Juan Lee

Arus Sejarah

Militerisme dan proteksionisme

29 April 2025

Penguatan militerisme di Indonesia sudah dianalisa dengan komprehensif, tapi belum dijelaskan. Kenapa akumulasi kapital membutuhkan penguatan militerisme pada titik ini dan terus merosot menuju fasisme? Tentu kita ketahui kekerasan militer atas buruh dan tani diperlukan untuk menciptakan kelas-kelas pekerja yang disiplin, taat pada atasan, terceraikan dari sejarah perjuangan kelas, dan hidup dalam ketakutan. Alasan tersebut berlaku umum bagi kapitalisme dan negara dalam segala tahap perkembangannya; ia gagal menjelaskan perkembangan militerisme dan fasisme di Indonesia.

Pemahaman diperlukan untuk memperkirakan perkembangan selanjutnya dan menetapkan titik perjuangan strategis dalam perang kelas. Dalam tulisanku untuk YPKP65 pada Oktober 2023, aku sudah menyatakan “fasisme di Indonesia sedang bangkit” dan “kemunculan neo-Orba tampak tak terhentikan”, sementara beberapa dokumen internal sejak April 2023 sudah mengidentifikasi fenomena yang sekarang menjadi darah dan daging.

Pustaka Catut dalam tulisannya menyebut tiga alasan: “kelebihan” pati dan kolonel; kegagalan Reformasi untuk mengadili faksi Soeharto; dan kegagalannya untuk membubarkan komando teritorial. Sebagai catatan, membengkaknya jumlah pekerja kenegaraan sudah menjadi masalah anggaran dan birokratik sejak revolusi Indonesia dan kabinet Soekarno, dengan penyerapan tentara ke institusi sipil. Dari fase tersebut, kita memetik pelajaran bahwa perkembangan industri dalam negara terbelakang memerlukan negara otoriter untuk membangun tenaga produktif, karena lemah dan kecilnya burjuis nasional. Pengalaman Uni Soviet, Ghana, Tiongkok, dan berbagai negara terbelakang lainnya membuktikan fenomena serupa, sementara India menjadi demokrasi liberal berkat lebih terkembangnya burjuis nasional mereka. Selengkapnya aku membahas ini dalam “Fasisme di Indonesia”. Aku juga mencatat dalam tulisan itu genealogi nama Gerindra, yang datang dari pergerakan fasis di Indonesia.

Kegagalan Reformasi dan terutama gerakan revolusioner pada 1998 memang berpengaruh penting dalam mempermudah pertumbuhan militerisme sekarang. Kegagalan tersebut juga menjelaskan keberlangsungan faksi Soeharto. Tapi ia tidak menjelaskan mengapa militerisme memperkuat dirinya pada periode sejarah ini dan dengan kecenderungan fasis.

Untuk memahami perkembangan ekonomi politik di Indonesia, kita perlu memahami pergerakan sejarah secara internasional. Keuntungan kolonial Amerika Serikat terancam dengan majunya tenaga produktif di Tiongkok; secara umum keuntungan kolonialisme terancam dengan majunya tenaga produktif di koloni. Neokolonialisme menghasilkan ketimpangan bukan dengan eksploitasi nilai tambah melalui okupasi koloni, namun dengan perdagangan timpang yang dimungkinkan tata kelola perdagangan pasca perang dunia kedua. Perdagangan timpang datang dari perbedaan komposisi organik kapital antara negara.

Andaikan negara A memiliki komposisi organik kapital sebesar dua kali lipat negara B; dalam kata lain, rasio kapital konstan per kapital variabel di negara A dua kali lipat negara B. Tingkat eksploitasi nilai tambah di negara A alhasil dua kali lipat lebih kecil dibandingkan B. Untuk menghasilkan komoditas, negara A memerlukan total nilai yang lebih rendah dari harga pasar. Contohnya, misalkan A menghasilkan baterai nikel sementara B menghasilkan nikel mentah, dan keduanya bertukar komoditas. Negara B tidak memiliki kapasitas teknologi untuk memproduksi baterai nikel; sejarahnya sebagai koloni, dimana perkembangan industri dan sains tertekan secara artifisial untuk kepentingan kapitalis di negara A, terus mempengaruhi hidupnya sekarang.

Sektor Nilai Nilai dagang Perdagangan timpang
A 120C + 60V + 60S = 240 255 +15
B 90C + 90V + 90S = 270 255 -15

Relasi perdagangan dunia dirumitkan dengan tumbuhnya monopoli, bencana alam, adanya lebih dari dua negara, dan seterusnya. Contoh di atas bukan ditujukan sebagai model, namun isolasi hubungan ketimpangan perdagangan untuk tujuan ilustrasi.

Tingkat perdagangan timpang sejak perang dunia kedua telah jatuh seiring lebih cepat meningkatnya komposisi organik kapital di negara koloni ketimbang negara kolonial. Fenomena ini tampak dari lebih cepat jatuhnya tingkat keberuntungan di negara koloni ketimbang negara kolonial, sekitar 32% di negara koloni dibandingkan dengan 20% di negara kolonial sejak 1950:

Figure 1 Tingkat keberuntungan di negara kolonial (IC) dan negara koloni (DC), dari Carchedi dan Roberts (2021).

Kita mengetahui sejak Marx bahwa tingkat keberuntungan kapital memiliki tendensi mutlak untuk jatuh seiring perkembangan komposisi organik kapital. Jatuhnya tingkat keberuntungan menjadi penanda krisis ekonomi politik dan menurunnya akumulasi kapital, yang tidak diinginkan kelas kapitalis. Maka ada kontradiksi antara perkembangan tenaga produktif dan kepentingan kelas kapitalis pada titik tertentu dalam akumulasi kapital. Kelas kapitalis di negara kolonial justru terdorong untuk menghambat perkembangan tenaga produktif di negara koloni. Contohnya, deindustrialisasi sektor kapas di India melalui kebijakan proteksionis Inggris dan upaya Eropa untuk menghentikan hilirisasi nikel di Indonesia melalui mekanisme WTO. Pada dasarnya, perang dagang Amerika Serikat sekarang bergerak atas dasar dinamika serupa dengan tujuan menjaga kepentingan kelas kapitalis Amerika Serikat dan menghambat perkembangan industri di negara koloni. Menurunnya keberuntungan kapital di negara kolonial hanya akan dipercepat seiring transisi energi terbarukan, industri muda yang sudah didominasi Tiongkok. Periode perdagangan relatif bebas sejak perang dunia kedua sudah mati. Dalam dekade ke depan, kita akan mengamati meningkatnya tarif, proteksionisme, dan intervensi negara dalam perdagangan. Sungguh terbelakang analisa yang masih melawan mayat neoliberalisme!

Kecenderungan ini juga menjelaskan simbiosis mutualisme antara kapitalis batu bara dan minyak dengan faksi Trump. Perlu dicatat pula, jumlah perdagangan timpang berbeda dengan neraca perdagangan antar negara dan justru berbanding terbalik dengannya dalam kondisi tertentu. Semakin besar jumlah ekspor Tiongkok ke Amerika Serikat, semakin besar surplus neraca perdagangannya, dan semakin besar pula jumlah perdagangan timpang yang ia derita.

Hilirisasi nikel di Indonesia perlu dipahami dalam kerangka ekonomi politik internasional sebagai salah satu tetesan hujan dalam arus sejarah ini. Pendongkrakan tumbuhnya industrialisasi nasional mengharuskan penguatan militer dan konsolidasi negara untuk pembentukan kelas buruh industri yang terceraikan dari tanah dan aset produktif, represi perlawanan spontan yang timbul melawan akumulasi primitif, pengorganisiran ulang agrikultur dalam bentuk pertanian kapitalis, dan penyelesaian konflik melawan faksi kapitalis yang dirugikan perkembangan tenaga produktif, baik di tingkat daerah, partai politik, maupun hubungan internasional. Fenomena serupa sebelumnya sudah terjadi di Perancis atas nama sosialisme Saint Simonian dan Uni Soviet atas nama Marxis-Leninisme. Tuntutan untuk mendongkrak industrialisasi nasional adalah permintaan reaksioner, terutama di koloni yang masih memiliki komune agraria. Marx sendiri berpendapat, antara lain dalam Kapital, kemudian ditekankan dalam suratnya ke Zapisky pada 1877 dan Zasulich pada 1881, bahwa akumulasi primitif adalah proses yang spesifik bagi perkembangan Eropa Barat, bukan suatu kemutlakan sejarah. Bahkan Kapital tidak diselesaikan olehnya berkat obsesi Marx di akhir hidupnya dengan masalah agraria di Rusia. “Jika Rusia terus mengikuti jalur yang dipilihnya sejak 1861, akan luput daripadanya kesempatan terbesar untuk melompati segala alternatif fatal rezim kapitalis yang pernah ditawarkan oleh sejarah.”

Marx tidak pernah menulis bahwa kelas kapitalis “membebaskan sebagian besar populasi dari kepicikan kehidupan desa”, sebagaimana diterjemahkan secara kriminal dalam bahasa Indonesia. Kata “bebas” tidak muncul dalam versi Jerman maupun Inggris; terjemahan yang lebih tepat adalah “menyelamatkan”. Kata “picik” juga tidak akurat. Terjemahan Inggris memakai kata idiocy, berarti kebodohan, yang juga merupakan salah penerjemahan kata idiotismus dalam bahasa Jerman, dari akar kata idiotes dalam bahasa Yunani, dengan arti isolasi dalam ruang privat. Kesalahan penerjemahan ini menunjukkan kecenderungan pengebirian karya Marx melalui lensa developmentalis dan produktivis berkat ideologi penerjemahan.

Arus meningkatnya komposisi organik kapital di sektor energi terbarukan tampak paling jelas dalam kasus Tiongkok. Tiongkok sudah memiliki monopoli atas pengolahan mineral mentah dalam pembuatan magnet, sel panel surya, baterai, dan berbagai teknologi energi terbarukan lainnya. Produksi panel surya oleh monopoli kapital Tiongkok menghasilkan tiga kali lipat permintaan dunia. Alhasil, industri panel surya di Amerika Serikat dan Eropa mengalami kebangkrutan. Dinamika serupa timbul pada sektor mobil listrik. Industri domestik Amerika Serikat dan Eropa juga dihantam oleh proteksionisme komoditas mentah dari negara koloni: Indonesia dengan larangan ekspor nikel mentah sejak 2020; Nigeria dengan larangan ekspor logam mentah sejak 2022; Zimbabwe dengan lithium mentah sejak 2022; Namibia sejak 2023; dan Ghana dengan lithium, besi, dan bauksit mentah sejak 2024.

Dalam konflik kelas horizontal, kapitalis yang berkepentingan menghambat perkembangan tenaga produktif di negara koloni, bersama pendukung kolonialnya di ranah internasional, kerap kali dikalahkan oleh kapitalis yang berkepentingan mengembangkan komposisi organik kapital, terutama di sektor energi terbarukan. Contohnya, kalahnya kampanye presidensial Anies dengan kebijakan mempromosikan sektor intensif buruh ketimbang intensif kapital, dalam kata lain dengan komposisi organik kapital rendah. Konsolidasi partai politik dibawah Koalisi Indonesia Maju Plus mewakili kemenangan hampir sepenuhnya mutlak faksi kapitalis yang mendorong industrialisasi nasional. Berbagai kudeta akhir-akhir ini di negara koloni menunjukkan kecenderungan konflik horizontal dengan pemenang serupa, hanya saja dengan tumpah darah dan gejolak bersenjata. Contohnya, sejak kudeta militer 2021 di Guinea, hilirisasi mulai diupayakan dalam sektor pertambangan.

Sebaliknya, sejak kudeta militer Myanmar di 2021, nilai ekspor logam langka untuk sektor energi terbarukan naik menjadi hampir dua kali lipat sebelumnya, dengan Tiongkok sebagai pembeli utama. Luas tambang timah di daerah Tanintharyi dan Palaw naik tiga kali lipat, sementara di Yebyu dan Dawei kenaikannya sebesar empat kali lipat. Timah dibeli Tiongkok untuk produksi baterai dengan perantara militer Myanmar. Pemerintahan sebelumnya sempat melarang ekspor logam langka ke Tiongkok pada 2018. Sekarang 60% pasokan logam langka Tiongkok datang dari Myanmar, dibandingkan dengan 40% dalam masa pemerintahan sipil. Dukungan militer dan politik Tiongkok pada junta militer di Myanmar didasari keperluan bahan mentah murah untuk terus meningkatkan komposisi organik kapital Tiongkok dalam sektor energi terbarukan; industrialisasi nasional Tiongkok memerlukan darah dan api di negara koloni sekitarnya. Myanmar menjadi contoh ekstrim hasil kemenangan kelas kapitalis yang menghambat perkembangan komposisi organik kapital dengan dukungan negara kolonial. Dengan demikian tampak pula hubungan antara proteksionisme dan militerisme: semakin kuat proteksionisme, semakin kuat pula militerisme yang diperlukan untuk perang kelas horizontal, dan segalanya untuk akumulasi kapital.

Dalam konteks inilah, perang dagang Amerika Serikat perlu kita pahami, sebagai upaya menjaga ketimpangan perdagangan yang datang dari keuntungan teknologi produksinya; merawat industri energi dan otomotif domestik, yang penting untuk keamanan negara; dan alat mematahkan proteksionisme di negara koloni. Tapi arus sejarah tidak bisa dihentikan, perkembangan kapital menghancurkan segala dinding yang menghalanginya, dan tujuan Amerika Serikat tidak akan terpenuhi. Justru kenaikan harga komoditas, terutama yang tidak bisa dihasilkan secara domestik, dibayar dengan air mata kelas pekerja Amerika Serikat. Industri tertekan oleh peningkatan harga aset produktif dan bahan baku komoditas. Tanggapan Tiongkok dengan menghentikan ekspor logam langka bersifat mematikan bagi kemungkinan bangkitnya industri manufaktur Amerika Serikat. Turunnya volume impor akan menghasilkan inflasi pada jangka pendek menengah. Entah Amerika Serikat akan menghentikan perang tarif, atau ia akan terpaksa memulai ekspansi imperialis untuk mendanainya. Penamaan ulang Teluk Mexico menjadi Teluk Amerika adalah simptom sekaligus pemantik kecenderungan imperialis yang terus tumbuh dalam iklim Amerika Serikat.

Latar belakang penuh pergesekan, penuh kudeta, penuh darah, dan penuh sahutan gendang perang mengharuskan tumbuhnya militerisme. Bilamana ada titik intervensi untuk mengubah jalur ini, titik tersebut sudah jauh, sangat jauh terlewati. Para negarawan sudah memahami ini sejak lama. Dua tahun yang lalu, Putin menyatakan bahwa kita berdiri pada perbatasan historis, dan di depan kita adalah dekade paling berbahaya, tak dapat diprediksi, dan – bersama dengannya – penting sejak akhir perang dunia kedua. Lee Hsien-Long membandingkan perang tarif sekarang dengan tarif Smoot-Hawley, yang akhirnya menyebabkan perang dunia kedua. Hsien-Long mengutip contoh perang pasifik yang dimulai Jepang berkat embargo Amerika Serikat atas petroleum dan karet. Akhir peringatannya hanya harapan agar eskalasi militer tidak berujung pada perang nuklir: “Kita membicarakan dua kekuatan nuklir. Kita mungkin akan atau tidak akan berjalan ke titik akhir. Dan semoga sebelum titik tersebut, kita akan menemukan jalan keluar yang bisa menghentikan kita dari melaksanakan kerusakan maksimal.” Ada kemungkinan besar bahwa generasi kita akan mengalami perang regional dan mungkin dunia.

Roda kapitalisme terus berputar menuju krisis terakhirnya, dan rem tangan demi rem tangan, halangan demi halangan, terus dihancurkan di bawah hukum akumulasi kapital. Sejarah tidak berjalan mundur. Tiada guna membawa nostalgia untuk pemerintahan sipil, pemukulan kembali militer ke barak, mengurangi anggaran militer, dan lain sebagainya, terlepas dari betapa aku pun menginginkan hal tersebut. Tuntutan demikian bersifat idealis, abstrak, terlepas dari arus sejarah yang berderu. Marx menulis bahwa “komunisme bagi kita bukanlah keadaan yang ditetapkan, suatu ideal yang perlu membentuk kenyataan. Kita memanggil komunisme pergerakan riil yang membasmi dan melampaui keadaan sekarang. Kondisi pergerakan ini datang dari premis yang sekarang ada.” Sebaliknya, kita perlu menunjukkan bagaimana komunisme revolusioner adalah satu-satunya jalan untuk membangun demokrasi, bagaimana demokrasi representatif burjuis adalah alat perang kelas yang selalu dibuang saat berlawanan dengan kepentingan kelas kapitalis, dan bagaimana kelas pekerja bisa mempertahankan dirinya serta melaksanakan perang kelas melawan penindasan militerisme.

Selama beberapa tahun terakhir, peningkatan anggaran militer di seluruh dunia mendaki ketinggian tertingginya sejak perang dingin. Peningkatan 9% di 2024 membawanya menuju 2.2 triliun USD. Di belahan bumi kita, Korea Selatan meningkatkan produksi militernya sebesar 74% selama periode 2018-2022, dengan target menjadi eksportir keempat terbesar pada 2027. Dalam sesi parlemen, menteri luar negerinya mengatakan bahwa akuisisi senjata nuklir bukan suatu kemustahilan. Jepang meningkatkan anggarannya sebesar 21% dan memulai ekspor senjata untuk pertama kalinya sejak perang dunia kedua. Tahun lalu, keduanya mengadakan pameran di Singapura, yang menikmati posisinya sebagai titik perdagangan kompleks industri militer. Singapura sendiri memiliki perlengkapan militer terbaik di Nusantara.

Kompromi kelas dalam welfare state dan sosial demokrasi Eropa akan terkebiri dalam beberapa tahun kedepan. Inggris sudah memotong dukungan sosial bagi anak kecil, pelajar, orang tua, penganut disabilitas, untuk mendanai peningkatan anggaran militer, dengan target 2.5% porsi GDP pada 2027 dan 3% secepat mungkin. Jendral terbarunya, Roland Walker, menyatakan tahun lalu bahwa Inggris harus siap perang dalam tiga tahun, mengembangkan kekuatannya menjadi dua kali lipat pada 2027, dan tiga kali lipat pada akhir dekade. Jerman, dengan peningkatan 28%, dan Polandia, dengan peningkatan 31%, mulai membicarakan nuclear sharing dengan Perancis. Industri perang Putin terus membengkak dengan peningkatan 38%, berkat perang di Ukraina yang telah menurunkan tingkat pengangguran dan kemiskinan hingga titik paling rendah dalam sejarah Rusia. Swedia, dengan peningkatan 34%, dan Finlandia, yang berbagi perbatasan dengan situs kapal selam nuklir Rusia, telah bergabung dengan NATO. Asia Barat secara umum meningkatkan anggaran militer sebesar 15%, dimana Israel menjingkraknya sebesar 65% untuk menjalankan genosida di Gaza dan perang dengan Lebanon. Lebanon sendiri terpaksa meningkatkan anggarannya sebesar 58%. Afrika adalah benua relatif tertenang dengan kenaikan hanya 3%.

Dalam konteks inilah, militerisme di Indonesia kembali bangkit, dengan kenaikan anggaran militer, pemotongan anggaran dukungan sosial, bengkaknya anggaran belanja negara, sentralisasi kapital dengan Danantara, dan berbagai tindakan lainnya, yang mengikuti arus sejarah perkembangan kapital.

Perkembangan militerisme merugikan kelas-kelas pekerja dan karenanya membutuhkan ideologi baru, tipu daya kontrak sosial baru, untuk mempertahankan hegemoninya. Secara umum, nasionalisme di semua negara giat meningkat berkat kompetisi perdagangan antar negara; swasembada pangan, energi, dan manufaktur semakin digeluti berkat keperluan pertahanan nasional; nostalgia atas kejayaan masa lalu meningkat dengan memburuknya standar kehidupan masa kini; dan janji masa emas yang tidak akan datang dilambaikan untuk menutup mata kelas-kelas pekerja. Bayangan jeritan Hitler untuk menggali kejayaan Aryan dan membangun Reich Ketiga tidak terlalu asing dari periode kita.

Setelah konflik kelas horizontal di ranah domestik berhasil diredam, keperluan meredam perang kelas vertikal menjadi prioritas tinggi untuk kelancaran perang kelas horizontal dengan negara lain, baik melalui perdagangan maupun secara militer. Pengaitan pengelolaan tambang dengan ormas keagamaan dan universitas berfungsi sebagai upaya menyatukan kepentingan kelas-kelas pekerja dengan kelas kapitalis. Hal ini adalah instalasi terbaru kebijakan kolaborasi kelas fasistik, yang tertanam pula dalam konstitusi Indonesia sebagai ekonomi kekeluargaan. Partisipasi militer dalam program makan siang gratis, pemakaian seragam militer oleh kabinet Prabowo, hingga kartun imut dan tarian gemoy kampanye presidensialnya berfungsi untuk menghapus dikotomi sipil dengan militer dalam hegemoni kapitalisme.

Semua perkembangan ini kondusif bagi ideologi fasis. Secara umum, fasisme di seluruh belahan dunia telah dihadiahkan kondisi ideal untuk pembibitan dan pertumbuhannya. Sekilas lihat saja Januari 6, hancurnya pemerintahan sipil di Amerika Serikat, dan dilaksanakannya salut Nazi oleh Elon Musk. Serupa dengan Partai Nazi pula, basis pendukung fasisme kontemporer, dari Modi, Trump, hingga Prabowo, terletak di daerah rural dan kelas tani.

Kita memasuki masa gelap, berbahaya, dan membingungkan. Perlawanan selama ini tidak efektif. Kegagalannya perlu dipahami dan pelajarannya dipetik. Pengorganisiran kelas-kelas pekerja ada pada titik dimana bentuk, ideologi, dan organisasi tua sedang membusuk, sementara yang baru masih menyiram bibit, berjejaring, dan memikirkan masalah bersama. Yang jelas pergerakan spontan dan sporadis tidak efektif. Justru tindakan demikian hanya membuka vakum politik untuk kekuatan alternatif yang haus mengisinya. Demikian pelajaran yang bisa kita petik dari gerakan tidak terorganisir dengan topeng desentralisasi, tiada pemimpin, dan horizontalis. Di Mesir, fenomena tersebut membuka jalan untuk kudeta militer; di Sri Lanka, untuk presiden militeristik, disusul oleh kiri reformis; di Chile, untuk proposal konstitusi baru yang digagalkan setelah momentum gerakan mereda; dan seterusnya. Anarkisme revolusioner memerlukan organisasi anarkis dengan program perang kelas tertentu berdasarkan perkembangan akumulasi kapital, bukan gelombang massa tanpa arah yang mudah dimanfaatkan. Sayangnya fondasi demikian, sepengetahuanku, belum ada bagi anarkisme. Bakunin meletakkannya atas batu idealisme perihal kemerdekaan, sementara Kropotkin meletakkannya atas dasar tendensi evolusi menuju sikap tolong penolong. Kedua posisi tersebut patut ditekuni sebagai sikap moral dan berguna dalam perang kelas, tapi sama sekali terpisah dari hukum nilai dan perkembangan akumulasi kapital sebagaimana diuraikan Marx.

Inilah waktu paling tepat, manis, dan menjanjikan untuk mulai bereksperimen dengan pengorganisiran, untuk menciptakan teori dan praksis komunis revolusioner yang bisa menerkam krisis yang akan datang. Kontribusi tulisan ini terbatas, sebagai aplikasi ekonomi Marxis ortodoks. Dengannya datang segala kekurangan Marxisme ortodoks: peremehan peran seksualitas dan reproduksi, kecenderungan pada determinisme, sikap reduktif atas budaya dan ideologi, antroposentrisme, sudut pandang kenegaraan, dan sebagainya. Tantangan teoritis kita: bagaimana cara melipat segala titik kabur Marxisme tanpa jatuh ke dalam moralisme abstrak, sembari meningkatkan daya penjelasannya atas perkembangan sejarah, dan efektivitasnya dalam merakit pergerakan revolusioner? Semoga tulisanku berguna sebagai titik mula.


https://realjuanlee.wordpress.com/2025/04/29/arus-sejarah/