Berada di antara massa yang ramai memang terkadang memberikan sebuah ilusi tentang kekuatan, maupun kemenangan. Massa yang besar memang memberi dukungan psikologis yang besar bahwa kita mewakili atau terwakilkan, dan ide-ide kita didukung oleh banyak orang. Tentu saja kondisi seperti itu memberi kita dorongan moral yang besar.

Namun, sekali lagi, kita harus mempertanyakan beberapa hal pokok mengenai massa, atau lebih tepatnya gerombolan. Apakah dukungan dalam bentuk massa yang besar merupakan dukungan kritis? Apakah tiap-tiap orang yang berada dalam lautan massa tersebut sadar tentang apa yang sedang mereka jalani? Siapakah yang memegang kendali terhadap kekuatan massa yang besar tersebut?

Dan, kemudian, kita harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan di atas dalam konteks fenomena adanya koalisi pelangi (koalisi antara kelompok-kelompok gerakan dari berbagai spektrum ideologi), baik di Jakarta maupun di daerah-daerah seperti di Yogyakarta, Bandung, Medan, Surabaya atau kota-kota lainnya, yang dimotori justru oleh kelompok-kelompok yang selama ini biasa dikategorikan sebagai gerakan kiri (karena dalam propagandanya sering menggunakan slogan-slogan yang memperjuangkan hak-hak rakyat yang miskin dan tertindas)—sebuah koalisi yang bertujuan untuk menggulingkan rezim.

Mengumpulkan sebanyak-banyaknya massa memang merupakan kegemaran orang-orang yang senang berkuasa. Mereka adalah para elit yang sangat senang bila bisa memegang kendali atas orang lain yang banyak jumlahnya.

Partai-partai politik besar memiliki massa yang siap mereka komando. Massa mengambang yang, layaknya ternak, bisa digiring ke mana saja oleh sang penggembala—para pemimpin dan elit politik. Dan tentu saja hanya orang paling sintinglah yang bisa menyatakan bahwa massa yang besar dapat memajukan perjuangan progresif revolusioner. Massa mengambang ooh… massa mengambang…. Ia hanya bisa mengantarkan kita kepada pergantian kekuasaan, pergantian tuan-tuan. Nyonya Besar Mega digantikan Tuan Amin! [1]

Apakah gerakan yang punya visi masyarakat tanpa kelas harus puas dengan sekadar pergantian tuan-tuan? Di mana selama ada tuan, memang pasti harus ada yang jadi budaknya?


Paradigma Pemberdayaan

Sejenak, coba kendalikan birahi anda yang menggelegak ketika melihat lautan massa. Pilihan kita adalah memilih pemimpin sang maha tahu dengan pengikut yang besar jumlahnya, dengan konsekuensi pemimpin tersebut secara otomatis punya lebih banyak hak daripada yang dibawahinya! Mungkin anda memang puas dibawahi, ditindas, atau mungkin anda sendiri berada pada posisi sang pemimpin yang sedang berjuang agar hak-hak istimewa anda bisa bertahan.

Tapi, jika pilihan kita adalah memperjuangkan keadilan, kesetaraan dan kebebasan dari penindasan, tentunya kita harus punya paradigma yang berbeda dengan paradigma di atas. Perjuangan untuk sebuah tatanan yang berkeadilan dan bebas dari segala penindasan mensyaratkan bahwa proses perjuangan pun harus dilakukan dalam semangat demikian.

Revolusi sosial bukanlah suatu ledakan spontan yang dapat direkayasa oleh segelintir pemimpin. Revolusi membutuhkan tumbuhnya kesadaran tiap-tiap individu dalam masyarakat; sebuah kesadaran yang memungkinkan tiap-tiap orang untuk mempunyai kapasitas dalam berproses membuat keputusan untuk dirinya sendiri dan untuk kepentingan bersama. Tidak ada revolusi sosial tanpa revolusi kesadaran tiap-tiap pelakunya. Kesadaran pada tiap-tiap individu yang akan memimpin individu-individu tersebut untuk membuat keputusan-keputusan bersama secara sadar; kesadaran untuk waspada terhadap potensi-potensi penindasan; kesadaran akan hak dan tanggung jawab masing-masing individu dalam masyarakat bebas yang berkeadilan.

Kita tidak bisa bermimpi bahwa cara-cara elitis, pengerahan massa mengambang, akan dapat mencapai tujuan masyarakat yang bebas dan berkeadilan. Kita tidak bisa berharap bahwa elit-elit dapat memberdayakan massanya.

Pemberdayaan merupakan sebuah proses. Dan setiap tahap pemberdayaan individual untuk memilih kesadarannya merupakan bagian yang tidak terelakkan dari sebuah revolusi sosial. Kita harus memiliki keberanian untuk memulai proses revolusi itu pada diri kita dan organisasi kita. Kita harus mulai mengembangkan dan menerapkan cara-cara pengorganisiran yang memberdayakan tiap-tiap dari kita.

Dalam organisasi perjuangan kita, kita harus mulai memupuk kesadaran riil, pemberdayaan riil. Kita harus mengelola organisasi sedemikian rupa sehingga tiap-tiap anggotanya punya kesempatan yang setara dalam pengambilan keputusan, mengembangkan metode-metode pengambilan keputusan secara demokratis. Organisasi perjuangan kita harus meniadakan karakter-karakter elitis dan hirarkis.

Organisasi kita sebagai sebuah organisasi revolusioner bukanlah organisasi yang berorientasi pada perebutan kekuasaan; organisasi kita seharusnya memecah-belah kekuasaan dan mendistribusikannya pada tiap-tiap individu—dengan cara inilah kita menghindari adanya konsentrasi kekuasaan yang merupakan akar dari segala penindasan.

Organisasi kita bukanlah mesin yang bisa digerakkan oleh segelintir elit hanya untuk pergantian rezim! Kekuatan revolusioner bukanlah energi yang dapat dikendalikan berdasarkan kemauan segelintir elit!

Perjuangan revolusioner haruslah konsisten untuk tidak memberikan legitimasi bagi kekuasaan elitis. Seluruh aspek perjuangan harus konsisten mengupayakan delegitimasi kekuasaan elit, setiap tahap perjuangan harus konsisten memecah-belah kekuasaan dan mendistribusikan kepingan-kepingan kekuasaan seluas-luasnya.

Penggulingan sebuah rezim elitis untuk kemudian digantikan dengan rezim elitis lainnya bukanlah perjuangan revolusioner. Diperlukan lebih banyak variasi lagi untuk menghancurkan kekuasaan yang tersentral: untuk hidup yang lebih bergairah!

[1] ini hanyalah salah satu contoh saja. Tentu saja dalam kenyataannya, pemimpin terus menerus berganti dengan berbagai jenis wajah. Tapi tak ada satu pun yang membuat hidup kita berubah menjadi lebih indah.