Title: Queer Nihilis
Subtitle: Baedan #1
Author: Baedan
Language: Bahasa Indonesia
Date: 2012
Notes: Diterjemahkan dari Baedan oleh Alvin Born to Burn; Penata Letak dan Peracang Sampul oleh M.Iqbal.M; download pdf ready to print di sini
b-q-baedan-queer-nihilis-id-1.jpg

      Sepatah Kata Penerjemah

      Bagian 1

        Giliran Anti-Sosial

      Bagian II

        Queer Menjadi Liar

      BagianIII

        Untuk Memenangankan Seluruh Waktu

      Bibliografi

Sepatah Kata Penerjemah

Sebenarnya teks ini sudah selesai diterjemahkan sejak Juli 2021, setelah tertunda untuk dipublikasikan selama berbulan-bulan karena beberapa faktor, hari ini, teks ini akan mulai kita sebarluaskan secara digital.

Yang menarik dari teks Baedan ini adalah, bagaimana nihilisme bisa memeluk queerness. Kita sudah bosan dengan narasi-narasi queer feminis yang progresif, positif, dan utopis, sebosan ketika kita mendengar janji-janji kampanye para politisi lewat baliho-balihonya. Selalu saja begitu, utopis, positivis. Fokus politik queer feminis hanya pada bagaimana melawan heteronormativitas. Bergerak secara bergerombol di bawah bendera yang sama.

Sedikit lebih radikal dari itu, ada queer anarkis. Tapi, sebagaimana yang kita tahu, kebanyakan anarkis masih banyak yang terjebak dengan gerakan kiri, kebanyakan anarkis masih berpikir utopis, punya cita-cita mulia untuk membangun society yang diidamkan di bawah anarkisme. Politik nihilis jauh lebih radikal daripada itu, kita meludahi society. Kita tak punya harapan masa depan, kita negativis, kita pengejar jouissance, kita adalah para pendosa, kita adalah orang-orang terkutuk, kita adalah orang-orang tak beradab yang membenci peradaban.

Andai kiamat itu ada dan terjadi hari ini, kita akan mati tanpa penyesalan, kita akan tertawa dalam semburan lahar merapi, kita akan tersenyum dalam sapuan air tsunami, dan kita akan berdansa nanti di dalam neraka yang tuhan telah persiapkan.



Bandung, 4 Mei 2022

Penerjemah,

Alvin Born to Burn


Tapi apalah artinya keabadian kutukan

jika dibandingkan dengan kesenangan tak terbatas

dalam sedetik?
C. Baudelaire


Bagian 1

Giliran Anti-Sosial

No Future – magnum opus ‘negativitas queer’ karya Edelman – menawarkan serangkaian pelajaran penting untuk baedling[1]; yakni, untuk baedling kita yang mana kequeeran (queerness) berarti: penolakan terhadap masyarakat dan bukan negosiasi apapun dengannya atau di dalamnya. Dalam membaca dan menggunakan — atau menyalahgunakan — karya tunggal Edelman ini, kita tidak punya pilihan lain, selain membawanya ke tugas format akademisnya Edelman: posisi Edelman dalam teori queer yang dilembagakan, dan pemisahan antara teori dan praktik queer. Proyek Edelman telah gagal, karena menempatkan negativitas queer ke dalam berbagai produksi kultural — sastra, film — namun, tidak pernah berhasil mengungkapkan negasi ini dalam konteks pemberontakan yang hidup, atau perjuangan aktif melawan masyarakat yang ingin ia lawan.

Dalam mengeksplorasi No Future, kita bersikeras untuk mengekspropriasinya dari menara gading teori dan menggunakannya sebagai alat untuk proyek kehidupan kita. Melawan ‘interpretasi aman’ yang ditawarkan oleh akademi dan para ahli teorinya, kita memulai elaborasi negativitas queer yang berarti: tak kurang dari kehancuran dunia yang beradab.

Judith/Jack Halberstam – ahli teori queer populer lainnya – membaca pentingnya teks Edelman sehubungan dengan apa yang mereka sebut sebagai ‘proyek anti-sosial’, tetapi ia juga merasakan teks Edelman memiliki kekurangan:

Polemik Edelman membuka pintu bagi artikulasi negativitas yang ganas (“persetan dengan tatanan sosial dan Anak yang atas namanya kita diteror secara kolektif; persetan Annie; persetan dengan anak terlantar dari Les Mis; persetan dengan anak malang dan polos di Net; persetan Hukum (Law), baik dengan huruf kapital (Law) maupun huruf kecil (law)[2]; persetan dengan seluruh jaringan hubungan Simbolik dan masa depan yang berfungsi sebagai penyangganya”) tetapi, pada akhirnya, ia (Edelman) tidak mengacaukan hukum (law), baik kapital L maupun yang kecil, ia menyerah pada hukum tata bahasa, ia menyerah pada hukum logika, pada hukum abstraksi, pada hukum formalisme apolitis, dan pada hukum Genre ...

Di tempat lain, Halberstam secara lebih eksplisit membingkai minat khusus mereka sebagai berikut: “Saya ingin terlibat secara kritis dengan proyek Edelman di sini untuk memperdebatkan pembingkaian politik yang lebih eksplisit dari proyek anti-sosial.”

Tujuan Halberstam sama seperti tujuan kita. Negativitas ganas Edelman tetap terperangkap dalam jaringan ilmu pengetahuan dan dominasi formal, yaitu akademi. Terperangkap dalam hukum-hukum ini—hukum logika, abstraksi, dan formalisme—teori Edelman, sebagaimana adanya, hanya dapat berfungsi sebagai artikulasi yang agak lebih nakal dari hukum tatanan sosial itu sendiri. [Tak lebih]. Namun, proyek alternatif Halberstam pun juga gagal dengan cara yang sama. Kita tidak menginginkan pembingkaian politis yang lebih eksplisit dari proyek anti-sosial, ketika logika politik itu sendiri hanya dapat benar-benar menawarkan kita lebih banyak abstraksi, lebih formalisme, lebih dari serupa [dan sama: terperangkap dalam hukum]. Bagi kita, teori queer hanyalah penting sejauh kita menjadikannya sebagai alat atau senjata untuk proyek kita. Tapi dalam hal ini, kita tidak bisa melihat ke politik, yang merupakan ilmu mengorganisir dan ilmu representasi masyarakat. Sebaliknya, kita harus melampaui proyek Edelman, membuang apolitiknya demi anti-politik kita yang meledak-ledak.

Jika Edelman membuka pintu – seperti yang dikatakan Halberstam – untuk proyek anti-sosial queer, maka mari kita lewati ambang pintu ini dan mari kita bakar seluruh rumah itu saat kita melakukannya. Berikut ini, adalah pembacaan teliti terhadap karya Edelman, dan sekaligus penggulingan karyanya: No Future. Ini adalah elemen penting dari teori tanpa beban akademik, poin penting dari teks yang diasah untuk menjadi senjata bagi proyek anti-sosial.


  1. Negativitas Murni

Proyek Edelman – sejauh yang dapat kita bayangkan sebagai titik awal – adalah menarik, karena baginya queerness pada dasarnya adalah proyek negatif. Baik dalam bentuk asimilasi gay, politik identitas, ataupun subkultur ‘queer radikal’; setiap keterlibatan kontemporer dengan queerness harus memperhitungkan dekade integrasi kapitalis ke dalam masyarakat dan negaranya. Berbagai bentuk ini (asimilasi gay, politik identitas, subkultur queer radikal) digabungkan bersama melalui identitas queer sebagai konten bersama [menjadi proyek positif]. Jika kita membaca Edelman dengan rasa katarsis yang tinggi, karena konsepsinya tentang queerness adalah negatif, maka akan memungkinkan untuk kita: membuang semua bagasi identitarian yang menyertai queerness.

Langkah melawan proyek positif queer ini sangat penting; hal itu menggambarkan satu kebenaran tentang kapital. Kapital didasarkan pada akumulasi nilai—nilai apapun—untuk reproduksi-dirinya sendiri. Kapital berada dalam proses pemberontakan yang konstan terhadap dirinya sendiri. Subjek yang pernah termarjinalkan atau diannihilasi oleh tatanan beradab, diserap ke dalam sirkuitnya: posisi yang bisa menandai bagian luar dipindahkan ke batin. Tidak ada proyek positif queerness yang belum menjadi tempat reproduksi masyarakat. Institusi positivis queerness—pesta dansa, proyek komunitas, kelompok aktivis, jejaring sosial, mode, sastra, seni, festival—membentuk struktur material peradaban. Segala antagonisme atau perbedaan yang dimiliki bentuk-bentuk ini, secara menyeluruh dibuat-kembali dalam citra kapital; semua nilai diekstraksi, semua bahaya dinetralkan. Yang membuat kita ngeri, queerness menjadi garda depan pasar avant-garde dan sumber kehidupan dinamis dari ekonomi postmodern yang maju.

Analisis positivisme ini tidak khusus untuk queerness semata. Seseorang dapat dengan mudah menunjukkan sejumlah proyek anarkis dan mengekspos cara-cara di mana mereka mereproduksi alienasi yang ingin mereka tangani. Bisnis koperasi, komoditas radikal, media independen, ruang sosial, Food Not Bombs: ketika proyek positif anarkis tidak melakukan pekerjaan sosial untuk mencegah keruntuhan atau pergolakan, mereka mengembangkan inovasi (swakelola, produksi terdesentralisasi, crowd-sourcing[3], jejaring sosial) yang akan membantu memperpanjang kekuasaan kapital hingga abad berikutnya.

Keberangkatan dari bentuk-bentuk ini adalah penjabaran dari queerness dalam proyek negatif. Dalam hubungan queerness dan negativitas ini, kita sependapat dengan Edelman, yang mendefinisikan queerness sebagai berikut:

[Q]ueerness – tanpa direduksi – terkait dengan “menyimpang atau atipikal” dengan apa yang bertentangan dengan “normalisasi,” menemukan nilainya tidak dalam kerentanan yang baik terhadap generalisasi, tetapi hanya menemukan nilainya dalam kekhususan yang keras kepala yang mengosongkan setiap gagasan tentang kebaikan umum. Pelukan negativitas queer – kemudian – tidak dapat memiliki justifikasi, jika justifikasi mengharuskannya untuk memperkuat beberapa nilai sosial yang positif; nilainya, sebaliknya, terletak dalam tantangannya terhadap nilai seperti ini (yang didefinisikan oleh sosial); dan dengan demikian, nilainya terletak dalam tantangan radikalnya terhadap nilai sosial itu sendiri.

Dengan kata lain, kita tidak tertarik pada proyek sosial queerness, kontribusi queer kepada masyarakat, dalam mengukir ghetto[4] kita sendiri di dalam struktur material dan simbolik kehidupan kapitalis. Sebaliknya, keterlibatan kita dengan teori queer harus disesuaikan untuk menemukan momen-momen yang mengungkapkan: potensi kehancuran masyarakat, kehancuran strukturnya, dan kehancuran relasinya. Bagi Edelman, teori negativitas queer dimulai dari eksplorasi posisi fantastis queer dalam imajiner kolektif masyarakat. Metodologinya adalah, untuk menavigasi wacana dan mimpi buruk heteronormativitas sayap-kanan. Mengutip satu per satu cendekiawan fundamentalis, ia menyempurnakan teror yang dengannya lembaga anti-queer membayangkan ancaman queerness. Sepanjang sejarah, seutas benang bertahan hingga masa kini yang membayangkan kaum queer sebagai perusak kohesi sosial, ‘penggali kuburan masyarakat’, penolak nilai-nilai kerja keras dan keluarga, gelombang persisten yang mengikis landasan ekonomi moneter dan libidinal, pencuri, penipu, ahli muslihat, pendosa, pembunuh, sesat, dan menyimpang. Orang-orang queer tidak hanya terkutuk, mereka juga merupakan bukti dari kutukan fundamental masyarakat. Sodomi [kaum Sodom] – bagaimanapun juga – adalah penamaan untuk posisi simbolik mereka sebagai simbol seksual dekadensi peradaban dan annihilasinya yang akan segera terjadi.

Menganalisis contoh fantasi ini, Edelman menulis:

Sebaiknya kita tidak menganggap fantasi ini sebagai contoh kata-kata kasar yang hiperbolik, tetapi lebih sebagai pengingat disorientasi yang seharusnya ditimbulkan oleh seksualitas queer: “penerimaan atau ketidakpedulian terhadap gerakan homoseksual akan mengakibatkan kehancuran masyarakat dengan membiarkan tatanan sipil didefinisikan-ulang dan dengan menjerumuskan diri kita sendiri, anak-anak dan cucu-cucu kita ke zaman ketidakbertuhanan. Memang, fondasi Peradaban Barat sedang dipertaruhkan.” Sebelum bromida[5] (yang merasa benar sendiri) dari pluralisme liberal tumpah dari bibir kita, sebelum kita memberikan sekali lagi jaminan bahwa, kita adalah cinta dalam jenis yang lain tetapi cinta seperti ini tetaplah cinta, sebelum kita dengan saleh memohon litani[6] kontribusi mulia kita untuk peradaban timur dan barat, beranikah kita berhenti sejenak untuk mengakui bahwa, dia mungkin benar—atau, yang lebih penting, dia seharusnya benar: bahwa queerness mesti dan harus menghancurkan gagasan “tatanan sipil” semacam itu, melalui ‘pecahnya keyakinan dasar kita’ dalam reproduksi masa depan?

Hasrat Edelman pada queerness – yang akan mendengar dirinya disebut sebagai ancaman terhadap tatanan sosial, dan menganggap hal ini lebih sebagai tantangan daripada sebagai penghinaan – sejalan dengan teks “Criminal Intimacy,” yang ditulis oleh ‘sekelompok queer kriminal’ dan diterbitkan di jurnal anarkis Total Destroy pada tahun 2009:

Mesin kontrol telah membuat eksistensi kita menjadi ilegal. Kita telah mengalami kriminalisasi dan penyaliban pada tubuh kita, seks kita, dan gender kita yang sulit diatur. Penggerebekan, perburuan-penyihir, pembakaran di tiang pancang. Kita telah menempati ruang penampungan, yang lacur, cabul, dan kejian. Kultur ini telah membuat kita dianggap sebagai criminal – dan tentu saja, pada gilirannya – kita telah menyerahkan hidup kita pada kejahatan. Dalam kriminalisasi kesenangan kita, kita telah menemukan kesenangan yang didapat dalam kejahatan! Dengan dilarang untuk menjadi siapa kita sebenarnya, kita telah menemukan bahwa: kita memang penjahat bajingan! Banyak yang menyalahkan kaum queer atas kemunduran masyarakat ini—kita bangga akan kemunduran ini. Beberapa orang percaya bahwa, kita bermaksud untuk menghancurkan peradaban ini dan struktur moralnya—mereka kurang akurat. Kita sering digambarkan sebagai orang yang bejat, dekaden, dan memberontak—tetapi, oh, yang mereka lihat belumlah apa-apa.

Posisi kepemilikan yang negatif ini berarti: konspirasi pembebasan di antara musuh-musuh masyarakat. Posisi ini memungkinkan kita untuk lolos dari jebakan yang ada dalam upaya apapun untuk menegaskan kontra-narasi positif. Seseorang tidak dapat menyangkal potensi destruktif dan anti-sosial dari queerness tanpa juga mengafirmasi tatanan sosial. Seseorang tidak dapat membantah paranoia anti-queer yang membayangkan kita sebagai musuh Tuhan dan negara dan musuh keluarga tanpa secara implisit mengakui legitimasinya masing-masing. Harapan untuk gagasan progresif tentang toleransi atau aktivisme agresif untuk membatalkan fantasi ini adalah: ekspresi dari hasrat untuk berasimilasi ke dalam masyarakat. Bahkan posisi queer ‘radikal’ atau ‘anti-asimilasionis’ pun berusaha menyangkal negativitas ini dan menciptakan ruang bagi representasi queer di Negara atau queer yang termasuk dalam kapitalisme.

Kita sejalan dengan Edelman saat dia menguraikan ide ini:

Daripada menolak – dengan wacana liberal – askripsi negativitas terhadap queer, kita mungkin … sebaiknya mempertimbangkan untuk menerima dan bahkan merangkulnya. Bukan dengan harapan untuk membentuk tatanan sosial yang lebih sempurna—harapan seperti itu, bagaimanapun, hanya akan mereproduksi mandat pembatasan futurisme, sama seperti tatanan semacam itu hanya akan sama-sama menimbulkan negativitas terhadap queer—melainkan dengan harapan untuk menolak desakan harapan itu sendiri sebagai penegasan (afirmasi), yang selalu merupakan penegasan dari suatu tatanan yang penolakannya akan dianggap sebagai sesuatu yang tidak terpikirkan, tidak bertanggung jawab, tidak manusiawi. Dan kartu AS dari afirmasi itu apa? Pertanyaannya selalu: Jika bukan ini, lalu apa? Permintaannya selalu adalah untuk, menerjemahkan desakan, kekuatan pulsif, atau negativitas ke dalam beberapa sikap atau “posisi” tertentu yang determinasinya akan menegasinya: keharusannya selalu untuk membenamkannya dalam beberapa bentuk yang stabil dan positif ... Saya tidak bermaksud untuk mengusulkan beberapa “kebaikan” yang dengan demikian akan terjamin. Sebaliknya, saya bermaksud untuk menegaskan bahwa, tidak ada apapun, dan tentu saja bukan apa yang kita sebut “baik,” yang dapat memiliki jaminan dalam tatanan Simbolik ... (kita) lebih suka, secara kiasan memberikan suara kita untuk “tak satu pun dari yang di atas,” untuk keunggulan konstan “tidak” dalam menanggapi hukum simbolik, yang akan menggemakan tindakan dasar hukum itu, pembentukan-diri dari negasi itu sendiri.

Sekali lagi, perubahan sederhana dapat menerapkan argumen ini pada konstruksi diskursif dan imajiner kaum anarkis. Banyak anarkis mendapati diri mereka secara kompulsif menanggapi karakterisasi negatif dari niat dan disposisi kita. Dalam menghadapi serangkaian tuduhan yang menyanjung — kita adalah kriminal, nihilistik, pecinta kekerasan, penabur kekacauan — para pendukung anarkisme positif secara naluriah merespons dengan bersikeras bahwa, kita dimotivasi oleh cita-cita tertinggi (demokrasi, konsensus, kesetaraan, keadilan), berusaha untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik, tanpa kekerasan, dan percaya anarkisme sebagai tatanan terbesar dari semuanya. Berulang kali kaum anarkis dan kaum revolusioner lainnya menawarkan kesetiaan mereka kepada masyarakat dengan menyangkal kenyataan atau menyangkal kemungkinan permusuhan mereka dengan tatanan sosial.

Gagasan kiri tentang reformasi, kemajuan, toleransi, dan keadilan sosial selalu muncul melawan kenyataan pahit bahwa, setiap perkembangan progresif hanya dapat berarti: sistem kesengsaraan dan eksploitasi yang lebih canggih; bahwa toleransi tidak berarti apa-apa; bahwa keadilan adalah suatu kemustahilan. Para aktivis, baik progresif maupun revolusioner, akan selalu menanggapi kritik kita terhadap tatanan sosial dengan tuntutan agar kita mengartikulasikan semacam alternatifnya. Mari kita katakan sekali lagi bahwa, kita tidak punya sesuatu apapun untuk ditawarkan. Dihadapkan dengan integrasi sistem yang mulus dari semua proyek positif ke dalam dirinya sendiri, kita tidak dapat menegaskan atau mengajukan alternatif lain untuk dikonsumsi. Sebaliknya, kita harus menyadari bahwa: tugas kita tidak terbatas, bukan karena kita memiliki begitu banyak hal untuk dibangun, tetapi karena kita memiliki seluruh dunia untuk dihancurkan. Kehidupan kita sehari-hari begitu menjenuhkan dan terstruktur oleh kapital, sehingga tidak memungkinkan untuk membayangkan kehidupan yang layak dijalani, kecuali pemberontakan.

Kita memahami kehancuran (destruksi) itu perlu, dan kita sangat menginginkannya. Kita tidak mendapatkan apapun melalui rasa malu atau kurang percaya diri pada keinginan dan hasrat ini. Tidak mungkin ada kebebasan di bawah bayang-bayang penjara, tidak mungkin ada komunitas manusia dalam konteks komoditas, tidak mungkin ada penentuan nasib sendiri di bawah pemerintahan negara. Dunia ini—polisi dan tentara yang mempertahankannya, institusi yang membentuknya, arsitektur yang membangunnya, subjektivitas yang menghuninya, aparatus yang menjalankan fungsinya, sekolah yang menuliskan ideologinya, aktivisme yang dengan panik merespons krisisnya, urat nadi peredaran dan alirannya, komoditas yang menentukan kehidupan di dalamnya, jaringan komunikasi yang mengembangkannya, teknologi informasi yang mengawasi dan merekamnya—harus dimusnahkan dalam setiap kejadian, sekaligus. Menghindari tugas ini – untuk meyakinkan musuh kita tentang niat baik kita – adalah ketidakjujuran yang paling kasar. Anarki – seperti halnya queerness – paling kuat dalam bentuk negatifnya. Konsepsi-konsepsi positif tentang queerness dan anarki ini – ketika bukan sekadar persetujuan diam-diam dalam menghadapi totalitas dominasi yang canggih dan berkembang – terperangkap tanpa harapan dalam pertempuran dengan detail-detail totalitas ini dengan caranya sendiri.

Dalam No Future, Edelman mengambil dan mengunggulkan konsep psikoanalitik: dorongan kematian (death drive). Dalam mengelaborasi hubungan “teori queer dan dorongan kematian (queer theory and the death drive)” [subjudul No Future], ia menyebarkan konsep tersebut untuk menyebutkan kekuatan yang tidak secara khusus terikat pada identitas queer. Dia berpendapat bahwa dorongan kematian adalah, ‘letusan konstan gangguan dari dalam tatanan simbolik itu sendiri’. Dorongan ini adalah kecenderungan yang tidak dapat disebutkan namanya dan tidak dapat diartikulasikan bagi masyarakat manapun untuk menghasilkan kontradiksi dan kekuatan yang dapat menghancurkan masyarakat itu.

Untuk menghindar dari terjebak dalam ideologi Lacanian, kita harus segera berangkat dari kerangka psikoanalitik murni untuk memahami dorongan ini. Marxisme – membayangkannya dengan cara lain – meyakinkan kita bahwa: krisis fundamental dalam mode produksi kapitalis menjamin bahwa, ‘ia akan menghasilkan negasinya sendiri dari dalam dirinya sendiri.’ Tradisi Mesianis juga berpegang teguh pada keyakinan bahwa, ‘mesias harus muncul dalam kehidupan sehari-hari untuk menggulingkan kengerian sejarah.’ Elaborasi paling romantis dari anarkisme menggambarkan keniscayaan bahwa, ‘individu akan memberontak melawan banalitas dan keterasingan kehidupan modern.’ Pemerintah sibernetik beroperasi dengan pemahaman bahwa, ‘ilusi perdamaian sosial mengandung serangkaian risiko, malapetaka, penjangkitan, peristiwa, dan pergolakan yang kompleks dan tak terduga yang harus dikelola.’ Masing-masing dari kesemuanya berisi inti kebenaran, jika mungkin terlepas dari ideologi mereka. Dorongan kematian menyebut elemen permanen dan tak tereduksi yang telah dan akan selalu menghasilkan pemberontakan. Species being[7] (hakikat keberadaan species), queerness (kequeeran), chaos (kekacauan), willful revolt (pemberontakan yang disengaja), the commune (komune), rupture (perpecahan), the Idea (Ide), the wild (alam liar), oppositional defiance disorder (gangguan pembangkangan oposisi)—kita dapat memberikan nama-nama yang tak terhitung banyaknya untuk apa yang luput dari kemampuan kita dalam mendeskripsikannya. Masing-masing upaya ini bertujuan untuk menterminologikan negasi yang tak menentu dan intrinsik bagi masyarakat. Masing-masingnya mendekati teori kecenderungan universal bahwa, ‘setiap peradaban akan menghasilkan kehancurannya sendiri.’

Ledakan kerusuhan di perkotaan, maraknya metode pembajakan dan pengambilalihan (ekspropriasi), kebencian terhadap pekerjaan, disforia gender, meningkatnya serangan kekerasan yang tidak dapat dijelaskan terhadap petugas polisi, bakar-diri (self-immolation), praktik seksual non-reproduktif[8], sabotase irasional, kultur peretas nihilistik, pelanggaran hukum perkemahan yang ada hanya untuk diri mereka sendiri—dorongan kematian terbukti di setiap momen yang melampaui tatanan sosial dan mulai mengoyak strukturnya.

Penyebaran simbolik queerness oleh tatanan sosial selalu merupakan upaya untuk mengidentifikasi negativitas dari dorongan kematian, upaya untuk mengunci potensi kekacauan dalam batas-batas subjektivitas ini atau subjektivitas itu. Karya Foucault adalah dasar dari sebagian teori queer karena argumennya bahwa, ‘kekuasaan harus menciptakan dan kemudian mengklasifikasikan subjektivitas antagonis untuk kemudian memusnahkan potensi subversif dalam tubuh sosial.’ Homoseksual, gangster, penjahat, imigran, welfare mother[9] (ibu kesejahteraan), transeksual, perempuan, pemuda, teroris, blac bloc (blok hitam), komunis, ekstremis: kekuasaan selalu membangun dan mendefinisikan subjek antagonis yang harus dikelola. Ketika asap telah menghilang pasca kerusuhan, aparat negara dan media secara universal mulai menempatkan peristiwa-peristiwa semacam itu dalam logika identitas, membekukan fluiditas pemberontakan ke dalam segelintir posisi subjek untuk dipenjarakan, atau lebih jahatnya, diorganisir. Progresivisme – dengan dorongannya menuju inklusi dan asimilasi – mempertaruhkan harapannya pada kelangsungan sosial subjek-subjek ini; mempertaruhkan harapannya pada kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam reproduksi masyarakat sehari-hari. Dengan demikian, ideologi progresif berfungsi untuk menjebak potensi subversif dalam subjek tertentu, dan kemudian meminta penyangkalan-diri (self-repudiation) subjek tersebut terhadap bahaya yang telah mereka konstruksikan untuk diwakili. Langkah untuk perdamaian sosial ini gagal menghilangkan dorongan tersebut, karena terlepas dari berbagai determinisme, tidak ada subjek yang dapat secara tunggal dan sempurna menahan potensi pemberontakan. Upaya keadilan simultan juga pasti gagal, karena integrasi setiap posisi subjek yang berurutan ke dalam hubungan normatif mengharuskan konstruksi Yang Lain berikutnya untuk didisiplinkan atau dihancurkan.

Alih-alih sebuah proyek progresif yang bertujuan untuk terus memberantas kekacauan yang muncul dari waktu ke waktu, proyek kita, yang terletak di ambang tulisan Edelman, mendasarkan dirinya pada negativitas yang berkelanjutan dari dorongan kematian. Kita memilih untuk tidak mendirikan tempat bagi queer, sehingga menggeser posisi struktural queer ke beberapa populasi lain. Kita mengidentifikasikannya dengan negativitas dorongan kematian, dan dengan demikian melakukan disidentifikasi dari identitas apapun untuk diwakili atau identitas apapaun yang mengemis ‘hak’.

Lebih lanjut, kita sejalan dengan Edelman pada:

Untuk membayangkan keruntuhan masyarakat sipil – dorongan kematian dari tatanan dominan – bukanlah menjadi (dalam artian to be) ataupun menjadi (dalam artian become) dorongan itu (dorongan kematian dari tatanan dominan); kemenjadian seperti itu bukanlah intinya. Sebaliknya, mengakses posisi figural itu berarti: mengakui dan menolak konsekuensi dari membumikan realitas dalam penyangkalan dorongan tersebut. Ketika dorongan kematian membubarkan pembekuan identitas yang memungkinkan kita untuk mengetahui dan bertahan sebagai diri kita sendiri, maka queer harus bersikeras untuk mengganggu, untuk queering, organisasi sosial seperti itu — untuk mengganggu, dan karenanya untuk queering diri kita sendiri dan investasi kita dalam organisasi semacam itu. Karena queerness tidak pernah bisa mendefinisikan identitas; ia hanya bisa mengganggunya. Jadi, ketika saya berargumen, seperti yang ingin saya lakukan di sini, ‘beban queerness harus ditempatkan lebih sedikit dalam penegasan identitas politik oposisional daripada oposisi terhadap politik sebagai fantasi yang mengatur untuk mewujudkan identitas, saya tidak mengusulkan platform atau posisi apapun dari seksualitas queer atau subjek queer manapun yang mungkin akhirnya benar-benar menjadi dirinya sendiri, seolah-olah entah bagaimana bisa berhasil mencapai queerness yang esensial.’ Saya menyarankan sebaliknya bahwa, ‘kemanjuran queerness – nilai strategisnya yang sebenarnya – terletak pada resistensinya terhadap realitas simbolik yang hanya menginvestasikan kita sebagai subjek sejauh kita menginvestasikan diri kita di dalamnya, berpegang teguh pada fiksi yang mengaturnya, sublimasinya yang terus-menerus, sebagai realitas itu sendiri.’

Queerness negatif ini memisahkan kita dari pemahaman sederhana tentang diri kita sendiri. Lebih dari itu, queerness ini memisahkan kita dari gagasan formula atau gagasan yang mudah diwakili tentang apa yang kita butuhkan, apa yang kita inginkan, atau apa yang harus kita lakukan. Queerness kita tidak membayangkan diri yang koheren, dan dengan demikian, tidak dapat menggerakkan diri untuk menemukan tempatnya dalam peradaban. Satu-satunya queerness yang dapat diharapkan untuk dicapai oleh seksualitas queer adalah: penolakan total terhadap upaya integrasi simbolik seksualitas kita ke dalam struktur pemerintahan dan struktur pasar. Penolakan representasi ini menutup harapan apapun yang pernah kita miliki dalam politik identitas atau proyek identitas positif. Kita menolak keyakinan progresif pada: kemampuan tubuh kita untuk dimasukkan ke dalam tatanan simbolik. Kita menolak jaminan liberal bahwa, ‘semuanya akan menjadi benar, jika kita memiliki keyakinan.’

Tidak, sebaliknya kita bermaksud untuk, “melepaskan negativitas terhadap koherensi dari citra diri apapun, yang membuat kita tunduk pada hukum moral: yang mengevakuasi subjek sehingga menemukan hukum moral melalui dan dalam tindakan evakuasi itu sendiri; memberikan izin pada realisasi hukum moralnya; dengan demikian, kebebasan di luar batas citra apapun dan segala representasinya, kebebasan yang pada akhirnya terletak tak lebih dari kapasitas untuk maju ke dalam kekosongan.”

Pemberontakan queer yang non-identitarian, tidak dapat direpresentasi, tidak dapat dipahami akan negativitas murninya, dan sama sekali tak akan. Dengan cara yang sama, anarki insureksi harus merangkul dorongan kematian melawan semua positivisme yang diberikan oleh dunia yang ditentangnya. Jika kita berharap untuk: menghentikan gerak maju kapital dan negaranya yang tak kunjung berhenti, kita tidak dapat mengandalkan metode-metode yang gagal. Politik identitas, platform, organisasi formal, subkultur, kampanye aktivis (baik queer ataupun anarkis) akan selalu menemui jalan buntu identitas dan representasi. Kita harus lari dari hal-hal positif ini, model-model ini, untuk bereksperimen dengan negativitas abadi dari dorongan kematian. Sekali lagi, mengutip Edelman:

Keabadian dorongan kematian, kemudian mengacu pada negasi berkelanjutan yang tidak menawarkan jaminan apapun: baik identitas, kelangsungan hidup, maupun janji masa depan. Sebaliknya, ia (dorongan kematian) menekankan pada, bahwa ‘identitas, kelangsungan hidup, dan masa depan’ merupakan hal yang membuat penutupan Simbolik menjadi tidak mungkin; menekankan pada, ‘absennya segala Yang Lain untuk menegaskan kebenaran tatanan Simbolik’; dan karenanya menekankan pada, bahwa ‘status ilusi makna simbolik itu tak lain adalah pertahanan terhadap substansi negasi-diri dari jouissance[10] … (Queerness) menegaskan sebuah konstanta – kegembiraan yang meluap-luap yang menanggapi kenyataan yang tidak dapat diartikulasikan – pada ketidakmungkinan hubungan seksual atau pada yang pernah mampu menandakan hubungan antara jenis kelamin. (Queerness) kemudian, seperti dorongan kematian, melibatkan – dengan menolak – stasis normatif, imobilitas, dan seksuasi ... meruntuhkan struktur memalukan yang memberikan [dengan paksa] makna esensial untuk diri kita sendiri dan melakukannya dengan semua kekuatan Riil bahwa, ‘bentuk-bentuk seperti itu [queerness kita] pasti gagal untuk menandakan …’ dorongan kematian baik menghindari dan membatalkan representasi ... penggali kubur masyarakat (adalah) mereka yang tidak peduli pada masa depan.

Kita akan segera kembali ke konsep futurity dan jouissance, tetapi untuk menyimpulkan poin ini, kita akan menegaskan bahwa, ‘proses pemberontakan hanya dapat menjadi ledakan negativitas melawan segala sesuatu yang mendominasi dan mengeksploitasi kita, juga melawan segala sesuatu yang memproduksi kita seperti kita ini.’

  1. Bukan untuk Anak-Anak

Dalam bagian di atas, kita mengutip sebuah teks J. Halberstam yang menyatakan niat untuk mengolah kembali teori Edelman menjadi sesuatu yang lebih politis secara eksplisit. Kita berbagi ketidakpuasan Halberstam dengan Edelman, yang menganggap negativitas queer tidak lebih dari sirkuit kuliah, pesta sirkuit, berjam-jam di gym, Botox, dan narsisisme kasar kehidupan gay. Seperti yang akan kita bahas nanti, teori Edelman sangat berhutang budi pada karya Guy Hocquenghem, tetapi Edelman gagal menerapkan kritik Hocquenghem tentang subkultur queer dalam hidupnya sendiri, dengan bodohnya memilih untuk mengabaikan apa yang terakhir diperingatkan dalam The Screwball Asses:

Selama kita tidak dibakar di tiang pancang atau dikurung di rumah sakit jiwa, kita terus menggelepar di ghetto-ghetto klub malam, toilet umum, dan melirik ke samping, seolah-olah kesengsaraan itu sudah menjadi kebiasaan kebahagiaan kita. Jadi, dengan bantuan negara, bukankah kita membangun penjara kita sendiri.

Untuk melarikan diri dari penjara yang dibangun oleh diri kita sendiri seperti yang dijelaskan oleh Hocquenghem, kita harus mengubah kritik Edelman terhadapnya dan bentuk patetik dari proyek hidupnya. Argumen kita tetap sama bahwa, ‘proyeknya harus diambil di luar batasnya sendiri.’ Faktanya, pemisahan teori dari praktik pemberontakan apapun, melemahkan kekuatan potensial yang ada di No Future. Untuk mencapai kesimpulan detasemen apolitis melalui negativitas queer adalah pemikiran yang lemah. Kita lebih tertarik pada praksis di mana teori queer dan pemberontakan queer digabungkan dalam elaborasi nihilisme aktif, anti-politik.

Sejenak kembali ke Halberstam:

No Future bagi Edelman berarti, mengarahkan hasrat kita di sekitar sinar matahari abadi dari anak yang tak bernoda dan menemukan sisi teduh [bayangan] dari imajiner politik dalam logika hubungan queer yang steril dan antireprodutif. Ini juga tampaknya berarti, (kebanyakannya) sesuatu itu adalah tentang ‘simbolik Lacan; dan tidak cukup banyak tentang ‘negativitas yang kuat dari politik punk’ …. Negativitas mungkin merupakan anti-politik tetapi tidak harus terdaftar sebagai apolitis.

Halberstam benar dalam mengkritik ketergantungan berlebihan Edelman pada psikoanalisis. Dalam hal ini, kita hanya dapat benar-benar menafsirkan metodologinya sebagai cop-out (menolak tugas-tugas), cara untuk menguraikan negativitas queer dari posisi aman kaum akademisi atau para analis. Kita selanjutnya akan setuju bahwa, ‘negativitas harus anti-politik daripada apolitis.’ Namun, sejujurnya, kita tidak begitu yakin apa itu ‘politik punk’, dan takut bahwa, poitik-punk mungkin akan sama mengerikannya dengan politik lainnya. Pada titik ini, penting bagi kita untuk mendefinisikan anti-politik kita sebagai: menolak semua logika politik, seperti representasi, mediasi, dan dialog dengan kekuasaan. Jadi, sekali lagi, kita harus meninggalkan akademisi queer dan jawaban enteng mereka. Kita menyimpang dari Halberstam karena kita tidak akan menempatkan anti-politik kita dalam genre musik apapun atau dalam segala subkultur yang menyertainya. Sebagai gantinya, kita akan mencoba untuk menunjukkan bahwa, ‘kekurangan pemikiran Edelman akan dilengkapi dengan kecenderungan anti-politik dari praktik anarkis insureksioner dari serangan pengorganisiran-diri (self-organize)’ [tanpa pemimpin sang organisator].

Kritik Edelman terhadap politik dimulai dari figur Anak. Semua posisi politik, menurutnya, mewakili diri mereka sendiri sebagai: ‘melakukan yang terbaik untuk anak-anak.’ Politisi – apapun partainya atau kecenderungannya – secara universal membingkai perdebatan mereka seputar pertanyaan tentang kebijakan apa yang terbaik untuk anak-anak, siapa yang menjaga Anak paling aman, atau jenis dunia apa yang ingin kita bangun untuk anak-anak kita. Sentralitas Anak dalam bidang politik tidak terbatas pada politik elektoral atau partai politik. Kelompok-kelompok nasionalis mengorganisir diri mereka di sekitar kebutuhan untuk melestarikan masa depan anak-anak mereka, sementara kaum revolusioner anarkis dan komunis menyibukkan diri dengan pengorganisasian revolusioner yang dimaksudkan untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi generasi mendatang. Politisi menyibukkan diri dengan anak-anak yang berbeda tergantung pada perbedaan mereka dari ideologi, tetapi Anak tetap konstan sebagai pita Möbius[11] yang universal, menelungkupkan dirinya dan membalikkan diri sehingga menjadi nilai universal yang tidak perlu dipertanyakan dan tidak tersentuh dari semua politik. Politik – betapapun dianggap radikalnya – hanyalah gerakan universal penyerahan diri pada cita-cita masa depan—untuk melestarikan, memelihara, dan meningkatkan struktur masyarakat dan memperbanyaknya sepanjang waktu, demi anak-anak. Anak akan selalu menyebutkan cakrawala dan penerima manfaat dari setiap proyek politik.

Karena alasan inilah Edelman berpendapat bahwa, queerness menemukan dirinya hilang dari semua wacana politik:

Karena pandangan liberal tentang masyarakat – yang tampaknya memberi tempat bagi kaum queer – mendukung: tak lebih dari hak konservatif tentang perlawanan queerness terhadap futurism; dan dengan demikian, queerness queer. Sementara sayap kanan membayangkan penghapusan queer (atau kebutuhan untuk menghadapi eksistensi mereka), sayap kiri akan menghapus queer dengan menyinari cahaya dingin akal ke atasnya, berharap untuk mengeksposnya; dengan demikian, hal itu hanyalah sebagai mode ekspresi seksual (mode of sexual expression) yang bebas dari seluruh pewarnaan yang pervasif, formasi fantasi yang mendeterminasi, yang dengannya ia dapat meramal,bukan untuk hak saja, juga meramalkan kehancuran tatanan sosial dan pusat perhatiannya: Anak. Dengan demikian, queerness tidak berarti apa-apa bagi keduanya: bagi sayap kanan, ketiadaan (nothingness) selalu berperang dengan positivitas masyarakat sipil; bagi kiri, tidak lebih dari praktik seksual yang membutuhkan demistifikasi.

Anak, tentu saja, sangat sedikit hubungannya dengan anak-anak yang sebenarnya. Seperti semua orang, anak-anak diperbudak di bawah tatanan politik negara dan kapital, diharapkan menanggung beban menjadi penerima manfaat yang ‘tak bersalah’ dari inisiatif politik. Tidak, sebaliknya Anak adalah: simbol fantastis untuk pertumbuhan abadi masyarakat kelas. Anak mewakili suksesi generasi dan kelanjutan masyarakat ini di luar rentang hidup anggotanya yang masih hidup. Semua politik, yang terutama berkaitan dengan Anak, kemudian mengungkapkan diri mereka sendiri sebagai suatu proses yang digunakan untuk mengelola dan mengamankan kelangsungan hidup masyarakat. Sebagai musuh masyarakat, kita juga musuh politik.

Mengutip Edelman:

Fantasi yang menutupi citra anak selalu membentuk logika di mana politik itu sendiri harus dipikirkan. Logika itu memaksa kita – sejauh kita akan terdaftar sebagai ‘bertanggung jawab secara politik’ – untuk tunduk pada pembingkaian debat politik; dan, tentu saja, bidang politik, seperti yang didefinisikan oleh istilah-istilah yang digambarkan buku ini sebagai futurisme reproduktif: istilah-istilah yang memaksakan batasan ideologis pada wacana politik seperti itu, dalam prosesnya, melestarikan hak istimewa mutlak dari heteronormativitas dengan membuat kemungkinan resistensi queer terhadap prinsip pengorganisasian hubungan komunal ini tak terpikirkan, dengan membuangnya di luar domain politik.

Jika berbagai wacana politik hanya tentang Anak (sebagai masa depan masyarakat); queerness haruslah anti-politik, karena queerness menandai gangguan mendasar dari norma-norma masyarakat dan apparatus-aparatusnya yang eksis untuk mengamanatkan reproduksi Anak. Ya, seks queer bisa menjadi seks non-reproduksi, tetapi kita tidak bisa mendefinisikan queer melalui logika yang terlalu-sederhana dan naturalistik. Queerness – di luar menjadi negasi dari matriks keluarga heteronormatif – juga harus dipraktikkan sebagai penolakan yang disengaja dari imperatif politik untuk mereproduksi masyarakat kelas. Di dunia di mana semua hubungan sosial terpesona oleh kewajiban kita kepada Anak sebagai masa depan tatanan sosial, kita harus memutuskan hubungan komunal itu dan mematahkan cengkeraman politik atas kehidupan kita sehari-hari. Queerness harus berada di luar politik, antagonisme terhadap politik; atau tidak, maka bukanlah queer sama sekali.

Menurut penjelasan Edelman:

Queerness menyebut sisi dari mereka yang “tidak berjuang untuk anak-anak.” Sisi di luar konsensus di mana semua politik menegaskan nilai absolut dari futurisme reproduktif. Naik turunnya keberuntungan politik dapat mengukur denyut nadi tatanan sosial, tetapi queerness, dengan figur-figur kontras di luar dan di luar gejala politiknya, adalah tempat dorongan kematian tatanan sosial: tempat, tentu saja, adalah tempat kehinaan yang diekspresikan dalam stigma, terkadang fatal yang mengikuti dari pembacaan figur itu secara harfiah ... Lebih radikal, meskipun seperti yang saya katakan di sini, queerness mencapai nilai etisnya justru sejauh ia mengakses tempat itu, menerima status figuralnya sebagai resistensi terhadap kelangsungan hidup sosial sambil bersikeras pada tidak dapat dipisahkannya resistensi semacam itu dari setiap struktur sosial.

Queerness – seperti yang akan kita bayangkan – tidak terkunci dalam pertempuran dialektis identitas queer versus identitas normatif, atau politik queer versus politik heteronormatif. Sebaliknya, oposisi queer kita dilevelkan pada: melawan oposisi palsu yang selalu diwakili oleh politik. Queerness menandai ruang yang berada di luar dan bertentangan dengan logika politik. Kaum anarkis insureksioner tidak asing dengan ruang ini. Sementara kaum anarkis kiri mengartikulasikan aktivitas mereka sebagai politik, anarki insureksioner tidak menyibukkan diri dengan abstraksi semacam itu. Kita melarikan diri dari semua peran politik yang memanggil kita untuk mensimbolikasikan apa yang dibangun oleh media atau oleh pemimpin perjuangan yang mereka lantik sendiri. Tidak seperti kebanyakan lainnya, yang mendeklarasikan-diri sebagai revolusioner, kita tidak berjuang untuk masa depan utopis (komunis, anarkis, dan sibernetik). Kita tidak mencari kemenangan yang akan dinikmati oleh anak-anak simbolik di masyarakat masa depan. Kita tidak berjuang untuk cita-cita abstrak. Kita tidak menciptakan dunia, dan kita tidak termotivasi oleh apapun di luar diri kita. Praktik anti-politik kita, upaya-upaya insureksi kita, muncul murni dari konteks kesadaran akan kehidupan kita sehari-hari. Jika kita berbicara tentang perang sosial, itu karena kita sedang bereksperimen dengan jenis hubungan dan pertempuran untuk menyerang tatanan sosial.

Untuk benar-benar melepaskan diri dari politik, kita harus mengembangkan bentuk-bentuk perjuangan yang menghancurkan ilusi-ilusi yang dengannya politik diperlukan. Mengutip Edelman lagi:

Politik menyebut undang-undang sosial dari upaya subjek untuk membangun kondisi bagi (sebuah) konsolidasi yang mustahil melalui identifikasi dengan sesuatu di luar dirinya … ditangguhkan terus-menerus dari dirinya sendiri. Politik, menyebut perjuangan untuk mewujudkan tatanan realitas yang fantastik di mana keterasingan subjek akan lenyap ke dalam mulusnya identitas di titik akhir rantai penanda yang tak berujung yang hidup sebagai sejarah.

Politik adalah kekuatan yang begitu jahat karena digerakkan oleh keterasingan dan tidak berakar pada fondasi masyarakat. Untuk mengatasi kebosanan ini, individu beralih ke politik untuk menemukan beberapa kebenaran universal yang harus diperjuangkan—sebuah abstraksi yang nyaman untuk mengisi kekosongan dalam pengalaman mereka. Ini adalah paradoks, tentu saja, karena keterasingan ini bersifat intrinsik bagi masyarakat kapitalis, dan politik hanya dapat mereproduksi masyarakat itu; dan oleh karena itu, mereduksi kesengsaraan yang menyertainya. Fantasi politik berjanji untuk menjahit subjektivitas kosong seseorang ke beberapa abstraksi di luar dirinya dalam upayanya untuk menemukan beberapa makna, untuk menempatkan diri dalam sejarah, untuk benar-benar melakukan sesuatu. Seperti bentuk seni pertunjukan, politik bertindak sebagai representasi besar perlawanan terhadap masyarakat; namun sebagai representasi belaka, tetap tidak dapat dipisahkan dari tatanan simbolik. Realitas politik adalah, bahwa ia tidak menawarkan apa-apa; ketiadaan yang sesuai dengan ketidakbermaknaan kehidupan sosial.

Sebuah insureksi anti-politik queer berfungsi untuk mengganggu sirkuit tertutup dari kekosongan-politik-kekosongan. Menghentikan pengejaran tanpa henti akan dunia yang lebih baik bagi Anak; proyek kita berpusat pada pemenuhan langsung, kegembiraan, konflik, balas dendam, konspirasi, dan kesenangan. Daripada politik, kita terlibat dalam perang sosial. Tanpa tuntutan, kita mengambil alih apa yang kita inginkan. Alih-alih representasi, kita mengandalkan pengorganisasian diri yang otonom. Kita tidak protes, kita menyerang. Seperti queerness kita, anti-politik kita berusaha untuk melepaskan diri dari identifikasi politik atau keterikatan ideologis dengan subjektivitas politik ini dan itu.

Mengakses identifikasi figural ini dengan penghancuran identitas – yang juga dapat dikatakan sebagai dis-artikulasi bentuk sosial dan simbolik – mungkin dapat digambarkan sebagai penghancuran diri secara politis ... tetapi politik (sebagai elaborasi sosial dari realitas) dan diri (sebagai prostesis yang hanya mempertahankan masa depan untuk anak figural), adalah apa yang queerness – sekali lagi sebagai figure – perlu dihancurkan; tentu saja sejauh “diri” ini adalah agen futurisme reproduktif dan “politik” ini adalah sarana penyebarannya sebagai realitas tatanan sosial … Penghancuran diri politik melekat pada satu-satunya tindakan yang dianggap sebagai suatu: tindakan melawan perbudakan masa depan atas nama memiliki kehidupan.

  1. Menghindari Jebakan Masa Depan

Menghindari jebakan masa depan sangatlah jelas, melalui perlakuan Edelman tentang hubungan politik dengan Anak bahwa, ‘cathexis[12] yang menangkap semua ambisi politik adalah dorongan menuju masa depan.’ Tatanan sosial harus memperhatikan masa depan guna menciptakan infrastruktur dan wacana yang bergerak maju untuk berkembang biak dengan sendirinya. Penamaan Edelman pada ‘desakan pada Anak sebagai masa depan’ ini adalah futurisme reproduktif. Futurisme reproduktif adalah ideologi yang menuntut agar semua hubungan sosial dan kehidupan komunal disusun untuk menghasilkan kemungkinan masa depan melalui reproduksi Anak, dan dengan demikian reproduksi masyarakat. Ideologi futurisme reproduktif memastikan pengorbanan semua energi vital guna abstraksi murni dari kelanjutan ideal masyarakat. Edelman berpendapat bahwa, “masa depan sama dengan perjuangan untuk Kehidupan dengan mengorbankan kehidupan; perjuangan untuk Anak-anak dengan mengorbankan pengalaman hidup anak-anak yang sebenarnya.”

Jika queerness adalah penolakan nilai simbolik Anak sebagai cakrawala masa depan, queerness harus digambarkan sebagai lawan dari masa depan itu sendiri. Untuk lebih spesifiknya, proyek queer kita juga harus menempatkan dirinya sebagai penyangkalan terhadap masa depan peradaban.

Edelman berpendapat bahwa, “orang-orang queer datang untuk menjadi penghalang bagi setiap realisasi masa depan, sebuah resistensi internal terhadap sosial: terhadap setiap struktur atau bentuk sosial.” Dia menempatkan anti-futurisme queer ini sebagai pembenaran fantastis yang utama untuk kekerasan anti-queer: “Jika tidak ada bayi dan – sebagai konsekuensinya – tidak ada masa depan, maka kesalahan harus jatuh pada iming-iming fatal dari kenikmatan narsistik steril yang dipahami sebagai destruksi makna secara inheren; dan karena itu, bertanggung jawab atas kehancuran organisasi sosial, realitas kolektif, dan – tak dapat dihindari – kehancuran kehidupan itu sendiri.” Dia menggunakan interpretasi anti-queer tentang penghancuran Sodom dalam Alkitab untuk menggambarkan cara-cara di mana imajiner kolektif masih dihantui oleh gagasan bahwa, ‘proliferasi queer hanya dapat menghasilkan ancaman kiamat masyarakat yang berkelanjutan.’ Dengan demikian, atas nama Anak dan masa depan yang diwakilinya, setiap represi, baik seksual atau yang lainnya, dapat dibenarkan.

Anak, yang tenggelam dalam kepolosan yang dilihat sebagai pengepungan yang berkelanjutan, kondensasi kerentanan fantasi terhadap queerness seksualitas queer justru sejauh Anak itu mengabadikan – dalam bentuknya sebagai sublimasi – sebuah nilai yang sangat dikutuk oleh queerness: sebuah desakan pada kesamaan yang bermaksud untuk mengembalikan masa lalu Imajiner. Anak, menandai fiksasi fetisistik heteronormativitas: investasi bermuatan erotis dalam kesamaan identitas yang kaku yang merupakan pusat narasi wajib dari futurisme reproduktif. Jadi, seperti yang dipertahankan oleh kaum kanan radikal, pertempuran melawan kaum queer adalah perjuangan hidup dan mati untuk masa depan seorang Anak yang kehancurannya dikejar oleh kaum queer. Memang, seperti yang dijelaskan oleh Tentara Tuhan dalam panduan pembuatan bom yang dihasilkannya untuk bantuan anggota militan “pro-kehidupan”, tujuannya sepenuhnya sesuai dengan logika futurisme reproduktif: untuk “mengganggu dan akhirnya menghancurkan kekuatan Setan untuk membunuh anak-anak kita, anak-anak Tuhan.”

Edelman melanjutkan dengan mengutip cara-cara di mana futurisme reproduktif melekat pada ideologi supremasi kulit putih dan nasionalisme kulit putih; terikat sebagai Anak adalah gagasan tentang ras dan bangsa:

Izinkan saya mengakhirinya dengan referensi “empat belas kata,” yang diatributkan dengan David Lane, di mana anggota berbagai organisasi separatis kulit putih di seluruh Amerika Serikat menegaskan komitmen kolektif mereka terhadap penyebab kebencian rasial: “kita harus mengamankan keberadaan rakyat kita dan masa depan bagi anak-anak kulit putih.” Selama “putih” adalah satu-satunya kata yang membuat kredo ini mengerikan, selama anak-anak figural terus “mengamankan eksistensi kita” melalui fantasi bahwa, ‘kita bertahan di dalamnya, selama queer menyangkal fantasi itu, menyebabkan de-realisasinya sebagai pertemuan pasti dengan Riil, untuk sekian lama [queerness] harus memiliki masa depan.’

Untuk memperkuat argumennya tentang sifat represif futurisme reproduktif, Edelman mengutip Walter Benjamin dalam menggambarkan cara fantasi masa depan yang intrinsik dengan penyebaran fasisme di Eropa. Edelman – melalui Benjamin – menggambarkan “fasisme dari wajah bayi (the fascism of the baby’s face),” sebuah ungkapan yang dimaksudkan untuk menggambarkan kekuatan absolut yang diberikan pada ideologi futurisme reproduktif. Fasisme wajah bayi ini berfungsi untuk mereifikasi perbedaan dan dengan demikian mengamankan reproduksi tatanan sosial yang ada dalam bentuk masa depan. Tidak ada kekejaman yang tidak mungkin, jika itu adalah untuk Anak; tidak ada proyek industri yang mengerikan yang harus dihalangi, jika itu akan membantu mempercepat masa depan peradaban industri. Tentara manusia, baik imperial maupun revolusioner, selalu berbaris untuk pembantaian atas nama Anak.

Tetapi kita tidak perlu melihat lebih jauh berita utama hari ini untuk melihat kekuatan simbolik yang dikerahkan oleh wajah Anak dalam melayani tatanan sosial. Tahun ini, negara tersebut telah terpikat oleh dua contoh mengerikan dari rezim kematian supremasi kulit putih di Amerika Serikat. Trayvon Martin di Sanford, Florida dan Bo Morrison di Slinger, Wisconsin: dua pemuda kulit hitam dibunuh di tangan warga rasis.

Sementara pembunuhan sistematis dan pemenjaraan orang kulit hitam begitu biasa, sehingga tidak bisa menjadi berita utama; cerita-cerita ini telah menyapu bangsa, terutama karena cara mereka bersinggungan dengan narasi kepolosan dan narasi masa kanak-kanak. Khususnya dalam kasus Trayvon Martin, yang masa depannya diambil darinya pada usia tujuh belas tahun, sebuah perdebatan berkecamuk berpusat di sekitar karakternya dan kepolosannya sehubungan dengan posisi simboliknya sebagai Anak.

Satu sisi dari perdebatan ini mengedarkan gambaran “malaikat” dari wajahnya untuk meyakinkan masyarakat tentang sifatnya yang seperti anak kecil. Sisi lain mengedarkan foto palsu dirinya menggunakan alat pemanggang sebagai ‘semacam bukti rasial’ untuk kedewasaannya. Masing-masing pihak dengan tergesa-gesa memeriksa ‘bukti’ untuk memperdebatkan apakah dia telah menyerang pembunuhnya sebelum dia meninggal atau tidak. Apa yang dipertaruhkan dalam debat ini adalah: posisi simbolik Trayvon sebagai Anak: jika dia mewakili Anak, pembunuhannya adalah penghancuran masa depan yang mengerikan (dan dengan ekstensi semua orang). Jika dia bukan Anak, maka pembunuhnya bertindak karena kebutuhan untuk melindungi masa depan komunitasnya sendiri (dan anak-anak di dalamnya) dari ancaman yang dirasakan (bahkan walau salah). Sementara politisi berpangkat tinggi seperti Presiden, menginvestasikan Trayvon dengan beban membawa masa depan anak-anak mereka sendiri; yang lain terus menegaskan hak amandemen kedua mereka untuk memiliki senjata sehingga mereka dapat melindungi kepemilikan mereka.

Bo Morrison juga dibunuh oleh pemilik rumah yang rasis, dan pembunuhnya masih berkeliaran tanpa hukuman karena dia dapat mengklaim bahwa, ‘dia perlu menghilangkan segala ancaman terhadap anak-anaknya.’ Pria muda kulit hitam yang difigurkan – seperti orang-orang queer – sebagai ancaman terhadap keluarga, dihancurkan atas nama Anak itu. Dalam setiap contoh, seluruh wacana berpusat pada Anak meski sepenuhnya mengaburkan realitas individu muda yang sebenarnya dieksekusi atas nama Anak.

Para pakar mengartikulasikan langkah-langkah yang dapat diambil oleh orang tua dan negara untuk mengembalikan janji masa depan: larangan senjata, kepemilikan senjata yang lebih bertanggung jawab, penghapusan ‘hoodies’ dari lemari pakaian anak-anak, pengawasan tetangga, lebih banyak polisi, “keadilan.” Pembunuhan mengerikan ini menunjukkan bahwa, ‘benar-benar tidak ada masa depan.’ Kebenaran inilah yang dibangkitkan oleh anak muda di manapun. Mereka mengerumuni jalan-jalan secara massal, bertudung, untuk berlari lebih cepat dari kejaran polisi dan menjebak arus lalu-lintas kota. Mereka berjalan keluar dari sekolah—penjara masa depan yang dangkal—untuk menjarah toko bersama teman-teman mereka. Mereka melakukannya dengan persiapan dan koordinasi, sehingga di lain waktu, salah satu dari mereka dibakar di tiang pancang demi Masa Depan, dan mereka juga akan membuat kota terbakar dengan cara yang sama [ketika teman mereka dibakar di tiang pancang]. Kebakaran di Yunani, London dan Bahrain mengisyaratkan konsekuensi dari kebangkitan seperti itu.

Untuk lebih mendalami teori Edelman tentang Anak dan perdebatan kontemporer seputar reproduksi dalam konteks sejarah yang spesifik memunculkan Kapitalisme, kita akan beralih secara singkat ke karya Silvia Federici dalam bukunya Caliban and the Witch. Di dalam Caliban, Federici mempelajari kebangkitan Kapitalisme di Eropa melalui proses akumulasi primitif. Bagi Federici, pergeseran dari feodalisme ke kapitalisme hanya dimungkinkan melalui akumulasi tubuh perempuan dan konsekuensinya melalui pengembangan kapasitas tubuh mereka menjadi tempat yang khusus untuk reproduksi tenaga kerja proletar. Sejarahnya menggambarkan bahwa, ‘alih-alih transisi yang mulus, periode itu ditandai oleh osilasi konstan antara insureksi dan kontra-insurgensi.’ Dia mengkarakteristikkan petani dan pekerja proletar yang memberontak melawan Negara dan era setelah wabah hitam sebagai “tidak peduli dengan masa depan,” terputus karena mereka berasal dari fantasi teleologis yang nyaman. Dia berargumen bahwa, ‘otonomi dan kekuasaan yang dimiliki kaum tani perempuan (dan kaum queer) atas tubuh mereka sendiri harus dihancurkan agar kelas borjuis yang baru lahir dapat mengubah mereka menjadi mesin tenaga kerja reproduktif.’

Kita akan mengutip Federici dalam menguraikan cara spesifik di mana konstruksi unit reproduksi sosial yang teratomisasi—keluarga—sangat penting dalam proses memadamkan pemberontakan awal abad pertengahan melawan kapitalisme:

Di abad pertengahan, migrasi, pengembaraan, dan munculnya kejahatan terhadap properti adalah bagian dari perlawanan terhadap pemiskinan dan perampasan; fenomena ini sekarang mengambil proporsi masif. Di mana-mana—jika kita menghargai keluhan otoritas kontemporer—gelandangan berkerumun, mengubah kota, melintasi perbatasan, tidur di tumpukan jerami atau berkerumun di gerbang kota—manusia besar yang terlibat dalam diasporanya sendiri, yang selama beberapa dekade melarikan diri dari kendali penguasa …. Reklamasi besar-besaran dan perampasan kembali kekayaan komunal yang dicuri sedang berlangsung …. Untuk mengejar disiplin sosial, serangan diluncurkan terhadap semua bentuk sosialitas dan seksualitas kolektif termasuk olahraga, permainan, tarian, minuman beralkohol, festival, dan ritual kelompok lainnya yang telah menjadi sumber ikatan dan solidaritas di antara para pekerja …. Yang dipertaruhkan adalah, desosialisasi atau dekolektivisasi reproduksi tenaga-kerja, serta upaya untuk memaksakan penggunaan waktu senggang yang lebih produktif …. Kandang fisik yang dioperasikan oleh privatisasi tanah dan lindung nilai[13] milik bersama (the hedging of common) diperkuat oleh proses pengkandangan sosial, reproduksi pekerja yang berpindah dari lapangan terbuka ke rumah, dari komunitas ke keluarga, dari ruang publik, ke privat.

Melalui argumennya, Federici secara konsisten beralih ke kekejaman sejarah yang merupakan perburuan penyihir sebagai tokoh utama penghancuran kekuatan perempuan dan akumulasi berikutnya dari tubuh mereka sebagai mesin rahim. Dia secara khusus berpendapat bahwa, ‘pada abad ke-16 dan ke-17, sebuah narasi kolektif beredar dalam upaya untuk membangkitkan paranoia dan semangat anti-penyihir yang menuduh penyihir sebagai pembunuh anak-anak’. Konsepsi umum menyatakan bahwa, ‘penyihir akan – dengan kedok sebagai penyembuh – memasuki rumah majikan mereka dan mengorbankan anak-anak mereka kepada Iblis.’ Pada saat negara dan keluarga menjadi sangat prihatin dengan penurunan populasi, ketakutan ini menyebabkan kebencian yang luar biasa terhadap mereka yang dituduh melakukan sihir. Di sini, kita melihat munculnya keutamaan Anak sebagai simbol yang mengatur reproduksi ideologis dan material masyarakat kelas. Penyihir – dan perempuan abad pertengahan secara lebih luas – kemudian dapat ditempatkan dalam kategori struktural queerness yang ditetapkan oleh Edelman sebagai: kategori mereka yang menolak perbudakan masa depan dalam bentuk Anak. Perlu juga dicatat – meskipun Federici hanya menyebutkannya di catatan akhir – bahwa, ‘ada hubungan yang sangat kuat antara sihir dan queerness;’ dan bahwa, ‘banyak kaum queer menemui kematian mereka selama masa perburuan penyihir.’

Federici berpendapat bahwa: dengan …

… perbudakan perempuan untuk tujuan prokreasi … rahim mereka menjadi wilayah publik, dikendalikan oleh laki-laki dan negara, dan prokreasi secara langsung ditempatkan untuk melayani akumulasi kapitalis … Marx tidak pernah mengakui bahwa, ‘prokreasi dapat menjadi medan eksploitasi dan dengan cara yang sama medan perlawanan.’ Dia tidak pernah membayangkan bahwa, ‘perempuan dapat menolak untuk bereproduksi;’ atau bahwa, ‘penolakan seperti itu dapat menjadi bagian dari perjuangan kelas’ …. Perempuan melakukan pemogokan melawan pembuatan anak.

Titik buta dalam pemikiran Marx ini harus tetap ada dalam kritik kita terhadap futurisme reproduktif dan tatanan sosialnya. Hal ini berguna untuk memeriksa saat-saat di mana orang dengan sengaja menolak reproduksi masyarakat melalui pengurangan (subtraksi) tubuh mereka dari arus masa depan. Jelas terlihat bagaimana – pada momen bersejarah yang digambarkan di Caliban – penolakan literal untuk menciptakan anak-anak adalah: praktik perlawanan terhadap dominasi negara atas tubuh mereka. Perlawanan dan penolakan tubuh ini masih sangat penting sampai hari ini, tetapi perjuangan kontemporer kita bukanlah perjuangan yang semata-mata dilakukan guna melawan persyaratan untuk menghasilkan anak-anak yang sebenarnya. Kita dihadapkan pada simbol Anak yang kepentingan dan wajahnya mengatur operasi politik dan semua subjek politik. Jenis serangan yang berbeda akan diperlukan untuk menolak kekuatan fantastis Anak.

Kritik lain yang berguna yang dilontarkan Federici terhadap Marxisme adalah: bahwa, ‘dari perspektif perempuan, tidak mungkin untuk menyatakan bahwa kapitalisme pernah progresif atau membebaskan.’ Dia berpendapat bahwa, ‘jika kita mengakui bahwa masyarakat kelas muncul dari pembantaian ribuan perempuan dan pengembangan tubuh mereka untuk memenuhi kebutuhan industri, maka kita harus mengakui bahwa kapitalisme secara universal berarti degradasi dan eksploitasi bagi perempuan.’ Meskipun bukanlah sesuatu yang baru untuk berargumen bahwa: kapitalisme berarti eksploitasi, argumen ini terkait dengan analisis kita karena secara khusus mendakwa dan menyangkal teleologi (khususnya Marxis, tetapi digunakan oleh banyak ideologi lain) yang mengatakan bahwa, ‘kapitalisme adalah langkah yang diperlukan pada jalan menuju utopia.’ Dengan menolak ideologi progresif ini, Federici pada dasarnya mempertanyakan stabilitas naratif futurisme reproduktif, yang meyakinkan kita bahwa: sejarah menggerakkan kita menuju surga, dan bahwa pengaturan saat ini hanyalah sebuah langkah di sepanjang jalan menuju surga tersebut.

Jika kita ingin sepenuhnya memahami mengapa kompleksitas dari Anak, politik, dan futurisme reproduktif telah terjalin ke dalam kondisi represif seperti itu, kita akan disajikan dengan baik untuk menganalisis dinamika spesifik kapitalisme saat ia berevolusi melalui kontra-revolusi di beberapa dekade masa lalu. Secara khusus, kita perlu melihat kapital itu sendiri sebagai kekuatan yang menjajah kehidupan dan membuatnya kembali dalam citranya. Untuk ini, kita akan beralih ke karya Jacques Camatte dalam esainya “Against Domestication”:

Industri masa depan telah datang dengan sendirinya dan mengambil ruang lingkup yang sangat besar. Kapital memasuki bidang baru ini dan mulai mengeksploitasinya, yang mengarah pada pengambilalihan lebih lanjut atas manusia dan penguatan domestikasi mereka. Penahanan atas masa depan inilah yang membedakan kapital dari semua mode produksi lainnya. Dari asal-usulnya yang paling awal, hubungan kapital dengan masa lalu atau sekarang selalu kurang penting dibandingkan hubungannya dengan masa depan. Satu-satunya sumber kehidupan kapital adalah, dalam pertukaran yang dilakukannya dengan tenaga kerja. Jadi, ketika nilai surplus diciptakan, hal ini berarti, dalam arti langsung, hanyalah kapital yang potensial; ia dapat menjadi kapital yang efektif hanya melalui pertukaran melawan tenaga kerja di masa depan. Dengan kata lain, ketika nilai lebih (surplus) diciptakan di masa sekarang, ia memperoleh kenyataan hanya jika tenaga kerja tampaknya sudah tersedia di masa depan. Oleh karena itu, jika masa depan ini tidak ada, maka masa kini (dan selanjutnya masa lalu) dihapuskan: ini adalah devaluasi melalui hilangnya substansi secara total. Maka, jelaslah, usaha pertama kapital harus mendominasi masa depan agar dapat dipastikan menyelesaikan proses produksinya. (Penaklukan ini dikelola oleh sistem kredit). Jadi, kapital telah secara efektif menyesuaikan waktu yang dibentuknya menurut citranya sendiri sebagai waktu kuantitatif. Namun, nilai lebih saat ini direalisasikan dan dinilai melalui pertukaran terhadap kerja masa depan, tetapi sekarang, dengan perkembangan industri masa depan, nilai lebih saat ini dengan sendirinya menjadi terbuka untuk kapitalisasi. Kapitalisasi ini menuntut waktu untuk diprogram dan kebutuhan ini diekspresikan secara ilmiah dalam futurologi. Selanjutnya, kapital memproduksi waktu. Mulai sekarang, di mana orang dapat menempatkan utopia mereka?

Dalam perjalanan hidup karyanya Camatte, “Against Domestication” menandai pergeseran teorinya dari komunisme-kiri ke ide anti-peradaban. Karya ini nantinya akan mengilhami sejumlah besar teori anti-peradaban Anglophone. Argumennya adalah: bahwa, ‘sifat spesifik dari kapital yang berorientasi pada masa depan—kecenderungannya untuk mengakumulasi masa depan—memungkinkan kapitalisme berkembang menjadi mengerikan seperti adanya.’ Lebih dari sekedar merampas kerja hidup manusia dan mengkomodifikasinya sebagai kerja mati, Camatte berpendapat bahwa, ‘kapital telah menjajah manusia itu sendiri, membentuk keberadaan mereka dan menciptakan kembali hubungan manusia ke dalam komunitas-komunitas kapital.’ Dia menggambarkan proses ini—antropomorfisasi[14] kapital—sebagai domestikasi. Dalam kedatangannya untuk menjajah setiap aspek kehidupan dalam masyarakat industri, kapital dengan demikian mendominasi masa depan individu sebanyak masa sekarang mereka. Camatte melanjutkan:

Masyarakat mapan yang ada pada masa-masa sebelumnya mendominasi masa kini dan pada tingkat lebih rendah mendominasi masa lalu; sementara itu, gerakan revolusioner memiliki masa depan untuk dirinya sendiri. Revolusi borjuis dan revolusi proletar harus menjamin kemajuan, tetapi kemajuan ini bergantung pada keberadaan masa depan yang dihargai dalam kaitannya dengan masa kini dan masa lalu yang akan dihapuskan. Dalam setiap kasus ... masa lalu disajikan sebagai ‘diselimuti kegelapan’, sementara masa depan adalah ‘cahaya yang bersinar’. Kapital telah menaklukkan masa depan. Kapital tidak takut pada utopia, karena ia bahkan cenderung memproduksinya. Masa depan adalah ladang untuk menghasilkan keuntungan. Untuk menghasilkan masa depan, untuk mewujudkannya, orang-orang masa kini harus dikondisikan sebagai fungsi dari proses produksi yang telah terbentuk sebelumnya: ini adalah pemrograman yang dibawa ke titik tertinggi ….

Dominasi masa lalu, masa kini dan masa depan, memunculkan representasi struktural, di mana segala sesuatu direduksi menjadi (kombinasi) hubungan sosial, kekuatan produktif, atau meme mitos (mythmemes), dll, diatur sedemikian rupa untuk menjadi satu kesatuan totalitas.

Totalitas ini adalah situasi kita. Sejarah hanyalah catatan berabad-abad kekalahan dan kemenangan kapital atas kematian. Masa depan adalah cakrawala yang didominasi oleh representasinya sebagai bidang kemungkinan ekspansi dan teknologi baru. Dan di sekitar kita ada banyak sekali institusi, teknologi, dan proses yang akan menggunakan kita sebagai alat yang tunduk untuk proses dominasi ini. Inilah yang dimaksud dengan, ‘menggambarkan kapitalisme sebagai suatu totalitas’. Inilah sebabnya mengapa kita tidak hanya menentang sistem ekonomi tertentu, tetapi melawan masyarakat industri itu sendiri; bukan untuk manajemen tertentu dari alat-alat produksi, tetapi melawan keseluruhannya.

Kapital itulah yang kini membentuk cakrawala kehidupan kita terbukti. Mengatakan “tidak ada masa depan” berarti mengatakan bahwa, ‘kita tidak memiliki masa depan kecuali masa depan yang hanyut di laut, ditiup setiap saat oleh angin krisis mode produksi kapitalis yang sedang berlangsung.’ Pekerjaan tidak tetap, hutang seumur hidup, ketidakmungkinan pensiun, kebutuhan untuk terus-menerus membuat-ulang diri sendiri melalui teknik-teknik-diri yang tak terhitung jumlahnya untuk membawa diri ke pasar sebagai komoditas, sewa, tagihan, kredit yang cukup baru: fakta-fakta reproduksi harian kita sendiri memaksa kita untuk terus menjual, bukan hanya kapasitas tubuh kita, tetapi juga masa depan kita. Setiap kali kita mempersembahkan tubuh kita dalam studi medis, atau mengubah trik, atau menjalankan penipuan, kita mempertaruhkan masa depan kita melawan tugas menakutkan untuk bertahan hidup satu bulan lagi di neraka.

Para editor komunis anti-negara dari jurnal Endnotes menulis dalam edisi kedua mereka:

Pengabadian-diri (self-perpetuation) kapitalis menampilkan dirinya sebagai keabadian (eternalization), tampak tak terbatas, tanpa ada yang melampauinya. Karena hubungan ini memproyeksikan dirinya ke masa depan yang tak terbatas, teori revolusioner tentu saja memperhatikan dirinya sendiri dengan perpecahan, dengan interupsi dalam temporalitas hubungan itu sendiri.

Interupsi itu dapat terlihat seperti apa? Bagaimana kita bisa membayangkan kekuatan yang mampu menghalangi aliran waktu tanpa henti ke masa depan? Mari kembali ke Edelman. Dia mengutip bagian dari kampanye untuk ‘undang-undang hak orang tua (parents bill of right)’ (kampanye politik yang bertujuan untuk ‘memperkuat keluarga’):

Sudah waktunya untuk bergabung bersama dan mengakui bahwa, ‘pekerjaan yang dilakukan orang tua sangatlah diperlukan—bahwa dengan memelihara tubuh kecil itu (anak) dan menumbuhkan jiwa kecil itu, mereka menciptakan simpanan modal sosial dan manusia yang sangat penting bagi kesehatan dan kekayaan bangsa kita.’ Sederhananya, dengan menciptakan kondisi yang memungkinkan orang tua untuk menghargai anak-anak mereka, kita akan memastikan masa depan kita bersama.</quote>

Edelman melanjutkan dengan menganalisis kampanye tersebut:

Abaikan sejenak apa yang menuntut untuk disebut transparansi dari seruan ini. Abaikan, seberapa cepat visi spiritualisasi orang tua “memelihara dan tumbuh … tubuh kecil … jiwa kecil” memberi jalan kepada tawaran retorika alih-alih investasi yang jauh lebih pragmatis (dan secara politis penting) dalam “modal manusia … penting bagi kesehatan dan kekayaan bangsa kita.” Abaikan, dengan melakukan demikian, bagaimana perikop itu menyebut “jiwa” manusia itu sebagai “modal” (dan) mendorong kita untuk “menghargai” manusia yang “modal” ini dengan persis sejauh mereka mewujudkan “modal” yang dimanusiakan ini. Abaikan semua ini dan mata seseorang mungkin masih akan terbuka untuk menemukan bahwa: hanya intervensi politik yang akan “memungkinkan … orang tua untuk menghargai anak-anak mereka” untuk “memastikan masa depan kolektif kita”—atau memastikan … nama “modal” politik yang akan menjadi anak-anak itu.

Dan dengan demikian ideologi futurisme reproduktif hadir dalam konteks kapitalisme yang berorientasi masa depan. Kekuatan penuh dari tatanan politik dan simbolik dimasukkan ke dalam dorongan untuk mereproduksi—untuk mereproduksi Anak. Namun di sini kita melihat bahwa, ‘jangkauan kapital yang terus meluas menuntut masa depan dan bahkan jiwa anak-anak yang belum lahir.’ Modal harus terus berkembang, dan hanya dapat dilakukan dengan mengambil setiap masa depan kita, dan bahkan anak-anak yang suatu hari nanti bisa kita miliki. Dan dorongan ke depan dari futurisme reproduktif ini harus memenuhi tujuannya, untuk terus-menerus mengorbankan proses domestikasi tanpa akhir di mana kapital datang untuk memiliki semua kehidupan. Modal adalah masa depan kita; dan belum ada masa depan. Di dalam kontradiksi ini—ekspansi kapital ke semua bidang kehidupan versus ketidakmungkinan menjalani kehidupan di dalam kapitalisme—kita harus mengarahkan studi kita dan berteori bagaimana kita dapat menginterupsi keberlangsungan tatanan saat ini tanpa akhir.

Untuk melakukannya, tentu saja, membutuhkan skeptisisme akut terhadap fantasi masa depan. Edelman berkata:

Kita mungkin ingin percaya bahwa: dengan kesabaran, dengan kerja keras, dengan kontribusi yang besar kepada kelompok-kelompok lobi atau partisipasi yang murah hati dalam kelompok-kelompok aktivis atau kemahiran hukum dan kecanggihan elektoral dalam dosis yang murah hati, masa depan akan memegang tempat bagi kita—tempat di meja politik yang tidak harus datang dengan mengorbankan tempat yang kita cari di tempat tidur atau bar atau kamar mandi. Tapi tidak ada queer di masa depan itu, karena tidak ada masa depan bagi queer, mereka dipilih karena mereka harus menanggung kabar buruk bahwa: tidak ada masa depan sama sekali … Masa depan itu tidak lain adalah barang anak-anak, dilahirkan kembali setiap hari untuk menyaring kuburan yang menganga dari dalam surat tak bernyawa, memikat kita ke dalam, menjerat kita di dalam, jaring halus realitas.

Keyakinan akan masa depan bagi kaum queer yang ditunjukkan oleh Edelman baru-baru ini, ditunjukkan oleh kampanye “It Gets Better”, serangkaian video viral YouTube yang ditujukan untuk kaum muda queer yang menjanjikan mereka bahwa, ‘hidup harus menjadi lebih baik jika mereka cukup sabar.’ Selebriti, politisi, dan orang-orang dari semua lapisan masyarakat bergabung bersama untuk memperjuangkan masa depan yang pasti lebih baik. Dalam tanggapan kampanye terhadap kekejaman yang sangat nyata dari bunuh diri remaja queer, hal itu hanya mendorong kekejamannya dan mendorong audiensnya untuk tunduk dengan sabar pada kesengsaraan yang berkelanjutan. Dalam upaya mengusir kematian, mereka mengusir kehidupan, menggantinya dengan pengorbanan dan menunggu masa depan yang lebih baik. Kampanye ini menjanjikan dunia yang memuaskan yang ada di luar mimpi buruk sekolah menengah, namun entah bagaimana gagal menyebutkan mimpi buruk yang terbangun dari hutang, pekerjaan, keluarga, penyakit, depresi dan kecemasan yang pasti harus diberikan di masa depan.

Dari video-video ini, yang paling keji dan mungkin yang paling jitu adalah rilisan terbaru dari Departemen Kepolisian San Francisco yang menggambarkan petugas polisi queer yang menceritakan kisah mereka yang akan keluar dan meyakinkan pemirsa tentang masa depan yang lebih baik. Seiring dengan jaminan ini, mereka lebih lanjut memohon anak muda queer untuk memanggil departemen kepolisian jika membutuhkan bantuannya, mereka menyatakan “itu akan menjadi lebih baik, dan sampai itu terjadi, kita akan berada di sini untuk Anda.”

Masa depan akan melanjutkan tontonan (spectacle) seperti fatamorgana, menjanjikan penebusan namun terus menunda pengirimannya. Semakin jauh kita melangkah di jalannya, semakin jauh kita dari utopia yang menggoda kita. Kita akan secara konsisten tiba di tempat yang kita bayangkan ‘masa depan akan membawa kita’, hanya untuk menemukan bahwa, ‘gurun kehidupan modern terus terbentang ke segala arah—bahwa berlalunya waktu terus membebaskan kita untuk pengulangan murni yang sama: eksploitasi yang sama, keterasingan, depresi, dan ketidakberartian yang sama.’ Jika queerness menjadi senjata kita, kita harus secara fanatik menghindari kecenderungan ke arah futurisme reproduktif yang akan menumpulkan belati kita. Kita harus menolak institusi masa depan, apakah sekolah menengah atau departemen kepolisian, yang selamanya merusak masa kini kita. Jika kita ingin menghentikan pertumbuhan ke angkasa dari tumpukan tubuh queer yang dikorbankan di kaki masa depan, kita harus membungkam paduan suara itu-menjadi-lebih baik dan menyerang, di sini dan sekarang, pada segala yang membuatnya tak tertahankan.

Jika niat kita adalah untuk berpartisipasi dalam pemberontakan melawan domestikasi dan masa depan kapital, kita tidak boleh tertipu oleh utopia futurisme reproduktif yang melarikan diri ini. Sebaliknya, kita harus menempatkan diri kita di masa kini, dan dengan cermat mengeksplorasi metode sabotase, interupsi, pengambilalihan, dan penghancuran yang menolak dominasi masa depan. Atau, seperti yang dikatakan Edelman:

Jika nasib queer adalah untuk menemukan nasib yang memotong benang masa depan ... maka satu-satunya status oposisi yang dapat dipimpin oleh queerness kita akan bergantung pada seriusnya kita mengambil tempat dari dorongan kematian yang diminta untuk kita pikirkan, dan bersikeras, melawan kultus Anak dan tatanan politik yang diperkuatnya, bahwa kita, seperti yang dijelaskan Guy Hocquenghem, “bukanlah penanda dari apa yang mungkin menjadi bentuk baru ‘organisasi sosial,’” bahwa: kita tidak bermaksud umtuk politik yang baru, masyarakat yang lebih baik, hari esok yang lebih cerah, karena semua fantasi ini mereproduksi masa lalu, melalui pemindahan, dalam bentuk masa depan. Kita memilih untuk tidak memilih Anak, sebagai citra disiplin dari masa lalu Imajiner atau sebagai situs identifikasi proyektif dengan masa depan yang selalu mustahil. Queerness yang kita usulkan, dalam kata-kata Hocquenghem, “tidak menyadari pergantian generasi sebagai tahapan menuju kehidupan yang lebih baik. Ia tidak tahu apa-apa tentang ‘pengorbanan sekarang demi generasi mendatang ... ia tahu bahwa, ‘peradaban saja yang fana.’ Terlebih lagi: ia menyukai kematian itu sebagai negasi dari segala sesuatu yang akan mendefinisikan dirinya, secara moral, sebagai pro-kehidupan. Kitalah yang harus mengubur subjek di lubang penanda yang seperti makam, dan akhirnya mengucapkan kata-kata mengutuk kita, apakah kita harus mengucapkannya atau tidak: bahwa kita adalah pendukung aborsi; bahwa Anak sebagai lambang masa depan harus mati; bahwa masa depan hanyalah pengulangan dan sama mematikannya dengan masa lalu. Queerness kita tidak memiliki apapun untuk menawarkan simbolik yang hidup dengan menyangkal ketiadaan kecuali desakan pada ekses yang menghantui ketiadaan ini, desakan negatif yang menembus layar fantasi masa depan, menghancurkan temporalitas naratif dengan kekuatan ironi yang selalu meledak. Jadi, apa yang paling queer tentang kita, paling queer di dalam diri kita, dan yang paling queer di luar kita adalah: kesediaan untuk bersikeras secara intransitif—untuk bersikeras bahwa, ‘masa depan berhenti di sini.’

  1. Menamai yang Tak Dapat Dinamakan

Konsep penting dalam proyek Edelman adalah istilah catachresis. Catachresis dapat didefinisikan sebagai penggunaan istilah untuk menyebut sesuatu yang tidak dapat disebutkan namanya, atau penyalahgunaan kata untuk menggambarkan sesuatu. Bagi Edelman, setiap penggunaan kata queer harus selalu menjadi catachresis, karena secara keliru memberi nama pada yang tidak dapat disebutkan namanya. Konsep ini adalah alat untuk mengkritik semua proses politik dan teoretis yang menegaskan kategori identitas di tempat proyek kita, yang tidak dapat disebutkan namanya. Bagi Edelman, hal mendasar yang tidak dapat disebutkan namanya adalah, dorongan kematian: kehancuran peradaban, dan kehancuran diri kita sendiri, berdenyut di dalam yang eksisten. Dia mengatakan bahwa, “dorongan itu sebenarnya [adalah catachresis] karena tak dapat dinamai dengan semua resonansi yang dapat Anda berikan untuk nama ini, hal itu mirip dengan catachresis yang tidak dapat disebutkan namanya, yaitu kematian.” Sementara kita mungkin menemukan dorongan yang tak dapat dinamai dan proyek yang tidak dapat disebutkan namanya secara berbeda, kita dipaksa untuk menghadapi logika politik catachresis dan menghadapi dorongan untuk memberinya nama—dan karena itu, adalah representasi dan politik—untuk apa yang pada dasarnya tak terlukiskan dalam hidup kita.

Argumen Edelman secara khusus ditujukan terhadap Judith Butler dan proyeknya untuk inklusivitas radikal (radical inclusivity). Terhadap Butler, dia berpendapat bahwa, ‘upaya untuk melegitimasi dan memasukkan subjek apapun ke dalam politik akan selalu berujung kegagalan.’ Sementara seseorang mungkin beragitasi untuk memasukkan catachresis tertentu yang menamai kekosongan anti-sosial, kekosongan itu tetap tidak tersentuh, dan nama lain harus diberikan padanya. Tatanan sosial yang lain, yang diperlukan, tidak dapat dihapuskan melalui integrasi berorientasi reformasi satu sama lain secara berturut-turut ke dalam proyek politik representatif Yang Lain harus bangkit untuk mengisi kekosongan. Masyarakat akan menemukan musuh lain yang tunduk pada disiplin dan untuk dihancurkan.

Terhadap Butler dan konsepsinya tentang keadilan sosial, Edelman berpendapat:

Berkomitmen pada kejelasan sebagai cakrawala keadilan sosial yang meluas, Butler akan menegaskan “kekuatan kita sendiri” untuk re-artikulasi melalui catachresis, hukum yang bertanggung jawab atas apa yang dia sebut sebagai “kengerian seksual kita yang dimoralisasikan (moralized sexual horror)”. Re-artikulasi seperti itu, klaimnya, akan berlanjut melalui skandal berulang di mana yang tak terkatakan tetap membuat dirinya didengar dengan meminjam dan mengeksploitasi istilah-istilah yang dimaksudkan untuk memaksakan keheningannya. Ini, tentu saja, mengasumsikan yang tak terkatakan dengan rmaksud untuk berbicara, di atas segalanya, sedangkan Lacan mempertahankan ... sesuatu yang sangat berbeda: seks, sebagai “ketidaklengkapan struktural bahasa: adalah apa yang tidak mengkomunikasikan dirinya sendiri, yang menandai subjek sebagai tidak dapat diketahui.” Tidak diragukan lagi, sebagaimana Butler membantu kita untuk melihat norma-norma tatanan sosial – pada kenyataannya – berubah melalui catachresis, dan mereka yang pernah dipersekusi sebagai figur-figur moralized sexual horror dapat menukar kuburan mereka yang dingin dan sunyi untuk mendapat tempat di tahap publik. Tetapi redistribusi peran sosial itu tidak menghentikan produksi kultur dari figur… untuk menanggung beban dari mewujudkan moralized sexual horror seperti itu. Karena kengerian (horror) itu sendiri bertahan dari figur-figur yang sepadan, yang menyempurnakannya sejauh ia menanggapi sesuatu dalam seks yang secara inheren tak terkatakan: Realitas diferensiasi seksual.

Bagi Edelman, queerness adalah hal yang tak terlukiskan yang lolos dari kemampuan untuk diberi nama: “queerness sebagai nama mungkin memperkuat tatanan simbolik penamaan, tetapi tatanan itu menamai apa yang menolak – sebagai penanda – penyerapan ke dalam identitas imajiner dari nama itu.” Maka kritik terhadap penamaan dan penyertaan subjek menyimpang ini harus mempertanyakan struktur yang menghasilkan subjek normatif dan menyimpang sejak awal. Perjuangan kita tidak bisa ‘menjadi satu’ dengan identitas ini dan itu, melainkan perjuangan kita adalah melawan politik representati dari Identitas secara keseluruhan.

Edelman berkata:

Agen yang bertanggung jawab atas kehancuran identitas telah diberi banyak nama: … pemusnahan makna global … penggali kubur masyarakat … segala yang menolak untuk mengizinkan orang tua untuk menghargai anak-anak mereka … homoseksual … dorongan kematian dan Jouissance yang Riil…. Jadi (queerness) menyatukan ancaman-ancaman ini terhadap futurisme reproduktif. Tidak ada catachresis politis, seperti yang diusulkan Butler, yang kemudian dapat mencegah kebutuhan untuk membentuk kategori (queerness) seperti itu. Karena meskipun – seperti yang disarankan Butler – catachresis politis dapat berubah seiring waktu para penghuni kategori itu, kategori itu sendiri ... terus menandai tempat manapunyang menolak kejelasan.

Jadi pertanyaan yang diajukan menyangkut penolakan terhadap kejelasan (intelligibility). Pengaturan kekuasaan kontemporer telah menghapus kesunyian yang pernah mengiringi hasrat gelap yang tak terlukiskan tentang queerness dan destruksi. Alih-alih larangan berbicara, kekuatan demokrasi biopolitik secara khusus membuat kita berbicara. Hubungan sibernetik memastikan bahwa masing-masing dari ‘sebagai subjek yang berbicara’ memiliki kemampuan untuk menamai dirinya sendiri, mengestetikkan dirinya sendiri, menyebarkan blog dan jejaring sosial serta avatar untuk merepresentasikan dirinya sendiri. Fungsi kekuasaan kontemporer dapat dipahami sebagai, satu gerakan tanpa akhir menuju kejelasan—salah satu gerakan dari memindahkan apa yang telah menjadi titik buta, menjadi subjek baru untuk dipasarkan: identitas baru untuk diawasi.

Kita ditangkap oleh negara setiap kali kita membuat diri kita jelas. Apakah permintaan, subjek politik, atau organisasi formal, setiap bentuk yang jelas: dapat dipulihkan, dapat direpresentasi, atau bahkan dapat pula dimusnahkan.

Proyek kita kemudian harus dilanjutkan dengan mengakui paradoks bahwa, ‘keberadaan diri kita benar-benar dapat dibuat jelas—bahkan oleh kita sendiri, bahkan bagi kita—akan menjadi kekalahan kita’. Kita harus menangkap kemungkinan kehidupan yang tidak dibatasi atau diproduksi melalui kemahahadiran kapital dan negara. Justru dengan fakta bahwa, ‘kata-kata gagal untuk menggambarkannya dan program-program gagal untuk mewujudkannya, kita dapat mengetahui kehidupan ini.’ Dengan demikian, setiap keharusan untuk menempatkan proyek yang tak terlukiskan ini ke dalam kata-kata mesti dipahami sebagai kompromi dari apa yang seharusnya menjadi proyek tanpa kompromi. Tidak ada bahasa yang dapat membuat niat kita dapat dipahami oleh tatanan sosial. Setiap langkah menuju pemahaman seperti itu akan menjadi pengkhianatan terhadap karakter antagonis spesifik dari proyek kita terhadap tatanan sosial itu sendiri.

Camatte mengelaborasi perihal poin ini:

Ini adalah revolusi hidup itu sendiri: pencarian cara hidup yang lain. Dialog seharusnya hanya berkaitan dengan rencana dan gagasan untuk mewujudkan hasrat ini. Tidak ada dialog yang dapat terjadi antara tatanan sosial dan mereka yang akan menggulingkannya. Jika dialog masih dipandang sebagai hal yang mungkin, maka ini akan menjadi indikasi bahwa ‘gerakan tersebut sedang goyah’. Yang mendasari semuanya adalah fenomena yang sangat penting: semua kehidupan manusia sejak awal perkembangannya dalam masyarakat kapitalis, telah mengalami pemiskinan. Lebih dari itu, masyarakat kapitalis adalah kematian yang terorganisir dengan segala penampakan kehidupan. Di sini bukanlah persoalan kematian sebagai kepunahan kehidupan, melainkan kematian-dalam-kehidupan, kematian dengan segala substansi dan kekuatan kehidupan. Manusia sudah mati dan tidak lebih dari ritual kapital … tetapi bagi sejumlah besar orang yang puas diri, yang hidup dalam drama dan fantasi kosong, tuntutan ini, kebutuhan yang penuh gairah ini, tampaknya tidak rasional – atau, paling banter – sebuah surga yang secara definisi tidak dapat diakses.

Maka queerness yang menentang masyarakat harus mewujudkan dorongan kematian dari apa yang telah menjadi kematian-dalam-kehidupan, negasi intrinsik dari tatanan sosial yang didasarkan pada penggunaan kehidupan untuk tujuan-tujuannya. Dalam proyek ini, kita tidak mendapatkan apa-apa dengan berbicara dalam bahasa, atau menuntut struktur kekuasaan yang ada. Secara khusus, kemampuan struktur ini untuk memahami antagonisme yang membuat kejelasan justru identik dengan ‘penyembuhan’.

Edelman kembali ke Butler:

Tidak heran kemudian bahwa: tindakan subversifnya, artikulasi ulang normanya, sambil berjanji untuk membuka apa yang disebut Butler sebagai ‘bidang baru manusia yang radikal’, akan mengembalikan kita ke bentuk-bentuk yang sudah dikenal dari humanisme liberal yang telah bertahan lama, yang seruannya di sini selalu tetaplah sama, “masa depan”.

Tapi bagaimana jika tidak? Bagaimana jika … semua orang yang ditakdirkan untuk penangguhan ontologis karena cinta mereka yang tidak dapat dikenali dan – sebagai akibatnya – cinta yang tidak dapat dijalani; penurunan kejelasan, menolak untuk membawa (diri mereka sendiri) secara serampangan ke dalam langkah awal makna masa depan—atau lebih tepatnya, menolak membuang makna yang melekat pada identitas sosial yang dibenci oleh kejelasan

(queer) akan bersikeras pada ketidakjelasan yang tidak dapat dipahami, pada batas internal untuk signifikansi dan ketidakmungkinan mengubah kerugian Riil menjadi keuntungan yang berarti dalam Simbolik tanpa sisa yang berkelanjutan: Kenyataan yang tak terhindarkan dari dorongan kematian. Sebagai perwujudan dari ketidakjelasan, tentu saja, mereka harus menutupi apa yang mereka ungkapkan sebagai figur untuk kejelasan itu: sarana penundukan yang riil terhadap makna. Akan tetapi, di mana Butler ... mendukung logika futurisme tentang kejelasan dengan mencari tidak lebih dari ‘memperluas jangkauan dari apa yang memungkinkan kita untuk memahaminya’, di mana dia bergerak, melalui masa depan, menuju legitimasi bentuk sosial yang berkelanjutan melalui pengakuannya yang dikatakan untuk memberikan: “kepastian dan daya tahan ontologis”. Queerness meskipun ditakdirkan – tentu saja – untuk diklaim dapat dipahami, menyetujui logika yang menjadikannya figur yang maknanya tidak pernah dapat dipahami. De-makna. Hal itu mencangkup pemaknaan-‘de’ sebagai desakan tak berujung dari yang riil (the real) yang simboliknya tidak pernah bisa menguasai makna sekarang atau makna di masa depan.</quote>

Di sini Edelman menggunakan konsep Lacanian tentang the Real (yang Riil), atau yang lolos dari artikulasi melalui struktur simbolik. Yang Riil adalah karakteristik yang tak terlukiskan dan tidak dapat disebutkan namanya dari pengalaman hidup kita. Yang Riil adalah esensi yang tak dapat direduksi dari pemberontakan, kesenangan, konspirasi dan kegembiraan yang terdiri dari proyek kita; dan Yang Riil adalah apa yang terus-menerus menghindari representasi oleh politisi atau pengawasan oleh aparat polisi. Sebaliknya, Intelligibility (kejelasan) menawarkan dua pilihan: legitimasi dan inklusi demokratis, atau delegitimasi dan represi.

  1. Jouissance

Setelah membuat sketsa komponen penting dari pemikiran Edelman, saatnya untuk beralih ke pertanyaan tentang pengalaman hidup kita. Jika kita menolak politik (dengan proyek-proyek positifnya, masa depan reproduktif, dan dorongan menuju kejelasan), kita dihadapkan pada pertanyaan tentang sarana kenikmatan apa yang segera dan langsung dapat melampauinya. Bagaimana menyusun proyek yang murni negatif yang diminta oleh konsepsi queerness yang begitu kritis?

Untuk mengartikulasikan pelarian semacam itu, kita harus melihat di luar kerangka teleologi yang menjanjikan jalan progresif menuju utopia, di luar dunia simbolik abstrak tempat politik dan identitas berfungsi. Edelman akan mendorong kita untuk melihat ke ranah psikoanalitik dari Real: fakta material dan fakta afektif dari eksistensi kita yang lolos dari representasi dan signifikansi. Bagi Edelman, queerness yang sebenarnya—yang memotong beban identitas positivis—adalah jouissance (kesenangan). Dia menulis:

Queerness membatalkan identitas melalui apa yang kita rasakan sebagai pengalaman diri kita sendiri sebagai subjek, bersikeras pada Real jouissance bahwa, ‘realitas sosial dan realitas futurisme yang menjadi sandarannya telah diambil alih.’ Queerness, oleh karena itu, tidak pernah jadi dan menjadi masalah, melainkan mewujudkan sisa-sisa internal riil pada tatanan simbolik. Satu nama untuk sisa yang tidak dapat disebutkan namanya ini – seperti yang dijelaskan Lacan – adalah jouissance, kadang-kadang diterjemahkan sebagai “kenikmatan (enjoyment)”: sebuah gerakan di luar prinsip kesenangan (pleasure), di luar perbedaan kesenangan dan rasa sakit, sebuah perjalanan kekerasan di luar batas identitas, makna dan hukum.

Sangat berguna – dalam memahami konsep jouissance ini – untuk mengikuti Edelman dalam memikirkan elemen-elemen realitas queer yang lolos dari representasi: sisanya, seperti yang dia sebut sebagai jouissance. Sisa-sisa ini adalah apa yang tersisa setelah kapital menjajah positivitas queerness—fashion, pesta, pencapaian akademis, estetika, tenaga kerja, serta jaringan sosialnya—dan setelah politik mengintegrasikan queer yang jelas ke dalam tatanan simboliknya. Dan, jadi, apa sisa ini? Apa yang tersisa setelah seseorang mengurangi ideologi progresif inklusi, korban yang rendah hati, warga negara yang terhormat, nilai jual yang eksentrik, perubahan Identitas yang cair, dan volume teori; apa yang tersisa darinya? Yang tersisa adalah jouissance.

Edelman menggambarkan jouissance sebagai supersesi dari batas-batas kesenangan dan rasa sakit, penghancuran identitas dan hukum. Kita harus menganalisis perbedaan antara kesenangan dan rasa sakit ini sebagai prasasti tatanan sosial ke dalam tubuh kita. Dan dengan cara yang sama, kesenangan duniawi yang sangat kecil yang dihasilkan melalui pengaturan kekuasaan kontemporer yang membuat kita bergantung pada pengaturan itu untuk kesejahteraan kita. Jouissance, dalam menghapus kedua sisi perbedaan ini, memisahkan kita dari rasa sakit sebagai naluri pelestarian diri dan dari kesenangan sebagai ‘suap’ yang memikat masyarakat. Ini adalah proses yang sesaat yang membebaskan kita dari ketakutan kita akan kematian (baik secara harfiah atau ataupun secara kiasan) yang merupakan penghambat yang sangat kuat.

Kita dapat menemukan jouissance ini di saat-saat bersejarah kerusuhan queer: kafetaria Compton, Dewey’s, White Night, Stonewall, dan momen-momen lain yang tak terhitung jumlahnya di mana tubuh-tubuh queer ikut pecah—melempar batu bata, membakar, memecahkan jendela, bergembira di jalanan. Tetapi lebih tepatnya, jouissance terletak tepat pada aspek momen ini (dan momen lainnya yang tidak kita ketahui) yang menghindari sejarawan, yang tidak dapat ditangkap dalam buku teks atau ditempatkan dengan rapi dalam narasi kemajuan untuk orang-orang queer, atau perjuangan politik yang rasional untuk masa depan yang lebih baik. Jouissance adalah kemarahan yang mendidih pada ratu pertama yang menyalakan api; kebencian terhadap seluruh tatanan sosial yang mengalir melalui nadi seseorang saat mereka membakar selusin kendaraan polisi San Francisco. Jouissance ini adalah kebahagiaan yang luar biasa yang pasti telah menggetarkan punggung siapapun yang cukup diberkati untuk mendengar lagu sirene dari mobil polisi yang meraung dalam api. Jouissance adalah cara pertemuan seksual segera dan langsung setelah kerusuhan semacam itu, sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan seks duniawi dalam kehidupan sehari-hari. Jouissance adalah élan[15] penggerak kultur seks queer, dan persisnya elemen seks queer itulah yang masih belum dapat dikunci dalam sebuah industri, dijual sebagai komoditas atau dijadwalkan pada beberapa ritual komersial massal. Sementara setiap elemen industri seks berusaha untuk menyelesaikan beberapa kekurangan mendasar dan berusaha untuk mengintegrasikan keinginan seseorang ke dalam pengalaman subjektif yang koheren, jouissance secara khusus justru adalah elemen hasrat seksual yang membuat persatuan semacam itu menjadi tidak mungkin. Ini adalah hasrat untuk jouissance yang mengirim kita ke malam untuk berusaha membanjiri kapasitas tubuh kita, untuk menghancurkan batas-batas jasmani diri kita sendiri, untuk benar-benar melarikan diri dari apa dan siapa kita.

Secara khusus sisa ini mendefinisikan jurang tak terjembatani antara kultur seks publik New York dan San Francisco pada tahun tujuh puluhan (pendudukan massif gudang-gudang seks, pesta pora abadi, kultur pelayaran yang sepenuhnya menghilangkan perbedaan antara seks dan kehidupan lainnya.) dan apa yang disebut sebagai penjelajahan era sibernetik (Grindr[16], craigslist[17], pesta-pesta yang jarang dihadiri dan mahal di klub-klub seks yang gagal). Jarak ini juga dapat dipahami sebagai, apa yang memisahkan ‘anarki pesta seks’ dari ‘ideologi demokrasi poliamori murni’. Jouissance adalah hasrat yang tak dapat dinamai yang dengan putus asa mencoba untuk meringkas, sebelum memberikan tubuh seseorang kepada orang lain: “Saya ingin dinegasikan.” Jouissance adalah esensi kriminalitas queer yang tidak dapat direduksi menjadi determinisme vulgar apapun. Jouissance ini adalah kegembiraan yang ditemukan dalam pembalasan karena merampok sedikit dari john borjuis, sensasi pencurian, kepuasan akan kehancuran. Hal itu terjadi karena kita kecanduan kesenangan dan rasa sakit yang terjalin, yang membawa kita lagi dan lagi ke jalanan: berusaha membuat kerusuhan atau berkelahi atau bercinta. Aktivitas ini secara khusus mengejar jouissance yang tak dapat dinamai dan dapat disebutkan namanya, yang menyebabkan peluang tanpa kegagalan, yang mempertaruhkan segalanya dalam pengorbanan untuk kekacauan yang lebih besar. Aufheben[18] kategori rasa sakit dan kesenangan ini juga merupakan penggulingan keterikatan dan investasi kita dalam aktivisme politik, identitas yang stabil, dan akal. Negativitas jouissance adalah kesamaan yang menjauhkan kita dari kewajiban terhadap ekonomi, keluarga, hukum, dan, di atas segalanya, kewajiban terhadap Masa Depan.


Edelman berkata:


Jouissance ini melarutkan investasi fetisistik semacam itu, menghancurkan konsistensi realitas sosial yang bergantung pada identifikasi imajiner, pada struktur hukum simbolik, dan pada metafora paternal dari nama tersebut. Oleh karena itu, ada nama lain yang menunjukkan ketidakbernamaan yang akan diberikan oleh jouissance untuk kita akses: Di balik apa yang diberi nama, ada yang tak dapat dinamai. Faktanya, karena nama ini tak dapat dinamai dengan semua resonansi yang dapat Anda berikan pada nama ini, maka nama ini mirip dengan hal yang paling mewakili tak dapat dinamai, yaitu kematian. Oleh karena itu, dorongan kematian memanifestasikan dirinya meskipun dalam samaran yang sangat berbeda, dalam … jouissance….


Sejauh hal itu merobek jalinan realitas simbolik seperti yang kita kenal, mengungkap soliditas setiap objek, termasuk objek yang harus diambil oleh subjek, jouissance membangkitkan dorongan kematian yang selalu bersikeras sebagai kekosongan di dalam dan dari subjek, di luar fantasi realisasi-diri (self-realization), di luar prinsip kesenangan (pleasure).


Penting untuk mengikuti Edelman dalam memberi peringatan terhadap cara-cara di mana jouissance – atau lebih khusus lagi darinya – sebagai upaya yang sia-sia untuk mengidentifikasi dengan atau memberi nama jouissance, upaya yang dapat mengarah pada reifikasi kategori yang kita akan minta jouissance untuk menghapuskannya:


Sejauh jouissance, sebagai pelarian fantasmatik dari keterasingan intrinsik makna, menempatkan dirinya dalam objek tertentu di mana identitas bergantung, ia menghasilkan identitas sebagai mortifikasi, menghidupkan kembali batasan makna yang dimaksudkan untuk membantu kita melarikan diri.


Setiap upaya yang menempatkan jouissance sebagai proyek positif hanya akan menjadi langkah yang menjauh darinya. Pesta sirkuit, pornografi, aplikasi jejaring sosial, demonstrasi politik, organisasi aktivis, seni: semua hal ini berusaha untuk memulihkan jouissance ke dalam beberapa struktur alternatif, namun akan selalu gagal karena jouissance secara inheren adalah sesuatu yang menghindari penangkapan dan memecah narasi koheren yang membenarkan struktut tersebut. Kritik ini sangat ironis datang dari Edelman, yang praktiknya sendiri sebagai ‘jouissieur’ tampaknya tidak pernah melebihi partisipasi dalam pesta sirkuit yang sama, konferensi akademik, jam-jam tidak masuk akal di gym, dan belanja mewah. Dia secara khusus menganjurkan “ledakan jouissance yang tidak berarti yang terkait dengan ‘pesta sirkuit’ yang memberi isyarat ke arah sirkuit dari dorongan kematian.” Dalam penegasannya tentang elemen kultur gay kontemporer ini dan itu, ia gagal melakukan pekerjaan menemukan jouissance dalam sejarah subversif queerness yang sebenarnya (dibandingkan dengan kultur gay yang hanya bisa menjadi substitusi patetik). Penting di sini untuk menegaskan kembali bahwa, ‘konsepsi dan praksis jouissance kita secara mutlak harus melampaui batasan dalam karya Edelman.’

Queerness – yang sepenuhnya dipahami secara negatif – ‘menamai jouissance’ adalah hal yang terlarang, meskipun meresapi tatanan sosial itu sendiri. Ini adalah alasan khusus mengapa kita dapat mengatakan bahwa, ‘di balik fasad operasi normal kehidupan di dalam kapital, ada arus subversif yang secara infalibel dan irasional menyerang kondisi-kondisi yang ada.’ Inilah sebabnya mengapa kita juga dapat mengatakan bahwa, ‘pada saat-saat perpecahan dan pemberontakan yang meluas, terdapat dorongan yang kuat dan jahat untuk mengasimilasi pemberontakan kembali ke dalam sirkuit politik, identitas, dan ekonomi itu sendiri.’ Ketegangan ini menjelaskan mengapa pemberontakan di perkotaan, seperti yang disaksikan di London atau Oakland, harus dirasionalisasikan oleh para aktivis, politisi, dan lembaga kepolisian sebagai ekspresi keluhan terbatas oleh komunitas yang koheren. Namun, kontradiksi ini juga terdapat dalam: mengapa penyetopan lalu lintas secara rutin atau penggerebekan oleh petugas polisi telah memicu rasa sakit dan kematian bagi petugas di tangan orang yang biasa mereka pimpin.


Kembali ke Edelman sekali lagi:


Yang saya sarankan ini adalah beban etis yang harus diterima oleh queer dalam tatanan sosial yang bermaksud salah mengenali investasinya sendiri dalam morbiditas, fetishsisasi, dan repetisi: untuk mendiami tempat ketidakbermaknaan yang terkait dengan sinthome[19]; untuk menggambarkan seksualitas yang tidak akan beregenerasi, dan tidak sedang beregenerasi, yang desakan tunggalnya pada jouissance, menolak setiap kendala yang dipaksakan oleh futurisme sentimental, mengekspos kultur estetika — kultur bentuk dan reproduksinya, kultur imajiner yang memikat — seperti biasa, sudah menjadi “kultur kematian” yang bermaksud menolak kekuatan dorongan kematian yang menghancurkan makam yang kita sebut kehidupan.


Negativitas jouissance, yang kita pahami sebagai karakteristik vital dari queerness kita, adalah metode yang kita gunakan untuk mengungkap kedangkalan dan kengerian dari kehidupan kontemporer. Jika tatanan sosial secara konsisten menghasilkan momen-momen pecah dan kekerasan anti-sosial—perampasan, kerusuhan, penjarahan, perkelahian jalanan, kebejatan seksual, pembakaran besar-besaran, peretasan—momen-momen tersebut telah mengekspos kondisi masyarakat apa adanya: neraka di bumi. Persetujuan kita terhadap tarikan jouissance berfungsi sebagai cermin di mana masyarakat harus memandang dan mengenali dekadensinya, aktualisasi yang akan datang dari kehancurannya. Dalam konteks kengerianseperti itu, tugas kita kemudian adalah untuk “mewujudkan kekuatan negasi, desakan jouissance yang tidak disadari.”

Kekuatan negasi material ini harus terus berlangsung, tidak hanya mengganggu sirkulasi masyarakat sehari-hari, tetapi juga menyabotase apparatus yang berfungsi mereproduksi kita sebagai subjek dalam arus tersebut. Kita harus, seperti yang dikatakan Edelman, “membuka dengan semangat dan meluncurkan (diri kita sendiri) ke dalam kekosongan di sekitar dan kekosongan di mana subjek membeku.”

Jouissance harus menjadi serangan terhadap semua apparatus subjektif yang membuat kita menjadi Identitas di setiap kesempatan: pendidikan, karier, politik identitas, identitas politik, rekening bank, teknologi pengawasan biometrik, profil avatar di internet, infrastruktur komunikasi, dan ad nauseam[20]. Subjek kapitalis dibentuk melalui perang terus-menerus antara makhluk hidup dan teknik-teknik ini, sehingga setiap proyek untuk menghapus kapital dan subjek-subjeknya harus mempelajari dan melikuidasi aparatus ini. Desakan pada jouissance adalah, untuk secara konsisten ikut campur tangan dalam perang melawan simbol ini pada bagian dari sisa yang tidak disimbolkan yang dieksploitasi dalam permainan subjektivitas. Jouissance adalah berbagai praktik menyimpang dan subversif yang menghubungkan perjuangan kita melawan masyarakat dengan penolakan kita untuk menjadi subjeknya.

Bahwa kita mengejar jouissance tidak membuat kita queer. Queerness kita bukanlah identitas yang dimanifestasikan tetapi lebih merupakan “mode kenikmatan dengan mengorbankan tatanan sosial.” (Edelman). Dan dalam melakukan ini, kita harus melawan kecenderungan segala penyembuhan untuk mengidentifikasi jouissance dengan identitas atau pengelompokan identitas apapun. Jack Halberstam mengkritik Edelman dalam hal ini:

Arsip laki-laki gay, karena terbatas pada daftar pendek penulis kanonik yang disukai, juga terikat oleh rentang tanggapan afektif tertentu. Jadi, kelelahan, kebosanan, kejenuhan, ketidakpedulian, jarak ironis, ketidaklangsungan, pemecatan, ketidaktulusan, dan kamp membuat ... “arsip perasaan” yang terkait dengan bentuk teori anti-sosial ini. Namun, kanon ini menutup rangkaian afektivitas lain yang terkait, sekali lagi, dengan jenis politik lain dan bentuk negatif yang berbeda. Dalam arsip lain ini, kita dapat mengidentifikasi, misalnya: keamukkan, kekasaran, kemarahan, dendam, ketidaksabaran, intensitas, mania, ketulusan, kesungguhan, investasi-berlebihan, ketidaksopanan, kejujuran yang brutal, dan sebagainya. Arsip pertama adalah arsip kamp, ​​sebuah repertoar tanggapan formal dan sering dirumuskan terhadap banalitas kultur straight dan pengulangan dan ketidakimajinatifan heteronormativitas. Arsip kedua, bagaimanapun, jauh lebih sesuai dengan jenis tanggapan tidak disiplin yang setidaknya dikaitkan oleh Bersani dengan seks dan kultur queer, dan di sinilah janji penghancuran-diri, kehilangan penguasaan dan makna, ucapan yang tidak diatur dan keinginan dilepaskan. Kemarahan dyke[21], keputusasaan anti-kolonial, kemarahan rasial, kekerasan kontra-hegemonik, pugilisme[22] punk, ini adalah wilayah suram dan wilayah kemarahan dari ‘giliran anti-sosial’ (anti-social turn); ini adalah zona bergerigi di mana tidak hanya penghancuran-diri sendiri (kebalikan dari narsisisme di satu sisi) tetapi tejadi juga penghancuran-yang lain.

Kita sekali lagi merasa penting untuk mengikuti kritik Halberstam, dan kita dengan senang hati akan menyesuaikan dampak negatif yang disebutkan di atas. Namun, kita harus terus-menerus mengulangi pentingnya memutuskan pengaruh ini dari subjek apapun. Edelman mungkin salah karena berfokus pada subjek laki-laki gay, tetapi proyek Halberstam yang lebih inklusif juga akan gagal dengan berfokus pada subjek yang lain. Edelman gagal untuk mengeksplorasi jouissance hanya dalam bidang sastra dan film, dan kegagalan ini tidak akan bisa diperbaiki (seperti yang dikatakan Halberstam) hanya dengan memperluas kanon karya seni untuk dieksplorasi. Tidak, kita harus merasakan pengalaman batasan teori queer di sini, dalam keterikatannya pada identitas dan pada seni secara keseluruhan. Khususnya, karena kita ingin terlibat dengan jouissance, sisa yang tak dapat dinamai, kita harus menghindari hal-hal positif yang disebutkan dalam literatur dan identitas. Proyek negativitas dan jouissance kita akan menjadi proyek yang terletak di dalam potensi subversif yang tersembunyi dalam kehidupan sehari-hari—potensi yang tidak dapat terperangkap dalam subjektivitas, melainkan memiliki subjek dan mengubahnya melawan diri mereka sendiri.

Kita akan mengakhiri upaya kita untuk mengartikulasikan jouissance dengan kembali ke Jacques Camatte dalam esainya “This World We Must Leave,” yang ditulis pada saat dia sudah menyimpulkan bahwa, ‘setiap perjuangan melawan kapital harus berusaha untuk menghancurkan domestikasi, dan dengan perluasan peradaban itu sendiri’ ia berkata:

Krisis postulat dari pilihan – keputusan – dan dengan demikian, memaksakan dirinya karena ada situasi yang sulit dan tidak biasa. Hal ini berlaku baik bagi Mode Produksi Kapitalis maupun bagi manusia, tanpa melupakan campur tangan di antara keduanya …. Ada determinisme ketat yang mengarah pada realisasi tertentu, determinisme yang hanya dapat dipertanyakan lagi jika manusia mampu menghancurkan domestikasinya. Pilihan untuk (manusia) muncul sebagai penerimaan penggandaan kehidupan (mereka) yang merusak, atau dominasi = pembatasan penggandaan kuantitatif yang tidak manusiawi, yang akan memungkinkan keberlanjutannya. Untuk meninggalkan ketakutan tertentu akan kematian yang memaksanya untuk mencari kehidupan dalam perpanjangan hidup: penggandaan dan kemajuan hidup. Reproduksi adalah ketakutan tertentu akan kematian dan (manusia) menjalaninya dalam perluasannya dan bukan dalam intensitas hidup; yang menerjemahkan ketidakpastian di dunia, seolah-olah spesies itu belum yakin dengan eksistensinya di planet ini. Intensitas hidup menyiratkan refleksi kehidupan pada dirinya sendiri, kemudian ada kenikmatan dengan penyerapan kehidupan di dalam makhluk hidup dan tidak dilimpahkan kepada generasi lain.

Mode produksi kapitalis harus menanggapi situasi yang melemparkan masa depannya ke dalam krisis. Ini akan merespon, sebagian, dengan memperbanyak beragam alternatif dan tindakan (penghematan, penyesuaian kembali, sustainabilitas) yang mungkin memastikan kelangsungan hidupnya. Bagi kita semua yang terlibat dalam ‘intervensi’ antara kapitalisme dan manusia, langkah-langkah ini akan menghadapkan kita sebagai ‘kondisi baru’ dari immiserasi (immiseration[23]) dan kelangsungan hidup kita sendiri. Semua opsi yang disajikan untuk kita, selalu dan sudah disandera oleh hantu futurisme reproduktif. Dalam setiap kasus, kita dipaksa untuk mengidentifikasi perpanjangan hidup kita sendiri dengan perpanjangan tatanan sosial kapitalis selamanya ke masa depan. Penghematan menghadapkan kita pada etika baru untuk diintegrasikan ke dalam keberadaan kita sendiri jika kita ingin memastikan masa depan dalam peradaban yang gagal ini. Kita akan diharapkan untuk bekerja dan menderita, dan dibayar semata-mata dengan jaminan bahwa, ‘masa depan akan melanjutkan perjalanannya yang seperti kematian ini melalui waktu.’ Para ekonom dan politisi akan menawarkan sejumlah besar opsi palsu dan akan menutup kemungkinan terobosan nyata.

Sementara para manajer kapital yang statis[24] harus secara global menegakkan rezim penghematan dan penyesuaian kembali struktural untuk mempertahankan masa depan mereka (dengan cara apapun yang memungkinkan), sebuah gerakan sosial baru telah muncul, gerakan yang menggambarkan masa depan dengan cara lain. Di Amerika Serikat, gerakan Occupy dapat dipahami sebagai suatu bentuk di mana perjuangan anti-penghematan (anti-austerity) dapat dibentuk dan digerakkan untuk masa depan yang berbeda. Bagi sebagian orang di dalam gerakan, hal ini berarti memperdebatkan kembalinya Keynesianisme[25] yang gagal, sebuah investasi struktural di masa depan bagi negara kesejahteraan. Mereka berargumen bahwa: mereka bukan anti-kapitalis tetapi mereka secara khusus mencoba untuk ‘menyelamatkan kapitalisme’ dari kontradiksi fundamental yang memastikan kegagalannya. Terhadap posisi reformis ini, kaum radikal di dalam gerakan Occupy malah memperdebatkan politik pra-figuratif, di mana para aktivis dan kaum radikal lainnya menunjukkan bahwa ‘dunia lain itu mungkin.’ Posisi ini berfokus pada eksperimen dan penyempurnaan bentuk-bentuk perjuangan dan organisasi yang mereka bayangkan untuk diterapkan dan menjadi cetak biru untuk utopia yang akan datang. Politik pra-figuratif – seperti halnya semua politik – menginvestasikan energi dan keyakinannya ke dalam harapan bahwa, ‘jika kita hanya melakukan kerja keras sekarang, upaya kita akan ditebus dalam masyarakat masa depan.’

Maka dialektika futurisme reproduktif terus terungkap dalam konteks krisis yang semakin dalam. Berdebat untuk proyek demokrasi sosial yang dikalahkan, strategi reaksioner dari privatisasi dan restrukturisasi militer, atau politik pra-figuratif dari perkemahan baru, masing-masing posisi menegaskan kembali ideologi futurisme reproduktif, yang menuntut immiserasi dan pengorbanan seumur hidup untuk kemungkinan dunia yang lebih baik bagi anak-anak kita. Namun setiap pilihan membawa kita, lagi dan lagi, pada pengulangan yang mematikan. Kita diminta untuk memilih antara neo-kamp konsentrasi atau neo-fasis dalam wajah penghematan (austerity) di satu sisi, dan kemiskinan swakelola dari perkemahan okupasi perkotaan di sisi lain, antara sarana reproduksi yang kurus di rumah atau sarana ‘kolektif’ untuk mereproduksi diri kita sendiri di alun-alun. Satu pilihan mengharapkan kita untuk berkorban agar ekonomi dapat bertahan dan yang lainnya mengharapkan agar kita dapat ditebus oleh utopia yang terus-menerus tertunda. Terlepas dari itu, Camp, sebagai figur sentral dari ideologi reproduktif kontemporer, terletak di cakrawala, melampaui pilihan tak terucapkan yang akan menghancurkan ikatan ganda masa depan dan penghematan.

Pilihan yang tidak disebutkan ini – yang ditetapkan oleh Camatte dan dengan cara yang berbeda oleh Edelman – adalah: intensitas hidup yang akan menghancurkan domestikasi kita dan mengakhiri investasi kita di masa depan peradaban. Intensitas kenikmatan ini (terjemahan literal jouissance dari bahasa Prancis) harus menjadi jouissance yang sama yang menghancurkan perbudakan subjektif kita terhadap peradaban kapitalis. Arus tepat itulah yang menembus seluruh masyarakat dan mengantarkannya pada kebutuhan akan pemberontakan melawan semua yang ada dan membawanya ke sebuah kegembiraan yang tak dapat dinamai. Jouissance ini adalah perlawanan yang disembunyikan oleh struktur sosial, namun merupakan bagian integral darinya. Dalam tontonan (spectacle) demonstrasi anti-penghematan dan okupasi plaza, terletak sisa yang tak dapat dinamai yang tidak menjanjikan masa depan yang lebih baik. Ini adalah kecenderungan yang tak dapat disamakan dan tak terlukiskan bagi orang-orang untuk menyabotase diri sendiri dari setiap upaya di organisasi politik. Ini adalah kegelapan yang sangat ditakuti oleh kaum kanan dan ditolak oleh kaum kiri. Inilah yang akan dihimbau polisi untuk, menindas dan mengasimilasikan penyelenggara.

Jika para aktivis milieus dan kaum Kiri telah mempertaruhkan seluruh masa depan mereka di Occupy Wall Street (OWS), hal itu terjadi karena taruhan itu mewakili isyarat putus asa dari tatanan sosial yang masa depannya sedang runtuh. Media kapitalis global dengan cepat membandingkan dan mengkontraskan gerakan di plaza yang dianggap damai dan demokratis dengan kerusuhan pemuda lumpenproletariat[26] di London. Apa yang membedakan satu tubuh pemuda yang direbut dari yang lain adalah, secara khusus disposisi mereka terhadap pertanyaan tentang masa depan. Bagi penjajah yang marah, masa depan mereka adalah sesuatu yang dipertaruhkan oleh lembaga keuangan, untuk dimenangkan kembali melalui perjuangan yang benar. Untuk para sampah liar London, masa depan adalah sesuatu yang tidak pernah mereka janjikan, kecuali kemiskinan, kebosanan, kekerasan polisi atau penjara. Di balik fasad penuh harapan OWS, ada seribu orang-orang London yang terbaring bersembunyi. Proyek insureksional kita adalah pengikisan harapan itu dan desakan terhadap kemungkinan masa depan.

Insureksi ini tidak dapat dipahami sebagai, peristiwa lain yang tertunda di masa depan, melainkan kemungkinan untuk merebut kehidupan terlepas dari tatanan sosial dan melawannya. Janji jouissance bukanlah untuk memberikan masa depan yang lebih revolusioner, tetapi janjinya adalah: gangguan negatif yang tidak dapat direduksi. Sementara para aktivis mengorbankan diri mereka sendiri di garis polisi, anak-anak muda dan orang-orang jahat menghancurkan jendela mobil polisi yang tidak dijaga dan saling membantu melalui pintu kaca kafe yang pecah untuk menolong diri mereka sendiri mendapatkan permen di dalamnya. Sementara majelis menentukan bagaimana mengartikulasikan futurisme reproduktif ‘dari bawah,’ para jouissiuers bercinta, merusak, mengambil alih, dan berkonspirasi. Flash mob di Milwaukee dan Philly, demonstrasi berubah menjadi penjarahan, gereja dibakar, petualangan seksual yang tidak bertanggung jawab, pengiriman diblokade, ledakan perbedaan gender, pesta jalanan berubah menjadi perkelahian jalanan, pelarian dari penjara (perangkap batu yang dipasang untuk petugas polisi), dan sabotase infrastruktur; tak terhitung jumlahnya momen-momen di mana ideologi dan struktur yang menjamin reproduksi-diri dari tatanan sosial dihancurkan dengan mengorbankan kenikmatan irasional; kenikmatan yang tetap di masa sekarang tanpa peduli akan masa depan. Apa yang kita sebut sebagai komune bukanlah model untuk utopia evasif lainnya, melainkan proses yang menjalin momen-monen kesenangan, rasa sakit, dan serangan joyous yang menyebar ini.

Bagian II

Queer Menjadi Liar

Setelah menganalisis secara mendalam kandungan teoretis karya Edelman, tugas kita berikutnya adalah: membedakan apa yang berguna untuk proyek kita dari apa yang menghilang tanpa harapan (tak berguna) –tenggelam dalam lubang neraka akademi. Sementara bobot besar dari kritisisme kultural Edelman dan keterlibatan murni abstraknya dengan Lacan tentu dapat dibuang, potensi pemberontakan dari pemikirannyalah yang ingin kita pisahkan dari buku-bukunya dan kita gunakan sebagai alat untuk praksis anti-politik kita. Untuk melakukannya, kita harus mengeksplorasi leluhur revolusioner queer yang sangat berhutang budi padanya. Jadi, sekarang mari kita beralih ke karya Guy Hocquenghem.

Selain sebagai penulis dan ahli teori queer, Hocquenghem adalah seorang revolusioner queer yang berpartisipasi dalam pemberontakan Mei ’68 dan tertarik dengan ide-ide radikal Deleuze dan Guattari tentang hasrat (desire). Setelah dikeluarkan dari Partai Komunis karena homoseksualitasnya, ia bergabung dengan FHAR (Front Homosexuel d’Action Revolutionnaire) sebagai seorang homo pertama yang menjadi anggota kelompok militan separatis lesbian. Pada akhirnya, dia menempa kritik terhadap militan kiri dan mengembangkan teori queer yang menyerukan: tak kurang dari destruksi kapitalisme, keluarga, negara dan pada akhirnya destruksi peradaban. Sebagian besar karyanya belum diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dan teori queer Anglophone semakin miskin pengetahuan karena ketidakhadiran terjemahan ini. Keajaiban karyanya, bagaimanapun, tidak menghindari Edelman, yang jarang mengutip Hocquenghem di seluruh No Future. Meskipun Edelman hanya mengaitkan beberapa frasa cantik dengan Guy Hocquenghem, kita berpendapat bahwa: proyek negativitas queer Lee sangat berhutang budi pada karya sebelumnya. Queerness sebagai politik negatif, penolakan terhadap identitas queer yang dimanifestasikan, desakan terhadap suksesi generasi, kritik terhadap keluarga sebagai struktur dasar tatanan sosial, kritik terhadap politik, konsepsi tentang jouissance destruktif: semuanya dapat ditemukan dalam teori Hocquenghem dan tanpa diencerkan oleh lapisan omong kosong akademis dan permainan kata-kata yang buruk. Kita merasa bahwa kematian Guy Hocquenghem karena AIDS adalah tragedi yang mengerikan, sebab dia belum menyelesaikan pembuatan kanon teori queer yang lebih produktif; meski begitu, dalam ingatannya, kita membawa nyala api ini.

  1. Kapitalisme, Keluarga dan Anus

Capitalism, the Family, and the Anus” adalah bab pertama dari volume terbesar karya Hocquenghem yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai, Homosexual Desire. Di dalamnya, ia memaparkan teori struktur dasar kapitalisme sebagai pengantar teorinya tentang queerness yang mungkin memusnahkan struktur tersebut. Teori kapitalisme Hocquenghem sebagian besar melibatkan karya orang-orang sezamannya, seperti Gilles Deleuze dan Felix Guattari, dalam buku tebal mereka Anti-Oedipus. Mengelaborasi karya-karya mereka, ia berpendapat bahwa, ‘semua masyarakat kapitalis direproduksi melalui hubungan khusus keluarga—yaitu, hubungan Oedipal (Oedipal relationship).’ Konsep ini digunakan untuk menggambarkan bagaimana cara kapital dalam menanggapi keharusan disintegrasi fundamental yang intrinsik pada pemerintahannya. Sementara proses akumulasi merobek tubuh dan kehidupan jauh dari konteks yang memberi mereka makna dan menyediakan untuk mereka kemampuan dalam menopang diri mereka sendiri, hubungan Oedipal keluarga (Oedipal relationship of the family) berfungsi untuk menangkap kekacauan penguraian [proses akumulasi] ini dan berfungsi untuk mengarahkan kembali kehidupan manusia ke dalam skema reproduksi:

Oleh karena itu, keluarga dikonstruksi sebagai unit teritorialisasi ulang artifisial di mana kontrol sosial telah dipindahkan dan di mana bentuk-bentuk organisasi sosial dapat direproduksi. Ayah menjadi despot familial, dan ibu, sebagai contoh, menjadi citra untuk bumi dan negara. Dengan demikian, individu yang diprivatisasi, yang dipelajari psikoanalisisnya dalam unit keluarga Oedipal adalah: konstruksi artifisial, yang fungsi sosialnya adalah untuk menjebak dan mengendalikan kekacauan yang menghantui kehidupan sosial di bawah kapitalisme.

Kita telah menyelidiki secara panjang lebar tatanan simbolik yang selalu dipertahankan oleh keluarga, tetapi perlu dijelaskan bahwa, ‘keluarga adalah bentuk kapitalis yang dibuat berfungsi sebagai blok bangunan dasar tatanan sosial’. Disiplin, etos kerja, kewajiban, hukum, moralitas, pembedaan gender, seksualitas, dan tentu saja masa depan, semuanya terpatri dalam tubuh anak melalui intrik matriks keluarga. Dalam pernyataan Hocquenghem berikut, kita melihat benih germinal dari seluruh argumen Edelman mengenai hubungan intrinsik antara keluarga dan futurisme reproduktif:

Pada gilirannya, dengan menjadi seorang ayah, mantan anak menyerahkan kompleks Oedipus (Oedipus complex) ke keturunannya sendiri seperti obor peradaban, dan mengambil tempatnya di garis keturunan besar Kemanusiaan (great lineage of Humanity). Kebutuhan mutlak akan kompleks Oedipus untuk direproduksi—dan tidak diproduksi—menjelaskan mengapa ‘konflik masa kanak-kanak’ dengan ‘citra ayah’ akhirnya terselesaikan ketika sang anak menjadi ayah dan mendirikan keluarga baru. Memang, seluruh kemajuan masyarakat bertumpu pada pertentangan antara generasi yang berurutan.

Kita sejalan dengan Hocquenghem dalam menegaskan bahwa: peradaban, dan masyarakat kelas yang merupakan isinya, sepenuhnya bergantung pada reproduksi unit keluarga yang berurutan untuk membuahi generasi mendatang dengan nilai-nilainya. Tatanan sosial baru lahir dalam tubuh setiap anak, karena diturunkan dari orang tua kepada keturunannya dalam gerakan maju tiada akhir. Di sini juga kita dapat menemukan sumber argumen Edelman yang tidak disebutkan tentang figur homoseksualitas yang ‘harus’ meneror fantasi keluarga ini:

Neurosis homoseksual adalah reaksi balik terhadap ancaman yang ditimbulkan oleh hasrat homoseksual terhadap reproduksi Oedipal. Hasrat homoseksual adalah … teror keluarga, karena ia memproduksi dirinya sendiri tanpa bereproduksi. Setiap homoseksual dengan demikian harus melihat dirinya sebagai akhir dari spesies, penghentian proses yang tidak bertanggung jawab dan proses tersebut harus berhenti pada dirinya sendiri …. Kaum homoseksual hanya bisa menjadi degenerasi, karena dia tidak meregenerasi — dia hanyalah akhir yang artistik untuk suatu spesies …. Homoseksualitas dilihat sebagai neurosis regresif, yang sepenuhnya ditarik ke masa lalu; kaum homoseksual tidak mampu menghadapi masa depannya sebagai orang dewasa dan ayah, yang diwajibkan untuk setiap individu laki-laki.

Teror ini adalah dasar dari apa yang digambarkan Edelman sebagai, ‘fantasi yang menjadi dasar paranoia anti-queer’; kompleks ketakutan (dread) dan hasrat (desire) yang secara intrinsik terikat pada seksualitas queer, sehingga tubuh dapat menemukan cara hubungan yang tidak memproduksi anak dan tidak peduli dengan reproduksi tatanan sosial melalui tubuh mungilnya. Bagi Hocquenghem, homoseksualitas bukanlah identitas atau komunitas yang koheren, melainkan kategori sosial yang diciptakan untuk menangkap semua hasrat polimorfik dan hasrat queer yang tidak sesuai dengan bentuk sosial Keluarga. Queerness datang untuk menggambarkan fantasi yang menangkap-semua mimpi buruk yang tidak dapat disebutkan namanya yang menghantui tatanan sosial kapitalis.

Hocquenghem menggambarkan imperialisme masyarakat yang berkembang yang berfungsi untuk menghubungkan status dan definisi sosial untuk segala sesuatu, bahkan yang tidak dapat diklasifikasikan. Maka hasrat destruktif dan polimorfik yang mengintai di inti hubungan sosial ditangkap ke dalam identitas tertentu daripada menjadi kapasitas yang dapat merayu atau memikat tubuh mana pun:

Kapitalisme – dalam penggunaan Oedipalisasi yang diperlukan – memproduksi kaum homoseksual sebagaimana ia memproduksi kaum proletar, dan memproduksi apa yang diproduksi adalah kategori yang represif secara psikologis …. Mereka sama dengan re-teritorialisasi yang menyimpang, upaya besar-besaran untuk mendapatkan kembali kontrol sosial di dunia yang cenderung kacau dan dekoding.

Kekacauan yang dilambangkan oleh homoseksualitas ini berjalan lebih dalam daripada kekacauan reproduksi Oedipal. Di luar Keluarga sebagai unit kapitalis, Hocquenghem juga menggambarkan cara spesifik di mana individu dikonstruksikan sebagai subjek kapital dan subjek keluarga. Bagi Hocquenghem, individu secara inheren terjebak dalam apa yang dia gambarkan dengan privatisasi anus (privatization of the anus). Dia menggambarkan anus sebagai bagian rahasia, bagian memalukan, dan bagian hina dari setiap tubuh individu di mana subjektivitas individual harus terbentuk. Anus ini menandai ambang tubuh nyata yang memisahkan satu individu manusia dari individu yang lain:

Freud melihat tahap anal sebagai tahap pembentukan pribadi. Anus tidak memiliki fungsi keinginan sosial yang tersisa, karena semua fungsinya telah menjadi kotoran (excremental): dengan kata lain, privat. Tindakan besar penguraian kode (dekoding) kapitalis disertai dengan konstitusi individu: uang – yang harus dimiliki secara pribadi untuk diedarkan – memang terhubung dengan anus, sejauh anus adalah bagian paling privat dari individu. Konstitusi pribadi, konstitusi individu, konsitusi orang yang proper adalah dari anus; sementara konstitusi orang yang ‘publik’ adalah dari phallus (falus[27]) ...

Setiap orang punya anus yang benar-benar dimilikinya, di kedalaman paling rahasia dari dirinya sendiri. Anus tidak ada dalam suatu hubungan sosial, karena anus justru membentuk individu; dan oleh karena itu, memungkinkan terjadinya pemisahan antara masyarakat dan individu. Untuk menginvestasikan kembali anus secara kolektif dan libidinal, akan melibatkan pelemahan proporsional dari penanda phallik yang besar, yang mendominasi kita secara terus-menerus, baik dalam hierarki skala-kecil keluarga maupun dalam hierarki sosial yang besar. Operasi keinginan yang paling tidak dapat diterima (tepatnya, karena operasi itu adalah operasi yang paling menghilangkan sublimasi) adalah operasi yang diarahkan ke anus.

Bagi Guy, signifikansi psikis dari anus dalam konstruksi-diri adalah persisnya: mengapa hasrat homoseksual menghubungkan destruksi masa depan dalam keluarga dengan penghancuran-diri yang diwujudkan dalam jouissance. Bercinta di pantat berarti menyabotase integritas tubuh yang dilalui individu dan ranah mengkonstruksi ranah privatnya. Hocquenghem berpendapat, untuk deprivatisasi anus dan untuk pembentukan apa yang dia sebut ‘pengelompokan anal (grouping anal)’—bentuk kolektivitas seksual yang menghancurkan Keluarga dan tidak memiliki tujuan di masa depan tatanan sosial. Dalam hasrat pengelompokan anal, formasi queer mampu menyabot semua fantasi psikis yang terletak di jantung tatanan beradab.

Selanjutnya, kita akan mengutip dari ‘kata pengantar’ yang dibuat oleh Jeffrey Week dalam karya berjudul Homoseksual Desire:

Dia berpendapat bahwa, ‘karena anus telah diprivatisasi oleh dominasi kapitalis/phalik, kita perlu mengelompokkannya, yang berarti, pada dasarnya, menolak gagasan individual tentang homoseksualitas sebagai masalah.’ Mempraktikkan homoseksual berarti, mereka telah gagal dalam sublimasi mereka; yang karena itu, dapat dan harus memahami hubungan mereka dengan cara yang berbeda. Jadi, ketika kaum homoseksual sebagai sebuah kelompok secara terbuka menolak label homoseksual mereka, berarti sebenarnya mereka menolak Oedipus, menolak jebakan hasrat yang artifisial, menolak seksualitas yang terfokus pada Phallus

Dia berpendapat bahwa, ‘ketika anus memulihkan fungsi yang diinginkannya, ketika hukum dan aturan menghilang, kesenangan kelompok akan muncul tanpa perbedaan suci antara publik dan privat, sosial dan individu.’ Dan Hocquenghem melihat bahwa, ‘tanda-tanda komunisme seksual ini di lembaga-lembaga subkultur gay, di mana hamburan (scattering[28]) atau pergaulan bebas, mewakili seksualitas polimorfis dalam tindakan berkuasa’ …

Mengabaikan sublimasi seseorang sebenarnya hanyalah untuk memahami hubungan sosial dengan cara yang berbeda. Mungkin, ketika anus memulihkan fungsinya yang diinginkan dan penyambungan (plugging-in) organ terjadi tanpa tunduk pada aturan atau hukum, maka kemudian kelompok akan dapat menikmati hubungan langsung di mana perbedaan suci antara publik dan privat – antara individu dan sosial – akan keluar dari tempatnya. Kita dapat menemukan jejak keadaan komunisme seksual primer ini di beberapa institusi ghetto homoseksual, terlepas dari semua kesalahan represi dan rekonstruksi yang dialami: di pemandian Turki[29], misalnya di mana hasrat homoseksual dicolokkan secara anonim, meskipun hasrat itu pernah-menghadirkan ketakutan bahwa polisi mungkin datang.

  1. Parasit Masyarakat

Kita akan beralih sebentar ke teks Hocquenghem lainnya: The Screwball Asses. Di dalamnya, ia melontarkan kritik terhadap kaum Kiri (komunis dan homoseksual) yang cukup dapat diterapkan pada berbagai formasi politik kiri dan formasi politik revolusioner yang masih sering kita jumpai.

Pernyataannya yang sederhana namun sangat penting adalah bahwa, “menuntut pengakuan homoseksualitas apa adanya adalah reformisme sederhana.” Baris tunggal ini mengedepankan seluruh penolakan kita terhadap politik identitas dan pencarian kejelasan yang menjadi perhatiannya.

Dia melanjutkan:

Seperti gerakan pembebasan perempuan yang menginspirasinya, platform homoseksual revolusioner muncul dengan ideologi kiri dan membuatnya trauma sampai ke titik ‘berkontribusi pada kehancurannya’. Tetapi, sementara mereka memecah ideologi kiri dengan mengungkapkan morfologi falosentrisnya dan kecamannya terhadap seksualitas marjinal (dan seksualitas secara umum), gerakan-gerakan otonom ini, terlepas dari penolakan mereka terhadap hierarki, melanjutkan dan terus mereplika refleks-refleks yang terkondisi dari sektor politik yang memproduksinya: logomachy (omong kosong), penggantian hasrat dengan mitologi perjuangan.

Politik – bahkan politik queer – akan selalu didasarkan pada pengorbanan hasrat dalam pelayanan dan representasi perjuangan ini dan itu. Bagi Hocquenghem, struktur aktivis dan organisasi militan adalah bagian dari penjara yang dibangun-sendiri, yang ditentangnya. Dia melanjutkan dengan menulis: “Kita mungkin berharap bahwa, homoseksualitas dapat merobek aktivisme klasik dari non-hasrat dan menciptakan perayaan sejati dari hasrat kita yang berkolusi, tetapi hal itu tanpa memperhitungkan hati nurani homoseksual yang buruk. Kita harus mengakui bahwa, kebakaran itu berumur-pendek.”

Kita salah jika menerapkan rumusan ini semata-mata pada aktivitas kelompok aktivis LGBT arus utama. Batas fundamental aktivisme politik ini dapat diterapkan pada individu queer yang paling radikal atau anarkis militan. Militan dan aktivisme hanya bisa menjamin kebakaran yang berumur-pendek, yang tidak akan pernah bisa mempertahankan nyala api dari dorongan queerness dan anarki yang tak terjelaskan. Guy menulis tentang para militan bahwa, “mereka membekukan peristiwa itu menjadi sebuah peran,” dan “para militan gerakan gay memiliki kecenderungan alami untuk menjadi spesialis homoseksualitas seperti halnya psikiater dan pekerja sosial.”

Guy melanjutkan:

Ideologi kiri telah lewat masanya, dan ideologi kiri telah mengeringkan apapun yang disentuhnya. Apapun yang berasal dari Kiri akan tetap diresapi oleh terorisme dan faksionalisme. Karena takut tidak mengikuti kitab suci atau kontra-kitab suci yang seharusnya menyatukan kita, di lingkungan itu kita selalu merasa seolah-olah kita adalah mahasiswa atau profesor dari mereka yang berbicara terakhir, bahkan jika hal ini bertentangan dengan keinginan kita. Kita bahkan dapat mengatakan bahwa, hasrat untuk mendekonstruksi semua hubungan kekuasaan, pencarian hubungan kekuasaan yang tak terputus, menciptakan hubungan kekuasaan yang berhalusinasi. Tentu saja di dalam FHAR, ada dan telah ada upaya untuk menolak seluruh mekanisme persekusi dan persekutor ini, tetapi krisis belum terselesaikan. Hari ini, tubuh kolektif kaum queer revolusioner terbaring kosong, tak bernyawa dan tak berguna; dan ini terjadi lebih cepat pada FHAR daripada kelompok kiri lainnya.

Sementara ia menempatkan kritiknya melalui pengalamannya sendiri dengan FHAR, masing-masing dari kita pasti dapat menempatkan investasi yang salah dari energi kita sendiri ke dalam pengelompokan revolusioner yang serupa, dan jalan kelelahan yang tak terhindarkan menyertai keterlibatan semacam itu. Jika terus-menerus menolak perasaan hampa, tidak bernyawa, dan tidak berguna, kita harus memperhatikan dengan cermat bidang aktivitas di mana kita terlibat, dan berusaha menemukan bentuk vampir apa yang menghabiskan energi kita. Kita pasti akan menemukan bahwa, kebosanan yang depresif ini selalu terletak dalam dinamika di mana eksperimen-eksperimen yang menggembirakan dalam hasrat ditundukkan pada panggilan pengorbanan “perjuangan.”

Dalam gaya sindirannya yang khas, Guy mengatasi kecemasan yang menjadi ciri aktivisme:

Kaum kiri bukanlah seorang pemain, bukan pula seorang jouisseur; mereka hanya melatih orang-orang, terlepas dari apakah mereka ingin membebaskan kaum homoseksualitas/proletariat atau tidak. Tidak pernah kewalahan, kaum Kiri hanya menyelamatkan dirinya sendiri untuk waktu berikutnya. Kaum Kiri tidak punya waktu di sisinya. Mereka selalu terburu-buru. Mereka menghasilkan kecepatan di mana-mana, sehingga memaksa Anda untuk menjadi histeris atau menjadi linglung. Tapi, kecepatan itu bukanlah jenis kecepatan yang mendorong Anda sampai jauh, sehingga Anda mendapati diri Anda tercengang, karena telah melewati begitu banyak daratan, terpana oleh perubahan perspektif dan perubahan pemikiran. Sebaliknya, monyet itu terburu-buru menggaruk di tempat yang sama sampai timbul luka.

Deskripsi Guy terletak di cengkeraman teror yang Masa Depan miliki terhadap para aktivis. Karena hari esok yang lebih baik membutuhkan ‘kerja bagus’ yang luar biasa hari ini, kaum Kiri dari semua lapisan terjebak dalam kecemasan aktivitas yang tidak pernah berakhir, namun tidak pernah mendekati utopia mereka yang ‘melarikan diri’. Bahwa revolusi begitu dekat di cakrawala, namun melarikan diri dari kita berarti: bahwa kita tidak mampu melakukan praktik jouissance yang tak dewasa dan tak bertanggung jawab, yang dapat mengalihkan perhatian kita dari perjuangan suram yang sedang dihadapi. Ideologi Kiri benar-benar merupakan kematian yang hidup bagi semua orang yang masuk ke dalamnya. Kaum kiri berpendapat bahwa, ‘kita harus menghancurkan hubungan atau relasi kekuasaan,’ namun mereka meninggalkan hubungan kekuasaan futurisme reproduktif yang tak tertandingi dan memerlukan proyek disiplin-diri dan memerlukan kontrol-diri tanpa akhir.

Hocquenghem berpendapat bahwa, ‘menentang perjuangan suram ini berarti keharusan pada: menjadi proyek pemberontakan yang didasarkan pada kegembiraan.’ “Anehnya,” tulisnya, “setiap kali kita berbicara tentang kegembiraan, kaum revolusioner profesional hanya mendengar apa yang telah diletakkan oleh gereja atau ideologi di sana.” Kita bukanlah revolusioner profesional, juga bukan nabi tanpa sukacita yang tertarik menyebarkan ideologi. Sebaliknya, kita harus menetapkan taruhan kita pada praktik kegembiraan dan jouissance yang beresonansi untuk melepaskan penularan insurgen.

Inilah argumen terbaik Hocquenghem:

Semua kaum revolusioner harus menjadi parasit masyarakat, dan menjadi semakin tidak bertanggung jawab, atau mereka akan tetap menjadi ksatria moralitas atau ksatria lainnya. Energi kita dicurahkan untuk destruksi hewan yang memberi makan kita.

Hanya proyek parasitisme seperti itu yang dapat menahan kita menuju jalan buntu kegilaan aktivis dan eskalasi militan. Kita harus hidup, berjuang dan menikmati perjuangan dengan mengorbankan musuh kita. Proyek semacam itu adalah queer , karena harus menyimpang dari jalur yang ditetapkan untuk kita dan menolak spesialisasi dan menolak penahanan waktu yang melekat dalam aktivisme

  1. Hasrat yang Tak Beradab

Dalam karya Hocquenghem, potensi negatif dari queerness secara intrinsik terkait dengan konsepsi hasratnya. Dalam Homosexual Desire, ia menyatakannya sebagai berikut:

Jika citra homoseksual mengandung simpul kompleks ketakutan (dread) dan hasrat (desire), jika fantasi homoseksual lebih cabul daripada yang lain dan pada saat yang sama lebih menggairahkan, jika tidak mungkin muncul di manapun sebagai homoseksual yang mengaku-diri (self-confessed) tanpa mengganggu keluarga, menyebabkan anak-anak untuk diseret keluar dari jalan dan membangkitkan perasaan campur aduk antara ngeri dan hasrat, maka alasannya pasti karena: bagi kita, orang barat abad kedua puluh, ada hubungan erat antara hasrat dan homoseksualitas. Homoseksualitas mengungkapkan sesuatu—beberapa aspek hasrat—yang tidak muncul di tempat lain, dan sesuatu itu bukan sekadar pencapaian tindakan seksual dengan orang yang berjenis kelamin sama.

Hasrat – tidak secara khusus homoseksual – adalah kecenderungan dalam masyarakat yang juga menunjukkan kehancurannya. Hasrat adalah luapan polimorfis dan luapan sesat yang menolak untuk tertangkap dalam reproduksi Oedipal atau terkunci dalam identitas. Queerness – dalam hubungannya dengan keinginan – menamakan negativitas yang merupakan mimpi buruk tatanan sosial.

Hasrat, kemudian, tidak dapat direduksi menjadi ketertarikan atau orientasi seksual. Hasrat adalah medan kacau yang lolos dari representasi, sehingga medan represif dari hasrat normatif hanya dapat dirujuk oleh figur-figur mereka yang praktik seksualnya berada di luar matriks kejelasan. Bahaya dan ketakutan yang terkait dengan queerness berhubungan dengan ketidakmungkinan ini.

Mengutip dari ‘Kata Pengantar’ Jeffrey Weeks dalam Homosexual Desire:

Karena tujuannya adalah untuk menemukan bentuk-bentuk aksi sosial radikal yang tidak teralienasi, dan hal ini tidak dapat menjadi struktur tradisional yang terpusat (terutama dari kelas pekerja), karena hal ini juga terlibat dengan kapitalisme. Model mode alternatif disediakan oleh bentuk aktivitas spontan yang dikembangkan di Prancis pada tahun ’68, perpaduan hasrat yang lepas dari kekuatan yang ‘memenjarakan yang normal’. Analisis skizofrenik memberikan alternatif: skizofrenia tidak revolusioner, tetapi proses skizofrenia adalah potensi revolusi, dan hanya dalam aktivitas pengelompokan spontan dan otonom, di luar tatanan sosial, revolusi dapat dicapai. Hasilnya – yang merupakan inti dari proyek Hocquenghem – adalah pemujaan terhadap yang terpinggirkan dan termarjinalkan sebagai bahan nyata dari transformasi sosial.

Dalam analisis ini, kita dapat menarik hubungan penting antara proyek Hocquenghem dan proyek pemberontakan anarkis seperti yang kita bayangkan. Jalinan hasrat kelompok-kelompok otonom dalam proses perjuangan itulah yang kita pahami sebagai proses insureksi. Bukan ekspansi massal sebuah partai, melainkan penggandaan dan penyebaran pengelompokan anal (anal grouping). Hanya dengan menghindari bentuk-bentuk lama organisasi ‘revolusioner’ atau ‘kelas pekerja’ kita dapat menghindari jebakan-jebakan yang dibuat dengan rekuperasi[30]. Mengorientasikan diri kita di sekitar hasrat, dan mengejar ‘kenikmatan bahagia masa kini’, berarti: mengingkari ideologi progresif reformasi, inklusi, pembangunan gerakan, atau perubahan bertahap.

Kaum homoseksual tidak mencari penyesuaian yang damai dan harmonis dengan masyarakat, dan kecenderungannya yang berlebihan … yang menuntunnya di sepanjang jalan perjuangan tanpa henti. Singkatnya, kaum homoseksual belum berkembang menjadi mitra masyarakat manusia. Di sini, masyarakat manusia tentu saja berarti model Freudian, di mana homoseksualitas hanya dapat menemukan tempat menurut mode Oedipal yang disublimasikan. Di sisi lain, homoseksual menunjukkan jalan ke kemungkinan bentuk hubungan lain yang hampir tidak berani kita sebut masyarakat.

Meskipun kecenderungan kaum asimilasionis gerakan homoseksual telah jelas membuktikan bahwa, ‘tidak ada sesuatu yang secara inheren radikal atau anti-sosial mengenai homoseksualitas,’ Hocquenghem di sini berusaha untuk menggambarkan kecenderungan tertentu dalam gerakan yang lolos dari representasi. Kita bisa menyebutnya sebagai Realitas negativitas yang begitu erat terikat dalam queerness, hasrat untuk kekacauan yang tersembunyi dalam tatanan sosial itu sendiri. Hubungan anti-sosial yang menarik potensi mereka dari queerness dapat dipahami sebagai potensi gerakan otonom melawan masyarakat.

Munculnya gerakan-gerakan otonom, gerakan-gerakan yang semakin menolak hukum penanda karena mereka menciptakan hukum untuk diri mereka sendiri, benar-benar menggemparkan dunia politik. Kegemparan kebingungan itu sangatlah total, karena hubungan antara situasi-situasi yang diinginkan ini tidak terjadi menurut ‘model logis penanda-tertanda (the logical model of the signifier-signified)’ tetapi lebih suka mengikuti ‘logika peristiwa (the logic of the event)’. Oleh karena itu, tidak ada gunanya mencoba mencari tahu hubungan antara gerakan-gerakan ini secara rasional atau strategis. Tidak dapat dipahami bahwa, ‘gerakan gay harus dikaitkan erat dengan gerakan ekologis.’ Meski hal itu, memanglah demikian [ada kaitannya]. Dalam hal hasrat, mobil[31] dan heteroseksualitas keluarga adalah musuh yang sama, betapapun mustahilnya mengungkapkannya dalam logika politik.

Di sini Hocquenghem dengan sempurna mengungkapkan cara di mana hasrat berkaitan dan terikat dengan penolakan masa depan, sebuah kritik yang murni ‘negatif’, dan sebuah praksis anti-politik. Politik tidak bisa secara rasional mengungkapkan mengapa mobil dan keluarga adalah musuh yang sama dari queerness. Namun, bagi kita, sangat jelas mengapa ini adalah musuh yang sama; dan secara harfiah, setiap aparatus masyarakat modern lainnya haruslah dimusnahkan. Karena kekurangan sarana untuk mengekspresikan hasrat destruktif ini melalui politik, hanya anti-politiklah yang dapat menguraikan proses di mana hasrat queer dapat diwujudkan dalam perjuangan melawan pengaturan fisik tatanan sosial. Mobil, keluarga, sekolah, penjara, butik, infrastruktur pengawasan: masing-masing dari keseluruhannya adalah ekspresi peradaban di mana hasrat kita yang paling kuat adalah: penghancurannya (annihilasinya). Bagi Hocquenghem, kehancuran peradaban harus dikaitkan dengan gerakan yang didasarkan pada hasrat yang tidak terkendali.

Mengutip Hocquenghem lagi:

Gerakan gay mereka pada dasarnya tampak tidak beradab, dan bukan tanpa alasan bahwa, ‘banyak orang melihatnya sebagai akhir dari reproduksi dan dengan demikian akhir dari spesies itu sendiri.’ Tidak ada gunanya berspekulasi apakah perang kelas akan digantikan oleh perang peradaban, yang akan memiliki keuntungan dengan menambahkan dimensi kultur dan dimensi seksual pada perjuangan politik dan ekonomi. Pada tingkat ini berarti: menantang konsep peradaban, dan kita harus mundur bersama Fourier ke gagasan ‘perjuangan melawan peradaban’ yang dipahami sebagai suksesi generasi Oedipal. Peradaban membentuk kisi-kisi interpretatif melalui, di mana hasrat menjadi energi kohesif. Gerakan wildcat[32] di antara pekerja, tindakan yang terjadi di luar kerangka politik yang diterima secara umum dan yang tidak membuat klaim formal, bahkan untuk perebutan kekuasaan, adalah bagian dari disintegrasi koherensi itu. Kaum kiri yang paling jujur ​​akan mengutip hasrat untuk masyarakat baru sebagai bukti absensi. Sudah terlalu banyak untuk dipercayai bahwa, “wild-catter” adalah orang yang beradab di masa depan, karena anak itu adalah orang dewasa di masa depan. Gerakan gay adalah gerakan wildcat, karena hal itu bukanlah penanda dari apa yang mungkin menjadi bentuk baru organisasi sosial, tahap baru dalam kemanusiaan yang beradab, tetapi celah dalam apa yang Fourier sebut sebagai “sistem kepalsuan dari cinta yang beradab”; hal itu menunjukkan bahwa, ‘peradaban adalah jebakan di mana hasrat terus-menerus jatuh’ …. Ketakutan besar terhadap homoseksualitas diterjemahkan menjadi: ketakutan bahwa, ‘suksesi generasi – yang menjadi dasar peradaban – akan berhenti.’ Hasrat homoseksual tidak berada di sisi kematian atau di sisi kehidupan; hasrat itu adalah pembunuh ego yang beradab.

Dan di sini – jauh sebelum tulisan Edelman – ada hubungan penting antara fantasi masa depan, konstruksi diri yang koheren, dan persimpangannya dalam futurisme reproduktif. Menentang futurisme reproduktif, dan reproduksi tatanan sosial melalui suksesi generasi yang tak berkesudahan berarti: menandakan akhir peradaban serta subjek-subjek yang menyusunnya. Destruksi ini dapat ditemukan dalam degenerasi dan disintegrasi struktur sosial ke dalam formasi-formasi queer yang ada dalam pengejaran jouissance terus-menerus dan tanpa peduli akan masa depan. Proliferasi kelompok otonom queer ini tidak menggambarkan dunia yang lebih baik; pengelompokan hasrat (grouping of desire) ini hanya dapat menghadapi peradaban sebagai kekuatan yang negatif, anti-politik, dan liar.

Argumen ini menemukan gemanya pada karya Susan Stryker yang berjudul “My Words to Victor Frankenstein”:

Meskipun kita melupakan privilese kealamian (naturalness), kita tidak terhalang, karena kita malah bersekutu dengan kekacauan dan kegelapan yang darinya Alam itu sendiri tumpah. Jika ini adalah jalanmu, seperti halnya jalanku, maka izinkanlah aku menawarkan pelipur lara yang mungkin kau temukan dalam doa yang mengerikan ini: Semoga kau menemukan kekuatan kegelapan yang menghidupkan di dalam dirimu. Semoga kekuatan itu menyuburkan kemarahanmu.

Posisi queer kita terhadap peradaban tidak didasarkan pada beberapa gagasan tentang kealamian – yang terkait secara abadi seperti kita – untuk menandakan bagian luar dari tatanan alam yang diidealkan. Kaum queer harus selalu membayangkan jenis-jenis makhluk yang tidak dapat beregenerasi dan tidak produktif yang tidak memiliki tempat dalam tatanan alam. Baik perjuangan kita untuk membuktikan legitimasi, atau upaya kita untuk menaturalisasi queerness. Alam itu sendiri adalah kategori disiplin peradaban yang digunakan untuk mendefinisikan dan mengklasifikasikan kehidupan liar. Sebaliknya, seperti yang Stryker tegaskan, ‘kita akan bersekutu dengan kekacauan dan kegelapan yang darinya alam tumpah.’ Kekacauan dan kegelapan ini, menjadi kekuatan yang sama yang tak jelas yang disebut Hocquenghem sebagai hasrat homoseksual, yang Edelman sebut sebagai dorongan kematian. Kita menempatkan diri kita dalam tumpahan kekacauan yang sama, yang menjanjikan kehancuran peradaban.

  1. Tubuh dan Bahasa

Dengan cara yang sama, kita telah menunjukkan utang kritik Edelman kepada Hocquenghem sehubungan dengan penolakannya terhadap politik dan positivitas; yang sama pentingnya bahwa: kita menunjukkan cara-cara di mana ia juga memanfaatkan kritik Hocquenghem terhadap bahasa melalui lensa jouissance. Ketika Edelman mengkritik logika kejelasan (logic of intelligibility) dalam politik, kritik ini sebenarnya adalah pembacaan yang agak dangkal dari kritik Hocquenghem yang lebih dalam terhadap bahasa secara umum. Bagi Guy Hocquenghem, bahasa adalah ‘apparatus yang mana hasrat terperangkap di dalamnya dan yang akan selalu gagal dalam proyek representasinya.’ Dalam konteks inilah kita dapat mengeksplorasi lebih jauh hubungan ide-ide ini dengan pemikiran anti-peradaban.

Dalam The Screwball Asses, Hocquenghem menyebarkan jouissance baik sebagai apa yang lolos representasi dalam bahasa dan juga sebagai kekuatan yang dapat mengganggu dominasi bahasa atas kehidupan. Hocquenghem memulai esainya dengan sedikit pengakuan:

Mari saya mulai dengan pengakuan bahwa: apa [yang akan datang pada esai] berikut ini secara eksklusif ditujukan kepada orang-orang yang saya tidak bisa bercinta dengannya. Bagi semua orang, pesta tubuh mengubah ucapan menjadi pelayan tubuh, tak ada yang lain. Tidak ada gunanya untuk menentukan ini: kita hanya berbicara tentang seks di depan orang-orang yang tidak melakukannya atau yang juga mengaku tidak memiliki hasrat untuk kita.

Dengan pengakuan ini, dia bersikeras pada ketidakmampuan mendasar bahasa untuk menangkap bentuk perjuangan tubuh yang ia perjuangkan. Mengikuti pendapatnya, perjuangan kita juga harus dimulai dari disjungsi ini. Kita terlibat dengan bahasa sejauh kita dapat menggunakannya untuk melayani tubuh. Kita berbicara, kita menuliskan kata di atas kertas untuk mengirim kedipan kepada mereka yang dengannya kita belum atau saat ini belum dapat bersekongkol dalam praktik jouissance. Karena jika seks tidak terkatakan, hal itu tidak mengecualikan berbicara dari menjadi medium seksual. Untuk rekan konspirator kita, mereka yang dengannya kita berbagi pengalaman yang tidak dapat disebutkan, kata-kata ini hanya dapat mendekati proyek kita yang sebenarnya, yang hanya dapat berfungsi sebagai pengingat lemah dari perjanjian yang kita bagikan dalam mengejar keliaran. Selebihnya, ada seduksi (rayuan).

Hocquenghem mendakwa semua wacana ‘radikal’ yang eksis sebagai bagian dari pemisahan mendasar antara tubuh dan setiap upaya untuk menangkap perjuangannya dalam bahasa:

Baik untuk materialisme dialektik maupun untuk psikoanalisis, materinya adalah non-tubuh. Semua perjuangan untuk kembalinya tubuh telah begitu terkontaminasi oleh non-tubuh, sehingga ketika mereka berbicara tentang tubuh mereka: hanya menonjolkan pengasingannya. Kita lupa bahwa, ‘isi pidato hanyalah wadah alam semesta kita.’

Pada beberapa poin di seluruh teks, ia meminta para pembacanya untuk melepaskan diri dari tirani bahasa, “untuk berbicara dengan tubuh daripada dengan kata-kata, atau untuk menghayati jasmani kita daripada berbicara tentang seksualitas.” Dia bertanya, “kapan kita bisa menghancurkan kekuatan kata-kata dengan gerakan kulit kita?”

Kontradiksi antara tubuh dan bahasa ini tidak unik dalam pemikiran Hocquenghem. Kita akan kembali ke buku Silvia Federici, Caliban and the Witch, di mana ia mencatat kontradiksi ini dan menempatkannya dalam proses domestikasi manusia. Dia berpendapat bahwa, “salah satu prasyarat untuk perkembangan kapitalis adalah proses yang didefinisikan oleh Michel Foucault sebagai ‘pendisiplinan tubuh (disciplining of the body),’ yang dalam pandangan saya terdiri dari upaya negara dan gereja untuk mengubah kekuatan individu menjadi tenaga kerja.”

Federici berpendapat bahwa, proses mendisiplinkan tubuh ini mengambil bentuk konflik antara akal dan gairah tubuh:

Hasilnya mengingatkan pada pertempuran abad pertengahan antara malaikat dan iblis untuk kepemilikan jiwa yang pergi. Tetapi konflik itu sekarang dipentaskan dalam diri orang yang direkonstruksi sebagai medan perang, di mana elemen-elemen yang berlawanan saling berbenturan untuk mendominasi. Di satu sisi, ada kekuatan Akal: hemat, kehati-hatian, rasa tanggung jawab, kontrol-diri. Di sisi lain, ada naluri rendah Tubuh: kecabulan, kemalasan, pemborosan sistematis energi vital seseorang. Peperangan terjadi di banyak bidang, karena Akal harus waspada terhadap serangan nafsu duniawi, dan mencegah “kebijaksanaan daging (the wisdom of the flesh)” merusak kekuatan pikiran. Dalam kasus ekstrim, orang tersebut menjadi medan perang semua melawan semua.

Yang lain menggambarkan ‘perang semua melawan semua’ ini sebagai: kondisi mendasar dari perang saudara di mana-mana yang terus berkecamuk, menembus tatanan sosial dan mengganggu mitos perdamaian sosial. Narasi ini sangat mirip dengan konsepsi queerness yang dikembangkan oleh Hocquenghem dan kemudian dielaborasi oleh Edelman, yang memahami queerness sebagai kekerasan yang selalu-ada, potensi yang mampu dilakukan oleh setiap tubuh. Jika kita mengikuti Federici di sini dalam memahami konflik antara Akal (dan pelayannya: bahasa) dan Gairah tubuh, kita dapat menempatkan queerness kita sebagai ‘kekuatan partisan’ dalam pertempuran ini. Federici melanjutkan:

Konflik antara Akal dan Tubuh ini, yang digambarkan oleh para filsuf sebagai konfrontasi yang rusuh antara jenis yang lebih baik dan yang lebih rendah ... pertempuran yang dibayangkan oleh wacana abad ke-17 tentang orang yang dibayangkan berlangsung dalam mikrokosmos individu, dapat dikatakan merupakan landasan dalam realitas waktu. Ini adalah aspek dari proses reformasi sosial yang lebih luas, di mana, di zaman nalar, borjuasi yang sedang bangkit berusaha untuk membentuk kembali kelas-kelas bawah sesuai dengan kebutuhan ekonomi kapitalis yang sedang berkembang … Pertempuran melawan tubuh yang telah menjadi sejarahnya tandai … Reformasi tubuh adalah inti dari etika borjuis karena kapitalisme menjadikan akuisisi sebagai “tujuan akhir kehidupan”, bukannya memperlakukannya sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan kita; dengan demikian, kapitalisme mengharuskan kita kehilangan semua kesenangan spontan dari hidup.

Di sini kita diingatkan akan penjelasan Hocquenghem tentang jouissance sebagai “kenikmatan yang membahagiakan saat ini.” Historisisme Federici dengan menggoda menawarkan struktur material-historis untuk keseluruhan kritik kita. Perjuangan putus asa tubuh melawan masa depan dan dalam mengejar jouissance adalah perjuangan yang sama, yang menentang perkembangan kapitalis sejak awal. Penaklukan Akal atas Gairah sesuai dengan dominasi tatanan borjuis atas tubuh pemberontak – karena justru perjuangan yang sama – terwujud dalam setiap tubuh.

Tubuh – yang dikosongkan dari kekuatan gaibnya – dapat terperangkap dalam sistem penaklukan, di mana perilakunya dapat dihitung, diatur, dipikirkan secara teknis, dan diinvestasikan dalam relasi kekuasaan … Perkembangan tubuh menjadi mesin kerja, (adalah) satu dari tugas utama akumulasi primitif .... Seperti tanah, tubuh harus diolah dan pertama-tama dipecah, sehingga dapat melepaskan harta terpendamnya. Sebab, sementara tubuh adalah kondisi eksistensi tenaga-kerja, tubuh itu juga merupakan batasnya, sebagai elemen utama perlawanan terhadap pengeluarannya. Hal itu tidak cukup kemudian, untuk memutuskan bahwa: dalam dirinya sendiri, tubuh tidak memiliki nilai. Tubuh harus mati agar tenaga kerja-bisa hidup.

Federici menjelaskan bagaimana perang disiplin ini dilancarkan untuk memisahkan tubuh dari kapasitas mereka pada jouissance, untuk mengkomodifikasi mereka sebagai tenaga kerja.

Dengan mengubah tenaga kerja menjadi komoditas, kapitalisme menyebabkan pekerja menyerahkan aktivitas mereka pada tatanan eksternal yang tidak dapat mereka kendalikan dan yang tidak dapat mereka identifikasi. Dengan demikian, proses kerja menjadi dasar keterasingan diri … Hal ini juga mengarah pada, rasa keterpisahan dari tubuh, yang menjadi ter-reifikasi, direduksi menjadi objek yang dengannya orang tersebut tidak lagi segera diidentifikasi.

Keterasingan mendasar inilah, yang terletak dalam proses akumulasi primitif yang katanya membentuk dasar alienasi kontemporer kita dari tubuh kita, perbudakan terminal kita pada abstraksi dan bahasa.

Federici menjelaskan bahwa, kekerasan disiplin ini selalu berfokus pada pemberantasan cara-cara yang tidak produktif:

Kekerasan kelas penguasa ditujukan pada transformasi radikal seseorang, yang dimaksudkan untuk membasmi segala bentuk perilaku proletariat yang tidak kondusif guna menerapkan disiplin kerja yang lebih ketat … Ketelanjangan (nakedness) dihukum, seperti berbagai bentuk seksualitas dan sosialitas lainnya yang tidak produktif.

Di sini kita melihat tirani Anak (tyranny of the Child) ditelusuri kembali melalui waktu dan tertanam dalam bahasa itu sendiri. Serangan terhadap tubuh oleh Akal dan Bahasa selalu bertujuan untuk menghilangkan semua hasrat dan kapasitas non-produktif. Futurisme reproduktif kemudian menjadi kerangka di mana bentuk-bentuk keterlibatan sosial tertentu ditegakkan secara militer, sementara yang lain diberantas.

Pendekatan militeristik dan ilmiah untuk pendisiplinan tubuh ini berfungsi melalui penangkapan tubuh dalam bahasa. Federici berpendapat bahwa, “dalam filsafat mekanik, kita melihat semangat borjuis baru yang menghitung, mengklasifikasikan, membuat perbedaan, dan merendahkan tubuh, hanya untuk merasionalkan fakultasnya, yang bertujuan tidak hanya untuk mengintensifkan penundukannya, tetapi juga untuk memaksimalkan utilitas sosialnya.” Di sini lembaga-lembaga linguistik dan diskursif Identitas dan Seksualitas berfungsi bersama semua aparatus ras dan apparatus gender lainnya yang mengkodekan tubuh-tubuh yang teralienasi dengan nilai dan fungsi tertentu—nilai dan fungsi yang berfungsi untuk mereproduksi masyarakat di setiap tubuh dan setiap saat. Federici berpendapat bahwa, ‘hal ini diperlukan untuk rezim masa depan kapitalis manapun.’

Dari sudut pandang kapitalis … di sini, masa depan hanya dapat diantisipasi sejauh keteraturan dan kekekalan sistem yang diasumsikan; yaitu, hanya sejauh yang diasumsikan bahwa, ‘masa depan akan seperti masa lalu, dan tidak ada perubahan besar, tidak ada revolusi, yang akan mengacaukan koordinat pengambilan-keputusan individu’ … Fiksasi tubuh dalam ruang dan waktu, yaitu, identifikasi spasio-temporal[33] individu, merupakan kondisi penting untuk keteraturan proses kerja.

Dia kemudian melanjutkan:

Juga dari sudut pandang proses abstraksi yang dialami individu dalam transisi menuju kapitalisme, kita dapat melihat bahwa, ‘perkembangan mesin manusia adalah lompatan utama teknologi, langkah utama dalam pengembangan tenaga-tenaga produktif yang terjadi di periode akumulasi primitif.’ Kita dapat melihat, dengan kata lain, bahwa: tubuh manusia dan bukan mesin uap – dan bahkan jam – adalah mesin pertama yang dikembangkan oleh kapitalisme.

Jika Federici benar, jika tubuh kita telah dihancurkan dan dibuat kembali menjadi mesin kerja, dan jika mesin ini adalah mesin asli yang membentuk tatanan sosial kapitalis, maka kita harus menjadikan tubuh kita sebagai mesin untuk disabotase; korporealitas kita, seperti yang dikatakan Hocquenghem, harus menjadi medan pertempuran.

Medan perang ada di dalam diri kita masing-masing. Perang gairah melawan akal, selain menjadi perjuangan eksternal, juga harus menjadi perjuangan yang kita lakukan melawan diri kita sendiri. Kita harus berjuang tidak kalah kerasnya di dalam diri kita sebagai individu daripada berjuang melawan musuh eksternal yang berusaha menegakkan rezim disiplin masyarakat masa depan. Dalam daftar manajer dan polisi yang kita lawan, kita harus memasukkan aparatus manajerial dan apparatus kepolisian yang beroperasi di dalam diri kita.

Kita dapat kembali ke penjelasan Hocquenghem dalam The Screwball Asses untuk mengingatkan bahwa, “mencoba menghancurkan kekuasaan adalah daya pikat yang lebih besar, terutama jika kita lalai dalam melepaskan bentuk kekuatan khusus yang disebut dominasi-diri (self-domination) ini.” Berawal dari sebuah kritik terhadap peradaban, kita dapat memahami dominasi-diri ini sebagai akibat dari domestikasi kita menjadi subjek. Dengan menempatkan bahasa dan pemikiran simbolik sebagai mesin domestikasi ini, maka sebagai konsekuensinya, kemampuan berpikir kita telah dijajah sejak lahir dan begitupun seterusnya melalui proses ini. Karena itu, kita harus beralih ke bentuk-bentuk perjuangan yang tidak dibenarkan oleh Akal. Kita harus beralih ke jouissance yang tak tergambarkan itu sebagai alat dalam memerangi domestikasi. Mari kita kembali ke kritik domestikasi, sehingga kita dapat menggunakan bantuan mereka dalam menjelaskan bagaimana kita dapat mematahkan gerak maju waktu kapitalis.

  1. Untuk Menghancurkan Seksualitas; Untuk Menghancurkan Domestikasi

Pada bagian sebelumnya yang membahas lebih dekat dengan karya Edelman, kita mengutip Jacques Camatte dalam mengklaim bahwa, ‘jouissance terjadi sebagai penghancuran domestikasi intrinsik peradaban.’ Untuk lebih menguraikan proyek queer Hocquenghem melawan peradaban, kita akan mengeksplorasi konsep domestikasi dan apa artinya membatalkannya.

Domestikasi – dengan Oedipal sebagai intinya – adalah proses kemenangan nenek moyang kita atas hidup kita; cara-cara di mana tatanan sosial yang ditetapkan oleh orang mati terus menghantui yang hidup. Ini adalah sisa dari akumulasi ingatan, kultur dan hubungan yang telah ditransmisikan kepada kita melalui perkembangan linier waktu melalui fantasi Anak. Investasi kengerian masa lalu ke dalam materialitas kehidupan kita sekarang inilah yang menjamin kelangsungan peradaban. Kembali mengutip Camatte dari “Against Domestication”:

Apa yang menghentikan orang untuk mengubah semua krisis dan bencana ini – yang dengan sendirinya merupakan hasil mutasi kapital paling akhir – menjadi malapetaka bagi kapital itu sendiri? Penjelasan untuk ini dapat ditemukan dalam ‘domestikasi kemanusiaan’, yang terjadi ketika kapital membentuk dirinya sebagai komunitas manusia. Prosesnya dimulai dengan fragmentasi dan penghancuran manusia, dan hasil akhirnya adalah kapital yang diantropomorfisasi.

Jadi, dalam batasan ideologis futurisme reproduktif, pemberontakan melawan peradaban tidak terpikirkan, karena kapital telah begitu menjajah diri kita sendiri, sehingga membayangkan kelangsungan hidup kita sendiri berarti: selalu memikirkan pelestarian peradaban melalui reproduksi- diri kapital. Kita tidak memiliki komunitas untuk diperjuangkan, dan tidak ada kemanusiaan untuk diselamatkan, karena keduanya sudah benar-benar hancur dan telah digantikan dengan komunitas kapital dan komunitas subjek antropomorfisnya: ego beradab. Beralih ke esai Camatte selanjutnya “The Wandering of Humanity”:

Saat ini manusia telah ditelan, tidak hanya dalam penentuan kelas di mana ia terjebak selama berabad-abad, tetapi sebagai makhluk biologis. Ini adalah totalitas yang harus dihancurkan. Demistifikasi tidak lagi cukup. Pemberontakan manusia yang terancam dalam kehidupan sehari-hari mereka yang akan segera melampaui demistifikasi. Masalahnya adalah menciptakan kehidupan lain. Masalah ini secara simultan berada di luar wacana kuno gerakan buruh dan praktik lamanya, dan di luar kritik yang menganggap gerakan ini sebagai ‘ideologi sederhana’ (dan menganggap keberadaan manusia sebagai endapan ideologis).

Adalah sebuah kenyataan pahit untuk mengakui bahwa, ‘restrukturisasi yang telah kita alami melalui proses domestikasi lebih mengerikan daripada hanya membentuk kita sebagai subjek.’ Kapital mencapai biologi kita sendiri, fakta objektif keberadaan kita di dunia. Mulai dari situ, kita harus mengakui lebih jauh bahwa, ‘perjuangan melawan peradaban juga harus menjadi perjuangan melawan diri kita sendiri apa adanya, untuk menghancurkan struktur tubuh kita sebagai wadah tatanan sosial.’ Di sini kita harus mencari – mengikuti desakan Camatte sebelumnya tentang jouissance – serangkaian tindakan penghancuran-diri yang dapat menjadi proyek melawan domestikasi. Seperti yang dikatakan Camatte, “manusia sudah mati. Satu-satunya kemungkinan bagi manusia lain untuk muncul adalah, perjuangan kita melawan domestikasi kita dan kemunculan kita darinya.”

Camatte meneruskan elaborasinya dalam “Wandering”:

Fenomena yang muncul hari ini tidak sedikit pun menghancurkan evaluasi negatif kapital, melainkan memaksa kita untuk menggeneralisasikannya ke kelas yang pernah bermusuhan dengannya dan membawa di dalam dirinya semua elemen positif dari perkembangan manusia dan dari kemanusiaan itu sendiri hari ini. Fenomena ini merupakan rekomposisi komunitas dan rekomposisi manusia oleh kapital, yang mencerminkan komunitas manusia seperti cermin. Teori cermin (the theory of the looking glass[34]) hanya bisa muncul ketika manusia menjadi tautologi, cerminan kapital. Di dalam dunia despotisme kapital, baik atau buruk tidak dapat dibedakan. Semuanya bisa dihukum. Kekuatan penyangkalan hanya dapat muncul di luar kapital. Karena kapital telah menyerap semua kontradiksi lama, gerakan revolusioner harus menolak seluruh produk perkembangan masyarakat kelas. Inilah inti perjuangannya melawan domestikasi.

Di sini, sekali lagi, proyek negativitas queer dan perjuangannya untuk menghancurkan domestikasi saling berpotongan. Perebutan kapital atas setiap positivitas dalam peradaban mengamanatkan proyek yang murni negatif. Dan tautologi di mana kapital dan keberadaan manusia secara sempurna mengekspresikan satu sama lain, menekankan perlunya proyek kita; dan anehnya, mempertanyakan domestikasi kita ke dalam berbagai peran sosial. Seperti yang ditulis Camatte, “setiap individu harus melakukan kekerasan terhadap dirinya sendiri untuk menolak, sebagaimana [kekerasan yang dilakukan untuk menolak sesuatu yang] di luar diri mereka, domestikasi kapital dan semua ‘penjelasan’ yang memvalidasi dirinya sendiri dengan nyaman.” Karena alasan inilah, kita memperhatikan diri kita sendiri dengan hasrat queer untuk menemukan jahitan subjektivitas dan merobeknya.

Dalam karya Hocquenghem kita menemukan kata-kata yang menempatkan semua yang kita inginkan dengan begitu indah, jadi kita akan mengutip panjang lebar dari “To Destroy Sexuality”:

Meskipun tatanan Kapitalis tampaknya toleran, kenyataannya tatanan itu selalu mengendalikan kehidupan melalui aspek afektifnya, membatasinya pada perintah organisasi totalitariannya berdasarkan eksploitasi, kepemilikan pribadi, dominasi laki-laki, keuntungan, dan profitabilitas. Ia menjalankan kontrol ini di bawah semua berbagai samarannya: keluarga, sekolah, tempat kerja, tentara, aturan, dan wacana. Ia terus-menerus mengejar misinya yang hina untuk mengebiri, menindas, menyiksa, dan menghancurkan tubuh, lebih baik lagi untuk menuliskan hukum-hukumnya pada daging kita, untuk memusatkan ke dalam ketidaksadaran kita mekanismenya dalam menyebarkan perbudakan.

Negara kapitalis menggunakan retensi (penahanan), stasis(me), skarifikasi, dan neurosis untuk memaksakan norma dan modelnya, menanamkan karakternya, menetapkan perannya, menyebarluaskan programnya … Ia menembus tubuh kita, memaksa akar kematiannya jauh ke dalam celah terkecil tubuh kita. Ia mengambil alih organ kita, merampas fungsi vital kita, memutilasi kesenangan kita, memanfaatkan semua produktivitas ‘hidup’ kita di bawah administrasinya yang melumpuhkan. Hal itu mengubah masing-masing dari kita menjadi ... orang asing pada hasratnya sendiri.

Kekuatan okupasi kapitalis terus menyempurnakan sistem agresi, provokasi, dan pemerasan mereka untuk menggunakannya bersama dengan penguatan besar-besaran teror sosial (kesalahan individu) guna menekan, mengecualikan dan menetralisir semua praktik kehendak kita yang tidak mereproduksi bentuk-bentuk dominasi itu. Dan pemerintahan seribu tahun yang penuh dengan kepuasan, pengorbanan, kepasrahan, masokisme yang terkodifikasi, dan kematian ini, berlangsung dengan sendirinya. Di sinilah pengebirian berlaku, mereduksi ‘subjek’ menjadi makhluk yang sarat akan rasa bersalah, neurotik, rajin, dan ‘sedikit lebih’ dari seorang pekerja kasar.

Tatanan yang lebih tua ini – berbau tubuh yang membusuk – memang mengerikan, tetapi tatanan ini telah memaksa kita untuk mengarahkan perjuangan revolusioner kita melawan penindasan kapitalis di sana, di mana ia berakar paling dalam—dalam daging hidup dari tubuh kita sendiri ….

Kita tidak bisa lagi berpangku tangan sementara mulut kita, anus kita, alat kelamin kita, nyali kita, dan urat kita dirampok … hanya agar mereka dapat mengubah bagian-bagian ini menjadi mesin tercela mereka yang menghasilkan modal, eksploitasi dan keluarga.

Kita tidak bisa lagi berdiam diri sementara mereka mengontrol, mengatur, dan menempati selaput lendir kita, pori-pori kulit kita, dan seluruh permukaan tubuh kita.

Kita tidak bisa lagi berpangku tangan sementara mereka menggunakan sistem saraf kita sebagai ‘lari estafet’ dalam sistem eksploitasi kapitalis, federal, dan patriarki. Juga saat mereka menggunakan otak kita sebagai sarana hukuman yang diprogram oleh kekuatan sekitar (ambient).

Kita tidak bisa lagi tidak ‘datang’ atau menahan kotoran kita, menahan air liur kita, dan energi kita menurut hukum mereka, dengan pelanggaran kecil yang ditoleransi. Kita ingin meledakkan tubuh yang dingin, tertahan, dan malu, yang sangat ingin dibuat oleh kapitalisme dari tubuh kita yang hidup …

Menginginkan kebebasan mendasar untuk masuk ke dalam praktik-praktik revolusioner ini memerlukan pelarian kita dari batas-batas ‘diri’ kita sendiri. Kita harus membalikkan ‘subjek’ di dalam diri kita sendiri; melarikan diri dari menetap, dari negara beradab, dan melintasi ruang tubuh yang tak terbatas; hidup dalam mobilitas yang disengaja di luar seksualitas, di luar wilayah dan perbendaharaan normalitas ...

Kita tidak peduli dengan hanya meruntuhkan seksualitas resmi karena seseorang akan meruntuhkan kondisi pemenjaraan seseorang dalam struktur apapun; kita ingin menghancurkannya, kita ingin menyingkirkannya, karena dalam analisis akhir, ia berfungsi sebagai ‘mesin pengebirian berulang’ yang tak terhingga yang dirancang untuk mereproduksi kepatuhan mutlak seorang budak di mana-mana dan di dalam setiap diri orang …

Apa yang kita inginkan – apa yang kita hasrati – adalah untuk menendang representasi, sehingga dengan begitu, kita dapat menemukan apa sebenarnya tubuh yang kita hidupi ini.

Kita ingin membebaskan, melepaskan, tidak mengekang dan mencopoti tubuh yang hidup ini untuk membebaskan semua energi, hasrat, dan gairah yang dihancurkan oleh sistem sosial kita yang telah ditentukan dan diprogram.

Kita ingin dapat melatih setiap fungsi vital kita dengan merasakan kesenangan yang lengkap.

Kita ingin menemukan kembali sensasi yang mendasar, seperti kenikmatan bernafas yang telah dibekap oleh kekuatan penindasan dan polusi; atau kesenangan dalam makan dan mencerna yang telah terganggu oleh ritme keuntungan dan makanan ersatz[35] yang dihasilkannya; atau kesenangan dalam buang air besar dan sodomi yang telah diserang secara sistematis oleh pendapat kapitalis tentang sphincter[36] (sfingter). Hal ini secara langsung menggores daging hidup ini dengan prinsip-prinsip fundamentalnya; saluran listrik eksploitasi, neurosis dari akumulasi, mistik properti dan kepatutan, dll. Kita ingin menemukan kembali kesenangan dalam mengguncang diri kita sendiri dengan gembira, tanpa rasa malu, bukan karena kebutuhan atau kompensasi, tetapi hanya untuk sekadar kesenangan yang mengguncang diri kita sendiri. Kita ingin menemukan kembali kesenangan bergetar, bersenandung, berbicara, berjalan, bergerak, mengekspresikan diri, mengoceh, dan bernyanyi—menemukan kesenangan dalam tubuh kita dengan segala cara yang mungkin …

Kita berusaha membuka tubuh kita ke tubuh orang lain, ke tubuh yang lain; untuk mengirimkan getaran, untuk mengedarkan energi, untuk mengatur hasrat sehingga masing-masing dari kita bebas memainkan fantasi dan ekstasinya, sehingga kita dapat hidup tanpa rasa bersalah dan tanpa menghambat semua praktik intra dan interpersonal sensual yang kita butuhkan, sehingga Realitas sehari-hari kita tidak akan berubah menjadi penderitaan mendalam nan lambat yang diproyeksikan oleh kapitalisme dan birokrasi sebagai model eksistensi. Kita berusaha untuk melepaskan diri kita dari desas-desus rasa bersalah yang membara, yang selama ribuan tahun telah menjadi akar dari semua penindasan …

Kita ingin menyingkirkan semua peran dan identitas berdasarkan phallus.

Kita ingin bebas dari segregasi seksual. Kita ingin menyingkirkan kategori laki-laki dan perempuan, gay dan straight, prosesor atau yang diproses, lebih besar dan lebih kecil, tuan dan budak. Kita ingin menjadi manusia transeksual, otonom, mobile dan multipel dengan berbagai perbedaan yang dapat saling bertukar hasrat, kepuasan, ekstasi, dan emosi lembut tanpa merujuk kembali ke tabel nilai lebih atau struktur kekuasaan yang belum ada dalam aturan permainan.

  1. Birds of Fire

Untuk menyimpulkan elaborasi kita tentang queerness sebagai keliaran, sebagai kegilaan yang menyerang tatanan sosial yang beradab, kita akan kembali secara singkat ke kritik Edelman dalam No Future. Sesuai dengan bidang akademiknya kritisisme kultural, ia beralih ke serangkaian karya sastra dan film untuk menyusun argumennya. Sementara kita menemukan sebagian besar dari navel-gazing[37] (omphaloskeptis) ini sama sekali tidak memiliki aplikasi di luar akademis, kita akan secara kritis terlibat dengan salah satu objek karya Edelman seperti film The Birds karya Alfred Hitchcock.

Dalam pertunangannya dengan film horor klasik Hitchcock, Edelman berpendapat bahwa: antagonis film tersebut – burung-burung – mewakili apa yang dia gambarkan sebagai ‘kekuatan peniada masa depan’ dari dorongan brutal dan tanpa pikiran, yaitu queerness, yang terbang di atas Teluk San Francisco dan mengganggu berbagai manifestasi tatanan keluarga dan heteronormativitas.

Pilihan dari pesta anak-anak untuk serangan koreografi penuh pertama ini menunjukkan sejauh mana burung membidik struktur sosial makna bahwa, perayaan seperti pesta ulang tahun berfungsi untuk mengamankan dan memainkan: membidik, yaitu, tidak hanya pada anak-anak dan sakralisasi masa kanak-kanak, tetapi juga pada pengorganisasian makna di sekitar struktur subjektivitas yang merayakannya, bersama dengan hari kelahirannya, ideologi tentang kebutuhan reproduktif.

Edelman, sejalan dengan Hocquenghem, menggambarkan cara burung berfungsi dalam melawan hegemoni bahasa, berkicau dan memekik tak menentu, memperingatkan imanensi serangan mereka. Hal ini tidak berbeda dengan deskripsi kuno tentang ‘barbarians at the gates’ yang menggambarkan musuh peradaban sebagai makhluk yang sangat tidak koheren, mengobarkan perang tidak hanya melawan fondasi material peradaban, tetapi juga melawan tirani akalnya. Edelman menggambarkan burung-burung Hitchcock dengan: “Ayat-ayat yang mereka nyanyikan menyimpang dari akal ke omong kosong, bolak-balik, tanpa arah yang jelas, mencampur fragmen-fragmen naratif yang menyinggung kegagalan rumah tangga heteroseksual.” Dia melanjutkan:

Kita mungkin menyarankan bahwa, burung-burung dalam film Hitchcock, berdasarkan hubungan seks—dan dengan—matriks perkawinan heteroseksual, menghilangkan sublimasi ritus reproduktif dari film itu, mengenai produk [hasil dari reproduksi adalah hal] yang mereka tidak pedulikan. Mereka [burung-burung itu] memberi isyarat pada dorongan kematian yang hidup dalam futurisme reproduktif, mencemooh domestikasi dalam bentuk romansa, yang selalu merupakan romansa Anak

Mereka[burung-burung itu] datang; karena datang adalah apa yang mereka lakukan: secara sewenang-wenang dan tidak terduga, seperti kaum homoseksual yang dikutuk Keyes karena mempromosikan “paradigma seksualitas manusia yang dipisahkan dari keluarga dan prokreasi, dan terlibat hanya demi … kesenangan dan kepuasan sensual.” Burung-burung datang untuk melacak hubungan – secara langsung seperti burung gagak terbang – antara kekacauan dan perpecahan dalam keluarga, hilangnya keakraban secara radikal, yang dilepaskan oleh kegembiraan.</quote>

Karya Edelman di sini berusaha untuk bersama mengikat, melalui simbol burung, irasionalitas queerness dengan penolakan terhadap futurisme reproduktif. Baginya, burung-burung itu merepresentasikan: membanjirnya tubuh yang diambil oleh jouissance, tubuh tanpa peduli pada hukum atau heteronormativitas atau mandat futurisme reproduktif.

Sejauh burung menanggung beban (queerness), yang bertujuan untuk memisahkan heteronormativitas dari implikasinya sendiri dalam dorongan kematian; sebenarnya lebih tepat untuk mengatakan bahwa, makna homoseksualitas ditentukan oleh apa yang diwakili film itu di dalamnya: penghancuran makna yang kejam, hilangnya identitas dan koherensi, akses tidak wajar ke jouissance, yang menemukan ekspresi sempurna mereka dalam slogan yang dirancang oleh Hitchcock sendiri dalam promosi film, “the birds is coming!

Dia menggambarkan burung-burung dengan cara yang tidak berbeda dengan teror yang dengannya pelayan ketertiban akan selalu menggambarkan resistensi terhadap ketertiban: “semakin banyak burung, tidak dapat dibedakan, semuanya mirip satu sama lain sebagai satu klon, turun sebagai antitipe visual untuk masa depan reproduktif, bahwa anak-anak sebagai figur peningkatan diri, harus menandakan dan meyakinkan.” Anonimitas seperti massa burung-burung ini adalah ciri khas cara negara-negara bagian secara konsisten menggambarkan musuh-musuh mereka. Baik yang asing atau domestik, perlawanan anti-negara selalu dilemparkan sebagai massa tak berwajah, yang tidak dapat dibedakan, dan kebinatangan; blok hitam, teroris fantastis, perusuh irasional, penyimpangan seksual — selalu berbentuk ‘massa gelap tanpa bentuk’ dari fungsi Lain untuk meneror tatanan sosial yang didasarkan pada pengakuan, rasionalitas, dan kenormalan.

Edelman menggambarkan burung-burung itu sebagai “hantu-hantu yang tidak dikenal yang selalu menggentayangi mesin sosial; dan ketidakjelasan yang tidak dapat dilawan oleh wacana pengetahuan.” Sebagai musuh masyarakat yang tertanam di dalamnya, kita jelas menemukan diri kita dalam bacaan ini. Sebagai mereka yang hasratnya tidak mungkin ditangkap dalam bidang pemahaman politik, kita harus melihat burung sebagai simbol perjuangan kita sendiri. Sebuah perjuangan yang digambarkan Edelman sebagai perjuangan melawan: “domestikasi, kolonisasi, dan dunia dengan makna.”

Meskipun dia tidak pernah mengutipnya, sangat jelas bahwa dalam menggambarkan domestikasi dunia ini dengan makna, pemikiran Edelman banyak meminjam dari pemahaman Hocquenghem tentang tubuh yang dijajah oleh bahasa melalui proses domestikasi. Edelman di sini menyebarkan burung sebagai metafora untuk perjuangan tubuh di mana Hocquenghem menempatkan dirinya dan rekan-rekannya, yang sama, yang kita pahami sebagai milik kita sendiri.

Mengutip Edelman, untuk terakhir kalinya: “Dengan demikian, burung-burung yang akan datang, akan menyia-nyiakan dunia karena mereka sangat membenci dunia, sehingga mereka tidak mau menerimanya; sehingga mereka, pada gilirannya, tidak akan menerima apapun selain kehancuran dunia itu.”

Di sini kita harus memahami diri kita sendiri sebagai burung atau teks yang tidak memberi kita apa-apa. Proyek kita adalah untuk membuang sampah ke dunia, dan karena itu tidak dapat mendasarkan dirinya pada survei film dan sastra yang jinak. Tidak, jika kita ingin menerima tak kurang dari kehancuran dunia, maka kita harus menuduh bidang studi Edelman terkait erat dengan reproduksi-diri dunia itu. Kita harus membuang beban seni dan akademik; tetapi dengan melakukan itu, kita harus mengambil alih inti subversi berbahaya yang hanya dimiliki akademi dengan mengambilnya dari kita sejak awal. Jika kita ingin mengambil sesuatu dari Edelman dan burung-burungnya, berarti hal itu harus berupa konsep perlawanan sebagai massa yang seperti badai, segerombolan tubuh yang terdesentralisasi yang tak henti-hentinya menyerang musuh-musuh mereka. Menurut pembacaan the birds, badai kita harus irasional, tidak dapat dipahami, dan anonim, seperti massa, yang ofensif, tidak berarti, tidak koheren, dan tanpa henti.

Kita dapat sejalan dengan Halberstam lagi dalam mengkritisi keterikatan apolitis Edelman pada bidangnya dan dalam membayangkan bentuk mengerikan lain yang dapat dilakukan oleh perlawanan semacam itu. Halberstam menulis:

Dalam karya saya tentang “imajiner politik alternatif,” alternatif mewujudkan rangkaian “pilihan lain” yang hadir di setiap krisis politik, ekonomi dan estetika serta resolusi mereka. Queerness menyebutkan kemungkinan lain, hasil potensial lainnya, lintasan non-linier dan tak terhindarkan yang menyebar dari peristiwa tertentu dan mengarah ke masa depan yang tidak dapat diprediksi. Dalam The Many-Headed Hydra: Sailors, Slaves, Commoners, and the Hidden History of the Revolutionary Atlantic, sejarawan sosial Peter Linebaugh dan Marcus Rediker menelusuri apa yang mereka sebut sebagai, “perjuangan untuk cara hidup alternatif” yang menyertai dan menentang kebangkitan kapitalisme pada awal abad ketujuh belas. Dalam cerita tentang pembajakan, rakyat jelata yang dirampas, dan pemberontakan di perkotaan, Linebaugh dan Rediker merinci cara-cara kekerasan kolonial dan nasional yang secara brutal membasmi semua tantangan terhadap kekuatan kelas menengah; dan merinici apa yang menjadikan pemberontakan proletar sebagai tidak terorganisir, acak, dan apolitis. Linebaugh dan Rediker malah menekankan kekuatan kerjasama di dalam gerombolan anti-kapitalis; dan mereka memperhatikan dengan cermat alternatif-alternatif yang dibayangkan dan dikejar oleh kelompok-kelompok perlawanan yang “berkepala banyak” ini. Kita perlu menyusun agenda queer yang bekerja sama dengan banyak kepala entitas mengerikan lainnya yang menentang kapitalisme global …

Kita beralih ke sejarah alternatif, momen kontemporer perjuangan politik alternatif dan kultur produksi yang tinggi dan rendah dari negativitas queer yang funky, jahat, di atas dan sepenuhnya dapat diakses. Jika kita ingin membuat teori queer anti-sosial turn, kita harus rela berpaling dari zona nyaman pertukaran sopan untuk merangkul negativitas politis yang sesungguhnya – yang menjanjikan, kali ini – untuk gagal, untuk mengacau, untuk persetan, untuk menjadi bising, nakal, tidak sopan, untuk menumbuhkan kebencian, untuk membalas, berbicara dengan bebas dan terus terang, untuk mengganggu, membunuh, mengejutkan dan memusnahkan; dan, mengutip Jamaica Kincaid, untuk membuat semua orang sedikit kurang bahagia!

Sementara kita menghargai upaya Halberstam untuk menempatkan keburukan negativitas queer dalam sejarah insureksi dan pemberontakan Linebaugh dan Rediker, kita harus kembali mengkritik kritik parsial Halberstam. Sementara resistensi kita mungkin saja berbentuk hydra berkepala banyak, kepala-kepala itu bukanlah “kemungkinan alternatif” atau “imajiner politik.” Kepala-kepala itu juga bukanlah mode ekspresi artistik.

Jika kita dapat menentukan sesuatu dari proyek negativitas queer kita, maka kapitalisme memiliki kapasitas tak terbatas untuk menoleransi dan memulihkan politik alternatif atau segala ekspresi artistik yang dapat kita bayangkan. Bukan negativitas politik yang harus kita temukan dalam queerness kita, melainkan anti-politik yang kejam yang menentang impian utopis apapun tentang masa depan yang lebih baik yang berada di sisi jauh dari pengorbanan seumur hidup. Negativitas queer kita tidak ada hubungannya dengan seni, tetapi sangat berkaitan dengan pemberontakan perkotaan, pembajakan, dan pemberontakan budak: semua perjuangan tubuh yang menolak masa depan dan mengejar irasionalitas jouissance, kesenangan, kemarahan, dan kekacauan. Perjuangan kita bukanlah perjuangan mencari alternatif, karena tidak ada alternatif yang bisa lepas dari cakrawala kapital yang terus meluas. Sebaliknya, kita berjuang – putus asa – untuk merobek hidup kita dari cakrawala yang meluas dan meledak dengan kenikmatan liar sekarang. Segala yang kurang adalah domestikasi kita yang berkelanjutan terhadap aturan peradaban.

Syukurlah, kecenderungan mengerikan yang kita maksud bukanlah sesuatu yang hanya terkurung dalam buku-buku sejarah atau terepresentasi secara menyedihkan dalam berbagai produksi kultural. Sebaliknya, kecenderungan mengerikan yang kita maksud adalah: kecenderungan yang hidup, dinamis, serta keanehan yang intrinsik dan terus-menerus berperang dengan tatanan sosial. Kita bisa melihatnya dalam kebakaran di seluruh dunia yang menerangi kenyataan bahwa, ‘di mana-mana tubuh menolak perbudakan mereka untuk masa depan peradaban.’ Kita melihat bayangan monster dalam diri para pemogok di Montreal yang menolak peredaan berorientasi masa depan yang ditawarkan oleh Negara, dan serangannya telah meluas dari pemogokan mahasiswa menuju perang sosial. Kita melihat ini juga di Seattle, di mana massa menghancurkan simbol kapital dan hukum pada May Day ini. Kita melihatnya di San Francisco dan Oakland di mana orang-orang yang direbut dan dikucilkan, berkumpul dan bubar dengan ritme yang tidak menentu untuk mengepung kantor polisi, menyerang perusahaan yuppie, membakar mobil, dan menyebarkan malapetaka. Di New York, kita melihat mayat-mayat melemparkan diri ke dalam jurang metropolitan untuk menggeram dan menghalangi arus yang tak berkesudahan. Di seluruh dunia, tubuh liar menemukan satu sama lain dan terlibat dalam konspirasi abadi melawan keberadaan. Di setiap negara, mereka membakar, mereka menjarah, mereka menyabotase, mereka melukai. ‘Burung-burung’ terus terbang bersama, menyayat, mematuk, dan mencabik-cabik urat tatanan sosial yang mereka benci.

Beberapa ekspresi indah dari kecenderungan menuju keliaran ini dapat ditemukan dalam tindakan dan tulisan anarkis individualis di wilayah yang didominasi oleh Negara Chili. Kita akan mengutip satu komunike khusus yang dikeluarkan oleh beberapa burung cantik dalam pertarungan yang seperti badai yang mereka lakukan di sana. Komunike ini dikutip dari “The Revolt Continues Until Total Liberation” karya Individualis Cell of Birds of Fire:

Di sanalah mereka – pemuda rakus – menghancurkan segalanya, mendirikan barikade, bentrok dengan polisi, tidak ada yang bisa menghentikan mereka … Ada api dan gairah di hati mereka, cinta dan kebencian di dalam diri mereka, keberanian dan keputusan. Keindahan kekacauan telah kembali menghiasi jalanan, bukan hanya api yang menghiasi aspal, tetapi juga energi para pemuda, penghapusan jenis kelamin, semua orang dalam perjuangan …

Untuk meruntuhkan sekolah adalah mungkin hari ini, seperti yang dilakukan di … tempat-tempat yang sengaja dinyalakan oleh para pajarilla cantik yang memahami bahwa, ‘destruksi ini adalah langkah besar menuju penaklukan kehidupan’ …

Perjalanannya intens dan sulit – selalu begitu – ketika individu muak dengan kondisi yang menyedihkan, mereka mengorganisir dan menyerang. Seseorang tidak boleh takut pada mereka yang berorganisasi hanya untuk satu tujuan tertentu, meskipun hanya untuk menghancurkan, karena pada titik ini kita tahu bahwa, ‘untuk membangun, kita harus menghancurkan’ … Dan semua alasan yang seharusnya dimiliki oleh para politisi kecil ini, ketika mereka berbicara tentang masalah pendidikan namun tidak melakukan apa-apa untuk siapapun; karena ketidakpuasan tumbuh dan berkembang, meskipun para birokrat dan pengusaha hampir selalu menang.

Dan mereka percaya bahwa, ‘untuk menekan gairah adalah hal yang sederhana’, bahwa ‘dengan sedikit gas air mata dan sedikit air mereka akan memadamkannya,’ seperti nyala api lainnya, jadi mereka (Negara) harus diingatkan bahwa mereka salah, lagi dan lagi, mereka bodoh.

Malam selalu menerangi langkah kita, seperti cinta bebas yang memberikan kita kemungkinan pada kebahagiaan tak terbatas, untuk menemukan diri kita dengan keheningan yang indah dari ketidakjelasan, atau menemukan di kaki sinar matahari terbit yang segar; (sinar yang tidak membelai para pekerja kikuk yang meneteskan ences di atas jendela bus dan kaca kereta bawah tanah), berlari ke dalam panasnya barikade, itu ajaib, seperti ‘sesuatu yang tertinggi’, atau hanya Tuhan yang bisa menjadi yang tertinggi? Kita membakar gereja-gereja dengan pendeta pedofil mereka di dalamnya, kita melihat para pelaku tindakan pengecut itu dari depan untuk meludahi wajah mereka ... hari lain datang, tetapi hari ini adalah salah satu hari yang indah, karena kita akan menggabungkan matahari yang membelai kita dengan hangatnya dengan api emansipatoris yang penuh dengan sukacita dan harapan …Inilah barikade, dengan bentuk-bentuk sensual itu kita ditarik oleh api …

Individu yang bergerak menuju kebahagiaan terbesar yang mungkin tidak akan pernah tersandung, perjalanannya unik dan tidak ada bandingannya, tidak ada yang bisa menghentikannya, bukan polisi berbaju merah yang memukulinya dengan tongkat, bukan moralitas yang memaksakan batasnya, bukan polisi penyusup yang mengotori jalannya, bukan hiruk-pikuk sirene mereka untuk membungkamnya ... memaksakan norma, moral, disiplin, dewa dan doktrin bodoh mereka, kita selalu melupakan masyarakat dan kekuasaannya, dan melemparkan diri kita telanjang ke dalam perjumpaan dengan makhluk batin kita ...

“Kita merasa hidup ketika kita bergidik dengan wangi bunga, dengan kicau burung, dengan deburan ombak, suara angin, kesunyian keheningan,”[38] kita merasa hidup ketika kita gemetar dengan panasnya api, dengan belaian kekacauan, dengan malam-malam pemberontakan …

“Kita bergegas ke jurang, untuk menanggapi suara-suara orang mati kita,”[39] mereka yang mati berkelahi dengan senjata di tangan mereka dan bintang emas besar di mata mereka, mereka yang abadi seperti Mauri yang punky, seperti Claudia Lopez, yang pada malam tertentu mendapati diri mereka menghadapi kematian dengan begitu anggun. Ya, karena kita yang memilih untuk menjalani kehidupan yang intens dan berbahaya, kematian menerima kita dengan tangan terbuka, membelai dan mencium kita …

Mengapa kita tidak takut mati? Karena, “kita terbiasa berpikir bahwa kematian bukanlah apa-apa bagi kita, karena segala sesuatu, baik dan buruk, berada dalam sensasi; dan kematian adalah hilangnya indera. Kematian bukanlah apa-apa bagi kita karena ketika kita eksis, kematian tidak ada dan, ketika kematian hadir, maka kita tidak lagi eksis.”[40]

Memang benar, kita menginginkan segalanya, kita memimpikan perjamuan besar dan menghindari roti dan teh, kita menginginkan pesta pora besar dan menolak monogami. Kita percaya pada cinta bebas karena kita tahu, “bahwa kecemburuan, dan romansa eksklusif, kesetiaan suami-istri, membunuh sebagian dari diri kita, memiskinkan kepribadian sentimental, mempersempit cakrawala analitis, antara lainnya. Dan lebih jauh lagi, dalam cinta, seperti dalam hampir semua hal lainnya, hanya ada kelimpahan yang menghilangkan kecemburuan dan rasa iri …”[41] Kita ingin berlari bersama dengan binatang di ladang dan hutan, kita ingin mandi dengan telanjang di pantai, di sungai dan di danau; dan tidak berakhir di kantor polisi karena ketidaksenonohan.

“Kita menegaskan kembali hak untuk hidup telanjang, menanggalkan pakaian kita, mengembara dengan telanjang, bergabung bersama di antara para nudis tanpa ada kekhawatiran untuk menemukan resistensi tubuh terhadap suhu, hal ini untuk menegaskan hak atas disposisi jasmani individu …”[42]

Pemberontakan ada di sini, kita harus meningkatkan partisipasi kita, egoisme murah hati kita perlu berkontribusi, untuk saat ini, untuk perjuangan, untuk mengumpulkan dan mengatur diri kita sendiri untuk tujuan tertentu seperti destruksi, kenikmatan, persahabatan yang penuh kasih, pertemuan dengan kekacauan, maju menuju fajar dari apa-apa yang kreatif, kemudian kembali ke tempat persembunyian kita, untuk bersukacita dan menari dengan burung-burung, untuk memberi makan diri kita sendiri dengan energi pepohonan, untuk merasakan angin laut, dan untuk mendengar melodi angin yang indah …

Kita telah mengatakannya dan kita akan mengatakannya sekali lagi: revolusi kita telah dimulai, kita membuatnya dari hari ke hari, bercinta dengan bebas, mendeklarasikan diri kita menentang setiap tuhan dan agama, mendekonstruksi bahasa yang mendominasi yang mereka paksakan kepada kita, secara terbuka menentang masyarakat manapun, kita berhasil ketika kita berhenti menjadi laki-laki dan perempuan dan menjadi manusia yang unik.

Secara kuantitatif: di antara pekerjaan tanpa batas, pekerjaan kita adalah pencarian kepuasan total, kegembiraan tanpa akhir, kesenangan, dan kebahagiaan abadi ...

Ini adalah saatnya tragedi sosial! Kita akan menghancurkan, dan tertawa. Kita akan terbakar, dan tertawa. Kita akan membunuh, dan tertawa. Kita akan mengambil alih, lalu tertawa. Dan masyarakat akan jatuh. Tanah air akan jatuh. Keluarga akan jatuh. Semuanya akan jatuh, karena manusia bebas telah lahir. Waktu untuk menenggelamkan musuh dengan darah telah tiba[43]

Bandingkan kata-kata rekan-rekan kamerad Cell of Birds of Fire kita ini dengan penggambaran Hocquenghem tentang kaum revolusioner profesional: “anehnya, setiap kali kita berbicara tentang kegembiraan, kaum revolusioner profesional hanya mendengar apa yang telah diletakkan oleh gereja atau ideologi di sana” …

Di sini cukup mudah bagi kita untuk membiarkan burung-burung berbicara sendiri. Semuanya jelas dalam kata-kata mereka: pemberontakan yang tak terpisahkan dari kegembiraan, kesenangan dan keindahan perjuangan, destruksi yang diperlukan dari peran gender dan seksual, penolakan moralitas dan batasan apapun pada cinta dan tubuh, hubungan intrinsik kesenangan dan kebahagiaan dengan destruksi, asosiasi dengan dorongan kematian, desakan jouissance, penolakan ideolog atau politisi manapun yang akan berusaha mengelola pemberontakan.

Kecenderungan ini tidak unik untuk wilayah tertentu, baik dari Negara Chili atau yang lainnya. Sebaliknya, aka nada di mana-mana tubuh yang bersekongkol bersama untuk memberontak melawan masa depan mereka, bersikeras melawan kemungkinan masa depan yang lebih baik, kita menikmati destruksi secara langsung, dalam pesta pora, suka ria, berlari liar, dan mandi telanjang, dalam mencintai, berburu, menari dan tertawa, dan dalam semua sisa hidup kita.

Di samping semua itu, kita harus bersikeras bahwa, ‘perjuangan kita adalah sekaligus: menjadi queer, liar, destruktif dan menggembirakan.’

Kita akan menyimpulkan dengan kata-kata yang diambil dari komunike lain yang mengklaim pembakaran sebuah bank di Santiago, Chili:[44]

Tindakan pembakaran ini berawal dari kebencian abadi kita akan kehidupan yang membusuk oleh dunia orang dewasa, kehidupan tetap dan aturan yang membosankan … di setiap kali mereka mengkategorikan kita dalam laki-laki dan perempuan, di setiap hari-hari sekolah, di setiap hukuman, di setiap mimpi masa kanak-kanak yang berubah menjadi realisme dewasa … di setiap yang jatuh, masing-masing terbunuh, di setiap partikel aspal bajingan … Panjang umur kekacauan, semoga kekacauan membara, semoga kekacauan tersenyum di bibir kita, dan semoga kita semua yang menentang segala bentuk penindasan, pada setiap detik dalam kehidupan kita sehari-hari diisi dengan tertawa dan menari di reruntuhan kota-kota di dunia dan alam semesta serta penjaganya yang ikut terbakar api menyala-nyala … Terbakarlah semua penjara! Semua keluarga! Semua jenis kelamin! Semua otoritas dan semua kota …

BagianIII

Untuk Memenangankan Seluruh Waktu

“Baca apa yang tak pernah ditulis,” begitulah yang tertulis pada sebuah baris di dalam karyanya Hofmannsthal[45].Suatu keharusan, untuk memikirkan pembaca. Inilah sejarawan sejati.
Walter Benjamin, catatan yang dihilangkan pada Theses on the Concept of History.

Sebelumnya, kita telah membuat referensi lewat kutipan Edelman dari tulisan terakhir Walter Benjamin, tesisnya yang berjudul “On the Concept of History.” Edelman mengungkapkan sedikit benang merah yang terkait dengan tesis Benjamin; tetapi jika membacanya bersamaan dengan No Future, maka akan terungkap pada kita berbagai tautan: penolakan narasi teleologis, kritik kemajuan, dan penolakan perjuangan atas nama masa depan.

Terlepas dari kesamaannya, keterkaitan Edelman dengan tesis Benjamin menuntut kita agar kita keluar dari dari teori ketiadaan-masa-depan (futurelessness) di atas. Kita akan berusaha untuk menunjukkan bahwa sebenarnya keterkaitan Edelman dengan konsep sejarah Benjamin adalah seperti, ‘perspektif vis a vis masa depan: hanya pada tingkat penampilan, sepenuhnya kehilangan apa yang tersembunyi dari pandangan mata.’

Jika terkadang kita mengatakan bahwa masa depan adalah suram dan kosong, jika terkadang tampaknya kesuraman dan kekosongan ini adalah keseluruhan makna dari apa yang kita maksudkan: ketika kita mengatakan, “tak ada masa depan”, maka sekaranglah saatnya kita berkata dalam istilah yang disebut oleh Benjamin sebagai kosong, waktu yang homogen. Dan cukup jelas bahwa dalam istilah itu, tidak ada yang bisa diharapkan dan tidak ada yang positif di masa depan. Tapi, hal ini tidak berlaku dalam semua keadaan. Benjamin mendorong kita untuk mengambil konsepsi waktu yang menjamin: tidak hanya kesempurnaan dan heterogenitas masa lalu, melainkan kesempurnaan dan heterogenitas masa depan juga.

Di dalam akhir dari draf awal tesisnya, Benjamin membuat ‘catatan’ tentang inspirasi yang dia tulis ke dalam tesis dan kemudian ia menghilangkan ‘catatan’ tersebut dari draf final tesisnya. Dia menulis bahwa: orang-orang Yahudi menyelidiki masa lalu dengan cara yang sama seperti para peramal menyelidiki masa depan—dengan tujuan mempelajari rahasia-rahasianya—dan meramal masa depan itu adalah hal yang dilarang, tetapi karena itulah masa depan tidak menjadi “waktu yang homogen, kosong. Karena setiap detik adalah pintu gerbang kecil dalam waktu yang melaluinya Mesias bisa masuk.” Mari kita maju dengan inspirasi ini di dalam pikiran kita.

  1. Untuk Menghadapi Masa Lalu

On the Concept of History,” teks terakhir Benjamin, adalah teks yang paling penting, karena teks tersebut adalah kritik pamungkasnya Benjamin terhadap logika progresif dan premis yang mendasari semua konsep revolusi progresif. Edelman – dalam penyorotannya terhadap kritik Benjamin – mengutip tesis kesembilan dari karya tersebut. Kita – seperti Edelman – akan mulai mengutipnya dari tengah:

Beginilah seharusnya penampilan Malaikat Sejarah. Wajahnya menghadap ke masa lalu. Di mana rantai peristiwa muncul di hadapan kita, dia melihat satu bencana, yang terus menumpuk puing-puing di atas reruntuhan dan melemparkannya ke kakinya. Malaikat itu ingin tinggal, membangunkan yang mati, dan membangun kembali yang telah dihancurkan. Akan tetapi, badai bertiup dari surga dan tersangkut di sayapnya; badai itu sangatlah kuat, sehingga malaikat itu tidak bisa lagi menutup reruntuhan tersebut dari tiupan badai. Badai itu mendorong dirinya dengan ganas ke masa depan, di mana punggungnya berbalik, sementara tumpukan puing-puing di depannya tumbuh ke arah langit. Apa yang kita sebut sebagai kemajuan adalah badai ini.

Dari berbagai metafora Benjamin untuk memahami sejarah, metafora malaikat sejalan dengan referensinya tentang pepatah bahwa sejarawan adalah “seorang nabi yang menghadap ke belakang.” Dua pembacaan yang berbeda dari pepatah ini, pada gilirannya, memberikan perbedaan antara konsep sejarahnya dan konsep yang konformis. Ia mengatakan bahwa, pembacaan pertama pepatah tersebut adalah: sebagai gambaran dari posisi yang diambil oleh sejarawan empati yang ditandai dengan keputusasaan dan acedia[46], yang ditakdirkan tenggelam dalam konformismenya terhadap arus sejarah. Pembacaan kedua dari pepatah tersebut adalah: menggambarkan dengan baik postur sejarawan yang – seperti Malaikat Sejarah – membelakangi masa depan untuk mengarahkan pandangannya ke masa lalu. Dia melakukan ini untuk menangkap gambaran sebenarnya dari masa lalu yang muncul ‘sesaat dan tanpa peringatan’ dalam momen bahaya. Karena dalam metafora lainnya, Benjamin menggambarkan sejarah sebagai “suatu kejadian bola kilat yang melintasi seluruh cakrawala masa lalu,” momen-momen iluminasi yang telah terjadi hingga saat itu menjadi gelap dan misterius. Dari jukstaposisi metafora ini, kita dapat merangkum bahwa: sementara di satu sisi kemajuan mungkin adalah badai yang selalu meniup malaikat dari dunia yang rusak yang dia hadapi, menggagalkan hasratnya untuk berhenti dan membuatnya utuh kembali; kendati demikian, badai yang sama ini selalu menghasilkan kilatan cahaya yang sama di mana momen sejarah secara tak terduga “menghadirkan dirinya sendiri … sebagai momen kemanusiaan.” Dia melanjutkan: “Pada saat ini, waktu harus terhenti.”

Kemacetan waktu inilah – jetztzeit – yang juga dapat diterjemahkan sebagai waktu-sekarang (now-time), yang merupakan inti dari tesisnya. Dalam tesis keenam belas ia menulis bahwa, sejarawan sejati “tidak dapat melakukannya tanpa gagasan tentang masa kini yang bukan merupakan transisi, tetapi masa di mana waktu berhenti dan terhenti. Karena gagasan masa kini ini mendefinisikan saat ini di mana ia (waktu) sendirilah yang sedang menulis sejarah.”

Bagi Benjamin, konsep rantai kausal kemajuan (casual cain of progress) adalah pemulusan, atau reduksi untuk menjadi common denominator (faktor persekutuan), dari apa yang sebenarnya merupakan bencana abadi. Dia menunjukkan bahwa, “konsep dasar dalam mitos adalah dunia sebagai hukuman.” Konsep kuno ini telah mengambil bentuk modern yang lebih mengerikan dalam, “keabadian hukuman di neraka,” yang “mengganti kekekalan siksaan dengan keabadian siklus.” Perlu dicatat bahwa bagaimanapun Benjamin tidak langsung mengklaim bahwa, ‘neraka adalah kenyataan hidup di zaman modern.’ Sebaliknya, ia menggambarkan hukuman neraka seperti cara di mana seorang siswa ditahan setelah sekolah, tidak diizinkan untuk berlari keluar dan bermain, dipaksa untuk mengulangi tugas manusia-sisifus (sisyphean), menulis berbaris-baris tulisan dengan tangan berulang kali, misalnya, I will not expose the ignorance of the faculty[47] (Saya tidak akan mengekspos ketidaktahuan fakultas). Tidak salah jika Benjamin menggambarkan neraka sebagai hal yang mengingatkan pada domain sejarawan konformis.

Kita dapat menghubungkan penolakan Benjamin terhadap kemajuan dengan penolakan kita terhadapnya, dengan menunjukkan bahwa: kemajuan tidak lain adalah bencana kehidupan sehari-hari di dunia komoditas. Kita dapat melihat bencana ini di mana-mana di sekitar kita: arsitektur kota, infrastruktur fisik penjara multi-bentuk, aparatus tak berujung yang eksis untuk mengekstrak energi kita guna mengubahnya menjadi tenaga kerja mati, lading-pembantaian agrikultur yang monoton, ekspansi zona-kematian ekologis. Semua proses yang telah mendominasi, mengekstrak, dan mengaspal kehidupan dari generasi ke generasi. Proses homogenisasi peradaban terus meningkat dan berakselerasi. Kemajuan teknologi dan perkembangan progresif lainnya terus-menerus merevolusi bencana bersenjata yang menghadang kita sebagai masa depan.

Sangat jelas bahwa pandangan Benjamin serupa dengan pandangan kita, ketika dia menggambarkan sejarah dan kultur sebagai rampasan yang dibawa oleh para penguasa saat mereka melanjutkan kemenangan, menginjak-injak tubuh lemah yang tertindas. “Seorang materialis sejarah,” tulis Benjamin, hanya dapat melihat barang rampasan ini “dengan sikap hati-hati. Karena dalam setiap kasus, harta karun ini memiliki garis keturunan yang tidak dapat dia renungkan tanpa kengerian …. Oleh karena itu, seorang materialis sejarah memisahkan dirinya dari proses transmisi ini sejauh mungkin.”

Seperti Benjamin dan malaikat, kita ingin berhenti sejenak, membangunkan orang mati dan menyatukan kembali apa yang telah hancur. Tetapi yang membuat kita jauh dari kemampuan untuk melakukan ini adalah: kemajuan itu sendiri. Seolah-olah perjalanan waktu – atau lebih tepatnya cara perjalanannya – telah menangkap kita dan menjauhkan kita dari masa kini itu sendiri. Memang, jika hanya ada satu waktu, maka ada pula cara atau konsep gerak waktu—kemajuan—yang mampu membuat kita menjauh untuk hadir di dalamnya.

Seseorang mungkin berpendapat bahwa Benjamin mempromosikan hal yang sebaliknya: untuk berpaling dari waktu seseorang, seperti dalam tradisi monastik, untuk mencapai kebangkitan yang dia tulis. Bagaimanapun, apa yang ia gambarkan dalam istilah-istilah tertentu adalah: berpaling dari masa depan, sebuah tindakan yang ia tempatkan seiring dengan destruksi gambaran historisisme tentang sejarah dan konformisme yang mendominasinya. Benjamin menulis bahwa, “ ‘pandangan visioner’ yang mengharuskan seseorang untuk berpaling dari masa depan membuat “waktu sejarawan itu sendiri ... jauh lebih jelas hadir ... daripada bagi orang-orang sezamannya yang ‘mengikutinya.’ ” Kunci untuk bagaimana penghadapan-kebelakang Nabi begitu hadir dalam dirinya sendiri sekarang adalah bahwa, ia membangkitkan masa lalu pada masa kini.

Perlu dicatat bahwa karya Benjamin memotong garis tajam melalui pemikiran Marxis, karena ia mengklaim bahwa ia berpegang pada konsep yang sesuai dengan kehidupan-kerja Marx, sambil mengkritik cara di mana kaum Marxis dijadikan sebagai alat kelas penguasa. Memang, mengingat kritik Benjamin terhadap historisisme untuk berfokus pada figur-figur tokoh sejarah yang terkenal dan mengabaikan kerja keras orang-orang yang tidak dikenal (anonymous), seseorang dapat mulai memahami bahwa, para pengikut Marx sebenarnya akan jatuh ke dalam historisisme konformis secara definisi. Lebih khusus lagi, posisi Benjamin adalah penolakan total terhadap narasi teleologis yang berpendapat bahwa, ‘sejarah dan kemajuan adalah hal yang tak terelakkan yang menggerakkan kita menuju surga,’ sebuah narasi yang dia tempelkan terutama pada Demokrasi Sosial.

Bagi Benjamin, kesimpulan dari pergerakan sejarah melalui waktu bukanlah utopia yang tak terelakkan—kapitalis, komunis, atau yang lainnya. Daripada melihat kemajuan peradaban sebagai akumulasi keuntungan dan reformasi menuju kebebasan dan keadilan, sejarah dapat dilihat sebagai kekalahan terus menerus dari yang dieksploitasi oleh penindas mereka; alienasi yang semakin intensif dari makhluk hidup dan rekonstruksi mereka menjadi kapital. Sejarah tidak hanya berfungsi untuk membenarkan penguasa hari ini, tetapi juga untuk mengkodekan ingatan kita dengan narasi yang membaca peristiwa sejarah sebagai rantai peristiwa yang diperlukan di sepanjang jalan menuju beberapa revolusi masa depan atau tekno-utopia. Dia menggambarkan hal ini sebagai, “pandangan sejarah yang menempatkan kepercayaannya pada waktu yang tak terbatas dan dengan demikian hanya memperhatikan kecepatan – atau kurangnya kecepatan— yang dengannya orang-orang dan zaman maju di sepanjang jalan kemajuan.”

Kemudian, kita harus memahami Benjamin sebagai bid’ah dari posisi Marxis, yang melihat kemenangan borjuasi di abad yang lalu sebagai langkah penting sesuai dengan hukum sejarah. Dia menolak gagasan bahwa, ‘kebangkitan kapitalisme diperlukan guna mengembangkan alat-alat produksi untuk tujuan komunisme atau pembebasan.’ Lebih penting lagi, kritiknya menolak peran revolusioner sebagai: ‘dia yang ingin mengakselerasi pergerakan sejarah menuju komunisme.’ Bagi Benjamin, pembenaran Marxis untuk seluruh rangkaian kengerian—negara transisi, kediktatoran proletariat, dan seterusnya—tidak lebih dari sekadar keyakinan buta terhadap perkembangan waktu, sebuah fetishisasi dari badai yang sama yang tidak pernah berhenti mengusir kita dari surga. Menganalisis implikasi nyata dari komunisme negara sejak saat itu, kita tidak diragukan lagi dapat mengenali gulag, polisi revolusioner, pembunuhan massal di tangan negara, industrialisasi yang cepat seiring dengan perusakan-lingkungan (eco-devastation) sebagai beberapa angin dari bencana badai yang mengerikan ini.

Dalam buku-tebal karya Michael Löwy yang berjudul Fire Alarm mengenai penafsirannya tentang “On the Concept of History,” ia menganalisis teks itu sebagai berikut:

Benjamin mengkritik artikel kepercayaan yang esensial dari Marxisme reduksionis yang tidak imajinatif, yang lumrah bagi arus utama kaum kiri: akumulasi kuantitatif kekuatan produktif, keuntungan gerakan buruh, jumlah anggota partai dan pemilih dalam gerakan linier, dan kemajuan yang tak tertahankan.

Aspek kritik Benjamin ini menempatkannya dalam semacam korespondensi dengan Jacques Camatte dalam ‘berpaling dari Marxisme’, dan sampai menempatkannya pada ‘kritik kapitalisme yang lebih dalam’. Dalam “The Wandering of Humanity,” Camatte menyatakan bahwa, “materialisme historis adalah glorifikasi dari sebuah pengembaraan di mana umat manusia telah terlibat selama lebih dari satu abad.” Bagi Camatte, setiap ideologi yang mendukung “tumbuhnya kekuatan produktif sebagai syarat sine qua non[48] untuk pembebasan” adalah pengembaraan tanpa tujuan dari anarki primitif yang dihancurkan oleh hegemoni kapital. Pengembaraan dalam pikiran Camatte ini dianalogikan dengan malaikat dalam metafora Benyamin yang tidak mampu menahan dorongan badai. Pemikiran Benjamin juga membayangi posisi anti-peradaban Camatte dan yang lainnya dengan, menyandingkan surga yang hilang dengan kemajuan yang terus-menerus menjauhkan kita dari kemungkinan untuk memulihkan apa yang telah hilang.

Pandangan Benjamin tidak peduli dengan berbagai konsepsi kaum historisis tentang masa lalu. Tetapi dalam membandingkan penolakannya terhadap narasi besar dengan klaim kaum postmodernis untuk melakukan hal yang sama, kita setuju dengan Löwy bahwa, “de-legitimasi narasi besar modernitas barat, dekonstruksi wacana kemajuan dan permohonannya untuk diskontinuitas sejarah: adalah sangat jauh dari pandangan postmodernis yang terpisah pada masyarakat saat ini.” Di satu sisi, Benjamin membekali kita untuk menolak periodisasi apapun yang memungkinkan modernitas atau pasca-apapun. Di sisi lain, kekhususan, semangat, dan kekuatan kata-katanya meledak sepanjang waktu, hadir kepada kita sedemikian rupa sehingga para ahli teori hari ini – yang dianggap lebih dekat dengan kita dalam waktu dan gagasan – benar-benar kekurangan, bahkan dalam serangan paling ganas mereka terhadap tatanan sosial.

  1. Untuk Membangunkan yang Mati

Tesis kedua Benjamin tentang sejarah menyatakan bahwa, jika kita mengakui bahwa masa lalu dapat dicatat sebagai masa kini sedemikian rupa yang mengacu pada penebusan (redemption), maka “ada protokol (atau janji temu) rahasia antara generasi masa lalu dan generasi kita …. Karena protokol ini telah diberikan kepada kita untuk diketahui, sama seperti setiap generasi sebelum kita, sebuah kekuatan mesianis yang lemah, di mana masa lalu memiliki klaim. Klaim ini tidak bisa diselesaikan dengan mudah.” Di sini Benjamin mulai menempatkan sentralitas orang mati pada proyeknya. Dalam menggambarkan gagasan tentang kekuatan mesianis yang lemah, dia berbicara tentang kemampuan orang hidup untuk menebus masa lalu. Cara di mana orang mati hadir adalah: sebagai “belaian” dari “nafas ... udara,” sebagai “gema,” atau sebagai saudara perempuan yang tidak lagi dikenali. Dengan kata lain, masa lalu hadir dan ada di mana-mana, menyentuh kita setiap saat dan “dalam suara yang kita dengar”, tetapi hanya secara sugestif, terlepas dari ketidakmampuan kita sendiri untuk mengenalinya. Tetapi kemungkinan untuk penebusan, kekuatan mesianis yang lemah, terletak pada kemungkinan bahwa, kita bisa melakukannya.

Dalam kesempatan yang intim dan selalu-hadir, dia menggambarkan ada banyak hal yang dipertaruhkan. Sebab, ia menulis dalam tesis keempat, “hal-hal yang halus dan spiritual” yang hidup dalam perjuangan kelas “sebagai kepercayaan diri, keberanian, humor, kelicikan, dan ketabahan; dan memiliki efek yang menjangkau jauh ke masa lalu ... terus-menerus mempertanyakan setiap kemenangan, dulu dan sekarang, dari para penguasa.”

Kemudian, beralih ke sejarawan yang dikritiknya sebagai alat kelas penguasa, Benjamin menjelaskan dalam tesis ketujuhnya bahwa, resureksi mereka di masa lalu adalah jenis yang sama sekali berbeda. Sifat kesedihan—berakar pada kemalasan hati—yang mana perasaan tersebut dideskripsikan oleh Flaubert dalam studi sejarahnya tentang Kartago[49] menjadi lebih jelas; kata Benjamin, ketika kita mengingat bahwa empati sejarawan selalu ada pada pemenang, dan dengan demikian, pada penguasa saat ini. Maka, kemudian hal itu adalah jenis kesedihan, yang mengumpulkan pelayan setia atau antek-antek untuk mengetahui bahwa: sejarah itu digunakan untuk tujuan penguasanya.

Amati perbedaan antara yang satu itu dengan “penulis sejarah, yang menceritakan peristiwa-peristiwa sejarah tanpa membedakan antara yang besar dan yang kecil, dengan demikian mempertanggungjawabkan kebenarannya, bahwa tidak ada yang pernah terjadi yang dianggap hilang dari sejarah.” Dengan ini, Benjamin membingkai pernyataannya bahwa, ‘masa lalu yang sepenuhnya menimpa umat manusia, ditebus dalam semua momen hidupnya, mampu mengutip kehadirannya.’ Bagi Benjamin, ini adalah tugas kaum materialis hostoris untuk memotong proses di mana historisisme hanya memperhitungkan peristiwa-peristiwa besar dan memihak para pemenang atas yang kalah, agar sepenuhnya memperhitungkan segalanya.

Pemotongan sejarah terjadi pada titik ketika “gambaran masa lalu yang sebenarnya” terbang melewati atau melarikan diri dari kita, pada titik ketika seseorang dapat menangkap gambaran masa lalu yang muncul pada momen bahaya. Bahayanya di sini justru adalah gambaran masa lalu, yang tidak diperhatikan, yang mungkin menghilang. Adalah bahaya bahwa, pencetus gambaran yang melewati waktu sebanyak penerimanya akan “menjadi alat kelas penguasa” jika segala momen masa kini tidak mengenali dirinya sendiri sebagaimana dimaksud dalam gambar.

Lebih lanjut, Benjamin mengklarifikasi ancaman ini dalam “satu-satunya sejarawan yang mampu mengipasi percikan harapan di masa lalu adalah orang yang sangat yakin bahwa: bahkan orang mati tidak akan aman dari musuh jika dia menang. Dan musuh ini tidak pernah berhenti menang.” Bagaimana bisa orang mati diancam oleh musuh? Di dekatnya, Benjamin menggambarkan “konformisme yang akan menguasai” mereka dan – sejalan dengan metafora merebut gambaran masa lalu – menulis bahwa, ‘setiap generasi harus berusaha untuk merebut gambaran ini dari cengkeraman itu.’

Desakan Benjamin yang menghantui bahwa orang mati adalah diri mereka sendiri yang entah bagaimana berisiko sama seperti kita, menyoroti berapa banyak yang dipertaruhkan pada saat gambaran masa lalu mengancam akan menghilang. Musuh menenggelamkan orang mati dan perjuangan mereka di bawah narasinya yang berkilauan, tidak mampu menjelaskan kebenaran. Historisisme dapat memutar segala peristiwa ke dalam ceritanya, bahkan (jika tidak secara khusus) yang berkaitan dengan perjuangan kelas dan revolusi, meskipun hanya dengan menekannya. Ancaman yang dihadapi orang mati sama dengan yang dihadapi kita: ‘jika tertangkap oleh konformisme, kita semua akan dibentuk tidak lebih dari alat cerita penguasa.’ Hal ini digaungkan dalam tesis kedua belasnya, ketika dia mendeskripsikan penghapusan legasi Blanqui[50] oleh kaum Sosial Demokrat, dengan mengatakan bahwa mereka “lebih suka melemparkan kelas pekerja dalam peran sebagai penebus generasi mendatang, dengan cara memotong urat kekuatan terbesarnya ini. Indoktrinasi ini membuat kelas pekerja melupakan kebenciannya, dipupuk oleh gambaran leluhur yang diperbudak daripada cita-cita cucu yang dibebaskan.”

Di sini kita melihat cara yang paling jelas bahwa Edelman diinformasikan oleh pemikiran Benjamin. Penolakannya kepada [masa depan] dimotivasi oleh cita-cita simbolik anak-anak yang dibebaskan, namun kita secara bersamaan dihadapkan pada kekurangan kritik Edelman. Alih-alih sikap penolakan terpisah terhadap masa depan, apa yang Benjamin hadapi adalah kebencian nyata terhadap para penguasa dan aturan yang berusaha menjadikan orang mati sebagai pionnya di masa sekarang sebanyak yang ingin dilakukan selama mereka masih hidup. Proses yang sama, yang akan membuat kita hidup dalam pengorbanan dan perbudakan atas nama generasi mendatang.

Kita dapat kembali lagi ke wilayah yang didominasi oleh Negara Chili untuk menarik inspirasi dari artikulasi ingatan dalam perjuangan anarkis di sana. Berikut ini adalah teks yang didedikasikan untuk Mauricio Morales, berjudul “Memory as a Weapon,” dari publikasi anarkis Chili bernama Germen, yang dengan indah menggambarkan konsepsi ingatan, yang tidak berbeda dengan Benjamin:

Untuk menembus penghapusan waktu, mengingat dan mengasumsikan konteks yang berbeda dan kondisi idilis (yang sangat indah) yang tidak dapat diulang dan persis sama, adalah dukungan langsung dan dukungan nyata terhadap perang sosial. Untuk mempertajam, memperluas, dan membuktikan konflik melawan yang berkuasa, sangatlah diperlukan dan sangatlah mungkin di masa kini maupun di masa lalu. Sejarah pertempuran kita adalah sebuah pemberontakan dari berbagai orang yang dieksploitasi yang memutuskan untuk secara aktif menentang tatanan yang sudah mapan, melepaskan diri dari berbagai bentuk kenormalan pada zaman mereka.

Ingatan; masa lalu adalah masa kini kita, pikirannya telah menjadi milik kita, hasratnya untuk menyerang sama dengan hasrat kita hari ini. Kita berbicara tentang sejarah pemberontakan selama berabad-abad, bertahun-tahun, atau sepasang bulan yang menyakitkan. Sekarang kita di sini mengingat Mauri – kamerad dari begitu banyak pejuang – tetapi tidak hanya ingatan ini saja, ingatan itu juga merupakan kelanjutan dari kebutuhan mendesak untuk menentang dominasi .…

Untuk mengingat perjuangan di masa kini, berarti sekilas melihat jalan mana yang telah kita lalui untuk membantu memahami di mana kita harus menempatkan langkah kita selanjutnya—Hal ini bertujuan untuk menggunakan ingatan insureksional untuk menanam kembali diri kita secara taktis dan secara strategis dalam pertempuran melawan realitas yang menindas.

Penebusan kamerad dan pejuang masa lalu dan masa kini ada di tangan kita, nama dan kehidupan kamerad kita seperti Mauri, Claudia, atau Johnny ada di dalam kita dan tidak akan dilupakan, tidak pula ditelan oleh binatang buas hanya untuk kemudian dimuntahkan oleh beberapa intelektual dengan tanggal pemberontakan.

Untuk mengingat bahwa hal ini bukanlah ide abstrak seperti permainan, melainkan perang sosial yang diaktualisasikan oleh kawan-kawan kamerad dengan daging dan tulang melalui aksi, ekspresi, dan keputusan di momen-momen hidup mereka, adalah apa yang benar-benar ampuh dan membuat pertempuran yang dilakukan oleh mereka dapat direproduksi untuk benar-benar mempertajam pelanggaran kita saat ini.

Ingatan adalah senjata, tetapi penting untuk mengetahui bagaimana membidik dan menembak pada kekuasaan; atau jika tidak, hal itu hanyalah tindakan steril, terperangkap dalam sejarah atau emosi. Ingatan insureksional adalah senjata kita!

Sahabat punk kita, Mauri tersayang: ingatan terbaik kita adalah terus menghadapi tatanan orang-orang yang menganggap diri mereka sebagai tuan atas hidup Anda.

Sementara kita dapat menunjukkan banyak contoh-contoh di dunia, di mana salah satunya adalah pembunuhan yang tak terhitung jumlahnya yang dilakukan oleh kekuasaan, ditandai dengan tidak hanya ratapan duka biasa dan visi masa depan yang lebih baik, tetapi juga ditandai dengan kebencian terbuka, serta rentetan pemberontakan dalam situasi lokal saya sendiri dapat yang ditelusuri: kerusuhan yang meletus setelah pembunuhan Oscar Grant di tangan polisi transit di Oakland, California. Sementara insureksi yang terjadi setelah pembunuhan Alexis di Yunani terasa seperti sesuatu yang secara tragis dihapus dari kehidupan saya sehari-hari, beberapa kerusuhan di Oakland menunjukkan bahwa ledakan tersebut dapat muncul dalam konteks saya sendiri. Sementara pada hari-hari dan bulan-bulan berikutnya, para aktivis dan politisi dari semua kalangan berusaha memanfaatkan penulisan-ulang [sejarah] kerusuhan ini, kata-kata para partisan pemberontakan menunjukkan proyek ingatan dan kebencian yang luput dari penangkapan dalam politik. Kutipan berikut diambil dari teks “You Can’t Shoot Us All,” penjelasan dari tangan-pertama partisan kerusuhan Oscar Grant di Oakland, dipakai sebagai contoh proyek ini:

Ketika kita menyadari bahwa di mata yang berkuasa, hidup kita hanyalah tumpukan tulang yang menunggu untuk dihancurkan, arteri dan vena di ambang kerobekan, jantung dan paru-paru yang berhenti berdetak dan berdenyut pada saat mereka menarik pelatuknya, satu-satunya yang tersisa untuk dilakukan adalah: berkumpul dan membuat mereka gemetar di hadapan kita …

Saya ingin memecahkan jendela, membakar, dan membuat takut setiap polisi di jalanan malam itu. Saya ingin menunjukkan kepada yang berkuasa bahwa, mereka juga akan belajar apa arti arti kekerasan, sama seperti kita yang telah dipaksa untuk mempelajarinya berkali-kali. Mereka perlu memahami bahwa kita tidak lupa, kita perlu merasa bahwa kita masih hidup …

Malamnya, saat mobil masih menyala, kita berbincang dengan teman-teman, mendiskusikan cara untuk terus berjuang, cara agar ingatan orang mati terus menghantui yang hidup. Pada minggu-minggu berikutnya, kita terus berjuang di jalanan. Pada malam bulan Januari yang hangat itu, malam yang sekarang terasa begitu jauh, saya bertemu dengan beberapa orang terhebat yang pernah saya kenal. Persahabatan kita telah menciptakan fondasi jaringan perjuangan dan membentuk dasar untuk komunitas yang berbeda …

Saya, mengidentifikasi diri dengan seorang pria yang fotonya tidak berbeda dengan bayangan saya sendiri, bertanya-tanya apakah orang yang tidak melihat diri mereka sendiri di Oscar Grant setidaknya melihat dalam gambaran teman mereka, tetangga mereka, teman sekelas mereka, dan seseorang yang hidupnya layak untuk diperjuangkan. Saya berharap ada orang kulit putih yang – setelah menonton video seorang pria kulit hitam dibunuh oleh polisi – akan cukup marah untuk memecahkan kaca jendela. Pada waktunya, saya bertemu orang-orang ini, karena mereka berjuang bersama kita, melempar botol dan bongkahan beton, mengutuk polisi dan menulis nama orang yang telah mati di sepanjang tembok kota …

Sistem ini ada untuk menghapus ingatan, untuk mengusir kita dari rumah masa kecil kita, untuk memenjarakan orang yang kita cintai, untuk mengeksekusi ayah dari anak-anak yang terlalu muda untuk sepenuhnya memahami apa yang telah terjadi. Perjuangan kita adalah upaya untuk menciptakan ingatan yang tidak akan pernah bisa mereka ambil dari kita. Berlari menuju matahari terbenam, kita telah menemukan bahwa cakrawala hanya bergerak lebih jauh. Kita bangun setiap pagi dengan siklus kematian dan kekuatan yang sama yang kita alami dalam mimpi kita malam sebelumnya. Namun, kita terus berjalan dengan susah payah sampai ke ujung bumi, kita terus berjuang. Saat udara terasa tenang, ketika semuanya tampak tenang, kita sedang merencanakan langkah kita selanjutnya.

  1. Untuk Membuat Sejarah Meledak

Benyamin berkata:

Tradisi kaum tertindas mengajarkan kita bahwa, ‘keadaan darurat di mana kita hidup bukanlah pengecualian, melainkan aturan.’ Kita harus mencapai konsepsi sejarah yang sesuai dengan wawasan ini. Kemudian kita akan melihat dengan jelas bahwa: adalah tugas kita untuk mewujudkan keadaan darurat yang nyata, dan hal ini akan meningkatkan posisi kita dalam perjuangan melawan fasisme.

Kutipan ini, diambil dari tesisnya yang kedelapan, berhubungan dengan “Critique of Violence” di mana ia memaparkan kritik umum terhadap sistem hukum sebagai sistem kekerasan yang merampas individu dari semua kekerasan. Ia menjelaskan kaitan antara kedua teks tersebut ketika ia menulis dalam kritik bahwa,“kritik kekerasan adalah filosofi sejarahnya”[51] karena ia harus melihat lebih dari sekedar “apa yang dekat” untuk mencapai pendekatan yang benar-benar kritis. Apa yang dipertaruhkan bagi Benjamin dalam kritik ini adalah, bahwa pemahaman penuh tentang perkembangan kekerasan dapat memberikan wawasan tentang “putusnya siklus [kekerasan] ini … penangguhan hukum dengan semua kekuasaan yang menjadi sandarannya, karena semua itu bergantung padanya; oleh karena itu, akhirnya … penghapusan kekuasaan negara.” Perlu diingat, saat kita beralih dari membaca filsafat Benjamin tentang sejarah kekerasan ke tesisnya tentang filsafat sejarah itu sendiri, keduanya menyangkut diri mereka sendiri dengan jeda yang sama ini.

Perwujudan visi Benjamin tentang penghapusan negara didefinisikan sebagai: pemutusan siklus sejarah di mana kekerasan menciptakan hukum, melestarikan hukum, dan di mana “kekuasaan baru atau kekuasaan yang sebelumnya ditekan” dengan kekerasan, menggulingkan hukum yang ada untuk “menemukan hukum yang baru, yang pada gilirannya ditakdirkan untuk membusuk.” Kemungkinan pemutusan dari seluruh siklus ini terletak pada pengakuan bahwa, ‘jika hukum yang ada sekarang dapat dilanggar, maka serangan terhadap hukum itu sendiri dapat segera dilakukan;’ dan bahwa: jika ada “kekerasan di luar hukum, sebagai kekerasan langsung yang murni,” maka “kekerasan revolusioner, manifestasi tertinggi dari kekerasan murni oleh manusia, adalah hal yang mungkin.” Meskipun Kritik juga menunjuk pada tugas lain yang lebih halus di luar tugas ini, apa yang akan kita ingat saat kita meneruskan adalah: konsep kekerasan revolusioner, karena baginya, kekerasan revolusioner ini adalah untuk mengakhiri hukum dan kekerasannya.

Mengutip dari catatan Benjamin yang dihilangkan mengenai History:

Marx mengatakan bahwa, ‘revolusi adalah lokomotif sejarah dunia.’ Tapi mungkin sebaliknya. Mungkin revolusi adalah ‘upaya penumpang di kereta lokomosi ini — yaitu umat manusia — untuk mengaktifkan rem darurat.’

Rem darurat Benjamin tidak pernah dinyatakan sebagai sesuatu yang harus ditunggu. Memang, bagi Benjamin, kaum Sosial Demokratlah yang memperlakukan tugas mereka sebagai tugas yang tak terbatas, ideal, dan yang memperlakukan waktu sebagai “kamar depan – dapat dikatakan – kamar di mana orang bisa menunggu munculnya situasi revolusioner.” Sebaliknya, ia menulis bahwa, “dalam kenyataannya, tidak ada momen yang tidak akan membawa serta peluang revolusionernya — asalkan momen itu didefinisikan dengan cara tertentu, yaitu sebagai peluang untuk resolusi yang benar-benar baru dari masalah yang sama sekali benar-benar baru.”

Dalam tesisnya yang keempat belas, Benjamin mengatakan bahwa, “yang menjadi ciri kelas revolusioner pada saat aksi mereka adalah: kesadaran bahwa mereka akan membuat rangkaian sejarah meledak.” Dia menjelaskan bahwa pada malam pertama Komune Paris, kaum revolusioner berdiri “di kaki setiap menara jam (dan) menembaki permukaan jam untuk membuat hari terhenti.”

Permusuhan terhadap waktu penting bagi kita karena konsep abstrak, waktu luang berusaha mendomestikasi kita sebagai budak kemajuan. Jam-waktu numerik yang direpresentasikan oleh jam berfungsi untuk, mengatur dan mendikte kehidupan sehari-hari kita sembari mengukur tenaga kerja kita dalam eksploitasinya oleh kapital. Ini adalah struktur masa depan yang memaksa kita menjauh dari kenyataan saat ini. Inilah sebabnya mengapa seorang teman baru-baru ini mengingatkan bahwa, ‘satu hari insureksi bernilai seribu abad normalitas.’

Bagi Benjamin, momen-momen yang menginterupsi perkembangan waktu luang kapitalis adalah semacam waktu mesianis. Waktu Mesianis adalah durasi tak terukur yang mengandung kemungkinan tak terbatas. Waktu itu tidak eksis dalam kapasitas linier, melainkan ada sebagai interupsi waktu linier. Waktu Mesianis eksis dalam serpihan-serpihan yang tersebar melalui kain kosong waktu kapitalis. Kita dapat mengenalinya dalam serpihan-serpihan ini bahwa negativitas yang melekat pada tatanan sosial; waktu sekarang yang irasional yang mengancam untuk menangguhkan dorongan reproduksi masa depan, guna mengganggu kontinum sejarah.

Benjamin menegaskan dalam catatannya bahwa, siapapun yang “ingin mengetahui seperti apa situasi sebenarnya ‘manusia yang ditebus’, kondisi apa yang diperlukan untuk perkembangan situasi seperti itu, dan kapan perkembangan ini dapat diharapkan terjadi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tak ada jawabannya”. Pencarian jawaban seperti ini – yang begitu umum di kalangan revolusioner – adalah sia-sia menurut pendapat Benjamin. Karena setiap momen mengandung peluang revolusionernya sendiri yang unik, mencari kondisi umum di mana revolusi dapat berkembang adalah: dengan menganggap waktu sebagai sesuatu yang homogen dan kosong. Peluang revolusioner itu sendiri tidak ditentukan dengan menjadi perkembangan lebih lanjut dalam kontinum sejarah, melainkan merupakan pemotongan atau penghentian, kesempatan untuk meledakkan jalan keluar dari kontinum tersebut. Memang, Benjamin membuat gagasan ini cukup eksplisit bertentangan dengan pengikut Marx yang telah salah memahami: “masyarakat tanpa kelas sebagai titik akhir dari perkembangan sejarah.” Dia berkomentar sebaliknya, bahwa masyarakat tanpa kelas pasti memiliki “wajah yang benar-benar mesianis” yang dipulihkan untuk perkembangan sejarah itu.

Salah satu cara untuk mengontekstualisasikan interupsi adalah dengan memikirkan pemogokan. Pemogokan ini juga akan menarik, mengingat upaya baru-baru ini untuk mengobarkan kembali api pemogokan umum revolusioner, yang terkait dengannya wacana seputar kekerasan telah muncul kembali sebagai jebakan di semua sisi.

Sementara model pemogokan secara eksplisit direferensikan dalam “Kritik Kekerasan”, model ini tidak hadir—agak mencolok—dari “Konsep Sejarah.” Pada yang pertama, ia menulis tentang pemogokan yang muncul dalam perjuangan kelas sebagai bentuk kekerasan. Dia membuat perbendaan antara aspek-aspek yang berbeda. Di satu sisi, pemogokan sebagai pemerasan—kekerasan yang digunakan oleh buruh sebagai sarana untuk mengamankan tujuan, yang negara sanksi sebagai hak hukum untuk “mencegah aksi kekerasan (seperti pembakaran pabrik) negara takut untuk menentang.” Pemogokan umum revolusioner berangkat dari pemogokan sebagai pemerasan dan menjadi krisis yang harus ditanggapi oleh negara dengan supresi kekerasan. Negara harus melakukan ini agar pemogokan tidak menemukan jalannya ke jantung negara. Karena, dalam pemogokan seperti itu, “negara benar-benar takut akan fungsi kekerasan yang menjadi objek penelitian untuk diidentifikasi sebagai satu-satunya formulasi kritik yang aman ini.”

Lalu, apakah formulasi kritik kekerasan yang aman ini? Formulasi ini adalah kritik terhadap negara itu sendiri. Mengingat bahwa setiap pemogokan adalah semacam gangguan atau penghentian, namun secara umum dipahami bahwa, akan ada ‘kembali bekerja’ setelah permintaan dipenuhi. Dalam apa yang disebut Benjamin sebagai ‘pemogokan umum politik’, sekelompok politisi mengambil metode ini di luar tuntutan khusus ke tempat kerja dan menerapkannya pada tuntutan mereka (para politisi) untuk mengambil alih kekuasaan, di mana pada titik itu akan kembali bekerja. Semua ini hanya memiliki kemiripan yang paling dangkal dengan apa yang Benjamin gambarkan sebagai, bentuk pemogokan yang berlangsung mengakar “dalam tekad untuk hanya melanjutkan pekerjaan yang sepenuhnya telah diubah, tak lagi dipaksakan oleh negara.” Berbeda dengan pemogokan umum politik – “bentuk gangguan kerja” lainnya ini – pemogokan umum proletar, adalah “cara murni,” “tanpa kekerasan,” dan “anarkistik.”

Alasan mengapa kedua bentuk ini “berlawanan dalam hubungannya dengan kekerasan” memerlukan beberapa penyelidikan lebih lanjut. Bagi Benjamin, pemogokan umum politik adalah kekerasan karena “hanya menyebabkan modifikasi eksternal dari kondisi perburuhan,” yang dengan sendirinya merupakan kekerasan, dan bertujuan untuk memperkuat kekuasaan negara, yang bersifat keras dan arbiter kekerasan. Pemogokan umum proletar adalah non-kekerasan karena hal itu adalah penghapusan negara — kritik nyata terhadap kekerasan diberlakukan. Dan “kritik yang sangat efektif” terhadap kekerasan “sejalan dengan kritik terhadap semua kekerasan legal.”

Memikirkan cara lain, tugas interupsi mengharuskan kita untuk menemukan menara jam yang bisa kita bakar untuk menghentikan hari. Waktu homogen tidak lagi mengalir melalui mesin monolitik di pusat kota. Sekarang, berbagai kemajuan teknologi telah menyebarkan dan mengintegrasikan mesin waktu ke dalam pikiran dan ke dalam ritme kita. Ke manapun kita pergi, kita dikelilingi dan dipenuhi dengan perangkat yang berfungsi untuk mengatur rezim waktu. Di mana dulunya aparatus tunggal memediasi hubungan kita dengan waktu, kediktatorannya sekarang dipaksakan oleh jajaran yang tak terhitung banyaknya. Hasrat untuk interupsi sekarang harus memperhitungkan aparatus yang tak terhitung jumlahnya yang membagi ingatan kita dan mengintegrasikan keberadaan kita ke dalam waktu kapitalis. Akan tetapi, daripada membuang waktu untuk menyerang semua jam ini satu per satu, mari kita potong saja apa yang mendasarinya.

Pelayan sejarah menjanjikan kita masa depan yang cerah. Baik melalui inovasi teknologi, kerja keras dan pengorbanan, atau Revolusi; kita diyakinkan akan cahaya dan kristal surga di bumi. Namun, semua peralatan yang berkilauan ini hanya bisa berfungsi untuk menghiasi tumpukan puing-puing monumental tempat kita tinggal. Di sekitar kita, pembantaian dan mayat nenek moyang kita membentuk arsitektur kehidupan kita sehari-hari. Bukan hanya tembok, jalan raya, dan pusat perbelanjaan, tetapi juga telepon pintar, pornografi, pengawasan, dan sistem hiburan—semua monumen untuk musuh yang sama yang tidak pernah berhenti menang. Kapital, Leviathan, peradaban, masyarakat: begitu banyak nama untuk proses yang mengubah kehidupan menjadi kumpulan kematian, yang akan mengintegrasikan kita sebagai mesin menjadi mesin yang lebih agung. Masa depan adalah logika yang mendorong rezim penundukan dan asimilasinya, masa depan juga adalah ilmu yang menodai ingatan kita tentang mereka yang berjuang; pengkhianatan yang mengubah perjuangan mereka menjadi ‘lebih banyak mayat ideologis’. Di mana keberadaan makhluk hidup pernah berjuang untuk bebas dari dominasi masa depan atas kehidupan mereka; kita diberitahu bahwa, mereka dengan patuh mengorbankan diri mereka sendiri untuk masa depan masyarakat. Kita juga dipanggil untuk melahirkan dan membesarkan anak-anak yang mungkin suatu hari akan menjalani kehidupan yang lebih baik daripada kita. Tetapi akhirnya sama seperti kita, dilahirkan di aula kematian; demikian juga anak-anak kita akan menjadi petugas kebersihan yang lahir mati di aula ini, sirkuit pernapasan yang tertanam dalam mayat sibernetik yang masif. Mereka meminta kita untuk mengkremasi jenazah mereka dan mengubur abunya, untuk mengakhiri kekuasaan orang mati atas yang hidup.

  1. Untuk Menghadapi Dwarf

Kita akan menyimpulkan dengan cara yang sama seperti Walter Benjamin memulai tesisnya tentang History:

Kita tahu, pernah ada sebuah robot yang dikonstruk sedemikian rupa sehingga mampu merespon setiap gerakan pemain catur dengan gerakan balasan yang akan memastikan kemenangan permainan. Sebuah boneka mengenakan pakaian Turki dengan pipa rokok hookah di mulutnya duduk di depan papan catur yang diletakkan di atas meja besar. Sebuah sistem cermin menciptakan ilusi bahwa, ‘meja ini transparan di semua sisi.’ Sebenarnya, seorang kurcaci (dwarf) bungkuk—seorang ahli catur—duduk di dalam dan membimbing tangan boneka itu dengan menggunakan senar string. Seseorang dapat membayangkan padanan filosofis dari aparatus ini. Boneka, yang disebut ‘materialisme historis’, akan selalu menang. Ini dapat dengan mudah menjadi pertandingan bagi siapa saja, jika ia meminta layanan teologi – yang saat ini, seperti yang kita ketahui – yang kecil dan jelek dan harus dijauhkan dari pandangan.

Sejarah memberi tahu kita bahwa tesis Benjamin tentang konsep sejarah tidak pernah dimaksudkan untuk pembaca publik. Sebaliknya, tesis-tesis itu ditulis sebagai beberapa salinan dari surat yang sama, yang ditujukan kepada kolega-koleganya. Melalui pengiriman ini, dia berusaha mengomunikasikan apa yang dia ketahui, sebagai informasi penting kepada orang-orang yang dia cintai dan bersekongkol dengannya.

Dalam menceritakan parabel tentang kurcaci dan robot, dia mengingatkan rekan-rekan kameradnya bahwa, ‘untuk mewujudkan keadaan pengecualian yang sebenarnya—bukan hanya mengalahkan fasisme, tetapi juga mengalahkan musuh sepanjang waktu, masa kini, masa lalu, dan masa depan—mereka harus memahami filosofi untuk menjadi tiada lain sebuah mesin yang diciptakan untuk menyembunyikan sesuatu, untuk membuat gerakan di papan di bawah bimbingan seorang jenius yang tersembunyi.’ Di mana kaum Marxis mengambil filosofi Marx sebagai jawaban untuk, ‘bagaimana memenangkan perjuangan kelas,’ mereka secara tragis salah mengira apa yang tampak sebagai apa yang dimaksudkan untuk dijalankan, dan mereka pun menjadi tersesat. Karena, bahkan ketika mereka percaya bahwa mereka menang, mereka sebenarnya hanyalah pionnya. Perbedaannya bukan tentang sisi mana yang dimainkan, tetapi pada level apa.

Untuk setiap ‘teori cantik’ yang muncul dengan sendirinya, pelajarilah hanya dengan cara kucing mempelajari mangsanya: untuk kesenangan berburu, tentu saja, tetapi juga untuk memanfaatkan segala peluang revolusioner unik yang mungkin muncul dalam sekejap kilatan petir. Sehingga ketika gerbang sempit itu terbuka, Anda menerkam tanpa ragu sedikit pun. Sementara itu, tentu saja, nikmatilah segala penyimpangan dari garis dan gerak teori, tetapi jika Anda ingin menghindari diri dari menjadi alatnya, Anda harus berpikir untuk menghancurkan sistem cermin dan menghadapi kurcaci yang telah menarik semua tali selama ini. Menghadapi makhluk kecil jelek ini di balik semua alur permainannya yang telah Anda nikmati dan Anda derita, akhirnya Anda mampu membaca garis wajahnya dan kegelapan matanya, saat waktu berhenti dan keseluruhan masa lalu jatuh ke tangan Anda, Anda harus membuat keputusan yang sangat etis bahwa, ‘tidak ada apapun di semua permainan sebelumnya yang dapat mempersiapkan Anda pada satu-satunya keputusan yang benar-benar penting.’

Bibliografi

  • Anonymous. (2010). Memory as a Weapon. Germen, 2, diakses dari http://pugetsoundanarchists.org/node/25

  • Benjamin, Walter. (1968). On the Concept of History. New York: Harcourt Brace.

  • Benjamin, Walter. (1978). Critique of Violence. New York: Harcourt Brace.

  • Camatte, Jacques. (1995). This World We Must Leave: and other essays. Brooklyn, N.Y.: Autonomedia.

  • Edelman, Lee. (2004). No Future: Queer Theory and the Death Drive. Durham: Duke University Press.

  • Endnotes. (2010). Endnotes 2: Misery and the Value Form. UK: Endnotes.

  • Federici, Silvia. (2004). Caliban and the Witch. New York: Autonomedia.

  • Halberstam, Judith. (2008). The Anti-Social Turn in Queer Studies. Graduate Journal of Social Science, 5 (2), hlm. 140–156.

  • Hocquenghem, Guy. (1993). Homosexual Desire. Durham: Duke University Press.

  • Hocquenghem, Guy. (1995). To Destroy Sexuality. Polysexuality: Semiotext(e) Journal, 10.

  • Hocquenghem, Guy. (2010). The Screwball Asses. Los Angeles, CA: Semiotext(e).

  • Individualist Cell of Birds of Fire. (2011). The Revolt Continues ... Until Total Liberation!. Unknown, 325 (9).

  • Löwy, Michaer. (2005). Fire Alarm: Reading Walter Benjamin’s On the Concept of History. London: Verso.

  • Nardini, Mary. (2009). Criminal Intimacy. Total Destroy. Diakses dari https://www.non-fides.fr/IMG/pdf/TD3imp.pdf.

  • Stryker, Susan. (1993). My Words to Victor Frankenstein above The Village of Chamounix. Diakses dari https://sites.evergreen.edu/politicalshakespeares/wp-content/uploads/sites/226/2015/12/Stryker-My-Words-to-VF.pdf

[1] Baedling: orang yang lembut; orang yang sering berbaring di tempat tidur (bed-ling); biasanya ditafsirkan dengan sebagai laki-laki yang lembut (delicate men), laki-laki banci (effeminate men), atau hermaprodit (kelamin ganda). [Penerj.]

[2] Law dengan huruf kapital, berarti hukum yang berasal dari tuhan dalam perintah-perintahnya di kitabnya; sementara law dengan huruf kecil, berarti hukum yang berlaku dalam kehidupan kita sehari-hari yang datangnya dari manusia, seperti undang-undang, dll. [Penerj.]

[3] Crowd-sourcing (urun daya) merupakan proses untuk memperoleh layanan, ide, maupun konten tertentu dengan cara meminta bantuan dari orang lain secara massal, secara khusus melalui komunitas daring. Proses ini sering kali digunakan dalam penggalangan dana maupun aksi sosial, dan dilakukan secara daring dan luring. [Penerj.]

[4] Bagian kota, terutama kawasan kumuh, yang ditempati oleh satu atau beberapa kelompok minoritas. Secara historis, ghetto ini pertama digunakan sebagai kampung Yahudi, tempat Yahudi diisolasi. [Penerj.]

[5] Semacam obat tidur atau obat penenang. [Penerj.]

[6] Doa kebaktian. [Penerj.]

[7] Mengenai bahasan ini, untuk memahaminya, ada salah satu esai favorit penerjemah yang sangat direkomendasikan untuk dibaca. Esai ini juga terhimpun dalam buku sehimpun esai eco-egoism (judul bukunya masih dipikirkan) yang akan segera terbit. Esai yang ditulis oleh Julian Langer dengan judul An Eco-Egoist Destruction of Species-Being and Speciesism dapat diakses melalui Anarchist Library theanarchistlibrary.org [Penerj.]

[8] Aktivitas seksual rekreatif, bukan prokreatif. [Penerj.]

[9] ibu dari anak-anak tanggungan yang menerima tunjangan kesejahteraan pemerintah. [Penerj.]

[10] Akan ada sub bab khusus yang akan menbahas tentang hal ini. Secara harfiah, jouissance ini berarti ekstaksi/kesenangan/kegembiraan baik secara fisik maupun intelektual [Penerj.]

[11] Sebuah permukaan topologis dengan satu sisi permukaan (bila dilekatkan dalam ruang tiga dimensi Euclidean) yang hanya memiliki satu batas. Pita Möbius memiliki properti matematis yang tak berorientasi. Hal ini juga dapat disadari sebagai sebuah permukaan teratur. [Penerj.]

[12] Dalam psikoanalisis, kateksis (cathexis) berarti pemakaian energi psikis yang dilakukan oleh id untuk suatu objek tertentu guna memuaskan suatu naluri. Kebalikannya adalah anti-kataeksis, yang berarti penggunaan energi psikis (yang berasal dari id) untuk menekan atau mencegah agar id tidak memunculkan naluri–naluri yang tidak bijaksana dan destruktif. Id hanya memiliki kateksis, sedangkan ego dan superego memiliki anti-kateksis, namun ego dan superego juga bisa membentuk kateksis-objek yang baru sebagai pengalihan pemuasan kebutuhan secara tidak langsung, masih berkaitan dengan asosiasi–asosiasi objek pemuasan kebutuhan yang diinginkan oleh id. [Penerj.]

[13] Lindung nilai (hedge): suatu investasi yang dilakukan khususnya untuk mengurangi atau meniadakan risiko pada suatu investasi lain. [Penerj.]

[14] Antropomorfisme adalah atribusi karakteristik manusia ke makhluk bukan manusia. [Penerj.]

[15] Élan adalah istilah yang diciptakan oleh filsuf Prancis Henri Bergson dalam bukunya Creative Evolution pada tahun 1907. Istilah Ini adalah penjelasan hipotetis untuk evolusi dan perkembangan organisme, yang menurut Bergson terkait erat dengan kesadaran – persepsi intuitif tentang pengalaman dan aliran waktu batin. [Penerj.]

[16] Grindr adalah aplikasi jejaring geososial yang ditujukan untuk pria gay, biseksual, dan bi-curious. [Penerj.]

[17] Craigslist: nama situ periklanan. [Penerj.]

[18] Aufheben adalah kata dari bahasa Jerman (aufhebung) yang berarti “mengangkat”; “menghapuskan”; “membatalkan” atau “menangguhkan”, dan”menumbangkan”. [Penerj.]

[19] Sinthome adalah istilah diperkenalkan oleh Jacques Lacan dalam seminar Le sinthome yang merupakan adalah cara Latin mengeja asal Yunani dari kata symptôme Perancis, yang berarti ‘gejala’. [Penerj.]

[20] Istilah dalam bahasa latin yang berarti, “sampai memuakkan”. [Penerj.]

[21] Dyke (secara harfiah dapat diartikan sebagai ‘lesbian’). Kata dyke ini adalah kata yang dirujuk kepada lesbian dengan maksud sebagai ‘cercaan’, namun akhirnya kata dyke itu telah diambil-alih oleh banyak lesbian untuk mengidentifikasi diri mereka sendiri. [Penerj.]

[22] Boxing. [Penerj.]

[23] Immiserasi merupakan tindakan membuat orang, negara, organisasi, dll. menjadi miskin. Dalam analisis Marx, sederhananya immiserasi berarti: meningkatnya komposisi organik kapital dan berkurangnya permintaan tenaga kerja relatif terhadap peralatan kapital seiring dengan berkembangnya teknologi. [Penerj.]

[24] Statist (penganut statism). Statisme berasal dari bahasa Prancis état yang berarti state atau negara. Karena itu, dalam beberapa literatur tidak didapati kata ‘statisme’ dan yang ditemukan adalah ‘etatisme’. Tidak ada masalah dengan itu, yang dimaksud etatisme adalah statisme dan yang dimaksud statisme adalah etatisme. Apa itu statisme? Statisme merupakan konsep pemikiran dalam politik yang menganggap negara sebagai pusat dari segala kekuasaan. Negaralah pencapaian tertinggi dan tujuan dari pembangunan sosial. Negaralah sumbu yang menggerakkan semua elemen politik dalam suatu jalinan rasional, yang dikontrol secara ketat dengan menggunakan instrumen kekuasaan. [Penerj.]

[25] Keynesianisme, atau ekonomi ala Keynes atau Teori Keynes, adalah suatu teori ekonomi yang didasarkan pada ide ekonom Inggris abad ke-20, John Maynard Keynes. Teori ini mempromosikan suatu ekonomi campuran, di mana baik negara maupun sektor swasta memegang peranan penting. [Penerj.]

[26] Lumpenproletariat adalah sebuah istilah yang awalnya dicetuskan oleh Karl Marx untuk menyebut lapisan kelas pekerja yang tak memiliki kesadaran golongan dan maka dari itu tidak lagi berguna untuk perjuangan revolusioner, tidak lagi memproduksi yang bermanfaat secara sosial, dan bahkan menjadi penghalang perwujudan masyarakat tanpa kelas. [Penerj.]

[27] Falus adalah organ seksual atau alat kelamin, khususnya penis. Inilah yang menjadikan teori psikoseksual Freud dikritik, sebab terlalu memfokuskan teorinya pada penis. [Penerj.]

[28] Scattering adalah istilah yang digunakan dalam fisika untuk mendeskripsikan berbagai proses fisik di mana partikel atau radiasi bergerak dalam beberapa bentuk – seperti cahaya atau suara – dipaksa untuk menyimpang dari lintasan lurus oleh ketidakseragaman lokal dalam media yang dilaluinya. [Penerj.]

[29] Pemandian Turki (Turkish bath) atau nama lainnya Hamam, adalah pemandian umum khas Turki yang merupakan variasi dari Pemandian Romawi, mandi uap, sauna, atau Banya Rusia (seni mandi ala Rusia). [Penerj.]

[30] Rekuperasi adalah sebuah proses penihilan makna simbol perlawanan Proses ini dilakukan melalui 2 proses, yaitu dengan menjadikan budaya sebagai komoditas komersil (komodifikasi), dan dengan mendomestifikasikan seluruh simbol perlawanan kepada sistem kemapanan. [Penerj.]

[31] Penyebutan mobil di sini hanyalah sebagai contoh, dalam wacana ekologi seluruh mesin yang merusak lingkungan adalah hal yang ditolak oleh kaum ekologis. [Penerj.]

[32] Dalam isu perburuhan/ketenagakerjaan, gerakan wildcat ini berarti Aksi Mogok Massal (Wildcat Strike Action). Di sini Hocquenghem, juga menggunakan istilah wildcat pada gerakan gay. [Penerj.]

[33] Spasio atau spasial mengacu pada ruang, dan temporal mengacu pada waktu. Dengan begitu, Spatio-temporal bisa dikatakan sebagai model ruang waktu (space time model). [Penerj.]

[34] The looking-glass adalah konsep psikologis sosial, yang diciptakan oleh Charles Horton Cooley pada tahun 1902, yang menyatakan bahwa, diri seseorang tumbuh dari interaksi interpersonal masyarakat dan persepsi orang lain.... Orang-orang membentuk diri mereka sendiri berdasarkan apa yang orang lain rasakan dan mengkonfirmasi pendapat orang lain tentang diri mereka sendiri. [Penerj.]

[35] Barang artifisial, dan rendah atau inferior yang biasanya merupakan pengganti atau imitasi. [Penerj.]

[36] cincin otot yang mengelilingi dan berfungsi untuk menjaga atau menutup lubang atau tabung, seperti anus atau lubang perut. [Penerj.]

[37] Kontemplasi-diri yang tidak berguna atau berlebihan. aktivitas menghabiskan terlalu banyak waktu untuk mempertimbangkan pikiran, perasaan, atau masalah sendiri. [Penerj.]

[38] Emile Armand, “To Feel Alive

[39] Renzo Novatore, “Toward the Creative Nothing”

[40] Epicurus

[41] Emile Armand, “Love Between Anarcho-Individualists”

[42] Emile Armand, “Nudism”

[43] Renzo Novatore, “Toward the Creative Nothing”

[44] Pada February 2012. Lihat: waronsociety.noblogs.org/?p=3330

[45] Hugo Laurenz August Hofmann von Hofmannsthal adalah anak ajaib Austria yang penuh talenta; ia adalah seorang novelis, librettis (penulis libretto), penyair, dramawan, narator, dan penulis esai. [Penerj.]

[46] Acedia berarti: kelesuan spiritual dan mental; apati. [Penerj.]

[47] Penulis mengambil contoh dalam film The Simpsons musim ketiga episode 18 yang berjudul “Separate Vocations”, di mana Bart (salah satu nama tokohnya) dihukum oleh gurunya di sekolah untuk menulis berbaris-baris kata “I will not expose the ignorance of the faculty” di papan tulis karena mengekspos ketidaktahuan para guru dengan menghapus Edisi Guru (Teacher’s Edition). Hal itu terlihat pada adegan terakhir episode tersebut. Kegiatan menulis berbaris-baris dan berulang-ulang ini, oleh penulis digambarkan seperti aktivitas yang dilakukan sisifus: mendorong batu ke puncak gunung dan kemudian batu itu terjatuh lagi ke bawah, sisifus pun kembali mendorong batu tersebut ke puncak, terus berulang seperti itu. [Penerj.]

[48] Konsep hukum sebab-akibat. Suatu kondisi yang tanpanya tidak mungkin. [Penerj.]

[49] Kartago adalah sebuah kota kuno di Afrika Utara, yakni di sisi timur Danau Tunis, sekarang dekat kota Tunis di Tunisi. Kota ini memiliki sejarah di mana pernah dihancurleburkan oleh bangsa Romawi Perang Punisia III. [Penerj.]

[50] Louis Auguste Blanqui adalah seorang aktivis sosialis dan politik Prancis, yang terkenal karena teori revolusionernya tentang Blanquisme yang berpendapat bahwa, revolusi sosialis harus dilaksanakan oleh kelompok yang relatif kecil, sangat terorganisir dan konspirator rahasia. [Penerj.]

[51] “The Philosophy of Its History” di sini judulnya lebih menggemakan tesis tentang sejarah, terjemahan alternatifnya “On the Philosophy of History.”