpa kebebasan–kehidupan perbudakan?”
Author: Ameyuri Ringo
Date: 04/07/2020
a-r-ameyuri-ringo-kanno-sugako-id-1.jpg

Kanno Sugako (7 Juni 1811 – 25 Januari 1911)

Kanno Sugako lahir di Osaka, Jepang pada tahun 1881 di keluarga pebisnis tambang. Namun kesuksesan bisnis ayahnya merosot ketika Kanno berusia delapan atau sembilan tahun. Ibunya meninggal ketika ia berusia 10 tahun dan ayahnya menikah lagi. Ibu tirinya memperlakukan Kanno secara buruk dan menyerahkan Kanno kepada seorang penambang untuk diperkosa demi mendapatkan uang. Pemerkosaan yang ia alami pada usia 15 tahun ini menimbulkan trauma parah seumur hidup.

Kanno pertama kali terpapar sosialisme dari esai Sakai Toshihiko yang mengajak para penyintas perkosaan untuk tidak menyalahkan diri sendiri. Esai tersebut memotivasi Kanno untuk membaca tulisan Sakai lebih banyak lagi dan memperkenalkannya pada pemikir-pemikir sosialis lainnya.

Untuk melarikan diri dari ibu tirinya yang kejam, Kanno menikah dini dengan seorang pedagang bernama Komiya Fukutaro. Pernikahan ini tidak dijalani Kanno dengan cinta dan ketertarikan, ia menghabiskan waktunya hanya untuk membaca dan menulis. Pada 1902, ayah kandungnya bercerai dengan ibu tirinya, Kanno pun memilih untuk meninggalkan suaminya dan pulang ke Osaka untuk merawat ayahnya.

Saat kembali ke Osaka, Kanno bertemu dengan Udagawa Bunkai, seorang penulis yang cukup terkenal yang akhirnya mengajari Kanno memperbaiki kualitas tulisannya, Udagawa juga yang memberikan Kanno pekerjaan di Osaka Choho (sebuah perusahaan koran). Kemampuan menulis Kanno menjadi semakin baik dan menghasilkan berbagai cerpen, artikel, maupun esai. Pada akhirnya Kanno menjalin hubungan asmara dengan Udagawa.

Aktivisme Kanno dimulai pada 1903 saat bergabung dengan sebuah LSM kristen Fujin Kyofukai, LSM ini terkenal karena penentangan kerasnya terhadap prostitusi. Selama masa aktivismenya di Fujin Kyofukai, ia bertemu dengan banyak sosialis pasifis seperti Kotoku Shuusui. Ia juga menjadi kontributor di berbagai koran agama dengan tendensi sosialis. Pada 1904, pecah perang Russia-Jepang, Kanno mulai bergabung Heminsha, kelompok anti-perang yang dipimpin oleh Sakai dan Kotoku.

Kanno menjadi semakin aktif dalam kegiatan aktivismenya dan berasosiasi dengan Women’s Moral Reform Society yang berkampanye menentang sistem gundik dan menganjurkan kemerdekaan bagi perempuan. Karena ini, Kanno harus mengakhiri hubungannya dengan Udagawa. Pada tahun 1906, editor surat kabar Muro Shinpo ditahan karena menghina otoritas. Kanno pun mengisi posisi editor surat kabar tersebut. Selama di Muro Shinpo, ia mempublikasi pandangannya terkait sosialisme:

“Cita-cita kami adalah sosialisme, yang bertujuan pada kesetaraan semua kelas. Tetapi sama seperti sebuah bangunan besar tidak dapat dihancurkan dalam sekejap, sistem kelas hierarkis yang saat ini ada –yang telah dikonsolidasikan selama bertahun-tahun– tidak dapat digulingkan dalam sehari dan semalam … Jadi kita [perempuan] pertama-tama harus meraih prinsip mendasar atas ‘kesadaran diri’, mengembangkan potensi kita, mengangkat karakter kita, dan kemudian sedikit demi sedikit bekerja menuju realisasi cita-cita kita.’

Selama aktif di Muro Shinpo, Kanno dekat dengan Arahata Kanson, salah satu kontributor di surat kabar tersebut. Untuk menghidupi diri dan adiknya, Kanno mencari uang dengan bekerja sebagai wartawan di Mainichi Denpo (Tokyo Telegraph). Sayangnya pada 1907 adik Kanno meninggal karena TBC, Kanno pun tertular penyakitnya.

Pada 1908, Kanno menghadiri aksi pawai umum kelompok-kelompok sosialis dan anarkis yang di kemudian hari akan dikenal sebagai “Insiden Bendera Merah”. Di aksi tersebut mereka menyanyikan lagu-lagu dan mengibarkan bendera merah. Pemerintah berusaha merepresi aksi tersebut, perkelahian terjadi, dan para partisipannya ditangkap paksa oleh polisi. Saat menjenguk kawan-kawannya yang dipenjara, Kanno melihat penyiksaan brutal dilakukan oleh polisi. Kanno pun turut ditangkap dan dipenjara selama 2 bulan. Pasca insiden tersebut, Kanno mengubah total pandangan ideologisnya, ia membuang prinsip pasifismenya yang damai dan percaya bahwa kekerasan diperlukan untuk melawan sistem yang menindas. Karena pandangan barunya ini, ia dipecat dari surat kabar Muro Shinpo.

Beberapa saat usai bebas ia mulai hubungan asmara dengan Kotoku Shuusui yang kini telah menjadi anarkis. Pasca menjalin hubungan ini Kanno dikucilkan dari kelompok pergerakan karena dianggap berselingkuh dari Arahata yang sedang berada di penjara. Kotoku sendiri juga sempat dipenjara karena tulisannya yang provokatif di surat kabar Heminsha. Setelah bebas, ia sempat pergi ke Amerika selama enam bulan. Di sana ia mulai mempelajari anarkisme. Kotoku menceraikan istri keduanya demi menjalin hubungan yang lebih serius dengan Kanno. Melalui Kotoku, Kanno mempelajari lebih banyak diskursus anarkisme sekaligus berkenalan dengan anarkis lainnya di Jepang.

Berbeda saat ia masih seorang sosialis kristen yang anti-prostitusi dan menganggap pekerja seks sebagai wanita hina, Kanno mengubah pandangannya tentang prostitusi saat menjadi anarkis. Ia menyatakan bahwa pemiskinan oleh pemerintahlah yang menyebabkan perempuan masuk ke jurang prostitusi. Saat itu banyak keluarga miskin terpaksa menjual anak perempuannya ke rumah-rumah geisha dan prostitusi. Kanno terlibat dalam demonstrasi dalam menentang hukuman penjara terhadap pekerja seks. Lebih lanjut lagi, ia menyalahkan para pria yang masif jumlahnya di berbagai distrik prostitusi. Bahkan, Kotoku, orang yang sangat dekat dengan Kanno pun adalah pengunjung rutin rumah bordil.

Pandangan feminisnya semakin kental saat menjadi seorang anarkis, Kanno menyatakan, “Para laki-laki harus berhenti menuntut kesucian perempuan dan fokus untuk memperbaiki diri agar bisa menjadi suami/ayah yang baik”. Kanno terlibat dalam kampanye menentang standarisasi kecantikan, ia mengajak para wanita untuk berhenti memakai makeup dan pakaian indah. Kanno menganggap pakaian dan make-up perempuan membuat perempuan bak boneka mainan.

Pada tahun 1909, Kanno bertemu dengan seorang pemberontak anarkis bernama Miyashita Dakichi. Miyashita mengklaim tengah memproduksi bom untuk membunuh kaisar. Pada tahun-tahun tersebut Kanno semakin terpengaruh ide-ide pemberontakan. Ia membaca banyak tulisan yang membantah konsep keilahian kaisar, ia juga semakin teradikalisasi usai membaca esai Uchiyama Gudo tentang pemiskinan petani oleh para elit. Kanno semakin menemukan jalannya ketika mengetahui kisah Sophia Perovskaya yang membunuh Tsar II. Pasangan Kanno-Kotoku juga menyatakan persetujuannya atas rencana tersebut walaupun Kotoku sendiri memilih untuk menjaga jarak dan tidak terlibat langsung karena takut.

Sebagai anarkis, Kanno menyatakan permusuhan totalnya terhadap konsep pemerintahan demokrasi dan sosialisme, ia menganggap bahwa semua pemerintah akan menjadi penindas. Sayangnya Pada bulan Mei 1909 Uchiyama ditangkap polisi yang mengakibatkan adanya pengawasan ketat terhadap kelompok Kanno. Beberapa pengamat menyatakan bahwa Kanno Sugako adalah figur yang menggerakkan agenda ini, bukan Kotoku Shuusui, seperti yang dipercaya pemerintah dan sejarawan.

Miyashita akhirnya berhasil membuat bom. Ia menyerahkan bom buatannya kepada seorang rekan yang, sayangnya, mengkhianatinya. Rencana pembunuhan kaisar ini pun digagalkan oleh polisi. 26 orang ditangkap karena dituduh terlibat, dan Kanno adalah satu-satunya perempuan. 24 orang dituntut hukuman mati dan dua lainnya dihukum penjara. Saat diadili, Kanno dengan tegas menyatakan posisinya dan tidak mengemis pengampunan, ia berkata :

Walau secara personal saya merasa kasihan padanya, ia tetap adalah seorang kaisar. Seseorang yang paling bertanggung jawab atas eksploitasi rakyat secara ekonomi. Secara politis, ia adalah akar dari segala kejahatan yang sedang terjadi. Secara intelektual, ia adalah penyebab utama segala kepercayaan takhayul. Seseorang yang berada dalam posisi tersebut, menurut saya, harus dibunuh.”

Pemerintah Jepang menyebut peristiwa ini sebagai “Insiden Pengkhianatan Tingkat Tinggi”. Ketika hakim memintanya mengucapkan kata-kata terakhir, ia menyatakan bahwa satu-satunya penyesalannya adalah karena rencana itu gagal dan bahwa ia merasa kecewa karena beberapa temannya yang tidak terlibat langsung turut dihukum juga secara membabi buta. Pada 25 Januari 1911, Kanno dihukum gantung. Ia adalah perempuan pertama yang mendapat status tahanan politik yang dihukum mati dalam sejarah Jepang modern.