Kita semua hidup di sebuah planet yang dihancurkan oleh relasi sosial yang didasarkan pada uang dan pertukaran pasar. Tanpa mengesampingkan segala retorika atau kekerasan fisikal yang saling ditawarkan oleh mereka dalam perjuangan mereka mendominasi dunia, mengesampingkan kelompok Kiri atau para borjuis kecil populis, setiap pemerintahan dan calon-pemerintah, setiap politisi dan kekuatan polisi di atas planet ini eksis untuk melindungi dan memapankan sistem yang berlaku saat ini dimana pun. Partai politik dan politisi yang berbeda mengusulkan strategi dan manajemen yang berbeda untuk kepentingan kapital, tetapi juga, tanpa mengesampingkan jargon-jargon Bush dan SBY, Warner-Bros dan MTV, Fidel Castro dan Saddam Hussein, lobi-lobi ekologis dan grup-grup Kiri di kampus-kampus, semuanya setuju dengan hal ini: dunia kerja dan sistem buruh-majikan harus tetap dipertahankan berapa pun harga yang harus dibayar, dan apa itu kapitalisme tidak pernah diidentifikasikan dalam sebuah terminologi yang spesifik, malah isu ini dihindari untuk diperdebatkan. Tampak wajar dan biasa saja memang fakta-fakta ini–bahwa seorang individu tak memiliki apa pun selain tenaga dan skillnya, bahwa kita harus menjualnya pada sebuah perusahaan dan industri untuk dapat sekedar bertahan hidup, bahwa segala sesuatu eksis apabila ia dapat diperjualbelikan, bahwa relasi sosial selalu berkisar di sekitar uang dan pertukaran komoditi–adalah hasil dari sebuah proses yang panjang dan penuh kekerasan.

Dunia yang kita semua tinggali adalah dunia kapitalisme, suka atau tidak suka. Dimapankan dan dikembangkan melalui teror, mistifikasi dan kelembaman, kapitalisme dalam sejarahnya adalah sebuah bentuk yang spesifik masyarakat kelas yang didasarkan pada eksploitasi kekuatan kerja manusia sebagai sebuah komoditi, tentang tenaga kerja upahan, uang dan produksi komoditi. Empire, sebagai kekuatan kapitalisme lanjut, dengan pasar bebas, penjualbelian hasrat dan pengkomoditian segala sesuatu; adalah sebuah sistem totalitarian yang telah berhasil menundukan dunia, mengeringkan kehidupan manusia serta lingkungan planet dalam sebuah perilaku yang penuh akselerasi. Tetapi kapitalisme juga telah memberikan peningkatan pada kekuatan sosial yang dapat membawa sistem itu sendiri pada kehancurannya, serta lahirnya sebuah model hidup yang baru; melalui kekuatan-kekuatan dari kekuatan proletariat era baru yang disebut multitude, yang masih berdiri melawan kekuatan besar tak terkalahkan dari empire ini.

Perjuangan kelas melawan empire diakui atau tidak, tetap menjadi sebuah kekuatan pembebasan besar dalam seluruh waktu kita. Melalui perjuangan kelas, kita tidak hanya mengobarkan perjuangan antara buruh versus majikan seperti yang diyakini oleh kelompok-kelompok Kiri yang telah ketinggalan jaman. Perang kelas era baru ini merangkul seluruh perjuangan dari mereka yang dipinggirkan, tak terhitung dalam masyarakat kapitalisme, di seluruh dunia melawan kondisi mereka sendiri, pekerja dan penganggur, urban dan rural, gaji rendahan dan gaji jutaan. Semuanya mengarahkan perjuangan kita melawan dalam sebuah separasi, tetapi bukan isu-isu separasi seperti yang diluncurkan kaum reformis karena separasi kita tak akan kehilangan bingkai besar sistem dunia. Kobaran perang kelas dinyalakan demi pengambilalihan kontrol atas hidup kita sendiri baik di luar ataupun di dalam relasi sosial kapital.

Partai-partai komunis atau sosialis dalam berbagai namanya, demokrat sosial, Leninis dan seluruh turunan-turunan mutasinya, LSM-LSM yang kekiri-kirian, semuanya hanya sayap kiri dari spektrum ideologis kapitalisme itu sendiri. Setiap dan seluruh grup politis yang tidak secara terbuka dan eksplisit berkomitmen melawan sistem kerja dan buruh upahan jelas adalah sebuah kontra-subversif dan terjebak dalam lingkaran Dunia Tontonan[1]. Kami di sini menolak kooperasi dan kolaborasi dengan seluruh grup-grup, LSM atau partai politik.

Gerakan pembebasan nasional adalah sebuah gerakan di mana mereka yang tereksploitasi merelakan seluruh hidupnya untuk berjuang dan mati demi ambisi-ambisi politis dari borjuis lokal atau seorang borjuis pengganti di kalangan gerilyawan dan intelektual. Tak ada pembebasan nasional yang pernah melahirkan sebuah masyarakat tanpa kelas; seluruh rezim yang diproduksi oleh “perang rakyat” dan “perang kemerdekaan nasional” telah dan selalu menjadi agen-agen imperialisme dan dunia pasar yang melawan warga lokalnya sendiri–baik secara sukarela ataupun tidak. Setiap dukungan terhadap gerakan pembebasan nasional dan atau untuk nasionalisme, dalam segala bentuknya adalah sebuah dukungan terhadap eksploitasi demi kepentingan kapital. IRA, PLO, GAM, OPM adalah sebuah organisasi gerilya yang lebih dekat dengan mafia daripada aksi bersenjata gerakan revolusioner yang otentik. Seperti pembebasan Timor Leste yang hanya menjadi sebuah pindah tangan dari pihak borjus Indonesia ke borjuis lain.

Sepanjang abad 20, kelompok-kelompok serikat pekerja di tengah kalangan pekerja telah melayani kepentingan kapitalisme baik dalam penyediaan lapangan kerja dan sebagai sebuah organisasi polisi, yang secara spesifik melawan perjuangan para pekerjanya sendiri dan secara general melawan perjuangan kelas dalam keseluruhannya. Sebagaimana abad 20 telah menunjukkan pada kita betapa intervensi ekonomi, serikat pekerja, tanpa mengesampingkan ideologi dan intensi subyektif anggota-anggotanya, telah cenderung menjadi mekanisme standar dalam tatanan masyarakat kapitalisme. Kekuatan multitude harus berjuang dan melawan juga seluruh serikat kerja beserta ideologi-ideologi yang menyertainya.

Abolisi kapitalisme tidak ada kaitannya dengan demokrasi, nasionalisasi industri besar, penggulingan kekuasaan ke tangan kaum Kiri atau serikat buruh. Tujuan otentik dari kita adalah penghapusan dunia kerja itu sendiri, relasi sosial yang berdasarkan pada jual-beli, penghapusan seluruh batas nasional dan negara, dan yang terpenting memeluk negasi atas negasi, memapankan relasi sosial yang tidak lagi dinilai oleh uang.

Mengesampingkan batas kemampuan kelompok multitude, revolusi-revolusi sosial di abad ke 20 dan aksi kekerasan radikal dari Los Angeles hingga Jakarta, dari Palestina hingga Budapest, semua adalah ekspresi embrionik dari kediktatoran proletar masa depan melawan kekuasaan kapital di seluruh dunia: setidakmungkin apa pun tampaknya tujuan perjuangan kita, toh ini semua tetap perlu dijalani untuk dapat membuat setidaknya sebuah kondisi yang tak memiliki titik balik. Dan bagi kami, semua ini adalah nyata, senyata aksi kekerasan kaum miskin melawan kekerasan kemiskinan. Bagi kami, penghancuran relasi komoditi dan kelahiran komunitas manusia yang otentik bukanlah sesuatu yang harus ditunggu kehadirannya seperti kaum religius menunggu hadirnya hari akhir atau seperti kaum Kiri yang menunggu hadirnya Revolusi Besar. Kami menuntut agar impian kami dihidupi hari ini juga, dalam segala perilaku dan gerak langkah kecil kami sehari-hari. Kami berjuang untuk ini semua, dan kami mencari kawan dalam menjalaninya.


Catatan:

[1] Dunia Tontonan atau Spectacle. Spectacle /kata benda/: Organisasi tampilan yang dibuat eksis melalui cara-cara komunikasi modern (media). Bergerak perlahan dengan yang mana imaji-imaji dapat dilekatkan dan dialienasikan dari sumbernya, serta direorganisasi untuk membentuk representasi yang sejalan dengan ideologi kelas yang berkuasa, membentuk dasar-dasar teknis dalam lingkup yang lebih diutamakan dalam spectacle modern, di mana “segala sesuatu yang dulu langsung dihidupi, kini telah tersingkirkan menjadi sekedar representasi atasnya”. Misalnya, sebuah iklan di televisi memperlihatkan sebuah keluarga dalam sebuah mobil berkendara dengan bahagia sepanjang perjalanan, kemudian “bersenang-senang” dalam ruang lingkup mobil yang sempit, tapi seakan mampu membawa kebahagiaan—sesuatu yang didambakan banyak manusia modern. Mobilnya diperlihatkan sebagai sebuah konteks yang paling menyenangkan: imaji mobil yang lantas disambungkan dengan imaji “bersenang-senang” menyarankan sebuah kebutuhan untuk membeli mobil sebagai sebuah cara untuk “mendapatkan” kesenangan dan kebahagiaan. Tapi pada faktanya, saat iklan tersebut dipertontonkan, jutaan orang tidaklah berbahagia hanya karena memiliki mobil untuk kemudian berkendara bersama keluarga. Atau pada contoh lain, misalkan seseorang yang akibat padatnya penduduk kota yang penuh polusi, bising dan mendorong timbulnya stres merindukan kehidupan alamiah yang tenang dan tenteram, ia tak perlu benar-benar pergi dari kota tempat tinggalnya, ia hanya perlu membeli televisi besar dan berlangganan siaran kabel, mencari saluran film tentang nuansa alam semisal National Geographic. Ingat iklan betapa televisi layar lebar dan datar serta didukung sistem audio modern mampu menghadirkan kenyataan ke rumahmu. Kita dilatih untuk mengkonsumsi imaji yang merupakan representasi atas kenyataan, tapi tidak menjalani kenyataan itu sendiri. Maka yang terjadi adalah bahwa seseorang tersebut tak pernah pergi ke lingkungan alami, ia akan menghabiskan waktunya dengan menonton televisi yang berarti sebuah aktifitas pasif, non-aktifitas. Pengorganisiran aktifitas spektakular adalah pengorganisiran pasifitas dan pasifikasi sosial modern yang sesungguhnya—pengelompokan manusia sebagai sekedar pengamat atas penerimaan satu sisi dari imaji-imaji hidup mereka sendiri yang telah teralienasikan. Tetapi spectacle bukanlah sekedar sebuah kumpulan imaji, melainkan sebuah relasi sosial antar manusia yang dimediasikan melalui imaji. Relasi nyata antar manusia ditransformasikan ke dalam sebuah relasi antar imaji. Contohnya, imaji Tony Blair di televisi yang mengunjungi Indonesia beberapa tahun lalu, bersalam-salaman dengan tokoh-tokoh ulama seperti Aa’ Gym dan mengadakan temu wicara dengan beberapa murid pesantren. Hal tersebut menampilkan Tony Blair yang merepresentasikan warga Inggris, merespek Aa’ Gym yang merepresentasikan umat muslim Indonesia; yang pada kenyataannya Tony Blair tak melakukan apapun saat di Inggris kasus-kasus kekerasan terhadap muslim pasca histeria terorisme merebak. Lagi, saat seorang “bintang film” atau “bintang olah raga” mengiklankan sebuah produk, kita diharapkan merespon pada imaji mereka sebagai seseorang yang ideal, dan lantas mengemulasikan hal tersebut dengan mengasosiasikan diri kita sendiri dengan imaji yang mana para bintang tersebut mengasosiasikan dirinya. Contohnya, saat Dian Sastro mengenakan kaos kaki panjang sebagai seragam sekolah SLTA-nya saat ia terasosiasikan dengan film “Ada Apa Dengan Cinta”, perhatikan berapa banyak dari perempuan SLTA yang juga lantas mengenakan kaos kaki panjang sekaligus memanjangkan rambut untuk mengasosiasikan diri mereka dengan imaji Dian Sastro, yang mereka anggap sebagai seseorang yang ideal. Tetapi proses tersebut juga melangkah lebih jauh: spectacle menjadi topik utama obrolan, diskusi dan bahkan juga subyek bagi spectacle lanjutan (misalnya, maraknya diskusi mengenai teori “simulacra” dari Baudrillard di kalangan mahasiswa filsafat yang hanya berujung pada pengkonsumsian lebih banyak buku tapi mengalienasi mereka dari kenyataan itu sendiri). Pembicaraan anak-anak kawasan urban juga dimonopoli oleh argumen-argumen soal program acara televisi yang mereka tonton hari sebelumnya. Komunikasi tentang pengalaman hidup yang nyata menjadi spectacle komunikasi dan tentang spectacle, komunikasi atas pengalaman pasifitas, non-komunikasi. Spectacle secara umum digunakan untuk menamai irama relasi sosial yang non-komunikasi, irama isolasi. Tujuan utama komunikasi adalah sebuah dialog pengalaman nyata, bukanlah sebuah pertukaran kepasifan yang didominasi oleh teknologi yang dikembangkan dalam spectacle. Mimpi buruk spectacle, imaji-imaji yang mengambil “hidup” dari kehidupan itu sendiri, sepenuhnya telah terealisasikan saat dengan sadar orang-orang berusaha untuk menghidupkan imaji-imaji yang dianggap dapat merepresentasikan diri mereka: bahkan juga dalam urusan bercinta, yang seharusnya momen potensial dari bentuk komunikasi sempurna (kesatuan dari pemberian-kenikmatan dan pengambilan-kenikmatan), kini secara konstan berusaha merepresentasikan imaji diri mereka sendiri pada sesamanya; kontak langsung dan juga fisikal dari dua orang manusia telah lenyap dalam percintaan palsu yang mengandalkan imaji-imaji spektakular. Sementara itu, barang dan jasa (komoditi) diproduksi oleh proletariat yang juga menjadi bagian aktif dari spectacle, dijual kembali pada proletariat yang memproduksi mereka adalah sebuah pola yang didorong oleh spectacle: dengan iklan dan dorongan konsumsi yang membludak. Konsumsi komoditi menjadi satu-satunya bentuk konsumsi. “Semakin lama, semakin sedikit pertukaran yang tidak dilakukan tanpa eksistensi uang”. Pengalienasian para spektator demi kepentingan obyek kontemplasinya, dapat diekspresikan antara lain sebagai berikut, “semakin ia berkontemplasi semakin kurang ia hidup; semakin ia menerima dan menemukan dirinya dalam imaji-imaji kebutuhan dominan, semakin ia tidak memahami eksistensinya dan hasratnya sendiri. Dalam hal tersebut semua gerak-geriknya tak lagi menjadi miliknya melainkan milik semua yang lain yang merepresentasikan diri dalam seseorang tersebut.” (Guy Debord, The Society of the Spectacle). Maka dapat dianggap juga bahwa spectacle adalah kapital yang dalam tingkat tertentu telah berakumulasi menjadi imaji, menjadi tampilan. Semenjak dunia masa kini dikendalikan oleh kapital yang mengkonsentrasikan pada dirinya sendiri, spectacle adalah kapital yang menciptakan sebuah dunia yang berisi imajinya sendiri. Kapital adalah tuhan material, dan spectacle adalah agama (ideologi) materialnya. Spectacle, dalam berbagai bentuknya telah menguasai dunia: dunia yang merepresentasikan dirinya sebagai dunia nyata. Engkau ingin kaya raya, kini tak perlu mencari uang bertumpuk tetapi cukup mengenakan tampilan seperti layaknya orang-orang kaya. Engkau ingin memberontak, cukup mengenakan pakaian yang penuh dengan imaji-imaji pemberontakan (gambar wajah Che Guevara atau mengkoleksi buku-buku karya Karl Marx). Engkau ingin pintar, cukup menamatkan kuliah dan menyematkan titel akademismu dalam setiap pencantuman namamu. Engkau ingin peduli sosial, cukup beritakan bahwa engkau telah menyumbangkan sejumlah uang pada mereka yang sedang berkesusahan uang. Engkau ingin menjadi muslim/muslimah yang beriman, cukup kenakan pakaian tradisional muslim/muslimah, melaksanakan shalat atau berpuasa saat Ramadhan. Engkau ingin dianggap bersolidaritas dengan mereka yang miskin, cukup tampilkan dirimu dengan pakaian yang dikenakan orang-orang miskin. Dan masih banyak contoh lain tentang bagaimana kita melibatkan diri kita dalam spectacle di kehidupan kita sehari-hari, yang menjadi bukti bahwa spectacle adalah aturan dominan masyarakat paling modern dewasa ini.