标题: I Want To Kill Cops Until I’m Dead
Publication: Penerbit Rumah Kertas
日期: 13/12/2017
备注: Teks aslinya berjudul I Want To Kill Cops Until I’m Dead, pertama kali dipublikasikan oleh Penerbit Rumah Kertas
a-k-anonymous-kcbg-narcissa-black-i-want-to-kill-c-1.jpg

Mencoba Membunuh Polisi

Sebuah Pengantar dari A. A

SENIN SORE, 25 Mei 2020, setelah terkena PHK akibat pandemi Covid-19, mantan pekerja restoran ini berniat menghibur diri dengan membeli rokok di toko kelontong Cup Foods. Tak lama setelah membayar, pegawai Cup Foods menghampirinya. Menjelaskan padanya, jika uang yang dibayarkan adalah uang palsu dan ia memintanya untuk mengembalikan rokok. Laki-laki ini tak mau. Yakin bahwa uang yang ia bayarkan adalah asli.

Kesal, pegawai toko kelontong memanggil petugas kepolisian setempat. Ia memberi laporan dengan framing “orang hitam ini dalam keadaan mabuk dan tidak bisa mengendalikan diri”. Dalam hitungan menit, beberapa polisi sektor Minneapolis, Amerika Serikat datang, lengkap dengan senjata api. Mereka sudah begitu agresif, sedang pria kulit hitam tetap tenang.

Polisi kemudian memaksa Floyd masuk ke mobil mereka, tapi Floyd menolak. Ia takut akan ruang sempit. Para polisi menganggap aksi tersebut sebagai perlawanan. Dengan segera mereka lumpuhkan Floyd. Leher Floyd ditindih oleh Derek Chauvin, seorang polisi kulit putih tak kurang dari sembilan menit. Selama penyiksaan itu, Floyd berteriak “tak bisa bernapas” sebanyak 16 kali. George Floyd, pria berusia 46 tahun, kemudian mati tercekik dengkul polisi.

Dengan jelas ia dibunuh polisi. Secara sistematis ia dibunuh oleh negara.

Kasus Floyd hanya puncak dari gunung es praktik diskriminasi rasial yang dipertajam dengam aksi militerisme di negara Donald Trump. Data kasus tindakan brutal polisi AS terhadap warga kulit hitam selama ini sudah berjibun.

Al-Jazeera dalam “Mapping US police killings of Black Americans” melaporkan, dari 2013 hingga 2019, polisi di AS telah membunuh 7.666 orang. Warga kulit hitam AS adalah 13 persen dari total populasi AS, namun peluang mereka untuk dibunuh polisi “dua setengah kali lipat” dari warga kulit putih. Tahun 2020 yang masih jalan setengah, menurut Killed By Police, situs swadaya yang mengumpulkan informasi terkait kebrutalan polisi, terdapat 422 warga Amerika telah tewas di tangan polisi.

Yang mengerikan, dilansir dari Tirto dalam “Kematian George Floyd adalah Bukti Nyata Slogan ACAB di AS”, meskipun polisi AS memiliki reputasi mengerikan membunuh warganya, hampir pasti polisi-polisi itu tetap dapat hidup nyaman. Dari 2013 hingga 2019, 99 persen kasus pembunuhan yang dilakukan polisi menguap begitu saja. Polisi-polisi brutal AS tetap hidup nyaman karena adanya imunitas pihak penegak hukum yang sama-sama brutal.

Investigasi Reuters, “Six takeaways from Reuters investigation of police violence and 'gualited immunity” menunjukkan bahwa antara 2017 dan 2019, polisi memenangkan 56 persen kasus di Mahkamah Agung AS. Dalam kasus-kasus itu mereka mengklaim kebal hukum.

Gelombang protes dan kerusuhan kemudian mengemuka di 140 kota di Amerika Serikat. Ribuan orang tergabung dalam Gerakan Black Lives Matter, tumpah ruah ke jalan-jalan mengutuk kebrutalan polisi.

Gerakan ini menjalar ke penjuru dunia di tengah intaian virus Covid-19 yang mengerikan. Di Indonesia, gerakan ini bertransformasi Papuans Lives Matter. Gerakan dengan tujuan sama: mengecam adanya rasisme dan brutalitas Polisi Republik Indonesia terhadap orang- orang Papua. Di Indonesia sendiri tingkat kekerasan polisi yang disponsori oleh negara tidak bisa dikatakan rendah. Di sini tak jauh berbeda dengan negara lain yang mengadopsi kepolisian sebagai petugas pengaman kekuasaan yang oligarki, dan para kapitalis. Sama-sama sadis. Bersifat universal dan laten, polisi akan membunuh ras atau golongan yang dirasa tak perlu dan/atau ideologi yang tak sesuai dengan penguasa.

Alhasil, polisi menjadi musuh dari orang- orang marjinal, orang dengan kulit berwarna, dan aktivis yang telah lama menyebut mereka sebagai penindas di semua tempat di muka bumi ini. Olok-olok “All Cops All Bastard” empat dekade silam (semakin) terasa nyata oleh khalayak dan menghiasi dinding-dinding stupa (kekuasaan) negara.

Buku ini diterjemahkan dari esai nihilis dan insureksionis KCBG, Anonymous, Narcissa Black berjudul I Want to Kill Cops until Im Dead yang terbit pada akhir 2017. Konteks kasus yang dipaparkan banyak di Eropa. Tapi, secara umum dapat diserap sesuai geopolitik masing-masing.

Penerjemahan ini berangkat dari keresahan dengan pemikiran arus utama gerakan kiri Indonesia, termasuk Anarkis di dalamnya, yang mengarahkan kutukan pada intitusi keamanan negara, dan polisi hanya dalam kerangka populis: Reformasi Kepolisian.

Para reformis ini menilai polisi dan kepolisian adalah bagian dari komunitas masyarakat dan terus meminta mereka menciptakan keadilan. Sungguh komikal. Sedang di lain pihak, polisi dan kepolisian selalu membuat legitimasi bagi dirinya sendiri dan mengasosiasikan dirinya dengan kekuasaan. Aktivis kiri ataupun nihilis pasif tahu akan hal ini, tapi mereka ragu untuk memilih kebenaran dengan merusak standar moral mereka. Hal ini berkaitan juga dengan kerangka populis tadi: agar mudah diterima di dalam komunitas yang ingin dimiliki olehnya.

Kecenderungan itu membuat kita akan lebih berkompromi terhadap situs otoritas dan dominasi lain, misalnya Gereja, keluarga, dan struktur patriarki, hukum, teknologi, serta struktur dan hierarki partai revolusioner itu sendiri. Yang menjadi 'polisi-polisi' dalam kepala kita.

Friedrich Nietzsche menggambarkan dalam buku catatannya (diterbitkan secara anumerta oleh saudara perempuannya dalam The Will to Power) pilihan antara nihilisme “aktif” dan “pasif.” Menurut Nietzsche, kita bisa menjadi nihilis aktif dan menolak nilai-nilai yang diberikan orang lain untuk membangun nilai- nilai diri kita sendiri. Atau kita bisa menjadi nihilis pasif yang terus percaya pada nilai-nilai tradisional, meskipun ada keraguan tentang nilai sebenarnya dari nilai-nilai itu.

Sedang nihilis aktif menghancurkan untuk menemukan atau menciptakan sesuatu yang patut dipercaya—hanya apa yang bisa bertahan dari kehancuran yang bisa membuat kita lebih kuat. Nihilis pasif tidak ingin mengambil risiko penghancuran diri dan oleh karena itu berpegang teguh pada keamanan kepercayaan tradisional. Nietzsche berpendapat bahwa perlindungan diri seperti itu pada kenyataannya merupakan bentuk penghancuran diri yang bahkan lebih berbahaya.

Mempercayai — sesuatu yang — dapat mengarahkan pada keberadaan yang dangkal, pada penerimaan nrimo terhadap segala sesuatu yang diyakini pula oleh orang lain. Nihilis pasif lebih percaya pada sesuatu yang bahkan jika itu ternyata tidak berharga untuk dipercaya. Mereka, dalam metafora Nietzsche, mengambil risiko menatap ke dalam jurang yang tak berdasar.

Nolen Gertz, dalam “Nihilism” berpendapat bahwa nihilis pasif mematuhi moralitas, bukan karena moralitas itu sendiri, tetapi karena kepatuhan. Hidup sesuai dengan apa yang dianggap benar dan salah oleh orang lain. Nilai baik dan buruk, lebih disukai nihilis pasif daripada harus hidup tanpa standar moral. Secara pragmatis, nilai itu dapat memandu pengambilan keputusan. Standar moral menyediakan kompas, dan nihilis pasif lebih memilih hidup dengan kompas yang rusak daripada risiko merasa benar-benar hilang.

Sedang nihilisme aktif lebih cenderung menolak moralitas sama sekali. Sebaliknya, tindakan hanya dinilai berdasarkan ketentuan praktis, seperti apa yang lebih atau kurang efisien dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Karena itu, tindakan manusia tidak berbeda dengan aksi binatang atau mesin. Jika seekor hewan memakan hewan lain ketika sedang lapar adalah alamiah, maka nihilis aktif akan mengatakan tidak ada yang salah pada mereka yang mencuri dari orang lain saat mereka lapar.

Tanpa moralitas, konsep seperti pencurian, properti, atau hak dianggap murni legal. Tindakan bisa dilihat sebagai kriminal, tetapi tidak bermoral.

Contoh nihilisme aktif seperti itu dapat dilihat dalam sofis Yunani kuno, Ihrasymachus. Di Republik Plato, Ihrasymachus berpendapat bahwa “keadilan” hanyalah propaganda yang digunakan oleh yang kuat untuk menindas yang lemah dengan menggoda mereka untuk menerima penindasan seperti apa yang adil.

Menolak standar moralitas berarti mereset kompas moral. Akibatnya para penolak ini, nihilis aktif, akan menjadi minoritas. Karena itu, dalam menolak moralitas, nihilis yang aktif juga menolak komunitas. Standar moral memberi perasaan memiliki terhadap suatu komunitas. Berbagi norma dan nilai sama pentingnya dengan berbagi cara hidup seperti berbagi bahasa. Tapi nihilis pasif tidak mau mengambil risiko merasa benar-benar sendirian di dunia. Jadi, dengan menolak legitimasi moral, nihilis pasif merangkul komunitas. Jadi tidak penting bagi nihilis pasif apakah klaim moral itu benar, tetapi apakah klaim moral itu populer.

Moralitas sudah tidak penting bagi nihilis pasif, tapi mereka menghargai moralitas sebagai sarana mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Karena keinginan untuk menjadi bagian dan dibimbing lebih besar daripada keinginan untuk memiliki kepastian moral, nihilis pasif hanya peduli pada arah dan komunitas yang dapat datang dari menerima sistem moral. Nihilis pasif mendukung standar moral hanya karena standar itu diterima oleh komunitas yang ingin dimiliki nihilis pasif.

Di sinilah kemudian, kebebasan penuh perlu diraih oleh para nihilis aktif yang radikal dan sadar untuk bertindak secara ekstrimis. Memulai proyek tatanan baru tanpa adanya polisi korup, rasis dan homophobik, dan menyingkirkan nilai-nilai yang telah ditanam oleh negara serta para 'polisi' moral yang dilindungi negara. Dalam kondisi dunia seperti ini, pilihannya adalah kebebasan atau tirani, solidaritas atau penindasan, perlawanan atau kematian.

Ini mungkin tampak latihan yang mustahil di awal. Tapi perlu dicoba menaikkan level dari “All Cops All Bastard” menjadi “All Cops Must be Dead!

Membunuh Polisi di Jalanan Tidak Cukup - Kita harus mengarahkan Peluru tersebut pada Polisi yang ada di dalam pikiran kita.

Membunuh polisi di jalan tidaklah cukup, kita harus mengarahkan peluru pada polisi yang ada di dalam kepala kita. Sering kita melihat dunia sekeliling dengan perasaan bingung, penuh teka-teki, selalu gelisah. Kita menganggap diri kita sebagai cendekiawan dalam liturgi misterius, entitas tunggal yang terperangkap di dunia di luar rencana kita. Padahal, sebenarnya jauh lebih sederhana, ada hal-hal nun jauh di sana, di bawah sadar kita, sesuatu yang dapat membahayakan kita. Dan oleh karenanya, perlu

kita musnahkan segera.[1]

Permusuhan yang Absolut

UNTUK MEMULAI, kami ingin membahas masalah sederhana tapi berpotensi menjadi kontroversial—nantinya akan menjadi dasar banding kami. Pertama, polisi harus dibunuh, keluarga polisi harus dibunuh, anak-anak polisi harus dibunuh, teman-teman dan pendukung polisi harus dibunuh. Kami mengartikan hal tersebut secara material maupun immateri- al—meskipun kedua arti tersebut tidak harus berlaku untuk semua contoh di atas:[2] dalam penolakan terhadap teror kejam yang ditimpakan pada kita oleh para penjaga peradaban (baca: polisi). Kita tidak hanya akan mengha- pus mereka dari muka bumi, tetapi menuju langkah yang lebih maju lagi, bahwa kita dapat melakukan hal ekstrim yang akan menghapus wajah-wajah baru kepolisian di dalam realitas kita. Itu bisa terjadi.

Tanpa Masa Depan - Tanpa Rancangan

KAMI TIDAK akan membahas atau memberikan pertanyaan bermoral di sinis apakah pembunuhan itu benar atau salah? Apakah anak- anak polisi layak mati? Atau, lebih dramatis lagi, apakah kita akan dapat hidup setelah darah kita terus bercucuran? Kami juga tidak akan berdebat tentang alasan kenapa polisi ha- rus mati, berpolemik soal beberapa kerangka keadilan politik, atau menetapkan daftar alasan yang masuk akal mengapa segala sesuatu akan lebih baik ketika semua polisi mati.

jika kamu membaca teks ini dan mengharap- kan kami untuk memperdebatkan posisi demikian, memberikan alasan, atau menjelaskan kenapa segala hal tentang polisi adalah hal buruk, kamu mungkin akan berhenti membaca. Sebab itu klise. Akan tetapi, jika kamu mencari analisis praktis tentang bagaimana kita bisa mendekati proyek yang tak terduga soal kematian polisi, maka kamu akan menemui gapura “Selamat Datang Di Neraka.”

Selanjutnya, kami tidak akan menjawab pertanyaan tentang masa depan. Tidak akan mencoba menerka-nerka soal apa yang mungkin terjadi setelah polisi mati dan pada akhirnya polisi dengan segala institusinya ditiadakan. Kami tidak akan bermasturbasi terhadap gagasan hilangnya masyarakat madani, juga tidak menyesali potensi matinya hukum dan ketertiban. Kami tidak akan menyajikan gambaran rinci tentang masa depan yang bahkan kami sendiri tidak percaya, atau bersukacita dalam asumsi-asumsi tentang kehancuran yang besar.

Kami tidak tahu apa yang akan terjadi ketika semua polisi mati, sebab kami tidak memiliki keinginan khusus untuk mengetahui hal itu. Bisa jadi, kematian semua polisi adalah keinginan kapitalis, di mana kepolisian diinternalisasi sedemikian rupa sehingga petugas “tukang pukul tidak lagi diperlukan dan para bandar narkoba bisa berjalan sendiri ke penjara tanpa sebuah penangkapan dan pemukulan—bisa jadi kematian polisi menghancurkan seluruh paradigma realitas ini. Bagaimanapun, kami tidak peduli, kami ingin mereka mati, dan kami menginginkannya sekarang.

Demistifikasi Dalam Pendekatan

DALAM BAB INI, kita perlu untuk mendefinisikan dua poin, pertama, apa yang kita maksud dengan 'polisi'; dan kedua, apa yang kita maksud dengan "membunuh."

Kami memahami bahwa bagi kebanyakan orang—dalam lingkungan anarkis sekalipun, kata 'polisi' umumnya merujuk pada status aparatur negara yang punya daya-hasrat destruktif; seorang berseragam hijau marun yang mencoba menertibkan masyarakat, dengan tongkat bermotif, sepatu lars, gas air mata, pistol, borgol, radio area, mengendarai mobil patroli, dan tentu saja yang gemar menculik para aktivis sosial.

Secara material, yang telah disebut di atas tidaklah salah, tapi kami merasa bahwa mereka kehilangan gambaran besarnya. Bahwa 'polisi' sesungguhnya telah hidup berkelindan dalam setiap logika di setiap hubungan sosial, dan dengan begitu mudah membingkai gerakan—apapun gerakannya. “Polisi dalam terminologi ini bukanlah profesi, tetapi ia merupakan deskripsi juga narasi dari serangkaian hubungan sosial dan tindakan—kemudian menjadi metodologi bertahan hidup dan media komunikasi.

Polisi adalah kompas moral seseorang. Pedoman yang akan dilakukan orang, sedang dilakukan, dan telah dilakukan. Kemudian dapat menjadi aktivitas yang mereka lakukan. Lebih lanjut, kita perlu membedah antara Polisi dan “Petugas Polisi” atau “Kepolisian" sejauh kami merasa bahwa 'petugas polisi' mengacu pada individu-individu tertentu yang diuraikan dalam imajiner anarkis yang merupakan komponen yang terorganisir yakni “kepolisan"[3] Sementara kami percaya 'polisi' mengacu pada sesuatu yang jauh lebih luas yang akan kami uraikan sekarang.

Kami akan membahas secara singkat, pada titik mengenai etimologi. Kami merasa poin ini penting, dan melengkapi teori yang kami coba uraikan. Dalam bahasa Inggris, kata 'police' berasal dari polisi "Middle French" yang “menjaga ketertiban.” Merupakan pengembangan dari bahasa latin 'politid' yang berarti pemerintahan atau negara dan 'polis' yang berarti “kota dalam bahasa Yunani. Bagi kami, polisi bukanlah sebuah kata yang terbatas pada mereka yang ditugaskan sebagai 'petugas polisi', tetapi lebih merupakan referensi untuk pemeliharaan ketertiban dalam masyarakat.

Oleh karenanya, perluasan definisi polisi mencangkup:

Pertama, kami ingin memperluas definisi polisi dengan memasukkan dokter, bidan, dan psikolog yang secara kasar mengawasi gender dan seksualitas pada titik kelahiran, terlebih mereka yang 'menyebut nama kami'[4], yang mewawancarai kami dengan GIC,[5] yang menyebut gender kita sebagai gangguan dan yang mengawasi penciptaan identitas kita dan menentukan batasan di sana.

Kedua, kami ingin memperluas definisi polisi dengan memasukkan guru, pekerja sosial, dan orang tua, orang-orang yang mengawasi peran sosial kita, memberi tahu kita kepada kolega mereka (yang berseragam) melalui skema seperti 'mencegah'[6] dan yang menghukum para perampok ke dalam kriminalitas.[7] Ketiga, bagi pemerkosa, pelaku kekerasan, dan penyerangan terhadap kita

yang merupakan penegak informal dari hukum-hukum identitas yang ditetapkan oleh dokter, guru, dan psikolog.

Keempat, kami memperluas kepolisian untuk mengartikan "have a go heroes[8], "neighbor-hood watchers[9], dan komunitas pengadu yang membatasi kriminalitas kami dengan menciptakan jaringan 'keamanan' di seluruh lingkungan kami.

Akhirnya, kami ingin memperluas definisi polisi untuk memasukkan kawan-kawan kami, dan diri kami sendiri[10], Mereka yang mengatakan kami terlalu berbahaya, tidak akan men-jadi populer, atau disebut "tidak manusiawi"[11], bahwa kita akan berakhir di penjara, dan bahkan suara kecil di dalam kepala kita yang memberitahu agar tidak melempar molotov dalam kerusuhan.

Dengan mengatakan demikianlah kami ingin menambahkan catatan penting. Kami tidak berpikir bahwa semua polisi itu sama, walaupun kami berpikir bahwa semua polisi itu bajingan. Dengan frasa “tidak sama", yang kami maksudkan adalah perbedaan material antara efek tindakan, katakanlah anggota pasukan anti teror dan polantas di kota kecil. Dalam nada yang sama, ada perbedaan materi antara seorang guru dan seorang psikolog, atau seorang dokter dan seorang petugas polisi. Namun pada tingkat immaterial, dalam hal jejaring polisi yang menembus semua budaya kita saat ini, kami merasa hampir tidak mungkin untuk membedakan antara dampak negatif pada kriminalitas yang disebabkan oleh pekerjaan polisi dari seorang guru dan polisi yang bekerja di brigade anti-teror. Gagasan inilah yang memotivasi kami untuk memperluas definisi 'polisi.' Agen-agen polisi itu tak serupa, dan bajingan semua.

Beralih ke pemahaman kita tentang 'pembunuhan.' Kami ingin menyajikan definisi tentang apa artinya membunuh di luar batas pendekatan material murni. Kami ingin membagi pembunuhan dalam variabel-variabel lain, seperti, menembak mati seorang petugas berseragam, dan komponen lain, seperti, membunuh suara yang memberitahu kita untuk tidak melempar molotov. Kami perlu menjabarkan keduanya, antara pembunuhan material dan immaterial terhadap polisi. Kami akan mencoba untuk mengurai lebih lanjut perbedaan antara dua variasi pembunuhan tersebut dan cara kita melawan polisi—dan bahkan melawan diri sendiri— dengan berbagai perkembangan strategi.

Kami menegaskan lagi tentang pertanyaan seputar moralitas. Kami tidak mengusulkan pembunuhan material atau immaterial haruslah menjadi taktik, melainkan mengusulkan bahwa ada perbedaan setiap situasi dari masing-masing individu dan bagaimana dia menanggapinya. Oleh karena itu, kami tidak akan memperdebatkan seperti, apakah menembak diri sendiri atau gurumu merupakan sebuah bentuk perlawanan? Kami membiarkan pertanyaan ini dan membebaskanmu untuk memutuskannya sendiri. Yang jelas, kami hanya ingin memetakan secara konkret apa itu “polisi" dan bagaimana seseorang dapat memerankannya.

Namun, kami akan mengakui ini: para penulis teks ini dengan sungguh-sungguh percaya akan perlunya pembunuhan material, pembunuhan semua petugas polisi—yang bertugas ataupun yang telah purna, seorang megalomania yang ingin diakui sebagai pahlawan, dan juga pengadu.

Para penulis sendiri kurang setuju adanya pembunuhan material terhadap guru, psikolog, pengamat lingkungan, pemerkosa, pelaku kekerasan, dan orang tua. Kami lebih setuju bahwa pembunuhan immaterial adalah solusi untuk kawan-kawan, sahabat, dan diri kita sendiri. Kami mengungkapkan posisi-posisi ini karena kami merasa bahwa perlu adanya pemahaman komprehensif tentang program praktis yang sekarang akan kami uraikan, dan mempengaruhi pendekatan kami terhadap pemusnahan polisi.

Agar Tak Membodohi Diri Sendiri

"Aku ingin membunuh polisi sampai aku mati”

KATA-KATA Raul Moat terus berdengung di telinga, meronta dalam diri. Meskipun maksud Raul dalam kata-kata tersebut merujuk pada pengertian murni materi, dan lalu memberlakukan kerja polisi yang menjijikkan melalui pengejaran kekerasan gender (terhadap pasangannya sebelum dan selama masa pelariannya)[12] ; Kami berpikir bahwa sebagai tempat keberangkatan untuk meluncurkan hipotesis tentang penghapusan diri, secara otomatis wacana tentang pembunuhan polisi menjadi sangat berharga.

Dalam mengeksplorasi Raul, uraian rujukan materinya untuk membunuh polisi sampai dia mati, kami ingin mencari sesuatu yang immaterial yang mungkin bisa diutarakan lebih baik dari frasa “setelah saya membunuh polisi saya akan mati.” Orang mati yang kita rujuk di sini dapat dipandang secara kasar telah berkorelasi dengan pembunuhan yang tadi kita uraikan, tidak harus mengubur bentuk jasmani di tanah, melainkan penghancuran diri yang sebelumnya, yaitu diri yang sepenuhnya dihancurkan, dilucuti esensinya dan benar-benar dibunuh. Di sini kita berbicara tentang praktik penghapusan diri, tentang berakhirnya mimpi buruk eksistensialis[14], yang melihat pembingkaian kehidupan manusia sebagai individualis, yang pada dasarnya dan secara empiris benar “aku berpikir maka aku ada,”[15] Kami menganjurkan untuk “akhir dari diri kita sendiri”[16], hubungan sosial, dan dunia. Langkah-langkah ini adalah yang pertama dalam mengakhiri polisi dalam kepala kita. Singkatnya, kami percaya praktik pembunuhan immaterial polisi adalah kematian “diri kita sendiri."

Tidak ada manusia yang esensial, kita sepenuhnya dibangun oleh paradigma realitas di mana kita telah disosialisasikan, diproduksi, diciptakan: itu adalah jumlah total dari identitas kita yang dibangun, pengalaman kita dan interaksi kita dengan orang lain—nama yang telah kita panggil dan peran yang kita lakukan. Kemudian kita diberi sejengkal demi sejengkal pengetahuan untuk berpikir bahwa mencuri itu buruk, bahwa Allah adalah manusia di langit, bahwa ada benar dan ada salah, baik dan jahat adalah konsep netral yang melampaui kemanusiaan dan memiliki kebenaran universal.

Hal tersebut adalah kepercayaan akan sifat esensial dunia ini, pada sifat esensial manusia yang telah membawa kita pada peran individu kita sebagai polisi. Bahkan di dalam lingkungan anarkis yang mengaku menyerang hubungan sosial dan menyingkirkan pengawasan sosial, kita masih bisa melihat momok moralitas kepolisian yang sekarang muncul mengangkat kepalanya dalam argumen tentang apakah boleh mencuri sepeda atau tidak, kritik kiri tentang kekerasan memang tidak ada habisnya[17], dan membungkam trans dan/atau perempuan kulit berwarna ketika mereka melangkah melampaui batas keterlibatan sosial yang damai.

Manusia esensial dapat dikonseptualisasikan dari apa yang masyarakat sebut dengan hati nurani: konsep suara kecil yang memberi tahu bahwa apa yang kamu lakukan bisa benar atau bisa saja salah, yang memberitahumu untuk berhenti, dan yang memberi tahu bahwa kamu bisa masuk penjara. Hati nurani ini adalah polisi di dalam kepalamu. Ini bukan ciptaan universal yang melampaui kemanusiaan, melainkan penemuan manusia yang takut akan kapasitas destruktifnya sendiri, kemanusiaan yang takut akan dunia tanpa penjara, kemanusiaan yang merindukan kepemimpinan serta bimbingan dan yang yakin akan kejahatan bawaannya, tidak membayangkan atau menginginkan kehancurannya sendiri[18] Kemanusiaanlah Kemanusiaanlah yang menciptakan gender untuk memberlakukan perpecahan dan mengendalikan dirinya sendiri yang menunjuk guru untuk menyampaikan “pengetahuan" dan fisiologinya untuk mengidentifikasi penyimpangannya.

Negasi destruktif ini adalah awal dan akhir proyek, tidak ada lagi pendidikan ulang, proses penciptaan, atau setelahnya. Jika dilakukan dengan benar, tidak akan ada yang tersisa.

Kehancuran yang diperlukan untuk membunuh polisi secara immaterial, untuk membunuh kemanusiaan, agar tidak menjadi proyek individu, sementara memang benar bahwa kita dapat menghilangkan ketakutan kita sendiri, mungkin dengan memburuknya kondisi material dari komitmen nyata terhadap beberapa nihilisme yang salah tempat, bahwa kita dapat menipu diri kita sendiri dalam bertindak, bahwa kita dapat bergerak ke posisi di mana kita merasa nyaman secara material untuk melakukannya. kita bisa melakukan ini sendirian.

Kami kembali ke Raul Moat. Dalam menghilangkan rasa takutnya — dan melepaskan dirinya dari pengkondisian moral yang mengatakan kepadanya bahwa membunuh petugas polisi itu salah, dia mampu secara material menyerang kepolisian, akan tetapi dia tidak dapat melepaskan diri dari peran polisi dalam dirinya—tentang pemeliharaan konsep gendernya. Dalam kematian jasmaniah, Moat mencapai apa yang kita harapkan: penghancuran peran sebagai polisi.

Sebagai awalan yang baik, dengan adanya momen pemberontakan, atau pecahnya kerusuhan secara kolektif, kita dapat mengetahui polisi yang ada di dalam kepala dan polisi secara material adalah orang-orang berpakaian hitam yang membawa senjata penuh ancaman.

Kemampuan kita untuk bertindak dalam konteks kerusuhan jauh melampaui apa yang telah kita capai dalam tindakan klandestin sendiri atau dalam kelompok kecil. Ketika kita bertindak bersama, ketika kita secara kolektif berjuang melawan satu sama lain, “hati nurani" kita tidak lagi dikabutkan entitas eksistensial terkait apakah pembakaran mobil secara moral benar atau salah. Kita menjadi tuan rumah samar-samar yang berbagi tanggung jawab kolektif untuk pembakaran itu, tuan rumah yang jauh dari berkonsultasi moralitas bertanya, “Apa yang bisa saya lakukan selanjutnya untuk memiskinkan dunia ini?”

Kita harus membiarkan pecahnya kerusuhan menjadi satu dengan diri kita. Konkretnya itu mungkin dimulai dengan menguji batas-batasnya sendiri—dengan melanggar aturan yang diakui oleh banyak orang sudah teruji. Dibutuhkan kepercayaan diri untuk tak mendengar nilai baik dan buruk. Ini juga berarti, menjangkau teman dan kawan, mendorong satu sama lain untuk bertindak, menciptakan ruang kewajaran atas kriminalitas, dan dengan menolak untuk saling menahan satu sama lain.

Di luar diri sendiri, itu berarti mendorong dokter untuk berhenti dari pekerjaannya—dengan paksa jika perlu— atau menghancurkan hubungan sosial seperti hubungan antara orang tua dan anak, guru dan siswa. Kita tidak harus memiliki gagasan yang jelas tentang bagaimana sayap pembunuhan immaterial ini dapat diberlakukan: dan kita takut kemungkinan mengadvokasi semacam program pengurangan Maois di mana setiap orang diajari bagaimana mereka saling menjaga dan mengapa mereka harus berhenti—anggaplah lokakarya anti penindasan sebagai contoh.

Yang tidak perlu kita lakukan adalah menawarkan penciptaan yang baru untuk menggantikannya. Sama seperti penghancuran gender tidak akan dicapai melalui perluasan beragam gender trans, akhir kepolisian tidak akan terjadi melalui pemolisian perilaku satu sama lain atau mencoba untuk mendidik kembali diri kita sendiri atau orang lain. Itu sebagai program negasi destruktif total, dengan tidak ada yang ditawarkan sesudahnya. Simpulnya, kita harus menerima bahwa tidak ada solusi.

Tentu saja setiap kali kita terlibat proyek semacam itu, kita harus siap menghadapi pemberontakan yang kontra-produktit: Keabsahan — rakyat yang tertindas. Adalah kuda Troya dimana konstituen diselundupkan kembali ke dalam keamatiran pemberontakan. Ini adalah metode paling pasti untuk menggagalkan pemberontakan—metode yang bahkan tidak perlu dilawan di jalanan. Untuk mempertahankan keamatiran, kita harus mulai dengan meninggalkan legitimasi kita sendiri.[19] Kita harus selalu waspada dengan kecenderungan kita untuk menjadi polisi, kita harus terus-menerus memerangi diri kita sendiri dimana kita memberlakukan rasisme atau mencegah teman-teman kita membawa senjata.

Pun, kita perlu waspada terhadap kecenderungan — dalam diri sesama revolusioner agar tidak melahirkan kompas moral baru dalam adegan kita. Kadang-kadang ini mungkin berarti serangan materi dan kadang-kadang itu bisa berarti serangan tidak penting seperti meminta maaf karena membuat seseorang tidak ingin balas dendam.

Atas Balas Dendam Vs Pemolisian (Spontanitas Vs Strukturisasi)

KAMI INGIN menyentuh soal perbedaan antara atas balas dendam dan pemolisian. Antara yang spontanitas dan yang terstrukturisasi.

Dalam semua pembicaraan kami tentang menghancurkan moralitas, kami tidak ingin menghadirkan kritik yang menganjurkan pemerkosaan, atau transphobia dan lain sebagainya. Bagi kami ini bukan pertanyaan tentang moralitas, tetapi lebih merupakan ekspresi dari kebijakan material yang karena ingin bahasa yang lebih baik kita dapat menyebut penindasan struktural. Penindasan struktural adalah manifestasi material dari pengamanan immaterial yang melekat dalam struktur hubungan sosial kita saat ini.

Kehendak balas dendam melawan pemolisian dengan menggunakan beberapa taktik yang sama dengan pemolisian, misal dengan penculikan, secara motif tentu berbeda dari tindakan pemolisian itu sendiri. Sebab balas dendam adalah upaya spontanitas dari impuls realita yang telah hadir sebelumnya. Lantas, yang kami pahami dari pemukulan transphobia adalah munculnya ide tentang adil sejak dalam pikiran—meskipun kami berpendapat itu hanyalah serangan terhadap peran pemolisian atasnya— dan sebuah keputusasaan bagi mereka dan orang lain yang berperilaku sama di masa depan. Sementara kami percaya bahwa ini adalah proyek yang berharga dan destruktif terhadap pemolisian, kami menerima bahwa mungkin beberapa mengkonseptualisasikannya sebagai mode konstruktif yang mengawasi perilaku dalam penggunaan atas kekerasan. Lintasan ini pada kenyataannya, dapat dengan jelas diamati dalam pencurahan ideologis feminisme radikal, seperti seruan untuk membela diri yang dalam jangka panjang telah mengilhami bentuk penghancuran rasisme dan transphobia. Jelas, balas dendam merupakan struktur dari kontrol kreatif.

Namun, seperti yang dikatakan sebelumnya, kami tidak akan mengedepankan program bagaimana menyerang polisi akan mengarah pada sesuatu yang lebih baik, dan dendam kami pada gilirannya dapat menghasut orang lain untuk membalas dendam terhadap apa yang mereka lihat sebagai bentuk kepolisian dalam sudut pandang kami. Siapakah kita? Kita adalah orang-orang yang percaya pada pembunuhan kepolisian, jika serangan kita dibiarkan menjadi pemolisian, maka mungkin perlu bagi mereka untuk dimusnahkan.

Dengan demikian, kita akan membela diri kita secara material dan immaterial terhadap para pemberontak kontra yang akan membingkai keinginan destruktif kita seperti pekerjaan polisi. Mereka yang menuduh kita agar tidak mengakui peran mereka sendiri dalam penindasan struktural, dan yang menyerang kita dari platform hak istimewa mereka. Kita sudah siap untuk perang habis-habisan, selamat dari perang sosial abadi, dan kita adalah eskalator. Eskalator yang hanya memiliki dua keinginan: untuk menang atau untuk mati.

Proposal Material dan Panggilan Pemberontakan

KAMI TENTU saja akan lebih suka jika kata- kata ini disertai dengan kekuatan vital dari suatu tindakan, serangan, intensitas api dalam kegelapan, suara ledakan, putaran peluru dalam bedil.”[20]

Di bagian ini, kami ingin memberikan beberapa saran praktis tentang bagaimana seseorang dapat mempersiapkan proyek pembunuhan petugas polisi dan sekutu mereka (snitches, heroes heroin, dll). Kami tidak ingin memperlakukan pembaca kami seperti anak-anak. Kami ingin masuk ke detail tentang di mana membeli senjata— jika kamu tertarik dan kamu tidak berbasis di Amerika, kamu bisa membelinya di dalam dark web—atau bagaimana tepatnya mempersiapkan diri sendiri, tetapi kami memang ingin memberikan beberapa ide filosofis dan praktis tentang bagaimana revolusioner bisa terlibat.

Membunuh semua petugas berseragam yang ada dan tentu saja akan mengasyikkan, sulit, memuakkan, dan gembira tetapi itu tidaklah cukup. Bahkan jika setiap petugas berseragam dikerahkan secara total, kepolisian tidak akan menderita dan dapat kalah total. Seperti yang disebutkan sebelumnya, polisi adalah organisme jaringan yang semakin merambah ke penjuru dunia. Bahkan ketika kita ke pelarian baru seperti dark web, atau yang disebut 'zona otonom sementara'[21] polisi dapat menemukan cara mencari kita, lubang-lubang ini menguntungkannya.

Menghancurkan polisi tidak akan hanya mengambil pembunuhan massal, itu juga akan merusak properti massal, penghapusan data, catatan akhir pemerintahan— dan memang pemerintah itu sendiri, penghancuran tentara dan akhirnya penghancuran penyimpanan senjata negara. Ini berarti perataan setiap toko polisi, pembakaran setiap mobil patroli, pemutusan kabel serat optik bawah laut, penghancuran Google, dan penghancuran kamera pengawas. Membutuhkan upaya kolektif besar-besaran dari pemberontakan, para pejuang bersenjata, peretas, dan petugas medis yang bertindak bersama- sama secara klandestin satu sama lain menuju proyek global penghancuran total.

Lebih jauh lagi, perlu adanya pedoman bara balas dendam kolaboratif dari mereka yang telah menjadi korban dari petugas polisi. Ketika seorang polisi pensiun, orang-orang yang mereka tangkap tidak berjalan keluar dari penjara, teman-teman yang mati tidak begitu saja keluar dari kubur dan kembali ke tangan kita, trauma tidak teratasi, dan kepolisian terus mendapat untung melalui contoh material dari “para pahlawan” yang melayani keadilan. Pembunuh, pencuri, teroris masih dihukum bertahun-tahun setelah mereka tidak melakukan kriminalitas.

Keseluruhan dari proyek ini, tidak diragukan lagi akan mengadakan pelatihan pribadi dan kolektif yang intensif. Pasukan kepolisian terorganisir dengan baik, bersenjata lengkap, dan umumnya petugas yang terlatih menghabiskan setiap hari berlatih untuk potensi kekacauan dan ketakutan akan pemberontakan di atas semua hal lainnya, memusnahkan pikiran mereka sendiri. Sebagai angkatan bersenjata yang kurang baik dan bisa dibilang lebih letoy, walaupun jumlah petugas non polisi jelas melebihi jumlah polisi, kami rasa bahwa setiap pasukan yang ingin melemahkan kepolisian kemungkinan akan menjadi minoritas, perlu untuk bertindak dengan cara yang acak dan tidak dapat diprediksi. Di sini disorganisasi dapat menjadi pedoman kita, hal yang membuat kita tidak dapat diprediksi, sulit untuk ditargetkan. Serangan ISIS[22] misalnya, menunjukkan kepada kita ketidakefisienan pasukan kepolisian mana pun untuk menghadapi pasukan pemberontak yang muncul tiba-tiba dari dalam warganya sendiri dan menyerang dengan kekuatan ekstrem. Ini akan berarti tiarap, menarik perhatian sesedikit mungkin dan kemudian menyerang secepat dan seefektif mungkin sebelum menghilang menjadi mayat tak bernyawa. Singkatnya, ini berarti mempraktikkan perang gerilya yang menyebar di banyak platform.

Semua hal ini mengambil komitmen untuk pelatihan dan pembelajaran, menemukan kelompok untuk beroperasi dan mempelajari keterampilan yang paling cocok dengan metode pilihanmu. Beberapa contoh konkret dari hal ini mungkin adalah belajar seni bela diri atau cara menembak senjata, membaca manual book tentang perang gerilya atau membuat bom, mempelajari keterampilan meretas atau enkripsi atau mencoba membakar mobil polisi. Mungkin terdengar agak menakutkan, tetapi setiap hari pemberontak di seluruh dunia berpartisipasi dalam proyek semacam itu. Belajar dan berbagi pembelajaran itu melalui komunike, video dan infografik.

Kami menyadari bahwa dalam semua pembicaraan kami, kami mulai terdengar seperti revolusioner idealis yang membagikan impian yang sia-sia, ini mungkin benar, tetapi dalam bom yang melubangi tembok-tembok toko-toko polisi dari Athena hingga Addis-Abeba kita merasa ada secercah kemungkinan.

Kami Siap Berperang

KAMI TAHU bahwa pemusnahan polisi kemungkinan besar tidak akan terjadi dalam waktu dekat, tapi kami pikir mungkin bagus untuk memberi tiga trik kecil dalam upaya pemusnahan. Kami telah memilih tiga yang kami pikir cukup mudah, berpotensi kurang dikenal, dan menyebabkan kerugian materi bagi pasukan polisi atau petugas mereka.

  1. Bom waktu sederhana untuk membakar mobil polisi
    Perangkat sederhana favorit kami untuk membakar mobil polisi adalah kompor jelly etanol, sebuah wadah logam kecil abu-abu dengan jeli biru di dalamnya digunakan untuk memasak— biasanya digunakan dalam katering. Mereka relatif lambat terbakar dan tidak segera meng- hasilkan nyala api besar, memberimu waktu untuk pergi sesudahnya. Tergantung pada efek yang diinginkan, perangkat ini dapat ditempat- kan di bawah ban roda depan yang dapat men- gakibatkan kerusakan mesin, atau di atas roda belakang di bawah tangki bensin yang menyebabkan bensin memanas dan akhirnya meledak. Bom waktu ini dapat dirangkai dari kaleng bir dan lilin, dan pemantik api. Tingkat keberhasilan dalam metode ini sangat bervariasi dan perlu adanya beberapa kali uji coba untuk menyempurnakan perangkat. Dimungkinkan juga untuk secara eksklusif menggunakan pemantik api yang diatur dengan api yang tidak terlalu besar.

  2. Mengurangi udara ban yang memungkinkan kecelakaan mobil.
    Mengeluarkan udara dari ban mobil dengan membuka tutup debu ban, dan menempatkan 'mong bean', atau kerikil yang sangat kecil—dapat kamu temukan di jalan raya, atau serupa benda keras kecil di dalam tutup debu dan kemudian memasangnya kembali dengan lembut sehingga mendorong katup ban perlahan-lahan memaksa udara keluar. Jika ini dilakukan sedemikian rupa, pengemudi kendaraan tidak menyadari bahwa ban kehilangan udara. Dan, mereka pergi dengan ban dalam proses pengempesan. Akibatnya, bisa saja ban meledak saat kendaraan berada pada kecepatan tinggi.

  3. Memotong sebagian kabel rem kendaraan.
    Kebanyakan mobil, kabel rem terletak di dekat salah satu roda depan di dalam lengkungan roda. Kabel logam tipis panjang yang memu- ngkinkan kendaraan berhenti saat diperlukan. Jika ini dipotong dua pertiga hingga tiga per- empat, pengemudi kendaraan tidak mungkin tahu jika remnya sudah dalam keadaan blong, sampai mereka mengandalkan rem waktu mo- bil berkecepatan tinggi. Meningkatkan kemu- ngkinan keberhasilan memusnahkan seorang perwira polisi.

Akhirul kalam, “komunis dan anarkis (sama-sama) telah lama melindungi kita dari kebenaran, musuh bukan hanya bos kita, polisi, atau politisi, itu juga teman- teman kita, kekasih kita, dan diri kita sendiri.”

"Fight For Nothing- “Contradiction, Complicity, Exit."

[1] Neil Gaemen dalam "Only The End of Ihe World Again.” Kami mengganti kata 'makhluk hidup' dalam kutipan ini dengan kata 'entitas' agar tujuan kami tersampaikan sepenuhnya.

[2] Nanti akan kami jelaskan lebih lanjut, nanti akan kami telanjangi!

[3] Struktur negara yang merekrut petugas dan menyediakan perangkat-perangkat seperti kantor polisi, mobil, senjata, dil.

[4] "Mengumpulkan identitas bersama berarti mengulang dan menegaskan penamaan yang pada akhirnya menandai kita sebagai kriminal, sebagai pembunuh, sebagai pemerkosa. Saya menyebut penamaan adalah sebuah proses dimana kita dipisahkan sebagai yang tidak sah (tidak normal, layak mati) sementara menandai orang lain sebagai yang sah (normal, baik)." “Aktivis progresif" dan keadilan sosial gagal mengenali kekerasan penamaan. Sebagai gantinya, mereka mencoba untuk menyebut kami seperti biasa. Ini tidak mungkin. Upaya untuk melegitimasi diri kita sendiri dan bergabung dengan jajaran orang normal menyatakan bahwa ada orang lain yang tidak sah, bahwa orang lain sama sekali bukan warga negara yang baik - atau bahkan warga negara pada umumnya"- Lembaga Penelitian yang Bodoh - ' Bagaimana Cara Menghancurkan Dunia.

[5] GIC meupakan singkatan Gender Identity Clinic, meruJuk pada klinik kesehatan mental yang ada di UK yang bertujuan untuk mengobati disforia gender dan masalah lain yang berkaitan dengan kesehatan trans. Klinik identitas gender selalu mempekerjakan psikiater dan psikolog yang menjaga akses pasien ke perawatan seperti terapi penggantian hormon. http://www.nhs.uk/Livewell/ Iran-shealth/Pages/local-gendertidentityclinics.aspx

[6] 'Prevent' adalah nama yang diberikan untuk serangkaian pedoman di Inggris yang mewajibkan guru, perawat anak dan penyedia penitipan anak lainnya untuk melapor ke 'Petugas Polisi' dan otoritas lokal setiap kekhawatiran yang mereka miliki tentang 'radikalisasi' anak-anak dalam pengasuhan mereka. https://www.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/439598/prevent-duty-departmental-advice-v6.pdf%E2%80%99Prevent%40

[7] “Kriminalitas adalah tindakan material dalam dan berasal dari dirinya sendiri, tindakan mengerem hukum dan antagonisme material terhadap hukum" - Iom Nomad dan Gallus Stanig Mag “Gairah yang abadi untuk kriminalitas." Kami mengklarifikasi di sini bahwa kami tidak bermaksud bahwa guru kami mencegah kami melakukan “kejahatan” pertama kami, misalnya mengutil, tetapi mereka adalah bagian dari pengembangan kerangka kerja kepolisian yang berupaya menenangkan antagonisme material melalui ketakutan akan ketidakmungkinan atau konsekuensi. Penangkapan kemudian menjadi tindakan menargetkan krimInalitas, bukan pekerjaan menghentikan kejahatan.

[8] 'Have a go Hero' adalah bahasa Inggris British sehari-hari yang secara harfiah berarti seseorang yang mencoba menjadi pahlawan. Ini secara khusus merujuk pada mereka yang membantu Petugas Polisi dalam 'pekerjaan' penyerangan, penculikan, dan pembunuhan tetapi mereka sendiri tidak dipekerjakan oleh kepolisian. Secara klasik mereka adalah orang yang menjerumuskan Anda ke tanah dan menahan Anda di sana tepat pada saat Anda berpikir bahwa Anda telah berhasil melarikan diri dari petugas berseragam.

[9] Neigborhood watchers adalah program perwira polisi yang disponsori negara yang mendorong pemilik rumah dan “warga lokal" untuk menjadi mata dan telinga pasukan polisi resmi, untuk melaporkan kejadian dan untuk mencegah kejahatan - mereka yang terlibat kita sebut di sini pengamat lingkungan.

[10] "Tapi jika mata pemberontak kita melihat ke atas untuk menemukan jawabannya, mereka juga harus melihat ke dalam diri kita sendiri." beberapa orang barbar anti otoriter sudah berada di dalam tembok “The Veil Drops."

[11] Kami telah mendengar banyak orang kiri menyebut tindakan "manusiawi" atau “tidak manusiawi." Maksudnya, apakah tindakan tertentu tidak akan populer atau populer, banyak bentuk kriminalitas, termasuk pemusnahan polisi yang katanya "tidak manusiawi"; kami tidak peduli, sebenarnya kami melihat istilah ini sebagai bentuk polisi yang harus dimusnahkan.

[12] Raul Moat adalah orang jahat terkenal dalam imaji populer orang-orang Inggris saat ini tentang "masyarakat beradab." Seorang pria kelas pekerja dari Newcastle yang memiliki dendam terhadap petugas polisi dan industri penjara yang telah "Merusak hidupnya sendiri." Setelah mendengar bahwa mantan pacarnya sekarang berpacaran dengan seorang perwira polisi (sebuah kebohongan yang dia temukan, dia takut akan menyakitinya setelah pembebasannya dari penjara karena memukuli anggota keluarganya yang berusia sembilan tahun) kebenciannya terhadap petugas polisi meluas ke tingkat yang lebih ekstrem, provokatif, dan mengamuk selama enam hari, di mana Ia menembak mantan pacarnya, pacar barunya, dan berusaha menembak banyak petugas polisi. Kami tidak menyukai latar belakang Raul Moat yang kasar, suka kekerasan, penuh dendam, dan pelaku kekerasan patriarkal; tetapi kami tetap memuji pembunuhan materialnya dan upaya pembunuhan material terhadap petugas polisi.
Sementara tindakannya utamanya adalah pembunuhan materi, kami juga meyakini bahwa sejumlah pembunuhan Immateril terjadi, karena tidak mungkin ia menembak polisi di jalan tanpa terlebih dahulu membunuh setidaknya sebagian polisi di dalam kepalanya.

[14] Eksistensialisme adalah filosofi yang menekankan eksistensi individu, kebebasan memilih. Kami berpendapat bahwa aliran pemikiran ini, yang membuka banyak peradaban dari kecenderungan filosofis saat ini, membentuk dasar “penamaan” yang telah kami uraikan sebelumnya seperti yang dijelaskan dalam “Cara Menghancurkan Dunia." Kami percaya bahwa ini adalah batu penjuru dari proyek manusia yang diciptakan, kesibukan menuju Identitas, untuk kategorisasi yang ditegakkan dan konflik yang tak terhindarkan antara 'Penindas' dan "Penindasan." Singkatnya, eksistensialisme menyediakan kerangka kerja untuk konversi entitas yang berbeda menjadi "Manusia." Makhluk yang kemudian dapat dikategorikan menjadi mereka yang berhak mendapatkan 'perlindungan' dan mereka yang membutuhkan “kontrol": posisi ini bisa berubah-ubah dan selalu berubah, tetapi metodenya, suatu metode (yang kami namakan sebagai pemolisian) adalah proses konstan yang pertama kali menciptakan 'kehidupan' dan kemudian menguasainya.

[15] Pepatah Descartes yang secara fundamental membentuk lintasan filosofis dan politis akademia barat menunjukkan keyakinan pada 'kebenaran' yang melekat, pada kebenaran yang melekat dari manusia. Kami pikir itu harus dihapuskan dalam totalitasnya, untuk pindah ke posisi di mana pemikiran terkait dengan melakukan (misalnya, materi bertindak pada dataran materi), bukan keberadaan (keberadaan yang melampaui waktu, ruang, atau tempat).

[16] “Kami tidak mengejar 'akhir sejarah', kami mengejar akhir diri kami, dan bersama kami di akhir dunia" Fag Mob 'Every-thing's Going to Shit Anyway (why we hate you)'

[17] Kami mengamati serangan baru-baru ini dialami oleh kaum feminis kulit berwarna di Marseilles di sebuah pusat sosial gerakan kiri yang mengadakan konferensi rasis. Bagi kami, serangan itu pecah dengan logika kepolisian karena mereka menyerang hal-hal yang berusaha menenangkan, menahan, atau mengendalikan sebagian besar keinginan militan atau yang secara langsung membentengi mereka. Para anarkis dan orang-orang gerakan kiri menganggap itu sebagai tindakan kepolisian yang hina dan radikal, dari tangan yang tak berujung membunyikan pentingnya menjaga “gerakan”, dari penolakan untuk penerbitan komunike oleh kaum feminis, argumen mendasar untuk sebuah persatuan, kita semua dalam satu perjuangan (perjuangan kelas) dan pernyataan bahwa serangan itu sendiri merupakan bentuk dari kepolisian. APAAN SI LU ANJING. Dan jika siklus balas dendam tak berujung merupakan hal yang diperlukan untuk membatalkan diri yang berbahaya dan berjejaring antar milieus kita, maka tetaplah berjuang terus sampai tidak ada dari kita yang tersisa.

[18] Kami pikir Hobbes “Leviathan” merupakan contoh memilukan dari kecenderungan ini. Konsep Hobbes tentang "keadaan alamiah" di mana “Kehidupan manusia hanya kesepian belaka, miskin, jahat, kejam, pendek, dan pendek." memberinya dasar untuk berdebat tentang perlunya peradaban, kepolisian, dan kode moral untuk melindungi manusia dari keliarannya sendiri. Hobbes melihat penciptaan negara sebagai satu-satunya cara untuk 'menyelamatkan manusia' dari penghancurannya sendiri yang membara.

[19] Komite Yang Tak Terlihat - Pemberontakan yang Akan Datang. Perlu dicatat, bahwa sementara kami mengutip bagian tertentu dari teks ini, kami mendapati diri kami dalam konflik ekstrem dengan para penulisnya dan banyak pendukungnya. Di Prancis, gerakan 'Appelist' yang dibuat dan penulis teks ini adalah bentuk terorganisir dari Trotskyisme insurectional yang memberlakukan pemolisian sosial (terutama di sepanjang garis ras dan gender) dan upaya untuk membangun bentuk memuakkan dari sosial yang bersatu gerakan yang tidak secara otomatis mengkritik, memusnahkan diri sendiri, atau bekerja menuju penghapusan kepolisian yang tidak material.

[20] 'Solidaritas: Retaknya waktu dalam Penangkaran' Para Anggota Sel Konspirasi Api - FAI/IRF Michalis Nikolopoulos, Harris Chatzimichelakis, Damiano Bolano, George Nikolopouslos, Panagiotis Argyrou Theofilos Mavropoulos.

[21] Lihat Hakim Bey "Zona Otonomi Sementara, Anarki Ontologis, Terorisme Puitis” "TAZ seperti pemberontakan yang tidak berhubungan langsung dengan Negara, operasi gerilya yang membebaskan suatu wilayah (tanah, waktu, Imajinasi) dan kemudian larut sendiri untuk membentuk kembali di tempat lain/saat lain.” Beberapa penulis (John Holloway misalnya) berpendapat bahwa zona ini adalah ruang dari mana dunia baru akan mekar menunjuk ke contoh-contoh seperti wilayah yang dikontrol Zapatista atau Christiania di Denmark. Kami tidak yakin, kami telah melihat bagaimana kapitalisme mengubah pecahan-pecahan ini menjadi bentuk baru kapitalisme butik melalui penjualan kopi Zapatista di Pusat Sosial Anarkis atau produksi massal “Christiania Bike' untuk perusahaan kurir.

[22] Yang kami rujuk di sini sejumlah besar serangan yang dilakukan di seluruh Eropa dan di luar dijuluki oleh kekaisaran seperti yang dilakukan oleh Negara Islam di Irak dan Suriah. Secara khusus, kita berbicara tentang serangan seperti pembunuhan penulis majalah Charlie Hebdo dan polisi yang menjaga mereka. Kami mengatakan 'panggilan' karena serangan yang kami sebutkan, tidak semua menyebut diri mereka 'ISIS' atau diklaim oleh organisasi dan bagaimanapun nama ini adalah salah satu kerajaan yang telah dipilih untuk mencakup 'Yang lain', 'Teroris', 'Ekstremis', dll. Pada saat yang sama, kami ingin menjelaskan, kami tidak mendukung organisasi yang menyebut dirinya Daesh / ISIS sejauh kami percaya politik-politik yang dinyatakannya bertentangan dengan tujuan pemusnahan polisi, misalnya kebencian terhadap wanita dan kenegaraan.
Apa yang ingin kami jelaskan di sini adalah efektivitas serangan strategis tertentu, seperti serangan terhadap Charlie Hebdo, di mana pasukan kecil mampu membuat materi besar dan bahkan lebih besar konsekuensi immaterial pada dunia.