Anonymous

Gerak Termekanisasi Akan Membunuh Emosi

26/12/2008

Pada akhirnya, jika kamu tidak berhati-hati, ini yang akan terjadi pada dirimu: kamu dapat menangis tanpa kontrol ketika sedang menonton film, tapi kamu tidak dapat menangis dalam kehidupan nyata.
—Adbusters Januari 2004

Sebermula Adalah Aku

Berangkat dari Renaisans, modernitas mulai mengarungi keniscayaan. Renaisans adalah titik tolak perkembangan sains dan teknologi, perluasan dan ekspansi perdagangan besar-besaran; sebagai pendewaan rasionalitas dalam masalah-masalah manusia. Bagi jaman modern, manusia—dengan kemampuan rasionalnya—dijadikan sebagai aku (subyek) yang sentral dalam pemecahan masalah dunia. Hal ini merupakan sesuatu yang mekanistis di mana pengertian rasional dijadikan sebagai ukuran tunggal kebenaran, dan mesin dijadikan sebagai paradigma.

Untuk mewujudkan kekuasaannya, manusia modern harus memutuskan diri dan menaklukan lingkungan sekitarnya—termasuk nilai-nilai spiritual yang eksis sebelumnya. Kehidupan manusia modern digenjot menjadi kehidupan yang terpola untuk memenuhi kebutuhan yang seketika menjadi kompleks. Hal ini secara langsung meningkatkan harapan ke tingkat yang sangat tinggi dengan di saat bersamaan menghilangkan harapan itu sendiri. Lahan-lahan yang sebelumnya kosong dibuka untuk dijadikan pemukiman, hutan-hutan digunduli untuk dijadikan jalan raya yang akan mendukung akselarasi pembangunan; alam bukan lagi sesuatu yang dikategorikan sebagai teman—seperti yang terjadi pada jaman sebelumnya—tetapi sesuatu yang seharusnya ditaklukan. Teknologi dan mesin dikembangkan lewat berbagai cara dengan kredo mempermudah hidup. Di sini masa depan adalah sesuatu yang telah diprediksikan dan dikalkulasikan secara ketat hasil-hasilnya.

Tak mengherankan jika kemudian dalam masyarakat modern segala sesuatu dimiliki dan dinamai, lalu dijadikan sebagai sebuah komoditi; barang maupun jasa yang dapat diperjualbelikan dalam sebuah pasar. Sistem ekonomi pasar, hingga saat ini, telah menjadi sesuatu yang dominan. Ia juga semakin mengambilalih segala aspek kehidupan manusia. Kerjasama secara sukarela maupun kebebasan adalah sesuatu yang harus dihancurkan untuk melanggengkan sistem ini dan digantikan dengan kompetisi yang seragam dalam berbagai variannya. Namun hal ini pun ironis dalam kenyataannya. Barang-barang dan kekuasaan tidak dapat dimiliki oleh setiap orang dan terpusat hanya ke beberapa gelintir kalangan saja.

Kini tak ada lagi hubungan yang nyata antara produksi barang dengan kegunaannya. Malahan segala produk diproduksi hanya dengan satu tujuan, yaitu menciptakan laba bagi mereka yang sama sekali tidak terlibat langsung dalam proses produksi. Hal tersebut telah menghilangkan perbedaan yang memisahkan apakah sebuah produk benar-benar dibutuhkan atau tidak. Selama sebuah perusahaan mengeruk keuntungan dan menumpuk laba, hal itu selalu saja dilakukan dan dikaitkan dengan alasan akan kontribusinya bagi peningkatan ekonomi sosial yang berpengaruh juga pada kenaikan harga barang-barang biasa (selain hasil produksi dari perusahaan tersebut). Bahkan untuk aktifitas produksi yang sebenarnya perlu dilakukan, bila dianggap kurang memenuhi standar pendapatan laba, selalu saja dianggap bukan “produk nyata”—tidak peduli seberapa berharga dan perlunya produk yang dihasilkan tersebut sebenarnya.

Pembangunan pabrik semen di sebuah kawasan pertanian, misalnya. Ia dipercayai sebagai penyuplai kebutuhan banyak orang sehingga apa pun alasan untuk menolak kehadirannya (seperti alasan pengrusakan alam dan penurunan penghasilan bagi penduduk sekitarnya) akan dieliminasi. Semen sendiri merupakan sesuatu yang dibutuhkan terus menerus hanya bagi mereka yang memiliki modal besar. Sementara bagi kebanyakan orang, kebutuhan akan semen sepertinya akan cukup terpenuhi dari produksi yang telah ada tanpa perlu penambahan jumlah pabrik maupun jumlah produksinya.

Industri, dalam paradigma modern merupakan suatu blue-print tak terelakkan. Ia bukanlah sebuah mekanisme netral di mana siapa pun yang “mengemudikannya” dapat dengan sekenanya mengendalikan laju arahnya. Industri adalah tangan kanan sebuah sistem dominatif, di mana mereka yang memiliki kapital akan mampu untuk mengumpulkan dan mendapatkan lebih banyak lagi, dengan harga yang harus dibayar oleh mereka yang tidak memiliki kapital.

Mekanisasi Hubungan Sosial

Pada sistem teknologi industrial, dalam usahanya untuk memproduksi barang dan jasa yang diperlukan, kebanyakan orang—termasuk juga diri kita—dipaksa untuk membuat diri kita menjadi sebuah komoditi: disewakan pada sebuah pasar dengan harga tertinggi. Untuk meningkatkan nilai kita dalam harga jual sebuah pekerjaan, kita harus menginvestasikan diri kita melalui bidang pendidikan. Sebenarnya hal terpenting dari diadakannya pendidikan “kemampuan bekerja” adalah untuk belajar bagaimana menerima perintah dan menjalankan tugas-tugas yang kita terima seperti sebuah robot yang tentu saja harus patuh pada perintah apa pun. Kita terpaksa melakukan hal ini karena uang dan kekuasaan tidak dimiliki secara merata oleh masing-masing dari kita tapi mereka. Dalam bekerja, kita tidak lagi mendapat kebebasan, kita tidak lebih daripada sebuah barang sewaan yang digunakan dalam sebuah sistem pengeruk laba.

Sistem industrial bukanlah sebuah entitas tersendiri yang terpisah dengan pranata-pranata sosial yang membentuknya. Ia adalah sebuah teknik, mesin, ruang, relasi, dan masyarakat yang terintegrasi, yang dirancang untuk mereproduksi hubungan sosial dan memuluskan serta memajukan eksistensinya.

Sistem industrial juga bukan sekedar alat untuk menghasilkan profit. Ia pun bertugas sebagai alat pengontrol dari kapitalis dan penguasa agar masing-masing komponennya yang terdiri dari banyak hal—termasuk manusia—dapat terus berada dalam dominasinya dan tidak memberontak.

Selain itu, sistem industrial juga menyerang sisi psikologis manusia. Orang-orang menjadi terasing bukan hanya pada alat dan hasil produksinya, tapi juga terasing dari hasrat-hasrat terdekatnya (seperi inisiatif dan daya kreatif)—semenjak sistem industrial tak akan membiarkan siapa pun untuk mereguk kebebasan di luar koridor yang telah dibuatnya. Dunia komunikasi yang sedemikian massifnya semisal telepon dan internet, telah membuat komunikasi langsung menjadi sesuatu yang tampak aneh. Orang telah sedemikian terbiasa dimediasi oleh alat-alat sehingga mengalami kegagapan saat berkomunikasi langsung. Kedudukan manusia bukan lagi sebagai tuan atas sebuah alat; ia telah bertransformasi menjadi budak dari sebuah alat. orang-orang dapat menjadi stres dan frustasi ketika tidak ada satu pun SMS atau panggilan pada handphonenya. Agar komunikasi terus berlangsung, mereka berlomba-lomba mengisi pulsa untuk terus menjaga ekstasi dari sebuah komunikasi.

Relasi sosial yang terjadi pun begitu dangkal. Orang-orang berkumpul dalam kuantitas yang sangat massif namun mereka kehilangan rasa kebersamaan dan tetap menjadi individu yang terpisah satu sama lainnya. Gairah, seperti juga hal-hal lainnya, telah kehilangan sensasinya. Keliaran dianggap sesuatu yang tidak wajar dan sebisa mungkin dihindari. Orang-orang saling menghindari konflik dan jika konflik tetap terjadi, mereka dengan sukarela akan menyerahkan kasus tersebut kepada pihak-pihak lain agar ditengahi: orang-orang lebih rela membayar hansip, satpam, polisi, untuk memberi keamanan. Lebih dari itu, mereka telah menyerahkan kekuasaan hidup mereka pada sesuatu di luar dirinya.

Dorongan alamiah yang terjadi pada masyarakat industrial modern disuplai oleh dorongan-dorongan yang dapat terpuaskan dengan upaya minimal dan dorongan-dorongan yang tak dapat cukup terpuaskan tak peduli seberapa besar upaya yang dilakukan.[1] Dorongan-dorongan ini, terutama dorongan yang kedua, membuat orang menjadi frustasi dan depresi. Agar frustasi dan depresi ini tidak menemui jalan keluarnya, diciptakanlah imaji-imaji artifisial yang membuat orang tetap berada dalam ketertundukannya. Imaji ini dapat berupa harapan akan kesuksesan dan kebahagiaan hidup dalam keberlimpahan materi. Namun tentu saja, sekali lagi, hal ini hanya dapat direalisasikan oleh segelintir orang saja; sementara mayoritasnya terus menerus hidup dalam labirin impian yang tidak nyata: berlomba-lomba menjadi sempurna seperti para selebritis, misalnya. Intinya, mereka terus menerus dicekoki harapan-harapan artifisial agar tetap tunduk dan dapat ditaklukan oleh sistem hari ini.

Di dalam sistem teknologi industrial, manusia tak lebih dari sekedar angka pada sebuah pabrik besar. Pada sebuah sistem—apa pun sebutannya—homogenisasi adalah sebuah racun bagi kehidupan. Kekurangan akan perbedaan menginisiasikan ketidakberdayaan dan kegagalan.

Kemungkinan Dunia yang Lebih Baik

Industri, sebagai sesuatu yang bersifat integral dalam mesin besar hubungan sosial, tidak mungkin diasumsikan sebagai sesuatu yang netral, yang dapat kita pergunakan untuk kepentingan kita. Ia adalah salah satu alat dari sebuah hubungan hierarkis yang hanya melayani kepentingan penguasa, bukan aspirasi dan kehendak kita.

Untuk menuju dunia lain yang lebih baik, kita tidak dapat hanya sekedar menghancurkan salah satu kondisi dari banyak hal yang membuat sistem ini eksis. Sekedar merebut alat produksi tak akan mampu membuat kita bebas—semenjak pabrik dan segala interiornya didesain untuk mendominasi dan memekanisasi manusia. Karena di dalam pabrik, inisiatif individual harus hilang dalam deru mesin dan percepatan produksi. Perebutan kembali hidup kita harus dimulai dengan penghancuran setiap relasi hierarkis yang dominatif

Menghancurkan sistem yang eksis hari ini tentu saja akan membawa hal-hal yang “menyakitkan” dalam proses penghancuran dan pembangunannya. Tapi sistem ini pun tidak hadir secara tiba-tiba: ia mempengaruhi dan mengontrol kita setiap hari secara konstan lewat berbagai pranata dan propagandanya. Menghancurkannya, bisa saja terjadi secara spontan ataupun secara gradual; masa depan belum lagi tertulis. Namun satu hal yang telah kita pelajari dan rasakan bersama adalah dunia lain yang lebih baik tidak akan mungkin tercipta lewat hubungan yang hierarkis dan dominatif.

Hal ini pun bisa saja gagal di tengah jalan. Mungkin kita tidak bisa menghentikan laju dari monster kapitalisme tersebut, tetapi setidaknya biarkanlah kita “melemparkan sedikit pasir pada tatanan mesin mereka” untuk hanya demi mempertahankan martabat kita dan untuk memberi respek pada diri kita sendiri. [2]

Atau seperti satir yang diungkapkan Nietszche, “Lebih nyaman mematuhi ketimbang menguji sesuatu. Adalah sesuatu yang lebih menggoda untuk berpikir ‘aku memiliki kebenaran’ daripada melihat kegelapan di sekeliling kita.”

Catatan:

[1] Manifesto Unabomber – Ted Kaczynsky

[2] Jaman Modern – Felix Frost