#title Dari Proletar Menjadi Individual: Memahami Konsep Kelas Anarkis #author Anonymous #LISTtitle Dari Proletar Menjadi Individual: Memahami Konsep Kelas Anarkis #SORTauthors Anonymous #SORTtopics alienation, individualism, analysis, anti-work #date 15/08/2008 #source [[http://timkatalis.blogspot.com/2008/08/dari-proletar-menjadi-individual.html]] #lang id #pubdate 2021-04-04T05:00:37 #language Bahasa Indonesia #publication Tim Katalis Hubungan sosial kelas dan eksploitasi bukanlah hal yang mudah dipahami. Konsepsi pekerjaisme, yang idenya bersandar pada suatu kelas revolusioner tertentu yang ditentukan melalui hubungannya dengan alat produksi, mengesampingkan sebagian besar masyarakat yang dalam tatanan sosial sekarang ini tidak memiliki tempat di dalam produksi maupun peran sosial. Maka, konsepsi seperti ini cenderung menyempitkan dan menyederhanakan pemahaman mengenai eksploitasi dan transformasi yang revolusioner. Agar dapat mengangkat perjuangan revolusioner melawan eksploitasi, kita perlu mengembangkan pemahaman kita tentang kelas sebagaimana kelas tersebut eksis di dunia ini. Sederhananya, masyarakat kelas merupakan komposisi antara yang dikuasai dan menguasai, ada yang mengeksploitasi dan dieksploitasi. Tatanan sosial seperti itu hanya dapat terjadi ketika masyarakat telah kehilangan kapasitas mereka untuk menentukan kondisi eksistensi hidup mereka. Maka, kualitas yang sama-sama dialami oleh sesama kaum tertindas adalah ketidakpunyaan, hilangnya kapasitas mereka untuk mengkreasikan dan melakukan keputusan-keputusan mendasar persoalan mengatur hidup mereka. Kelas penguasa dapat dipahami melalui proyeknya yang bertujuan untuk mengakumulasi kekuasaan dan kekayaan. Walau memang terjadi konflik antara kelas penguasa akibat kepentingan-kepentingan tertentu dan kompetisi antar penguasa dalam mengendalikan sumberdaya serta wilayah, proyek mereka ini ditujukan untuk meraih kontrol kekuatan dan kekayaan sosial, dan oleh karena itu kehidupan dan hubungan antara setiap mahkluk hidup, justru menyajikan kelas ini sebuah proyek bersama yang positif. Kelas yang tereksploitasi sama sekali tidak mempunyai proyek yang positif karena hidup mereka merupakan bagian dari proyek golongan kelas yang mengeksploitasi mereka. Segala sesuatu dalam hidup mereka didefinisikan oleh proyek—kelas penguasa—tersebut. Setelah dicerabut dari cara hidup yang mereka inginkan dan ciptakan bersama komunitas mereka, sekarang, satu-satunya komunitas mereka dalam masyarakat kelas adalah apa yang telah disediakan oleh negara dan kapital—tempat kerja dan pasar yang dibaluti dengan berbagai macam citra komunitas palsu, dari kebangsaan, ras, agama, etnis, atau konstruksi ideologi-ideologi subkultur guna mencegah atau meredam individualitas dan pemberontakan. Konsep positif mengenai proletariat, terutama sebuah proyek untuk mendefinisikan proletarisasi sebagai suatu identitas tunggal dan pemersatu yang positif, tidak memiliki basis di dalam kehidupan nyata, karena pada kenyataanya proletariat adalah definisi bagi mereka yang hidupnya telah dicuri, bahwa ia (sang proletar) telah diubah menjadi sekadar pion di dalam proyek kelas penguasa. Konsep pekerjaisme, yang mengindikasikan proyek proletariat yang disebut di atas, berasal dari teori-teori revolusioner Eropa dan Amerika Serikat (terutama di lingkar teori-teori marxis dan sindikalis). Di akhir abad 19, baik Eropa dan Amerika Serikat, sedang mengalami proses industrialisasi yang pesat, dan melalui perkembangan tersebut ideologi kemajuan menyamaratakan berkembangnya teknologi dengan pembebasan sosial. Ideologi ini termanifestasikan dalam teori revolusioner yang beranggapan bahwa kelas pekerja industri, secara obyektif, merupakan satu-satunya golongan kelas yang revolusioner karena mereka berada dalam posisi yang tepat untuk merebut alat produksi (yang dikembangkan oleh kapitalisme dan pada saat itu perkembangan tersebut, sebagai sebuah produk kemajuan, dimaknai sebagai sesuatu yang membebaskan) yang selanjutnya akan dimanfaatkan untuk kehidupan manusia. Dengan mengenyampingkan golongan-golongan lainnya dalam dunia (juga sejumlah porsi besar kaum tertindas di wilayah-wilayah industrial), para teoritisi revolusioner ini merasa telah mengembangkan proyek yang positif bagi proletar, sebuah misi obyektif sejarah. Apa yang tadinya merupakan bagian dari ideologi kemajuan kaum borjuis malah tidak dikritisi. Menurut saya, gerakan Luddite mempunyai perspektif yang lebih jernih, gerakan ini memaknai industrialisme sebagai alat-alat yang digunakan oleh majikan untuk membuat mereka menjadi golongan tak berpunya. Dengan alasan ini, mereka menyerang mesin-mesin produksi massa. Di wilayah barat, proses proletarisasi telah lama terjadi (meski proses ini adalah suatu proses berkelanjutan yang masih terjadi sampai sekarang), namun di daerah dunia bagian selatan proses seperti masih pada tahapannya yang awal. Karena proses ini pertama kali terjadi di barat, telah terjadi perubahan-perubahan signifikan dalam fungsi-fungsi alat-alat produktif. Sebagian besar pabrik model lama yang banyak menggunakan tenaga manusia telah berhenti beroperasi, dan pekerja jaman sekarang dituntut untuk bisa lebih fleksibel, menajamkan kemampuannya beradaptasi—dalam kata lain, bagaimana pekerja dapat senantiasa berfungsi sebagai gerigi yang dapat dipindah dan digunakan di mana saja dalam mesin kapital. Sebagai akibatnya, pabrik cenderung tidak memerlukan banyak tenaga kerja agar dapat produktif, hal ini terjadi karena adanya perkembangan teknologi dan teknik manajemen. Kedua perkembangan tersebut merubah proses produksi menjadi lebih desentralis dan membuat jenis-jenis kerja pabrik hanya berupa aktivitas mengaktifkan/menjaga dan mengawasi mesin. Dalam artian sebenarnya kita semua, sebagai individu, adalah barang-barang yang dapat digunakan dan dibuang begitu saja dalam proses produksi, karena kita semua dapat digantikan—egalitarianisme kapitalis berarti kita sama-sama bernilai nol. Di dunia pertama, efek seperti ini telah merubah sebagian besar kelas pekerja menjadi pekerja “informal” atau tak menentu (istilah bahasa Inggrisnya yang lebih populer dan sesuai adalah precarious, yang artinya: tak menentu): kerja per hari, paruh waktu, kerja sektor jasa, penggangguran kronis, tunawisma, pasar gelap serta aktivitas ilegal lainnya. Kerja tetap dengan jaminannya akan kehidupan yang stabil—meski pekerja jenis ini tidak menghidupi hidupnya tapi hidup orang lain—juga tak dapat membuat mereka terhindar—selain ilusi kenyamanan konsumerisme dan televisi—dari fakta bahwa hidup di bawah kapitalisme berada dalam ancaman bencana-bencana yang hebat. DI negara dunia ketiga, orang-orang yang tadinya hidup di desa, yang secara relatif dapat mengkreasikan kehidupan yang mereka inginkan, meski sulit, juga diinvasi oleh mesin-mesin besar kapitalis yang mengusir mereka dari tanah dan rumah mereka sehingga tidak memungkinkan lagi bagi mereka untuk melanjutkan kehidupan yang mereka inginkan. Setelah dicerabut dari tanah mereka, orang-orang ini terpaksa pindah ke kota di mana mereka jadi gembel dan pengemis. Pemukiman kumuh memenuhi sekeliling kota, seringkali dengan jumlah populasi yang berlebihan dari kapasitas kota tersebut. Tanpa kemungkinan untuk mendapatkan kerja-kerja yang stabil, penduduk pemukiman kumuh terpaksa membangun ekonomi melalui pasar gelap untuk bertahan hidup, yang sebenarnya juga memenuhi kepentingan kapital. Yang lainnya, memilih menjadi tenaga kerja di negara asing yang tak memiliki hak apapun, dengan konsekuensi pelecehan, pemerkosaan, penjara, dan penyiksaan dari majikan mereka serta otoritas. Semua itu mereka lakukan sebagai niat untuk memperbaiki kondisi hidup. Jadi, ciri proletariat dunia sekarang ini dapat dijelaskan melalui kondisinya yang tak menentu, tak memiliki hak, dan tak memiliki apa-apa. Jika, pada satu sisi, bahwa peradaban ini telah melahirkan kelas barbarian yang takkan merasa kehilangan ketika peradaban ini runtuh (tapi tidak seperti yang dibayangkan oleh para ideolog-ideolog pekerjaisme), maka di sisi lainnya, ciri-ciri ini secara inheren tidak mempunyai basis bagi proyek transformasi sosial yang positif. Amarah yang dipicu oleh kondisi-kondisi hidup yang menyedihkan dalam masyarakat sekarang ini dapat dialihkan menjadi proyek yang menguntungkan bagi kelas penguasa atau sekurang-kurangnya minat-minat tertentu dari golongan kapitalis. Sebagai contoh, selama beberapa dekade ke belakang, amarah-amarah seperti ini sering dimanfaatkan atau dialihkan menjadi proyek-proyek yang bersifat nasionalis, rasialis, dan relijius, yang hanya berguna memperkuat dominasi. Kemungkinan untuk merubah dan menghancurkan tatanan sosial sekarang ini jelas masih terbuka lebar, tapi untuk meyakini suatu keniscayaan sejarah merupakan suatu pola pikir yang tidak lagi mempunyai landasan yang obyektif. Untuk lebih dalam memahami proyek revolusioner yang sebenarnya dan memikirkan bagaimana memulainya (dan untuk mengembangkan analisa mengenai bagaimana kelas penguasa mengalihkan amarah kaum tertindas ke dalam proyek-proyek mereka), cukup penting untuk menyadari bahwa eksploitasi tidak hanya terjadi dalam produksi kekayaan, tapi juga pada reproduksi hubungan sosial. Proletar, dalam proyek kelas penguasa, memiliki perannya masing-masing, sebuah identitas sosial yang akan mereproduksi hubungan sosial. Ras, gender, etnisitas, agama, orientasi seksual, subkultur—semua ini, mungkin saja, merefleksikan perbedaan-perbedaan yang signifikan, namun semua itu hanyalah konstruksi sosial yang digunakan sebagai pengalihan guna menjaga tatanan sosial sekarang ini terus berjalan. Di wilayah-wilayah paling maju dari masyarakat sekarang ini, di mana pasar yang mendefinisikan hubungan-hubungan, sebagian besar identitas didefinisikan sebagai komoditas yang punya simbolnya sendiri-sendiri, dan fleksibilitas menjadi basis bagi reprdoduksi sosial, seperti halnya di dalam produksi ekonomi. Dan karena identitas merupakan sebuah konstruksi sosial, sebagai suatu komoditi yang dapat diperjualbelikan, kaum revolusioner harus mencermatinya dengan cukup serius. Analisa kerumintannya dengan hati-hati dengan tujuan untuk melampaui kategori-kategori tersebut hingga mencapai titik bahwa perbedaan-perbedaan ini (termasuk apa yang oleh masyarakat dikategorikan sebagai ras, gender, etnisitas, dsb) merupakan refleksi dari individualitas kita masing-masing. Karena takkan pernah ada yang namanya proyek positif bersama yang dapat kita temukan dalam kondisi kita sebagai kaum proletar—sebagai yang dieksploitasi dan yang tak berpunya—maka proyek perjuangan yang paling mungkin untuk kita semua adalah penghancuran kondisi proletarian ini, untuk mengakhiri pemiskinan hidup. Hal yang paling esensial yang telah direnggut dari kita bukan hanya alat produksi dan kekayaan material; melainkan hidup kita, kapasitas kita untuk mengkreasikan eksistensi menurut apa yang kita aspirasi dan impikan. Oleh karena itu, perjuangan kita berada di mana-mana, dan kapan saja. Tujuan kita adalah menghancurkan segala sesuatu yang menjauhkan kita dari kehidupan kita: kapital, negara, industri dan aparatus teknologinya, kerja, ideologi, serta setiap organisasi yang selalu mencoba meredam dan menegosiasikan pemberontakan kita, singkatnya, semua sistem pengontrolan. Dalam proses perjuangan—yang harus bebas dari segala bentuk institusionalisasi dan formalitas—kita harus senantiasa memiliki inisiatif untuk mengkreasikan cara-cara berhubungan yang baru melalui swaorganisasi, suatu kesamaan yang didasari atas pengakuan setiap keunikan individual, di mana kebebasan kita dapat berjalan bersamaan. Dalam pemberontakan terhadap kondisi proletarian kita inilah kita akan menemukan proyek positif yang beragam: perjuangan kolektif menuju realisasi individual.