Aku ingin berbagi tentang pengalamanku membentuk kolektif tani beberapa waktu lalu. Banyak orang mengira aku hebat banget bisa membuat kolektif, padahal aslinya nggak, gaes… Aku ingin membagikan yang sebenar-benarnya terjadi. Barangkali bisa buat pembelajaran bersama atau memberikan wawasan baru.

Dimulai pada bulan Maret tahun 2020. Saat itu aku di-PHK setelah menggugat perusahaan tempatku bekerja. Aku sudah mengira bakal di-PHK waktu itu jadi aku sudah mempersiapkan uang pegangan dan membuat rencana-rencana kalau aku diberhentikan. Awalnya aku dan teman-teman berniat membuat serikat buruh restoran, tapi karena pandemi dan Omnibus Law disahkan akhirnya rencana tersebut batal. Lalu aku pun membuka warung kopi. Teman-temanku sering datang, ngobrol, bikin agenda workshop, dan bikin Food Not Bomb. Saat itu kita banyak membicarakan tentang bagaimana caranya agar kita punya ruang untuk belajar dan membangun kesadaran bersama-sama. Tapi karena pandemi dan PSBB ruang gerak kami pun akhirnya menjadi sangat terbatas.

Pandemi dan tinggal di area warkop membuatku jadi semakin sadar betapa rentannya hidupku sebagai kaum miskin kota. Untuk masalah air saja aku kesulitan akses. Air mandi PDAM di area warkopku itu harganya Rp 10.000,-/m3. Kotor, nggak layak minum, dan sebenarnya nggak layak juga buat mandi. Untuk minum dan masak, aku harus beli air isi ulang. Karena pandemi, warkop jadi sepi. Aku mulai ketar-ketir. Untuk memenuhi kebutuhan air saja pengeluaranku sudah banyak. Aku mulai sadar, bajingan, air hujan gratis tapi buat mandi dan minum aku harus beli. Bahkan walau aku punya uang pun, semisal korporat bersangkutan nggak mau jual air ke aku, aku tidak bisa mendapat akses air layak pakai. Itulah guncangan pertama yang menyadarkanku mengenai kerentanan hidupku di kota. Yang berikutnya adalah ketika melihat orang-orang panic buying selama pandemi. Gila betul hidup ini, hal-hal dasar seperti makan dan minum saja aku ketergantungan banget sama korporat dan negara. Aku menemukan fakta bahwa kita tidak punya kedaulatan. Bagaimana mau melawan kalau hidup dan mati kita digantungkan ke tangan mereka. Kita tidak bisa memenuhi kebutuhan kita sendiri. Bagaimana mau memerdekakan diri kalau dari hal paling pokok saja sudah dikontrol oleh orang lain.

Aku sendiri sudah sadar mengenai keadaanku sejak tahun 2017, tapi baru berani bergerak pada tahun 2019. Itupun setelah aku sudah muak banget dan sudah merasa bodo amat kalau memang harus mati hari ini. Toh kalau terus dijalani pun pekerjaanku telah membuatku tidak benar-benar hidup. Selama bekerja juga sebenarnya aku sudah sadar bahwa buruh selain tidak sadar mengenai apa yang mereka alami, kebanyakan dari mereka juga sebenarnya tidak punya pilihan lain selain bekerja. Buruh memang tidak cukup hanya punya modal kesadaran untuk melawan.

Waktu itu aku pun berpikir kalau mau buat serikat pekerja yang mengerjakan zine, kelas-kelas, atau pendampingan kasus via jalur litigasi atau non-litigasi sepertinya bakal makin sulit pasca Omnibus Law disahkan. Akhirnya aku memutuskan untuk membuat situasi dan lingkungan yang bisa menunjang kesadaran buruh dulu. Itu mungkin bisa kulakukan.

Pertama kita harus punya kedaulatan. Punya alternatif ekonomi, alternatif pendidikan, supaya kesadaran-kesadaran itu dibarengi dengan rasa aman karena tersedia jalan lain untuk menyambung hidup selain menjadi buruh yang harus menerima ditindas dan dihisap terus menerus. Dari titik itu aku berpikir dari mana kita mau memulai kedaulatan itu. Akhirnya aku dapat ide untuk bertani, sebab paling tidak aku dapat berdaulat atas isi piringku sendiri. Kebetulan ada tanah keluargaku yang nganggur begitu saja di desa. Aku anak petani yang tidak lagi bertani. Aku tidak mengerti cara bertani sama sekali. Keluargaku juga sudah lama tidak menggarap sawah, kami semua merantau dan mencari penghidupan di kota. Di kota kami pontang panting cari makan dan seringkali kelaparan. Ironis ya, tapi begitulah keadaannya.

Karena aku sendiri tidak mengerti cara bertani, akhirnya muncullah ide untuk melakukannya secara berkolektif. Barangkali ada teman-teman lain yang memiliki keresahan yang sama. Waktu itu aku tidak punya bayangan sama sekali akan jadi apa, akan buat kegiatan apa. Aku cuma punya cita-cita: kita harus mulai memperjuangkan kedaulatan diri dulu. Waktu itu sudah berpikir muluk-muluk, wah nanti kita tidak boleh memaksakan kehendak anggota, nanti kerjanya harus menekankan pada kesukarelaan anggota, tidak boleh saling menindas,… padahal aku sendiri belum mengerti untuk mencapai itu harus bagaimana, pendekatannya harus seperti apa. Aku tidak punya pengalaman berorganisasi. Selama 9 tahun merantau bekerja, aku terisolasi dari lingkungan lain selain tempat kerja. Aku bisa punya teman ya baru belakangan ini saja, sebelumnya boro-boro…hidupku sebagian besar habis di tempat kerja dan di jalan. Pulang ke kos hanya untuk menumpang tidur. Aku lebih banyak sendiri. Interaksiku sama manusia lain ya formalitas saja di tempat kerja. Jadi waktu itu aku hanya modal angan-angan mau bangun kolektif tanpa punya kemampuan dasar pengorganisasian dan pertanian, plus keuangan yang minim juga. Asli aku gur modal takok ronorene.

Awalnya aku menghubungi abang-abangan aktivis via media sosial, aku menawarkan tanah keluargaku, barangkali beliau mau menggarap bareng. Tidak direspon. Aku sampai galau, kepikiran terus tentang ide ini tapi kok tidak ketemu-ketemu jalan. Akhirnya aku mencoba menghubungi Black Farm Municipal (@tanihitam) dan mengutarakan keresahanku. Alhamdulilah direspon dan disambungkan ke Sekolah Tani Muda (@Sektimuda). Waktu awal-awal itu aku pulang pergi Gresik-Solo naik motor seminggu sekali untuk menemui perwakilan Sektimuda yang melihat kondisi lahanku. Setelahnya aku menemui keluargaku, aku minta restu ibuku biar afdol. Alhamdulillah, ibu sangat mendukung.

Tanahku sudah dibiarkan begitu saja selama 3 tahun. Sedih karena kami bersaudara sudah tidak ada yang mau jadi petani. Akhirnya makan beli, semuanya beli. Ibuku juga prihatin akan hal ini. Makanya waktu aku memberitahu ibu mengenai rencanaku, beliau sangat mendukung sampai ikut menabung untuk membantuku, padahal ibu tidak paham apa itu kolektif-kolektif itu. Jangankan ibu, aku aja aslinya nggak paham. Yah… aku mikir sederhana banget pokoknya tanahnya digarap bersama dan hasilnya dinikmati bersama. Bagaimana nanti aturannya tidak tahu, belum terpikir. Sebenarnya Sektimuda sudah memberikan wejangan, karena mereka sudah terlebih dahulu jalan di bidang pendidikan pertanian, tapi aku ini lemot alias slow learner jadi waktu diberi informasi itu aku belum benar-benar paham. Walaupun belum seberapa paham, aku grusa grusu ngegas aja karena ingin cepat-cepat memulai, tidak berpikir panjang. Pokoknya mulai dulu, titik. Rasa terburu-buru ini juga muncul karena aku masih punya pegangan uang hasil gugatanku ketika di-PHK. Meskipun sedikit uangnya bisa kupakai untuk modal mendirikan kolektif tani ini. Kalau uang itu keburu habis aku pasti semakin tidak berani pulang ke desa dan memulai proyek ini.

Dengan modal nekad itu aku akhirnya merekrut anggota-anggota. Ada 45 orang yang mendaftar, namun yang datang ke rumahku hanya 20 orang. Mereka datang satu persatu, tidak sekaligus. Bahkan setelah beberapa orang datang kita masih belum tahu harus bagaimana, mereka juga sama tidak tahunya. Kita hanya bersepakat saja pada nilai-nilai tertentu, tapi sama-sama tidak tahu bagaimana caranya mencapai ke situ.

Untuk modal awal kolektif kita menggalang dana dengan berjualan kaos. Hasil penjualannya dipakai untuk modal tanam dan makan minum harian. Ada juga teman-teman dari jauh yang memberikan bantuan dana. Dari berjualan dan bantuan dana kita mengumpulkan uang kurang lebih 5 juta. Awalnya kita seperti anti membahas persoalan jadwal, jam kerja, pembagian kerja, bagi hasil, dan sebagainya. Beberapa anggota adalah anak-anak “anarko” yang kalau diajak rembug membahas rencana dan bagi hasil jawabannya selalu “jangan terlalu kaku kayak perusahaan, udah, sesuai kemauan individu aja”. Bahkan ada yang berkata, “ngapain sih harus mikirin hasil duit, emang harus banget ya hasilnya duit?”. Ada juga yang tidak setuju ternak kambing karena merasa bertentangan sama asas anti-penghisapan. Dia merasa kasihan dan tidak tega masak kita hidup dengan menghisap nilai lebih dari kambing, wkwkwk…

Masalah-masalah pun bermunculan, kita mencari jalan tengah dari beberapa kepala yang berkumpul dan berupaya membentuk hidup berkelompok untuk pertama kalinya. Itu baru masalah kesepakatan, belum lagi masalah uang, makan, rebutan kamar mandi, diganggu demit dan Kamitetep (ngengat yang dapat membuat iritasi kulit). Dalam rapat-rapat itu kita mencari kesepakatan mengenai jadwal, target, dan bagi-bagi pekerjaan. Tapi pada kenyataannya, jadwal dan target sering molor. Tidak ada komitmen soal jadwal. Ada yang lebih rajin bekerja dibanding yang lain. Ada yang malas dan bener-bener males! alias hidup oportunis ketergantungan sama teman-temannya. Baru kali ini aku melihat yang begitu. Aku juga merasakan rasanya kerja sama dengan mas-mas aktivis ndlogog yang hobi bermalas-malasan, urunan makan dia tidak ikut karena tidak ada uang, rokok minta, dan tidak mengerjakan agenda yang telah kita setujui bersama. Jangankan revolusi, bangun pagi saja tidak bisa. Kontol ancene. Fafifu soal sumber daya terbatas sih pintar, tapi kelakuannya benalu banget. Mungkin salahnya kita adalah karena kita tidak membuat aturan kelompok yang jelas. Kita hanya tinggal bersama berharap setiap individu punya kesadaran diri dan bertenggang rasa masing-masing. Aku pun sebagai tuan rumah suka merasa nggak enakan. Ini perlu dicatat, kita tidak boleh nggak enakan di gerakan sosial.

Penggarapan lahan juga kita lakukan pelan-pelan. Ada banyak miskomunikasi karena kita mengerjakan lahan tanpa pendampingan langsung dari yang sudah mahir. Guru kita mengajari lewat Whatsapp dan kita semua awam di bidang pertanian. Kita mengerjakan hanya apa yang kita tahu, akhirnya pekerjaan tidak efektif, molor dari target, dan kita pun kelelahan. Pekerjaan di lahan tidak selesai-selesai, bahkan untuk membersihkan rumput saja bisa habis waktu berbulan-bulan. Uang mulai habis untuk makan sehari-hari, pencatatan keuangan tidak bagus (hanya laporan via Whatsapp). Ini yang kami sesalkan. Ternyata kita itu memang tidak boleh anti-anti banget sama kapitalisme. Kita melawan corak produksinya yang menindas dan menghisap, tapi kita harus meniru bagaimana mereka bisa mempertahankan sistem itu sekian lama. Apalagi kita mau menandingi sistem yang begitu besar dan kokoh. Tidak mungkin bermalas-malasan membuat itu tercapai. Kita-kita yang menginginkan perubahan harus siap kerja keras, tahan banting, dan memiliki mental baja untuk mempertahankan prinsip.

Anti-kapitalisme bukan berarti lalu kita tidak perlu capek, hanya leha-leha dan tiba-tiba semua tersaji. Kita mesti meniru etos kerja mereka yang lebih kuat. Kita tetap harus kerja seperti biasa, bedanya adalah kita harus meninggalkan pola eksploitasi yg ada di kapitalisme. Kita mesti rapi dalam pencatatan dan perencanaan agar usaha kita lebih teratur, lebih efektif, dan ada team building. Contohnya, anggota kolektif kita kemarin kan semuanya orang-orang yang baru saling kenal, tapi kita tidak mengadakan ospek/perkenalan dulu, haha… langsung gasss. Datang, kenalan sebentar, kerja… Akhirnya tidak ada bonding.

Ada PR besar di kolektif-kolektif progresif untuk menciptakan ritme kerja yang bagus, adil dan berjalan. Karena kalau hanya mengedepankan kesukarelaan ternyata jadinya tidak adil kalau yang satu kerja terus sementara yang lain absen terus. Kaitannya dengan nanti bagaimana bagi hasilnya dan lain sebagainya. Idealnya, semua modal kerja dibahas dari awal–berapa anggaran untuk sewa lahan, berapa anggaran untuk proses olah lahan, berapa harga layak untuk upah kerja di lahan, berapa perkiraan hasil, sehingga kita bisa tahu berapa harga layaknya komoditas ini biar pengeluaran-pengeluaran ini tertutupi. Jika akhirnya ada anggota yang mengambil upah seperlunya atau tidak mengambil upah sama sekali, itu urusan lain. Hitungan pembagian hasil tetap harus dihitung terlebih dulu setiap detail anggarannya. Tapi hal ini tidak kita lakukan di kolektif kemarin karena kita belum berpikir sampai situ. Diskusi kita juga kurang berkualitas, waktu rapat ada yang responnya “iya-iya” saja tapi ternyata keesokan harinya menggerutu dan tidak ketemu jalan keluar masalahnya. Sedih sih, soalnya setiap anggota sudah berkorban datang ke sini dari jauh.

Sampai sekarang aku masih merasa bersalah karena merasa kolektif kemarin tidak menghasilkan apa-apa. Tumbuhan yang ditanam juga hasilnya jelek, kasihan teman-teman yang sudah berusaha datang dari jauh. Walaupun kita selalu bisa memetik hikmah dari segala sesuatu, tetap saja aku masih merasa ada beban karena hasilnya tidak maksimal.

Ada masalah yang berulang terus bukan hanya di kolektif ini, tapi juga di banyak kolektif lain. Kalau di kolektif kita ini–kolektif tani, banyak orang yang mau bergabung justru dari luar daerah. Warga lokalnya malah tidak mau ikut. Hal ini sebenarnya kurang sustainable. Kolektif ini pun akhirnya cuma berjalan satu musim tanam dan selanjutnya bubar. Aku sudah berusaha merekrut warga lokal tapi tidak ada yang berminat. Mungkin karena aku juga sudah lama merantau, perempuan, jarang nongkrong, jarang silaturahmi. Jujur aku sendiri sebenarnya orangnya introvert jadi memang tidak punya teman. Memang ada bagusnya juga kalau ada anggota dari daerah-daerah lain bergabung. Banyak teman-teman dari kota lain yang tidak punya akses ke lahan dan ilmu tertentu jadi bisa ikut belajar. Tapi setelahnya mereka akan kembali ke daerahnya masing-masing, jadi kurang sustain untuk di lokal sini.

Sebenarnya ada jalan pintas agar warga lokal mau bergabung. Caranya mesti oportunis, menempel perangkat desa yang sarat konflik kepentingan, menempel gondes sekitar biar mengerahkan pasukannya buat datang dan bergabung sama kita. Awalnya kan niat gerakan ini bersifat inklusif, tetapi akhirnya yang bergabung kebanyakan hanya dari golongan kita sendiri.

Selain masalah-masalah di atas, aku juga mengakui bahwa sifatku yang altruis ternyata merugikan gerakan. Aku sering kelaparan, jadi ketika ada anggota yang tinggal di rumah, aku tidak bisa membiarkan mereka sampai kurang makan. Tidak tega… Lalu aku jadi banyak memikirkan semuanya sendiri. Ketika mereka tidak bekerja pun akhirnya aku yang mengerjakan sendiri. Masak dan ke sawah akhirnya aku lakukan sendiri. Aku tidak tegas. Setelah dipikir-pikir, untuk bisa menghidupi suatu kolektif kita tidak boleh begitu. Egoisme bakal merusak gerakan, ternyata altruisme juga. Kita mesti demokratis, kekeluargaan, dan mandiri. Kalau di kolektif, masalah harus diselesaikan bersama-sama. Jangan semuanya ditanggung sendiri. Simpel tapi kadang susah dilakukan. Karena aku terlalu sering menutupi kebutuhan kolektif dari kantong sendiri akhirnya aku harus berhutang juga. Yah tidak apa, ini pengalamanku pertama kalinya, ternyata punya cicilan itu rasanya cukup menyebalkan.

Sebenarnya kolektif kemarin tidak gagal-gagal amat sih. Sebelum benar-benar bubar ke rumah masing-masing kita sempat mengadakan workshop yang lumayan seru. Dari situ terbuka jaringan pertemanan dan kita jadi bertemu teman-teman seperjuangan lain.

Sekarang aku harus kembali ke Gresik. Selain kepepet perlu uang untuk bayar cicilan hutang, ada alasan personal lain yang membuat aku tidak bisa terus menetap di desa. Saat ini aku belum mulai bertani lagi, tapi sedang berusaha ke arah sana. Sekarang aku sangat sibuk jualan dan suamiku ngojek online. Sesekali kita masih menyempatkan waktu berbenah-benah kebun karena kita mau buat kebun permakultur di sini. Sebenarnya kita ingin sekali bisa fokus kerja di lahan tapi ada rasa tidak tenang kalau tidak pegang uang sama sekali. Jadi ya pelan-pelan, karena kami sadar kami tidak punya banyak privilege. Kami lakukan sebisanya, yang penting gerak terus tidak berhenti.

Semoga kita tidak kapok ya jungkir balik menghidupi gerakan. Memang tidak selamanya pengalamannya indah, tapi kalau memang harus dilakukan ya ayo dilakukan. Barangkali memang ada hasilnya walaupun tidak terlihat sekarang.