"Jangan kamu meminta formula untuk mengetahui dunia disemacam silabus layaknya cabang ranting yang bengkok. Hari ini kami hanya dapat berkata kepadamu apa yang bukan kami, dan apa yang tak kami inginkan." -E. Montale

Apabila, misalnya, kita dihadapkan pada pertanyaan bagaimanakah seharusnya kita merespon kerusakan alam yang disebabkan oleh Bakrie Group dengan skandal lumpur Lapindonya, maka jawaban yang paling sederhana adalah dengan memberi kesadaran politis kepada masyarakat akan konsekuensi merusak dari sistem kapitalisme beserta aparatus negaranya. Menurut perspektif antiotoritarian, setidaknya ada dua cara yang umum dipakai untuk pembangunan kesadaran semacam ini. Yang pertama dilakukan dengan membangun komunikasi dua arah yang mengedepankan metode-metode pengorganisiran non-hirarkis, bebas partai politik, partisipatoris, dan formal—meski ada bentuk-bentuk informal yang cenderung lahir dari pola semacam ini, kedua-duanya lebih dicirikan pada bentuknya yang inklusif. Yang kedua memakai cara-cara konfrontatif atau insureksional dengan prinsip-prinsip yang kurang lebih sama seperti yang pertama, hanya saja yang kedua lebih mengedepankan spontanitas individual dan organisasi yang bersifat temporal, informal, serta nonkompromis. Melalui dua cara ini, masyarakat diharapkan dapat mengambil inisiatif untuk merespon secara langsung setiap kerugian serta eksploitasi yang berhubungan dengan hidup mereka. [1]

Pola pengorganisiran pertama, secara garis besar, dimaknai sebagai suatu bentuk inklusif, yaitu bentuk yang dapat memberdayakan berbagai lini masyarakat ke sebuah alternatif baru dari struktur gerakan sosial. Cara-cara seperti ini cukup umum dan sederhana untuk diaplikasikan ke ruang-ruang sosial dan telah dilakukan—walau masih cukup jarang dan tergolong kecil di Indonesia, hanya beberapa pengecualian eksperimentasi sosial di beberapa daerah seperti komunitas miskin kotanya Urban Poor Consortium dan eksperimen kecil yang lebih informal seperti jejaring Food Not Bombs—oleh berbagai gerakan sosial baru yang bermunculan pasca-Perang Dingin (atau untuk konteks Indonesianya, pasca-Orde Baru), yang ditandai sebagai akhir era perseteruan ideologi komunisme Soviet dengan kapitalisme barat. Pasca-Perang Dingin adalah di mana mulai bermunculannya beragam gerakan sosial dalam bentuk-bentuk barunya—atau apa yang diistilahkan sebagai Gerakan Sosial Baru--yang memperluas partisipasi tanpa ada tendensi ideologi yang sempit.

Pola yang kedua lebih cenderung mengacu pada tendensi ideologis—dalam hal ini anarkisme. Pendekatan insureksional mengedepankan konfrontasi langsung terhadap struktur ekonomi-sosial kapital, dengan demikian organisasi semacam ini cenderung eksklusif di dalam praktiknya, karena membutuhkan partisipasi individu-individu yang mempunyai kepentingan dan pemahaman serupa. Praktik-praktik insureksional belum menjadi sesuatu yang umum di dalam sejarah gerakan perlawanan di Indonesia. Bagaimanapun, tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh elemen Islam fundamentalis tidak bisa disamai dengan insureksionalisme anarkis, karena acuan epistemologisnya yang sama sekali berbeda. Perbedaan pola insureksional dengan yang pertama hanya pada tingkatan metode, kedua-duanya memiliki perspektif yang kurang lebih serupa perihal bagaimana seharusnya tatanan ekonomi dan sosial diatur. Beberapa contoh insureksi lokal seperti perlawanan masyarakat Papua terhadap Freeport dan aparatus negara Indonesia, perlawanan kaum miskin kota yang digusur di Pandang Raya dan aksi komunitas Bojong yang terjadi beberapa tahun lalu, atau amukan para penambang lepas di Bangka Belitung pada pertengahan 2007, bisa dibilang lebih dekat dengan prinsip insureksional karena mengindikasikan kontradiksi terhadap kapital.

Kendati demikian, pola insureksional bukanlah suatu pendekatan kekerasan, meski berbagai praktik kaum insureksionis hampir selalu identik dengan kekerasan. Pola yang cenderung langsung menantang cara berpikir masyarakat ini juga bisa diaplikasikan ke dalam perombakan budaya konvensional. Seperti dilakukan oleh kelompok-kelompok anti-seni semacam Provos di Belanda dan Motherfuckers di Amerika era 60-70an, atau oleh gerakan punk awal, yang bertujuan menihilkan gaya hidup dan norma kaum borjuis dengan membawa serta impuls perjuangan anti-kapitalis di dalam masyarakat modern. [2] Bayangkan Bakunin yang bersahutan dengan Situasionist Internasional, “hasrat penghancuran yang kreatif untuk menyingkap keindahan di balik tembok-tembok kota!” Impuls insureksional lebih ditujukan pada--meminjam istilah Wilhelm Reich—orgasme individual untuk menciptakan suatu keterputusan langsung dari keseluruhan dominasi kekuasaan. Entah itu penolakan terhadap budaya dominan atau pengambilalihan hak hidup, dapat dilakukan dengan atau tanpa kekerasan, secara individual/kelompok kecil atau dalam skala gerakan massa yang besar.

Sampai di sini, cara mana yang lebih efektif untuk digunakan, apabila kita dihadapkan pada kasus seperti lumpur Lapindo? Masing-masing cara di atas, saya yakini, memiliki kelemahan dan kelebihannya sendiri apabila kita mempertimbangkan efektifitas. Membangun sebuah basis organisasi massa, dengan cara pertama, membutuhkan waktu dan program jangka panjang dan merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Cara pengorganisiran semacam ini bisa membawa gerakan menuju perkembangan yang lebih konstruktif. Di satu sisi, panjangnya rentang waktu yang dibutuhkan memungkinkan kasus ini dilupakan begitu saja dan biasanya masyarakat, ketika mencapai tahap ini, sudah lelah dengan pertemuan-pertemuan forum, demonstrasi, serta negosiasi yang tak membuahkan hasil. Sementara itu para pemodal dan birokrat dapat seenaknya pindah lahan eksploitasi baru sesudah menghancurkan yang sebelumnya. Situasi semacam ini seringkali dapat dengan mudah ditumpulkan kontradiksinya ketika dana kompensasi kerugian yang dituntut oleh masyarakat dapat dipenuhi. Pola insureksional, di sisi lain, dapat mempertajam kontradiksi dan membawa gerakan ke tingkat lebih dramatis dalam rentang waktu singkat. Namun, pola semacam ini juga lebih riskan dalam praktiknya, belum lagi reaksi masyarakat akibat propaganda media borjuis yang akan mendiskreditkan tindakan-tindakan konfrontatif. Bukanlah sebuah pilihan yang mudah apakah kita akan menempuh cara yang pertama atau yang kedua apabila mempertimbangkan kasus seperti Lapindo dan ancaman-ancaman kerusakan lingkungan di kemudian hari.

Dengan meningkatnya ancaman pemanasan global, diikuti perubahan iklim akibat kerusakan lingkungan, meningkatnya kemiskinan global, serta keterasingan berbagai arah yang dihasilkan oleh globalisasi kapital, diperlukan cara-cara baru yang kreatif dan non-homogen untuk meresponnya. Kita tidak bisa lagi mengacu pada apologi-apologi yang terlalu realistis (“masyarakat belum siap”), meskipun pendekatan konfrontatif juga bukan sesuatu yang dapat secara fleksibel digunakan. Apa yang perlu dilihat secara jernih adalah bagaimana dua cara ini bisa digunakan untuk membangun infrastruktur gerakan sosial dan di waktu bersamaan membawanya pada konfrontasi langsung terhadap kapital dan negara. Di bawah ini saya akan mencoba membahas, dengan cukup singkat dan terbatas, kelemahan dan kelebihan—serta pembedahan ide—dari dua cara tersebut.

Pendekatan Insureksional: Satu Kali Hentakan!

Pendekatan semacam ini bukanlah sesuatu yang lahir di kapitalisme pasca-industrial. Era Propaganda Dengan Tindakan [3] pada abad 19 sampai awal abad 20, barangkali merupakan asal-usul inspirasi pola insureksionis. Dengan membangkitkan Bakunin dan Stirner, era kapitalisme lanjut menjadi pembenaran sebagian besar pengikut aliran ini untuk kembali memberi nafas pada spontanitas individual di tengah masyarakat yang terkonsumsi oleh budaya massa dan sistem kontrol yang demikian hebat. Poin-poin kritis kaum insureksionis bersandar pada:

  1. Penolakan organisasi (besar) permanen

  2. Penolakan homogenisasi

  3. Penolakan taktik reformis

  4. Penolakan terhadap nilai-nilai masyarakat industri (kerja upahan, divisi kerja).

Poin pertama sangat mendekati prinsip gerakan anarkis-individualis dan beberapa kecenderungan komunis--yang digolongkan sebagai faksi anti-organisasionalis--di abad 19. Keduanya menitikberatkan inisiatif individual sebagai suatu manifestasi paling revolusioner untuk menghajar dominasi kekuasaan. Ada beberapa perbedaan prinsipil diantara keduanya, meskipun perbedaan ini lebih pada respon yang berbeda dari situasi dan jaman yang berbeda juga.

Intensitas aktivitas insureksional abad 19 merespon kondisi yang dihadapi gerakan anarkis dan pekerja internasional pasca-Komune Paris 1871. Penolakannya terhadap organisasi—dari bentuknya yang sindikalis sampai kolektivis—diambil dari Max Stirner, pencetus gerakan individualis, yang mengutamakan asosiasi bebas para Egois (individu) sebagai suatu pembongkaran setiap aspek relasi kekuasaan yang, ia yakini, merupakan warisan dari era Pencerahan dan Humanisme untuk mengkonstruksikan ’individu-individu’ berdasarkan kepentingan kekuasaan tertentu. Faksi antiorganisasionalis sama sekali menolak bentuk organisasi formal. Luigi Galleani, salah satu inspirator insureksionis asal Italia yang mengkombinasikan komunisme Kropotkin dengan individualisme Stirner, mengambil posisi yang agak berbeda. Galleani tetap memandang spontanitas individual sebagai sebuah prakondisi menuju tatanan anarkis yang bersifat sosial. Namun ide dan praktik yang ia propagandakan, sangat mendekati praktik aliran individualis pada saat itu. Galleani di dalam terbitan regulernya, Cronaca Sovversiva, tidak pernah surut mengusulkan ’aksi kekerasan terhadap kaum borjuis’ dengan memuja setiap aksi yang dilakukan secara individual maupun kelompok. Penekanannya terhadap tindakan-tindakan semacam ini membuatnya ditolak oleh banyak kaum sosial anarkis seperti Kropotkin, Malatesta dan Emma Goldman.

Secara garis besar, aliran ini bertujuan untuk mewujudkan sebuah momen di mana individu dapat lepas dari keterasingan dan ketidakberdayaan hidup dalam satu hentakan dengan mengklaim kembali otonomi diri. Ide penolakan terhadap kerja, organisasi permanen di mana individu menduduki posisi yang subordinat, karakter nonkompromis, terkadang memiliki efek membebaskan yang jauh lebih mengancam daripada praktik reformis yang mengkonfirmasikan ketidakberdayaan masyarakat dengan melakukan negosiasi bersama penguasa, tapi ide-ide tersebut juga berpotensi untuk mengisolasi ‘segelintir individu yang terbebaskan’ dari realitasnya. Bukannya mencoba fokus pada titik berangkat individual yang akan mengarah menuju pembebasan sosial, pola insureksional seringkali hanya terpusat pada segelintir individu yang memiliki pemahaman yang sama. Stirner memainkan banyak pengaruhnya disini. Serikat Egois (atau berkumpulnya para individu), menurutnya, hanya dapat terjadi apabila individu memang menginginkannya, yang kemudian akan mengemukakan kepentingannya diantara kepentingan individu-individu lainnya. Untuk membawa individu ke dalam dominasi organisasi yang mengatasnamakan kepentingan mereka, atau kepentingan orang banyak, berarti memposisikan individu ke dalam piramida subordinasi ‘kepentingan yang eksternal’ dari diri mereka.

Pemikiran filosof-filosof seperti Foucault, Deleuze-Guattari, seringkali diasosiasikan dengan praktik insureksional yang memiliki karakter rizomatik dan bersifat anti-kontrol. Kedekatan ide para pemikir ini terletak pada gagasan Max Stirner tentang kekuasaan (atau Nietszche di dalam tradisi akademiknya). Deleuze memandang Max Stirner sebagai pendahulu Nietszche. Menurutnya, pertanyaan sentral Stirner perihal demi kepentingan siapa, serta mekanisme dominasi macam apa, yang bersembunyi di balik ’ide universal tentang manusia’, merupakan usaha untuk menyingkap kepentingan kekuasaan yang terselubung. Operasi yang dilakukan oleh Stirner ini sangat menyerupai usaha Nietszche di dalam membongkar narasi era Pencerahan dengan menelanjangi setiap antagonisme dan diskontinuitas yang terselubung di dalamnya. Kritiknya terhadap Feurbach dan Hegel, mengindikasikan ‘pemotongan epistemologis’ dari era Pencerahan dan Humanisme. Ia menganggap bahwa Ide Manusia yang lahir dari era tersebut, yaitu humanisme, hanyalah konsep tuhan yang dilahirkan kembali dalam bentuk berbeda. Baginya, konsep ini adalah spektral, sesuatu yang tidak nyata tapi terus-terusan menghantui, memaksa individu untuk mematuhi ide-ide normatif yang tak dapat ia hidupi. Kendati demikian, Stirner, merupakan figur yang hampir tidak diperhitungkan oleh akademisi kontemporer, banyak diantaranya memandang Stirner sebagai relasi yang miskin dari Nietszche.

Insureksionisme kontemporer diberi fondasi praktiknya oleh seorang anarkis Italia, Alfredo Bonanno. Ia menggabungkan konsep insureksionis para pendahulunya dengan sebuah kritik menyeluruh terhadap tatanan masyarakat pasca-industri. Bonanno meminjam ontologi Stirner untuk mengungkap hubungan rasionalitas (moralitas), yang merupakan nilai-nilai inheren masyarakat kapitalistik, dengan proyek pembebasan sosial pasca-industri. Rasionalitas, menurutnya, adalah ‘bahasa yang disepakati oleh penindas dan yang ditindas’. Rasionalitas atau Ide tentang Manusia dipandang sebagai moralitas borjuis, berfungsi sebagai penyelubung teknik-teknik kooptasi baru yang tidak disadari oleh kebanyakan gerakan yang lahir dari ide tersebut. Oleh karenanya, gerakan-gerakan yang berlatar belakang ide-ide era Pencerahan dan Humanisme, cenderung mengambil pendekatan yang reformis dan non-kontradiktif, termasuk varian anarkis yang lahir dari jaman tersebut. Bonnano memandang proyek insureksional sebagai tuntutan tak terelakkan dari era pasca-industri. Ia lebih lanjut mendistingsikan kenyataan era industri dengan pasca-industri: ‘realitas industri, seperti yang diketahui, bersandar pada kapital, pada konsep yang berada di pusat produksi, yaitu investasi, dan investasi itu yang harus dipertimbangkan. Sekarang ini, dengan teknik-teknik pemrograman baru, sebuah perubahan dari produksi kapitalis tidaklah sukar untuk dipahami. Ia hanyalah persoalan mengganti-ganti program komputer.’ Pemrograman ini, subliminasi pesan-pesan ini, adalah apa yang dipahami oleh Bonanno sebagai terputusnya komunikasi antara kaum tertindas. Suatu keterputusan komunikasi yang termanifestasikan ke dalam sebuah bahasa yang vertikal, sehingga kontradiksi menguap dan proyek pembebasan menjadi sebuah proses rekonsiliasi dengan kapital.

Proses rekonsiliasi dengan kapital atau strategi reformis, dianggap Bonanno sebagai sesuatu yang menjerumuskan, karena ia merupakan bagian dari bahasa vertikal. Oleh karena itu menurutnya, gerakan anarkis harus membuang jauh-jauh keinginan untuk meraih massa melalui jalur politik. Bonanno mengedepankan sebuah organisasi temporer yang dapat mempertajam kontradiksi melalui praktik insureksi. Organisasi inipun, bukanlah sebuah organisasi dalam makna umumnya, tapi sebuah organisasi yang berfungsi untuk menjalankan tujuan-tujuan spesifik yang diinginkan oleh para individu di dalamnya. Organisasi harus berfungsi menurut kepentingan individu bukan sebaliknya. Apa yang perlu dicatat adalah Bonanno sepenuhnya memposisikan proyek insureksional sebagai strategi perjuangan massa: ’Seperti apakah bentuk proyek ini? Yaitu dengan cara mengorganisir bersama mereka yang ’terpinggirkan’ , tanpa lagi bersandar pada basis ideologis, tanpa lagi bersandar pada alasan eksklusif yang berasal dari konsep kuno perjuangan kelas, tapi melalui basis yang langsung dan berkaitan dengan realitas, dengan realitas yang berbeda-beda. Pasti ada situasi-situasi di sekitar areamu di mana ketegangan sedang dibangkitkan. Berhubunganlah dengan situasi-situasi semacam itu, tapi apabila masih dilakukan memakai basis ideologis, akan membuatmu tercerabut. Hubungan harus dilakukan dengan cara yang berbeda, terorganisir namun berbeda.’

Metode yang dpakai gerakan insureksionis memang sarat dengan individualisme, namun sangatlah tidak tepat untuk memandangnya sebagai sekedar gaya hidup eskapis atau murni individualistik. Dinamika pembebasan insureksional menolak ketunggalan dalam gerak, arah dan tujuan; menolak seluruh komando sentral; menolak segala jenis subordinasi pada hirarki; menolak seluruh jenis politik representasi dan mediasi. Tujuannya adalah pluralitas maksimum. Secara fundamental, konstruksi resistensi ini terkait dengan pembebasan kehidupan kontemporer. Ia bukan cakrawala mesianistik yang memberi janji penebusan, bukan suatu mesin politik, yang demi mencapai mencapai tujuannya (nanti) akan mengorbankan yang sekarang. Ia adalah kendaraan kemanusiaan, yang ingin berpijak pada kondisi sekarang; yang ingin melampaui alienasi kehidupan sehari-hari manusia (hirarki, identitas representatif, separasi antara kehidupan sehari-hari dan hasrat-hasrat) dengan mengedepankan konfrontasi—menelanj angi kontradiksi.

Strategi Inklusif: ’Massa Adalah Segalanya!’

Strategi inklusif berpijak pada kemungkinan untuk meraih partisipasi massa yang luas, dan karakter umumnya adalah organisasi massa. Banyak organisasi berbasis massa sekarang ini, setidaknya—walau mesti diakui masih sangat jarang, mengingat tradisi Marxisme-Leninisme yang cukup kental dan menyejarah sebagai contoh cetak biru gerakan sosial di Indonesia—memiliki kecenderungan anti-otoritarian. Namun dalam banyak hal juga logika organisasi semacam ini hampir selalu menyerupai organisasi-organisa si politik tradisional.

Organisasi massa selalu bersandar pada asumsi bahwa ’massa’ belum tersadarkan, oleh karena itu sangatlah penting untuk membawa kesadaran tahap demi tahap melalui pendekatan khusus dan program jangka panjang. Dengan kata lain, sebuah organisasi massa yang baik harus menggunakan bahasa normatif orang banyak demi menciptakan kesan perjuangan yang positif dan dapat meraih simpati yang lebih luas.

Inilah alasan mengapa banyak gerakan sosial cenderung mengambil garis perjuangan politik. Perjuangan politik biasanya mencoba fokus pada satu isu. Isu yang kemudian menjadi tuntutan-tuntutan spesifik ini (seperti kenaikan upah buruh, subsidi untuk kaum miskin, atau dana kompensasi korban lumpur Lapindo) diharapkan dapat di-gol-kan melalui tawar-menawar politik dengan mereka yang berada di kekuasaan. Alhasil, logika formal (logika yang diamini oleh masyarakat) yang dipakai adalah apabila mereka yang di kursi kekuasaan tidak bisa memenuhi tuntutan tersebut, maka Ia harus diganti. Kita semua mengerti kemana arahnya perjuangan politik bongkar-pasang penguasa semacam ini.

Organisasi massa juga cenderung menciptakan separasi antara ’siapa yang membuat ide’ dan ’siapa yang akan menjalankannya’ . Mereka cenderung membuat spesialisasi peran di antara massa yang mereka gembalai. Walau seringkali forum-forum gerakan sosial selalu melibatkan masyarakat untuk menentukan arah perjuangan, namun di banyak kesempatan juga forum semacam ini sudah ditentukan ke mana arahnya. Gerakan sosial yang bersandar pada efisiensi akan cenderung membuat organisasi dan massa menjadi entitas yang terpisah. Massa yang belum tersadarkan direpresentasikan oleh mereka yang tersadarkan, maka tidak heran apabila individu-individu yang terlibat di dalamnya juga memiliki kesadaran sosial yang bertingkat-tingkat.

Dalam banyak hal perjuangan semacam ini sukar untuk mengarah pada bentuk gerakan sosial yang bersifat otonomus dan partisipatif. Perjuangan politik semacam ini hanya bisa subur apabila tujuannya adalah perebutan kekuasaan negara. Karena dengan strategi politik semacam ini logika masyarakat tidak berubah: perubahan yang paling mungkin menurut mereka adalah dengan mengganti penguasa yang lebih jujur dan adil—atau jargon para aktivis PRD (Papernas), PRP atau PRM ’pemerintahan yang memihak rakyat miskin’. Logika seperti ini terang-terangan membuat masyarakat menerima posisi subordinat mereka di dalam piramida kelas dengan membuat mereka mempercayai aturan-aturan dan hukum yang sama sekali asing bagi mereka, dan pada saat yang bersamaan membuat mereka tidak mempercayai potensi mereka sendiri.

Meski strategi inklusif dapat terlihat cukup heterogen, namun seringkali sifatnya sangatlah homogen. Dengan berlandaskan pada ideologi ’kemajuan’ (progress), Ia cenderung membagi level-level pengorganisiran ke dalam strata yang berbeda-beda (pelajar, kaum miskin kota, dan pekerja), tapi bermuara pada strategi yang serupa. Sekali lagi, kemajuan sangatlah erat dengan efisiensi, dan kedua hal tersebut lahir akibat konsekuensi mode produksi kapitalis. Dominasi strategi homogenik ini membuat pembebasan sosial menjadi sesuatu yang identik dengan produksi kapitalis: menekankan pada kuantitas, kerja repetitif, divisi-divisi kerja/spesialisasi, dan pengekangan inisiatif individu—otomatisasi. Reaksi negatif orang banyak terhadap gerakan sosial banyak disebabkan oleh sifatnya yang kaku dan homogen tersebut. Akibatnya banyak orang merasa didiskriminasi hanya karena gerakan sosial cenderung mengklasifikasikan strata sosial tertentu yang layak memperjuangkan hidup mereka.

Kendati demikian, akan lebih tidak adil untuk menyamakan semua kecenderungan strategi inklusif seperti poin-poin di atas. Anarkisme klasik memang cenderung mengadopsi pola yang sama, meski tidak sepenuhnya. Apa yang perlu disimak disini adalah situasi (meliputi sejarah dan lokasi geografis—teritori) akan sangat mempengaruhi efektifitas dan cara pengorganisiran. Memanfaatkan situasi bukan berarti terjerembab di dalamnya, tetapi untuk memahami potensi-potensi apa yang dapat dipancing dari situasi tersebut. Terkadang potensi-potensinya sudah ada namun tersembunyi karena faktor-faktor historis yang kuat, dalam hal ini bahasa yang dipahami. Ide-ide seperti kerjasama, saling-mengisi, partisipasi langsung, dan swakelola bukanlah sumbangan eksklusif anarkisme, tapi praktik-praktik yang bisa didapati di dalam ruang-ruang keseharian masyarakat sebagai suatu konsekuensi tak terelakkan dari relasi-relasi sosial. Oleh karena itu, sebuah organisasi yang inklusif seharusnya berpotensi membawa ide-ide tersebut ke tingkatan yang lebih umum dengan menantang cara berpikir masyarakat, yaitu mengedepankan alternatif-alternat if baru dari hubungan sosial. Pendekatan inklusif merupakan strategi yang vital bagi gerakan sosial untuk mengarah pada situasi yang lebih konkrit.

Jalan Menuju Penyederhanaan Adalah Jalan Yang Tersulit

Ketika di dalam suatu demonstrasi massa yang menuntut agar Lapindo memenuhi dana kompensasi korbannya, tiba-tiba terdengar seseorang berteriak: ’rakyat bersatu, ganyang Lapindo!’ Para pendengarnya serta-merta pasti akan menganggap orang yang berteriak itu tidak waras atau lebih buruk, seorang provokator. Politisi kiri dan aktivis LSM akan menganggapnya irrasional atau tidak strategis. Para ekonom melihatnya sebagai ketidakmungkinan bagi pertumbuhan ekonomi negara. Akan lebih masuk akal, bagi para pendemo, apabila teriakannya adalah: ’Penuhi tuntutan kami, wahai Lapindo’, atau, ’Pak Presiden, dengarlah tuntutan kaum kecil.’ Ini adalah logika dominan yang dipahami oleh sebagian besar masyarakat. Di satu sisi, tuntutan ekstrim yang terburu-buru memang cenderung menimbulkan reaksi negatif. Apa yang perlu dipahami adalah kebutuhan hidup para korban juga merupakan sesuatu yang harus direspon. Mengganyang Lapindo bisa menciptakan suatu momen katarsis tertentu, menyalakan kesadaran massa, tapi juga bisa menjadi alasan bagi para korporat yang terlibat di dalamnya untuk lepas dari tanggung jawab mereka. Menempuh jalur hukum seringkali juga merupakan sebuah usaha yang sia-sia. Ingat kasus PT. Newmont di Teluk Buyat, jalur hukum tidak membuat para eksploitator tertangkap dan bertanggung jawab sepenuhnya akan kerusakan bahkan kematian yang mereka sebabkan. Ribuan warga kampung Buyat harus kehilangan tempat tinggal dan hajat hidup, sementara organisme alam rusak oleh limbah merkuri. Dapatkah kita bersandar pada mekanisme hukum untuk mengembalikan semua itu seperti sedia kala? Tidak. Di sisi lain, apakah menghancurkan aparatus-aparatus (termasuk alat-alat eksploitasi) yang bertanggung jawab dapat menjadi solusi? Tentu saja tidak. Tapi perlawanan, dengan mematerialkan teriakan ”tidak! kami tidak akan menerima semua perbuatan ini begitu saja” menjadi tindakan, dapat menjadi sebuah inspirasi untuk menyikapi kecenderungan serupa di kemudian hari. Dengan menciptakan konflik yang ’nyata’, kontradiksi akan muncul ke permukaan. Pada tahap ini akan cukup sulit bagi pemerintah dan media korporat untuk menyelubungi isu dan menormalisasinya. Akan lebih mudah juga bagi masyarakat di daerah lainnya untuk menanggapi hal yang serupa di lingkungan mereka.

Dua pendekatan yang saya bahas sebelumnya memang masih cukup asing bagi alternatif gerakan sosial di Indonesia. Namun kenyataan yang ada, menurut saya, berkata sebaliknya. Untuk menyikapi ancaman kerusakan lingkungan dan kemiskinan global oleh negara dan kapital, kita tidak bisa lagi bersandar pada logika gerakan politik seperti biasa. Institusi-institusi yang memanfaatkan keresahan sosial seringkali berada terlalu dekat dengan kapital. Sudah berapa kali perjuangan rakyat melawan kezaliman korporat yang direpresentasikan oleh LSM-LSM kemudian berkongsi dengan penguasa, melobi masyarakat agar mengikuti mekanisme dan tidak bertindak di luar jalur hukum? Siapa sebenarnya yang bertindak di luar jalur? Dan siapa yang sebenarnya membuat batas-batas dari jalur (hukum) tersebut? Apabila kita bisa menjawab semua pertanyaan tadi, kita semua akan mengerti pihak mana yang sebenarnya menjadi musuh bagi gerakan sosial.

Di dalam sebuah buku berjudul Defending The Earth, yang berisi transkrip perdebatan langsung antara dua praktisi dan pengusung gerakan lingkungan radikal di Amerika, Murray Bookchin melawan Dave Foreman, terjadi sebuah dinamisasi perspektif gerakan eko-radikal yang cukup penting. Bookchin merepresentasikan penyelamatan kondisi lingkungan melalui rekonstruksi sosial yang libertarian. Konsep gerakan lingkungan Bookchin berusaha menyinambungkan hubungan antara kebutuhan manusia dengan ekosistem lingkungan. Menurutnya, gerakan lingkungan haruslah berbasis komunitas yang non-hirarkis dan terdesentralisasi, konsep ini disebutnya munisipalisme libertarian. Dengan membangun infrastruktur alternatif dari cara kerja kapitalisme dan negara, munisipal-munisipal libertarian berfungsi sebagai infrastruktur sosial yang dapat menyeimbangkan kebutuhan manusia dengan mempertimbangkan kemampuan dan kelestarian alam sekitar. Foreman, di sisi lain, mengedepankan pandangan biosentrik yang mengacu pada pemikiran deep ecologist. Pendekatan Foreman berlandaskan pada kondisi obyektif biosfer dan kekayaan alam yang menurutnya berada dalam kondisi cukup kritis. Overpopulasi, industrialisasi, dan eksploitasi alam sebagai akibat dari aktivitas pengkomodifikasian keanekaragaman hayati—kapitalisme atau kapitalisasi kebutuhan manusia, menurut Foreman, merupakan antroposentrisme akut yang akan menciptakan momen apokaliptik bagi para penghuni bumi di kemudian hari. Ancaman kelangkaan sumber daya alam dan punahnya keanekaragaman hayati, membangun skeptisisme Foreman untuk menanti terselamatkannya biosfer melalui perjuangan sosial. Titik berangkat perjuangan sosial Bookchin dipengaruhi oleh Anarkisme klasik dan Marxisme, sementara Foreman berasal dari organisasi lingkungan konvensional seperti Sierra Club hingga kemudian mendirikan Earth First!. Praktik aksi langsung Earth First! seperti sabotase, pembangkangan sipil, sampai aksi seperti mogok makan ditujukan untuk meminimalisir kerusakan lingkungan oleh korporasi dan negara. Bookchin bersama Institute for Social Ecology memberikan gambaran infrastruktur dan praktik-praktik yang cukup bermanfaat secara sosial dan lingkungan. Terlepas dari intrik ideologis dan inkoherensi pandangan kedua kubu gerakan eko-radikal ini, kedua-duanya memberikan perspektif dan praktik yang layak dipertimbangkan untuk menyikapi krisis multi-arah kapitalisme lanjut.

Pendekatan insureksional menohok logika berpikir kita dengan menelanjangi relasi-relasi kekuasaan. Organisasi sosial mempersatukan aspirasi-aspirasi individu-individu yang ingin memperjuangkan hidup mereka. Saya bukannya menawarkan sebuah sintesa atau program baku dari kedua pendekatan tersebut. Sintesa cenderung menjadi kaku dan tidak dapat berkembang secara dinamis. Diperlukan dua sisi atau berbagai macam sisi kehidupan untuk membuat segala sesuatu berjalan tidak statis, demikian juga dengan gerakan sosial. Karena sebuah gerak organisme hidup butuh untuk terus mengalir seperti aliran (flux). Sebagaimana air, sebagai benda cair, yang bergeliat di celah-celah benda padat, membeku (menjadi benda padat) dan kemudian membesar, memperlebar celah-celah. Es kemudian menguap menjadi gas. Diulang. Tumbuhan mulai menaungi celah. Benda padat yang kemudian menjadi semakin rapuh oleh modulasi dinamis (berubahnya ketetapan) membuka dirinya pada molekul-molekul H20. Sebuah gerakan yang terobsesi oleh identitas, organisasi, birokrasi, dan persatuan akan menjadi lamban dan tidak efektif (belum lagi kecenderungannya yang membosankan dan tidak kreatif).

Contoh di atas mungkin terlihat seperti fragmen yang tidak nyambung dari apa yang telah dibahas dan dibicarakan sebelumnya. Tapi inilah yang sepatutnya diperhatikan. Cukup sulit bagi kita semua untuk menemukan benang merah antara satu isu dengan lainnya. Seperti, misalnya: antara Lapindo dan isu kemiskinan, antara budaya massa dan perjuangan buruh, antara konflik di Timur-tengah dengan konsekuensi konflik horisontal di dalam negeri, antara pembebasan sosial dan individual. Apakah isu sosial lebih penting dibanding isu lingkungan, bukan suatu pertanyaan mudah hingga kita serta-merta akan menjawabnya menggunakan satu pendekatan sempit. Benang merahnya terletak pada relasi kapital yang menjadi separasi dari setiap aktivitas nyata mahkluk hidup dan konsekuensinya bagi kehidupan. Karenanya dibutuhkan sebuah pendekatan multi-arah untuk dapat menjelaskan hubungan dari setiap pertentangan dan pemisahan tersebut. Melalui ini kita bisa memahami bahwa ’manusia’ hanyalah satu bagian dari ’alam’—pemisahan ini sebenarnya tidak ada—di mana yang satu tidak lebih tinggi dari yang lainnya. Seperti halnya Bennedict Spinoza melihat tuhan tidak berada di dalam alam yang terpisah, tapi selalu ’ada’ di mana saja. Konsep ini sesuai bagi gerakan radikal, terutama anti-otoritarian, untuk memahami realitas di era globalisasi kapital. Untuk memahami secara kritis setiap akar dari hirarki dan dominasi dan menangkap sebuah visi kesetaraan dengan perbedaan yang radikal, demi mengusung sebuah strategi baru menuju kehidupan bebas dari belenggu kapital dan negara.

Sumber Bacaan:

Buku:

  1. Bonanno, Alfredo, From Riot to Insurrection: Analysis for an Anarchist Perspective Against Post Industrial Capitalism, London: Elephant Editions, 1988.

  2. Newman, Saul, From Bakunin to Lacan: Antiauthoritarianism and the Dislocation of Power Lanham: Lexington Books. 2001

  3. Guerin, Daniel, No Gods No Masters Vol 1–2, San Fransisco: Ak Press, 1998.

  4. Alliance, Learning, Defending the Earth: A Dialogue Between Murray Bookchin and Dave Foreman, Boston, Massachussets: South End Press,1991

  5. Sheehan, M. Sean, Anarkisme: Sejarah Sebuah Gerakan Perlawanan, Jakarta: Marjin Kiri, 2007.

Essai dan Tulisan:

  1. Barclay, Harold, Power: Some Anthropological Perspective: Anarchist Studies vol 13. 2005

  2. Whelehan, Niall, Political Violence and Anarchist Morality in Theory and Practice: Luigi Galleani and Peter Kropotkin in Comparative Perspective: Anarchist Studies vol 13. 2005

  3. Weikart, Well, All Gods, All Masters: Immanence and Anarchy/Ontology: Fifth Estate. 2007

[1] Pembedaan strategi inklusif sebagai cara-cara untuk meraih massa dengan strategi insureksional tidak saya lakukan untuk mengatakan bahwa yang satu cenderung sosial dan yang lainnya tidak. Kedua-duanya, menurut saya, berbasis pembebasan sosial. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kita memahami potensi masing-masing ide tersebut di dalam kenyataan, dari sini baru kita bisa memetakan karakteristik dari setiap gerakan tersebut. Poin-poin, termasuk pemisahan-pemisahan yang mereka lakukan (individu versus sosial, sosial versus lingkungan,dsb), akan sangat mempengaruhi praktik mereka dan kearah mana pembebasan sosial akan menuju.

[2] The Motherfuckers tadinya bernama Black Mask, sebuah grup yang terinspirasi oleh Dadaisme dan dibentuk oleh seorang pelukis Ben Morrea dan seorang penyair Dan Georgiakis. Grup ini mendeklarasikan bahwa seni “adalah bagian yang integral dari kehidupan, sebagaimana ketika ia di dalam masyarakat primitif, dan bukan cara-cara menuju kekayaan”. Pada peristiwa Mei 1968, Grup ini berganti nama menjadi ‘Up Against the Wall Motherfuckers’ dan mulai bergerak bawah tanah. Grup yang mendeskripsikan diri mereka sebagai ‘geng jalanan dengan analisa’ mengkontribusikan banyak hal di dalam pergerakan budaya tandingan di kota New York, terutama aksi-aksi langsung di daerah Lower East Side. Mereka membentuk tempat-tempat penampungan, menyediakan makanan gratis, sampai membantu para radikal berhubungan dengan dokter dan pengacara. Grup ini terkenal dengan keengganannya mengikuti aturan disetiap demonstrasi politis. Abbey Hoffman mengkarakteristikan mereka sebagai “mimpi buruk kelas menengah…sebuah fenomena anti-media hanya karena nama mereka tidak dapat dicetak.” – Provos merupakan gerakan budaya tandingan di Belanda di pertengahan 1960an dengan memprovokasikan respon kekerasan terhadap yang berwajib melalui umpan-umpan non-kekerasan. Grup ini didirikan oleh dua orang anarkis, Roel van Duyn dan Rob Stolk.

[3] Era ’ Propaganda Dengan Tindakan ’ berlangsung dari akhir abad 19 sampai pada awal-awal abad 20. Meskipun tindakan kekerasan terhadap kaum borjuis kebanyakan dilakukan oleh faksi-faksi individualis dari gerakan anarkis, kampanye tersebut tadinya juga diusung oleh tokoh-tokoh seperti Kropotkin dan Malatesta, yang notabene mendeklarasikan diri mereka sebagai anarkis komunis. Era ini menjadi konflik berdarah antara gerakan anarkis dengan penguasa di setiap negara dengan terjadinya berbagai pembunuhan dan teror pada raja-raja, presiden, dan kaum borjuis. Ini juga era di mana jurnalis mulai mengidentikan anarkisme dengan kekerasan. Banyak dari kaum anarkis menyesali era ini karena ide-ide yang mereka usung banyak didistorsikan oleh propaganda-propaganda jurnalis yang mengambil contoh aksi-aksi kekerasan acak tertentu