#cover a-f-anarchist-federation-of-rio-de-janeiro-anarkis-5.png
#title Anarkisme Sosial dan Organisasi
#author Anarchist Federation of Rio de Janeiro
#LISTtitle Anarkisme Sosial dan Organisasi
#date 2008
#source Penerbit Daun Malam
#lang id
#pubdate 2024-11-19T17:47:28
#authors Anarchist Federation of Rio de Janeiro
#topics Organization, Brazil, Uruguay, History
#language Bahasa Indonesia
#publication Penerbit Daun Malam
* Dokumen disetujui pada Kongres Pertama yang diselenggarakan pada tanggal 30 dan 31 Agustus 2008
Kongres pertama FARJ diadakan dengan tujuan utama memperdalam tinjauan kita mengenai masalah organisasi dan meresmikannya menjadi sebuah program. Perdebatan ini telah terjadi dalam organisasi kita sejak tahun 2003. Kita telah menghasilkan materi-materi teoretis, memantapkan pemikiran kita, belajar dari keberhasilan dan kegagalan praktik politik kita, dan menjadi semakin penting bagi kita untuk mendorong perdebatan ini lebih jauh lagi dan meresmikannya sehingga pengetahuan ini tersebar baik secara internal maupun eksternal. Dokumen “Anarkisme Sosial dan Organisasi” meresmikan posisi kita setelah semua pertimbangan ini. Lebih dari sekadar dokumen teoretis, tulisan-tulisan ini mencerminkan kesimpulan yang disadari setelah lima tahun penerapan praktis anarkisme dalam perjuangan sosial rakyat kita. Dokumen ini dibagi menjadi 16 bagian dan telah diterbitkan dalam bahasa Portugis dalam sebuah buku yang diterbitkan bersama oleh Faísca dan FARJ.
Kongres Pertama Federasi Anarkis Rio de Janeiro memberikan penghormatan kepada rekan-rekannya:
Juan Perez Bouzas (1899-1958)
Tukang sepatu anarkis asal Galicia, Spanyol yang, dengan bakat dan tekadnya yang luar biasa, telah menekankan kebutuhan untuk memperdalam perjuangan. Pada tahun 2008, kita mengenang ulang tahun kelima puluh kematiannya (05/09/1958).
Ideal Peres (1925-1995)
Dengan kepekaan dan visi cakrawala politik yang luas, ia telah menjamin pemeliharaan poros sosial anarkisme dan hubungannya dari satu generasi ke generasi militan lainnya.
Plínio Augusto Coêlho (1956-...)
Tanpa henti mewujudkan mimpi-mimpi kita, dengan benang panjang ia menghubungkan dan mengikat kita dengan mereka-mereka yang telah mendahului kita, baik dalam aksi revolusi yang tenang maupun yang bergejolak.
“Jika kalian terus terasing satu sama lain, jika masing-masing kalian bertindak sendirian, kalian pasti tidak berdaya. Tetapi jika kalian berkumpul dan mengorganisir kekuatan kalian—tidak peduli betapa lemahnya saat pertama kali dimulai—hanya dengan aksi bersama, yang dipandu oleh gagasan dan sikap bersama, dan dengan bekerja sama untuk tujuan bersama, maka kalian menjadi tidak terkalahkan.”
Mikhail Bakunin
* Pengantar Daun Malam
Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Di hadapan murid, seorang pendidik harus memberikan teladan yang baik;
Buku yang Anda pegang ini adalah salah satu sumbangsih terpenting bagi pengorganisasian anarkis. Menggunakan istilah especifismo untuk membedakan diri dari berbagai aliran anarkis lain, konsep-konsep dalam dokumen ini sejatinya merupakan buah dari 50 tahun lebih pengalaman anarkis di Amerika Selatan. Especifismo, atau secara kasar dapat diterjemahkan sebagai “Spesifikisme”, merujuk pada perlunya organisasi yang secara khusus terdiri dari para anarkis yang memiliki kesatuan dalam hal teori, ideologi, strategi dan taktik. Fungsinya adalah untuk bekerja dengan lebih efektif di tengah-tengah gerakan sosial. Organisasi pertama yang mempromosikannya adalah Federasi Anarkis Uruguay (Federación Anarquista Uruguaya—FAU) yang didirikan pada tahun 1956. Sebagai sebuah sumbangsih yang lahir dari kombinasi teori dan praktik, especifismo saat ini telah memiliki arusnya sendiri di seluruh dunia. Dalam dokumen ini, Federasi Anarkis Rio de Janeiro (FARJ), yang mewarisi semangat especifista, memaparkan konsep-konsep organisasinya setelah lima tahun berdiri.
Ciri khas aliran ini adalah pembagian aktivitasnya ke dalam dua ruang lingkup yang berbeda. Yang pertama, level sosial, sebuah ruang yang besar tempat para anarkis membaur dengan masyarakat luas, seperti aktivitas dalam serikat-serikat buruh, gerakan komunitas masyarakat, gerakan pendudukan ruang dan tunawisma, gerakan perempuan dan kaum non-biner, dan lain sebagainya. Dan yang kedua adalah level politik, yaitu “rumah politik” khusus anarkis, ruang bagi para anarkis militan untuk bertemu dan berdiskusi dengan lebih mendalam, membangun strategi dan taktik bersama, mengorganisir diri, dan meninjau ulang aktivitas-aktivitasnya di gerakan sosial. Beberapa penulis menyebut ciri khas ini dengan sebutan dualisme organisasi atau pengorganisasian ganda.
Sejak populernya anarkisme di Indonesia pada 2016 dan mencapai pemahaman publik secara meluas pada 2018, sudah banyak prakarsa di level sosial muncul: dapur umum ala Food Not Bomb, aliansi pelajar, gerakan pendudukan petani, gerakan anti penggusuran, okupasi urban, serikat-serikat buruh, perpustakaan jalanan, pasar gratis, klub sepak bola mandiri, dan banyak lainnya. Beberapa prakarsa ada yang masih hidup sampai sekarang, beberapa lagi mati dengan cepat. Sejauh ini, hanya ruang-ruang di level sosial yang kita miliki. Dengan terbitnya buku ini, kami berharap inilah waktu yang tepat bagi kaum anarkis yang lebih militan untuk berhimpun dan meningkatkan keampuhan aksinya dengan membangun level politik: merancang dan membangun “rumah politik”nya sendiri.
Penerbitan naskah ini juga mempertimbangkan fakta bahwa selama ini hampir sebagian besar literatur anarkis di Indonesia adalah reproduksi pemikiran dari Amerika Utara dan Eropa Barat. Padahal, Indonesia sebagai negara dunia ketiga memiliki lebih banyak kemiripan keadaan dengan negara-negara Amerika Latin, negeri berkas jajahan yang tak sepenuhnya bebas dari feodalisme, dan yang belum sepenuhnya terindustrialisasi tetapi sedang mengarah ke sana; memiliki kesamaan pengalaman kediktatoran dan masih berkuasanya kaum militer; wilayah hutan hujannya juga banyak lenyap dalam pembukaan perkebunan dan tambang yang meluas; terasanya dampak langsung atas proses industrialisasi, baik di perkotaan maupun pedesaan; secara formal cenderung konservatif dan relijius; dan adanya keberagaman budaya dengan berbagai potensi swapemerintahan komunitas adat.
Banyak konsep penting dalam naskah ini yang dapat menjadi lelucon bagi para anarkis modern di Indonesia, sebab, bahkan pada tahun 2023, kami masih mendengar selentingan bahwa menjadi anarkis berarti tidak boleh berorganisasi. Apalagi membahas soal komitmen, tanggung jawab, disiplin diri, dan militansi. Saat ini, masih banyak yang menganggap organisasi dan anarkisme sebagai dua hal yang berbeda, seolah organisasi hanya bisa dilakukan secara vertikal, otoritarian, dan hierarkis—sementara anarkisme hanya bisa dilakukan dengan nge-punk. Dokumen ini mencoba menguraikan model pengorganisasian yang horizontal, anti-otoritarian, dan non-hierarkis.
Satu istilah lagi yang mungkin menggegerkan bagi para anarkis kekinian adalah penggunaan kutipan Malatesta yang memakai istilah “partai anarkis”. Memang, pernah ada zaman di mana istilah “partai” tidak berkonotasi negatif seperti sekarang. Pada abad 19 kaum anarkis menggunakan istilah partai secara netral karena pada saat itu kata “partai” hanya berarti sekelompok orang yang dipersatukan oleh seperangkat asas yang sama. Pada zaman kolonialisme Hindia Belanda, tokoh kemerdekaan Ernest Douwes Dekker pernah membentuk sebuah organisasi politik paling maju pada zamannya, Partai Hindia (Indische Partij). Partai Hindia tidak mengikuti pemilihan umum, dan menjadi organisasi lintas bangsa (Eropa dan pribumi) pertama yang progresif. Dekker adalah militan anarkis yang menganjurkan sabotase dan aksi langsung, terinspirasi oleh para anarko-sindikalisme di Eropa, yang menjadikan Indische Partij sebagai kendaraan politiknya.
Di tempat lain, meskipun menggambarkan dirinya sebagai seorang liberal, sang revolusioner anarkis Meksiko, Flores Magon, menyadari sepenuhnya bahwa aliran politik yang dianutnya adalah anarkisme. Meski begitu, selancar politiknya adalah organisasi non-parlementer bernama Partai Liberal Meksiko (Partido Liberal Mexicano). Dalam sebuah surat kepada saudara laki-lakinya dan Praxedis Guerrero yang ditulis dari penjara pada tahun 1908, Magon menerangkan bahwa ini adalah perkara taktik:
di antara murid, pendidik harus menciptakan inisiatif;
dari belakang, pendidik memberikan dorongan dan arahan.
Ki Hajar Dewantara
…jika kita menyebut diri sebagai anarkis sejak awal, tidak akan ada seorang pun, atau paling banter hanya sedikit, yang akan mendengarkan kita. Tanpa menyebut diri anarkis, kita telah menyalakan kebencian rakyat terhadap kaum pemodal dan kasta pemerintah.
Tidak ada partai liberal di dunia ini yang memiliki kecenderungan anti-kapitalis seperti kita, yang telah membuka revolusi di Meksiko. Kita tidak akan mungkin mencapai ini dengan mendaku diri sebagai sosialis atau anarkis. Jadi, semua hanya masalah taktik.
Organisasi politik anarkis abad silam memang bisa memakai nama-nama yang mengejutkan bagi para anarkis masa kini. Misalnya, organisasi anarkis bernama Vanguard Group (Kelompok Pelopor) di Amerika Serikat yang aktif pada 1932-1939 dan publikasinya yang berjudul sama. Konsep kepeloporan (vanguardism) ini di kemudian hari hanya digunakan oleh kaum otoritarian untuk menyebut golongan revolusioner profesional dari partai yang mencoba membimbing massa. Hingga batas tertentu, istilah “minoritas aktif” dalam dokumen ini terkesan punya kesamaan dengan para pelopor (vanguard). Tetapi yang perlu digarisbawahi adalah, minoritas aktif tidak menempatkan dirinya lebih tinggi, lebih berhak memutuskan, lebih paham, dan atau paling terdepan di antara rakyat. Dengan etika, minoritas aktif, seperti yang akan ditekankan berulang-ulang kali dalam dokumen ini, melebur dan bekerja dalam gerakan sosial untuk memperkuat dan membangun sifat-sifat revolusioner dan libertarian dalam gerakan sosial.
Saat ini partai merujuk kepada dua jenis kelompok politik otoritarian: 1) partai politik parlementer, yang mencalonkan kandidatnya sebagai anggota dewan melalui pemilihan umum dan berfungsi untuk mencari suara sebanyak mungkin, dan 2) partai politik “revolusioner”, serupa Partai Komunis Indonesia di masa lalu yang selalu berusaha merebut kekuasaan Negara untuk kemudian menerapkan sosialisme/komunisme dari atas dengan kediktatoran. Kedua praktik politik partai ini jelas berkebalikan dengan maksud kaum anarkis. Oleh karena itu, kami tidak menyarankan istilah partai ini digunakan lagi atau dijadikan sebagai nama organisasi khusus anarkis.
Akhir kata, penerbitan dokumen ini memang dimaksudkan untuk mendorong para anarkis memulai organisasi khusus politiknya sendiri. Dengan cara inilah kita bisa memastikan gagasan anti-otoritarian beregenerasi dan siap menghadapi pasang surutnya perjuangan. Dokumen ini dapat menjadi panduan untuk proses tersebut, dan dapat disesuaikan kembali dengan keadaan dan kebutuhan kita.
Yogyakarta, 18 Mei 2023
* Pengantar Penerjemah Bahasa Inggris
Dokumen ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Portugis dengan judul Anarquismo Social e Organização dan diterapkan pada Kongres Pertama Federasi Anarkis Rio de Janeiro pada bulan Agustus 2008. Dokumen ini berusaha memetakan konsep teoretis FARJ tentang anarkisme perjuangan kelas yang terorganisir dan, "Lebih dari sekadar dokumen teoretis, [...] merenungkan kesimpulan-kesimpulan yang disadari setelah lima tahun penerapan praktik anarkisme dalam perjuangan sosial rakyat kita".
Di dalam dokumen ini, FARJ menelusuri akar sejarah dan organisasinya melalui sejarah-sejarah militan dari anarkis Carioca* seperti Ideal Peres, yang berjuang untuk menjaga api anarkisme tetap menyala pada hari-hari gelap kediktatoran, hingga militan lain seperti ayahnya, Juan Perez Bouzas, anarkis imigran Galicia yang terlibat dengan teguh dalam Pertempuran Sé pada 1934, "ketika kaum anarkis menolak Integralitas** di bawah semburan tembakan senapan mesin".
Ini adalah dokumen penjelasan paling komprehensif mengenai konsep anarkisme especifista Amerika Latin yang sekarang tersedia dalam bahasa Inggris. Dokumen Anarkisme Sosial dan Organisasi ini mengusut dan menguraikan pengaruh-pengaruh teori dan praktik pemahaman FARJ tentang organisasi anarkis dan strateginya untuk menciptakan perubahan sosial. Dokumen ini menganjurkan sebuah pemahaman anarkisme yang membagi kegiatan anarkis ke dalam dua lingkup. Pertama adalah lingkup sosial (dalam gerakan sosial atau 'massa') dan kedua dalam lingkup politik (dalam organisasi khusus anarkis). Alasannya, pendekatan dual-organisasionalis terhadap organisasi anarkis ini sesuai dan dapat dilacak kembali sampai ke gagasan dan praktik Mikhail Bakunin dalam Aliansi Demokrasi Sosialis Internasional. FARJ menelusuri silsilah politik kembali ke Bakunin melalui pengalaman
1. Pengalaman Federación Anarquista Uruguaya (FAU) dan Aliança Anarquista tahun 1918 dan Partido Comunista (partai komunis yang beraliran libertarian) tahun 1919;
1. Pengalaman kaum Magonista selama Revolusi Meksiko dan fase radikal Partido Liberal Mexicano (Partai Liberal Meksiko—PLM);
1. Pengalaman kelompok Federación Anarquista Iberica (FAI) dan kelompok Agrupación de los Amigos de Durruti (Perhimpunan Sahabat Durruti) selama Revolusi Spanyol 1936;
1. Pengalaman para penulis Platform Organisasional Komunis Libertarian (atau yang biasa disebut “Platform”);
1. hingga pengalaman Errico Malatesta dalam pemahamannya mengenai partai anarkis.
Berangkat dari pengalaman hilangnya “vektor sosial anarkisme” (pengaruh sosial anarkisme) pada akhir periode kejayaan anarkisme, FARJ menganjurkan perlunya organisasi anarkis spesifik (organisasi khusus anarkis). Organisasi ini haruslah tertata dengan ketat, dan terdiri dari para militan bertekad tinggi yang sangat bersatu dalam hal teori dan strategi. Para militannya terlibat serta mendukung gerakan dan perjuangan rakyat melawan penghisapan dan penindasan, serta berusaha untuk mempengaruhi gerakan dengan asas-asas anarkis dan mendorongnya ke arah yang revolusioner dan libertarian. Tujuan akhirnya adalah untuk merebut kembali pengaruh sosial anarkisme sebagai langkah penting menuju pengenalan sosialisme libertarian melalui revolusi sosial.
Dalam rangka meningkatkan pengaruh sosial anarkisme, FARJ menegaskan kembali agar anarkisme semakin bersentuhan dengan kelas-kelas yang dieksploitasi. Perjuangan kelas diidentifikasi sebagai medan juang paling penting dan subur di mana asas-asas dan praktik anarkis dapat disebarkan. Supaya bisa mengakar, sangat penting bagi kaum anarkis yang terorganisir untuk melakukan propaganda, kerja organisasi, dan pendidikan yang berkelanjutan dan konsisten di dalam gerakan dan organisasi kelas-kelas yang dieksploitasi. Secara kritis FARJ menekankan hal fundamental bahwa kaum anarkis mesti bertindak dengan cara yang sesuai dengan apa yang kita sebut sebagai "etika militan". Anarkisme Sosial dan Organisasi menguraikan konsep FARJ tentang berbagai tugas organisasi spesifik anarkis, serta strukturnya, dan proses-proses untuk menarik anggota baru dan orientasinya terhadap gerakan sosial—semuanya sesuai dengan nalar lingkaran konsentris.
Dokumen ini merumuskan jawaban strategis atas pertanyaan, "di mana kita berada?", "ke mana kita ingin pergi?" dan "bagaimana kita dapat meninggalkan tempat kita berpijak dan sampai ke tujuan yang kita inginkan?". Anarkisme Sosial dan Organisasi mengartikulasikan pemahaman FARJ mengenai kelas-kelas sosial di bawah "masyarakat eksploitasi dan dominasi", yaitu kapitalisme dan negara, serta tujuan akhirnya yaitu revolusi sosial dan sosialisme libertarian, dan bagaimana tampilannya ketika diwujudkan. Demikianlah dokumen ini menjelaskan pemahaman FARJ mengenai "organisasi rakyat" yang menyatukan berbagai gerakan sosial yang berjuang untuk kebebasan dan menghimpun pengalaman serta pencapaian-pencapaian yang diraihnya dalam perjuangan kelas sehari-hari. Ketimbang merepresentasikan sejumah gerakan sosial yang saling terpisah-pisah satu sama lain, organisasi rakyat membentuk kekuatan sosial yang jauh lebih besar dan saling terhubung. Pada saat ia menjadi lebih besar dari negara dan kapital, ia pun harus dengan tegas memutus hubungan dengan sistem saat ini dan, dengan menggunakan kekerasan sebagai respons penting dalam menghadapi kekerasan negara dan kapital, memulai transisi menuju sosialisme libertarian melalui revolusi sosial. Sejak awal dokumen ini diterbitkan, FARJ telah menggunakan istilah "kekuasaan rakyat" (“popular power”) sebagai pengganti "organisasi rakyat" (“the popular organization”), dan telah mendorong pemahaman lebih lanjut mengenai konsep yang sangat penting bagi especifismo ini.
Selama lebih dari tiga tahun sejak penerapan dokumen ini, FARJ telah mengalami sejumlah perkembangan teoretis, seperti: 1) memperdalam pemahamannya tentang kelas berdasarkan kategori "dominasi" dan mempertimbangkan kelas ekonomi sebagai salah satu jenis dominasi; 2) penelitian dan pemahaman baru tentang sejarah anarkisme Brasil pada dekade 1940-an dan 1950-an; 3) teori dan metode analisis dan pendalaman beberapa topik tentang organisasi anarkis. Ada juga beberapa perkembangan dalam hal praktik, termasuk pengembangan "kerja sosial" dengan gerakan-gerakan berikut: Gerakan Pekerja Pengangguran Akar Rumput (MTD-Pela Base), Gerakan Tanpa Tanah (MST), Gerakan Dewan Rakyat (Movimento Conselhos Populares) dan terlibat dalam penciptaan tendensi "Organisasi Rakyat".
Dokumen ini pertama kali diterbitkan dan diadopsi lebih dari tiga tahun sebelum terjemahan (Bahasa Inggris) ini hadir. Meskipun dokumen ini berlatar belakang Amerika Latin, ia tetap merupakan kontribusi yang berwawasan dan instruktif bagi teori dan praktik anarkis kontemporer global. Dokumen ini relevan bagi siapa pun yang bertekad untuk menemukan dalam praksis anarkis sebuah jawaban yang paling cocok untuk menjawab pertanyaan, "bagaimana kita bisa meninggalkan tempat kita berpijak dan sampai ke tujuan yang kita inginkan?". Saya harap terjemahan ini dapat menjelaskannya dengan baik.
Jonathan Payn
Johannesburg, Maret 2012
Catatan:
* Seseorang yang berasal dari Rio de Janeiro
** Gerakan fasis Brasil
* Latar belakang Kongres 2008 dan Perdebatan Tentang Organisasi
Tujuan utama diadakannya kongres pertama FARJ adalah untuk memperdalam pemikiran kita mengenai masalah organisasi dan meresmikannya menjadi sebuah program.
Sejak tahun 2003, perdebatan seputar organisasi telah berlangsung dalam organisasi kami. Kami telah menghasilkan materi-materi teoretis, menyempurnakan pemikiran kami, belajar dari keberhasilan dan kegagalan praktik politik kami, dan menjadi semakin penting bagi kami untuk memperdalam bahasan ini dan meresmikannya, menyebarkan pengetahuan ini baik secara internal maupun eksternal.
Kerja praktik dari dua front kami, yaitu front pendudukan/okupasi dan front komunitas masyarakat, benar-benar penting bagi tinjauan teoretis yang kami buat saat ini. Front tersebut bahkan menyumbang pada penciptaan front ketiga kami di awal tahun 2008—front agroekologis, yang disebut Anarkisme dan Alam.
Setahun yang lalu kami memutuskan untuk berdebat seputar organisasi, dengan kedalaman yang diperlukan, demi merumuskan kesimpulan tersebut ke dalam sebuah dokumen yang akan disahkan pada Kongres 2008. Untuk alasan ini, masih di tahun 2007, kami mengambil beberapa tindakan untuk turut andil pada kematangan teoretis yang akan sangat diperlukan bagi jalan yang ingin kami tempuh:
- Aktivasi Sekretaris Pendidikan Politik
- Pelaksanaan Seminar Pendidikan Internal
- Pengembangan Buku Saku Pendidikan untuk Para Militan
Tindakan-tindakan ini dilakukan agar setiap militan organisasi kami mendapatkan struktur, ruang, dan dukungan yang diperlukan sehingga bahasan ini dapat berlangsung dengan cara yang paling kita inginkan. Kami berusaha keras untuk membaca, menulis, berdebat, meninjau ulang materi-materi yang telah ditulis, memperdalam bahasan, membuat perbaikan; singkatnya, merencanakan dengan sepenuh hati hal-hal yang diperlukan untuk perdebatan ini.
Namun, kami tidak hanya ingin memberikan ruang untuk bertukar pikiran. Kami ingin mencapai posisi kesimpulan, yaitu memperdalam garis politik organisasi. Salah satu ciri model organisasi kami adalah kesatuan teoretis dan ideologis. Oleh karena itu, kami ingin menggunakan waktu ini untuk memperdalam persoalan teoretis dan ideologis, dan, pada akhirnya, sampai pada posisi konkret yang dapat dipertahankan dan disebarluaskan oleh keseluruhan organisasi.
Selama lima tahun terakhir, kami selalu beranggapan bahwa untuk mengembangkan garis politik, kita harus mempertimbangkan pengaruh timbal balik antara teori dan praktik, sebab keduanya tidak dapat dipisahkan. Ketika keduanya terjalin secara timbal balik, dan dengan cara yang positif, mereka meningkatkan hasil dari semua kerja organisasi. Dengan teori yang baik, praktik menjadi lebih baik. Demikian pula dengan praktik yang baik, teori menjadi lebih baik. Tidak mungkin memahami organisasi anarkis hanya dengan teori saja dan tanpa praktik, atau pun mengembangkan sebuah teori dan mencoba berpraktik persis seperti teori tersebut.
Sejak awal kami mengetahui bahwa kita tidak boleh membangun sebuah organisasi yang berjarak dari perjuangan, menulis teorinya, dan kemudian berpraktik dengan tujuan menyesuaikan praktik dengan teori tersebut. Demikian juga, tidak mungkin bagi kita untuk membayangkan organisasi anarkis yang hanya berpraktik saja dan tidak memiliki teori, atau menganggap teori sebagai sesuatu yang sepenuhnya terjadi dalam praktik. Kami selalu mencari keseimbangan. Di satu sisi, kita tidak harus berteori secara mendalam untuk bisa mulai bertindak dan, di sisi lain, kita berusaha memastikan bahwa tindakan kita sejalan dengan teori. Menurut pemahaman kami, teori dapat memperkuat upaya para militan tanpa mereka harus kehilangan banyak energi, yang sebenarnya bisa dihindari.
Dalam perdebatan yang berlangsung dalam dua tahun terakhir ini, yang dirumuskan dalam dokumen ini, kami ingin mengembangkan sebuah teori yang tepat, dan bukan hanya pengulangan teori-teori lain yang telah dikembangkan di tempat dan waktu berbeda. Tentu saja, dari awal sampai akhir, keseluruhan teori kami terilhami oleh teori-teori dan para penulis lain yang hidup dan berperilaku dalam konteks situasi berbeda. Tidak mungkin, misalnya, membayangkan teori anarkis yang konsisten tanpa sumbangsih dari kaum anarkis klasik. Namun, kami telah lama mempelajari hal ini—teori dan pemikiran para penulis ini—dan apakah mereka masuk akal dengan keadaan kami hari ini.
Kami berusaha menciptakan konsep yang layak dan memberikan ciri otentik pada teori yang ingin kami ciptakan. Soal ini kami pikir kami sangat berhasil. Kami telah membangun dan merumuskan sebuah teori yang koheren, memadukan teori-teori klasik dan kontemporer sekaligus juga pemahaman kami sendiri. Meskipun begitu, kami tidak percaya bahwa teori ini sudah selesai. Banyak sisi yang bisa diperdalam dan ditingkatkan. Intinya... yang terpenting adalah untuk memperjelas bahwa kami telah mengambil langkah awal di jalan panjang yang ingin kami tempuh ini.
Akhirnya, kami ingin kita membangun diskusi ini dan perumusannya secara kolektif. Tidak cukup bagi kita jika ada satu atau beberapa rekan menulis semua teori organisasi sementara yang lainnya hanya mengamati dan mengikuti posisi mereka. Karena itulah sepanjang periode ini kami berusaha mempertimbangkan semua posisi-posisi mengenai organisasi dan bukan hanya posisi seseorang militan saja. Menurut kami, hal ini juga memberi nilai tambah pada naskah ini. Ia tidak berasal dari isi kepala seorang cerdik pandai yang menganggap bahwa politik terlepas dari kenyataan. Sebaliknya, tulisan ini adalah hasil dari lima tahun perjuangan dan pengorganisasian anarkisme dalam interaksi tanpa henti dengan perjuangan di zaman kita, selalu mencari jalan untuk perubahan sosial revolusioner menuju sosialisme libertarian. Singkatnya, dokumen ini adalah hasil dari lima tahun kegiatan berpraktik.
Demi satu sumbangsih lagi, dan untuk secara teoretis mengesahkan apa yang telah terkumpul dalam sejarah singkat kami, kami pun mengadakan Kongres pertama—yang berlangsung bersamaan dengan peringatan lima tahun hari jadi FARJ—pada 30 dan 31 Agustus 2008. Pelbagai pemikiran utamanya dicatat di bawah ini.
“Untuk berteori secara efektif, kita harus bertindak.”
Federasi Anarkis Uruguay (FAU)
Etika, Tekad, Kebebasan!
* Anarkisme Sosial, Perjuangan Kelas, dan Hubungan Antara Pusat dan Pinggiran
“[…] karena anarkisme adalah ideologi yang menolak untuk menciptakan
Bagi kami, anarkisme adalah ideologi, yakni serangkaian pemikiran, dorongan, harapan, nilai, sebuah tatanan atau sistem pemahaman yang berhubungan langsung dengan tindakan—yang kami sebut sebagai praktik politik. Ideologi membutuhkan perumusan tujuan akhir (jangka panjang, pandangan ke depan), penafsiran kenyataan di tempat kita hidup, dan perkiraan-perkiraan tentang perubahan kenyataan ini. Berangkat dari pemaparan ini, ideologi bukanlah seperangkat nilai dan gagasan mengawang dengan sifat yang sepenuhnya pemikiran dan tercerabut dari praktik, melainkan sistem pemahaman yang diamini bersamaan dengan praktik dan kembali lagi ke praktik. Dengan demikian, ideologi menuntut tindakan sukarela dan sadar untuk menanamkan keinginan akan perubahan sosial pada masyarakat.
Kami memahami anarkisme sebagai ideologi yang memberikan panduan untuk bertindak dalam menggantikan kapitalisme, negara dan lembaga-lembaganya dengan sosialisme libertarian, yaitu sebuah sistem yang dilandaskan pada swakelola dan federalisme, tanpa klaim-klaim ilmiah ataupun profetik.
Seperti ideologi lainnya, anarkisme memiliki sejarah dan latar belakang tertentu. Ia tidak muncul dari kaum cendekiawan atau pemikir yang tercerabut dari praktik, yang hanya mengejar perenungan langitan. Anarkisme memiliki sejarah yang berkembang dalam perjuangan kelas yang besar di abad kesembilan belas. Mulanya ia diteorikan oleh Proudhon dan menemukan bentuknya di tengah-tengah Asosiasi Buruh Internasional (International Workers Association—IWA) dengan kerja-kerja yang dilakukan oleh Bakunin, Guillaume, Reclus, dan lainnya. Mereka menganjurkan sosialisme revolusioner, yang berlawanan dengan sosialisme reformis, legalis, dan statis (pro-negara). Kecenderungan IWA ini kemudian dikenal sebagai “federalis” atau “anti-otoritarian” dan berlanjut dalam militansi Kropotkin, Malatesta, dan lainnya.
Di dalam IWA anarkisme terbentuk, “dalam perjuangan langsung kaum pekerja melawan kapitalisme, dari kebutuhan kaum buruh, dari cita-cita mereka akan kebebasan dan kesetaraan, yang secara khusus hidup dalam massa buruh di masa-masa paling gagah berani”[1]. Penciptaan teori anarkisme dilakukan oleh para pemikir dan buruh yang secara langsung terlibat dalam perjuangan sosial, yang membantu merumuskannya serta menyebarkan perasaan terpendam mereka dalam gerakan massa. Demikianlah anarkisme dapat berkembang dalam teori dan praktik selama bertahun-tahun. Di satu sisi, anarkisme secara unik berperan dalam episode-episode perubahan sosial sembari terus mempertahankan karakter ideologisnya, misalnya dalam Revolusi Meksiko (1910-1917), Revolusi Rusia (1917), Revolusi Spanyol (1936), atau bahkan dalam episode sejarah Brasil, seperti Pemogokan Umum tahun 1917 dan Pemberontakan 1918.
Di sisi lain, dalam keadaan tertentu, anarkisme juga pernah mengambil tabiat tertentu yang merupakan kemunduran dari watak ideologisnya. Akibatnya, ia menjadi sebuah konsep mengawang yang hanya berupa sebentuk pengamatan kritis terhadap masyarakat. Selama bertahun-tahun, bentuk anarkisme ini mengandaikan identitasnya sendiri dan menemukan rujukannya dalam sejarah. Namun pada saat bersamaan, ia kehilangan karakternya dalam perjuangan untuk perubahan sosial. Hal ini nampak jelas pada paruh kedua abad kedua puluh. Pemikiran yang berasal dari anarkisme semacam ini tidak lagi berfungsi sebagai alat perjuangan untuk mencapai pembebasan kaum tertindas, melainkan berakhir menjadi sekadar hobi, pemuas keingintahuan, topik perdebatan intelektual, identitas belaka, pengelompokan pertemanan, dll. Bagi kami, pandangan ini sangat mengancam makna anarkisme.
Pengaruh buruk terhadap anarkisme ini dicatat dan dikritik oleh berbagai anarkis. Pertamanya oleh Malatesta, ketika ia adu bantah dengan kaum individualis yang menentang organisasi[2], disusul dengan Luigi Fabbri[3] yang mengecam pengaruh borjuis dalam anarkisme pada awal abad kedua puluh. Dan akhirnya sampai ke Murray Bookchin, yang pada pertengahan 1990-an mencatat fenomena ini dan berusaha memperingatkan:
sistem pusat baru dengan area-area pinggiran baru.”
Rudolf de Jong
Mungkin saya salah—dan saya berharap demikian, tujuan sosial dan revolusioner anarkisme sedang terkikis hingga ke titik di mana kata anarki menjadi bagian dari kosakata borjuis yang elegan di abad berikutnya—tidak patuh, memberontak, tanpa beban, tetapi menyenangkan dan tidak berbahaya.[4]
Kami mendorong anarkisme merebut kembali watak ideologis asalnya, atau seperti yang kami jabarkan sebelumnya, menjadi sebuah “sistem pemahaman yang berhubungan langsung dengan tindakan, […] praktik politik”. Demi mengembalikan karakter ideologis ini serta membedakan diri dari arus lain dalam dunia anarkisme kontemporer yang luas, kami menganjurkan anarkisme sosial. Oleh karenanya kami mempertegas kritik Malatesta dan Fabbri. Kami juga membenarkan pembagian yang telah dijelaskan oleh Bookchin: bahwa saat ini ada anarkisme sosial yang kembali berjuang demi cita-cita perubahan sosial, dan ada anarkisme gaya hidup yang meninggalkan tawaran perubahan sosial serta menolak terlibat dalam perjuangan sosial zaman kita.
Bagi kami, anarkisme sosial adalah jenis anarkisme yang sebagai ideologi berupaya menjadi alat bagi gerakan sosial dan organisasi rakyat, membantunya menghadapi kapitalisme dan Negara, untuk membangun sosialisme libertarian—yang swakelola dan federalis. Demi tercapainya tujuan ini, ia mendorong agar kaum anarkis kembali ke perjuangan kelas secara terorganisir dan merebut kembali apa yang kami sebut sebagai vektor sosial[5] anarkisme. Kami percaya bahwa di kalangan kelas-kelas yang dijajah, yaitu korban utama kapitalisme, anarkisme dapat tumbuh subur. Seperti yang dikatakan Neno Vasco, jika harus melempar benih anarkisme ke tanah yang paling subur, bagi kami tanah ini adalah perjuangan kelas, perjuangan yang terjadi di tengah-tengah pengerahan kekuatan rakyat dan gerakan sosial. Demi mempertentangkan anarkisme sosial dengan anarkisme gaya hidup, Bookchin menegaskan bahwa:
Anarkisme sosial secara mendasar bertentangan dengan anarkisme yang berpusat pada gaya hidup, seruan neo-situasionis yang memabukkan, dan kedaulatan ego borjuis kecil yang semakin hari semakin kontradiktif. Asas yang menentukan mereka berdua sungguh berbeda—sosialisme atau individualisme.[6]
Seorang militan dan pemikir kontemporer lain, Frank Mintz, mengomentari bukunya yang berjudul Anarquismo Social (Anarkisme Sosial) dan menekankan bahwa: “judul ini seharusnya tidak perlu, karena kedua istilah tersebut (anarkisme dan sosial) secara implisit sudah sangat terkait. Hal ini pun bisa menyesatkan karena memberi kesan bahwa mungkin ada anarkisme non-sosial, yang berada di luar perjuangan”[7]. Demikianlah kami memahami bahwa anarkisme sosial sudah pasti menceburkan diri dalam perjuangan kelas.
Dalam pandangan kami tentang anarkisme sosial sebagai “sebuah alat penting untuk mendukung perjuangan harian”[8], kami juga perlu memperjelas pengertian kami tentang kelas. Menurut kami, perjuangan kelas memang hal sentral dan benar-benar relevan dalam masyarakat saat ini, tetapi kami juga menyadari bahwa ada kaum Marxis yang lebih memilih buruh pabrik sebagai subjek revolusi yang istimewa dan bersejarah. Akibatnya, mereka meremehkan semua golongan kelas-kelas tertindas lainnya, padahal orang-orang dari golongan lain juga adalah subjek yang berpeluang menjadi revolusioner. Pemahaman kaum otoritarian tentang kelas pekerja yang terbatas hanya pada golongan buruh industri ini sangatlah tidak mumpuni. Pemahaman ini tidak mampu menjelaskan kenyataan dari berbagai hubungan kekuasaan dan penindasan yang terjadi sepanjang sejarah, dan bahkan yang tengah terjadi dalam masyarakat saat ini. Pemahaman seperti ini gagal mengenali berbagai subjek-subjek revolusioner di masa lalu dan masa kini.
Berangkat dari kebutuhan untuk memperjelas pemahaman tentang kelas, kami memasukkan golongan lainnya ke dalam kelompok kelas tertindas. Sebagian besar dari golongan lain ini telah mendapat perhatian dari kaum anarkis sepanjang sejarah. Mereka bisa dan sebaiknya memang berperan dalam upaya perubahan sosial melalui perjuangan kelas. Definisi pemahaman kelas ini tidak mengubah perjuangan kelas sebagai medan utama bagi tindakan anarkisme sosial, melainkan menawarkan cara pandang yang berbeda dalam melihat tujuan kita: perubahan hubungan antara pusat-pinggiran, atau lebih jelasnya lagi, perubahan hubungan-hubungan dominasi yang dilakukan oleh pusat kepada yang terpinggirkan. Berdasarkan klasifikasi yang dilakukan Rudolf de Jong[9] dan sejarah perjuangan kami sendiri baru-baru ini, kami menalar semua kelas tertindas dari hubungan antara pusat dengan pinggiran. Jadi, yang termasuk dalam kelompok ini adalah:
1. Budaya-budaya dan masyarakat-masyarakat yang sangat terasing dan jauh dari pusat, yang sama sekali tidak “terintegrasi”, dan “liar” di mata pusat. Contohnya, orang Indian di Amazon.
1. Wilayah-wilayah pinggiran yang terkait dengan pusat dan termasuk dalam pranata sosial-ekonomi dan politiknya, tapi pada saat bersamaan juga berusaha mempertahankan identitasnya. Mereka dikuasai oleh pusat dan keberadaannya terancam oleh perluasan ekonomi pusat. Menurut standar pusat, mereka “terbelakang” dan tertinggal. Sebagai contoh, masyarakat adat Meksiko dan negeri-negeri pegunungan Andes. Contoh lain dalam golongan ini—mungkin kita sebut sebagai subkelompok B.1—adalah petani kecil, pekerja terampil, dan buruh tani yang keberadaan sosial dan ekonominya terancam oleh kemajuan pusat dan yang hingga kini masih berjuang untuk kemerdekaannya.
1. Kelas-kelas ekonomi atau sistem sosial ekonomi yang dulu pernah menjadi milik pusat, tetapi kembali ke posisi pinggiran setelah terjadinya pembaruan teknologi dan perkembangan sosial ekonomi di pusat. Misalnya kaum lumpen-proletariat, pekerja serabutan dengan kondisi kerja dan upah yang tidak menentu, serta para pengangguran.
1. Kelas-kelas dan kelompok sosial yang secara ekonomi menjadi bagian dari pusat, tapi terpinggirkan secara sosial, budaya, dan/atau politik: kelas pekerja, proletariat dalam masyarakat industri yang sedang berkembang, kaum perempuan, kaum berkulit hitam, kaum homoseksual.
1. Hubungan pusat-pinggiran yang bersifat politis, baik hubungan antar negara atau hubungan di dalam suatu negara: hubungan kolonial atau imperialis, hubungan antara kota dan desa, dll. Hubungan dalam sistem kapitalis semacam ini dikembangkan bersamaan dengan hubungan ekonomi yang disebutkan di atas—atau, kelompok E.1: dominasi neo-kapitalis, penjajahan dan penindasan setempat.
Dengan menerima klasifikasi semacam ini, dan menyadari keterbatasannya, kami mengartikan golongan kelas yang dihisap sebagai wilayah pinggiran yang didominasi oleh pusat. Penting untuk ditekankan bahwa ada pribadi-pribadi yang secara teori berada di pinggiran tapi dalam praktiknya malah membangun hubungan dominasi terhadap orang lain sehingga mereka menjadi pusat yang baru—kami tidak menganggap mereka sebagai bagian dari kelas tertindas. Oleh karena itu, semua perjuangan kelas-kelas tertindas pun perlu memiliki sudut pandang revolusioner, agar mereka tidak melulu menjadikan wilayah pinggiran menjadi bagian dari pusat yang baru.
Berangkat dari pengertian ini, ada dua cara berpikir mengenai perubahan sosial: pertama adalah cara otoritarian, yang dalam sejarah dipakai oleh penerus Marxisme (yang revolusioner atau reformis), dan yang kedua adalah cara libertarian, yang digunakan oleh kaum anarkis.
Kaum otoritarian, termasuk beberapa orang yang menyebut diri mereka anarkis, menganggap pusat sebagai sebuah alat, dan kemudian mengkiblatkan politik mereka ke arah tersebut. Bagi mereka, pusat—termasuk di dalamnya adalah: negara, partai, tentara, jabatan penguasa—adalah perangkat yang dapat dipakai untuk mencapai pembebasan masyarakat, dan “revolusi berarti pertama-tama harus merebut dulu pusat dan struktur kekuasaannya, atau menciptakan pusat yang baru”[10].
Pemahaman sesungguhnya kaum otoritarian didasarkan pada pusat, dan ketika menjelaskan proletariat industri sebagai subjek revolusioner bersejarah—yang dideskripsikan pada poin D dalam klasifikasi sebelumnya—mereka malah mengasingkan serta meminggirkan golongan lain dari kelas-kelas tertindas yang berada di pinggiran, misalnya seperti: buruh tani.
Kaum libertarian tidak menganggap pusat sebagai alat dan bahkan kukuh berjuang melawannya. Kaum libertarian membangun pola revolusioner dan strategi perjuangan mereka ke arah semua yang terpinggirkan—yaitu ke arah semua golongan yang dijelaskan di atas, dari poin A sampai poin E. Artinya, perihal tindakan perjuangan kelasnya, anarkisme menganggap unsur-unsur ini sebagai bagian dari kelas yang dieksploitasi: komunitas masyarakat tradisional, buruh tani, pengangguran, setengah pengangguran, tunawisma, dan golongan-golongan lainnya yang seringkali diabaikan kaum otoritarian. “Dengan demikian perjuangan akan dijalankan oleh seseorang yang benar-benar [merasakan] dampak dari sistem, dan karenanya mereka dengan segera [perlu] melenyapkannya”.[11] Kaum anarkis merangsang gerakan sosial di pinggiran dari akar rumput, dan dengan solidaritas berusaha membangun organisasi rakyat untuk memerangi tatanan yang ada, serta menciptakan masyarakat baru yang didasarkan pada kesetaraan dan kebebasan, di mana pengkelasan sosial tidak lagi dianggap masuk akal. Dalam perjuangan ini, kaum anarkis menggunakan cara yang di dalamnya terkandung benih-benih masyarakat masa depan.
Pemahaman kaum anarkis tentang kekuatan-kekuatan sosial di balik perubahan sosial jauh lebih umum dibandingkan rumusan kaum Marxis. Tidak seperti Marxisme, ia tidak memberikan peran khusus kepada kaum proletar industri. Dalam tulisan-tulisan anarkis, kita menemukan semua jenis pekerja dan kaum miskin, semua yang tertindas, semua yang entah bagaimana termasuk dalam kelompok atau wilayah pinggiran, dan karenanya merupakan unsur berpeluang dalam perjuangan revolusioner untuk perubahan sosial.[12]
Dengan pemahaman kekuatan revolusioner ini, kami menegaskan bahwa “semuanya menunjukkan bahwa di ‘pinggiran’, api revolusi tetap menyala”[13]. Oleh karena itu, kesimpulan kami adalah bahwa anarkisme harus selalu menautkan diri dengan yang terpinggirkan agar dapat menggarap rancangan perubahan sosialnya.
* Anarkisme di Brasil: Kehilangan dan Upaya Menemukan Kembali Vektor Sosial
“Kita adalah kesatria perang besar.
Semua pejuang saling ‘memahami’ bagaimana caranya berperang dan
memikul ‘tekad’, yang tanpanya tidak akan ada tindakan yang kompak.
Mereka yang ‘memahami’ hal ini tidak lagi
menjadi majikan atas kehendak diri mereka sepenuhnya,
mereka terikat oleh benang merah perjanjian yang ditandatangani.
Jika utas benang itu putus, perjanjian rusak,
Anarkisme muncul di Brasil pada abad kesembilan belas sebagai sebuah unsur yang mengganggu tatanan. Anarkisme berpengaruh pada sejumlah pemberontakan pada masanya—seperti Pemberontakan Praieira tahun 1848—dan pada lingkungan seni dan budaya serta pada pengalaman-pengalaman percobaan koloni pertanian di akhir abad ini. Koloni Cecilia (1890-1894) adalah yang paling terkenal dari pengalaman ini. Di abad yang sama, ada laporan tentang pemogokan, surat kabar pekerja, dan upaya-upaya awal untuk mengorganisir pusat-pusat perlawanan buruh.
Kemunculan apa yang kita sebut sebagai “vektor sosial anarkisme” dimulai pada awal tahun 1890-an, didorong oleh meningkatnya peleburan sosial anarkisme ke dalam serikat-serikat buruh, dan mencapai puncaknya pada dekade kedua abad ke-20.
Vektor sosial anarkisme adalah gerakan-gerakan rakyat dengan pengaruh anarkis yang kuat—terutama terkait dengan sisi praktiknya—terlepas di sektor mana ia terjadi. Pengerahan kekuatan rakyat ini adalah buah dari perjuangan kelas. Ia bukanlah gerakan anarkis sebab orang-orang berhimpun untuk tuntutan khusus. Misalnya, dalam serikat pekerja, para pekerja berjuang untuk mendapatkan gaji yang lebih baik; dalam gerakan tunawisma, mereka berjuang untuk tempat tinggal; dalam gerakan pengangguran, mereka berjuang untuk mendapatkan pekerjaan, dll. Namun, berbagai gerakan tersebut adalah ruang-ruang peleburan sosial anarkisme, yang pengaruhnya akan menganugerahi gerakan sosial dengan tindakan-tindakan paling bersemangat dan otonom, menggunakan aksi langsung dan demokrasi langsung, dengan pandangan tertuju pada perubahan sosial. Pengerahan demi pengerahan yang merupakan vektor sosial anarkisme terjadi dalam gerakan sosial, ruang yang kami anggap cocok untuk kerja sosial dan penghimpunan kekuatan, dan bukan sebagai massa yang harus diarahkan.
Di Brasil, vektor sosial anarkisme mulai berkembang pada akhir abad kesembilan belas dengan pertumbuhan jaringan penduduk di perkotaan. Seiring pertumbuhan industri yang juga berakibat pada tumbuhnya eksploitasi pekerja; para korban dari hari-hari yang melelahkan, kondisi kerja yang tidak sehat, dan upah rendah di pabrik-pabrik yang turut mempekerjakan anak. Demi mempertahankan kelas pekerja dari kondisi penindasan yang tidak tertahankan ini, bangkitlah beberapa organisasi buruh, kerusuhan, pemogokan, dan pemberontakan—kesemuanya menjadi semakin umum terjadi.
Bergeloranya perjuangan kelas di Brasil disebabkan oleh pemogokan para kusir tahun 1900, dan sejumlah mogok kerja tahun 1903, yang memuncak pada pemogokan umum yang diprakarsai para penenun, serta pemberontakan-pemberontakan yang memuncak pada Pemberontakan Vaksin tahun 1904. Pada tahun 1903, Federasi Asosiasi Kelas (Federação das Associações de Classe) didirikan di negara bagian Rio de Janeiro. Organisasi ini mengikuti bentuk sindikalis revolusioner CGT Prancis. Ia kemudian dipindahkan ke ibu kota dan namanya diubah menjadi Federasi Pekerja Regional Brasil (Federação Operária Regional Brasileira—FORB) pada tahun 1906. Ini terjadi setelah kunjungan anggota Federasi Pekerja Regional Argentina (Federación Obrera Regional Argentina—FORA) dan kampanye solidaritas dengan pekerja Rusia.
Pada 1904, bisa dibilang bahwa anarkisme mampu menampilkan dirinya sebagai alat perjuangan ideologis dan, “tidak diragukan lagi, sindikalisme revolusionerlah yang bertanggung jawab atas tercapainya vektor sosial anarkis pertama di pusat-pusat besar Brasil”[14]. Pada 1905 di São Paulo, pembuat sepatu, tukang roti, tukang kayu, dan pembuat topi mendirikan Federasi Buruh São Paulo (Federação Operária de São Paulo—FOSP). Pada tahun 1906, muncul Federasi Buruh Rio de Janeiro (Federação Operária do Rio de Janeiro—FORJ), yang pada 1917 memimpin Serikat Pekerja Umum (União Geral dos Trabalhadores—UGT) dan mempersatukan “serikat-serikat perlawanan (yang militan, berdaya tempur)”. Pada 1919, UGT menjadi Federasi Pekerja Rio de Janeiro (Federação dos Trabalhadores do Rio de Janeiro—FTRJ) dan, pada 1923, FORJ didirikan kembali.
Di bulan April 1906, Kongres Buruh Regional Brasil (Congresso Operário Regional Brasileiro), yang kemudian dikenal sebagai Kongres Buruh Brasil Pertama (Primeiro Congresso Operário Brasileiro), berlangsung di Rio de Janeiro dan dihadiri oleh sejumlah delegasi dari beberapa negara bagian Brasil yang mewakili beragam golongan. Kongres menyetujui kelekatannya dengan sindikalisme revolusioner Prancis, menerapkan netralitas gerakan buruh (dalam hal ideologi politik), federalisme, desentralisasi, anti-militerisme, anti-nasionalisme, aksi langsung, dan pemogokan umum. Kongres Kedua dan Ketiga berlangsung pada 1913 dan 1920. Pada 1908, Konfederasi Buruh Brasil (Confederação Operária Brasileira—COB) didirikan.
Pilihan sindikalisme revolusioner terjadi melalui pengerahan kekuatan (mobilisasi) di bidang ekonomi dan karena adanya tawaran federalisme yang menarik, yang memungkinkan otonomi serikat pekerja dalam federasi, dan otonomi federasi dalam konfederasi. Selain itu ada pengaruh internasional dari penerapan model ini di belahan dunia bagian lain. Cara-cara perjuangan dengan mengerahkan kekuatan massa seputar isu-isu jangka pendek berfungsi sebagai “gimnastik revolusioner”, yang dapat mempersiapkan kaum proletar untuk revolusi sosial.
jika ‘Kamu salah paham dan berhenti dari pertarungan bersama ini’,
Kamu melarikan diri dari perjuangan, Kamu meninggalkan kawan.”
José Oiticica
Kaum anarkis berharap bahwa dengan tindakan konkret, solidaritas, dan pengamatan atas pertentangan antara kapital dan buruh, yang terbukti dalam konflik, ada pelajaran besar yang bisa ditelaah para pekerja. Menurut mereka, itulah yang menjamin asas-asas ideologis diterima, bukan dengan khotbah atau buku petunjuk bertele-tele yang tercerabut dari pengalaman langsung, melainkan dengan praktik aksi revolusioner dan tindakan harian oleh massa.[15]
Selama dekade pertama abad ke-20, terhitung lebih dari seratus gerakan pemogokan terjadi, sebagian besar terjadi karena permasalahan gaji. Selama tahun 1917 hingga 1920, lebih dari dua ratus demonstrasi dan pemogokan terjadi di antara Rio de Janeiro dan São Paulo saja. Seluruh naik turunnya pengerahan ini terjadi dengan pengaruh kaum anarkis yang cukup besar, yang mencoba menjalankan propaganda mereka di serikat-serikat pekerja. Mereka tidak membatasi diri dalam ideologi anarkis—sebab serikat pekerja adalah untuk semua pekerja dan bukan hanya untuk pekerja anarkis saja—walaupun pekerja anarkis menggunakan serikat untuk menyebarkan gagasan-gagasan mereka.
Semua harapan ini diletakkan pada revolusi sosial, yang menjadi semakin nyata sejak pertengahan 1910-an, dan memuncak pada tiga pengerahan yang relevan. Pertama, pada 1917 yang kemudian dikenal sebagai Pemogokan Umum 1917, ketika para pekerja São Paulo, yang sebagian besar terorganisir di seputar Komite Pertahanan Proletar berjuang melawan kelaparan, melakukan sabotase, dan memboikot produk-produk dari pabrik Crespi, Matarazzo, dan Gamba. Beberapa pencapaian gerakan pemogokan antara lain adalah ketika tuntutan delapan jam kerja sehari dan kenaikan upah dimenangkan oleh berbagai sektor gerakan. Pada 1918, pengerahan berlanjut dan di Rio de Janeiro Pemberontakan Anarkis terjadi. Pemogokan terjadi di pabrik carioca (Rio de Janeiro) dan para pekerja menduduki Campo de São Cristóvão. Para pemberontak ini ingin menyita gedung-gedung pemerintah dan membangun soviet pertama di kota Rio de Janeiro. Akhirnya, pada 1919, Serikat Pekerja Konstruksi Sipil (União dos Operários em Construção Civil–UOCC) memperoleh pencapaian terbesarnya: memenangkan tuntutan delapan jam kerja sehari untuk seluruh sektor kerja. Selain itu, di luar Rio de Janeiro dan São Paulo, pengerahan yang penting terjadi di negara bagian lain di Brasil: Rio Grande do Sul, Paraná, Santa Catarina, Minas Gerais, Pernambuco, Alagoas, Paraíba, Bahia, Ceará, Pará dan Amazonas.
Bahkan, ada gerakan budaya besar yang bekerja sama dengan pengerahan serikat dan menjadi anasir penting: sekolah-sekolah rasionalis yang terinspirasi oleh kaidahnya (Francisco) Ferrer y Guardia, pusat-pusat sosial, teater pekerja, dan prakarsa lain yang menjadi landasan dalam menempa budaya kelas, dan menjadi pemersatu di waktu-waktu perjuangan.
Ketika perjuangan tengah meningkat, dibentuk pula dua organisasi politik dan ideologis anarkis yang berusaha bekerja dengan gerakan serikat. Yang pertama adalah Aliansi Anarkis Rio de Janeiro (Aliança Anarquista do Rio de Janeiro), didirikan pada 1918 karena adanya kebutuhan akan organisasi anarkis untuk bekerja di dalam serikat buruh, dan menjadi unsur penting bagi pemberontakan 1918. Namun, seiring terjadinya penindasan, Aliansi dibubarkan dan terhimpun kembali di bawah Partai Komunis pertama dengan cita-cita yang libertarian, yang didirikan pada 1919. Baik Aliansi Anarkis dan Partai Komunis menjadi tempat bergabungnya para anggota dari sektor anarkisme yang disebut “organisasionalis”, yang memahami perlunya membedakan aksi ke dalam dua tingkat kegiatan: 1.) tingkat politik, yang secara ideologis anarkis, dan 2.) tingkat sosial, seperti dalam pengerahan serikat buruh. Para militan ini memahami perlunya keberadaan organisasi yang secara spesifik anarkis untuk beraksi bersama serikat-serikat pekerja. Penting untuk ditekankan bahwa pada saat ini, kaum anarkis sudah sibuk berkegiatan dengan organisasi spesifik mereka.
Dapat kita katakan bahwa vektor sosial anarkisme terus meningkat hingga awal tahun 1920-an. Selanjutnya, secara perlahan anarkisme dan gerakan serikat buruh mulai diterpa krisis. Puncaknya adalah pada tahun 1930-an, pengerahan mulai tampak loyo dan vektor sosial ini mulai lenyap. Bagi kami, hilangnya vektor sosial anarkisme adalah hasil dari dua keadaan krisis: yang pertama karena situasi, dan yang kedua karena anarkisme itu sendiri.
Pertama, kala itu ada penindasan terhadap serikat pekerja dan anarkisme dengan disahkannya revisi ketiga Undang-Undang Adolfo Gordo tahun 1921. Aturan baru ini menyediakan jalan untuk menindas dan mendeportasi kaum anarkis. Ditambah lagi ada deportasi para militan ke koloni tahanan Clevelândia, yang kini terletak di negara bagian Amapá, antara tahun 1924 dan 1926. Selain itu, perjuangan sosial di seluruh dunia juga sedang surut seiring munculnya keputusasaan atas hasil perjuangan yang terjadi setelah Revolusi Rusia 1917. Faktor yang juga penting adalah ketika Perang Dunia Pertama berakhir dan pabrik-pabrik di Eropa berjalan lagi. Mereka kembali melakukan ekspor (termasuk ke Brasil) dan jumlah pekerja di wilayah perkotaan pun berkurang. Di saat bersamaan, Partai Komunis Brasil, yang didirikan pada 1922, sejak tahun 1924 mulai berselisih dengan serikat pekerja dan bersekutu dengan kaum reformis. Mereka mengusulkan keterlibatan dalam pemilihan umum sebagai bentuk ekspresi politiknya. Akhirnya, pemberangusan serikat pekerja oleh negara disahkan pada tahun 1930 dan 1931 oleh pemerintahan Vargas. Puncaknya adalah pada 1932, serikat pekerja secara resmi diwajibkan untuk mendapatkan persetujuan pemerintah dan wajib ikut aturan berkegiatan yang ditentukan oleh negara.
Kedua, perihal krisis anarkisme itu sendiri, utamanya ditandai oleh kebingungan mengenai tingkat aktivitas yang berbeda-beda. Serikat pekerja adalah vektor sosial dan sarana untuk beraksi yang akan mengarah pada sebuah tujuan—perwujudan revolusi sosial dan terbentuknya sosialisme libertarian. Namun, bagi banyak militan, serikat pekerja berakhir menjadi tujuan itu sendiri. Gejala ini telah menjadi perhatian dalam anarkisme dan menjadi topik perdebatan yang sengit antara Malatesta dan Monatte di Kongres Anarkis Internasional Amsterdam pada 1907. Monatte, pembela “sindikalisme murni”, melihat kesamaan besar antara sindikalisme dan anarkisme sehingga ia berpendapat bahwa “sindikalisme saja sudah cukup”[16]. Sementara Malatesta, dengan posisi yang sangat berbeda, menganggap sindikalisme sebagai “sebuah ruang yang sangat mendukung penyebaran propaganda revolusioner dan juga berfungsi sebagai titik pertemuan antara kaum anarkis dengan massa”[17]. Dengan demikian, Malatesta berpendapat perlunya dua tingkat kegiatan: satu, kegiatan yang secara politik anarkis, dan satunya lagi, kegiatan sosial di dalam serikat buruh, yang akan menjadi tempat bagi kaum anarkis untuk membaur.
Posisi Malatesta dan Monatte merangkum posisi kaum anarkis Brasil. Di satu sisi, sebagian kaum anarkis membela kebutuhan akan organisasi khusus anarkis, yang akan terus melakukan peleburan sosial dalam serikat-serikat. Di sisi lain, ada kaum anarkis yang telah meyakini militansi dalam serikat sebagai satu-satunya tugas mereka, dan kemudian “lupa membentuk kelompok-kelompok khusus (anarkis) yang mampu mendukung praktik revolusioner”[18].
Terkait peristiwa sosial pada awal abad ke-20 di atas, posisi kami sejalan dengan posisi Malatesta. Di Brasil, posisi ini diambil oleh José Oiticica, yang pada saat itu mempermasalahkan minimnya organisasi khusus anarkis. Pada tahun 1923, ia telah memperingatkan fakta bahwa kaum anarkis telah mendedikasikan diri sepenuhnya hanya pada kegiatan serikat dan meninggalkan kegiatan ideologis, tidak mampu lagi membedakan peran serikat, yang adalah sarana peleburan sosial, dengan tujuan yang ingin mereka capai. Baginya, penting untuk menciptakan “federasi anarkis di luar serikat-serikat buruh”[19]. Meskipun Aliansi tahun 1918 dan Partai tahun 1919 adalah kelompok atau federasi sejenis ini, mereka, sayangnya, tidak mumpuni untuk tugas yang hendak diwujudkan.
Bagi Oiticica, seperti yang telah kami jelaskan sedikit, penting pada saat itu untuk mengarahkan kekuatan menuju pembentukan berbagai kelompok anarkis yang “tertutup”, dengan program aksi dan komitmen yang jelas, yang dipikul dalam diam oleh para militannya.[20] “Sentralisasi” kekuatan-kekuatan anarkis dalam perjuangan melawan borjuasi, lanjutnya, harus dibedakan dengan “desentralisasi” yang khas organisasi libertarian. Dia kemudian menegaskan dua langkah mendesak untuk efisiensi aksi anarkis: “penyaringan militan dan pemfokusan kekuatan”. Dan ia menyimpulkan: “Hanya ini yang akan memberikan kita kesatuan tindakan”.[21]
Kami percaya bahwa ketiadaan organisasi anarkis dalam mendukung perjuangan kelas, yang pada saat itu paling terwujud dalam serikat buruh, juga sangat bertanggung jawab atas hilangnya vektor sosial anarkisme. Akibat organisasi ideologis tidak terbentuk, situasi krisis serikat pada akhirnya meluas menjadi krisis anarkisme itu sendiri. Dengan demikian, krisis di tingkat sosial juga akan berimbas ke tingkat politik karena pada saat itu tidak ada pemisahan nyata antara keduanya.
Bagi kami wajar jika tingkat sosial, yang pada saat itu diwakili oleh serikat buruh, mengalami pasang surut, kala naik dan turun. Organisasi khusus anarkis berfungsi justru untuk mengumpulkan berbagai hasil dari perjuangan tersebut dan terkadang untuk mencari ruang-ruang lain untuk berkegiatan, ruang lain untuk membaur. Masalahnya adalah, tanpa organisasi anarkis, ketika tingkat sosial—atau salah satu bidang tingkat sosial—memasuki krisis, kaum anarkis tidak mampu menemukan ruang lain untuk peleburan sosial.
Begitu vektor sosial hilang, dan tanpa organisasi khusus yang mampu mempertahankan perjuangan ideologis dengan tempo yang lebih panjang, mustahil bagi kaum anarkis untuk sesegera mungkin menemukan ruang lain untuk peleburan [...] Pencapaian yang diraih dengan masuknya (kaum anarkis) ke dalam serikat-serikat buruh sangat mungkin telah membuat mereka terlampau percaya diri bahwa potensi berbagai asosiasi kelas tidak akan pernah habis atau bahkan lebih unggul dari keadaan yang berubah-ubah.[22]
Dengan demikian, krisis dalam gerakan sindikalisme revolusioner juga mencerabut vektor sosial dari kaum anarkis. Akibatnya, para anarkis kemudian mulai “menghimpun diri mereka ke dalam kelompok-kelompok budaya untuk melestarikan ingatan”[23].
“Kekayaan segelintir orang dibuat dengan kesengsaraan orang lain.” Peter Kropotkin
“Bagi mereka yang berkuasa, musuhnya adalah rakyat biasa.” Pierre-Joseph ProudhonKapitalisme sebagai sebuah sistem telah berkembang sejak akhir Abad Pertengahan dan dimapankan pada abad ke-18 dan ke-19 di Eropa Barat. Ia membentuk dirinya sendiri sebagai sebuah sistem ekonomi, politik, dan sosial, yang mendasarkan diri pada hubungan antar dua kelas yang saling bertentangan. Di satu sisi, ada kelas yang disebut “borjuasi”, yang akan kita sebut dalam naskah ini sebagai “kapitalis”, yakni pemegang kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi,[26] yang mengikat kontrak dengan pekerja untuk tenaga kerja yang diupah. Di sisi lain, ada yang disebut “proletariat”,[27] yang akan kita sebut dalam naskah ini sebagai “pekerja”, yaitu orang-orang yang tidak memiliki apa pun selain kekuatan tenaga kerjanya, dan harus menjual tenaga kerja tersebut demi imbalan upah. Seperti yang telah kami tekankan sebelumnya, para pekerja upahan—yang merupakan objek analisis klasik sosialis abad kesembilan belas, bagi kami saat ini hanyalah satu dari banyak golongan kelas yang dieksploitasi. Tujuan para kapitalis adalah memproduksi barang dan mendapatkan keuntungan. “Perusahaan (kapitalis) tidak peduli dengan kebutuhan masyarakat. Satu-satunya tujuan mereka adalah untuk meningkatkan keuntungan pemilik bisnis”.[28] Dengan sistem kerja upahan, para kapitalis membayar pekerja seminimal mungkin dan mengambil semua surplus hasil kerja mereka, yang disebut dengan nilai lebih. Hal ini terjadi karena kaum kapitalis harus mengeluarkan biaya serendah mungkin, dengan modal sesedikit mungkin, untuk meningkatkan keuntungan mereka. Mereka menjual hasil produknya semahal mungkin dari harga pasar, sehingga yang mereka dapatkan selalu lebih tinggi dari yang mereka keluarkan—kesenjangan antara pendapatan dan pengeluaran ini disebut keuntungan (profit). Untuk menekan biaya, dan akhirnya meningkatkan keuntungan, para kapitalis menyiapkan berbagai tindak lanjut. Salah satu tindak lanjutnya adalah dengan meningkatkan produktivitas dan menurunkan biaya produksi. Ada beberapa cara untuk melakukannya, seperti: memaksakan beban kerja yang lebih banyak pada para pekerja dan memotong upah pekerja. Hubungan antara kapitalis dan pekerja menghasilkan ketidaksetaraan sosial, salah satu kejahatan besar masyarakat tempat kita hidup saat ini. Hal ini telah dinyatakan oleh Proudhon, ketika ia menyelidiki masalah ini sejak abad ke-19:
Saya telah menegaskan bahwa semua penyebab ketidaksetaraan sosial dapat dikerucutkan menjadi tiga: 1) perampasan kekuatan kolektif, 2) ketidaksetaraan dalam perdagangan, 3) hak untuk mendapatkan keuntungan. Dan, karena ketiga cara perampasan milik orang lain ini pada dasarnya dibangun di atas penguasaan properti, saya menolak keabsahan properti dan menyatakan identitasnya sebagai pencurian.[29]Bagi kami, properti pribadi, seperti yang Proudhon tuliskan, adalah pencurian, sebab sistem kerja upahan telah memberikan surplus hasil tenaga kerja buruh kepada kaum kapitalis. “Setelah membuat buruh terjerumus ke dalam riba, [hak kepemilikan properti] membunuh mereka perlahan dengan kelelahan”.[30] Selain menjadi sistem yang menciptakan dan mempertahankan ketidaksetaraan sosial, kapitalisme dilandaskan pada dominasi dan eksploitasi yang ia hasilkan. Dominasi ada ketika seseorang atau sekelompok orang menggunakan “kekuatan sosial dan waktu orang lain, untuk mencapai tujuan si pendominasi—yang berbeda dengan tujuan si subjek yang ditundukkan”[31]. Ciri khas sistem kapitalis adalah adanya pemanfaatan tenaga kerja buruh untuk memperkaya kaum kapitalis. Oleh karena itu, kapitalisme merupakan sistem yang dominatif dan eksploitatif karena keberadaannya “menandakan adanya kemampuan dan hak untuk hidup dari eksploitasi tenaga kerja orang lain, hak untuk mengeksploitasi tenaga kerja orang-orang yang tidak memiliki properti atau modal, dan yang terpaksa menjual kekuatan produktif mereka kepada pemilik yang beruntung memiliki keduanya (properti maupun modal)”[32]. Di dalam pasar, hubungan antara modal dan tenaga kerja tidaklah setara, sebab kaum kapitalis pergi ke pasar untuk mendapatkan keuntungan, sementara para pekerja terpaksa melakukannya karena perlu bekerja. Tanpa bekerja, kaum pekerja berisiko mengalami kekurangan dan tidak memiliki kondisi hidup yang layak. Pertemuan ini adalah sebuah “pertemuan antara prakarsa demi keuntungan dan, di pihak yang lain, prakarsa demi keluar dari kelaparan—pertemuan antara tuan dan budak”[33]. Selain itu, pengangguran pun terjadi karena para kapitalis melihat jumlah pekerja yang melimpah di pasar. Ada lebih banyak pasokan pekerja daripada permintaan (untuk pekerja):
[…] pemukiman miskin di kota dan pedesaan penuh dengan manusia malang yang anak-anaknya menangis di depan piring kosong. Begitulah, bahkan ketika pabrik belum selesai dibangun, para pekerja sudah datang untuk meminta pekerjaan. Seratus tenaga kerja dibutuhkan, tetapi yang hadir seribu orang.[34]Dengan demikian, kaum kapitalis merasa pantas untuk memaksakan kondisi kerja. Para pekerja pun menerimanya, sebab “mereka takut menerima kenyataan bahwa dirinya bisa digantikan oleh yang lain dan akhirnya menjual dirinya sendiri dengan harga terendah. […] Begitu menyadari bahwa dirinya hidup dalam kemiskinan, para pekerja terpaksa menjual tenaga kerjanya dengan imbalan upah yang teramat kecil, dan akibat menjual tenaganya dengan sangat murah, mereka pun tenggelam dalam penderitaan yang semakin menjadi-jadi”[35]. Sebagai sistem yang kompleks, kapitalisme menggabungkan berbagai bentuk produksi dan kelas-kelas sosial. Petani, kendatipun merupakan bagian dari proses produksi pra-kapitalis, masih tunduk pada tuntutan persaingan di pasar kapitalis: mereka masih perlu membeli elemen-elemen pokok yang dijual di pasar kapitalis agar dapat tetap berproduksi. Dalam dunia kompetisi, karena kesulitan soal produksi dan teknologi, para petani berada dalam posisi yang kurang beruntung dibandingkan dengan perusahaan agribisnis besar. Ada juga petani yang menjual tenaga kerja mereka, yang kami anggap sebagai buruh pedesaan dalam sistem kapitalis tradisional. Jadi, seperti yang telah kami bahas, petani juga merupakan bagian dari kelompok kelas yang dieksploitasi. Kapitalisme bahkan seharusnya tidak dibagi hanya ke dalam dua kelas besar—kaum kapitalis dan kaum pekerja—, sebab sebenarnya ada tiga kelas di dalamnya. Kelas ketiga disebut “kelas manajerial”, yang bertanggung jawab untuk mengendalikan sisi-sisi penting dari kapitalisme dan mewujudkan sisi penting lain dari kapitalisme, yaitu pembagian kerja yang hierarkis. Sepanjang sejarah kapitalisme, kelas manajerial ini semakin menjadi bagian dari kelas kapitalis, khususnya karena kepentingan yang mereka bela selama proses perjuangan kelas. Saat ini, sosok borjuis tradisional, sang pemilik, menjadi semakin tidak umum. Kuasa atas perusahaan-perusahaan saat ini dilakukan oleh para manajer, sementara para pemiliknya semakin berbentuk kelompok multinasional atau bahkan para pemegang saham yang tidak diketahui nama-namanya. Hari ini, sebagian besar kelas manajer adalah bagian dari kelompok kapitalis, atau yang juga kita sebut sebagai kelas penguasa. Ada juga aktor lain di pasar kapitalis seperti pekerja di sektor perdagangan dan jasa, yang mendistribusikan produk-produk perusahaan kapitalis atau melakukan suatu pekerjaan untuk mereka. Kedua sektor tersebut kurang lebih mengikuti nalar kapitalisme dan juga berperan dalam persaingan pasar: mereka menopang keberadaan sang pemilik, seringkali juga dengan menggunakan tenaga kerja upahan, turut menikmati hasil dari hubungan yang tidak adil antara modal dan tenaga kerja, dan berniat untuk melipatgandakan keuntungan. Sebagai sistem yang menghasilkan ketidakadilan, kapitalisme memisahkan kerja manual dan kerja intelektual. Pemisahan ini merupakan hasil dari (hak istimewa) warisan dan juga pendidikan, karena ada perbedaan pendidikan untuk si kaya dan si miskin. Jadi:
[…] selama ada dua atau lebih tingkat pendidikan untuk lapisan masyarakat yang berbeda-beda, (masyarakat tersebut) pasti akan memiliki kelas-kelas, artinya: hak istimewa politik dan ekonomi adalah untuk segelintir orang yang beruntung, sementara perbudakan dan kesengsaraan untuk mayoritas orang lainnya.[36]Sepanjang sejarahnya, kapitalisme telah berkembang dan terlibat dalam struktur politik negara-negara Eropa pada akhir abad kesembilan belas. Kapitalisme melahirkan imperialisme dan saat ini mencapai tahap ekspansinya, yang dapat disebut sebagai globalisasi ekonomi. Menurut analisis Subcomandante Marcos dari Tentara Zapatista: “Ini bukan lagi kekuasaan imperialis dalam pengertian klasik, yang mendominasi seluruh dunia, tetapi sebuah kekuasaan ekstra-nasional baru”.[37] Secara umum, globalisasi ekonomi dicirikan dengan adanya integrasi proses-proses produksi, distribusi, dan pertukaran dalam lingkup global. Produksi dilakukan di beberapa negara, barang diimpor dan diekspor dalam jumlah sangat besar dan melewati jarak yang sangat jauh. Dipantik sejak 1970-an dan 1980-an, “globalisasi” menyebar luas ke seluruh dunia, “dari sudut pandang ideologis, filosofis, dan teoretis, ia mendasarkan dirinya pada asas neoliberalisme”[38], yang menganjurkan adanya pasar bebas dengan sesedikit mungkin campur tangan negara. Gagasan dasarnya adalah bahwa kapital memerlukan tempat dengan kondisi terbaik untuk reproduksinya. Karena produksi tentu membutuhkan tenaga para pekerja, maka perusahaan-perusahaan kapitalis melakukan migrasi bidang produksinya ke negeri-negeri dengan “biaya produksi” yang lebih rendah, yaitu negara dengan undang-undang ketenagakerjaan yang lemah, gerakan lingkungan hidup yang lemah, organisasi serikat buruh yang lemah, tingkat pengangguran tinggi, dan lainnya. Singkat kata, perusahaan mencari negara atau wilayah di mana eksploitasi dapat dilakukan tanpa intervensi negara sehingga memungkinkan mereka untuk membayar sesuka hati tanpa ada kewajiban untuk memberikan tunjangan kepada para pekerjanya. Pekerja dapat diberhentikan kapan pun si kapitalis mau dan bahwa selalu ada lebih banyak pekerja yang akan mengisi posisi tersebut sehingga biaya produksi menjadi semakin rendah dan lebih rendah lagi. Pekerjaan dengan kondisi yang tidak pasti (pekerja lepas/outsource) diperbanyak dan digalakkan. Sistem ini, di satu sisi bisa saja memperlakukan pengangguran dengan lebih baik. Tapi di sisi lain ia memungkinkan adanya pemerasan, di mana kerentanan kerja terpaksa diterima, dan organisasi buruh semakin dikendalikan penguasa serta terdesak ke pinggiran. Seperti dijelaskan oleh Chomsky:
Konsep ‘efisiensi’ dan ‘ekonomi sehat’, yang merupakan kesukaan orang kaya dan kaum yang memiliki hak istimewa, tidak memiliki apa pun untuk ditawarkan pada sektor populasi yang sedang bertumbuh, yaitu orang-orang tidak berpunya, yang terdorong ke dalam kemiskinan dan keputusasaan. Jika mereka tidak dapat dikurung di perkampungan kumuh, mereka harus dikendalikan dengan cara lain.[39]Neoliberalisme—yang merangsang kebebasan aliran modal, dan bukan kebebasan gerakan rakyat ataupun perbaikan kondisi kerja—mempertanyakan kembali seluruh tuntutan “kesejahteraan” yang diserukan pada negara selama mobilisasi besar yang menandai dunia pada abad kesembilan belas dan keduapuluh. Kapitalisme telah mencari ruang baru, memperluas dirinya baik secara internal maupun eksternal, menciptakan perusahaan-perusahaan kapitalis baru melalui privatisasi, dan memelihara kebutuhan-kebutuhan palsu dengan cara mengiklankan hal-hal yang tidak sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat. “Asas neoliberal, terlepas dari apa pun anggapan orang tentangnya, telah merusak pendidikan dan kesehatan, meningkatkan ketimpangan sosial, dan mengurangi hak tenaga kerja dalam distribusi pendapatan”.[40] Kapitalisme kontemporer juga bertanggung jawab atas krisis ekologi besar yang melanda dunia saat ini. Didorong oleh nalar keuntungan, perusahaan-perusahaan swasta bertanggung jawab dalam memperluas hierarki kelas ke dalam relasi manusia dengan lingkungan. Polusi, penggundulan hutan, pemanasan global, pemusnahan spesies langka, dan ketidakseimbangan rantai makanan hanyalah akibat-akibat dari hubungan hierarkis ini.
Hierarki, kelas-kelas (sosial), sistem properti, dan lembaga politik, yang muncul bersamaan dengan dominasi sosial, secara konseptual dipindahkan ke hubungan antara manusia dan alam. Alam juga semakin dilihat sebagai sumber daya belaka, sebuah objek, bahan mentah yang bisa dieksploitasi seenak jidat, layaknya budak di perkebunan besar.[41]Negara Brasil sudah terintegrasi dengan baik ke dalam logika global ini akibat kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahnya di masa lalu. Brasil juga mengalami dampak global dari tahap baru kapitalisme ini.
…untuk memusnahkan kemerdekaan kota-kota, merampok gilda-gilda[43] kaum pedagang dan seniman kaya, memusatkan perdagangan eksternal di tangan mereka dan kemudian menghancurkannya. Negara merebut seluruh administrasi internal gilda dan menundukkannya pada perdagangan dalam negeri, serta pembuatan segala sesuatu, hingga ke detail terkecil, diserahkan ke tangan para pejabat yang tidak transparan. Dengan cara ini mereka membunuh perindustrian dan seni; menguasai milisi-milisi lokal dan seluruh administrasi kota; dengan pajak, kaum lemah dipaksa menguntungkan yang kaya, dan menghancurkan negeri dengan peperangan.[44]Setelah Revolusi Industri muncullah sesuatu yang disebut sebagai “masalah sosial”, yang memaksa negara untuk mengembangkan program bantuan sosial demi meminimalkan dampak kapitalisme pada pekerja. Pada akhir abad ke-19, muncul pemahaman negara yang lebih intervensionis (berkewajiban campur tangan) sebagai ganti dari liberalisme. Negara semacam ini, di satu sisi berusaha menciptakan kebijakan "kesejahteraan sosial", tapi di sisi lain menerapkan metode-metode untuk menahan laju prakarsa sosialis, yang cukup kuat pada masa itu. Saat ini, negara memiliki dua tujuan mendasar: yang pertama, menjamin kondisi bagi produksi dan reproduksi kapitalisme, dan yang kedua, menjamin keabsahan dan kendalinya. Karena alasan inilah, saat ini negara merupakan pilar penyangga yang kuat bagi kapitalisme. Negara melampaui ruang lingkup politiknya dan berfungsi sebagai kaki tangan ekonomi kapitalisme. Negara berusaha mencegah atau meminimalkan dampak krisis atau penurunan tingkat keuntungan kapitalisme. Hal ini dilakukannya dengan beberapa cara: memberikan pinjaman kepada bidang-bidang ekonomi utama, memberikan insentif pada pengembangan bidang-bidang ekonomi, memutihkan utang, merumuskan ulang sistem impor/ekspor, mensubsidi produk, menghasilkan pendapatan melalui penjualan produk dari perusahaan milik negara, dll. Program bantuan juga memiliki peran penting karena meningkatkan daya beli sektor masyarakat, menggerakkan dan menghangatkan ekonomi kapitalis. Selain itu, negara menciptakan undang-undang yang bertujuan untuk menjamin akumulasi jangka panjang kaum kapitalis dan memastikan bahwa rasa haus kapitalis akan keuntungan tidak sampai membahayakan sistem itu sendiri. Proses sejarah mencatat bahwa sebuah sistem tidak mungkin mempertahankan dirinya dengan hanya bergantung pada represi. Negara mempertahankan dirinya dengan cara represif selama bertahun-tahun, tapi secara bertahap ia pun harus memodifikasi diri demi terjaminnya pembenaran kapitalisme. Suatu negara yang secara terang-terangan membela posisi kapitalis dapat memperbesar perjuangan kelas. Oleh karena itu dari sudut pandang kapitalis tidak ada jalan yang lebih baik selain memberi kesan tidak berpihak pada negara. Ini seolah-olah membuat negara terlihat independen—atau bahkan otonom—dalam hubungannya dengan kelas penguasa atau dengan kapitalisme itu sendiri. Ketika negara mengembangkan kebijakan yang mendukung kelas-kelas yang dieksploitasi, tujuannya adalah selalu untuk meredam perjuangan kelas. Dalam kondisi kehidupan yang lebih baik, kemungkinan radikalisasi akan berkurang. Di sisi lain, gerakan buruh yang terorganisir mampu memaksa negara untuk mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan pekerja dan bahkan merugikan kaum kapitalis. Sama halnya dengan demokrasi perwakilan, bagi negara, langkah-langkah untuk memperbaiki kondisi buruh selalu berfungsi sebagai alat ideologis untuk menyebarkan gagasan netralitas, kemandirian, dan otonomi negara. Namun, kita harus mempelajarinya dan menunjukkan bahwa, sebagaimana negara berkewajiban untuk menjamin hal-hal yang diklaimnya ini, seringkali ada ruang bagi para pekerja yang terorganisir untuk memaksakan kebijakan yang menguntungkan pekerja. Oleh karena itu, kita perlu:
[...] merebut segala perbaikan-perbaikan politik dan ekonomi (dari pemerintah dan kapitalis), yang dapat mempermudah kondisi perjuangan dan meningkatkan jumlah orang yang berjuang dengan kesadaran penuh. Oleh karena itu, kita perlu merebut kondisi tersebut dengan cara-cara yang tidak menunjukkan pengakuan terhadap tatanan saat ini dan yang dapat mempersiapkan jalan untuk masa depan.[45]Meski begitu, perlu diingat bahwa negara, sebagai pilar penyangga yang kuat bagi kapitalisme, akan selalu berusaha untuk menopangnya. Dan jika kapitalisme adalah sistem eksploitasi dan dominasi, negara tidak bisa berbuat apa pun kecuali mempertahankan hubungan-hubungan kelas yang ada di dalamnya. Dengan cara ini, negara membela kaum kapitalis dan merugikan kaum pekerja, yang hanya memiliki “tangan mereka sebagai harta, dan tidak berharap apa pun dari negara sebab mereka tidak menemukan apa pun darinya selain sebuah organisasi yang dirancang untuk menghalangi pembebasan kelas pekerja dengan segala cara”[46]. Setiap upaya yang dilakukan oleh kelas yang dieksploitasi untuk mengubah sistem akan berhadapan dengan represi keji oleh negara. Ketika ideologi tidak lagi berfungsi, represi dan kekuasaan negara akan dikerahkan. Negara memonopoli penggunaan kekerasan di dalam masyarakat, maka kekerasan akan selalu digunakan untuk menegakkan hukum, dan karena hukum dibuat untuk menjaga hak istimewa kaum kapitalis, maka represi dan kendali negara akan selalu demi menjaga “ketertiban”. Artinya, untuk menjaga hak istimewa kapitalisme dan mempertahankan dominasi kelas penguasa. Jika ada secuil tanda-tanda ancaman dari kelas yang dieksploitasi, negara akan menindasnya secara brutal. Tujuannya selalu untuk melanggengkan sistem, dan kekerasan menjadi salah satu penopang utamanya. Berlawanan dengan apa yang diyakini (dan masih diyakini) oleh kaum sosialis-otoritarian, negara bukanlah organisme yang netral, yang dapat melayani kepentingan baik kaum kapitalis maupun pekerja. Para anarkis telah menulis begitu banyak tentang negara. Wajar, sebab kritik terhadap kapitalisme adalah hal yang disepakati baik oleh kaum sosialis-libertarian maupun sosialis-otoritarian—perbedaan mereka adalah di persoalan negara. Kaum otoritarian mendukung perebutan kekuasaan negara dan penerapan kediktatoran proletariat sebagai tahap transisi, yang secara keliru disebut sosialisme—sebuah masa di antara kapitalisme dan komunisme. Namun, “sosialisme” yang mereka maksud adalah bentuk pemerintahan di mana minoritas memerintah mayoritas, yang “secara langsung dan pasti, berimbas pada semakin kokohnya keistimewaan politik dan ekonomi segelintir orang yang memerintah, dan perbudakan ekonomi dan politik bagi rakyat jelata”[47]. Sementara kami sosialis libertarian bersiteguh bahwa,
[...] tidak ada negara—sedemokratis apa pun bentuknya, bahkan republik politik paling kiri sekalipun, yang terkenal karena mengklaim dirinya perwakilan rakyat dan berdusta dapat memberikan rakyat apa yang mereka butuhkan: yaitu organisasi yang bebas untuk memperjuangkan kepentingan mereka, dari bawah-ke-atas, tanpa adanya campur tangan kaum perantara ataupun paksaan dari atas. Sebab semua negara, bahkan yang paling republikan dan demokratis sekalipun, bahkan yang mengaku pro-rakyat [...] pada dasarnya tetap adalah pemerintahan dari atas-ke-bawah, yang dipimpin oleh seorang cendekiawan, dan tentunya minoritas dengan hak istimewa, yang mengaku memahami kepentingan rakyat melebihi rakyat itu sendiri.[48]Posisi libertarian, yang kami pegang saat ini, bermaksud membangun sosialisme. Negara harus dihancurkan bersamaan dengan kapitalisme melalui revolusi sosial, sebab “siapa pun yang mengatakan ‘negara’ berarti juga sedang mengatakan ‘dominasi’, yang mengakibatkan adanya perbudakan. Negara tanpa perbudakan, baik yang terang-terangan atau yang disembunyikan, adalah kemustahilan. Inilah mengapa kami adalah musuh negara”[49]. Negara menganggap dirinya memahami kebutuhan masyarakat lebih daripada masyarakat itu sendiri. Negara mendukung bentuk pengelolaan masyarakat yang hierarkis, sebuah cara agar suatu kelas sosial yang memegang kendalinya dapat mendominasi kelas-kelas lain yang tidak menjadi bagian dari struktur negara. Semua negara menciptakan hubungan dominasi, eksploitasi, kekerasan, perang, pembantaian, dan penyiksaan, dengan dalih melindungi “warga negara”. Negara juga menundukkan
provinsi dan kota yang dicaploknya, padahal sebagai kelompok-kelompok alamiah mereka semestinya menikmati otonomi penuh dan utuh. (Di bawah negara) mereka akan diperintah dan diatur, bukan lagi oleh diri mereka sendiri sebagaimana selayaknya asosiasi-asosiasi provinsi dan kota, melainkan oleh otoritas pusat dan sebagai populasi yang ditaklukkan.[50]Dengan cara yang sama seperti sosialisme-kediktatoran, demokrasi perwakilan menyatakan bahwa perubahan bisa terjadi melalui negara. Ketika mendelegasikan hak berpolitik kita[51] kepada kelas politisi yang masuk ke sistem negara untuk mewakili kita, kita sebenarnya sedang memberikan mandat tanpa kontrol apa pun kepada orang-orang yang akan membuat keputusan untuk kita. Ada pembagian yang jelas antara kelas yang berpolitik dan kelas-kelas lain yang mematuhinya. Sejak awal sudah bisa dipastikan bahwa demokrasi perwakilan mengasingkan kita secara politis, sebab ia memisahkan rakyat dari orang-orang yang berpolitik atas nama rakyat: anggota dewan, deputi, senator, walikota, gubernur, dan sebagainya. Semakin besar tanggung jawab kaum politisi atas politik, semakin sedikit keterlibatan rakyat dalam politik, sekaligus semakin terasing serta menjauh rakyat dari proses pengambilan keputusan. Kondisi ini jelas mengutuk rakyat menjadi sekedar penonton dan bukan lagi “tuan atas dirinya sendiri” yang bertanggung jawab langsung pada pemecahan masalah mereka sendiri. Oleh karena itu, “pembebasan proletariat [...]” adalah hal yang “mustahil terjadi di negara mana pun, dan bahwa syarat pertama dari emansipasi ini adalah penghancuran semua negara”[52]. “Politikus” mewakili hierarki dan pemisahan antara yang memimpin dan yang dipimpin, di dalam dan di luar partai mereka. Untuk terpilih, partai politik harus memperoleh jumlah suara yang banyak dalam pemungutan suara, dan untuk itu ia perlu memilih sejumlah besar kandidat. Para politisi ini kemudian diperlakukan sebagai komoditas untuk diperjualbelikan di “pasar elektoral.” Agar bisa berkembang, partai melakukan segalanya—menggelapkan uang, menelantarkan program, bersekutu dengan siapa pun, dll. “Politikus” tidak berpolitik berdasarkan kehendak rakyat. Mereka membuat keputusan-keputusan yang menguntungkan partai dan kepentingannya sendiri, dan dari hari ke hari mereka semakin kecanduan kekuasaan. Akhirnya, politisi dan partai ingin mempertahankan posisi dan kekuasaan mereka, yang lambat laun menjadi satu-satunya tujuan mereka. Perdebatan mengenai isu-isu penting masyarakat dibatasi jumlahnya, bahkan tidak disinggung atau tidak pernah menjadi yang utama, sebab parlemen dan negara itu sendiri adalah pilar kapitalisme sehingga ia tidak akan membiarkan akarnya diubah. Demokrasi perwakilan menjadi konservatif, membatasi bahkan kemajuan kecil yang dapat terjadi. Untuk alasan ini kita tidak boleh mendelegasikan politik kepada:
[...] orang-orang tanpa pendirian, yang dapat berganti kostum liberal atau konservatif sewaktu-waktu, yang diizinkan untuk mempengaruhi (rakyat) dengan janji-janji, jabatan, sanjungan, atau kepanikan—kelompok kecil yang bukan siapa-siapa inilah yang dengan suaranya memutuskan semua persoalan negeri. Merekalah yang menjadikan atau menangguhkan hukum. Merekalah yang mendukung atau membubarkan kementerian dan mengubah arah politik.[53]Kritik terhadap negara ini tidak hanya menunjuk pada satu bentuk negara saja, ia berlaku untuk semua bentuk negara. Oleh karena itu, setiap proyek perubahan sosial yang mengarah pada revolusi sosial dan sosialisme libertarian harus memiliki tujuan mengakhiri kapitalisme dan juga negara. Meskipun kami berpendapat bahwa negara adalah salah satu pilar kapitalisme terkuat, kami tidak percaya bahwa dengan berakhirnya kapitalisme, negara juga akan lenyap dengan sendirinya. Hari ini, sebaiknya kita tidak membingungkan diri kita sendiri dengan keadaan abad kesembilan belas, saat kaum sosialis berselisih pendapat mengenai persoalan negara—dan untuk inilah kami juga menulis dengan tegas tentang topik ini—ataupun dengan keadaan Eropa pada saat itu. Kami memahami bahwa ada kondisi khusus di Brasil, dan jika kita ingin menerapkan kritik ini kepada negara saat ini, kita pun harus memahami bahwa kenyataan kita memiliki ciri khas dan bahwa kiblat ekonomi dunia berpengaruh besar pada bentuk negara di mana kita hidup. Akhirnya, satu hal yang pasti: kapitalisme dan negara hingga hari ini masih merupakan fondasi bagi dominasi dan eksploitasi masyarakat kita, “sebuah masalah universal bagi semua negeri di dunia yang beradab”[54]. Oleh karena itu, cita-cita kita tetaplah “pembebasan yang jelas dan menyeluruh [...] dari eksploitasi ekonomi dan penindasan negara”[55]. * Tujuan Akhir: Revolusi Sosial dan Sosialisme Libertarian
“Kita membawa dunia baru di dalam hati kita.” Buenaventura Durruti
“Proyek politik dan sosial anarkisme adalah penciptaan sebuah masyarakat merdeka dan anti-otoritarian yang memelihara kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas antar setiap anggota masyarakatnya.” Nestor Makhno
“Tapi revolusi yang universal adalah revolusi sosial: revolusi serentak rakyat di pedesaan dan perkotaan. Inilah mengapa kita perlu berorganisasi–karena tanpa persiapan organisasi, elemen-elemen terkuat pun mandul dan tidak berguna.” Mikhail BakuninSetelah melakukan pemeriksaan singkat atas masyarakat dominasi dan eksploitasi saat ini, kami menegaskan dua tujuan yang kami anggap sebagai hal yang menentukan: revolusi sosial[56] dan sosialisme libertarian. Tujuan dari revolusi sosial adalah untuk menghancurkan masyarakat eksploitasi dan dominasi, sementara sosialisme libertarian adalah yang memberi makna konstruktif pada revolusi sosial. Penghancuran—sebagai konsep negasi, dan pembangunan—sebagai konsep usulan, membentuk perubahan sosial yang berpengaruh dan dapat diwujudkan, inilah yang kami usulkan. “Tidak akan ada revolusi tanpa penghancuran yang mendalam dan penuh gairah, penghancuran yang membebaskan dan bermanfaat, sebab darinya, dan hanya dengannya, dunia baru dapat diciptakan dan dilahirkan”.[57] Namun, kehancuran saja tidak cukup, karena “tiada seorang pun menginginkan kehancuran tanpa setidaknya memiliki secuil khayalan, entah benar atau tidak, tentang tatanan yang menurut mereka lebih baik untuk menggantikan tatanan yang ada sekarang”[58]. Revolusi sosial adalah salah satu hasil yang dapat muncul dari perjuangan kelas, sebuah perubahan yang dilakukan dengan kekerasan atas tatanan sosial yang sudah mapan, dan yang kami pandang sebagai satu-satunya cara untuk mengakhiri dominasi dan eksploitasi. Revolusi sosial berbeda dari revolusi politik kaum Jacobin dan Leninis, yang mendukung perubahan “tatanan” dengan mengambil alih kekuasaan negara, menukar sekelompok minoritas pengatur dengan sekelompok minoritas pengatur lainnya. Seperti yang kami tekankan sebelumnya, negara, bagi kami, bukanlah sarana pembebasan kelas-kelas tertindas. Negara juga tidak bisa direbut dari tangan kaum kapitalis oleh sekelompok pelopor yang bertindak atas nama proletariat, bahkan walaupun mereka menggunakan cara-cara revolusioner. Revolusi politik demi kesetaraan, seperti Revolusi Prancis atau Revolusi Rusia, yang tidak menghentikan kehadiran negara, pada akhirnya menjadi sebuah revolusi borjuis dan berakhir “dengan sukses masuk ke dalam eksploitasi baru, yang mungkin lebih cerdik dan lebih munafik, tapi tidak mengurangi penindasan kaum borjuasi terhadap kaum proletar“[59]. Tidak seperti revolusi politik, revolusi sosial dilakukan oleh orang-orang baik di kota dan pedesaan. Mereka mendorong perjuangan kelas dan kekuatannya berbenturan dengan kapitalisme dan negara sampai ke batas maksimal melalui organisasi rakyat. Revolusi sosial terjadi ketika kekuatan sosial yang berkembang di jantung organisasi rakyat lebih besar daripada kekuatan kapitalisme dan negara. Dalam praktiknya revolusi sosial menanamkan struktur-struktur yang mendukung swakelola dan federalisme. Hak kepemilikan pribadi atas properti dan keberadaan negara dilenyapkan. Masyarakat yang sepenuhnya merdeka dan setara dibangun. Inilah revolusi sosial yang akan membawa pembebasan rakyat, seperti yang dikemukakan oleh Bakunin:
Sistem organisasi tua yang dibangun di atas pemaksaan ini harus diakhiri oleh revolusi sosial, mengembalikan kebebasan penuh kepada massa, kepada komune-komune, kepada asosiasi-asosiasi, kepada individu itu sendiri, dan menghancurkan, sekali untuk selamanya, penyebab historis semua kekerasan, dominasi, dan keberadaan negara [...] Revolusi sosial adalah penghapusan semua eksploitasi dan penindasan politis, yuridis atau administratif dan pemerintahan, termasuk penghapusan semua kelas-kelas masyarakat melalui pemerataan ekonomi segala jenis kemakmuran [...].[60]Revolusi sosial bukanlah sebuah “pesta malam”, di mana orang-orang serta merta serentak memberontak dan menghasilkan masyarakat baru. Tidak dapat dipungkiri bahwa perjuangan kelas menghasilkan serangkaian pemberontakan atau bahkan insureksi, peristiwa spontan yang sangat penting. Meski demikian, tanpa kerja organisasi yang tekun dan telaten sebelumnya, episode-episode peristiwa ini akan berlalu begitu saja. Terkadang peristiwa tersebut membawa hasil bagi kelas yang dieksploitasi, tapi tanpa persiapan organisasional sebelumnya, kelas tertindas tidak akan berhasil menggulingkan kapitalisme dan negara atau membangun embrio masyarakat baru. Pembangunan organisasi rakyat akan mengembangkan semangat perjuangan dan organisasi di kalangan kelas yang dieksploitasi, menghimpun kekuatan sosial mereka, dan berjuang dengan cara-cara yang sesuai dengan masyarakat yang ingin kita bangun. Dengan demikian, kami tidak memandang revolusi sosial seperti evolusi sederhana atau sebagai dampak yang lazim dari kontradiksi-kontradiksi dalam kapitalisme. Kami memandang revolusi sosial sebagai peristiwa yang menandai sebuah gejolak dan ditentukan oleh kehendak kelas tertindas yang terorganisir. Kami menekankan bahwa dalam proses revolusioner ini ada kebutuhan akan penggunaan kekerasan. Kami tidak percaya pengambilalihan kekuasaan kapitalis atau kehancuran negara dapat terjadi begitu saja tanpa adanya serangan penuh kekerasan dari kelas penguasa. Kenyataannya, sistem yang kita jalani sekarang ini merupakan sistem yang dipelihara dengan kekerasan. Kekerasan ini akan semakin serius selama momen-momen revolusioner. Akhirnya hal ini hanya akan membenarkan penggunaan kekerasan oleh kaum revolusioner yang pada dasarnya melakukannya sebagai balasan atas kekerasan yang kita derita di masa lalu dan masa kini. “Kekerasan hanya dibenarkan untuk membela diri atau orang lain”[61]. Kelas penguasa tidak akan menerima perubahan yang dipaksakan padanya pada saat revolusi sosial diwujudkan. Jadi perlu diketahui bahwa, meskipun kami bukan pendukung atau pecinta kekerasan, perlu ada hantaman terhadap seluruh sistem dominasi dan eksploitasi ini.
Karena tekanan keadaan, revolusi adalah tindakan kekerasan yang cenderung mendorong semangat kekerasan ketimbang menghancurkannya. Akan tetapi, kaum anarkis mencoba menciptakan revolusi yang paling minim kekerasan. Kaum anarkis berusaha untuk menghentikan semua kekerasan segera setelah kekerasan tidak dibutuhkan lagi dalam melawan kekuatan nyata pemerintah dan kaum borjuis. Cita-cita kaum anarkis adalah sebuah masyarakat di mana faktor kekerasan akan benar-benar hilang. Cita-cita ini berfungsi untuk mengekang, memperbaiki, dan menghancurkan semangat kekerasan yang cenderung dikembangkan oleh revolusi sebagai tindakan materiil.[62]Aksi kekerasan dari revolusi sosial harus merampas kuasa kaum kapitalis dan dengan segera menghancurkan negara—agar pada saat bersamaan, ia dapat memberi ruang bagi struktur-struktur swakelola yang bersifat federatif, yang telah diuji coba sebelumnya di dalam organisasi rakyat. Oleh karena itu, pemahaman kaum otoritarian bahwa “sosialisme” adalah periode transisi, di mana kediktatoran didirikan dalam negara (negara sosialis/komunis), menurut kami, hanyalah cara lain untuk melanjutkan eksploitasi rakyat dan harus ditolak secara mutlak dalam situasi apa pun. Revolusi sosial tidak boleh dilakukan hanya oleh kaum anarkis, oleh karena itu penting bagi kita untuk sepenuhnya melebur ke dalam proses-proses perjuangan kelas agar dapat mengarahkan revolusi menuju sosialisme libertarian. Pengalaman revolusi abad ke-20 menunjukkan kepada kita bahwa jika hal ini tidak terjadi, kaum otoritarian akan menghancurkan pengalaman-pengalaman emansipatoris demi merebut kekuasaan negara, mengakhiri kemungkinan terciptanya swakelola dan federalisme, dan menjadi rezim yang lebih kejam dibandingkan rezim sebelumnya. Karena alasan tersebut, revolusi adalah sebuah risiko, sebab jika kaum anarkis gagal membaur dan menggerakkan ke tujuan yang diinginkannya, kerja-kerja mereka malah akan membantu membangun rezim dominasi dan eksploitasi baru. Budaya swakelola dan federalisme sebaiknya berkembang dengan baik dalam perjuangan kelas sehingga pada momen revolusioner, rakyat tidak membiarkan diri mereka ditindas oleh kaum oportunis otoritarian. Ini semua akan terjadi melalui praktik-praktik otonomi, berdaya tempur, aksi langsung, dan demokrasi langsung yang berbasis kelas. Semakin banyak nilai-nilai ini ada dalam organisasi rakyat, semakin kecil kemungkinan munculnya tirani baru. Kami memang sepenuhnya menolak pemahaman [fase transisi] “sosialisme” ala Marxis tentang pembentukan kediktatoran dalam negara. Tapi kami tidak dapat menyangkal akan munculnya momen penyesuaian pasca-revolusioner menuju sosialisme libertarian. Pada periode ini masih akan ada banyak konflik, dan kita harus mengandalkan organisasi khusus anarkis. Pada periode selanjutnya, ketika kontra-revolusi telah berlalu dan sosialisme libertarian sudah berkembang serta berjalan secara menyeluruh, organisasi khusus anarkis akan dilebur ke dalam organisasi-organisasi sosial. Ketika sedang membahas pemahaman kita tentang revolusi sosial, atau bahkan ketika sedang memikirkan kemungkinan masyarakat masa depan, kami ingin memperjelas bahwa kita tidak harus memutuskan secara mutlak terlebih dulu bagaimana proses revolusioner atau bahkan sosialisme libertarian akan terjadi. Kami mengetahui bahwa tidak mungkin meramal kapan perubahan ini akan terjadi. Oleh karena itu, setiap pemikiran harus selalu mempertimbangkan aspek strategis dalam memprediksi kemungkinan masa depan, dan selalu mendasarkan diri pada kemungkinan-kemungkinan dan rujukan, bukan pada kepastian mutlak. Karakteristik proses revolusioner akan tergantung pada kapan dan di mana ia terjadi. Dengan demikian, pemikiran tentang revolusi sosial yang dijelaskan di sini, dan khususnya tentang sosialisme libertarian, tidak boleh dipahami sebagai rumusan atau ramalan tentang apa yang akan terjadi. Kami bekerja dengan kemungkinan-kemungkinan yang muncul dari perkiraan teoretis kami. Walaupun di satu sisi kami tidak ingin terlalu sok tahu, di sisi lain kami menganggap pembahasan tentang masyarakat masa depan dan cara berfungsinya sosialisme libertarian sebagai hal penting. Di titik ini, kami percaya bahwa pengalaman-pengalaman praktik revolusioner mengandung banyak hikmah yang bisa kita pelajari. Menganjurkan sosialisme libertarian sebagai sebuah tawaran masyarakat masa depan berarti mengaitkan dua konsep yang tidak terpisahkan dalam proyek politik. Di satu sisi, sosialisme, sebuah sistem yang berlandaskan pada kesetaraan sosial, politik, dan ekonomi. Kemudian, di sisi lain, kebebasan. Bagi kami, “sosialisme tanpa kebebasan adalah perbudakan dan kebrutalan”[63], sebuah sistem yang merosot menjadi rezim otoriter yang telah sangat kita kenal sepanjang abad ke-20. Pada saat bersamaan, “kebebasan tanpa sosialisme adalah privilese dan ketidakadilan”[64], sebuah cara untuk melanjutkan dominasi dan eksploitasi dalam masyarakat kelas dan hierarki-hierarki otoritarian. Oleh karena itu, bagi kami, sebuah proyek masyarakat masa depan yang menawarkan kesetaraan dan kebebasan hanyalah melalui sosialisme libertarian, yang terbentuk dalam praktik-praktik swakelola dan federalisme. Meskipun istilah ini muncul pada waktu yang berbeda-beda,[65] swakelola dan federalisme saat ini harus saling terkait dan harus dipahami sebagai konsep yang saling melengkapi. Swakelola adalah sebuah bentuk manajemen, bentuk organisasi di mana keputusan dibuat oleh para pekerja itu sendiri sejauh mereka dipengaruhi oleh keputusan tersebut, baik di tempat kerja maupun di tempat tinggal. Federalisme adalah sebuah metode untuk menghubungkan struktur-struktur swakelola, yang memampukan pengambilan keputusan dalam lingkup besar. Penafsiran terbaru mengenai swakelola dan federalisme memisahkan yang pertama sebagai hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi, sementara yang kedua sebagai sistem politik dari sosialisme libertarian. Menurut kami, tidak perlu ada pemisahan antara ekonomi dan politik dalam hal swakelola dan federalisme. Salah satu tujuan masyarakat sosialis libertarian, yang dikerjakan secara swakelola dan federalis, adalah untuk menyingkirkan dan mengakhiri hubungan-hubungan dominasi dan eksploitasi tenaga kerja. Saat ini, kritik terhadap kerja, termasuk yang diungkapkan oleh kaum libertarian, adalah kritik terhadap kerja di bawah kapitalisme dan bukan kritik terhadap kerja (sebagai kegiatan semata—penj.). Dalam sosialisme libertarian, kerja dilakukan secara merdeka dan harus menjadi sarana pembebasan bagi para pelakunya. Melalui swakelola, para pekerja akan mendapatkan kembali kemakmuran mereka yang selama ini dirampas oleh hak kepemilikan pribadi kapitalis. Dengan demikian, sosialisasi kerja, produk dan hasil kerja, alat produksi, bentuk, irama dan tempo kerja akan menjadi sumbangsih pada penciptaan bentuk kerja sebagai “tindakan cerdas manusia yang bermasyarakat, dengan akhir yang telah dipertimbangkan sebelumnya, yaitu kepuasan pribadi”[66]. Dalam masyarakat baru, semua yang mampu bekerja akan bekerja, tidak ada lagi pengangguran dan pekerjaan dapat dilakukan sesuai dengan kemampuan dan minat masing-masing. Orang-orang tidak lagi terpaksa menerima keadaan mereka karena ancaman kekurangan atau tidak mendapatkan kondisi hidup minimum. Anak-anak, kaum lanjut usia, dan orang-orang yang tidak mampu bekerja dijamin akan hidup bermartabat tanpa penelantaran dan semua kebutuhannya terpenuhi. Untuk tugas-tugas yang paling membosankan atau yang dianggap tidak menyenangkan, dalam beberapa kasus, sistem rotasi atau giliran bisa diterapkan. Dalam proses produksi di mana koordinasi dengan beberapa pekerja spesialis diperlukan, tugas mesti digilir dan tekad untuk melatih pekerja lain dengan keterampilan serupa juga mesti dilaksanakan. Semua ini dilakukan agar tugas-tugas yang lebih kompleks dapat ditangani. Di bawah sosialisme libertarian, tidak mungkin lagi seseorang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi, atau pendapatan lebih tinggi, hanya karena ia adalah pemilik satu atau lebih alat produksi. Hak kepemilikan pribadi telah dihapuskan sehingga ada ruang bagi kepemilikan kolektif atas alat-alat produksi. Kepemilikan kolektif ini dapat direncanakan dalam dua cara. Pertama, tidak ada seorang pun yang menjadi pemilik dan alat-alat produksi menjadi milik kolektivitas secara keseluruhan. Kedua, setiap anggota kolektif akan menjadi pemilik alat produksi dalam pembagian yang sama rata bagi semuanya. “Alat-alat produksi adalah hasil kerja kolektif manusia, (sehingga) mereka harus kembali ke kolektivitas manusia di mana ia dihasilkan”.[67] Dalam sebuah sistem kepemilikan kolektif: hak, tanggung jawab, upah, dan kemakmuran tidak lagi terkait dengan hak kepemilikan pribadi, dan ikatan kelas lama yang dibangun di atas kepemilikan pribadi juga harus lenyap. Sosialisme libertarian adalah masyarakat tanpa kelas. Tidak ada lagi kelas penguasa, dan keseluruhan sistem ketidaksetaraan, dominasi, dan eksploitasi pun harus lenyap. Di perkotaan ada berbagai jenis pekerja. Pertama, pekerja yang melakukan kegiatannya dengan peralatan sederhana, hampir tidak ada pembagian kerja, dan produksi seringkali dilakukan hanya oleh seorang pekerja. Untuk jenis pekerjaan seperti ini, kerja kolektif bukanlah kebutuhan, tapi sangat diharapkan karena dapat menghemat waktu dan tenaga. Kerja kolektif juga bisa membantu pekerja lain meningkatkan kapasitas dirinya dengan belajar dari keterampilan orang lain. Kedua, pekerja yang melakukan kegiatannya secara kolektif, dengan alat dan mesin yang cukup sederhana di perusahaan kecil atau pabrik. Terakhir, golongan ketiga, pekerja di perusahaan dan pabrik besar, di mana jumlah pembagian kerja sangat banyak, disusun untuk berproduksi dalam lingkup besar dengan teknologi tinggi dan investasi modal yang besar. Untuk dua golongan terakhir, kerja kolektif mutlak diperlukan karena sifat kerja itu sendiri, karena semua teknologi, mesin, dan perkakas harus bersifat kolektif, maka,
[...] setiap sanggar kerja, setiap pabrik, akan perlu mengorganisasi dirinya ke dalam sebuah asosiasi pekerja, di mana mereka secara bebas dapat mengorganisir diri sesuai keinginan mereka asalkan hak-hak individu dijamin dan asas-asas kesetaraan serta keadilan dipraktikkan. […] Kapan pun suatu industri membutuhkan peralatan yang kompleks dan kerja kolektif, kepemilikan juga harus kolektif.[68]Di pedesaan, bisa jadi ada dua situasi: pertama, petani yang telah bekerja di lahan atau properti besar, yang harus dikolektivisasi dengan cara yang sama seperti perusahaan dan pabrik-pabrik besar. Kedua, petani yang lebih suka memiliki sebidang tanah miliknya sendiri dan mengolahnya sendiri. Dalam ekonomi campuran ini:
[…] tujuan utama revolusi tercapai: tanah telah menjadi milik mereka yang menggarapnya dan petani tidak lagi bekerja untuk keuntungan pihak yang mengeksploitasi dan hidup di atas penderitaan mereka. Dengan perolehan kemenangan besar ini, hal lainnya adalah kepentingan sampingan. Jika para petani mau, mereka dapat membagi lahan menjadi bidang-bidang kecil dan kemudian mendistribusikannya pada setiap keluarga. Atau, mereka juga bisa memilih untuk melembagakan kepemilikan bersama dan membangun koperasi budidaya tanah.[69]Penting untuk ditegaskan bahwa kami tidak menganggap kepemilikan negara sebagai kepemilikan kolektif. Bagi kami, kepemilikan kolektif berarti pengelolaan secara mandiri oleh rakyat, bukan oleh negara. Ketika kepemilikan terpusat pada negara—misalnya seperti dalam kasus Uni Soviet, maka negara akan menjadi majikan baru yang akan terus mengeksploitasi pekerja. Namun, dalam kasus kepemilikan petani, tanah adalah milik orang-orang yang menggarapnya, dan dalam kerangka ini kepemilikan tanah akan lebih tepat dipahami bukan sebagai properti pribadi (property), tetapi milik kepunyaan (possession). Dengan demikian, properti akan selalu bersifat kolektif, dan milik kepunyaan bersifat individu. Milik kepunyaan berarti nilai tanah hanyalah untuk penggunaan dan tidak boleh diperdagangkan. Kegunaannya sendiri akan dituntun oleh kebutuhan produsen dan bukan lagi oleh pasar. Situasi seperti ini mengubah segalanya dan oleh karena itu perlu dibentuk golongan sendiri. Masih ada persoalan mendasar yang harus melengkapi berakhirnya kepemilikan pribadi di jalan menuju kesetaraan. Sistem warisan juga harus diakhiri untuk mencegah berbagai jenis penumpukan [kekayaan] yang berdampak pada ketidaksetaraan titik awal kehidupan seseorang. Jadi, tujuannya adalah kesetaraan sejati, sebab
selama harta warisan terus berlangsung maka secara turun temurun akan ada ketidaksetaraan ekonomi. Warisan bukanlah ketidaksetaraan alamiah individu, ia adalah ketidaksetaraan buatan akibat adanya kelas-kelas sosial. Ini berarti akan selalu ada ketimpangan turun temurun dalam hal perkembangan dan budaya intelektual, yang akan terus menahbiskan semua ketimpangan politik dan sosial.[70]Ekonomi sosialisme libertarian dijalankan oleh pekerja dan konsumen, pekerja menciptakan produk sosial dan konsumen menikmatinya. Dalam dua fungsi yang diperantarai oleh distribusi ini, masyarakat bertanggung jawab atas kehidupan ekonomi dan politik dan harus memutuskan apa-apa saja yang harus diproduksi, dan konsumen memutuskan apa yang akan dikonsumsi. Struktur lokal sosialisme libertarian di mana para pekerja dan konsumen dapat mengatur diri mereka sendiri adalah dewan-dewan pekerja dan dewan-dewan konsumen. Dewan adalah badan sosial, kendaraan di mana rakyat dapat mengekspresikan kecenderungan politik dan ekonomi mereka serta menjalankan swakelola dan federalisme. Di dalamnya, kegiatan politik dan ekonomi sehari-hari diputuskan dan dilaksanakan. Setiap tempat kerja dikelola oleh dewan pekerja. Dalam dewan ini, semua pekerja memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dan pengelolaan tempat kerja diputuskan secara setara karena tidak ada hierarki. Jika diperlukan, dewan-dewan yang lebih kecil dapat dibentuk dalam tim/unit/divisi kecil, dan dewan yang lebih besar dapat dibentuk dalam divisi/tempat kerja/pabrik-pabrik yang besar. Dalam rapat dewan ini, para pekerja dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses produksi membuat semua keputusan. Konsumen dapat mengatur diri mereka sendiri dalam dewan-dewan konsumen yang berlangsung di komunitas masyarakat. Dengan demikian, individu terorganisasi dalam keluarga, keluarga-keluarga terorganisasi ke dalam musyawarah Rukun Tetangga, Rukun Tetangga terorganisasi ke dalam komite-komite Rukun Warga, dan seterusnya. Dewan-dewan ini bertanggung jawab untuk menunjukkan kepada produsen mengenai apa-apa saja yang ingin mereka konsumsi, karena kami percaya bahwa produksi harus dituntun oleh permintaan, dan bukan sebaliknya. Dewan-dewan pekerja mengatur produksi dan dewan-dewan konsumen mengatur konsumsi. Tentu saja penjelasan ini bertujuan untuk memberikan instruksi terkait kenyataan dan masalah yang mungkin akan menggerakkan masyarakat swakelola masa depan, tapi dalam keadaan baru ini, konsumen juga akan menjadi pekerja itu sendiri. Tugas dewan pun menjadi lebih mudah sebab laba tidak lagi menjadi keharusan dalam hubungan produksi. Di bawah sosialisme libertarian, dewan pekerja mungkin masih belum bisa menghilangkan pemisahan antara pekerjaan tangan (manual) dan otak (intelektual), perkara ini sebaiknya dilakukan sesegera mungkin. Argumen yang menyatakan bahwa kerja manual dan intelektual sama pentingnya, dan harus sama-sama diakui dan dihargai, itu tidak benar. Banyak tugas, terutama yang melibatkan tenaga kerja manual, benar-benar tidak menyenangkan, berat, dan mengasingkan. Jadi tidak adil kalau beberapa pekerja sepenuhnya mengabdikan diri pada tugas semacam itu sementara yang lain melakukan tugas yang menyenangkan, nyaman, membangkitkan semangat, dan bersifat intelektual. Jika ini terjadi, sistem kelas akan terbangun kembali, tidak lagi berlandaskan pada hak kepemilikan pribadi tapi pada kelas intelektual yang akan memerintah, dan pekerja manual yang akan menjalankan perintahnya. Untuk mengakhiri pemisahan kerja ini, dewan pekerja dapat mengupayakan serangkaian tugas yang seimbang untuk setiap pekerja dan setara bagi semua orang. Dengan demikian, setiap pekerja akan bertanggung jawab atas beberapa tugas yang menyenangkan dan menstimulasi, seperti pekerjaan intelektual, dan tugas lain yang lebih kasar dan mengalienasi, seperti pekerjaan manual. Namun, bukan berarti semua orang akan melakukan segalanya pada saat bersamaan. Setiap orang akan melaksanakan serangkaian tugas, yang jika dibandingkan akan memiliki porsi kerja intelektual dan manual yang setara. Dalam praktiknya, proses ini akan berfungsi seperti, contohnya, seorang pekerja di sekolah bertugas sebagai guru selama beberapa waktu dan di waktu lainnya ia bekerja sebagai petugas kebersihan. Contoh lain, seseorang yang separuh waktunya dipakai untuk penelitian pabrik dan separuh waktunya lagi dipakai untuk bekerja di bagian produksi pabrik. Seseorang yang lain lagi mungkin mengerjakan sebuah pekerjaan yang melibatkan gabungan kegiatan manual dan intelektual. Tentu saja skema ini disederhanakan, tapi idenya adalah bahwa semua pekerja di setiap dewan memiliki porsi pekerjaan manual dan intelektual yang sama, sesuai rasio waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan kedua jenis tugas ini (kerja manual dan intelektual). Penting bahwa setiap dewan juga memiliki serangkaian pekerjaan manual dan intelektual yang sepadan antar mereka sehingga seorang pekerja dari sebuah dewan dapat melakukan serangkaian tugas yang seimbang. Jika pada akhirnya hanya ada tugas-tugas manual saja di dewan tertentu, maka pekerja dari dewan tersebut harus bekerja di lebih dari satu dewan. Artinya, baik secara internal maupun antar dewan, seseorang harus mencari tingkat keseimbangan kerja manual dan intelektual dalam rangkaian kegiatan setiap pekerja, yang mungkin saja memiliki satu, dua, atau banyak tugas lainnya. Dengan ini tentu saja berarti ada penurunan produktivitas, tapi nanti kita akan melihat bagaimana unsur-unsur lain dari masyarakat masa depan akan mengimbangi hal ini.
Tujuannya bukan untuk menghilangkan pembagian kerja, tapi untuk memastikan bahwa rakyat bertanggung jawab atas serangkaian tugas yang masuk akal. Sebagian besar waktu orang-orang telah dipakai untuk berlatih dengan baik di bidang-bidang tertentu tapi mereka tidak menikmati manfaat berkelanjutan dari hasil pelatihan kerja mereka. […] Setiap orang memiliki serangkaian tugas yang membentuk pekerjaan mereka, sehingga keterlibatan penuh pada keseluruhan rangkaian tugas berarti secara umum terlibat pula pada pengaktifan semua kerja lainnya. […] Setiap pekerja memiliki pekerjaan. Setiap pekerjaan memiliki banyak tugas. Tugas disesuaikan dengan pekerjanya dan sebaliknya.[71]Imbalan dalam sosialisme libertarian dituntun oleh asas komunis “dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya, untuk setiap orang sesuai dengan kebutuhannya”. Namun, kami memahami bahwa untuk menerapkan asas ini, sosialisme libertarian haruslah sudah berfungsi penuh dan berproduksi secara berlimpah. Sampai hal ini terjadi, imbalan dapat disesuaikan dengan kerja, atau usaha—pengorbanan pribadi seseorang untuk kepentingan kolektif. Imbalan sesuai dengan kerja atau usaha berarti setiap orang yang mengerjakan serangkaian tugas akan menerima imbalan sesuai tugasnya dan dapat memilih sendiri cara untuk menghabiskannya. Beberapa orang akan memilih untuk menukarkannya dengan satu atau dua barang, yang lain mungkin memilih berinvestasi untuk waktu luang, pekerjaan yang tidak terlalu berat, dan lain sebagainya. Kaum federalis yang berkegiatan di IWA abad ke-19 juga pernah menganjurkan sebuah model yang mendekati kolektivisme klasik. Oleh karena itu, bagi kami, situasi ini berarti kolektivisme sedang berfungsi sesuai pepatah “dari setiap orang sesuai kemampuannya, untuk setiap orang sesuai dengan kerjanya”. Jika memang momennya memungkinkan, kita bisa menerapkan asas komunis, yaitu “untuk setiap orang sesuai dengan kebutuhannya”. Kenyataannya, hal ini “menjadi persoalan sampingan, karena masalah kepemilikan pribadi telah diselesaikan dan tidak ada lagi kapitalis yang merampas tenaga kerja massa”[72]. Pasar akan dihapuskan dan digantikan oleh sistem perencanaan swakelola. Penetapan harga disepakati oleh dewan pekerja dan konsumen, bersama-sama dengan federasi dan asosiasi mereka yang akan memudahkan interaksi ini. Bentuk perencanaan ini berbeda dari bentuk otoritarian, di mana negara melakukan perencanaan ekonomi di negara-negara “sosialis”. Bentuk perencanaan swakelola akan memampukan pekerja dan konsumen untuk memutuskan sepenuhnya persoalan distribusi dan menghapus masalah persaingan. Agar semua ini dapat berjalan, kami percaya bahwa teknologi memainkan peran yang penting. Tidak seperti beberapa kecenderungan libertarian lain, yang percaya bahwa teknologi mengandung benih dominasi di dalamnya, kami percaya bahwa tanpanya tidak mungkin bagi kita untuk mengembangkan sosialisme libertarian. Keberadaan teknologi akan digunakan untuk mendukung tenaga kerja, bukan modal. Dengan teknologi, pasti akan ada peningkatan produktivitas, dan akibatnya, waktu kerja orang-orang pun akan berkurang secara mencolok. Waktu luang ini kemudian dapat digunakan untuk kegiatan-kegiatan lain. Teknologi juga dapat dianggap sebagai “penerapan sains yang luar biasa dalam produksi, […] yang tujuannya adalah untuk membebaskan pekerja, meringankan kerja manusia [dan membentuk] sebuah kemajuan yang patut dibanggakan oleh manusia beradab”[73]. Tentu saja, kami mengerti bahwa ada teknologi baik dan buruk, dan oleh karena itu, masyarakat
tidak perlu menolak kemajuan teknologi dalam lingkup besar, tetapi mengubahnya, sepenuhnya mengharuskan pengembangan teknologi lebih lanjut menjadi [sesuai] dengan asas-asas ekologis, yang akan berkontribusi pada penyelarasan baru masyarakat dengan alam.[74]Kepedulian untuk menggunakan teknologi tepat guna harus dipertimbangkan di seluruh bidang masyarakat masa depan, dan memenuhi tuntutan ekologi sosial. Mempertahankan kesadaran ekologi bukan berarti manusia akan terlalu dikendalikan oleh sistem hukum alamiah. Manusia adalah bagian dari alam maka sebaiknya ia tidak begitu saja tunduk padanya. Jelas kami juga tidak setuju jika hubungan dominasi antara manusia dan alam terus berlanjut. Justru, hubungan dominasi ini harus dihentikan sesegera mungkin sehingga memberikan ruang bagi hubungan yang setara antara manusia dan alam. Kesadaran ekologis sebaiknya dikembangkan di masa-masa perjuangan sebelum pecahnya revolusi, juga di masyarakat masa depan itu sendiri, berlandaskan pada hubungan saling membantu (mutual aid) yang diteorikan oleh Kropotkin. Perkembangan ini dapat menjadi rujukan asas dari pernyataan bahwa kita, manusia, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari alam “yang menjadi sadar akan dirinya”, seperti yang dikatakan Reclus. Manusia berbeda dari elemen-elemen alam lain dan spesies lain karena mampu menjalin hubungan sosial dengan segala sesuatu di sekitarnya. Manusia memiliki kapasitas untuk berpikir tentang dirinya, berteori tentang kenyataan, dan dengan kecerdasan ini mereka telah berhasil mengubah secara drastis keadaan lingkungan di sekitarnya. Dengan cara ini pula, sistem kapitalis mengeksploitasi sumber daya alam sedemikian rupa sehingga alam tidak dapat lagi meregenerasi diri mereka sendiri dengan laju alamiahnya. Di masyarakat masa depan hal ini tidak akan terjadi lagi. Perkembangan manusia yang dibawa sosialisme libertarian harus menekankan pentingnya hubungan saling membantu antara spesies dan alam. Perlu ditekankan bahwa usulan ekologis kita benar-benar berbeda dari tawaran “konservasionisme” dan “primitivisme”. Gagasan kaum konservasionis melestarikan masyarakat kelas dan membiarkan alam sepenuhnya menjadi komoditas. Sementara proposal “anti-peradaban” kaum primitivis kami anggap sebagai kekonyolan yang paripurna, meromantisasi masa lalu yang jauh di belakang, atau bahkan lebih buruk lagi, menjadi semacam ajakan bunuh diri bagi semua umat manusia dan menihilkan semua sumbangsih kita pada pemeliharaan dan kesejahteraan alam. Kami percaya bahwa masyarakat yang benar-benar menghormati asas-asas ekologi sosial hanya akan mungkin terjadi saat kapitalisme dan negara membuka ruang bagi sosialisme libertarian. Oleh karena itu, dengan sosialisme libertarian, kami berharap bisa menyelaraskan kembali masyarakat dan lingkungan, mengingat bahwa “jika kita tidak mampu mendirikan sebuah masyarakat yang ekologis, selain berakibat bencana, keabsahan moral kita pun akan dipertaruhkan”[75]. Dengan penggunaan teknologi yang berpihak pada pekerja dan perkembangannya; dengan berakhirnya eksploitasi kapitalis dan hasil kerja sepenuhnya menjadi milik pekerja; dengan keadaan di mana semua orang dapat bekerja, para pekerja akan memiliki lebih banyak waktu luang yang dapat dihabiskannya dengan tiga cara: Pertama, dengan produktivitas, yang akan berkurang secara alamiah karena adanya serangkaian kerja yang seimbang (antara manual dan intelektual), dan spesialisasi kerja pun akan sedikit menghilang. Kedua, dengan membuat keputusan-keputusan politik, yang akan menuntut waktu untuk bertukar pendapat dan mempertimbangkan berbagai persoalan di tempat kerja dan komunitas yang dikelola secara mandiri. Akhirnya, yang ketiga, dengan sisa waktu yang tersisa, semua orang dapat memilih apa pun yang ingin dilakukannya: beristirahat, berlibur, belajar, berkebudayaan, dan lain-lain. Menurut kami, dengan perubahan-perubahan ini waktu luang pun akan menjadi lebih banyak ketimbang saat ini. Pembuatan keputusan di bawah swakelola tidak harus mematuhi model tertentu. Dewan pekerja dan konsumen dapat memilih penerapan terbaik lewat demokrasi langsung. Pembahasan dan pertemuan yang dilakukan secara horizontal menjadi hal mendasar, dengan pemaparan gagasan yang jelas dan pembahasan persoalan yang diajukan. Jelas, mufakat (konsensus) tidak bisa digunakan dalam sebagian besar pengambilan keputusan, karena sangat tidak efisien—khususnya jika kita hendak mengambil keputusan dalam lingkup besar. Mufakat berisiko memberikan terlalu banyak wewenang kepada orang-orang yang terasing yang dapat menghambat mufakat, atau memberikan bobot yang sangat besar kepada minoritas. Setelah perdebatan yang wajar, keputusan dapat dilakukan dengan pemungutan suara. Mengenai keputusan mana yang menang dapat ditentukan dengan faktor variabel, misalnya yang memiliki 50% + 1 suara, atau yang memiliki 2/3 dari jumlah suara, dan seterusnya. Kita harus tetap mengingat bahwa proses pengambilan keputusan adalah cara, dan bukan tujuan itu sendiri. Oleh karena itu, kita juga harus memperhatikan ketangkasan kita dalam proses ini. Dalam proses pengambilan keputusan, swakelola dan federalisme berarti demokrasi langsung dengan melibatkan semua orang, keputusan kolektif, utusan (delegasi) dengan mandat yang wajib dipatuhi, jabatan bergilir, jabatan yang dapat dicabut sewaktu-waktu, akses ke informasi dan kekuatan pengambilan keputusan yang setara. Dewan pekerja maupun konsumen akan menggunakan swakelola sebagai bentuk manajemen dan pengambilan keputusannya, baik di tempat kerja maupun di komunitas masyarakat. Federalisme akan menghubungkan pekerja dengan komunitas-komunitas masyarakat, dan memungkinkan keputusan dibuat dalam lingkup besar. “Federasi, berasal dari bahasa Latin foedus, genitive foederis, berarti ‘pakta, kontrak, perjanjian, konvensi, aliansi’”.[76] Ini artinya mereka terorganisir “secara setara saling terikat satu sama lain, untuk satu atau lebih tujuan tertentu, di mana bebannya secara khusus ditanggung oleh delegasi-delegasi federasi”[77]. Keterhubungan dalam federalisme akan memungkinkan pengambilan keputusan dalam lingkup besar, dari swakelola terkecil hingga yang sangat luas. Di lingkungan kerja, federalisme akan menghubungkan unit-unit, kelompok kecil, kelompok besar, tempat kerja, dan bahkan keseluruhan industri. Di komunitas masyarakat, federalisme akan menghubungkan keluarga-keluarga, rukun tetangga, komplek, rukun warga, kota, daerah, dan bahkan antar negeri. Keterhubungan ini akan dilaksanakan oleh delegasi-delegasi, yang akan mengartikulasikan dan menjadi juru bicara bagi posisi yang telah diputuskan oleh dewan-dewan rakyat. Delegasi melaksanakan mandat penting, yaitu, mereka harus menyuarakan posisi kolektif dewan tempatnya menerima mandat dan tidak menyuarakan posisi yang mereka putuskan sendiri (seperti yang terjadi dalam demokrasi perwakilan). Selain itu, mandat yang diemban oleh delegasi bersifat tidak permanen dan dapat dicabut setiap saat. Karena “sistem federalis adalah kebalikan dari hierarki dan sentralisme pemerintahan dan administratif”[78], kami percaya bahwa struktur ini sanggup menggantikan negara. Politik di bawah sosialisme libertarian akan berlangsung dalam bentuk badan-badan rakyat yang mengatur diri mereka sendiri. Sebagai asosiasi-asosiasi sukarela, keberadaan dewan-dewan
[...] akan diterapkan dalam lingkup yang lebih luas lagi agar dapat menggantikan negara dan semua fungsinya. Mereka akan merepresentasikan jaringan yang saling terikat satu sama lain, terdiri dari berbagai kelompok dan federasi yang tidak terbatas jumlahnya, dari berbagai tingkatan dan berbagai ukuran kelompok, lokal, regional, nasional dan internasional, yang bersifat sementara atau yang lebih permanen—untuk berbagai kemungkinan tujuan: produksi, konsumsi dan pertukaran, komunikasi, sanitasi, pendidikan, perlindungan bersama, pertahanan daerah, dan sebagainya; dan, di sisi lain, untuk memuaskan dahaga atas sejumlah kebutuhan ilmiah, artistik, sastra dan sosial yang semakin meningkat.[79]Dengan cara ini, negara dan demokrasi perwakilannya akan hilang, swakelola dan federalisme akan menggantikan mereka. Politik akan berada di tempat yang tepat, yaitu di tengah-tengah rakyat. Tidak ada lagi pemisahan antara orang-orang yang berpolitik dan orang-orang yang tidak berpolitik—karena di bawah sosialisme libertarian, para anggota masyarakat sendirilah yang akan mewujudkan politik dari hari ke hari. Kesadaran harus beriringan dengan laju pertumbuhan perjuangan. Kapan pun sempat, kesadaran mesti dipupuk oleh proses-proses pendidikan. Kami tidak percaya bahwa untuk membuat revolusi semua orang harus terdidik terlebih dahulu. Tapi kami mengakui bahwa pada saat revolusi sosial terjadi, semakin tinggi tingkat kesadaran rakyat, bakal semakin baik. Masyarakat harus semakin mengembangkan budayanya ke arah libertarian, tidak hanya pada saat revolusi sosial dan sesudahnya saja, tapi juga sejak masa-masa perjuangan, pembangunan, dan pengembangan organisasi rakyat. Tidak dapat dipungkiri bahwa kapitalisme telah menjelma menjadi budaya dalam benak rakyat. Ia harus dikikis sedikit demi sedikit dan proses ini akan terjadi melalui pendidikan kerakyatan yang panjang. Posisi-posisi seperti prasangka rasial dan gender, patriarki, individualisme, dll, harus dilawan sekuat mungkin, baik dalam proses perjuangan maupun pada saat revolusi sosial atau bahkan sesudahnya. Di bawah sosialisme libertarian kita mengerti bahwa swakelola dan federalisme mesti menyokong proses ini dalam praktik. Selain itu, banyak kegiatan pendidikan dan kebudayaan bagi seluruh masyarakat yang harus didukung, pendidikan yang mendorong “cara mengajar [yang] setara dalam segala hal untuk semua orang, oleh karena itu, [pendidikan] harus utuh”[80] dalam memberikan pengetahuan teori dan praktik bagi anak-anak dan orang dewasa tanpa memandang jenis kelamin. Dengan demikian, kami percaya bahwa sistem dominasi dan eksploitasi negara dan kapitalisme akan berakhir—tidak ada lagi yang menumpuk kekuasaan dengan kekuatan sosial yang diperoleh dari mengeksploitasi orang lain—dan sistem baru akan menghidupi dirinya di atas fondasi kesetaraan sosial-politik-ekonomi dan kebebasan. Kesetaraan yang akan terjadi dengan pembentukan kepemilikan kolektif, dewan-dewan swadaya, keseimbangan tugas manual dan intelektual, upah yang setara, perencanaan mandiri, pengambilan keputusan secara kolektif, dan perjuangan terus menerus melawan prasangka dan diskriminasi. Kebebasan dari sistem dominasi dan eksploitasi, dan kebebasan untuk apa yang ingin kita capai. Kebebasan yang akan bersifat kolektif, mengingat seseorang hanya dapat bebas sejauh orang-orang lain di sekitarnya juga bebas. “Kebebasan yang terdiri dari pengembangan penuh semua potensi materiil, intelektual, dan budi pekerti yang ditemukan dalam kemampuan terpendam semua orang”.[81] Sosialisme libertarian akan membawa kemewahan yang diabaikan semua orang: “kemewahan kemanusiaan, kebahagiaan atas pengembangan diri yang lengkap, dan kebebasan setiap makhluk dalam kesetaraan”.[82] * Organisasi dan Kekuatan Sosial
“[...] sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh orang yang memahami dengan baik, yang terorganisir dengan baik, dan tahu ke mana mereka melangkah, akan dengan mudah membawa seratus, dua ratus, atau bahkan lebih banyak lagi orang lain.” Mikhail BakuninSebelumnya kami sudah menguraikan apa yang kami pahami tentang organisasi kapitalisme dan negara. Kita berusaha memetakan “di mana kita berada” dan organisasi sosialisme libertarian mencoba menentukan “ke mana tujuan yang ingin kita capai”. Untuk melengkapi pembahasan tentang organisasi, kita perlu menjabarkan sedikit tentang gerakan sosial dan organisasi rakyat, juga tentang organisasi yang secara spesifik anarkis. Kedua tingkat organisasi yang berbeda ini akan menjawab persoalan “bagaimana kita dapat beranjak dari posisi kita sekarang dan tiba di tujuan yang kita inginkan?” dan melengkapi elemen yang sangat diperlukan bagi strategi permanen kita. Seperti yang dirangkum dengan baik oleh Malatesta, “[...] secara umum, organisasi adalah tonggak dan syarat kehidupan bermasyarakat, di masa kini dan di masa mendatang: pengorganisasian partai anarkis dan pengorganisasian kekuatan-kekuatan rakyat”.[83] Bagi kami, perubahan sosial yang kami impikan harus dicapai melalui pembangunan organisasi rakyat, melalui peningkatan kekuatan sosial rakyat secara terus menerus hingga suatu saat ia mampu menggulingkan kapitalisme dan negara dengan revolusi sosial dan membuka jalan bagi sosialisme libertarian. Lebih jauh lagi, kami berpendapat bahwa perkembangan organisasi kerakyatan harus dibarengi dengan perkembangan organisasi khusus anarkis, yang mempengaruhi organisasi rakyat dan memberikannya sifat-sifat yang diinginkan. Ke depannya kita akan membahas lebih lanjut lagi tentang kedua jenis organisasi ini dan interaksinya satu sama lain. Saat ini, yang terpenting bagi kita adalah menerima bahwa tidak ada cara lain untuk perubahan sosial selain dengan organisasi dan pertumbuhan progresif kekuatan sosial. Kami memahami masyarakat hari ini sebagai hasil dari hubungan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, atau bahkan sengketa terus menerus—yang mengambil bentuk perjuangan kelas—antara kapitalisme, negara, dan beragam kekuatan politik lainnya. Pihak yang pertama—kapitalisme—tumbuh semakin kuat, maksudnya adalah ia berhasil menghimpun kekuatan sosial yang lebih besar ketimbang pihak terakhir dan akibatnya ia bisa membangun kekuasaan. Dalam pengertian ini, kapitalisme dan negara melakukan penindasan atas kekuatan-kekuatan politik lainnya yang melawan mereka. Perlawanan dapat terjadi dalam cara yang berbeda-beda, beberapa terdiri dari kekuatan-kekuatan politik yang besar atau kecil, dan yang lainnya tidak mengandung kekuatan politik sama sekali. “Perlawanan dapat terjadi secara pasif (ketika seseorang tidak bertindak melawan kekuatan yang menindas mereka) atau secara aktif (ketika yang berkuasa menerima pembalasan dari pihak yang ditundukkan). Perlawanan juga dapat terjadi secara terasing (bersifat individual) ataupun terartikulasi (kekuatan kolektif)”.[84] Perlawanan pasif tidak mengandung kekuatan politik, sementara perlawanan yang terasing mengandung kekuatan sosial yang kecil. Oleh karena itu, untuk dapat mencapai tujuan, kami mengusulkan perlawanan secara aktif dan terartikulasi, perlawanan yang terorganisir dan terus berusaha meningkatkan kekuatan sosial secara berkelanjutan. Untuk pembangunan jenis perlawanan semacam ini, kita perlu bersekutu dengan pihak-pihak lain yang juga setuju dengan tawaran kita terkait perubahan sosial.
Jika kita ingin maju, jika kita ingin melakukan sesuatu yang lebih dari apa yang selama ini mengasingkan kita satu sama lain, kita mesti tahu dengan siapa kita harus berkawan dan bersepakat, dan dengan siapa kita tidak bersepakat. Hal ini penting khususnya ketika kita berbicara tentang aksi, gerakan, dan metode-metode, sebab dengannya kita akan bekerja dengan banyak orang demi memperoleh hasil yang sesuai dengan keinginan kita.[85]Apa yang saat ini kita sebut sebagai “tatanan” atau status-quo adalah organisasi kapitalisme dan negara, yang mungkin saat ini sedang memetakan kekuatan-kekuatan politik lainnya yang mereka anggap mengancam. Dengan menjadi tidak terorganisir, terorganisir secara buruk, atau saling terasing satu sama lain, berarti perlawanan kita tidak cukup memadai untuk menghadapi kapitalisme dan negara. Alhasil kita tidak akan berhasil meningkatkan kekuatan sosial organisasi secara signifikan—padahal organisasi ini bertujuan untuk menggantikan kapitalisme dan negara dengan sosialisme libertarian. Kita dapat mengatakan bahwa “siapa pun yang tidak mengorganisir dirinya, yang tidak saling bekerja sama, dan tidak menawarkan sumber dayanya dalam kondisi saling bantu dan saling bersolidaritas, telah membawa dirinya ke posisi lemah dan secara tidak sadar menjadi sekadar alat bagi tata cara sosial yang dikendalikan orang lain, tunduk pada cara mereka, demi keuntungan mereka”[86]. Ada fakta bahwa disorganisasi, organisasi yang buruk, dan saling terasing akhirnya hanya akan mendukung kapitalisme dan negara–seolah-olah adalah hal mustahil untuk membangun kekuatan sosial yang kita perlukan. Dengan tidak terlibat—dengan cara yang tepat—dalam hubungan kekuatan timbal balik dan konflik permanen masyarakat ini, Anda sebenarnya sedang menduplikasi “tatanan” yang sudah ada. Jadi, “jika kita tidak berusaha membentuk organisasi dan asosiasi yang terartikulasi dengan baik, kita tidak akan pernah berhasil memberikan pengaruh pada perjuangan, dan akhirnya, pada masyarakat saat ini”.[87] Dengan demikian:
[...] mereka-mereka, yang tidak memiliki sarana atau kesadaran memadai untuk mengorganisir diri sendiri secara bebas bersama pihak lain yang memiliki kepentingan dan kesadaran yang sama, terpaksa tunduk pada organisasi yang diciptakan orang lain, umumnya orang-orang dari kelas atau kelompok penguasa, yang mengeksploitasi tenaga kerja orang lain untuk kepentingan mereka sendiri. Sejak dahulu kala, penindasan massa yang dilakukan oleh segelintir orang dengan hak istimewa adalah akibat dari ketidakmampuan mayoritas rakyat untuk bersama-sama bersepakat dan mengorganisir diri bersama para pekerja lain untuk kegiatan produksi, rekreasi, dan pertahanan diri melawan pihak-pihak yang hendak mengeksploitasi dan menindas mereka. [...] Dengan tetap terasing satu sama lain, dengan setiap orang bertindak sendirian atau ingin bertindak sendiri-sendiri, tanpa berbagi pengertian dengan orang lain, tanpa persiapan, tanpa menyatukan kekuatan-kekuatan kecil tiap individunya menjadi kelompok yang lebih kuat, berarti sedang mengutuk dirinya ke dalam jurang kemandulan, membuang energi untuk aksi-aksi kecil yang tidak ampuh dan dengan cepat akan kehilangan keyakinan pada tujuannya, dan akhirnya menyerah pada kepasifan total.[88]Disorganisasi dan pengorganisasian yang buruk dapat diciptakan dalam dua tingkat gerakan. Di tingkat sosial—di gerakan sosial, yang harusnya membangun dan mengembangkan organisasi rakyat—tugasnya adalah menghimpun kekuatan sosial. Disorganisasi di tingkat ini dapat menyebabkan spontanitas alamiah semata dan gagalnya organisasi rakyat dalam membawa serangkaian perubahan sosial yang diharapkan. Di tingkat politik—yakni anarkisme, yang seharusnya mengembangkan organisasi khusus anarkis —tugasnya adalah memberikan pengaruh pada tingkat sosial agar memiliki bentuk dan cara yang memadai. Keterasingan dan individualisme menyebabkan tidak adanya kehadiran pada tingkat politik maupun sosial ini, serta tidak terartikulasinya organisasi rakyat maupun organisasi anarkis. Selain disorganisasi ini, pengorganisasian yang buruk dan terasing merupakan unsur penghambat dalam pembentukan sosialisme libertarian. Kami percaya bahwa sosialisme libertarian hanya dapat dibangun dengan banyak organisasi. Organisasi berarti adanya koordinasi antar kekuatan, atau “asosiasi dengan sebuah tujuan bersama serta cara dan sarana bersama untuk mencapai tujuan”[89]. Dengan demikian, kita harus memikirkan berbagai cara dan sarana bagi organisasi rakyat untuk dapat menggulingkan kapitalisme dan negara, dan melalui revolusi sosial membangun tujuannya, yaitu sosialisme libertarian. Selanjutnya kita perlu membahas secara lebih terperinci mengenai dua tingkat organisasi ini. Pertama kita akan membahas tingkat sosial, di mana gerakan sosial beroperasi dan di mana kita harus membangun organisasi rakyat. Lalu tingkat politik dan pengembangan organisasi yang secara khusus anarkis. Ketika kami berbicara tentang kekuatan sosial, penting bagi kami untuk mendefinisikan apa yang kami pahami mengenai istilah ini. Kami menganggap bahwa setiap individu adalah agen sosial yang secara alamiah memiliki kekuatan sosial, yaitu energi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuannya. Kekuatan ini berbeda-beda antara satu orang dengan yang lainnya, dan bahkan berbeda-beda pada orang yang sama tergantung waktunya. Untuk meraih tujuannya, seseorang seringkali harus menggunakan alat yang dapat meningkatkan kekuatan sosialnya. Banyak hal dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan sosial, contohnya: senjata, informasi, pelatihan, teknik yang tepat, penyempurnaan sumber daya, ajakan dan bujukan, mesin, dll. Namun, alat paling penting adalah organisasi. Organisasi dapat diwujudkan melalui cara otoritarian dengan sarana-sarana dominasi, atau melalui cara libertarian menggunakan sarana asosiasi yang merdeka. Dalam organisasi otoritarian, kekuatan sosial dari beragam agen (contoh: seorang tentara di suatu negara, atau seorang pekerja di suatu perusahaan) terasingkan. Keadaan terasingkan ini menempatkan mereka dalam posisi ditindas organisasi tersebut (pada kasus ini: negara dan bos) sehingga mereka turut andil pada tujuan lain di luar tujuan mereka sendiri. Beginilah kekuatan sosial dari sistem saat ini terbentuk, dengan cara mengasingkan berbagai agen ini dari tujuan mereka sendiri dan membuat mereka akhirnya turut serta pada tujuan-tujuan kapitalisme. Dalam organisasi libertarian, ada asosiasi bebas, atau pengorganisasian anti-otoritarian, yang memproduksi peningkatan kekuatan sosial—dan selalu terkait dengan perangkat-perangkat lainnya. Organisasi yang berbentuk asosiasi bebas sangat diperlukan bagi proyek perubahan sosial kita, karena ketika individu-individu bekerja sama, kekuatan sosial mereka menjadi sangat jauh melebihi kekuatan seorang individu semata. Kita bisa melihat contoh yang dikemukakan Proudhon dalam menjelaskan persoalan ini. “Dua ratus orang pekerja meletakkan tugu Luxor di fundamennya hanya dalam waktu beberapa jam. Menurut Anda, apakah satu orang bisa mengerjakan tugas yang sama dalam waktu dua ratus hari?[90] Tentu saja tidak, karena ada kekuatan besar yang dihasilkan dari persatuan dan keselarasan para pekerja, dari penggabungan dan kekompakkan usaha mereka”.[91] Dari contoh di atas, organisasi pekerja memberikan kekuatan kolektif yang memampukan mereka meraih hasil yang lebih besar ketimbang hasil upaya seseorang saja. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa untuk dapat melaksanakan proyek perubahan sosial, asosiasi adalah hal penting, sebab melaluinya, dan hanya melaluinya, kita mampu menghimpun kekuatan sosial yang diperlukan untuk menggulingkan kapitalisme dan negara. Tetapi bagaimanapun juga, demi meraih keuntungan permanen dalam hal kekuatan sosial ini—yang harus terjadi dalam bentuk organisasi anti-otoritarian, baik dalam tingkat organisasi rakyat maupun tingkat organisasi anarkis—kita harus menyadari pentingnya
[...] sebuah kedisiplinan khusus, bukan kedisiplinan yang otomatis, melainkan kedisiplinan sukarela dengan kesadaran penuh, yang sepenuhnya selaras dengan kebebasan individu. Kedisiplinan ini akan selalu diperlukan setiap kali banyak individu—yang secara merdeka memutuskan bersatu, melakukan pekerjaan kolektif atau aksi kolektif. Kedisiplinan ini tidak lain adalah kesepakatan sukarela yang telah dipikirkan baik-baik, sebuah upaya dari semua individu yang terlibat untuk meraih sebuah tujuan bersama. Pada saat beraksi, di tengah perjuangan, secara alamiah peran dibagi-bagi sesuai dengan kemampuan masing-masing, dinilai dan dipertimbangkan oleh keseluruhan kolektif: beberapa memberi arahan dan perintah, yang lain menjalankan perintah. Tapi tidak ada fungsi yang permanen, tidak ada seorang pun dengan jabatan kaku yang tidak dapat dicabut kembali. Tingkat dan promosi hierarkis tidak ada, sehingga yang kemarin komandan dapat saja menjadi bawahan hari ini. Tidak ada yang ditinggikan di atas yang lain, atau jika pun dinaikkan, ia hanya akan jatuh setelahnya, seperti gelombang di laut, selalu kembali ke tingkat kesetaraan yang sehat.[92]Tentunya disiplin ini tidak boleh “mengikuti model otoritarian, baik dalam hal penindasan anggota [...] maupun dalam hal penghukuman, yang [...] juga harus mempertimbangkan etika dan saling menghormati. [...] Penting bagi kita untuk menawarkan disiplin diri (swadisiplin) yang berbeda dari disiplin militer. Dari sudut pandang kami, menjalankan disiplin militer, yang pada intinya eksploitatif dan menindas, sama saja dengan otoritarianisme yang sudah kita kenal selama ini”[93]. Untuk membedakan kedisiplinan ala kaum otoritarian dengan kedisiplinan yang kami anjurkan, kami memilih untuk menggunakan istilah swadisiplin, dan menegaskan bahwa “disiplin diri adalah motor penggerak bagi organisasi swakelola”[94]. Kita memerlukan disiplin diri, bersama-sama dengan tekad dan tanggung jawab. Ia adalah bagian tidak terpisahkan dari pembangunan organisasi anti-otoritarian, dan diperlukan untuk meningkatkan kekuatan sosialnya. Dalam pandangan kami, organisasi rakyat memerlukan kadar disiplin yang lebih rendah, sementara organisasi spesifik anarkis memerlukan kadar disiplin yang lebih besar, kadar ini bisa berbeda-beda tergantung keadaannya. Dalam periode gejolak sosial berlingkup besar, kebutuhan akan disiplin diri meningkat. Pada saat gejolaknya surut, kadarnya bisa dikurangi. Bagi kami, seperti yang telah kami tekankan, organisasi rakyat adalah sebuah bentuk perlawanan aktif dan jelas. Tujuannya adalah untuk terus menerus meningkatkan kekuatan sosialnya, “untuk menggulingkan kapitalisme dan negara dan membangun sosialisme libertarian melalui jalan revolusi sosial”. Peningkatan kekuatan sosial ini dapat dicapai dengan berbagai cara, tapi yang terutama adalah dengan pengorganisasian kelas tertindas, dengan sebanyak mungkin jumlah masyarakat yang terlibat, dan dengan pengorganisasian yang baik—yang tentunya menyiratkan swadisiplin, komitmen, dan tanggung jawab. Selain itu, seperti yang juga telah kami jelaskan sebelumnya, tujuan organisasi khusus anarkis adalah “untuk membangun organisasi rakyat dan memberikan pengaruh di dalamnya, menciptakan sifat yang diinginkan, dan sampai pada sosialisme libertarian melalui revolusi sosial”. Untuk ini, organisasi khusus anarkis harus merupakan organisasi yang berisi minoritas anarkis aktif yang berdisiplin diri, bertekad, dan bertanggung jawab dalam tingkatan yang tinggi, yang siap membangun dengan asas ini: “organisasi bukanlah pencipta otoritas, justru ialah satu-satunya obat untuk melawannya, dan satu-satunya sarana agar setiap kita terbiasa mengambil bagian secara aktif dan sadar dalam kerja kolektif”.[95] * Gerakan Sosial dan Organisasi Rakyat
“Hanya rakyat sendiri, orang-orang lapar yang tidak berpunya, yang dapat menghapuskan penderitaan.” Ricardo Flores Magon
“Mengorganisir kekuatan rakyat demi mewujudkan revolusi [sosial] merupakan satu-satunya tujuan bagi mereka yang dengan tulus menginginkan kebebasan.” Mikhail Bakunin
“Mendukung organisasi-organisasi rakyat dalam berbagai bentuknya adalah dampak wajar dari gagasan-gagasan mendasar kita dan semestinya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari program kita.” Errico MalatestaSebelumnya, beberapa kali kami telah menyebut tentang organisasi rakyat dan harapan-harapan kami terhadapnya. Kami juga telah menjelaskan bahwa tujuan pengorganisasian masyarakat adalah untuk “menggulingkan kapitalisme dan negara, dan membangun sosialisme libertarian melalui revolusi sosial”. Dengan ini, kami memahami rakyat dan organisasi-organisasinya sejatinya adalah tokoh utama dalam proses perubahan sosial. Kami juga telah menyebutkan tentang tingkat sosial, yaitu tempat di mana gerakan sosial berkembang dan di mana kita mesti mencoba membangun dan meningkatkan kekuatan sosial organisasi masyarakat. Di titik ini, kita membahas gerakan-gerakan sosial, karakteristik yang diinginkan, dan metode-metode aksinya—serta bagaimana hal-hal tersebut dapat menyokong pengembangan organisasi rakyat. Saat menghadapi tingkatan sosial ini, kita perlu mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan dari masyarakat, sebab rakyat harus menjadi pelaku utama dari perubahan sosial yang kita tawarkan. Tidak dapat disangkal bahwa terdapat kekuatan sosial terpendam dalam kelas-kelas yang dieksploitasi ini, tapi kami menyadari bahwa hanya melalui organisasilah kekuatan ini baru bisa melepaskan diri dari sekadar kemungkinan-kemungkinan dan menjadi kekuatan sosial yang nyata. Pertanyaan berikutnya pun timbul:
Memang benar bahwa [dalam rakyat] ada kekuatan mendasar yang besar, kekuatan yang tidak diragukan lagi lebih kuat dari gabungan [kekuatan] pemerintah dan seluruh kelas penguasa. Namun, tanpa organisasi, kekuatan dasar itu bukanlah kekuatan nyata. Ada keuntungan tidak terbantahkan dari kekuatan yang terorganisir, dan di atas dasar kekuatan terorganisir inilah negara dibangun dan mendominasi kekuatan dasar masyarakat. Jadi, masalahnya bukanlah mengetahui apakah rakyat dapat bangkit melawan atau tidak, tetapi apakah mereka mampu membangun organisasi yang menjadi sarana mereka untuk mencapai kemenangan—bukan kemenangan yang kebetulan, tetapi kemenangan yang berkepanjangan dan menentukan.[96]Dimulai dengan organisasi dan penerapan praktisnya di lapangan, kekuatan ini akan tumbuh pesat dan menawarkan peluang nyata untuk melawan kapitalisme dan negara, sebab “kita telah memiliki keadilan dan kebajikan, tetapi kekuatan kita belum cukup”[97]. Seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, peningkatan kekuatan sosial yang tetap dari kelas-kelas yang dieksploitasi inilah yang akan mampu mewujudkan perubahan sosial seperti yang kita cita-citakan. Guna membangun sebuah organisasi yang dapat menjadi sarana kita dalam meraih tujuan yang diinginkan—revolusi sosial dan sosialisme libertarian—dengan meneguhkan kemenangannya, kami menawarkan sebuah model untuk menciptakan dan mengembangkan apa yang kita sebut sebagai organisasi rakyat. Pertama, kami membenarkan organisasi sesuai dengan apa yang telah kami jelaskan sebelumnya: yakni “koordinasi antar kekuatan-kekuatan, atau 'asosiasi dengan tujuan bersama dengan cara dan sarana yang diperlukan untuk mencapai tujuannya.’” Kami juga telah menyatakan bahwa organisasi dapat melipatgandakan kekuatan sosial masyarakat dan hanya dengan melaluinya kita dapat menawarkan sebuah tandingan yang mampu menggulingkan kapitalisme dan negara. Bentuk organisasi yang kami tegaskan ini adalah buah dari asosiasi bebas para anggota kelas yang dieksploitasi.
Melalui asosiasi, mereka [para pekerja] mengarahkan diri mereka sendiri, saling menginformasi satu sama lain, dan dengan usaha mereka sendiri mereka dapat mengakhiri kebodohan yang membahayakan ini, yang merupakan salah satu penyebab utama perbudakan mereka. Dengan berasosiasi, mereka belajar membantu diri sendiri, mengenal diri, saling membantu satu sama lain, dan akhirnya menciptakan kekuatan yang lebih tangguh dari gabungan kekuasaan semua kapitalis borjuis dan elit politik.[98]Kedua, kami memaknai organisasi ini sebagai sesuatu yang bersifat kerakyatan, dengan sifat perjuangan kelas yang berdaya tempur. Artinya, dalam bentuk organisasi ini, seluruh golongan kelas-kelas yang dieksploitasi haruslah dikerahkan seperti yang telah dijelaskan di atas. Keterlibatan semua sektor masyarakat yang paling menderita dampak kapitalisme mesti menjadi prioritas. Ketika organisasi memiliki sifat kelas, ia akan merangsang dan memampukan perjuangan kelas. Dengan cara inilah organisasi kerakyatan dibangun, dari bawah ke atas, dari “pinggiran ke pusat”, dan berada di luar pusat-pusat kekuasaan sistem saat ini. Organisasi kerakyatan dibangun di atas kehendak perjuangan rakyat. Jadi, ia bukanlah buah dari sebuah gerakan yang serta merta ada, sekalipun kita tahu bahwa banyak wujud perjuangan kelas dapat muncul secara tiba-tiba. Organisasi rakyat sangat diperlukan karena kami tidak percaya bahwa masyarakat kapitalis dapat menghancurkan dirinya sendiri—seperti pendapat banyak kaum sosialis di abad kesembilan belas—atau bahwa sosialisme adalah hasil dari evolusi alamiah kapitalisme. Tampaknya cukup jelas bahwa kita harus memikirkan bentuk organisasi sebagai alat perjuangan, karena jika tidak, kapitalisme dan negara tidak akan pernah lenyap. Kami memahami organisasi rakyat sebagai hasil dari proses pertemuan berbagai organisasi sosial dan gerakan akar rumput yang berbeda-beda, yang merupakan buah dari perjuangan kelas. Karena alasan inilah kami percaya bahwa kita harus mendukung semua jenis organisasi dan gerakan-gerakan seperti ini. Kita harus memahami bahwa dukungan ini disebabkan oleh gagasan-gagasan mendasar kita. Berbagai organisasi dan gerakan ini di masa lalu disebut “gerakan massa”. Tetapi pihak sosialis otoritarian akhirnya menyelewengkan makna istilah “massa” ini menjadi serupa “bidak”, segerombolan massa gerakan tanpa tujuan yang harus diarahkan dan dibimbing oleh para pelopor (vanguard) yang terorganisir secara vertikal dalam bentuk partai politik. Artinya, kaum otoritarian memandang gerakan massa dengan kacamata hierarkis, sehingga berusaha untuk mengungguli dan mengendalikannya. Kami menganggap keterlibatan sosial dan rakyat dalam proses perubahan sosial sebagai sesuatu yang sangat penting. Gerakan-gerakan massa bisa disebut juga dengan organisasi sosial, gerakan populer, gerakan rakyat, atau gerakan sosial—sebuah istilah yang akan kita gunakan selanjutnya. Gerakan sosial adalah asosiasi orang-orang dan/atau entitas yang memiliki kepentingan bersama dalam membela atau menawarkan tujuan yang telah ditentukan oleh masyarakat. Gerakan-gerakan ini dapat muncul di tempat-tempat yang sangat beragam di masyarakat, dengan panji-panji perjuangan yang sangat berbeda-beda pula, yang menunjukkan kebutuhan orang-orang di seputar gerakan tersebut: sebuah tujuan bersama. Seperti yang telah kita lihat, sebagian besar masyarakat hari ini mengalami situasi penderitaan dan kekurangan, dan situasi ini seringkali menjadi faktor pembentuk asosiasi, yang memberi bentuk bagi organisasi-organisasi yang membela kepentingan rakyat.
Melalui organisasi-organisasi yang dibangun untuk membela kepentingan mereka, para pekerja memperoleh kesadaran akan adanya penindasan yang menimpa mereka, dan dengan adanya permusuhan yang memisahkan mereka dari kaum majikan [atau dari kelas penguasa], mereka mulai menginginkan kehidupan yang lebih baik dan membiasakan diri mereka dalam perjuangan kolektif dan solidaritas sehingga mampu memenangkan perbaikan kondisi yang sebanding dengan kegigihan negara dan rezim kapitalis.[99]Gerakan sosial adalah buah dari tiga gabungan yaitu: kebutuhan, kehendak, dan organisasi. Tiga gabungan ini mendorong terciptanya beragam gerakan sosial di seluruh dunia. Sama halnya seperti di Brasil. Di sini, ada gerakan rakyat tanpa tanah, gerakan tunawisma, gerakan kaum pengangguran dan komunitas, dan gerakan-gerakan untuk akses transportasi yang terjangkau dan berkualitas. Ada gerakan para pemulung sampah daur ulang, gerakan masyarakat adat, gerakan mahasiswa, gerakan hak asasi manusia, gerakan buruh, gerakan feminis, gerakan kaum kulit hitam, gerakan gay (LGBTQ), dewan-dewan rakyat, gerakan seni, budaya, lingkungan hidup, dan lainnya. Gerakan-gerakan ini memiliki kesamaan fakta bahwa mereka muncul dari dominasi dan eksploitasi terhadap masyarakat tempat kita hidup. Banyak dari gerakan-gerakan tersebut adalah hasil dari perjuangan kelas. Namun, tidak banyak gerakan sosial yang berupaya membangun organisasi rakyat, atau bahkan memerangi kapitalisme dan negara. Banyak dari mereka telah mengadopsi sifat dan nilai-nilai masyarakat kapitalis dan, bahkan lebih dari itu, seringkali turut menyebarkan sifat dan nilai-nilai ini. Mayoritas gerakan-gerakan ini—yang bisa kita sebut sebagai reformis—percaya bahwa ada jalan keluar untuk persoalan mereka di bawah kapitalisme. Dengan begitu tujuan dari sebagian besar gerakan ini hanyalah pencapaian keuntungan jangka pendek di dalam sistem kapitalisme, tidak lebih dari itu. Selain itu, dalam kebanyakan kasus, gerakan-gerakan sosial tidak dapat terpahami dengan baik di antara mereka sendiri, dan setiap gerakan akhirnya menjalankan perjuangannya sendiri-sendiri tanpa keterhubungan antar suatu gerakan dengan yang lainnya. Oleh karena itu, mereka bahkan belum berada di titik awal pembangunan organisasi rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada sejumlah gerakan sosial, sifat dan cara bertindak sebagian besar dari mereka kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang kita anggap tepat. Cara-cara yang dipilih tidak mengarah pada tujuan yang kita inginkan. Gerakan sosial yang kami perjuangkan, dan yang kami anggap dapat menyokong proyek politik kami, memiliki sifat dan cara tertentu dalam jalan kerjanya. Sebisa mungkin mereka adalah yang terkuat, dengan organisasi yang baik dan jumlah sebanyak mungkin, yang berfokus pada perjuangan yang telah mereka pilih sebagai prioritas. Jadi, sebuah gerakan rakyat tanpa tanah harus mencakup semua orang yang mau memperjuangkan tanah, gerakan kaum tunawisma harus merangkul semua orang yang mau berjuang untuk tempat tinggal, dan seterusnya. Oleh karena itu, kami percaya bahwa gerakan sosial tidak boleh memenjarakan diri dalam sebuah ideologi, apa pun ideologinya. Kami tidak percaya pada gerakan sosial anarkis, Marxis, atau sosial-demokratis, atau gerakan sosial dari ideologi-ideologi khusus lainnya. Oleh sebab itu, orang-orang dari ideologi yang paling berbeda pun harus “cocok” untuk masuk ke gerakan sosial yang siap kita ciptakan atau kembangkan. Bagi kami, sebuah “gerakan sosial anarkis”, atau gerakan sosial dengan ideologi lainnya, hanya akan cenderung memecah kelas yang dieksploitasi atau bahkan orang-orang yang tertarik berjuang untuk isu tertentu. Artinya, kekuatan yang menggerakkan penciptaan dan pengembangan gerakan sosial haruslah kebutuhan, bukan ideologi. Jadi “teori filosofis atau politis tidak boleh menjadi fondasi dasar, atau digunakan sebagai syarat resmi yang wajib dalam program [...]. Namun, bukan berarti persoalan politik dan filosofis [...] tidak dapat didiskusikan secara bebas”.[100] Meskipun kami percaya bahwa gerakan sosial tidak boleh dibatasi dalam sekat-sekat anarkisme, kami berpendapat bahwa anarkisme perlu seluas mungkin disebarkan dalam gerakan-gerakan sosial ini. Di bagian berikutnya kita akan membahas bagaimana hal ini dapat dilakukan dan apa tujuannya. Untuk sekarang, cukuplah bagi kami untuk mengatakan bahwa gerakan-gerakan sosial yang kami anjurkan bukan—dan sebaiknya tidak—anarkis. Akan tetapi, gerakan-gerakan ini adalah lahan subur bagi anarkisme. Sama halnya mengenai persoalan agama. Meskipun di tingkat politik kami memiliki posisi anti elit rohaniawan, pada tingkat sosial kita tidak boleh bersikeras mengenai masalah ini karena dapat menghalangi anggota kelas tertindas yang memeluk keyakinan atau agama tertentu untuk turut berjuang. Banyak orang dari kelas tertindas memeluk keyakinan atau agama, dan kita dapat bekerja dengan persoalan ini dalam gerakan tanpa harus menghalangi mereka untuk berjuang. Ada banyak kelompok agama progresif dalam gerakan sosial, yang merupakan bagian dari kubu sayap kiri yang luas dan terdapat kemungkinan untuk bekerja sama dengan mereka. Gerakan sosial “harus mencari landasan bersama, serangkaian asas sederhana di mana semua pekerja, apa pun [pilihan politik dan agama mereka], selama mereka adalah pekerja yang serius, yakni orang-orang yang dieksploitasi dan menderita, yang sepakat dan harus kompak”[101]. Sifat penting lainnya dari gerakan sosial adalah otonomi, terutama otonomi dari campur tangan negara, partai politik, serikat birokratis, lembaga agama, dan seterusnya. Gerakan sosial harus membuat keputusan dan bertindak secara mandiri, mengatasi urusan mereka sendiri dan merdeka dari lembaga-lembaga yang menggunakan, atau berusaha menggunakan, dominasinya untuk menundukkan mereka. Oleh karena itu, pihak-pihak yang ingin memimpin, memerintah, atau mengarahkan gerakan sosial untuk melayani kepentingan pribadinya, tidak boleh memiliki pengaruh atas gerakan sosial. Alasan utamanya adalah orang-orang semacam ini tidak berjuang untuk tujuan kolektif gerakan, melainkan menjadi hamba dari pepatah “melayani diri sendiri adalah cara terbaik untuk melayani orang lain.” Gerakan sosial tidak boleh terhubung dengan politisi atau bidang negara mana pun karena kita telah menyaksikan dalam banyak kasus, ketika mereka datang untuk membantu berarti mereka sedang mencari “basis” untuk kepentingan partai politiknya, berusaha meredam perjuangan dan mendorong pembangunan dialog dengan lembaga negara. Kita tahu benar pemahaman kaum otoritarian mengenai partai, kita tahu bahwa kepentingan mereka selalu adalah untuk mengekang gerakan sosial, baik itu partai reformis maupun partai revolusioner. Pertama, mereka terlibat dalam pemilu dan melihat gerakan sosial sebagai sumber suara. Kedua, mereka mencari “gerakan massa” yang melayani sebagai basis bagi kepeloporan mereka. Dalam hal ini, partai politik ingin memimpin dan mengarahkan gerakan sosial, menganggap dirinya lebih unggul, dan menganggap diri mereka sebagai yang tercerahkan dan akan membawa kesadaran kepada kelas-kelas yang dieksploitasi. Biasanya anggota mereka adalah kaum intelektual yang ingin tahu, melebihi keingintahuan rakyat itu sendiri, tentang apa yang terbaik bagi rakyat. Organisasi lain yang berusaha mengontrol, seperti gereja dan serikat birokratis juga tidak akan membantu gerakan sosial.
Orang-orang ini harus dikeluarkan dari gerakan sosial karena mereka tidak memperjuangkan kepentingan gerakan, melainkan kepentingan mereka sendiri. Gerakan sosial tidak membutuhkan bos, pemimpin, atau orang yang ingin menguasainya. Gerakan sosial membutuhkan orang-orang yang ingin mendukungnya dan berjuang dengannya, bukan yang berjuang untuk mendapatkan kendali atasnya. Gerakan sosial adalah sebuah ruang yang sahih karena memperjuangkan kebutuhan untuk bertahan hidup dan alasan-alasan bermartabat yang mengedepankan solidaritas sejati.”[102]Apa yang gerakan sosial perlukan adalah orang-orang yang ingin mendukung mereka, tanpa memandang asal kelas sosial mereka, karena mereka menganggap perjuangan itu adil. Tidak masalah jika pendukung gerakan sosial ada yang berasal dari kondisi berbeda dengan para militan lainnya. Kami menganggap wajar jika ada karyawan yang mendukung perjuangan para pengangguran, atau jika orang-orang yang memiliki tempat tinggal mendukung perjuangan para tunawisma, dan seterusnya. Bahkan orang-orang yang berasal dari kelas menengah, jika mereka beretika, mereka dapat dan bahkan harus mendekatkan diri pada bagian-bagian rakyat yang paling dieksploitasi dan menawarkan dukungannya. Solidaritas ini sebaiknya selalu diterima dengan baik karena ia penting bagi gerakan sosial. Seperti yang dikatakan Kropotkin, mendorong orang-orang dari kelas menengah agar berjuang bersama rakyat adalah sebuah tugas etis. Dia berkata:
[...] Kalian semua yang memiliki pengetahuan dan bakat, jika kalian memiliki hati, datanglah, kalian dan kawan-kawan kalian, gunakan pengetahuan dan bakat kalian untuk melayani mereka yang paling membutuhkan. Dan ketahuilah bahwa jika kalian datang, kalian datang bukan sebagai tuan, tetapi sebagai kawan dalam perjuangan. Bukan untuk memerintah, tetapi untuk menginspirasi diri kalian di tengah-tengah situasi baru. Lebih banyak memahami—ketimbang mengajari—suara massa, meraba dan merumuskannya, dan kemudian bekerja, tanpa lelah, terus menerus, [...] untuk membuatnya hidup. Ketahuilah bahwa setelah (melakukan itu semua), dan hanya setelahnya, kalian sudah menghidupi kehidupan yang bermakna.[103]Proses seleksi pendukung gerakan sosial ini akan tergantung pada orang-orang yang memang berniat beraksi dalam situasi tersebut. Baik pendukung maupun militan yang merupakan anggota organisasi harus menunjukkan bahwa mereka lebih bersedia mendengarkan ketimbang berbicara. Mereka harus menyadari situasi dan keadaan orang-orang yang membentuk gerakan sosial itu, berjuang bahu-membahu serta bertumbuh bersama mereka—dan tidak membatasi cara dan bentuk gerakan tersebut dengan cara-cara otoritarian dan vertikal. Dalam hal ini, pendukung atau militan akan memahami bahwa yang paling relevan untuk dilakukan adalah membandingkan ideologi mereka dengan kenyataan kelompok tersebut dan tidak berusaha mengecilkan gerakan sosial ke dalam kepastian-kepastian ideologis mereka. Selain itu, ketika kita berbicara tentang otonomi, kita harus mengingat bahwa bagi kita otonomi bukan berarti tidak adanya perjuangan ideologis atau bahkan ketiadaan organisasi. Ketika Anda menganjurkan "non-ideologi", atau hanya spontanitas—ketika Anda melepaskan proyek dan program revolusioner—dan menyebutnya sebagai otonomi—berarti Anda sedang membuka ruang dan kemudian menyerahkan medan terbuka ini bagi kelas penguasa, kaum birokrat, dan kaum otoritarian untuk mereka mengisi ruang-ruang ini. Corak penting lainnya dari gerakan sosial adalah daya tempurnya. Ketika menyerukan bahwa gerakan sosial perlu berdaya juang berarti kita sedang mengatakan bahwa gerakan sosial harus membangun semangat penaklukannya dengan cara mengerahkan kekuatan sosialnya, dan tidak bergantung pada bantuan atau niat baik sektor masyarakat mana pun, termasuk negara. Daya tempur juga ditandai dengan sikap mempertahankan perjuangan kelas agar tetap berada di luar kendali negara. Ketika kita memahami negara sebagai pilar pendukung kuat bagi kapitalisme, kita tidak percaya bahwa gerakan sosial dapat melaksanakan politik mereka di dalam negara tanpa kemudian menggunakan cara-cara yang akan membenarkan kapitalisme. Pendekatan yang dilakukan negara terhadap gerakan sosial selalu merupakan cara untuk memanfaatkannya, membuat "perjanjian sosial" tertentu yang bertujuan untuk meredam semangat perjuangan kelas, dengan tujuan untuk memastikan keabsahan sistem. Terlepas dari apakah gerakan sosial itu kurang atau terlalu agresif, kenyataannya adalah bahwa gerakan-gerakan tersebut tetap harus selalu sengit dan siap menghadapi kapitalisme atau negara itu sendiri. Kami juga mendukung aksi langsung sebagai sebentuk aksi politik yang berlawanan dengan demokrasi perwakilan. Gerakan sosial sebaiknya tidak mempercayai politisi yang bekerja di dalam negara dan mengaku-ngaku mewakili kepentingan rakyat. Kita telah mengetahui bahwa sistem demokrasi perwakilan akan mengubah semua orang yang memasukinya, bahkan orang-orang dengan niat baik sekalipun—sistem ini tidak mengizinkan politisi terpilih untuk bertindak bagi kepentingan kelas yang dieksploitasi. Bahkan politisi "kiri" acapkali mengira sarana adalah tujuan, dan mereka sendiri kebingungan soal gerakan sosial sehingga tidak menganggap gerakan sosial sebagai sarana paling tepat untuk pembebasan. Aksi langsung terjadi ketika gerakan sosial itu sendiri
terus menerus bergerak menghadapi keadaan saat ini, tanpa mengharapkan apa pun dari pihak/kekuasaan/kekuatan lain di luar diri mereka sendiri, dan justru [...] menciptakan kondisi perjuangannya sendiri dan mengerahkan dirinya sendiri untuk menjadi sarana aksi. [...] Oleh karena itu, aksi langsung adalah perwujudan yang jelas dan murni dari semangat pemberontakan: ia menjadikan perjuangan kelas yang nyata, melampaui bidang teori dan abstraksi menuju ke bidang praktik dan perwujudannya. Hasilnya, aksi langsung adalah perjuangan kelas yang dijalani setiap hari, ia adalah serangan tanpa henti terhadap kapitalisme.[104]Dengan cara ini gerakan sosial tidak mempercayakan aksi mereka kepada para politisi, dan berupaya bergerak sesuai kehendak mereka sendiri, mempraktikkan motto IWA bahwa “pembebasan pekerja adalah tugas para pekerja itu sendiri”. Perjuangan untuk pembebasan ini harus dilakukan secara strategis, dan aksi langsung mesti dirancang menjadi kurang-lebih agresif, tergantung tuntutan keadaan. Ketika kekerasan diperlukan, ia harus selalu dipahami sebagai sebuah tanggapan pertahanan diri dari sistem dominasi dan eksploitasi tempat kita hidup saat ini. Aksi langsung adalah cara gerakan sosial berpolitik, sebab
dalam arti yang kami pahami, politik tidak berarti menjadi anggota partai, melainkan pengelolaan segala hal yang bersifat publik, untuk semua orang. Politik yang dilaksanakan oleh rakyat, dan diorganisir dengan benar, akan dapat secara ampuh membuahkan keputusan mengenai segala sesuatu yang menjadi persoalan mereka. Politik yang kita dukung adalah yang saat ini dikenal sebagai perjuangan kelas pekerja, terorganisir dari bawah ke atas, dalam melawan eksploitasi dan penindasan yang menjadikan kita sebagai korbannya. Dalam pengerahan sosial ini, kita melihat sejumlah harapan untuk perubahan politik yang serius di masyarakat.[105]Maka gerakan sosial tidak berjuang untuk mendapatkan kekuasaan negara atau berkuasa dalam struktur kelembagaannya. Gerakan sosial selalu terorganisir di luar negara, dan menganjurkan kembalinya kekuasaan politik ke tangan rakyat. Dengan demikian, kami percaya bahwa masalahnya bukan siapa yang menguasai negara, melainkan negara itu sendiri. Dan hanya dengan cara ini kami dapat memahami konsep kekuasaan rakyat yang dianjurkan oleh kelompok-kelompok dan organisasi lain. Jika yang dimaksud dengan kekuasaan rakyat adalah kekuatan sosial yang bertumbuh dari pengorganisasian kelas tertindas, tertanam dalam perselisihan yang sedang berlangsung melawan kapitalisme dan negara—maka kami sependapat. Namun, ada juga orang-orang yang menganggap kekuasaan rakyat sebagai pendukung kepeloporan partai-partai otoritarian, yang terlepas dari basis, bersifat hierarkis, dan membutuhkan negara serta berbagai jenis birokrasi lainnya. Ketika kekuasaan rakyat menampilkan jenis yang kedua ini, maka kami sepenuhnya tidak sependapat. Selain aksi langsung sebagai cara berpolitiknya, jika gerakan sosial–sesuai yang kami pahami—mengusulkan dirinya sebagai agen perubahan sosial yang menonjol, maka ia juga harus menggunakan demokrasi langsung sebagai metode pengambilan keputusannya. Demokrasi langsung terjadi dalam gerakan sosial ketika semua orang yang terlibat di dalamnya dapat secara ampuh mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Dengan menggunakan metode ini, keputusan dibuat dengan cara setara (semua orang memiliki hak bersuara dan hak pilih yang sama) dalam majelis-majelis horizontal, di mana berbagai masalah dibahas dan dirembuk. Tidak ada orang atau kelompok lain yang membahas atau mendiskusikan masalah di luar majelis-majelis ini, dan tidak ada hierarki atau bos yang memerintah, sementara yang lain cuma mematuhinya. Demokrasi langsung yang dilaksanakan seperti ini kurang lebih mirip dengan cara berfungsinya sosialisme libertarian sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Dengan kata lain, gerakan sosial secara internal terkoordinasi dengan asas-asas manajemen diri (swakelola) dan jika diperlukan bisa saling terhubung satu sama lain melalui asas federalisme. Penting untuk dicatat bahwa, dengan bertindak menggunakan cara ini, kita sedang menegaskan posisi yang kita pegang dan tujuan yang ingin kita capai, mengukuhkan sebuah nasihat yang berkata bahwa "tujuannya terletak di caranya". Bahkan pemimpin dan fungsi jabatan mesti bersifat sementara, harus digilir dan dapat dicopot saat diperlukan. Dalam bentuk gerakan sosial ini, ada kebutuhan bagi militan untuk berperilaku dengan etika dan tanggung jawab. Etika, perilaku militan yang tepat, dilandaskan pada asas-asas yang bertentangan dengan kapitalisme dan negara, yaitu perilaku yang mendukung kerja sama, solidaritas, dan saling membantu. Ia juga memandu perilaku militan untuk beroperasi tanpa membahayakan orang lain, mendorong berbagai bentuk dukungan timbal balik, dan tidak mengizinkan sikap-sikap yang bertujuan untuk memecah atau berkelahi dengan tidak adil. Tanggung jawab, sebuah asas yang melawan nilai-nilai kapitalisme, mendorong militan gerakan sosial untuk berprakarsa, memikul tanggung jawab dan melaksanakannya—mencegah segelintir orang melakukan terlalu banyak tugas—memastikan mereka memiliki sikap yang sesuai dengan semangat bertarung dan bahwa mereka turut serta dengan cara terbaik untuk gerakan sosial. Solidaritas dan gotong royong juga merupakan asas-asas yang harus didorong dalam gerakan sosial. Bertentangan dengan individualisme kapitalisme, persatuan kelas-kelas yang dieksploitasi perlu didorong untuk melawan kapitalisme dan negara. Orang-orang sedang membangun solidaritas kelas pada saat mereka meninggalkan kesendiriannya dan berusaha berhimpun, bergabung bersama orang-orang lainnya yang juga ingin membangun dunia yang lebih adil dan setara. Hal ini terjadi melalui asosiasi satu orang dengan yang lainnya untuk kemudian membentuk gerakan sosial, atau bahkan dari satu gerakan sosial ke gerakan lainnya dalam upaya membangun organisasi rakyat untuk mengatasi kapitalisme dan negara. Dalam hal ini batasan-batasan negara sebaiknya tidak kita pedulikan, sebab gerakan sosial harus menunjukkan solidaritas yang dilandaskan di atas kepentingan kelas, bukan kepentingan nasional. Ketika mereka dipandu oleh kepentingan kelas, gerakan sosial bersifat internasionalis. Gerakan sosial juga merupakan ruang yang pas untuk pengembangan budaya dan pendidikan rakyat. Budaya, sebagai cara hidup dan berperilaku kelas-kelas yang dieksploitasi, akan memberi bentuk fisik pada pendidikan rakyat. Semua yang terlibat dalam pengerahan akan mengembangkan pembelajarannya, dan bentuk-bentuk baru, perwujudan, bahasa, dan pengalaman, akan menggambarkan semangat perjuangan. Karena tidak ada pengetahuan yang sempurna, pendidikan ini akan terjadi dengan proses pertukaran pengetahuan antar militan, di mana tidak ada guru dan murid, sebab semua orang adalah guru dan murid. Semua orang belajar dan semua orang mengajar. Dengan cara ini, ada pembangunan pendidikan yang menghormati budaya masyarakat dan memberdayakan militan melalui dialog, debat, dan pertukaran pengalaman. Dalam proses ini, kita bisa membandingkan nilai-nilai kapitalisme yang disebarkan setiap hari oleh media, sekolah, dan sarana-sarana penciptaan lainnya. Selain itu, pengalaman-pengalaman perjuangan ini juga menyediakan "ruang olahraga revolusioner". Setiap pengalaman perjuangan akan memberikan kita pencapaian-pencapaian jangka pendek sekaligus juga membantu proses pendidikan—memberi ruang untuk mendapatkan pengalaman praktik, mencari kebebasan melalui berlatih untuk bebas. Bagi gerakan sosial, pencapaian keuntungan jangka pendek—yang disebut reformasi—akan berfungsi untuk mengurangi penderitaan orang-orang yang berjuang, dan pada saat yang sama juga memberi pelajaran tentang organisasi dan perjuangan. Oleh karena itu, kami memahami bahwa “kita akan mengambil dan memenangkan setiap reformasi yang mungkin kita raih, dengan semangat pasukan yang terus maju pada jalurnya dengan cara merebut wilayah-wilayah yang diduduki musuhnya”[106]. Dan kami percaya bahwa dalam memperjuangkan reformasi, gerakan sosial tidak harus menjadi reformis—yakni orang-orang yang meyakini reformasi sebagai tujuan akhir. Bahkan, perjuangan-perjuangan untuk reformasi juga dapat melestarikan praktik revolusioner dan melawan reformisme. “Kita bukannya menolak reformisme karena perbaikan kondisi parsial tidak menarik bagi kita, tetapi karena kita percaya bahwa reformisme tidak hanya menjadi hambatan bagi revolusi, ia juga menjadi hambatan bahkan bagi reformasi”.[107] Pernyataan ini menyisakan ruang bagi sifat kunci lain yang menurut kami begitu mendasar dalam gerakan sosial, yaitu: sudut pandang revolusioner jangka panjang. Dalam hal ini, gagasannya adalah bahwa: walaupun setiap gerakan sosial memiliki tuntutan khususnya masing-masing (tanah, rumah, pekerjaan, dll.), mereka dapat pula memiliki revolusi dan pembangunan masyarakat baru sebagai tujuannya. Kami memahami perjuangan jangka pendek dan jangka menengah sebagai pelengkap perspektif jangka panjang ini, menjadi tidak terpisahkan satu sama lain. Dengan sudut pandang berjangka panjang, gerakan sosial memiliki kemampuan penaklukan yang lebih besar, mengingat semakin jauh tujuan, semakin besar penaklukan—dan penaklukan di awal tidak lantas menjadi akhir perjuangan. Banyak gerakan sosial tidak memiliki sudut pandang jangka panjang, dan ketika permintaan mereka terpenuhi (rakyat tanpa tanah akhirnya mendapatkan tanah, para tunawisma mendapatkan rumah, pengangguran mendapatkan pekerjaan, dll.), mereka pikir inilah akhir dari segalanya. Bagi kami, ini hanyalah langkah awal, yang bahkan ketika tercapai, seharusnya merangsang perjuangan lain dan pengerahan lain seputar masalah lain yang juga mempengaruhi masyarakat kita. Sudut pandang inilah yang bisa membuat kita tetap kritis dalam memandang gerakan sosial dalam kaitannya dengan kapitalisme dan negara, membuat kita waspada terhadap upaya kompromi dengan kelas penguasa atau dimanfaatkan oleh kapitalisme dan negara. Sudut pandang jangka panjang ini juga dapat mendorong solidaritas dan semangat saling membantu, karena kelas-kelas yang dieksploitasi tidak lagi menganggap dirinya terpisah-pisah, melainkan sebagai bagian dari sebuah perjuangan utuh dalam membangun masyarakat baru. Dengan demikian, gerakan sosial mempertahankan sudut pandang jangka panjang yang revolusioner
dalam artian bahwa ia ingin mengganti sebuah masyarakat yang didirikan di atas ketidaksetaraan—di mana sekelompok besar manusia dieksploitasi oleh segelintir penindas, dibangun di atas hak istimewa, di atas kemalasan, di atas otoritas tunggal yang menguasai berbagai hal indah—dengan sebuah masyarakat yang dibangun di atas keadilan yang setara dan kebebasan untuk semua. [...] Singkatnya, ia menginginkan sebuah pengorganisasian ekonomi, politik, dan sosial, di mana setiap manusia, tanpa mengurangi keunikan alamiah dan individual mereka, bisa mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri, mendidik diri, berpikir, bekerja, bertindak, dan menikmati hidup sebagai manusia.[108]Poin penting lain yang harus disebutkan adalah kenyataan bahwa gerakan sosial sering kali merupakan hasil dari aksi dan pengerahan spontan kelas-kelas tertindas. Bagi kami, hal ini alamiah, dan kami paham bahwa kami harus membiasakan diri hidup dengannya. Dalam situasi ekstrim, sektor-sektor penduduk akan memberontak atau mengerahkan diri dengan alasan yang berbeda-beda: untuk menolak ketidakadilan, menanggapi serangan sistem yang berkuasa, menuntut sesuatu untuk dimakan, menuntut tempat tinggal dll. Jika di satu sisi kami menganjurkan organisasi, kami percaya bahwa di sisi lain kami pun harus selalu mendukung momen-momen mobilisasi rakyat yang mendadak muncul ini. Tujuan organisasi harus diupayakan di tengah-tengah perjuangan. Oleh karena itu kita tidak boleh mempertanyakan spontanitas ketika ia terjadi, kita justru terlibat dalam perjuangan itu dan mencoba menjadi penyalur bagi kekuatan-kekuatan tersebut agar mereka mampu mencapai tingkat organisasi yang diperlukan. Pertemuan gejolak pergerakan sosial ini, yang secara alamiah mengandung tingkat spontanitas tinggi dengan berbagai keadaan sosial yang berbeda (represi, undang-undang, perubahan kekuatan politik di tempat kerja, dll), secara alamiah akan menyebabkan gerakan sosial memiliki gelombang pasang dan surut. Akan ada waktu di mana keadaan menyediakan kenyataan perjuangan yang lebih radikal dan ajek. Sementara di waktu lain, akan ada keadaan di mana artikulasi menjadi sulit, semangat patah, ketakutan, dan lainnya. Begitulah adanya, wajar jika ada keadaan pasang dan surut.
Pada waktu-waktu tertentu, yang biasanya mendahului peristiwa sejarah besar atau pencapaian besar umat manusia, segala sesuatu tampaknya maju dengan kecepatan pesat, semua hal menghembuskan kekuatan: pikiran, hati, kehendak, semuanya serentak, segala sesuatu tampak bergerak menuju penaklukan cakrawala baru. Jadi ia terbangun di seluruh masyarakat, seperti arus listrik yang menyatukan individu-individu yang sangat berjauhan ke dalam sebuah sentimen yang sama, dan menyatukan berbagai pikiran yang sangat berbeda ke dalam sebuah pemikiran bersama, dan menanamkan kehendak yang sama pada semua orang. [...] Tapi ada pula saat-saat suram, putus asa, dan kegagalan, di mana segala sesuatu menghembuskan kemerosotan, kelesuan, dan kematian, yang menunjukkan kemunduran hati nurani dalam lingkup pribadi dan publik. Inilah masa surut yang mengikuti malapetaka besar dalam sejarah.[109]Menurut kami, tugas kami adalah untuk menilai ulang keadaan sebagaimana mestinya dan bertindak dengan cara yang tepat. Ketika keadaan menunjukkan keadaan pasang, kita mesti menyerang, bertindak dengan kekuatan penuh, dan memperlengkapi semua organisasi yang diperlukan. Ketika keadaan menunjukkan keadaan surut, kita harus mengerti bagaimana cara berdamai dengan masalah, “menjaga api tetap menyala”, dan menunggu waktu yang tepat untuk pengerahan kekuatan berikutnya. Akhirnya, kami berpandangan bahwa kita harus menghancurkan keterasingan tiap pribadi, menciptakan dan mendorong perkembangan gerakan sosial dengan sifat yang telah dijelaskan. Inilah langkah awal dalam strategi permanen kita. Setelahnya, dalam langkah kedua, kita perlu bergabung ke dalam berbagai gerakan sosial untuk pembentukan apa yang kita sebut sebagai organisasi rakyat, yang akan menjadi tumpuan gerakan sosial dalam perjuangan terus menerus melawan kapitalisme dan negara. Kita berusaha secara konsisten untuk meradikalisasi dan membangun kekuatan sosial organisasi rakyat sebab kita paham bahwa hal-hal tersebut yang memungkinkan kita untuk mencapai revolusi sosial, dan dengan demikian, membangun sosialisme libertarian. Dalam proses perubahan sosial ini, kami percaya bahwa kelas-kelas yang dieksploitasi memiliki peran yang sangat diperlukan. “Tanpa bantuan kekuatan massa ini, kemenangan revolusi tidak akan mungkin terjadi”.[110] * Organisasi Anarkis Spesifik “Jika (kaum revolusioner) tidak memiliki gagasan yang memandu tindakan mereka, mereka serupa kapal tanpa kompas.” Ricardo Flores Magon “Sebuah organisasi anarkis, menurut pendapat saya, harus didasarkan pada kemandirian penuh, kemerdekaan penuh, dan, oleh karena itu, pada tanggung jawab penuh setiap pribadi dan kelompok; pada kesepakatan bebas antar mereka yang percaya bahwa dirinya perlu bersatu satu sama lain, demi bekerja sama untuk tujuan bersama; pada kewajiban moral untuk menjaga tekad yang telah diterima, dan tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan program yang telah diterima.” Errico Malatesta ** A. Organisasi Anarkis Dalam naskah ini, kami telah sesekali membahas tentang organisasi khusus anarkis dan harapan-harapan kami terhadapnya. Seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, tujuan organisasi khusus anarkis adalah “untuk membangun organisasi rakyat dan memberikan pengaruh di dalamnya, memberinya sifat-sifat yang diinginkan, dan untuk mencapai sosialisme libertarian melalui revolusi sosial”. Selanjutnya, kami memahami kegiatan ini sebagai kegiatan tingkat politik. Organisasi khusus anarkis adalah pengelompokan tiap pribadi anarkis untuk bekerja sama demi meraih tujuan-tujuan yang dipahami dengan jelas. Pengelompokkan ini adalah kehendak mereka sendiri dan dilandaskan pada kesepakatan yang bebas antar mereka. Beragam bentuk dan cara digunakan agar tujuan-tujuannya dapat tercapai, atau setidaknya bergerak menuju tujuan tersebut. Dengan demikian, organisasi anarkis adalah “[...] sekumpulan individu yang memiliki tujuan bersama dan berusaha keras untuk mencapainya. Secara alamiah mereka saling memahami, menggabungkan kekuatan, berbagi tugas, dan mengambil segala tindakan yang sesuai untuk tugas ini”[111]. Melalui organisasi anarkis, kaum anarkis mengartikulasikan dirinya di tingkat politik dan ideologis demi menerapkan politik revolusioner ke dalam praktik dan merancang cara kerja mereka—yang mengarah pada tujuan akhir: revolusi sosial dan sosialisme libertarian. Praktik politik yang mendekatkan pada tujuan akhir ini harus menciptakan organisasi yang dapat memenuhi tugas-tugas anarkisme, tidak hanya waktu mempersiapkan revolusi sosial, tetapi juga setelahnya. Organisasi semacam ini harus menyatukan semua kekuatan revolusioner anarkisme dan dengan segera mempersiapkan massa untuk revolusi sosial dan untuk berjuang mewujudkan masyarakat anarkis.[112] Organisasi ini dibangun di atas kesepakatan antar saudara seperjuangan, baik untuk fungsi jabatan-jabatan di dalamnya maupun untuk aksi keluar—tanpa melakukan hubungan dominasi, eksploitasi, atau mengasingkan diri atau orang lain—dan mendirikan organisasi yang libertarian. Fungsi organisasi khusus anarkis adalah untuk mengkoordinasikan dan secara ajek meningkatkan serta menggabungkan kekuatan sosial dari kegiatan-kegiatan militan anarkis, menjadi alat untuk perjuangan yang kokoh dan konsisten, yang merupakan sarana mendasar dalam mengejar tujuan akhir. Karena itu,
[...] kita perlu bersatu dan berorganisasi: pertama untuk bertukar pendapat, kemudian untuk mengumpulkan sarana untuk revolusi, dan akhirnya, untuk membentuk sebuah keseluruhan yang organik, yang bersenjatakan sarana-sarana itu dan diperkuat oleh persatuan. Kelak ketika momen bersejarah muncul, kita dapat menyapu bersih semua penyimpangan dan tirani dunia [...]. Organisasi adalah cara untuk membedakan diri Anda, dengan program gagasan terperinci dan metode-metode yang ditentukan, semacam panji-panji pemersatu untuk memulai pertempuran. Organisasi adalah cara untuk mengetahui siapa saja yang dapat Anda andalkan dan menyadari kekuatan yang dimiliki seseorang.[113]Untuk membentuk alat pertempuran yang kokoh dan mantap ini, penting bahwa organisasi anarkis memiliki garis strategis-taktis dan garis politik yang telah ditentukan dengan baik sebelumnya. Ini terjadi melalui kesatuan teoretis dan ideologis, dan kesatuan strategi dan taktik. Organisasi dengan haluan yang dapat dipahami dengan baik ini menyatukan kaum anarkis di tingkat politis dan ideologis, serta mengembangkan praktik politik mereka di tingkat sosial. Organisasi di tingkat politik terdiri dari minoritas yang aktif, sementara di tingkat sosial jumlah pesertanya selalu jauh lebih besar dibandingkan tingkat politik. Praktik politik ini akan terlihat ketika organisasi anarkis yang berisi minoritas aktif melakukan kerja sosial di tengah-tengah perjuangan kelas—melakukan peleburan sosial—yang dapat terlihat ketika organisasi anarkis berhasil mempengaruhi gerakan sosial tempatnya terlibat. Jika sebagai minoritas aktif mereka terorganisir dengan baik, para anarkis akan membentuk kekuatan sosial yang jauh lebih besar dengan kerja sosialnya dan berpeluang lebih besar untuk melakukan peleburan sosial. Selain kerja sosial dan peleburan sosial, organisasi khusus anarkis juga melakukan kegiatan-kegiatan lain: produksi dan reproduksi teori, propaganda anarkis, pendidikan politik, pemahaman dan penerapan strategi, hubungan politik dan sosial, dan pengelolaan sumber daya. Jadi dapat kita katakan bahwa kegiatan organisasi khusus anarkis adalah: 1. Kerja Sosial dan Peleburan Sosial 1. Produksi dan reproduksi Teori 1. Propaganda Anarkis 1. Pendidikan Politik 1. Pemahaman dan Penerapan Strategi 1. Hubungan-hubungan Politik dan Sosial 1. Pengelolaan Sumber Daya Kegiatan-kegiatan ini dapat dilaksanakan secara terbuka atau tertutup, selalu dengan mempertimbangkan keadaan sosial tempat organisasi ini beroperasi. Kita bisa berkegiatan secara terbuka atau tertutup karena kami percaya bahwa “sesuatu harus terbuka ketika semua bersepakat bahwa banyak orang harus mengetahuinya, dan dirahasiakan jika semua bersepakat bahwa ia harus disembunyikan”[114]. Di masa-masa dengan sedikit represi, organisasi anarkis dapat bekerja secara terbuka dan melakukan propaganda seluas mungkin serta mencoba menarik sebanyak mungkin orang. Pada masa-masa ketika represi meningkat, “misalnya ketika pemerintah melarang kita berbicara, mencetak media, berkumpul, berserikat, dan ketika kita tidak memiliki kekuatan untuk memberontak secara terbuka, kita akan mencoba berbicara, mencetak media, berkumpul, dan berserikat secara sembunyi-sembunyi”[115]. Dalam kerja-kerja yang beragam sesuai dengan keadaan sosialnya masing-masing, organisasi khusus anarkis harus selalu membela kepentingan kelas yang dieksploitasi, sebab organisasi ini adalah ungkapan politik dari kepentingan ini. Bagi kami, gagasan-gagasan anarkisme
[...] tidak ada artinya jika ia bukan ungkapan alamiah rakyat yang paling tulen dan sesuai kenyataan. Jika anarkisme tidak sesuai dengan naluri ini, maka ia keliru, dan selama ia keliru, ia akan ditolak oleh rakyat. Tetapi jika gagasan-gagasan ini adalah ungkapan naluri yang jujur, jika ia benar-benar mewakili pemikiran rakyat, ia akan dengan cepat merasuki semangat orang-orang yang melawan, dan selama gagasan-gagasan ini bertemu dengan semangat rakyat, ia akan dengan cepat terwujudkan.[116]Organisasi khusus anarkis dipahami sebagai ungkapan politik dari kepentingan kelas yang dieksploitasi, sehingga ia tidak bertindak atas nama mereka dan tidak menempatkan diri di atas mereka. Organisasi khusus anarkis tidak menggantikan organisasi sosial dari kelas-kelas yang dieksploitasi, melainkan memberikan kesempatan bagi kaum anarkis untuk menempatkan diri mereka dalam perjuangan kelas. Dalam praktik politik yang melayani perjuangan kelas tertindas, organisasi anarkis dipandu oleh Statuta Prinsip. Asas-asasnya adalah pegangan dan gagasan etis yang tidak dapat ditawar. Asas-asas ini memandu semua praktik politik dan memberikan contoh untuk aksi anarkis. “Konsistensi terhadap asas-asas inilah yang menentukan ketulenan ideologis terkait anarkisme”.[117] Dalam kasus kami, Statuta Prinsip 2003[118] mendefinisikan sembilan pijakan: kebebasan, etika dan nilai, federalisme, swakelola, internasionalisme, aksi langsung, perjuangan kelas, praktik politik dan peleburan sosial, dan gotong royong. Pertama-tama kami menegaskan asas kebebasan, menegaskan bahwa “perjuangan untuk kebebasan mendahului anarki”. Seperti pemikiran Bakunin, kami berpendapat bahwa “kebebasan individu [...] hanya dapat menemukan ekspresi tertingginya dalam kebebasan kolektif”, dan oleh karena itu kami menolak usulan-usulan anarkisme individualis. Demikianlah sosialisme libertarian diperjuangkan tanpa henti demi kebebasan. Asas lain yang sangat penting bagi kami adalah etika dan nilai, yang membuat semua praktik kami didasarkan pada etika anarkis yang merupakan “tekad militan yang tidak dapat ditawar”. Melalui etika, kami menganjurkan kesesuaian antara cara dengan tujuan, dan saling menghormati. Kami menegaskan federalisme dan swakelola sebagai asas organisasi non-hierarkis dan desentralis, ditopang oleh hubungan saling membantu dan asosiasi bebas, sesuai pernyataan IWA bahwa setiap orang memiliki hak dan kewajiban. Selanjutnya, asas-asas inilah yang akan memandu pengelolaan masyarakat masa depan di semua bidang: pengelolaan ekonomi, politik, dan sosial, yang dilakukan oleh para pekerja itu sendiri. Menekankan perjuangan untuk swakelola berarti menegaskan bahwa “walaupun kita hidup berdampingan dengan sistem yang sudah ketinggalan zaman ini, [swakelola] dapat meningkatkan peluang perubahan yang mengarahkan kita pada masyarakat yang setara”. Asas internasionalisme menyoroti sifat internasional dari perjuangan dan kebutuhan untuk bekerja sama yang didasarkan pada kesamaan kelas dan bukannya kesamaan negara. Kaum yang dieksploitasi di suatu negara harus melihat kelompok yang dieksploitasi di negara lain sebagai kawannya, dan bukan musuh. Internasionalisme berlawanan dengan nasionalisme dan pemujaan negara, sebab keduanya mewakili rasa superioritas atas negara dan masyarakat lain. Ia memperkuat etnosentrisme dan prasangka—langkah awal menuju xenofobia. Semua orang, apa pun kebangsaannya, harus setara dan bebas. Aksi langsung dipilih sebagai asas, yang dibangun di atas horizontalisme dan yang mendorong kaum pekerja sebagai tokoh utama perjuangan, menentang demokrasi perwakilan yang mengasingkan rakyat secara politik. Aksi langsung membuat rakyat mengendalikan keputusan dan tindakan mereka sendiri, “menghubungkan kaum pekerja dan kaum tertindas ke tengah-tengah aksi politik”. Selain itu, kami memilih untuk mendasarkan diri pada perjuangan kelas. Kami memahami diri sebagai organisasi pekerja yang membela orang-orang yang dieksploitasi, berjuang untuk penghapusan masyarakat kelas dan penciptaan masyarakat baru di mana tidak ada lagi tuan dan budak. Oleh karena itu, kami mengakui dan mendahulukan perjuangan kelas. Bagi kami, ada kebutuhan penting untuk melawan kejahatan kapitalisme secara langsung dan untuk itu kita mesti bertarung bersama orang-orang lain yang dieksploitasi, sehingga akibat dari keberadaan masyarakat yang berkelas-kelas ini bisa terlihat lebih jelas dan nyata. Asas praktik politik dan peleburan sosial memperkuat gagasan bahwa hanya di tangan kelas tertindaslah anarkisme mampu berkembang. Oleh karena itu, organisasi anarkis harus berusaha terhubung dengan semua bentuk perjuangan rakyat, di mana pun ia terjadi. Kami menegaskan bahwa pertemuan organisasi anarkis dengan berbagai perwujudan perjuangan—“baik dalam bidang sosial, budaya, petani, serikat buruh, pelajar, komunitas masyarakat, lingkungan, dll, selama dimasukkan dalam kerangka perjuangan untuk kebebasan”—diperlukan untuk mengkonkretkan asas ini. Asas terakhir dalam Statuta adalah gotong royong, yang mendorong solidaritas dalam perjuangan, mendorong pemeliharaan hubungan persaudaraan dengan semua orang yang benar-benar bekerja untuk dunia yang adil dan setara. Asas ini mendorong solidaritas yang efektif antar kaum yang dieksploitasi. Pada saat melaksanakan kerja sosial, organisasi khusus anarkis berusaha memberikan pengaruh yang membangun pada gerakan sosial dengan berbagai usulan. Pada saat bersamaan, organisasi anarkis menjauhkan gerakan sosial dari pengaruh buruk seseorang atau kelompok yang tidak membela kepentingan rakyat, yang tidak mendorong rakyat untuk menjadi pelaku utama bagi pembebasan mereka sendiri, yaitu pihak-pihak yang menggunakan rakyat untuk mencapai tujuan lain. Kita tahu bahwa politisi, partai, serikat buruh, dan individu serta organisasi otoritarian lainnya—seperti gereja, sindikat narkoba, dll—merupakan penghambat bagi pembangunan organisasi rakyat sebab mereka meresap ke dalam gerakan sosial. Dalam banyak kasus, mereka berusaha mengambil kesempatan dari banyaknya orang yang berkumpul di sana: berusaha mengumpulkan suara untuk pemilu, yang merupakan basis bagi proyek kekuasaan otoritarian, mengumpulkan uang, menaklukkan kepercayaan orang-orang yang terlibat, membuka pasar baru, dan sebagainya. Organisasi dan pribadi-pribadi otoritarian tidak ingin mendukung gerakan sosial. Mereka ingin menggunakan gerakan sosial untuk mencapai tujuan sendiri (organisasi atau individu otoritarian). Tujuan mereka tidak sesuai dengan tujuan para militan gerakan sosial—sebab kaum otoritarian berusaha membangun hubungan dominasi atas gerakan-gerakan sosial. Setiap anarkis yang mengorganisir atau yang pernah melihat situasi dalam gerakan sosial, paham bahwa tanpa adanya organisasi yang mantap, yang mampu memberikan kekuatan kepada para anarkis dalam perebutan ruang politik yang tengah berlangsung ini, kaum otoritarian akan menghegemoni dan kerja para anarkis akan tenggelam. Tanpa membangun kekuatan sosial yang penting ini, kaum anarkis akan menghadapi dua kemungkinan: 1.) mereka akan diperalat untuk membantu kaum otoritarian sebagai kacung dalam melaksanakan proyek-proyek kekuasaan otoritarian, atau 2.) mereka akan disingkirkan. Dalam kasus pertama, kami berbicara tentang para anarkis yang tidak terorganisir secara khusus, tapi terlibat dalam sebuah peristiwa perjuangan yang sedang terjadi. Saat tidak terorganisir, para anarkis ini tidak mampu memberikan pengaruh yang diperlukan sebab mereka tidak memiliki kekuatan sosial. Mereka akan diizinkan tetap berada di gerakan sosial semata-mata karena dianggap tidak mengganggu. Dalam kasus kedua, kita berbicara tentang para anarkis yang tidak terorganisir, tapi mulai memberikan pengaruh tertentu, atau, dalam nalar otoritarian, mereka mulai mengganggu. Dalam kasus ini, mereka dapat dikeluarkan, disingkirkan, atau difitnah. Mereka secara harfiah akan “kalah saing” dengan para otoritarian. Tanpa organisasi, para anarkis tidak akan dapat mempertahankan dirinya dalam gerakan sosial, apalagi memberikan pengaruh untuk hasil yang diinginkan. Tanpa organisasi anarkis yang layak, yang akan terbangun hanyalah organisasi otoritarian, atau organisasi yang kurang libertarian. Ketika kita membicarakan tentang persaingan terus-menerus mengenai ruang politik, kita tidak mengatakan bahwa kaum anarkis harus berjuang untuk merebut posisi kepemimpinan, pengawasan, atau posisi dengan hak istimewa lainnya dalam gerakan sosial. Sebaliknya, kita berbicara tentang perjuangan internal yang terjadi saat kita ingin mempengaruhi gerakan sosial agar menggunakan praktik-praktik libertarian. Kami percaya bahwa tidak bakal pernah ada kekosongan politik, di mana pun itu. Oleh karena itu, ketika posisi kita unggul, sudah pasti berarti ada penurunan pengaruh pihak otoritarian, dan sebaliknya. Misalnya, saat beberapa anarkis berjuang agar gerakan sosial melakukan aksi langsung dan berdemokrasi secara langsung, kaum politisi dan partai tentu akan menentangnya. Jika tidak ada organisasi anarkis yang kuat dengan peleburan sosial dan kemampuan untuk memperjuangkan kedudukannya, posisi otoritarian akan berpeluang lebih besar untuk berkembang. Ketika kita terorganisir dengan baik sebagai anarkis, kita tidak akan ketinggalan ketika sebuah peristiwa terjadi. Posisi-posisi kita akan berhasil muncul dan mempengaruhi gerakan sosial, menjadi benar-benar melebur dengannya. Melalui organisasi khusus anarkis, kita bisa terorganisir dengan baik untuk kerja-kerja yang ingin kita laksanakan dalam berbagai gerakan sosial yang paling beragam.
Organisasi anarkis harus merupakan kelanjutan usaha dan propaganda kita. Ia harus menjadi penasihat libertarian yang menuntun kita dalam aksi tempur harian kita. Kita dapat mendasarkan diri pada programnya untuk menyebarkan aksi kita ke medan lain, ke semua organisasi yang memperjuangkan isu-isu tertentu—kita dapat masuk ke dalamnya dan melakukan kegiatan dan aksi kita. Misalnya, dalam serikat buruh, dalam gerakan masyarakat anti-militer, dalam kelompok-kelompok anti-agama dan anti-rohaniawan, dll. Organisasi khusus kita ini dapat menjadi sebuah ruang berhimpunnya para anarkis (namun bukan tersentralisir!). Ia menjadi ruang di mana kesepakatan terjadi, tempat untuk memahami, dan tempat bersolidaritas paling utuh yang mungkin terjadi antar kita. Semakin kita bersatu, maka semakin kecil resiko kita terjerumus dalam jurang ketidakjelasan. Semakin kecil kemungkinan kita berpaling dari dorongan berjuang dan bertempur saat kita dikelilingi orang-orang yang tidak sepakat dan mengikat tangan kita.[119]Dengan demikian, selain bertanggung jawab atas praktik politiknya di berbagai gerakan, organisasi anarkis juga berfungsi untuk meningkatkan kekuatan sosial kaum anarkis di dalamnya. Di antara berbagai kekuatan yang hadir di ruang-ruang gerakan sosial, para anarkis harus menonjol dan berhasil mewujudkan pandangan-pandangan mereka. Praktik politik di berbagai medan ini mengharuskan organisasi anarkis membagi dirinya menjadi front, yaitu pengelompokan di dalam organisasi untuk melaksanakan kerja sosial. Secara umum, organisasi yang bekerja dengan metode ini disarankan untuk mengembangkan tiga front utama: serikat pekerja, komunitas masyarakat, dan pelajar-mahasiswa. Namun, secara berbeda, kami percaya bahwa pembagian front ini tidak harus didasarkan pada ruang-ruang peleburan seperti yang telah ditentukan itu. Ia dapat pula didasarkan pada kerja praktis organisasi. Dalam pemahaman kami, kita tidak berkewajiban mengembangkan kerja sosial di tiga front tersebut karena mungkin ada ruang-ruang menarik lainnya yang membutuhkan front khusus. Setiap organisasi harus mencari ruang yang paling menguntungkan untuk mengembangkan kerja sosialnya, dan kebutuhan praktis inilah yang membentuk front. Jadi, jika memang diperlukan kerja sosial di sektor mahasiswa, maka front mahasiswa dibentuk. Jika ada peluang di serikat pekerja, maka front serikat buruh dapat dibentuk. Namun, jika ada aktivitas lain yang tengah berkembang, contohnya, gerakan di pedesaan, atau gerakan masyarakat urban, dll, maka front sebaiknya mengikuti pembagian ini. Artinya, alih-alih hanya memiliki satu front komunitas masyarakat yang bekerja dengan gerakan sosial pedesaan dan perkotaan, kalian bisa menciptakan front gerakan pedesaan dan front lain untuk gerakan di perkotaan. Dalam pengertian ini, kami mendukung sebuah bentuk front yang dinamis, di mana pembagian internal organisasi khusus anarkis dilakukan dengan cara terbaik. Ini semua demi mewujudkan praktik kerja sosial. Dalam bidang kerjanya masing-masing, front-front ini bertanggung jawab menciptakan dan mengembangkan gerakan sosial serta memastikan bahwa kaum anarkis menduduki ruang politik—yang adalah ruang sengketa permanen—dan memberikan pengaruh yang tepat dalam gerakan-gerakan ini. Di dalam FARJ sendiri, kami menginisiasi pembagian front menjadi dua. Pertama, "front komunitas masyarakat", yang menggabungkan kerja pengelolaan Perpustakaan Sosial Fabio Luz (Biblioteca Social Fábio Luz—BSFL), Pusat Kebudayaan Sosial Rio de Janeiro (Centro de Cultura Social—CCS-RJ) dan kerja komunitasnya, Pusat Penelitian Marques da Costa (Núcleo de Pesquisa Marques da Costa—NPMC), dan Lingkar Studi Libertarian Ideal Peres (Círculo de Estudos Libertários Ideal Peres—CELIP). Kedua, “front okupasi (pendudukan)”, yang terlibat dengan gerakan pendudukan masyarakat perkotaan, dan Front Internasionalis Tunawisma (Frente Internacionalista dos Sem-Teto—FIST). Karena perubahan situasi, kami meninggalkan FIST, dan melanjutkan gerakan okupasi. Kami terus mengumpulkan pihak-pihak yang melakukan pendudukan dan kaum pengangguran lainnya dalam Gerakan Pekerja Pengangguran (Movimento dos Trabalhadores Desempregados—MTD). Gerakan ini menjadi sangat penting bagi front ini. Dengan demikian, “front okupasi” berganti nama menjadi “front gerakan sosial urban”. Demikian pula, karena kami menganggapnya perlu, kami membentuk front ketiga: "front agro-ekologi" (Anarkisme dan Alam) dari kerja praktis gerakan sosial pedesaan yang bergerak di bidang ekologi dan pertanian. Front ini baru saja mulai dikembangkan oleh organisasi. Dengan cara ini, kami berpegang bahwa front mesti disesuaikan dengan keadaan kerja yang praktis. Kami menggambarkan bagaimana praktik front ini dalam kerangka berikut. [[a-f-anarchist-federation-of-rio-de-janeiro-anarkis-3.png f]] Organisasi anarkis spesifik (organisasi khusus anarkis) terbagi ke dalam front A, B, dan C, yang masing-masing frontnya bekerja di gerakan sosial atau sektor gerakan sosial yang telah disepakati. Dalam kasus ini, anggaplah organisasi bekerja dalam tiga gerakan sosial, maka ia membagi dirinya untuk bekerja di tiga bidang. Front A bekerja dengan gerakan sosial A, atau dengan sektor tertentu dari gerakan sosial A. Front B bekerja dengan gerakan sosial B, dan begitu seterusnya. Contoh praktisnya: organisasi dapat dibagi menjadi front sindikalis (A), front komunitas masyarakat (B) dan front pelajar (C). Masing-masing front akan bertindak di setiap gerakan sosial. Front A berarti bertindak di serikat buruh, front B di masyarakat, dan C di gerakan pelajar dan mahasiswa. Dalam kasus FARJ, organisasi kami hari ini dibagi menjadi tiga front: gerakan sosial urban (A), komunitas masyarakat (B), dan agro-ekologi (Anarkisme dan Alam) (C). Masing-masing front bekerja dalam satu atau lebih gerakan sosial. Front A dalam gerakan tunawisma dan dalam MTD, front B dalam gerakan masyarakat, dan front C dalam gerakan ekologi dan pertanian pedesaan. Selain pembagian internal ke dalam front-front yang berfungsi untuk kerja sosial ini, organisasi khusus anarkis menggunakan, baik dalam fungsi internal maupun eksternalnya, nalar “lingkaran konsentris” (mandala)—yang merujuk pada bentuk organisasi Bakuninis. Alasan utama penerapan nalar ini adalah karena bagi kami, organisasi anarkis perlu mempertahankan keterlibatan dalam tingkat aktivitas yang berbeda-beda. Aksi yang berbeda-beda ini harus memperkuat kerja sosialnya. Pada saat bersamaan, beragam aksi dan tuntutan ini akan mengumpulkan para militan yang telah bersiap untuk komitmen tinggi, serta mendekatkan kita dengan orang-orang yang bersimpati pada teori atau praktik organisasi. Singkatnya, lingkaran konsentris berusaha menyelesaikan sebuah perpecahan mendasar: organisasi anarkis harus cukup tertutup untuk mewadahi para militan yang telah siap siaga, berkomitmen, dan memiliki keselarasan pandangan politis, tapi juga harus cukup terbuka untuk menarik para militan baru. Sebagian besar masalah yang terjadi dalam organisasi anarkis disebabkan karena organisasi tersebut tidak berfungsi sesuai dengan nalar lingkaran konsentris dan tidak menerapkan dua jenis aksi (di tingkat politik dan tingkat sosial). Akibatnya, timbul banyak pertanyaan. Misalnya: 1. Haruskah seseorang yang menyebut dirinya anarkis, dan tertarik pada kerja organisasi, dianggap sebagai anggota organisasi meskipun dia tidak paham garis politik organisasi secara mendalam? 1. Haruskah orang awam yang tertarik pada gagasan-gagasan anarkis berada dalam organisasi? 1. Bagaimana cara berhubungan dengan para “libertarian”—dalam artian kata yang paling luas—yang tidak menganggap dirinya anarkis? Haruskah mereka berada dalam organisasi? 1. Bagaimana dengan anggota yang lebih tua, yang pernah melakukan kerja-kerja penting dan ingin tetap terhubung dengan organisasi, tapi tidak mau terlalu aktif dalam kegiatan tetap organisasi? 1. Dan, bagaimana dengan mereka-mereka yang tidak memiliki banyak waktu untuk terlibat aktif? Masalah lain terjadi karena ada kebingungan mengenai pelaksanaan kerja-kerja sosial. 1. Haruskah organisasi menampilkan diri sebagai sebuah organisasi anarkis dalam gerakan sosial? 1. Dalam kerja-kerja sosialnya, dapatkah organisasi membentuk aliansi dengan orang-orang, kelompok dan organisasi lain yang bukan anarkis? 1. Dalam kasus tersebut di atas, apa poin-poin umum yang dapat didukung oleh organisasi? 1. Bagaimana melakukan kerja sosial di lapangan dengan orang-orang yang berideologi berbeda sambil tetap mempertahankan identitas anarkis? 1. Bagaimana cara memastikan para militan di organisasi anarkis tidak kehilangan identitasnya ketika berhubungan dengan gerakan sosial? Pada titik ini, ada banyak persoalan. Lingkaran konsentris dimaksudkan untuk memberi tempat yang jelas bagi setiap militan dan simpatisan organisasi. Selain itu, lingkaran-lingkaran ini dipakai untuk memudahkan dan memperkuat kerja sosial organisasi anarkis. Pada akhirnya, ia membangun jalur untuk menarik militan baru. Dalam praktiknya, nalar lingkaran konsentris dibangun dengan cara berikut. Organisasi khusus anarkis hanya berisi para anarkis yang kurang lebih mampu menguraikan, menghasilkan, dan menerapkan garis politik organisasi baik di dalam organisasi maupun di luar, seperti di front-front atau di kegiatan publiknya. Selain itu, militan kurang lebih juga harus mampu membantu menguraikan garis strategis-taktis organisasi, serta memiliki kemampuan penuh untuk mereproduksi buah pikir tersebut dan menerapkannya. Militan memiliki peran di dalam organisasi—entah itu sebagai pelaksana, peserta musyawarah, atau peran tidak biasa—serta peran-peran eksternal yang berkaitan dengan kerja sosial. Fungsi yang dijalankan oleh militan dalam organisasi ini mematuhi asas swakelola dan federalisme, yaitu asas pengambilan keputusan secara horizontal yang mana semua militan memiliki hak suara dan hak pilih yang sama. Dalam kasus-kasus tertentu dapat pula digunakan sistem delegasi dengan mandat yang harus dipatuhi. Peran para delegasi harus dirumuskan dengan baik sehingga mereka “tidak bisa bertindak atas nama organisasi, kecuali semua anggota organisasi secara terang-terangan telah mengizinkannya; para delegasi harus melakukan hanya apa yang telah ditentukan oleh para anggota dan tidak boleh mendikte langkah organisasi ke depannya”[120]. Selain itu, “jabatan” delegasi ini harus digilir untuk memberdayakan semua anggota dan untuk menghindari adanya kedudukan atau peran yang permanen. Organisasi anarkis bisa saja memiliki hanya satu lingkaran militan, di mana semua militan memiliki tingkat keterlibatan yang sama, atau memiliki lebih dari satu lingkaran. Ketentuan soal ini ditentukan secara kolektif. Misalnya, mungkin sudah waktunya seseorang masuk ke dalam organisasi atau seseorang telah mampu menguraikan garis politik atau garis taktis-strategis organisasi. Maka, para militan yang lebih baru atau mereka yang kemampuannya lebih sedikit dalam menguraikan garis politik organisasi bisa ditempatkan dalam lingkaran luar. Sementara para militan yang lebih berpengalaman, dengan kemampuan lebih besar dalam menguraikan garis politik organisasi, berada di lingkaran dalam. Tidak ada hierarki antar lingkaran-lingkaran ini, tapi gagasannya adalah bahwa semakin “dalam” seorang militan, maka mereka semakin mampu merumuskan, memahami, mereproduksi, dan menerapkan garis organisasi. Semakin “dalam” seorang militan, semakin besar pula tekad dan kerjanya. Semakin banyak seorang militan menawarkan pengabdiannya pada organisasi, semakin banyak pula organisasi akan menuntut tanggung jawabnya. Para militan sendirilah yang memilih sejauh mana ia hendak berbakti. Pilihan para militan ini akan menentukan apakah mereka terlibat dalam proses musyawarah atau tidak. Dengan demikian, para militanlah yang memutuskan sejauh mana mereka ingin memikul tanggungan. Semakin besar pengabdian mereka, maka semakin banyak andil mereka dalam proses pengambilan keputusan. Begitu pula, semakin sedikit pengabdian mereka, maka semakin sedikit andil mereka dalam pengambilan keputusan. Namun, hal ini tidak lantas membuat kedudukan mereka yang sepenuhnya mengabdi menjadi lebih penting daripada yang kurang mengabdi. Ini semua sekadar masalah keterlibatan dalam lingkup pengambilan keputusan yang berbeda-beda. Misalnya, mereka yang sepenuhnya berbakti dapat terlibat dengan hak suara dan hak pilih dalam kongres-kongres yang menentukan garis politik dan strategi organisasi. Sementara mereka yang berbakti separuh waktu tidak dapat terlibat dalam kongres, atau dapat terlibat tetapi hanya sebagai pengamat. Akan tetapi, mereka tetap dapat terlibat dalam rapat bulanan di mana penerapan taktis dan praktis ditentukan. Dengan demikian, organisasi khusus anarkis bisa memiliki satu lingkaran konsentris atau lebih. Lingkaran ini berdasar pada ikrar yang ditentukan sendiri oleh para militannya. Jika lingkarannya lebih dari satu, maka hal ini harus diketahui dengan jelas oleh semuanya, dan ketentuan untuk dapat berpindah lingkaran haruslah tersedia bagi semua militan. Oleh karena itu, para militan dapat memilih sendiri di mana ia ingin berada sesuai kemauan dan kemampuannya. Lingkar berikutnya yang berada lebih luar dan lebih jauh lagi dari lingkaran inti, yang bukan bagian dari organisasi anarkis tapi punya peran penting, adalah lingkar pendukung. Lingkar pendukung menjangkau dan menghimpun orang-orang yang memiliki kedekatan ideologis dengan organisasi anarkis. Para pendukung bertanggung jawab untuk membantu organisasi dalam pekerjaan praktis seperti penerbitan pamflet, majalah atau buku, penyebaran bahan propaganda, atau membantu dalam kerja produksi teori atau analisis kontekstual. Mereka juga membantu pengorganisiran kegiatan praktik dalam kerja-kerja sosial, contohnya dalam kegiatan masyarakat, membantu kerja pelatihan, kegiatan logistik, membantu pengorganisiran tempat kerja, dll. Kedekatan pendukung dengan organisasi anarkis dan kerja organisasi akan memberikan kesempatan pada para pendukung untuk membangun kontak dengan militan-militan lain, sehingga memungkinkan para pendukung memperdalam pengetahuannya tentang garis politik organisasi, mengenal kegiatan organisasi secara lebih baik, dan memperdalam visi anarkisme mereka, dll. Oleh karena itu, para pendukung memiliki peran penting dalam membantu organisasi anarkis mempraktikkan kegiatannya. Lingkar pendukung dapat mewadahi orang-orang yang simpatik menjadi lebih dekat dengan organisasi. Tujuan jangka panjangnya adalah agar sejumlah pendukung dapat menjadi militan organisasi. Organisasi khusus anarkis berupaya menarik sebanyak mungkin pendukung. Melalui kerja-kerja praktiknya, mereka mengenali orang-orang yang tertarik bergabung ke dalam organisasi atau yang memiliki riwayat yang cocok untuk keanggotaan. Militan organisasi dapat menawarkan pada pendukung agar masuk ke organisasi, atau pendukung yang tertarik dapat mengajukan dirinya pada organisasi. Meskipun setiap militan dapat memilih sendiri kadar tekad dan posisinya dalam organisasi, tujuan organisasi anarkis adalah untuk memiliki sebanyak mungkin militan di lingkaran inti, dengan tingkat komitmen yang tinggi. Berikut ini adalah contoh praktisnya: Anggaplah organisasi telah sepakat untuk bekerja dalam dua tingkatan—atau lingkaran—berdasarkan ikrarnya. Ketika seorang militan baru masuk ke dalam organisasi, maka dia masuk ke lingkar “militan”. Selanjutnya, ketika dia telah berada di organisasi selama enam bulan dan telah menjadi militan yang siap mengabdi, maka ia akan masuk ke lingkar “militan penuh”. Kemudian, anggaplah organisasi ini juga memutuskan untuk memiliki lingkaran “pendukung”. Tujuannya adalah untuk menarik sebanyak mungkin pendukung, dan, tergantung pada kedekatan masing-masing mereka dengan organisasi, menarik mereka ke tingkat “militan”. Kemudian, setelah enam bulan—setelah siap—menjadi “militan penuh”. Berikut ini adalah penggambaran bagaimana kerangka kerja ini berjalan dalam praktik. [[a-f-anarchist-federation-of-rio-de-janeiro-anarkis-1.png f]] Tujuannya adalah arus yang ditunjukkan oleh panah: dari lingkar pendukung, bergabung ke dalam organisasi menjadi militan, lalu menjadi militan penuh. Mereka yang berminat dapat mengikuti arus ini, dan mereka yang tidak berminat dapat tetap tinggal di posisi yang mereka inginkan. Misalnya, jika seseorang, karena beragam alasan—sakit, lelah, tua, jenuh, sibuk—, hanya ingin memberikan dukungan sesekali saja, dan tidak lebih dari itu, dia dapat selalu berada di lingkar pendukung. Intinya adalah bahwa setiap niat kerja seseorang harus diwadahi oleh organisasi. Jangan sampai orang menjauh karena mereka merasa hanya memiliki sedikit waktu atau lebih suka membantu kadang-kadang saja. Dalam organisasi khusus anarkis harus ada ruang bagi setiap orang yang ingin ikut serta. “Syarat seleksi yang tidak pernah keliru adalah kinerja. Pada dasarnya, ketangkasan dan keefektifan para militan dapat diukur dari semangat berapi-api dan penerapan saat mereka menjalankan tugas-tugasnya”.[121] Nalar lingkaran konsentris mengharuskan setiap militan dan organisasi itu sendiri untuk memiliki hak dan kewajiban yang sangat jelas di tiap tingkat keterlibatan. Alasannya, seseorang tidak boleh membuat keputusan atas sesuatu yang tidak akan mereka jalankan. Seorang pendukung, yang hanya ikut serta dalam kegiatan sebulan sekali dengan sumbangsih yang tidak menentu, misalnya, tidak boleh membuat keputusan mengenai aturan atau kegiatan yang akan dijalankan setiap hari, sebab itu artinya ia membuat kebijakan atas sesuatu yang mengatur keterlibatan militan lain di luar dirinya. Sangat sering terjadi di kelompok-kelompok libertarian: orang yang terlibat sesekali saja akhirnya memutuskan sesuatu yang menjadi komitmen bersama dan harus dilaksanakan oleh anggota-anggota lain yang lebih aktif. Lebih mudah bagi militan yang jarang hadir untuk menetapkan suatu kebijakan organisasi, sebab bukan mereka yang harus melaksanakan hal tersebut sepanjang waktu. Pengambilan keputusan seperti ini tidak adil sebab seseorang memutuskan sesuatu yang tidak dijalankan oleh dirinya. Dalam bentuk lingkaran konsentris, kita mengusahakan sebuah sistem hak dan kewajiban di mana setiap orang membuat keputusan mengenai apa yang bisa dan harus mereka patuhi setelahnya. Dengan cara ini, wajar jika seorang pendukung memutuskan hanya hal-hal yang menyangkut keterlibatan dan komitmen mereka. Dengan cara yang sama, para militan organisasi juga akan memutuskan hal-hal yang memang akan mereka laksanakan. Jadi, kita membuat keputusan secara seimbang sesuai dengan komitmen yang diambil. Ini artinya organisasi memiliki kriteria yang jelas bagi siapa pun yang ingin berproses dengan organisasi, menentukan dengan jelas posisi setiap orang, dan tingkat komitmen seperti apa yang dipilih militannya. Sebuah ketentuan penting untuk masuk organisasi adalah bahwa semua militan yang masuk harus setuju dengan garis politik organisasi. Oleh karena itu, organisasi anarkis harus memiliki materi teori yang menyatakan garis politik ini. Bagi mereka yang belum menjadi anggota, penjelasannya tidak perlu sedalam bagi mereka yang sudah menjadi anggota. Ketika seseorang tertarik dengan kerja organisasi anarkis dan menunjukkan minatnya, kalian harus menempatkan orang tersebut sebagai pendukung dan memberi mereka bimbingan yang diperlukan. Saat orang tersebut menjadi pendukung, ia mengetahui garis politik lebih mendalam dan memiliki kedekatan dengan kerja praktik organisasi, orang tersebut dapat menunjukkan minatnya untuk bergabung dengan organisasi atau organisasi dapat menawarkan pada pendukung tersebut untuk menjadi militan. Dalam kedua kasus ini, pendukung tersebut harus menerima bimbingan terus menerus dan materi teori yang akan memperdalam garis politiknya. Satu atau lebih militan yang cukup mengetahui garis politik ini juga dapat bertukar pendapat, membahas keraguan, berdebat, dan menjernihkan hal-hal tertentu dengan para pendukung yang ingin bergabung ini. Setelah pendukung setuju dengan garis politik organisasi, dan dengan kesepakatan dari kedua belah pihak, maka pendukung tersebut dapat bergabung ke dalam organisasi. Penting bahwa selama periode awal, setiap militan baru harus menerima bimbingan dari militan yang telah lama bekerja, berpengalaman, dan berpemahaman untuk mempersiapkan militan baru ini melakukan kerja-kerja organisasi. Dalam segala kesempatan, organisasi anarkis harus selalu berupaya melakukan pelatihan dan bimbingan bagi para pendukung dan militan sehingga membuka kemungkinan bagi mereka untuk meningkatkan tekadnya, tentunya jika itu yang mereka inginkan dan sepakati. Nalar lingkaran konsentris juga berfungsi dalam kerja sosial. Dengan nalar ini, organisasi anarkis dapat melakukan kerja sosialnya dengan cara yang paling tepat dan efektif. Sebagaimana telah kita lihat, organisasi anarkis dibagi secara internal ke dalam beberapa front kinerja praktik. Untuk itu, ada organisasi yang lebih memilih untuk menjalin hubungan langsung dengan gerakan sosial, tapi ada juga organisasi yang lebih memilih untuk menampilkan dirinya melalui organisasi sosial perantara, yang kami sebut sebagai pengelompokkan setendensi (kelompok tendensi).
Terlibat dalam kelompok tendensi berarti menerima serangkaian pemahaman bersama yang dapat digunakan bersama kawan-kawan dari ideologi lain. Namun, keterlibatan ini tetap perlu mengecualikan pihak-pihak tertentu (kaum reformis, misalnya) demi mencapai sebuah tingkat keselarasan praktik yang mendasar. (...) Kelompok tendensi, yang terkoordinasi satu sama lain dan berakar pada orang-orang yang paling gigih berjuang (...) merupakan tingkat yang lebih tinggi dibandingkan tingkat massa.[122]Kelompok tendensi menempatkan dirinya di antara gerakan sosial dan organisasi anarkis. Fungsinya adalah mengumpulkan orang-orang yang ideologinya berbeda tapi memiliki kedekatan dalam persoalan-persoalan praktik tertentu. Seperti yang telah kami tekankan, ada organisasi anarkis yang lebih memilih untuk menampilkan diri secara langsung dalam gerakan sosial tanpa perlu kelompok perantara tersebut. Namun, ada juga yang memilih menampilkan dirinya sebagai kelompok perantara/kelompok tendensi. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan, dan setiap organisasi harus menentukan cara terbaik untuk bertindak. Kami lebih tertarik menggunakan kelompok perantara karena alasan praktis ketimbang teoretis, dan menggabungkan orang-orang yang setuju dengan beberapa asas atau semua asas yang kami anjurkan dalam gerakan sosial (pengerahan kekuatan, perjuangan kelas, otonomi, daya tempur, aksi langsung, demokrasi langsung, dan sudut pandang revolusioner). Kelompok perantara membantu kami memperbesar kekuatan sosial dalam mempertahankan asas ini. Sama seperti gambaran di atas, intinya adalah bahwa organisasi anarkis spesifik berupaya membaur dalam kelompok perantara ini. Organisasi menampilkan dirinya melalui kelompok ini, bekerja di dalam gerakan-gerakan sosial dan berupaya melakukan peleburan sosial. Berikut ini gambarannya: [[a-f-anarchist-federation-of-rio-de-janeiro-anarkis-6.png f]] Terdapat dua arus dalam bagan ini. Yang pertama, arus pengaruh anarkis. Organisasi anarkis spesifik berusaha masuk ke kelompok perantara (kelompok tendensi) lalu menuju ke gerakan sosial yang lebih luas. Mari kita lihat beberapa contoh praktis. Organisasi anarkis yang ingin mengorganisir dalam serikat buruh dapat membentuk kelompok perantara bersama aktivis dari gerakan serikat lain yang memperjuangkan sejumlah gagasan yang sama (memakai sudut pandang revolusioner, aksi langsung, dll) dan kelompok perantara dapat mempengaruhi gerakan-gerakan serikat buruh atau serikat buruh tempatnya mengorganisir. Contoh lainnya, organisasi anarkis mungkin bekerja dengan gerakan sosial kaum tidak bertanah dan untuk membangun gerakan sosial ini organisasi mesti mengumpulkan orang-orang yang membela posisi serupa (otonomi, demokrasi langsung, dll). Lewat kelompok perantara, organisasi khusus anarkis mengorganisir dalam gerakan kaum tidak bertanah tersebut dan berusaha memberikan pengaruh di dalamnya. Bentuk organisasi ini bertujuan untuk memecahkan masalah yang sangat umum kita temui dalam aktivisme. Misalnya, kita mengenal aktivis yang sangat berbakti, seorang revolusioner yang menganjurkan swakelola, otonomi, demokrasi akar rumput, demokrasi langsung, dll, tapi kita tidak bekerja bersama mereka karena mereka bukan anarkis. Para aktivis ini bisa bekerja dengan anarkis dalam kelompok perantara sembari tetap mempertahankan identitas mereka di dalam gerakan-gerakan sosial. Panah kedua dalam bagan menunjukkan tujuan arus para militan. Artinya, dalam bagan kerja ini, tujuannya adalah untuk mengumpulkan orang-orang dari luar, yakni gerakan sosial yang memiliki kedekatan praktik dengan anarkis ke dalam kelompok perantara. Dari sana kita membawa orang-orang yang memiliki kesamaan ideologis semakin dekat ke organisasi anarkis. Seperti gambaran sebelumnya, jika ada seorang aktivis militan yang memiliki kesamaan praktik dengan anarkis, tapi bukan anarkis, maka kita dapat bekerja dengannya dalam kelompok perantara karena ia turut membantu tercapainya tujuan kerja sosial tertentu. Lebih lanjut lagi, jika aktivis tersebut memiliki kemiripan dalam hal ideologis, ia dapat saja mendekat atau bahkan bergabung dengan organisasi. Tujuan organisasi anarkis bukanlah untuk mengubah semua aktivis menjadi anarkis, melainkan belajar untuk bekerja bersama tiap-tiap aktivis ini dengan cara yang paling tepat. Dengan berbagi kepentingan yang sama, para militan dapat mengubah-ubah posisi mereka dalam lingkaran (dari gerakan sosial ke kelompok perantara, atau dari kelompok perantara ke organisasi anarkis). Namun, tanpa kepentingan bersama, setiap orang akan bertindak sendiri-sendiri tergantung pada apa yang mereka anggap penting. Proses pengambilan keputusan yang digunakan dalam organisasi anarkis adalah mufakat (konsensus). Tapi jika mufakat tidak memungkinkan, pemungutan suara akan dilakukan. Berbeda dengan beberapa kelompok dan organisasi libertarian lain, kami percaya bahwa mufakat bukanlah satu-satunya cara. Seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, mufakat bisa menjadi bentuk pengambilan keputusan yang sangat tidak efisien dan kurang layak apabila jumlah orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan meningkat. Mufakat dapat menimbulkan masalah serius karena memberikan kekuatan besar kepada orang-orang yang terasing. Dalam sebuah organisasi yang terdiri dari 20 militan, seseorang saja dapat menghalangi mufakat, sebab bahkan ketika 19 militan lain sudah memilih satu posisi, kalian tetap harus mengambil “jalan tengah” secara tidak seimbang demi mempertimbangkan pandangan seseorang yang tidak setuju dengan suatu hal. Agar proses pembuatan keputusan menjadi efisien dan tidak memberikan terlalu banyak kekuasaan kepada agen yang terasing, kami memilih menggunakan model mufakat, tapi bila tidak memungkinkan, pemungutan suara dilakukan. “Jika di jantung organisasi muncul ketidaksetujuan, dan ada pengkubuan antara mayoritas dan minoritas seputar masalah sekunder, pembahasan tentang praktik atau kasus-kasus khusus [...], maka cenderung mudah bagi minoritas untuk mengikuti suara mayoritas”.[123] Dalam kasus pemungutan suara, semua militan organisasi, bahkan mereka yang kalah jumlah suara, berkewajiban untuk mengikuti posisi suara terbanyak. Proses pengambilan keputusan ini digunakan demi membangun kesatuan teoretis dan ideologis, juga untuk kesatuan strategis dan taktis. Kita akan membahas persoalan ini lagi nanti. Pada titik ini cukuplah kami menekankan bahwa demi perjuangan, kita harus mengakhiri keterceraiberaian dan disorganisasi. “Cara untuk mengatasinya adalah dengan menciptakan sebuah organisasi dengan basis posisi teori dan taktik yang khusus, yang memandu kita untuk memiliki pemahaman kuat mengenai bagaimana ia diterapkan dalam praktik”.[124] Penting juga untuk menekankan bahwa militan harus menggunakan akal sehat pada saat proses pemungutan suara. Perhatikan dengan saksama pandangan-pandangan militan yang paling dekat dengan isu yang sedang dimusyawarahkan, sebab pandangan mereka lebih penting ketimbang pandangan militan lain yang tidak terlalu dekat dengan isu tersebut, meskipun mereka memiliki bobot suara yang sama. Ketika pemungutan suara terjadi, akan mudah bagi militan yang tidak terlibat dalam isu terkait untuk menentukan apa-apa saja yang harus dilakukan orang lain. Situasi seperti ini menuntut kewaspadaan, kita harus menghindari situasi di mana orang-orang yang akan melaksanakan keputusan tersebut malah kehilangan suaranya dan akhirnya harus mematuhi apa yang diputuskan oleh orang lain. Juga terkait dengan keputusan, pada saat pengambilan keputusan “harus ada banyak ruang untuk berbagai perdebatan, dan semua sudut pandang harus dianalisis dengan cermat”[125]. Setelah keputusan disepakati, “tanggung jawab [dibagi-bagi], para anggota bertanggung jawab secara formal atas keputusan mereka” karena “organisasi tidak bergerak dengan sendirinya”. Kemudian “semua kegiatan yang telah diputuskan dan menjadi tanggung jawab organisasi akan dijalankan oleh para anggotanya” dan untuk pelaksanaannya ada “kebutuhan untuk membagi-bagi tugas di antara para militannya, selalu mencari tata cara untuk mendistribusikan tugas-tugas dengan baik dan menghindari penumpukkan tugas pada anggota yang lebih aktif atau lebih mampu”. “Di saat seorang militan menerima satu atau lebih tugas organisasi, dia berkewajiban untuk melaksanakannya dan bertanggung jawab penuh kepada kelompok tersebut [...]. Ini adalah komitmen relasi yang dipikul militan bersama organisasi tersebut”. Selanjutnya, kami percaya bahwa hal ini relevan dan ingin menegaskannya kembali: “swadisiplin adalah motor dari organisasi swakelola”, dan ini juga berlaku untuk organisasi khusus anarkis. Dengan demikian, “setiap orang yang menerima tanggung jawab harus cukup disiplin untuk melaksanakannya. Demikian juga ketika organisasi menentukan garis untuk diikuti atau suatu tujuan untuk dicapai, maka disiplin seseoranglah yang akan mewujudkan apa yang telah diputuskan secara kolektif.” Kami mencatat: kami juga memohon disiplin, karena tanpa pengertian, tanpa koordinasi usaha satu sama lain dalam aksi bersama yang kompak, kemenangan nyata tidak akan mungkin terjadi. Namun, disiplin yang dimaksud bukanlah disiplin layaknya budak, pengabdian buta kepada para pemimpin, kepatuhan kepada tokoh yang selalu mengatakan agar kita tidak ikut campur. Disiplin revolusioner harus konsisten dengan gagasan yang kita usung, kesetiaan terhadap tekad yang kita sepakati, merasa berkewajiban untuk berbagi pekerjaan dan risiko dengan rekan-rekan seperjuangan.[126] “Kami percaya bahwa agar perjuangan kita membuahkan hasil yang menjanjikan, sangat penting bahwa masing-masing militan organisasi memiliki tingkat tekad, tanggung jawab, dan disiplin diri yang tinggi”.[127] “Kekuatan kehendak dan tekad militanlah yang akan membuat kita berjalan hari demi hari menuju perkembangan kegiatan organisasi, agar kita bisa mengatasi berbagai rintangan dan menyiapkan landasan bagi tujuan jangka panjang kita.”.[128] Akhirnya, kita harus tahu bahwa “tanggung jawab dan disiplin organisasi seharusnya bukan hal mengerikan—mereka adalah teman seperjalanan kita dalam praktik anarkisme sosial”[129]. Posisi ini memperkenalkan hubungan tanggung jawab bersama antara militan dan organisasi, karena organisasi anarkis “akan bertanggung jawab atas kegiatan revolusioner dan politik setiap anggotanya, begitu pula setiap anggota akan bertanggung jawab atas kegiatan revolusioner dan politik”[130] organisasi anarkis. ** B. Kerja Sosial dan Peleburan Sosial Kerja sosial dan peleburan sosial adalah kegiatan terpenting organisasi anarkis spesifik. Seperti yang telah kita bahas sebelumnya, kita hidup dalam masyarakat yang menempatkan kelas penguasa dan kelas tertindas di kubu yang saling berseberangan. Marilah kita juga mengingat bahwa perjuangan kita adalah untuk membangun masyarakat tanpa kelas—sosialisme libertarian. Dan bahwa cara untuk mencapai masyarakat baru ini, menurut pemahaman kami, adalah melalui perjuangan gerakan sosial, menyelaraskan gerakan-gerakan sosial ke dalam organisasi kerakyatan dan revolusi sosial. Untuk mencapai tujuan ini, keseluruhan proses ini harus terjadi di dalam kelas-kelas yang dieksploitasi. Kelas-kelas tertindas ini adalah aktor utama perubahan sosial. Jadi, jika perjuangan anarkisme mengarah pada tujuan akhir revolusi sosial dan sosialisme libertarian, dan jika kita memahami kelas yang dieksploitasi sebagai pelaku utama perubahan menuju tujuan ini, tidak ada jalan lain bagi anarkisme selain berhubungan dengan kelas-kelas ini. Untuk alasan inilah,
anarkisme tidak dapat terus terpenjara dalam batas-batas pemikiran eksklusif dan hanya diklaim oleh beberapa kelompok kecil, dalam aksi-aksi mereka yang terasing. Pengaruh alamiahnya pada mentalitas berbagai kelompok manusia di dalam perjuangan sudah lebih dari terbukti. Agar pengaruh ini terserap secara sadar, ia harus memiliki sarana-sarana baru dan memulai langkah praktik sosial sekarang.[131]Dalam perjuangan kelas, kelas yang dieksploitasi selalu berkonflik dengan kelas penguasa. Konflik ini dapat mewujudkan dirinya dalam cara yang cenderung spontan, atau cenderung terorganisir. Ada fakta bahwa kontradiksi kapitalisme telah menghasilkan serangkaian perwujudan perjuangan dari kelas-kelas yang dieksploitasi, dan kami menganggap perjuangan ini sebagai lahan terbaik untuk menanam benih anarkisme. Neno Vasco, menggunakan pengandaian penabur benih, mengatakan bahwa para anarkis harus menanam benih mereka di tanah yang paling subur. Seperti yang telah kami tekankan, bagi kami, lahan ini adalah medan perjuangan kelas. Kami bermaksud menanam benih ini dalam perjuangan kelas, dan karena kami memahami bahwa kelas yang dieksploitasi adalah pelaku utama dalam proses perubahan sosial, kami menerima bahwa untuk mencapai tujuan akhir anarkisme, kelas yang dieksploitasi memiliki peran yang sangat penting. Ketika kami menjelaskan sudut pandang ini, kami tidak sedang memuja-muja kelas ini atau bahkan menganggap apa pun yang mereka lakukan selalu benar, tetapi kami menekankan bahwa keterlibatan mereka dalam proses perubahan sosial adalah hal penting. Karena itu, kami kaum anarkis “harus selalu bersama rakyat”[132]. Cara organisasi khusus anarkis mengupayakan interaksi dengan kelas-kelas yang dieksploitasi adalah melalui apa yang kita sebut sebagai kerja sosial. Kerja sosial adalah kegiatan yang dilakukan organisasi anarkis di tengah-tengah perjuangan kelas, membuat anarkisme berhubungan langsung dengan kelas yang dieksploitasi. Kerja sosial memberikan lapisan sosial pada politik anarkisme. Tanpa lapisan sosial ini, anarkisme tidak berarti apa pun. Melalui kerja sosial, anarkisme mampu mewujudkan perannya sebagai motor perjuangan zaman kita. Kerja sosial organisasi anarkis terjadi dalam dua cara: 1) dengan kerja-kerja yang sedang berlangsung dalam gerakan sosial yang sudah ada, dan 2) dengan menciptakan gerakan sosial baru. Sejak pendirian organisasi kami, kami menganggap gerakan sosial sebagai medan pilihan untuk kegiatan kami, sebagaimana tercantum dalam Statuta Prinsip kami ketika kami menegaskan bahwa “FARJ mengusulkan untuk bekerja—sesegera mungkin dan tanpa perantara—di tengah-tengah beragamnya kenyataan yang membentuk alam semesta gerakan sosial”[133]. Seperti yang telah kami bahas sebelumnya, kami memahami gerakan sosial sebagai hasil dari “tiga pilar, yaitu kebutuhan, kehendak, dan organisasi”. Dengan demikian, para anarkis yang terorganisir harus berusaha merangsang hasrat dan pengorganisasian untuk sebuah gerakan yang didasarkan utamanya pada kebutuhan kelas-kelas yang dieksploitasi. Dalam banyak kasus, hasrat ini dilemahkan oleh “ketidaksadaran atas hak-haknya, ketidakyakinan pada kekuatannya; dan selama mereka tidak memiliki kesadaran dan keyakinan ini, [...] selama berabad-abad, (mereka akan) tetap menjadi budak-budak yang tidak berdaya”[134]. Dalam proses pengerahan kekuatan masyarakat, kita harus mendorong kesadaran dan keyakinan ini. Dari situlah persoalan kebutuhan menjadi penting, sebab melaluinya mobilisasi dapat terjadi. Hanya sedikit orang yang mau berjuang untuk sebuah gagasan yang hanya membawa hasil jangka panjang. Oleh karena itu, untuk menggerakkan orang-orang, kita harus menghadapi masalah-masalah konkret yang menimpa mereka dan dekat dengan mereka. Untuk mendapatkan kepercayaan dan kesungguhan hati mereka,
[...] kita harus mulai berbicara dengan mereka, bukan tentang musuh bersama proletariat internasional, bukan pula tentang penyebab umum yang melahirkan musuh ini, melainkan tentang kemalangan-kemalangan mereka yang khas, yang dialami setiap hari dan bersifat pribadi. Kita perlu berbicara kepada mereka tentang pekerjaan mereka dan kondisi kerja mereka, khususnya di tempat mereka bermukim; waktu dan lingkup kerja harian mereka, ketidakcukupan gaji, kebusukan bos mereka, kelangkaan makanan, dan ketidakmampuan mereka untuk mengasuh dan mendidik anggota keluarga dengan layak. Dan menawarkan kepada mereka cara melawan kemalangan itu serta memperbaiki kondisi mereka. Tidak perlu terlalu cepat berbicara tentang tujuan-tujuan umum dan revolusioner. [...] Pertama-tama, kita hanya perlu menawarkan pada mereka tujuan-tujuan yang berguna, yang secara alamiah tidak dapat diabaikan ataupun ditolak oleh akal sehat dan pengalaman harian mereka.[135]Dengan cara yang sama, dalam proses pengerahan kekuatan, persoalan-persoalan tentang mengapa orang tidak memiliki pekerjaan, tidak memiliki tempat tinggal, dll, dapat dikemukakan. Oleh karena itu, tugas organisasi anarkis adalah untuk menjelaskan berbagai kebutuhan dan memobilisasi orang-orang di seputar masalah kebutuhan tersebut. Baik dalam penciptaan gerakan sosial baru atau dalam kegiatan di gerakan sosial yang sudah ada. Gagasan utamanya adalah untuk selalu mengorganisir di seputar kebutuhan hidup. Gerakan sosial adalah tempat di mana pengerahan kelas yang dieksploitasi berlangsung, dan gerakan-gerakan inilah yang membuat mereka berpraktik politik. Praktik politik mereka berkembang melalui “segala kegiatan yang bertujuan untuk mendorong konfrontasi antara kaum yang dieksploitasi dan ditindas dengan badan-badan kekuasaan politik, Negara, pemerintah, dan berbagai ekspresinya”[136], serta badan-badan lain yang menyokong sistem kapitalis. Praktik politik menempatkan rakyat dalam sebuah pertempuran melawan kekuatan sistem yang menindas mereka dan mendorong mereka untuk menghadapi kekuatan-kekuatan ini demi “mempertahankan dan memperluas kebebasan publik dan individu, kapasitas untuk memberikan usulan yang cocok dengan kepentingan umum penduduk atau sebagian aspeknya”. Praktik politik juga bisa berbentuk “pemberontakan sebagai cara mempertanyakan dengan kekerasan sebuah situasi yang ingin kita ubah [... ataupun] mengemukakan tuntutan-tuntutan yang menyatukan rakyat di hadapan badan-badan kekuasaan, berbagai usulan dan tuntutan ini dapat menjadi solusi bagi permasalahan umum dan nyata, maka badan-badan kekuasaan harus dipaksa untuk menerima usulan tersebut agar solusinya diberlakukan bagi seluruh masyarakat”. Melalui praktik politiknya, gerakan sosial harus memaksakan penaklukannya pada kapitalisme dan negara. Rakyat sendiri yang harus menuntut, memaksakan, dan menjalankan semua perbaikan, penaklukkan, dan kebebasan yang mereka perlukan dan inginkan, melalui organisasi dan kekuatan kehendak. Tuntutan-tuntutan ini harus terus menerus meningkat secara progresif, menuntut lebih banyak dan lebih banyak lagi setiap waktu, dan mengupayakan pembebasan penuh dari kelas-kelas tertindas.
Apa pun hasil dari perjuangan untuk perbaikan keadaan jangka pendek ini, manfaat utamanya terletak pada perjuangan itu sendiri. Melalui perjuangan ini, para pekerja belajar mempertahankan kepentingan kelas mereka, membuat mereka mengerti bahwa pengusaha dan pemerintah memiliki kepentingan yang berlawanan dengan kepentingan mereka, dan bahwa mereka tidak bisa memperbaiki kondisi mereka, apalagi membebaskan diri, jika mereka tidak bersatu dengan sesamanya dan membuat diri mereka lebih kuat. [...] Jika mereka berhasil mendapatkan apa yang mereka inginkan, hidup mereka menjadi lebih baik. Mereka akan mendapatkan lebih banyak dengan kerja lebih sedikit, memiliki lebih banyak waktu luang dan energi untuk memikirkan hal-hal yang menarik bagi mereka; dan mereka akan merasakan lebih banyak lagi kebutuhan dan keinginan. Jika perjuangan mereka tidak berhasil, mereka akan didorong untuk mempelajari penyebab kegagalan mereka dan menyadari perlunya persatuan yang lebih besar lagi, energi yang lebih besar lagi; akhirnya, mereka akan mengerti bahwa untuk memperoleh kemenangan yang aman dan pasti, mereka perlu menghancurkan kapitalisme.[137]Praktik politik gerakan sosial yang memperjuangkan pencapaian jangka pendek memiliki efek mendidik dan meningkatkan kesadaran militan. Pembelajaran akan terjadi baik dalam kemenangan maupun kekalahan. Praktik politik organisasi khusus anarkis bekerja dengan cara yang sama. Kami menyatakan sebelumnya bahwa kami memahami anarkisme sebagai ideologi, yang berarti “serangkaian gagasan, motivasi, harapan, nilai, sebuah struktur atau sistem konsep yang berhubungan langsung dengan tindakan—yang kita sebut praktik politik”. Kerja sosial adalah sendi utama praktik politik organisasi anarkis. Dalam hal ini, kerja sosial berarti berinteraksi dengan kelas-kelas tertindas yang terorganisir dalam gerakan sosial, menarik anarkisme keluar dari lingkaran kecil dan menanamkan gagasannya secara meluas di dalam perjuangan kelas. Selain itu, bagi kami, lebih dari sekadar berhubungan dengan gerakan sosial, kerja sosial organisasi khusus anarkis juga harus berusaha mempengaruhi praktik gerakan sosial sehingga cara kerja gerakannya menampilkan sifat tertentu. Proses memberikan pengaruh dalam gerakan sosial melalui praktik anarkis ini kami sebut dengan istilah peleburan sosial. Dengan demikian, organisasi anarkis melakukan kerja sosial saat ia sedang menciptakan gerakan sosial baru atau mengembangkan kegiatan gerakan sosial yang telah ada, dan melakukan peleburan sosial ketika ia berhasil mempengaruhinya dengan praktik-praktik anarkis. Peleburan sosial tidak dimaksudkan untuk meng“ideologisasi” gerakan sosial dan mengubahnya menjadi gerakan sosial anarkis. Secara berbeda, ia berusaha memberikan gerakan sosial beberapa sifat tertentu sehingga gerakan-gerakan ini dapat terus maju menuju pembangunan dan pengembangan organisasi kerakyatan, dan mengarah pada revolusi sosial dan sosialisme libertarian. Ia berusaha membuat gerakan sosial berjalan sejauh mungkin menuju tujuannya.
Kami tidak ingin “menunggu massa menjadi anarkis” untuk melaksanakan revolusi; terlebih lagi karena kami yakin bahwa mereka tidak akan pernah menjadi anarkis jika kita tidak terlebih dahulu menggulingkan, dengan kekerasan, lembaga-lembaga yang menahan mereka tetap dalam perbudakan. Kita membutuhkan kerja sama massa untuk membangun kekuatan sumber daya yang cukup, dan untuk mencapai tujuan khusus kita, yaitu perubahan radikal organisme sosial melalui aksi langsung massa, kita harus mendekati mereka, menerima mereka apa adanya, dan sebagai bagian dari massa, kita membuat mereka berjalan sejauh mungkin menuju tujuannya. Itu, jelas, kalau kita benar-benar ingin bekerja mewujudkan gagasan kita ke dalam praktik dan tidak berpuas diri hanya dengan berkhotbah di padang pasir demi memuaskan keangkuhan intelektual kita.[138]Kami menganjurkan posisi bahwa ideologi seharusnya berada dalam gerakan sosial, dan bukan gerakan sosial yang berada dalam ideologi. Organisasi khusus anarkis berhubungan dengan gerakan sosial dan berusaha mempengaruhinya agar memiliki bentuk-bentuk gerakan yang paling libertarian dan setara.[139] Meskipun kami memperlakukan anarkisme dan gerakan sosial sebagai dua tingkat kegiatan yang berbeda, kami percaya bahwa keduanya saling mempengaruhi. Hubungan saling melengkapi ini menyebabkan anarkisme mempengaruhi gerakan sosial, dan gerakan sosial mempengaruhi anarkisme. Ketika kita berbicara tentang peleburan sosial, kita berbicara tentang pengaruh anarkisme dalam gerakan sosial. Dalam hal ini, walaupun ada pemisahan antara tingkat politik (organisasi anarkis) dan tingkat sosial (gerakan sosial), tidak boleh ada hierarki atau dominasi tingkat politik di tingkat sosial. Kami juga tidak mempercayai jika tingkat politik harus berjuang untuk tingkat sosial, atau memimpinnya. Tingkat politik mesti bekerja bersama tingkat sosial—membangun hubungan yang beretika. Dalam kegiatannya, minoritas yang aktif di organisasi khusus anarkis mesti berjuang bersama kelas-kelas yang dieksploitasi, bukan berjuang untuknya ataupun memimpinnya, sebab “kita tidak ingin membebaskan rakyat, kita ingin rakyat membebaskan diri mereka sendiri”[140]. Kita akan membahas lebih jauh dan terperinci mengenai hubungan antara organisasi khusus anarkis dan gerakan sosial. Ketika membahas tentang peleburan sosial sebagai pengaruh yang diberikan organisasi khusus anarkis kepada gerakan sosial, kami memandang penting untuk menguraikan lebih jelas tentang apa yang kami maksud dengan “pengaruh”. Mempengaruhi, bagi kami, berarti membuat perubahan pada diri seseorang atau sekelompok orang melalui ajakan, saran, teladan, pedoman, inspirasi, dan praktik. Pertama-tama, kami memahami bahwa di masyarakat itu sendiri selalu ada banyak pengaruh dari berbagai agen yang mempengaruhi dan dipengaruhi. Kami bahkan dapat mengatakan bahwa “menolak mempengaruhi orang lain berarti menolak tindakan sosial, dan bahkan menolak ekspresi pikiran dan perasaan, yang [...] cenderung mengarah kepada ketiadaan eksistensi”[141]. Bahkan dari sudut pandang anti-otoritarian pun, pengaruh adalah hal tidak terelakkan dan wajar keberadaannya.
Di alam, begitu pula di masyarakat manusia—yang hakikatnya juga adalah alam, setiap individu mesti tunduk pada hukum tertinggi yaitu untuk turut terlibat dalam kehidupan orang lain dengan cara yang paling positif—campur tangan sebanyak yang diizinkan oleh watak khas setiap individu. Menolak pengaruh timbal balik ini berarti mencari kematian, dalam arti sebenarnya. Dan ketika kami menginginkan kemerdekaan massa, bukan berarti kami lantas melenyapkan pengaruh alamiah yang diberikan oleh individu atau kelompok individu mana pun kepada massa.[142]Dalam praktiknya, pengaruh ini harus sesuai dengan sifat yang ingin kita bangun dalam gerakan sosial. Dalam bab “Gerakan Sosial dan Organisasi Rakyat”, kami telah menguraikan sifat ini dengan lebih rinci sehingga tidak perlu dijabarkan lagi di bab ini. Kami hanya akan menunjukkan secara singkat, sekali lagi, sifat apa saja yang harus kita pertahankan dalam gerakan sosial: pengerahan kekuatan, perjuangan kelas, daya tempur, otonomi, aksi langsung, demokrasi langsung, dan sudut pandang revolusioner. Gerakan sosial harus kuat, tidak jatuh ke dalam kungkungan sebuah ideologi, karena memaksakan anarkisme pada gerakan sosial “berarti ketiadaan pemikiran, tujuan, dan perilaku bersama, dan [...] tentunya akan mengarahkan pada ketidakmampuan untuk mengambil tindakan yang efektif”[143]. Gerakan sosial harus berpedoman pada perjuangan kelas dan memiliki garis posisi kelas, yang berarti berusaha membuka keterlibatan seluas mungkin bagi kelas-kelas yang dieksploitasi dan mendukung perjuangan kelas; mereka harus berani, menegaskan penaklukkan mereka dengan cara mengerahkan kekuatan sosialnya; mereka harus otonom dari negara, partai politik, serikat buruh birokratis, gereja, badan-badan birokratis dan/atau badan-badan otoritarian lainnya, sehingga mereka mampu mengambil keputusan dan bertindak secara mandiri. Selain itu, mereka harus menggunakan aksi langsung sebagai bentuk aksi politiknya, bertentangan dengan demokrasi perwakilan. “Pada dasarnya, hal ini dilakukan agar gerakan sosial dan organisasi rakyat tetap menjadi aktor utama, berjuang dengan mediasi sesedikit mungkin atau, jika mediasi tidak terhindarkan, memastikan mediasi tersebut tidak berakhir dengan kemunculan badan pengambilan keputusan yang terpisah dari orang-orang yang terdampak keputusan itu”.[144] Gerakan sosial juga harus menggunakan demokrasi langsung sebagai metode pengambilan keputusannya, yang terjadi dalam dewan-dewan horizontal di mana semua militan dapat membuat keputusan secara efektif dengan cara yang setara. Demokrasi langsung tidak mengizinkan “hak istimewa apa pun, baik ekonomi, sosial, atau politik, [... dan membangun] kerangka kelembagaan di mana [fungsi jabatan] anggota harus bisa dicabut sesegera mungkin dan, oleh karena itu, tidak ada ruang untuk kebiasaan tidak bertanggung jawab secara politis seperti di dalam demokrasi perwakilan”[145]. Dan pada akhirnya, sudut pandang revolusioner “harus diperkenalkan dan dikembangkan dalam [gerakan sosial] dengan kerja-kerja konstan kaum revolusioner, yang bekerja dari luar maupun dari dalam, tapi tidak boleh menggantikan ekspresi alamiah dan normal dari fungsi gerakan sosial”[146]. Organisasi anarkis spesifik melakukan peleburan sosial dengan cara memberikan pengaruhnya dalam gerakan-gerakan sosial. Peleburan ini harus membangun keterhubungan antar berbagai sektor perjuangan sehingga dapat tercipta organisasi rakyat yang secara permanen terus berusaha untuk meningkatkan kekuatan sosial mereka. Dalam melaksanakan kerja-kerja sosial dan peleburan sosial, organisasi anarkis harus memperhatikan beberapa persoalan. Pengerahan kekuatan harus terjadi utamanya melalui latihan dan praktik, karena di tengah-tengah perjuanganlah rakyat dapat menyadari bahwa mereka dapat menaklukkan lebih dan lebih lagi. Lebih dari sekadar berbicara, kita mesti mengajar dengan melakukan, dan menjadi contoh, cara ini “lebih baik daripada penjelasan verbal, sebab seseorang akan dengan cepat mengenali segala sesuatunya dari pengalaman pribadinya sendiri, yang selanjutnya tidak dapat dipisahkan dan bersatu dalam solidaritas dengan pengalaman anggota-anggota lainnya”[147]. Selain sisi-sisi objektif perjuangan, sangat relevan bagi kita untuk mempertimbangkan bahwa proses pengerahan dan penyebaran pengaruh juga turut melibatkan sisi-sisi subjektif. Praktik kami telah menunjukkan bahwa untuk mengerahkan dan mempengaruhi gerakan sosial, sangat penting bagi kita untuk tidak hanya menggunakan sisi rasional dan objektif, tetapi juga sisi emosional dan subjektif. Ini artinya ikatan perasaan, persahabatan, dan hubungan lain yang terbangun secara alamiah dalam perjuangan. Penting juga untuk mengenali orang-orang dari lingkungan, komunitas masyarakat, gerakan, serikat pekerja, dll, yang memiliki pengaruh atas orang lain (pemimpin-pemimpin lokal yang berasal dari akar rumput dan divalidasi oleh akar rumput) dan memfokuskan upaya pada mereka. Orang-orang ini sangat penting dalam membantu pengerahan kekuatan akar rumput, membuka kemungkinan bagi menguatnya pengaruh anarkis, atau bahkan bergabung ke dalam kelompok perantara. Dengan cara ini, pengerahan akhirnya berfungsi sebagai semacam “konversi”, penting untuk dicatat bahwa
[...] kalian hanya bisa mengubah orang-orang yang merasa perlu berubah, mereka-mereka yang secara naluriah atau dalam kesengsaraan mereka, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat, menginginkan adanya perubahan; kalian tidak akan pernah mengubah orang-orang yang tidak merasakan perlunya perubahan, atau bahkan orang-orang yang tidak puas dengan posisi mereka sekarang tetapi karena sifat dasar moral, intelektual, dan kebiasaan sosialnya mereka mencari sebuah dunia yang berbeda dengan gagasan kalian.[148]Dalam proses pengerahan ini, organisasi khusus anarkis harus selalu bertindak dengan etika, selalu mencoba untuk tidak membangun hubungan hierarki atau dominasi atas gerakan sosial, untuk selalu mengatakan yang sebenarnya dan tidak pernah menipu rakyat, dan selalu mendukung solidaritas dan gotong royong terkait militan lain. Demikian pula ia sebaiknya mengambil sikap positif, berusaha membangun gerakan dan mendorong mereka maju ke depan, dan tidak hanya mengkritik saja. Bahkan ketika posisi organisasi anarkis bukan mayoritas, posisi-posisinya tetap harus diperlihatkan, dan pandangan yang diusungnya harus dijelaskan dengan jernih. Ketika berkontak dengan gerakan yang hierarkis, organisasi anarkis harus selalu ingat bahwa yang terpenting di gerakan sosial adalah akar rumput. Oleh karena itu, dalam kerja-kerja apa pun, organisasi anarkis tidak disarankan untuk mendekati para pemimpin ataupun orang-orang yang memegang struktur kekuasaan dalam gerakan sosial. Organisasi anarkis sebaiknya mendekati aktivis-aktivis biasa yang umumnya tertindas oleh kepemimpinan, dan yang membentuk pinggiran, bukan pusat gerakan. Isu lain yang harus diperhatikan adalah bahwa militan organisasi khusus anarkis harus sangat akrab dengan lingkungan tempat mereka melakukan kerja sosial. Militan mesti mempertahankan kehadiran terus menerus dalam gerakan sosial yang mereka pilih. Pengetahuan tentang “medan” tempat mereka bekerja sangat penting terutamanya untuk mengetahui ada kekuatan-kekuatan politik apa saja yang bermain, siapa yang berpotensi menjadi sekutu, siapa lawannya, di mana letak kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancamannya. Kehadiran konstan sangat penting agar militan anarkis dapat sepenuhnya membaur dengan aktivis lain di gerakan sosial. Dengan demikian mereka bisa mendapat pengakuan, validasi, didengarkan, diinginkan, dan disambut baik kehadirannya. Dalam kerangka strategis, kami memahami bahwa organisasi khusus anarkis harus melakukan kerja sosial, karena “sebagai anarkis dan pekerja, kita harus mendorong dan mendukung mereka [kaum pekerja] untuk berjuang, dan kita berjuang bersama mereka”[149]. Demi mendorong dan mendukung rakyat, kita berupaya melakukan peleburan sosial dan memastikan gerakan sosial berjalan dengan cara yang paling libertarian dan setara. Dengan membaur dalam gerakan sosial, kita harus menghubungkan berbagai perjuangan dan membangun organisasi kerakyatan. Dengan demikian, kita dapat merangsang peningkatan kekuatan sosial secara permanen dan mempersiapkan kelas-kelas tertindas untuk revolusi sosial, sebab “tujuan kita adalah untuk mempersiapkan rakyat, secara moral dan materiil, untuk pengambilalihan yang dibutuhkan; selalu mencoba dan menghidupkan kembali upaya-upaya setiap kali ada kesempatan bagi kita untuk melakukan agitasi revolusioner, sampai kemenangan yang pasti”[150], yaitu terbentuknya sosialisme libertarian. Maka, dapat kita katakan bahwa fungsi organisasi khusus anarkis dalam kerja sosial dan peleburan sosial adalah untuk menjadi “motor perjuangan sosial. Motor ini tidak menggantikan atau mewakili perjuangan sosial”[151]. Kami percaya bahwa kami dapat membentuk motor ini dengan “terlibat secara agresif dalam perjuangan sehari-hari gerakan rakyat, dimulai di Brasil, Amerika Latin, dan khususnya di Rio de Janeiro”[152]. ** C. Produksi dan Reproduksi Teori Kegiatan penting lain dari organisasi khusus anarkis adalah produksi dan reproduksi teori. Kami memahami teori sebagai “serangkaian konsep yang secara terpadu diuraikan [...], sebuah perangkat, alat, yang berfungsi untuk membantu suatu pekerjaan, berguna untuk menghasilkan pengetahuan yang kita perlukan”[153]. Teori adalah hal mendasar, baik untuk pemahaman strategi maupun untuk propaganda yang dijalankan organisasi. Strategi berguna untuk meningkatkan ketepatan sasaran kerja organisasi anarkis, sedangkan propaganda sangat penting untuk mengiklankan gagasan-gagasan anarkis. Dengan demikian, kami memahami serangkaian konsep yang diuraikan secara terpadu ini—teori—sebagai alat penting dalam berpraktik agar kita dapat melakukan pekerjaan yang nyata. Oleh karena itu, “jika tidak membantu kita dalam menghasilkan pengetahuan baru yang berguna untuk praktik politik, maka teori tidak ada gunanya”[154]. Saat diproduksi dalam organisasi khusus anarkis, teori merumuskan konsep-konsep. Tujuannya adalah agar organisasi 1.) memahami kenyataan di tempatnya beroperasi, 2.) membuat perkiraan sasaran dari tujuan proses perubahan sosial dan 3.) menentukan tindakan yang akan diambil untuk mempraktikkan proses ini. Kami menyebut skema ini sebagai strategi, dan akan dibahas lebih rinci di bawah. Dalam memahami kenyataan di tempat kita berkegiatan, teori merupakan susunan informasi dan data, rumusan pemahaman tentang momen-momen historis di tempat kita beroperasi dan penjelasan mengenai sifat sosial, politik, dan ekonomi. Artinya, teori adalah diagnosis lengkap tentang kenyataan di tempat organisasi khusus anarkis bekerja. Dalam hal ini, penting bagi kita untuk berpikir secara regional tergantung di mana kita sedang beraksi dan tidak terpaku pada pembacaan umum saja. Jika tidak, kita berisiko menerapkan metodologi yang salah dalam proses perubahan sosial (“mengimpor” teori siap pakai dari waktu lain dan keadaan lain). Bagi kami, teori tidak selesai di sana. Melalui teori, organisasi anarkis memperkirakan sasaran perubahan sosial yang akan diterapkannya dalam melawan sistem kapitalis. Pemahaman sosialisme libertarian dan proses perubahan revolusioner saat ini memang hanya dapat dipikirkan dari sudut pandang teoretis, sebab dalam praktiknya kita tidak sedang hidup dalam momen revolusioner. Dengan demikian, teori mengatur konsep-konsep yang menentukan bagi perubahan menuju masyarakat masa depan sekaligus juga mendefinisikan bentuk masyarakat masa depan itu sendiri, yang merupakan tujuan akhir dari organisasi khusus anarkis. Teori juga menjelaskan bagaimana organisasi anarkis bertindak dalam kenyataan tempatnya berada untuk mencapai tujuan akhirnya. Dengan demikian, setiap perenungan kita hari ini tentang proses lengkap perubahan sosial adalah perenungan teoretis. Sebab walaupun kita menerapkannya, proses ini belum terjadi sepenuhnya, hanya sebagian-sebagian, yaitu pengembangan langkah awal prosesnya. Langkah berikutnya disimpan untuk masa depan, sehingga pada saat ini kita hanya dapat memikirkannya secara teoretis. Teori juga sangat penting dalam proses propaganda, karena untuk menyodorkan gagasan anarkis, kita perlu mengartikulasikan konsep-konsep secara terpadu. Selain propaganda yang terjadi secara lebih meluas dalam praktik, teori pun memiliki peran yang sangat relevan dalam praktik. Ketika teori digunakan untuk berpropaganda, ia merumuskan masa lalu dalam bentuk kajian-kajian dan reproduksi teori anarkis. Tujuannya adalah untuk memperdalam tingkat ideologis dan membuat ideologi anarkis lebih dikenal. Ia juga dapat menghubungkan masa kini dan masa depan dengan penyebaran materi-materi teoretis yang menjelaskan kritik kita terhadap masyarakat masa kini, pemahaman kita mengenai masyarakat masa depan, dan proses perubahan sosial. Penting dicatat bahwa penciptaan teori bertujuan untuk selalu memperbarui sisi-sisi ideologis yang sudah usang atau berusaha menyesuaikan ideologi dengan kenyataan khusus tertentu. Keseluruhan proses propaganda teoretis ini penting untuk menyatukan orang-orang di seputar tujuan kita. Semakin banyak teori diciptakan dan disebarluaskan, semakin mudah pula anarkisme meresap ke seluruh masyarakat. Kami memahami bahwa teori adalah landasan untuk praktik. Ketika kita bekerja dengan konsep yang tepat dan terartikulasi dengan baik, praktik akan menjadi jauh lebih sangkil. “Tanpa garis [teoretis] yang jelas dan konkret, tidak akan ada praktik politik yang berdampak”[155] dan kehendak politik organisasi tersebut berisiko hilang begitu saja. Meskipun demikian, kami tidak percaya bahwa agar sebuah organisasi anarkis dapat berfungsi, kita harus memiliki teori yang mendalam dan berkembang terlebih dahulu. Kebetulan, ada organisasi-organisasi yang percaya bahwa masalah besar anarkisme terletak pada ketiadaan teori anarkis yang tetap, dalam artian yang nyaris matematis. Bagi kami, meskipun kami menekankan bahwa teori sangat penting untuk praktik yang efisien, kami tidak percaya pada teori yang dihasilkan tanpa pergesekan langsung yang terus menerus dengan praktik. Kami tidak yakin teori yang diproduksi dengan cara tersebut dapat membuahkan hasil yang menjanjikan. Teori yang dipromosikan oleh para intelektual yang terpisah dari perjuangan atau hanya dengan sedikit saja kerja sosial—kaum intelektual yang menganggap dirinya lebih memahami daripada orang lain atau merasa telah menemukan jawaban pasti atas persoalan-persoalan teoretis—tidaklah terlalu berguna. Oleh karena itu, dalam praktik, kita melakukan pemeriksaan apakah suatu teori berguna atau tidak; praktik yang tentu saja menjadi sumbangsih bagi teori. Kami tidak percaya, seperti yang dipercayai banyak kaum intelektual ini, bahwa hanya dengan teori saja kita pasti memiliki praktik yang efisien. Jika teori tidak dibangun bersama interaksi yang luas dan berkelanjutan dengan praktik, ada kemungkinan besar teori tersebut tidak terlalu berguna. Saat kami memulai pengantar naskah ini, kami memberikan catatan bahwa “untuk berteori secara ampuh, kita harus bertindak”[156]. Kami mengacu persis pada gagasan bahwa untuk menciptakan teori yang terpadu dan tepat, tidak ada cara lain selain menghasilkannya berdasarkan pengalaman berpraktik. Dalam hal ini, teori tidak selalu menentukan praktik. Kami percaya bahwa teori dan praktik saling melengkapi, bahwa kita berpraktik dari teori, dan berteori dari praktik. Jika saat ini kami dapat berteori tentang ideologi kami, itu karena kami telah mengujinya dalam hidup keseharian kami dan membuktikan mana yang berhasil dan mana yang tidak, mana yang mutakhir, dan mana yang perlu diperbarui. Kami mengetahui bahwa seringkali “dalam praktiknya, teori menjadi berbeda” dan hal ini pun berlaku dalam anarkisme. Tidak semua teori yang telah diciptakan dalam anarkisme berguna untuk praktik yang kita inginkan. Ini juga berlaku untuk aspek-aspek yang kurang ideologis seperti analisis situasi, penilaian kekuatan-kekuatan politik yang turut bermain dalam suatu medan perjuangan, dll, yang bahkan bisa menjadi teori yang menarik. Namun, jika teori-teori ini tidak menemukan keselarasannya dalam praktik, mereka tidak berguna. Kami memandang penting praktik, maka proses kerja-kerja sosial dan peleburan sosial mutlak dilakukan. Praktik dapat menguji ideologi anarkis, mengizinkan organisasi anarkis untuk berpikir lebih baik tentang peluang-peluang dan sudut pandangnya, menjadi jauh lebih membumi, memijak tanah, dan bertindak sesuai kenyataan di depan mata, yang tidak mengawang-awang. Oleh karena itu, kerja sosial dan peleburan sosial memampukan seseorang untuk memproduksi teori organisasi anarkis dengan ketepatan yang lebih tinggi. Dari pertautan antara teori dan praktik seperti ini, kami memahami cara berteori organisasi khusus anarkis sebagai sebuah tindakan terus menerus: berteori, berpraktik, menilai ulang teori, dan jika diperlukan, merumuskannya kembali, berteori, berpraktik, dan berulang begitu untuk seterusnya. Banyak organisasi anarkis mengartikan teori hanya sebagai cara memahami kenyataan di tempat mereka bertindak. Dengan cara ini mereka memisahkan teori dari ideologi, teori yang adalah “serangkaian konsep yang diuraikan secara terpadu di antara mereka” menjadi berfungsi hanya untuk menjelaskan jawaban atas “pertanyaan pertama tentang strategi”, yaitu: “di mana kita saat ini?”. Dalam pengertian ini, teori digunakan untuk mencari pemahaman mendalam tentang kenyataan di mana ia berkegiatan. Kami sepakat mengenai hal ini. Namun, seperti yang telah kami sebutkan di atas, kami percaya bahwa teori juga berfungsi untuk menjawab pertanyaan kedua dan ketiga mengenai strategi, yaitu, “ke mana kita ingin melangkah?”, dan “bagaimana agar kita dapat meninggalkan tempat kita saat ini dan sampai di tujuan yang kita inginkan”. Jadi, dalam kerangka strategis ini, teori tidak hanya untuk menjawab pertanyaan pertama, tetapi juga berusaha menjawab pertanyaan kedua dan ketiga. Lebih jauh lagi, teori yang digunakan dalam strategi ini pastilah memiliki unsur ideologis, dan karena itu, dalam kasus ini, meskipun teori dan ideologi adalah dua konsep yang berbeda, mereka tidak dapat benar-benar dipisahkan. Teori tentu membawa sisi ideologis dan ideologi tentu membawa sisi teoretis. Keduanya saling terkait. Dari pemahaman tentang hubungan antara teori dan ideologi ini, organisasi khusus anarkis harus bekerja dengan apa yang kita sebut sebagai kesatuan ideologis dan teoretis. Kesatuan ini terjadi melalui proses pengambilan keputusan organisasi anarkis dan bertujuan untuk menentukan garis politik yang jelas (secara teoretis dan ideologis), yang tentunya akan memandu semua kegiatan dan tindakan organisasi, yang “baik secara umum maupun rinci, harus dalam kesepakatan yang persis dan ajek”[157] dengan garis yang ditetapkan oleh organisasi. Kami berpandangan bahwa ketiadaan pemahaman bersama dalam hal ideologis dan teoretis ini bakal menghasilkan konflik berkelanjutan antar anggota dan memunculkan berbagai praktik yang tidak ampuh. Ketiadaan garis politik teoretis dan ideologis yang jelas akan menyebabkan kurangnya pemahaman, atau bahkan munculnya pemahaman yang bertentangan satu sama lain dalam sebuah rangkaian gagasan. Hasilnya adalah kegagalan, kebingungan, dan/atau praktik-praktik yang sia-sia. Dengan garis politik yang dirumuskan dengan baik, semua orang tahu bagaimana harus bertindak dan, ketika ada masalah dalam praktik, semua orang akan memahami bahwa garis politik tersebut harus ditinjau kembali. Bila garis teoretis dan ideologis tidak terpahami dengan baik, ketika ada masalah, sulit untuk mengetahui apa-apa saja yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, kejelasan garis inilah yang memungkinkan organisasi untuk berkembang secara teoretis. ** D. Propaganda Anarkis Organisasi khusus anarkis juga ditujukan untuk propaganda anarkis. “Propaganda tidak lain adalah pengulangan, secara terus menerus dan tidak kenal lelah, atas asas-asas yang menjadi panduan kita dalam berperilaku, yang kita ikuti dalam berbagai situasi kehidupan”.[158] Jadi, kami memahami propaganda sebagai penyebarluasan gagasan anarkisme, dan oleh karena itu, merupakan kegiatan mendasar organisasi anarkis. Tujuannya adalah untuk membuat anarkisme dikenal dan membuat orang-orang tertarik pada tujuan kita. Propaganda adalah salah satu kegiatan organisasi anarkis, tetapi bukanlah satu-satunya. Propaganda harus dilakukan terus menerus dan dengan cara yang terorganisir. “Propaganda organisasi harus dilakukan tanpa henti, demikian pula propaganda gagasan dan cita-cita anarkis lainnya”.[159] Demi menambah kekuatan, propaganda perlu dilakukan terus menerus. Propaganda yang dilakukan sesekali saja tidak cukup untuk membuat anarkisme dikenal, apalagi untuk menyatukan orang-orang. Oleh karena itu, penegasan pertama kami adalah bahwa propaganda perlu dilakukan secara berkelanjutan. Selain itu, propaganda tidak boleh dilakukan dengan cara yang terasing. Sebab, sama seperti semua kegiatan lain yang tidak terkoordinasi, propaganda yang dilakukan sendiri-sendiri tidak memiliki kekuatan yang memadai. Seperti yang kita ketahui, organisasi—dalam artian koordinasi kekuatan untuk mewujudkan sebuah tujuan—dapat melipatgandakan hasil kerja seseorang. Hal yang sama juga berlaku untuk propaganda. Ketika kita terorganisir, hasil dari kerja propaganda kita—baik dalam teori maupun praktik—berlipat ganda, dan dapat meraih hasil yang jauh lebih besar ketimbang propaganda yang dilakukan secara perorangan. Maka, penegasan kedua kami adalah bahwa propaganda mesti dilakukan secara terorganisir, sebab hasilnya dapat berlipat ganda.
Propaganda santai yang sambil lalu dan terasing, yang seringkali dilakukan untuk menenangkan hati nurani seseorang atau sekadar untuk melegakan hasrat bertukar pendapat, tidak terlalu berdampak atau bahkan tidak berdampak sama sekali. Dengan kondisi ketidaksadaran dan kesengsaraan massa, dan dengan sebegitu banyaknya kekuatan yang menantang mereka, propaganda semacam itu akan dengan segera terlupakan bahkan sebelum upayanya terhimpun dan menghasilkan sesuatu yang subur. Lahan tidak siap menerima benih yang ditaburkan sembarangan, apalagi untuk dapat berkecambah dan berakar.[160]Kami berpendapat bahwa organisasi khusus anarkis mesti menggunakan segala cara yang ia miliki untuk melancarkan propaganda yang terus menerus dan terorganisir. Pertama-tama, yang terkait dengan bidang teoretis, pendidikan, dan/atau budaya, dengan perwujudannya dalam bentuk kursus-kursus, ceramah, debat, konferensi, kelompok belajar, situs internet, surat elektronik, teater, buletin, surat kabar, majalah, buku, video, musik, perpustakaan, acara publik, program radio, program televisi, sekolah-sekolah libertarian, dll. Kami benar-benar menghargai semua propaganda ini dan menganggap penting berbagai kegiatan yang dapat menarik orang banyak dan memastikan mereka mengenal anarkisme, baik kritik-kritiknya maupun tawarannya yang membangun. Dengan demikian, banyak orang dimungkinkan untuk dapat mengembangkan nilai-nilai anti-otoritarian, merangsang kesadaran dan hati nurani mereka, membuat mereka melihat eksploitasi dan dominasi dengan cara yang lebih kritis, dan membuat mereka melihat bahwa ada jalur alternatif untuk berjuang dan berorganisasi. Orang-orang ini dapat saja mendekat, berusaha memperdalam pengetahuan mereka, terlibat dalam diskusi, dan juga mengatur diri mereka sendiri untuk bertindak. Jenis propaganda ini, bila dilakukan dalam lingkup besar, sangat penting karena berfungsi sebagai semacam “pelumas” sosial yang sedikit demi sedikit mengubah budaya di tempat kita hidup dan mempermudah gagasan anarkis serta praktik-praktiknya dikenal masyarakat. Kerja propaganda yang masif ini lambat laun mengubah kesadaran masyarakat dan membuat ideologi kapitalisme, yang sudah tersebar dalam bentuk budaya, menjadi semakin dipertanyakan dan semakin sedikit penyebarannya. Kami memahami kesadaran sebagai sebuah kapasitas yang dimiliki setiap orang untuk mengenali nilai serta asas-asas berbudi luhur dan menerapkannya. Oleh karena itu, kami percaya bahwa kegiatan propaganda ini sangat relevan untuk peningkatan kesadaran secara berkelanjutan. Propaganda dapat diarahkan untuk 1). menghilangkan prasangka dan budaya kapitalis, 2). membuat orang-orang memandang otoritarianisme secara kritis, dan 3). menarik orang-orang untuk berjuang melawan otoritarianisme ini. Kami memahami bahwa setiap proses perubahan sosial dengan tujuan akhir seperti yang kami usulkan akan sangat bergantung pada penerimaan sebagian besar sektor masyarakat, atau setidaknya jangan sampai masyarakat menolaknya. Dan propaganda, dalam pengertian teoretis, pendidikan dan/atau budaya, akan sangat berperan dalam hal ini. Dengan demikian, “propaganda yang dijalankan oleh kaum anarkis yang terorganisir juga merupakan sebuah cara mewujudkan persiapan masyarakat masa depan: bekerja sama membangun peluang untuk memberikan pengaruh pada lingkungan dan mengubah kondisinya”[161]. Namun, kita harus mengerti batasan-batasan propaganda. Propaganda dalam hal teoretis, pendidikan dan/atau budaya, memiliki tujuan utama untuk meningkatkan kesadaran. Jadi, ia bertujuan untuk mengubah gagasan masyarakat. Dan karena inilah kami melihat ada batasan serius dalam model propaganda ini. Peningkatan kesadaran tidak selalu berarti turut berkurangnya eksploitasi dan dominasi masyarakat kapitalis. Peningkatan kesadaran juga tidak berarti masyarakat serta merta akan mengorganisir diri mereka sendiri untuk berjuang. Saat ini, masifnya media arus utama, berkembangnya perkotaan, terpecah-pecahnya komunitas masyarakat, dan faktor lainnya, membuat propaganda dalam lingkup besar sangat sulit dilakukan, dan kita harus ingat bahwa bahkan saat tidak ada kesulitan ini pun, saat propaganda anarkis sangat kuat—dengan pusat-pusat budaya yang beroperasi permanen, surat kabar dengan oplah harian yang sangat tinggi—tidak ada jaminan bagi perubahan sosial. Dengan keterbatasan ini, kita dapat mempertimbangkan bahwa, bahkan dengan semua kesulitan untuk melaksanakan propaganda secara masif, peningkatan kesadaran masyarakat tidak selalu berarti terwujudnya organisasi dan perjuangan, tidak pula berarti berakhirnya, atau berkurangnya, eksploitasi dan dominasi. Dapat dikatakan bahwa, bahkan dalam situasi ketika semua orang sudah sadar pun, kita akan terus dieksploitasi dan didominasi. Karena itu,
[...] baik para penulis, filsuf, karya-karya mereka, bahkan surat kabar sosialis pun tidak dapat membentuk sosialisme yang hidup dan kuat. Sosialisme hanya dapat menemukan keberadaan nyata dalam kejernihan naluri revolusioner, dalam kehendak kolektif, dan dalam organisasi [...] —dan ketika naluri ini, kehendak ini, dan organisasi ini tidak ada, buku-buku terbaik di dunia pun hanyalah teori kosong dan mimpi-mimpi melempem.[162]Untuk alasan ini, selain propaganda yang berlangsung di ranah teoretis, pendidikan dan/atau budaya, kami berpendapat bahwa kita juga harus mempertahankan propaganda dalam perjuangan dan organisasi, yaitu propaganda dalam kerja-kerja sosial, dengan niat untuk peleburan sosial. Dengan berlangsungnya propaganda dalam lingkup perjuangan kelas dan gerakan sosial, kerja propaganda anarkis bertujuan untuk mengerahkan, mengorganisasi, dan mempengaruhi gerakan sosial dengan praktik anarkis. Berkali-kali kami menegaskan bahwa pengaruh anarkisme dalam gerakan sosial berarti mengupayakan agar gerakan sosial memiliki sifat yang kita inginkan: yang mengerahkan kekuatannya, bersudut pandang perjuangan kelas, berdaya tempur, berdikari, aksi langsung, demokrasi langsung, dan revolusioner. Untuk sampai pada tingkat pengaruh ini, organisasi khusus anarkis menjalankan propagandanya dengan tegas, melalui kata-kata, dan terutama, dengan menjadi contoh.[163] Kami memahami keseluruhan proses kerja sosial dan peleburan sosial yang telah dibahas sebelumnya sebagai kerja propaganda utama yang harus dikembangkan organisasi anarkis. Dalam perjuangan, minoritas aktif anarkis, yang menciptakan gerakan sosial baru atau bergabung dengan gerakan sosial yang sudah ada, berupaya memberikan pengaruh sebanyak mungkin—dengan menjadi teladan—agar gerakan sosial bergerak dengan cara yang paling libertarian dan setara. Oleh karena itu, kerja sosial ini adalah
tentang mendidik demi kebebasan, meningkatkan kesadaran akan kekuatan dan kemampuan mereka sendiri, yang telah terlupakan karena mereka terbiasa patuh dan pasif. Oleh karena itu, caranya perlu dilakukan sedemikian rupa sehingga orang-orang mampu bertindak atas kemauan mereka sendiri, atau setidaknya mereka percaya bahwa mereka melakukannya karena naluri dan gerak hati, walaupun sebenarnya hal-hal tersebut diperkenalkan pada mereka.[164]Dengan cara ini, propaganda anarkis melayani keseluruhan proses kerja anarkis, sebagai minoritas aktif dalam gerakan sosial maupun dalam pembentukan organisasi kerakyatan. Saat kita melakukan propaganda anarkis, kita mesti memikirkan medan yang paling subur untuk hal itu. Kami memahami bahwa propaganda terbaik adalah propaganda yang dilakukan di dalam gerakan sosial, yang memberi bentuk pada perjuangan kelas. Artinya, bekerja di antara orang-orang yang terorganisir di seputar kebutuhan hidup, dan berupaya meraih pencapaian jangka pendek. Kami memahami bahwa kita dapat menanam benih anarkisme dengan propaganda dan membawa masyarakat ke proses revolusioner yang membuka jalan bagi sosialisme libertarian. Bukan lantas alternatif lain tidak berguna, tetapi persoalan “di mana dan untuk siapa kita berpropaganda” harus selalu dipikirkan. ** E. Pendidikan Politik, Hubungan, dan Pengelolaan Sumber Daya Akhirnya, kita akan membahas sedikit tentang kegiatan lain dari organisasi khusus anarkis: pendidikan politik, hubungan, dan pengelolaan sumber daya. Pendidikan politik adalah hal mendasar bagi berfungsinya organisasi anarkis. Pada tingkat politis, yaitu organisasi khusus anarkis, tujuan utama pendidikan adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan memperdalam pemahaman teoretis dan ideologis militan organisasi. Pendidikan juga membantu para militan baru dan mengupayakan agar ketimpangan pengetahuan (antara yang sudah terdidik dan yang belum cukup terdidik) menjadi setipis mungkin. Pendidikan juga memastikan agar tingkat diskusi yang tinggi dalam organisasi tidak terpengaruh oleh ketimpangan pengetahuan ini. Secara umum, pendidikan politik mendorong perkembangan teoretis dan ideologis organisasi dan memastikan adanya persatuan. Bagi para pendukung, pendidikan politik menawarkan landasan teoretis dan ideologis agar garis politik organisasi anarkis dapat dipahami. Pendidikan politik pada tingkat politis memperdalam persoalan sejarah, masa kini, dan masa depan, serta pengetahuan tentang berbagai aliran ideologi dan gerakan sosial lainnya. Pendidikan politik dilaksanakan dalam berbagai cara, antara lain melalui kursus-kursus dan buku pelatihan untuk militan, seminar edukasi, atau pendidikan mandiri yang dilakukan oleh para militan sendiri. Pada tingkat sosial, yaitu gerakan sosial, organisasi anarkis juga bekerja dengan pendidikan politik untuk mendorong perkembangan teori dan ideologi. Pendidikan politik ini pertama-tama berfungsi untuk mengerahkan orang. Kemudian untuk mendidik militan akar rumput dan memberikan dukungan yang diperlukan agar mereka dapat berkembang secara teoretis dan, jika memungkinkan, bergabung ke kelompok perantara. Terakhir, pendidikan politik berusaha mengembangkan militan yang bekerja dalam kelompok perantara dan, jika mereka memiliki kedekatan ideologis, mereka dapat bergabung ke dalam organisasi anarkis. Pendidikan politik di tingkat sosial ini sangat penting untuk mempolitisasi militan. Agar gerakan sosial memiliki sifat yang diinginkan, dan agar gerakan tersebut mengarah kepada pembangunan organisasi kerakyatan, maka sebaiknya kita mempolitisasi sebanyak mungkin militan. Dalam hal inilah pendidikan politik memainkan peran penting. Pada praktiknya, pendidikan politik di tingkat sosial ini juga dapat terjadi dalam beberapa cara, antara lain: dengan pendalaman sejarah, masa kini, dan masa depan, dan dengan tersedianya pengetahuan tentang anarkisme dan gerakan sosial; dengan kursus-kursus dan buku pelatihan sosial; dengan ceramah dan debat. Pendidikan politik sangat penting bagi gerakan yang memerlukan militansi dengan nalar lingkaran konsentris seperti yang telah dibahas sebelumnya, baik di tingkat politis maupun tingkat sosial. Seluruh relasi dalam organisasi khusus anarkis juga sangat penting dan dapat dibagi dengan cara yang sama: di tingkat sosial dan tingkat politik. Pada tingkat politik, organisasi anarkis berusaha menjalin hubungan dengan organisasi, kelompok, dan perorangan dari segala penjuru, sehingga hubungan-hubungan ini dapat menyumbang pada kinerja organisasi. Hubungannya bisa terbangun secara alamiah atau agak formal. Hubungan seperti apa pun yang dibangun, sangat penting bagi kita untuk memiliki lawan bicara dan membidik organisasi konfederasi yang lebih luas, yang dapat mempertemukan berbagai organisasi anarkis. Pada tingkat sosial, organisasi anarkis berusaha untuk mengenal dan berhubungan dengan gerakan sosial, kurang lebih terkait dengan gerakan-gerakan itu, atau bahkan berhubungan dengan organisme-organisme lain seperti universitas, dewan kota, yayasan, LSM, organisasi hak asasi manusia, organisasi ekologis, dll. Pengelolaan sumber daya organisasi khusus anarkis dilakukan melalui proyek swadaya, seperti penggalangan dana oleh para militannya sendiri, atau melibatkan orang-orang lain, atau bahkan melalui prakarsa seperti koperasi, dan sebagainya. Hal ini penting untuk mempertahankan keberlanjutan organisasi anarkis dan semua kegiatannya. Meskipun menolak nalar kapitalisme, selama kita hidup di dalamnya, mau tidak mau kita harus mengumpulkan dana dan mengelolanya untuk menjalankan kegiatan kita. Dana ini penting: untuk mewujudkan kerja-kerja sosial (biaya transportasi militan, dll.), membeli buku, mencetak materi propaganda (pamflet, koran, buku, video, dll.), memenuhi kebutuhan struktur organisasi (biaya pemeliharaan ruang, dll.), perjalanan, dan kegiatan lainnya. ** F. Hubungan Organisasi Anarkis Spesifik dengan Gerakan Sosial Sampai saat ini, telah beberapa kali kami membahas tentang pemisahan antara aksi di tingkat sosial dan di tingkat politik. Kami bermaksud mengungkap dengan sedikit lebih rinci mengenai apa yang kami pahami dari masing-masing tingkatan ini, kekuatan dan kelemahan setiap tingkat, dan terutama bagaimana kedua lapisan ini berhubungan satu sama lain. Bagi kami, tingkat sosial adalah ruang lingkup di mana gerakan sosial berkembang, di sinilah pembangunan dan peningkatan kekuatan sosial organisasi rakyat harus diupayakan. Tingkat ini memiliki gerakan sosial sebagai tokoh utama revolusioner yang baik, walaupun tidak terbatas hanya pada mereka. Ketika kita berurusan dengan gerakan sosial, kita mesti menekankan bahwa gerakan sosial seharusnya tidak terkungkung dalam sebuah ideologi, melainkan harus terbentuk di atas landasan kebutuhan nyata—penyebab umumnya harus jelas. Gerakan sosial harus terorganisir di seputar persoalan materiil dan hal-hal yang bermanfaat bagi umum, yang berusaha meraih kemenangan demi kemenangan, yaitu perbaikan kondisi kehidupan kelas-kelas yang dieksploitasi. Gerakan sosial dapat terorganisir untuk memperjuangkan masalah lahan, perumahan, pekerjaan, membela pekerja dari bosnya, menuntut perbaikan di komunitas masyarakat, dan berjuang untuk banyak masalah lainnya. Orang-orang yang bergabung ke dalam gerakan ini adalah orang-orang yang tertarik pada perjuangan seputar berbagai isu tersebut, dan yang diuntungkan jika perjuangan tersebut menang. Seperti yang telah kita lihat, semakin banyak gerakan sosial ini terorganisir dan memiliki sifat yang kita inginkan (pengerahan kekuatan, perjuangan kelas, berdaya tempur, otonomi, aksi langsung, demokrasi langsung, dan sudut pandang revolusioner), semakin mereka mampu membangun organisasi rakyat dan secara berkelanjutan meningkatkan kekuatan sosial mereka. Kami memahami bahwa hanya dengan bergabungnya berbagai gerakan sosial dalam pembangunan organisasi kerakyatan barulah kita dapat mengatasi kapitalisme dan negara, serta membangun sosialisme libertarian melalui revolusi sosial. Dengan kata lain, tingkat sosial adalah lapisan paling penting untuk perubahan sosial yang ingin kita terapkan dalam masyarakat. Tanpanya, setiap perubahan yang kita pikirkan tidak mungkin menghasilkan apa pun selain terciptanya sebuah kelas pengeksploitasi baru. Oleh karena itu, tingkat sosial merupakan aktor utama dalam proses perubahan sosial. PROSES PERUBAHAN SOSIAL [[a-f-anarchist-federation-of-rio-de-janeiro-anarkis-4.png f]] Meskipun demikian, seperti yang telah kita lihat, ada beberapa hal dalam tingkat sosial ini yang memperumit proses perubahan sosial. Pertama, karena banyaknya kekuatan politik yang berhubungan dengan gerakan sosial, dan karena sifat gerakan sosial itu sendiri, seringkali membuatnya menjadi tidak memiliki sifat-sifat yang mendukung keberlangsungan proses perubahan sosial. Kerumitan yang timbul dari kekuatan otoritarian dalam gerakan sosial ada banyak: ada organisasi yang berusaha mengideologisasi gerakan sosial dan melemahkannya; ada organisasi yang mencoba memanfaatkannya, sehingga fungsi gerakan sosial menjadi sekadar melayani tujuan organisasi tersebut (tujuan yang berbeda dengan tujuan gerakan sosial); ada gerakan yang tidak mengupayakan keterlibatan kelas-kelas tertindas dan berakhir menjadi kelompok “pelopor” yang terlepas dari basis akar rumput; ada gerakan yang hanya berfungsi dengan bantuan dari pemerintah dan kapitalis; ada gerakan yang sepenuhnya terkait dengan politisi, partai, dan kelompok-kelompok otoritarian lainnya; ada gerakan yang ingin mencalonkan kandidat dan hanya terlibat secara politis melalui demokrasi perwakilan; ada gerakan yang mendukung hubungan-hubungan hierarkis, yaitu para pemimpinnya memutuskan dan akar rumput mematuhinya; ada gerakan reformis; ada gerakan-gerakan terasing yang tidak ingin terhubung dengan yang lain; ada gerakan yang tidak memproduksi teori dan analisis situasi. Kerumitan lain muncul dari cara kerja gerakan sosial itu sendiri. Gerakan sosial selalu terorganisir untuk perjuangan-perjuangan jangka pendek, maka ada risiko yang sangat besar ketika sebuah kemenangan kecil kemudian dianggap sebagai tujuan akhir perjuangan. Saat ini terjadi, gerakan sosial akhirnya menjadi gerakan reformis—yaitu gerakan yang bertujuan untuk sekadar memperbaiki atau melakukan penyesuaian dalam sistem kapitalis. Seringkali perjuangan jangka pendek ini menjauhkan gerakan sosial dari perjuangan revolusioner. Selain itu, karena dalam banyak kasus gerakan-gerakan ini terbentuk secara spontan, tidak dapat disangkal bahwa ada kesulitan organisasional bagi gerakan ini untuk melakukan perjuangan jangka panjang. “Oleh karena itu, spontanisme—pengerahan massa secara spontan, adalah dampak dari timbunan masalah yang tidak terselesaikan dan yang sewaktu-waktu dapat ‘meledak’. Apabila tidak disalurkan dan diorganisir dengan baik, ia tidak akan membantu mengatasi masalah politik, dalam hal ini: tidak mengubah hubungan kekuasaan”[165]. Seperti yang telah kita lihat, gerakan sosial bisa terseret-seret keadaan, dan terkadang, gerakan sosial pula yang bertanggung jawab atas surutnya gerakan. Proses surut ini seringkali menyebabkan hilangnya pembelajaran dan kekuatan yang telah terkumpul dalam perjuangan. Jadi, di satu sisi, tingkat sosial harus menjadi aktor utama perubahan sosial. Namun, di sisi lain, tingkat sosial pun memiliki keterbatasan serius dalam mewujudkan hal ini. Maka kami memahami bahwa perubahan sosial dapat terwujud dengan adanya tingkat politik yang melengkapi tingkat sosial. Tingkat politik adalah ruang di mana organisasi khusus anarkis berkembang. Berbeda dengan tingkat sosial, tingkat politik adalah tingkat yang ideologis—lapisan khusus anarkis. “Masalah kekuasaan, yang menentukan perubahan sosial yang mendalam, hanya bisa dipecahkan di tingkat politik, melalui perjuangan politik. Dan perjuangan ini memerlukan suatu bentuk organisasi khusus: organisasi politik revolusioner”.[166] Tingkat politik ini tentu harus terhubung dengan tingkat sosial, sebab tanpa tingkat sosial, tingkat politik tidak akan mampu mewujudkan perubahan sosial yang diinginkan. Dengan demikian, tingkat politik benar-benar membutuhkan tingkat sosial. Seperti yang telah kami katakan, tingkat sosial adalah aktor utama perubahan sosial.
Insureksi atau proses perjuangan panjang tidak akan mungkin terjadi tanpa campur tangan massa, atau jauh dari massa. Kecenderungan spontan mereka selalu memainkan peran yang sangat penting, dan fungsi organisasi politik adalah untuk menyalurkan kecenderungan ini ke dalam kerangka organisasi agar ia dapat berkembang secara ideologis. Revolusi tidak dapat dilaksanakan tanpa dukungan rakyat atau terlepas dari rakyat, apalagi pembangunan sistem sosial baru. Pembangunan sistem sosial baru hanya dapat terjadi dengan dukungan awal dari setidaknya sejumlah besar sektor masyarakat.[167]Organisasi khusus anarkis ingin mempraktikkan sebuah politik revolusioner yang berpandangan bahwa cara mencapai tujuan akhir (revolusi sosial dan sosialisme libertarian) adalah dengan tindakan-tindakan yang memiliki landasan strategis. Untuk alasan ini, minoritas aktif mengorganisir diri dan mengkoordinasi kegiatan para militan ideologis, bekerja seumpama ragi dalam roti perjuangan di tingkat sosial. Kegiatan utama yang dilakukan oleh tingkat politik ini adalah kerja-kerja sosial yang terjadi ketika tingkat politik berinteraksi dengan tingkat sosial. Dalam perjumpaan ini, tingkat politik berusaha memberikan pengaruh sebanyak mungkin pada tingkat sosial, membuatnya bekerja dengan cara yang paling libertarian dan setara. Kita telah melihat bahwa perjumpaan ini dapat terjadi secara langsung antara organisasi anarkis dan gerakan sosial, atau melalui kelompok perantara. Ketika tingkat politik mulai menerapkan hubungan ini dengan tingkat sosial, bahkan walaupun setengah-setengah, dapat kita katakan bahwa tingkat politik sedang melakukan peleburan sosial. Hanya melalui peleburan sosial inilah baru kita dapat membangun organisasi kerakyatan, terus menambah kekuatan sosialnya, dan mencapai tujuan akhir. Oleh karena itu, bagi kami, sebagaimana tingkat politik membutuhkan tingkat sosial, demikian pula tingkat sosial membutuhkan tingkat politik.
Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk kegiatan ideologis berupa penjelasan (dan unsur-unsur yang diperlukan untuk itu) yang tidak bertentangan, melainkan melengkapi tingkat perjuangan lainnya (ekonomi, militer, dll). Yang kami maksud dengan kegiatan ideologis bukanlah khotbah “pendidikan” ideologis yang hanya merujuk pada penyebaran “teori” revolusioner. Meskipun, perlu kami perjelas, pendidikan semacam itu juga penting. Kegiatan ideologis adalah sesuatu yang lebih dari sekadar penyebaran pengetahuan teoretis. Kenyataannya, praktik politik itu sendiri adalah bahan pokok, unsur kunci untuk memadukan tingkat kesadaran revolusioner. [...] inti dari hasil ideologisnya adalah untuk menunjukkan kepada orang banyak sebuah prospek kemenangan, perjalanan penuh harapan, dan kepercayaan diri untuk menempuh kemungkinan perubahan revolusioner yang mendalam. [...] Dan tugas “mempertunjukkan” hal-hal ini [...] adalah tugas para minoritas yang terorganisir secara politis, dengan tingkat kesadaran ideologis yang tidak dapat dihasilkan oleh praktik spontan massa. Sebuah tingkat kesadaran yang melampaui spontanisme.[168]Dengan demikian, kami memahami bahwa tingkat sosial dan tingkat politik saling melengkapi. Tingkat politik menyebarkan pengaruhnya ketika ia mulai melakukan peleburan sosial, berusaha memberikan sifat yang diinginkannya pada tingkat sosial—yang seringkali kekurangan sifat ini—, terkadang karena adanya pengaruh kekuatan politik otoritarian, terkadang karena sifat dasar tingkat sosial itu sendiri. Dalam interaksinya dengan tingkat sosial ini, tingkat politik harus: 1. berjuang agar gerakan tidak dibangun di atas dasar ideologis; 1. menghindari pengaruh negatif dari semua pihak-pihak otoritarian, mencegah mereka memanfaatkan gerakan sosial untuk tujuan mereka sendiri; 1. melibatkan sebanyak mungkin kelas-kelas yang dieksploitasi dalam proses perjuangan dan memastikan mereka menjadi pelaku utama sejati untuk perubahan sosial; 1. memastikan bahwa gerakan sosial tersebut tidak hidup karena kepentingan kelas penguasa dan bergantung pada bantuan kelas penguasa, melainkan gerakan sosial sendiri yang memaksakan penaklukkan mereka pada kelas penguasa; 1. memastikan gerakan tersebut tidak terkait dengan politisi, partai, dan kelompok otoritarian lainnya; 1. memastikan gerakan tidak berusaha mencalonkan wakil dalam sistem parlementer, melainkan melaksanakan politik mereka sendiri dan membuat kebijakan sendiri; 1. sehingga setiap orang di gerakan dapat membahas semua persoalan mereka dengan cara yang paling demokratis, dan tidak ada hierarki; Dengan demikian, gerakan sosial dapat menggunakan pencapaian-pencapaian jangka pendek mereka untuk membangun proyek revolusioner jangka panjang; menjadi penghubung untuk membangun organisasi rakyat; membantu dalam pengembangan dan produksi teori dan analisis situasi yang diperlukan; sehingga spontanitas dapat diubah menjadi organisasi; dan ketika masa sulit datang, mereka tidak kehilangan kekuatan dan pengetahuan yang telah terkumpul dari perjuangan-perjuangan yang selama ini telah mereka lakukan. Tingkat sosial dicirikan dengan pasang surut yang tajam, karena situasi di tingkat ini lebih berubah-ubah ketimbang tingkat politik. Dengan demikian, tingkat politik berfungsi penting untuk menjamin keberlangsungan ideologi dan akumulasi perjuangan di tingkat sosial pada saat surut (atau bahkan saat pasang), sebab “organisasi politik [anarkis] juga merupakan ruang di mana pengalaman perjuangan rakyat terkumpul, baik secara nasional maupun internasional. Sebuah badan yang mencegah menghilangnya pengetahuan kelas tertindas dan tereksploitasi, yang telah dipelajari kelas-kelas ini seiring waktu”[169]. Pada saat pasang, peran organisasi khusus anarkis adalah untuk mendorong gerakan sosial. Pada saat surut, perannya adalah untuk ‘menjaga api tetap menyala”, yaitu menunggu dan mempersiapkan peluang-peluang baru untuk beraksi.
Anarkisme tidak menginginkan penaklukkan kekuasaan politik untuk menuju kediktatoran. Hasrat utamanya adalah untuk membantu massa mengambil langkah otentik menuju revolusi sosial dan pembangunan sosialisme. Namun, tidak berhenti ketika massa mengambil jalan revolusi sosial. Penting juga untuk mempertahankan arah revolusi ini dan tujuannya: menaklukkan masyarakat kapitalis atas nama masyarakat pekerja yang merdeka.[170]Dengan cara ini, tingkat politik memberikan pengaruhnya pada tingkat sosial, memastikan tingkat sosial memiliki sifat-sifat yang diinginkan. Jika sifat ini sudah ada di tingkat sosial, maka tingkat politik hanya mendampinginya; Jika sifat ini tidak ada, maka tingkat politik berjuang untuk membuatnya nyata. Ketika kami mendefinisikan tingkat politik sebagai organisasi khusus anarkis yang berisi segelintir minoritas yang aktif, kami memahaminya sebagai sesuatu yang bertentangan dengan organisasi kepeloporan kaum otoritarian. Kaum otoritarian juga mengusulkan dipisahkannya tingkat sosial dan tingkat politik, tetapi mereka percaya bahwa tingkat politik memiliki hubungan hierarkis dan dominatif atas tingkat sosial. Dengan demikian, hierarki dan dominasi tingkat politik (partai-partai otoritarian) dihasilkan dalam hubungan mereka dengan tingkat sosial. Demikian pula kaum otoritarian memahami bahwa reproduksi kesadaran berlangsung secara hierarkis dan dominatif, dari tingkat politik dibawa turun ke tingkat sosial, dari orang-orang yang “sadar” kepada orang-orang yang “tidak sadar”. Demikianlah hubungan hierarki dan dominasi tingkat politik terjadi atas tingkat sosial. Hubungannya bukan dua arah, dari tingkat politis ke tingkat sosial dan sebaliknya, melainkan satu arah, dari tingkat politis ke tingkat sosial—yang akhirnya hanya menjadi sabuk penyebaran gagasan politik. Contoh gagasan otoritarian adalah mendukung kepeloporan minoritas sebagai secercah cahaya yang akan menerangi jalan rakyat; dan tingkat sosial, yang berada dalam kegelapan, akan bergantung pada cahaya tingkat politik. Kita mengetahui dari berbagai contoh sejarah bahwa dengan hubungan yang seperti ini, di mana tingkat politik berjuang untuk tingkat sosial, tingkat politik akhirnya memperoleh posisi istimewa.
Tapi kita kaum anarkis tidak dapat membebaskan rakyat, kita ingin rakyat membebaskan diri mereka sendiri. Kami tidak percaya pada kebaikan-kebaikan yang diberikan dari atas dan ditetapkan secara paksa; kami ingin model kehidupan sosial baru yang muncul dari lubuk hati rakyat, sesuai dengan tingkat perkembangan yang telah dicapai manusia dan yang dapat terus berkembang seiring kemajuan mereka. Oleh karena itu, perlu kita ingat bahwa semua kepentingan dan opini dari organisasi (orang-orang) yang sadar mungkin saja menegaskan diri dan mempengaruhi kehidupan kolektif, tetapi sesuai dengan porsinya.[171]Bagi organisasi khusus anarkis, hubungan antara tingkat sosial dan tingkat politik harus menyiratkan perlunya pembahasan serius mengenai masalah etika. Kami telah berpendapat sejak awal bahwa: “FARJ dengan tegas akan menghormati asas-asas etis yang menopangnya, menawarkan pengembangan budaya politik yang menghormati keberagaman sudut pandang dan kesamaan tujuan”.[172] Dengan etika, dan hanya dengan etika, organisasi anarkis tidak bertindak selayaknya partai otoritarian (bahkan partai revolusioner sekalipun). Etika anarkisme, berbeda dengan ideologi lainnya, menjunjung posisi unik terkait hubungan antara tingkat sosial dan tingkat politik. Karena itulah etika sangat penting bagi organisasi anarkis mana pun yang ingin bekerja dengan gerakan sosial. Berbeda dengan organisasi pelopor, tingkat politik, yang berisi minoritas aktif dan bertindak dengan etika, tidak membangun hubungan hierarkis atau dominatif atas tingkat sosial. Bagi kami, seperti yang telah kami tekankan, tingkat sosial dan tingkat politik saling melengkapi dan memiliki hubungan yang dialektis. Dalam hal ini, tingkat politik melengkapi tingkat sosial, demikian pula tingkat sosial melengkapi tingkat politik. Bertentangan dengan yang diusulkan kaum otoritarian, etika horizontal yang dibangun oleh organisasi khusus anarkis dihasilkan dalam hubungannya dengan gerakan sosial. Ketika berhubungan dengan tingkat sosial, organisasi khusus anarkis bertindak dengan etika dan tidak mencari posisi istimewa, tidak memaksakan kehendaknya, tidak mendominasi, tidak menipu, tidak mengasingkan, tidak menganggap dirinya superior, ia tidak berjuang untuk gerakan sosial atau berusaha memimpin mereka. Organisasi anarkis berjuang dengan gerakan sosial, tidak memajukan diri bahkan satu langkah pun dari apa yang mereka ingin lakukan. Dari sudut pandang etika tingkat politik ini, kami memahami bahwa tidak akan ada api yang menyala jika tidak dinyalakan secara kolektif; tidak boleh ada yang maju menerangi jalan rakyat jika rakyat itu sendiri hanya mengikuti dalam kegelapan. Tujuan minoritas aktif, secara etis, adalah untuk mendorong, berdiri bahu-membahu, bersolidaritas ketika dibutuhkan dan diminta. Dengan cara ini, cara yang berbeda dari kepeloporan, tindakan minoritas aktif dibenarkan.
Keikutsertaan individu dalam mendukung gerakan sosial harus mengikuti sikap orang-orang yang berkomitmen pada situasi ini. Para pendukung, atau bahkan militan yang sah secara organisasional, harus menunjukkan bahwa mereka bersedia lebih banyak mendengarkan ketimbang berbicara. Mereka harus sadar keadaan sekitar, tempat hidup warga yang secara alamiah membentuk sebuah gerakan sosial. Sebagai bagian dari keseluruhan, yaitu sebuah organisasi, mereka harus tumbuh bersamanya dan tidak menentukan jalur dan wujudnya dengan cara yang vertikal dan otoritarian. Penting untuk diingat bahwa proses pembangunan secara kolektif selalu, dan di atas segalanya, merupakan proses pendidikan mandiri. Seiring waktu, jika kesepakatan kelompok diikuti dengan tepat, barulah kemudian para pendukung atau militan akan menyadari bahwa hal terpenting adalah untuk membandingkan ideologi mereka dengan kenyataan kelompok dan tidak mencoba mereduksi gerakan sosial ke dalam kepastian-kepastian ideologis mereka.[173]Lantas bukan berarti kami menganjurkan sejenis “akar rumput-isme”, yang menganggap bahwa apa pun yang diadvokasi gerakan sosial pasti selalu benar. Kita tahu bahwa seringkali gerakan sosial memiliki sifat yang berbeda dengan yang kita inginkan, dan yang lebih buruk lagi: terkadang mereka bergeser ke kanan, mendukung kepentingan kapitalis atau bahkan diktator, contohnya seperti fasisme. Oleh karena itu, jika di satu sisi kami tidak percaya bahwa kita harus memimpin gerakan sosial, di sisi lain kami juga tidak percaya bahwa kita harus selalu mengikuti kemauan mereka. Kami ingin berada dalam posisi yang setara, dan ketika kami melihat mereka menjauh dari posisi-posisi yang diperlukan untuk mencapai perubahan sosial, kami akan berjuang dan berusaha mempengaruhi mereka agar memiliki sifat-sifat yang telah dijelaskan.
Bukan berarti kami percaya bahwa massa selalu benar, atau kami akan selalu mengikuti perubahan suasana hati mereka. Kami memiliki program, sebuah cita-cita untuk menang, dan itulah mengapa kami berbeda dan berpartai.[174] Kami ingin menindaklanjutinya, mendorongnya ke jalan yang kami yakini sebagai jalan terbaik. Namun, karena tujuan kami adalah untuk membebaskan dan bukan untuk mendominasi, kami ingin membiasakan melakukannya dengan prakarsa dan tindakan yang merdeka.[175]Selain itu, bertentangan dengan kaum otoritarian, bagi kami tingkat sosial bisa mempengaruhi dan harus selalu mempengaruhi tingkat politik. Artinya, ketika ideologi tingkat politik dibenturkan dengan kenyataan praktik tingkat sosial, tingkat politik juga menerima sumbangsih penting dari tingkat sosial untuk terus dapat memperbaharui organisasi anarkis. Tingkat politik dapat membuat strategi revolusioner yang tetap hanya ketika ia mulai berpraktik di tingkat sosial. Dengan demikian, kami berpendapat bahwa hubungan dua arah antara tingkat politik dan tingkat sosial ini juga akan banyak berkontribusi bagi tingkat politik. Menurut kami, pembagian antara tingkat sosial dan tingkat politik ini akan diperlukan sampai revolusi sosial diteguhkan dan dipastikan keberadaannya, saat sosialisme libertarian telah berfungsi. Setelah sosialisme libertarian beroperasi, tingkat politik harus menyatu dengan tingkat sosial. ** G. Kebutuhan akan Strategi, Taktik, dan Program Sangat penting bagi organisasi khusus anarkis untuk bekerja dengan strategi. Kita dapat mendefinisikan strategi dengan merumuskan jawaban atas tiga pertanyaan ini: 1. Di mana kita saat ini? 1. Ke mana tujuan kita? 1. Bagaimana caranya agar kita bisa beranjak dari tempat kita saat ini dan sampai ke tujuan yang kita inginkan? Strategi adalah rumusan teoretis dari diagnosis atas situasi saat ini, pemahaman tentang situasi yang ingin dicapai, dan serangkaian aksi yang bertujuan untuk mengubah situasi saat ini menjadi situasi yang diinginkan. Dapat dikatakan bahwa “kami memahami strategi sebagai seperangkat unsur, yang bersatu dalam cara sistematis dan terpadu, yang mengarah pada tujuan akhir yang besar. [... dan] menyatukan tujuan akhir tersebut dengan kenyataan sejarah yang khusus.”[176] Dalam naskah ini, kami berusaha menyempurnakan pemahaman kami akan strategi perubahan sosial. Mulanya, pikirkan pertanyaan pertama—kita petakan kapitalisme dan negara yang membentuk tubuh masyarakat dominasi dan eksploitasi. Kemudian, pikirkan pertanyaan kedua—mencoba memahami tujuan akhir revolusi sosial dan sosialisme libertarian. Akhirnya, pikirkan pertanyaan ketiga—dan usulan untuk perubahan sosial yang terjadi dari gerakan sosial, untuk kemudian membentuk organisasi rakyat, dalam interaksi yang ajek dengan organisasi anarkis spesifik. Semua ini dilakukan sembari terus mengutamakan kepentingan kelas-kelas yang dieksploitasi. Dengan demikian, ada alasan strategis di balik pemahaman semua materi teoretis ini. Dalam hal ini, strategi digunakan untuk menyusun tawaran perubahan sosial masyarakat saat ini, berusaha mengarahkannya ke sosialisme libertarian—yang kami sebut sebagai strategi permanen; yaitu strategi yang sangat luas yang searah dengan tujuan jangka panjang kita. Strategi juga dapat dipahami dengan cara yang tidak terlalu luas, dan bahkan sempit. Setiap aksi yang dilakukan oleh organisasi khusus anarkis, atau bahkan para militannya, dapat dipahami secara strategis. Front organisasi anarkis, misalnya, dapat merencanakan kerja-kerjanya dengan merespons ketiga pertanyaan di atas: 1. Hari ini kita belum memiliki peleburan sosial dalam gerakan komunitas masyarakat di lingkungan tertentu yang sedang sangat berkembang, padahal kami percaya ada potensi kerja sosial yang dapat dikembangkan di sana. 1. Kami berharap dalam waktu setahun ini kami dapat melakukan kerja sosial rutin dengan beberapa peleburan. 1. Untuk itu, kami akan mencoba mendekati gerakan ini, mengenalnya dari dekat, dan memulai praktik kerja sosial yang konstan, mencari peleburan sosial. Demikian pula seorang militan dapat, misalnya, mengajukan tawaran untuk pelatihan politik mandiri, juga dengan merespons ketiga pertanyaan di atas: 1. Saya kurang memahami persoalan teoretis tertentu, dan menurut saya ini dapat menghambat militansi saya. 1. Saya ingin menyelesaikan masalah ini dalam enam bulan, karena dengan menyelesaikannya akan membuka lebih banyak peluang bagi militansi saya. 1. Saya akan melakukannya pertama-tama dengan mengobrol bersama rekan-rekan organisasi yang lebih berpengalaman dari saya dan meminta rujukan materi mengenai topik terkait. Kemudian saya akan membaca semua materi tersebut dan mengusulkan sebuah pembahasan bersama anggota organisasi lainnya. Dan akhirnya, saya akan merumuskan gagasan saya dalam sebuah tulisan dan mempresentasikannya kepada organisasi dan sahabat lainnya agar mereka bisa memberikan pendapat mereka. Singkatnya, segala sesuatu dalam organisasi, dari yang paling rumit sampai yang paling sederhana, dapat dan harus dilakukan secara strategis. Dalam organisasi khusus anarkis, persoalan pengembangan strategi diperlakukan sebagai berikut: harus selalu ada perdebatan luas mengenai strategi, termasuk tiga pertanyaan pemantik di atas. Organisasi khusus anarkis harus berusaha mendiagnosis kenyataan tempatnya beroperasi, menetapkan tujuan akhir jangka panjang, dan yang terpenting, menentukan periode dan siklus perjuangan yang berbeda-beda dari setiap perjuangan, dengan golnya masing-masing. Bidang “makro” (diagnosis, tujuan jangka menengah dan jangka panjang) ini disebut strategi, dan tujuan besarnya disebut tujuan strategis. Strategi kemudian dijelaskan secara lebih rinci, atau “mikro”, atau disebut juga dengan taktik, dengan cara menentukan tujuan-tujuan jangka pendek dan tindakan, yang akan dilakukan oleh semua militan atau sekelompok militan, untuk mencapai tujuan taktis jangka pendek. Tentu saja, pencapaian tujuan taktis harus turut membantu pencapaian tujuan strategis, atau setidaknya mengarah ke sana. Bila garis strategis-taktis organisasi ini sudah dibentuk, sebuah perencanaan aksi ditentukan, dan setiap militan memiliki peran yang jelas dan tujuan yang jelas untuk dicapai. Setiap tindakan perlu diberikan tenggat waktu, dan di setiap akhir siklus atau periode perlu dilakukan penilaian mengenai hasilnya. Penilaian ini dilakukan dengan meninjau ulang bagaimana kegiatan tersebut berjalan, apakah sesuai yang kita harapkan atau jangan-jangan kita melakukan suatu kesalahan. Singkatnya: kita mencoba melihat apakah kita bergerak menuju tujuan yang telah ditentukan, atau malah menjauh dari tujuan tersebut. Jika tindakan berjalan sesuai yang kita harapkan, kita menyempurnakannya, melakukan penyesuaian-penyesuaian, dan melakukannya lagi. Namun, jika tindakan itu malah menjauhkan kita dari tujuan, kita mesti mengubah tindakan taktis, atau bahkan strategi, kemudian melakukan proses yang sama kembali dalam jangka waktu tertentu. Proses bergerak, menilai ulang, bergerak kembali, menilai ulang kembali, dst, inilah yang membuat organisasi maju dalam strateginya dan melangkah dengan tepat dalam perjuangan. Dengan demikian,
“[...] strategi hanya menyediakan pedoman umum untuk suatu periode. Taktiklah yang mewujudkannya dalam kenyataan yang nyata dan terkini, dan menerjemahkan strategi menjadi aksi. Taktik merespons masalah yang lebih merinci, nyata, dan langsung, sehingga pilihan-pilihan taktis bisa lebih beragam dan lentur. Namun, pilihan taktis tidak boleh bertentangan dengan strategi. Seperti yang telah kami katakan sebelumnya, pemahaman strategis-taktis yang baik harus mempertimbangkan situasi nyata saat itu dan periode di mana ia beroperasi.”[177]Strategi harus sesuai dengan diagnosis atas kenyataan tempat kita bekerja. “Jika situasi umum mengalami perubahan yang signifikan dan mengubah keadaan di mana organisasi bekerja, maka, agar dapat bertindak dengan efektif, kita harus memperbaiki strategi dan menyesuaikannya dengan keadaan baru”.[178] Begitu pula dengan tujuan. Jika tujuan berubah, misalnya dalam situasi pasca-revolusioner, maka strategi dapat diubah. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk memahami keadaan tempat kita hidup saat ini dan menetapkan tujuan-tujuan yang tepat dan jelas. Kedua hal ini adalah unsur penting dalam pengembangan strategi, karena “dalam politik tidak mungkin ada praktik yang jujur dan bermanfaat tanpa adanya teori dan tujuan yang jelas”[179]. Setelah mendiagnosis masyarakat yang ingin kita ubah saat ini dan menetapkan “tujuan yang ingin kita capai, karena kita menginginkan atau membutuhkannya, masalah besar lain adalah menemukan cara yang paling sesuai dengan keadaan, yang lebih menjamin keberhasilan dan lebih ekonomis, yang dapat membimbing kita menuju tujuan yang telah ditetapkan”[180]. Garis strategis diresmikan ke dalam sebuah program yang memandu semua tindakan organisasi dan militannya. “Kita tidak boleh meninggalkan program sosialis revolusioner, (program harus) ditetapkan dengan jelas, baik bentuknya maupun isinya”.[181] Itulah sebabnya kami memahami bahwa
strategi harus diwujudkan dalam program aksi yang menetapkan pedoman umum untuk suatu periode atau tahapan. Suatu program harus berakar pada kenyataan berbagai lapisan masyarakat kita. Strategi kita tidak bisa maju dan berkembang jika tidak berinteraksi terus menerus dengan berbagai masalah nyata yang terjadi dalam konteks situasi tertentu, yang membentuk sebuah tahapan aksi.[182]Artinya, agar garis strategis dapat dibangun dan diresmikan ke dalam program, kita harus bersentuhan dengan praktik, sehingga teori dirumuskan dengan pengetahuan. Interaksi ini juga memungkinkan kita menerapkan strategi dan taktik yang benar. Program ini
[...] merupakan platform bersama bagi semua militan dalam organisasi anarkis. Tanpa wadah ini, satu-satunya kerja sama yang bisa terjadi hanya akan berdasarkan pada hasrat emosional, tidak jelas dan penuh kebingungan, dan tidak akan ada kesatuan sudut pandang yang nyata. [...] Program ini bukanlah serangkaian aspek sekunder yang mengelompokkan (atau setidaknya tidak memecah belah) orang-orang yang berpikiran sama, melainkan sekumpulan analisis dan tawaran yang diterapkan hanya oleh orang-orang yang mempercayainya dan yang memilih untuk menyebarkan gagasannya dan mewujudkannya menjadi kenyataan.[183]Melalui program, organisasi khusus anarkis mengumumkan tawaran strategisnya untuk perubahan sosial. Pada saat bersamaan, selain berfungsi untuk memandu tindakan para militan organisasi, program ini juga menandai posisi organisasi untuk dilihat orang lain yang bukan bagian darinya dan membuat serangkaian analisis dan tawarannya diketahui publik. Serangkaian strategi, taktik, dan program memberikan organisasi suatu bentuk kegiatan terencana, yang melaluinya kita dimungkinkan memperoleh hasil terbaik. Perencanaan sangat penting bagi organisasi anarkis mana pun. Pemahaman strategis organisasi khusus anarkis, mau tidak mau, pasti mengandung unsur ideologis. Ideologi merupakan penggerak penting bagi aksi politik dan merupakan unsur strategi yang tidak terelakkan. Setiap praktik politik mengasumsikan motif dan arah tertentu yang hanya dapat terlihat jelas jika ia dibuat terang-terangan dan terorganisir sebagai sebuah ideologi.[184] Namun, kita tidak boleh mencampuradukkan ideologi dan strategi. Dibandingkan ideologi, strategi jauh lebih lentur karena ragamnya disesuaikan dengan keadaan sosial dan situasi terkini. Oleh karena itu, ideologi anarkis mungkin memiliki strategi yang berbeda-beda, karena setiap organisasi bekerja dalam keadaan dan situasi yang juga berbeda-beda. Apalagi jika kita berbicara tentang taktik. Komposisi sosial setiap lokal berbeda, begitu pula dengan kekuatan politiknya, posisi pemerintah, kekuatan reaksioner, dll, sehingga wajar jika dalam setiap konteks dan naik turunnya keadaan, kita menerapkan taktik yang berbeda-beda pada praktik politik anarkisme. Misalnya: ada tempat dan latar belakang yang layak bagi kita untuk mempertimbangkan serikat buruh sebagai ruang untuk melakukan kerja-kerja sosial, tetapi ada tempat lain di mana ia tidak relevan, dan seterusnya. Kami menyatakan sebelumnya bahwa organisasi khusus anarkis harus bekerja dengan kesatuan strategis dan taktis, yang terjadi melalui proses pengambilan keputusan yang telah dijelaskan di bab sebelumnya: berusaha seiya sekata dengan konsensus, tapi jika kemufakatan tidak terjadi, maka dilakukan pemungutan suara dengan suara mayoritas sebagai pemenangnya. Dalam kasus pemilihan suara, semua militan organisasi wajib mengikuti posisi yang diambil pemenang. Seperti dalam proses pengambilan keputusan lainnya, isu-isu mesti dikemukakan dengan jelas, diperdebatkan, dan ada upaya untuk mendamaikan berbagai sudut pandang yang berbeda. Jika proses pendamaian tidak mungkin dilakukan, organisasi harus meringkas tawaran-tawaran utamanya dan melakukan pemungutan suara. Dengan demikian, organisasi memutuskan, baik dengan mufakat atau pun pemungutan suara, jawaban dari tiga pertanyaan strategi. Jika garis strategis-taktis sudah dirumuskan, semua orang menuju ke arah yang sama. Organisasi secara berkala menilai ulang strategi dan taktiknya, dan dapat merumuskannya kembali. Kami telah menekankan bahwa semua keputusan harus diambil secara kolektif, tanpa pemaksaan apa pun. Namun, karena adanya prioritas dan tanggung jawab, setiap militan tidak dapat melakukan apa pun yang mereka inginkan secara sendiri-sendiri. Terkait organisasi, masing-masing anggota berkewajiban untuk menyelesaikan apa pun tekad yang telah mereka sepakati dan tetapkan sebagai yang utama. Tentu saja, kita harus selalu berusaha menyelaraskan kegiatan yang kita sukai dengan tanggung jawab yang ditetapkan dalam organisasi, tetapi kita tidak boleh selalu melakukan hanya hal-hal yang kita sukai saja. Model organisasi khusus anarkis menyiratkan bahwa militan harus melakukan hal-hal yang mungkin tidak terlalu mereka sukai, atau harus berhenti melakukan beberapa hal yang mereka sukai. Ini untuk memastikan organisasi berjalan dengan strategi. Berjalan dengan strategi membuat organisasi anarkis menjadi organisasi yang terpadu dan ampuh; sebuah organisasi yang berfokus pada militansi yang serius dan bertekad; para militannya melakukan apa yang telah mereka tetapkan sebagai yang utama dan mengerjakan tugas-tugas yang paling efektif untuk meneguhkan tujuan strategis mereka. Praktik yang rata-rata umum diterapkan banyak kelompok anarkis dan organisasi anarkis adalah menerapkan aksi yang berbeda-beda, ada yang cenderung ke kiri tapi juga ada yang cenderung ke kanan, dan berpikir bahwa mereka sedang turut andil untuk sesuatu yang sama. Cara pengorganisasian seperti ini tidak dapat kami terima. Bertolak belakang dengan model tersebut, berpraktik dengan strategi
berarti tidak sekadar melakukan apa pun yang kita inginkan, atau memperkirakan segala sesuatunya sendirian, atau berkecil hati karena kemajuan tidak serta merta terlihat. Berpraktik dengan strategi berarti menetapkan tujuan dan bergerak ke arah tujuan tersebut. Memilih aksi dan menetapkan prioritas yang sesuai dengan tujuan tersebut. Ini jelas menyiratkan bahwa akan ada kegiatan-kegiatan yang tidak kami lakukan, atau peristiwa yang tidak kami ikuti. Kegiatan dan peristiwa tersebut bisa saja sesuatu yang penting dan bahkan spektakuler, tetapi mereka tidak terlalu berarti jika tidak sesuai dengan tahapan program kita. Dalam kasus lain, kita mungkin menjadi sangat amat minoritas, atau berada dalam kerumitan besar, karena melakukan kegiatan yang sesuai dengan tujuan kita. Memilih melakukan hanya sesuatu yang paling kita sukai, atau yang paling aman dilakukan, bukanlah cara berpolitik yang tepat.[185]Kembali ke persoalan pemungutan suara untuk penetapan strategi: penting untuk ditegaskan bahwa yang bermusyawarah haruslah organisasi dan bukan hanya segelintir individu. Jadi ketika suatu persoalan strategis telah diselesaikan melalui pemungutan suara, terlepas dari suara perorangan, semua militan organisasi wajib mengikuti posisi yang telah ditentukan secara kolektif. Hal ini penting dalam model organisasi yang kami anjurkan, karena posisi yang telah diputuskan secara kolektif bukan lagi sekadar saran, melainkan bagian dari garis strategis yang harus diikuti oleh semua militan. Bagi kami, “organisasi berarti koordinasi kekuatan dengan tujuan bersama, dan kewajiban kita adalah untuk tidak mempromosikan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan tujuan ini”[186]. Kami harus menekankan bahwa kebebasan untuk bergabung dengan sebuah organisasi sama dengan kebebasan untuk meninggalkannya. Jika seorang atau segelintir orang, merasa diremehkan oleh keputusan mayoritas, maka mereka memiliki kebebasan untuk memisahkan diri. Penting untuk ditekankan bahwa, meskipun diambil melalui pemungutan suara, keputusan strategis dalam organisasi merupakan keputusan bersama dan bukan persoalan pribadi. Secara strategis, persatuan ini akan memungkinkan setiap orang dalam organisasi untuk mendayung perahu ke arah yang sama dan melipatgandakan kekuatan mereka. Dengan demikian, setiap orang memiliki pembacaan yang sama mengenai di mana kita berada saat ini, ke mana tujuan kita, dan bagaimana kita bergerak dari satu titik ke titik lainnya. * Especifismo: Organisasi Anarkis, Sudut Pandang, dan Pengaruhnya dalam Sejarah “Ketiadaan organisasi yang terlihat, yang wajar, dan diterima oleh masing-masing anggotanya, memungkinkan munculnya organisasi yang sewenang-wenang dan kurang libertarian.”
“Mari bekerja, kawan! Tugasnya besar. Mari bekerja, semuanya!” Errico MalatestaKongres Pertama telah memenuhi tujuannya, dan berlangsung dalam suasana solidaritas yang kuat di antara para militan. Kongres ini menyediakan ruang untuk merenungkan, berkomentar, berdebat, dan menarik kesimpulan. Penilaian dari semua militan sangat positif. Penting untuk kita memiliki generasi militan yang lebih tua dan lebih berpengalaman dalam organisasi, sehingga pengetahuan penting dari generasi militan sebelumnya tidak hilang serta berguna dalam pendidikan dan pendampingan generasi baru. Hal ini telah terbukti. Kongres memberikan penghormatan kepada para “penjaga tua”, dan menyambut para “penjaga baru”, yang telah membantu mempraktikkan apa yang selalu dipertahankan para pendahulu mereka. Para militan organisasi yang telah berjuang sejak tahun 1970’an, 1980’an, dan 1990’an telah menekankan pentingnya momen ini, menunjukkan kesinambungan militansi. Bagi kami ini dimulai dari Juan Perez Bouzas, melewati seluruh sejarah perjuangan Ideal Peres, melalui Círculo de Estudos Libertários (CEL), yang kemudian menjadi Círculo de Estudos Libertários Ideal Peres (CELIP), dan, yang pada tahun 2003, membentuk FARJ. Kami percaya diri untuk mempraktikkan harapan dari berbagai kepribadian dalam sejarah ini, yang kami lanjutkan perjuangannya. Pada titik ini, tujuannya adalah untuk melanjutkan pencarian vektor sosial anarkisme. Untuk membuat anarkisme selalu berinteraksi dengan gerakan sosial, serta selalu berusaha menuju penciptaan organisasi rakyat. Kami mencoba melakukan ini melalui tiga front kami. Front gerakan sosial perkotaan (front lama yang kami garap) telah bekerja secara berkelanjutan dalam pendudukan kota di Rio de Janeiro sejak 2003, memberikan kelanjutan pengalaman yang kami miliki bersama gerakan tunawisma pada tahun 1990-an. Sekarang front ini juga mencakup pembangunan kembali Gerakan Pekerja Pengangguran (Movimento de Trabalhadores Desempregados—MTD), yang berjuang untuk berkegiatan di seluruh negeri, dan telah berada di Rio de Janeiro sejak 2001. MTD sekarang sedang memulihkan kekuatannya, berhimpun kembali, dan menyatukan orang-orang dari komunitas-komunitas miskin untuk berjuang. Selain itu, front ini berhubungan dengan Gerakan Pekerja Tanpa Tanah (Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra—MST), yang menawarkan kursus pendidikan politik di Sao Paulo dan Rio de Janeiro. Front ini juga dekat dan berkegiatan bersama entitas-entitas lain dan gerakan sosial seperti Majelis Rakyat - RJ (Assebléia Popular - RJ) dan Front Internasionalis Tunawisma (Frente Internacionalista dos Tem-Teto—FIST). Front komunitas masyarakat bertanggung jawab atas pengelolaan Pusat Sosial Budaya Rio de Janeiro (Centro Cultura Social do Rio de Janeiro—CCS-RJ), sebuah ruang sosial terbuka yang kami kelola di utara kota dan yang mengakomodasi sejumlah kegiatan masyarakat dalam urusan daur ulang sampah, bimbingan belajar, kursus-kursus ujian masuk untuk komunitas miskin Morro dos Macacos, lokakarya teater, acara budaya, perayaan, dan berbagai jenis pertemuan. Front ini juga bertanggung jawab atas pengelolaan Perpustakaan Sosial Fábio Luz (Biblioteca Social Fábio Luz—BSFL), yang berdiri sejak tahun 2001. Front ini juga terlibat dalam pengelolaan Pusat Penelitian Marques da Costa (Núcleo de Pesquisa Marques da Costa—NPMC), yang didirikan tahun 2004, dan dibangun untuk memproduksi teori bagi organisasi, selain juga untuk meneliti sejarah anarkisme di Rio de Janeiro. Selain itu, front komunitas masyarakat juga mengelola CELIP, ruang publik FARJ yang dibangun untuk menyelenggarakan kuliah dan debat untuk menarik orang-orang baru yang tertarik pada anarkisme. Front agro-ekologis, atau Anarkisme dan Alam, beroperasi dalam gerakan dan pengelompokan sosial pedesaan yang bekerja dengan pertanian dan ekologi sosial. Front ini berhubungan dan bekerja sama dengan MST, La Via Campesina, dan ruang-ruang seperti Koperasi Floreal dan Pusat Pangan dan Kesehatan Germinal (Núcleo de Alimentação e Saúde Germinal). Front ini menyelenggarakan lokakarya pendidikan di tempat-tempat kerja, di sekolah-sekolah, dan komunitas miskin. Semua ini dilakukan untuk memulihkan pertanian, agro-ekologi, ekologi sosial, eko-literasi dan ekonomi solidaritas, dan selalu berupaya melibatkan pekerja, aktivis gerakan sosial, serta pelajar dan mahasiswa dalam kegiatannya. Untuk memenuhi sebuah tuntutan penting, kami memulai sebuah proyek “transversal” yang dapat dimasuki semua front. Kami menyebutnya Universitas Rakyat (UP-RJ). Usulan ini sebenarnya diterapkan untuk memprakarsai pendidikan rakyat anti-kapitalis yang berfokus pada perubahan masyarakat dan, sebagai taktiknya, melaksanakan pendidikan politik dalam gerakan sosial. Kerja-kerja “transversal” lainnya juga telah direalisasikan dalam edisi jurnal Libera; majalah Protesta! (bersama rekan-rekan dari kolektif anarkis Terra Livre di Sao Paulo); dan buku-buku seperti O Anarquismo Social oleh Frank Mintz, O Anarquismo Hoje da União Regional Rhone-Alpes e Ricardo Flores Magón oleh Diego Abad de Santillán. Terakhir, ada kerja-kerja internal, seperti: pendidikan politik, pengelolaan hubungan dan sumber daya. Ada tugas yang sedang dilakukan dan ada banyak tugas lain yang harus dilakukan. Dan sungguh, seperti yang pernah dikatakan Malatesta, tugasnya besar. Alih-alih berkecil hati, mengetahui bahwa masih banyak yang harus dilakukan dan melihat kehebatan proyek perubahan sosial kita justru menjadi bahan bakar yang semakin mendorong dan menuntun kita, hari demi hari, kepada tugas penting yang begitu mendesak ini. Kami berharap sumbangsih teoretis singkat ini dapat membantu dalam pembangunan anarkisme militan di berbagai lokasi. Untuk anarkisme sosial! Untuk pemulihan vektor sosial anarkisme!