#title Genealogi Studi Ekologi Politik #author Bayu Budiandrian #LISTtitle Genealogi Studi Ekologi Politik #SORTauthors Bayu Budiandrian #SORTtopics critique, Social Ecology, green anarchism, theory #source [[https://institutekologiradikal.noblogs.org/?p=27]] #lang id #pubdate 2021-02-16T04:34:57 #notes Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). #language Bahasa Indonesia #publication Institut Ekologi Radikal *** Latar Belakang Pada masa dimana ilmu pengetahuan sudah sangat maju seperti saat ini, tampaknya kita masih sangat jarang menemukan akademisi dan intelektual yang dengan rendah hati bersedia menjelaskan secara komprehensif bagaimana sebuah pendekatan ekologi politik muncul? Apa yang membedakannya dengan pendekatan ekonomi politik? Bagaimana kedua pendekatan tersebut berintegrasi? Dimana letak irisan kedua pendekatan tersebut? Dimana letak pemisah antara kedua pendekatan tersebut? Telaah terhadap pertanyaan-pertanyaan tadi sangatlah penting, tidak hanya sebagai kebutuhan teoritis, tetapi lebih jauh lagi sebagai sebuah dasar pijakan yang melandasi berbagai gerakan lingkungan yang bermunculan belakangan ini. Permasalahan lingkungan hari ini merupakan isu sentral yang menjadi perhatian bagi semua kalangan baik di bidang Pemerintahan, Akademisi dan Intelektual, hingga Aktivisme-sosial. Munculnya berbagai gerakan sosial di Indonesia yang mengatasnamakan lingkungan agaknya mencitrakan bahwa “kesadaran ekologis” sudah melekat dan tertanam pada mereka yang telah, sedang dan akan memperjuangkannya. Namun kenyataan di lapangan seringkali saya menemukan banyaknya perjuangan ekologis yang terjangkit “split paradigm” atau lebih fatal lagi “kosong perspektif”. Hal inilah yang agaknya membuat saya mencoba menuliskan sedikit tentang keresahan tersebut. *** Ekonomi Politik – Studi Agraria dan Ekologi Klasik – Ekologi Politik Konsep ekologi politik dengan konsep ekonomi politik jelaslah berbeda satu sama lain. Konsep ekonomi politik muncul untuk memahami dan mengatasi perubahan-perubahan drastis di dalam sistem pemuasan kebutuhan manusia, baik dengan memahami sifat dari kebutuhan/keinginan tersebut, atau dengan memahami cara produksi serta pendistribusian barang (goods) tersebut. Merujuk pada Caporaso dan Levine (1992, 2003) periode klasik dalam ekonomi politik dimulai sejak terbitnya Wealth of Nation karya Adam Smith pada tahun 1776 sampai dengan terbitnya buku Principle of Political Economy karya John S. Mill pada tahun 1848. Dari berbagai mahakarya para pemikir ekonomi politik klasik, Karl Marx diyakini sebagai tokoh ekonomi politik penting yang terakhir. Dalam bukunya yang sangat populer, A Contribution to the Critique of Political Economy, Marx (1859, 1904) menjelaskan bagaimana sebuah proses produksi dan reproduksi sebuah komoditas selalu didasarkan pada relasi sosial antara modal dan tenaga kerja. Pandangan tersebut kemudian digunakan untuk menganalisis proses transisi agraria dari suatu corak produksi (feodal) yang satu ke corak produksi yang lain (kapitalisme) dapat dipahami dengan melihat dinamika atau kontradiksi internal, yaitu hubungan yang saling menentukan/ mempengaruhi antara tenaga-tenaga produktif dengan hubungan-hubungan produksi. Hal tersebut dijabarkan Marx dalam salah satu bab dalam bukunya tersebut yang dia namakan sebagai “akumulasi primitif”. Jadi secara singkat, studi agraria merupakan anak kandung dari kritik Marx terhadap ekonomi politik klasik dan terkait erat dengan penyebaran kapitalisme yang dikaji oleh Marx. Sebagai konsekuensinya, maka studi agraria akan selalu menggunakan pendekatan ekonomi politik. Sementara itu, pandangan ekologis pada mulanya merupakan sebuah pandangan yang berusaha melepaskan cara pandang mekanistik khas abad pertengahan. Pandangan mekanistik abad pertengahan melihat dunia sebagai sebuah satuan atomistik yang terpisah, sementara pandangan ekologis merupakan sebuah pandangan yang melihat dunia sebagai suatu kesatuan yang tak tepisahkan satu sama lain, holistik. Menurut Capra (2001) dalam Adiwibowo (2007), pergeseran pandangan ini diawali pada dekade 1920-an di Jerman, dimana kala itu fisika kuantum, biologi organisme, dan psikologi gestalt tumbuh sebagai tren gerakan anti mekanistik di kalangan akademisi. Pandangan ekologis merupakan konsekuensi logis dari berkembangnya science dan berakhirnya Abad Kegelapan. Masa inilah yang disebut Nietzsche sebagai lonceng yang menandai kematian tuhan. Sejak awal diperkenalkannya istilah “ekologi” oleh Ernst Haeckel tahun 1866, perkembangan disiplin ilmu ini tidak pernah lepas dari tradisi Darwinisme hingga muncul istilah Social Darwinism dari seorang amerika bernama Richard Hofstadter pada tahun 1944. Hofstadter (1944, 1955) dalam Weikart (1993) mendefinisikan Darwinisme Sosial sebagai sebuah ideologi yang menggunakan pandangan kompetitif dalam melihat dunia, dan konsep Darwin tentang “the struggle for existence” yang diterapkan dalam teori sosial sebagai dasar ideologinya. Ernst Haeckel sendiri adalah seorang ahli biologi yang sangat mengagumi Darwin, lebih dari siapapun. Ia adalah orang yang paling berjasa dalam menjabarkan proses evolusi kera sampai menjadi manusia. Spekulasinya terhadap transisi kera menjadi manusia melalui Pithecantropus alalus (manusia-kera yang belum bisa bicara) yang bertempat di Borneo, Sumatera dan Jawa akhirnya menginspirasi Eugene Dubois; orang Belanda yang melakukan penelitian di wilayah tersebut dan secara mengejutkan menemukan Homo erectus sebagai “missing link” di dalam proses evolusi kera – manusia. Sejak munculnya istilah ekologi, banyak yang mengembangkan ilmu tersebut melalui berbagai ragam pendekatan. Tidak terbatas hanya pada biologi, tetapi berkembang ke bidang ilmu sosial; goegrafi, antropologi, ekonomi hingga sosiologi. Peralihan ekologi dari ilmu biologi ke bidang sosial, dimulai dari ilmu geografi yang mengembangkan pendekatan determinasi lingkungan. Ellen C. Semple (1911) menyatakan bahwa seluruh kebudayaan dan perilaku manusia pada dasarnya dipengaruhi langsung oleh faktor-faktor lingkungan (iklim, topografi, sumber daya alam, geografi). Pandangan tersebut menurut pakar ekologi politik Dr. Soeryo Adiwibowo dalam sesi perkuliahannya di FEMA-IPB bersifat sangat reduktif. Pandangan tersebut menyimpulkan bahwa bangsa Inggris bisa menjadi pelaut handal karena secara geografis Kerajaan Inggris merupakan daratan (kepulauan) yang dikelilingi laut. Bangsa Arab merupakan penganut agama monoteis karena bermukim di gurun pasir yang kosong yang mendorong mereka hanya menyembah kepada Tuhan yang Maha Esa. Bangsa Eskimo merupakan masyarakat primitif, nomaden dan miskin karena kondisi alam yang keras dan keterbatasan sumber daya alam. Ragam pendekatan lainnya kemudian saling bermunculan diantaranya pendekatan posibilisme lingkungan, ekologi budaya, ekologi ekosistem, dll yang dikembangkan oleh disiplin ilmu antropologi. Sementara ekologi politik muncul sebagai reaksi terhadap sifat apolitis dari bidang studi ekologi budaya dan studi tentang resiko lingkungan (Watts 1983). *** Irisan Ekonomi Politik dengan Ekologi Politik Istilah ekologi politik sudah digunakan pada awal 1970-an. Eric Wolf (1972) menggunakannya untuk merujuk pada hubungan kepemilikan lahan dan politik pengelolaan sumber daya alam. Ezenberger (1974) menggunakan istilah tersebut untuk merujuk pada gerakan lingkungan oleh borjuis di Eropa dan Amerika Utara pada tahun 1960 dan awal 1970-an, yang ia lihat secara fundamental berakar pada kapitalisme. Oleh sebab itu perkembangan techno-science tidak akan mampu mengatasi penyebab struktural dari krisis lingkungan. Istilah ekologi politik digunakan pertama kali dalam publikasi akademis pada akhir tahun 1960-an, sedangkan mulai menjadi subyek penelitian pada awal tahun 1970-an (Forsyth 2003). Istilah tersebut muncul sebagai respon atas kebutuhan teoritis untuk mengintegrasikan praktik penggunaan sumberdaya alam dengan pendekatan ekonomi politik secara lokal-global, serta reaksi terhadap perkembangan politik lingkungan yang terus meningkat (Peet dan Watts 1996). Ekologi politik mulai berkembang sejak akhir dekade 1970-an dan awal 1980-an (Satria 2009). Secara garis besar, ekologi politik adalah jenis penelitian lapangan yang mengkaji hubungan ekonomi politik antara komunitas atau masyarakat secara luas terhadap perubahan lingkungan (Adiwibowo 2005). Arus intelektual ini dikembangkan dalam kaitannya dengan latar belakang pergolakan sosial yang luas selama tahun 1960 dan awal 1970-an (Watts 2001). Ini adalah periode yang ditandai oleh gelombang anti-otoritarianisme dan aktivisme dimana kekerasan terjadi di jalan-jalan kota Meksiko, Paris, dan Los Angeles. Protes terhadap hak-hak sipil, hak-hak perempuan dan gerakan lingkungan pada tahun 1960-an dan 1970-an yang kemudian pengalaman tersebut secara bersamaan membentuk pengalaman dari individu akademisi yang akhirnya membentuk konteks sosial dan politik yang memunculkan ekologi politik itu sendiri. Bidang ekologi politik berkomitmen pada penelitian intensif berbasis lapangan dan empirisme yang ketat. Selain itu, para penulis awal ekologi politik dipengaruhi oleh bangkitnya kembali Marxisme pada tahun 1960-an dalam studi ekonomi politik dan studi agraria, serta teori ketergantungan dan sistem dunia dari Andre Gunder Frank, Samir Amin, dan Immanuel Wallerstein. Ekologi politik sendiri adalah sebuah proyek epistemologis, yang muncul untuk menghancurkan struktur mapan yang apolitis tentang hubungan antara masyarakat dan lingkungan alam. Dengan demikian, karya awal akademis dalam ekologi politik berusaha untuk mendekonstruksi penjelasan dominan saat itu, antara lain tentang kelaparan di Nigeria, erosi tanah di Nepal, dan deforestasi di Brazil yang sebelumnya berakar pada konsep over-populasi Malthusian. Disanalah para penulis awal membangun penjelasan alternatif terhadap fenomena lingkungan, yang berakar pada ekonomi politik, marginalisasi, kapitalisme kolonial, dan penyalahgunaan kewenangan negara (Perreault et al 2015). *** Persimpangan Ekonomi Politik dengan Ekologi Politik Secara teoritis, bidang ekologi politik itu bisa dibilang lebih berorientasi menuju pemahaman spesifik dari serangkaian dinamika pada lokasi tertentu daripada sekedar mengeneralisir dengan kerangka epistemologis yang berorientasi pada disiplin tertentu. Sehingga itulah mengapa bidang ini perlu di imbangi oleh kerangka teoritis dan disiplin yang beragam, yang akan mampu menopang penjelasan terhadap dinamika tersebut. Secara metodologis, orientasi untuk pemahaman di lokasi tertentu, dikombinasikan dengan akar yang mendalam pada penelusuran historis, yang berarti bahwa ekologi politik harus memiliki jarak pandang yang lebih luas khususnya pada metode penelitian berbasis lapangan, terutama etnografis, ditambah dengan analisis yang mendalam. Blaikie dan Brookfield (1987); Bryant (1992); Greenberg dan Park (1994); Zimmerer (2000) dalam Forsyth (2003) menyatakan bahwa ekologi politik merujuk pada kondisi sosial dan politik yang mencakup penyebab, pengalaman, dan pengaturan dari masalah lingkungan. Penggunaan istilah ekologi politik yang semakin berkembang memunculkan beragam definisi dari berbagai perspektif yang berbeda. Dalam perspektif strukturalisme, ekologi politik muncul untuk menyepakati dua poin dasar. Pertama, masalah lingkungan yang dihadapi Dunia Ketiga tidak hanya cerminan dari kegagalan kebijakan dan pasar bebas saja, tetapi lebih merupakan manifestasi dari politik dan kekuatan ekonomi yang lebih luas. Kekuatan tersebut terkait dengan penyebaran kapitalisme diseluruh dunia terutama sejak abad ke 19. Kedua, ekologi politik adalah kebutuhan untuk melihat lebih jauh perubahan proses ekonomi politik yang multiscale; lokal, regional dan global (Peet & Watts 1996 dalam Bryant dan Bailey 1997). Perspektif ekologi politik post-structuralism meyakini bahwa alam merupakan “konstruksi sosial” karena apa yang kita perhatikan, tafsirkan dan beri makna berasal dari pengalaman langsung dan repertoar budaya (sistem nilai, tradisi, agama, isi pendidikan dll), ekonomi, teknologi, ilmu pengetahuan dan mitos (Escobar 1996:46; dalam Adiwibowo 2005). Ekologi politik post-struktural memfokuskan perhatian pada bagaimana, oleh siapa dan mengapa pengetahuan lingkungan, wacana dan narasi tersebut diproduksi, direpresentasikan, dikontestasikan (Blaikie 1995: 143; Peet dan Watts 1996; Adiwibowo 2005). Liberation Ecologies atau yang lebih suka saya sebut sebagai Post Political Ecology merupakan sebuah ragam pendekatan baru yang mengklaim melampaui pendekatan Classical Political Ecology. Istilah ini diperkenalkan oleh Richard Peet dan Michael Watts di dalam bukunya “Liberation Ecologies; Environment, Development, Social Movement” pada tahun 1996. Dalam bukunya tersebut Peet and Watts (1996) menyebut bahwa Liberation Ecologies sebagai “…. new theoretical engagement between political ecology and post-structuralism on the other hand, and practical political engagement with new movement, organization, and institution of civil society challenging conventional notion of development, politics, democracy, and sustainability on the other”. Pengertian tersebut melibatkan tiga pendekatan ilmu sekaligus, Ekonomi Politik, Post-Strukturalisme, dan Ekologi Politik itu sendiri. Kritik; Eko-Anarkisme sebagai Ekologi Politik yang Melampauinya Penjabaran historis-teoritis diatas setidaknya memperlihatkan bagaimana pendekatan ekologi politik sampai post-ekologi politik telah di dominasi oleh tradisi Marxian yang bermula dari pendekatan ekonomi politik, lebih jauh lagi dari pandangan evolusionis Darwinian. Post ekologi politik sebenarnya tidak melampaui apa-apa, ia tetap berada dalam tradisi dan perspektif yang sama, hanya ditambah dengan pendekatan post-strukturalis. Darwin bukan tanpa kritik, pada tahun 1902 Peter Kropotkin membuat essay yang berjudul “Mutual Aid: A Factor of Evolution” yang pada intinya membantah tesis utama Darwin dengan menyatakan bahwa pada alam juga terdapat hukum mutual aid untuk bertahan hidup dan evolusi progresif dari suatu spesies. Hal tersebut jauh lebih penting daripada hukum yang menyatakan mutual struggle. Penjabaran ini pernah saya tuliskan dalam tulisan saya sebelumnya “Sharing Power: Perspektif Egelitarian Pengelolaan Sumber Daya Alam”. Kekosongan perspektif Kropotkin dan pemikiran Darwin yang terus menerus direpetisi membuat Eko-Anarkisme semakin asing dan tabu bagi kalangan intelektual yang mempelajari dan melakukan studi tentang ekologi politik. Itu pula yang menyebabkan banyak gerakan lingkungan yang merasa bahwa pertarungan dan perjuangan ekologi adalah perjuangan politik (praktis), dimana biasanya, perjuangan tersebut hanya akan menyisakan perjuangan politik (beserta kepentinganya), namun perjuangan ekologis (beserta kepentingannya) sudah hilang entah kemana. Adalah Bookchin yang paling berjasa meneruskan tradisi pemikiran Kropotkin. Ditengah kekosongan intelektualitas terhadap gagasan “ekologi anarkis” yang pada masa itu di dominasi oleh tradisi Marxian. Tidak hanya meneruskan, Bookchin juga melampaui Kropotkin dengan mengembangkan lebih jauh Mutual Aid-nya Kropotkin dengan membuat teori Ekologi Sosial. Bookchin diketahui mulai menyadari soal krisis perkembangan lingkungan pada tahun 1952, saat itu dia menulis sebuah artikel yang berjudul The Problem of Chemical in Food dimana didalam artikel tersebut Bookchin tidak hanya membahas tentang polusi lingkungan saja, tetapi Bookchin mendudukan permasalah lingkungan sebagai permasalahan sosial yang setara dan sama pentingnya. Pada tahun 1960-an pandangan Bookchin kemudian bisa terangkum dan terformulasikan secara tajam dengan menyimpulkan bahwa gagasannya tentang dominasi alam oleh manusia, berasal dari dominasi yang sangat nyata dari manusia terhadap manusia. Pasca 1952, berbagai artikel dan buku terkait dengan pandangannya tersebut dipublikasikan dimana hampir kesemua karyanya tersebut merupakan upaya pencariannya untuk menjelaskan kemunculan hirarki sosial dan dominasi serta untuk menjelaskan cara, kepekaan, dan praktek yang dapat menghasilkan suatu masyarakat ekologis yang benar-benar harmonis. Buku “Post-Scarcity Anarchism” (1971, 2004) merupakan pelopor dari visinya tersebut. Buku tersebut terdiri dari beberapa essainya dari tahun 1964 dimana kritiknya dialamatkan lebih kepada hirarki daripada kelas, dominasi daripada eksploitasi, menciptakan kelembagaan yang bebas daripada sekedar penghapusan negara, kebebasan dibandingkan dengan keadilan, kepuasan daripada sekedar kebahagiaan. Bagi Bookchin perubahan penekanan tersebut bukan sekedar retorika counter-cultural, perubahan tersebut menandai penghilangan pandangan dari komitmen sebelumnya yang berbentuk sosialis ortodoks. Bookchin mendambakan apa yang disebut sebagai Libertarian Sosial Ekologi, atau apa yang disebut Victor Ferkiss sebagai Eco-Anarkisme. Pada saat itu di tahun 1960an, kata-kata seperti hirarki dan dominasi masih sangat jarang digunakan. Kaum radikal tradisional, terutama Marxis, masih berbicara hampir eksklusif dalam soal kelas, analisis kelas, dan kesadaran kelas; konsep mereka terhadap penindasan yang terutama terbatas pada eksploitasi material, kemiskinan, dan ketidakadilan dalam ketenagakerjaan. Demikian juga Anarkis ortodoks yang menempatkan sebagian besar penekanan mereka pada Negara sebagai sumber segala bentuk ketidakadilan sosial. Sama seperti kemunculan kepemilikan pribadi sebagai “dosa asal” bagi kaum Marxis ortodoks, begitu juga Negara yang dianggap sebagai “dosa asal” bagi kaum Anarkis ortodoks. Bahkan pada awal 1960an penggunaan istilah hirarki sangat dihindari, dan lebih sering disebut sebagai “perdebatan otoritas”, tanpa menjelajahi asal-usul otoritas, hubungannya dengan alam, dan maknanya bagi penciptaan sebuah masyarakat baru. Bookchin kemudian berfokus pada bagaimana seharusnya masyarakat bebas yang didasarkan pada prinsip-prinsip ekologis, dapat memediasi hubungan antara manusia dengan alam. Hasilnya, Bookchin mulai mengeksplor pengembangan teknologi baru yang dapat diukur secara komprehensif pada dimensi manusia. Seperti, teknologi solar matahari, instalasi kincir angin, taman organik dan penggunaan sumberdaya lokal, yang dikerjakan oleh komunitas terdesentralisir. Pandangan tersebut secara langsung menyadarkan bahwa dibutuhkan demokrasi langsung, desentralisasi, swadaya pemenuhan kebutuhan, swadaya pemberdayaan dalam bentuk komunal kehidupan sosial. Singkat kata, komune yang akan terbentuk adalah komunitas yang non-authoritarian Pandangan Ekologi Sosial Bookchin ini mempunyai dimensi sosial-politik yang secara tajam telah di ulas didalam buku “Municipalisme Libertarian” yang ditulis oleh Janet Biehl seorang sahabat sekaligus penerus pemikiran Bookchin. Inilah yang seharusnya disebut sebagai sesuatu yang melampaui Ekologi Politik, dimana ekologi sosial secara historis lepas dari tradisi ekologi politik dan tidak mengakar pada sumber analisis dan pendekatan yang sama.[]
*** Daftar Pustaka - Adiwibowo S. 2005. Dongi-dongi – Culmination of a Multi-dimensional Ecological Crisis: A Political Ecology Perspective [disertasi]. Kassel (DE): Universität Kassel. - Adiwibowo S. 2007. Ekologi Manusia. Bogor (ID). Fakultas Ekologi Manusia-IPB - Adiwibowo S. 2013. Kembali Ke Jalan Lurus. Yogyakarta (ID): Forci Development. - Bookchin M. 1971, 2004. Post Scarcity Anarchism. Oakland (US): AK Press. - Bookchin M. 2005. The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolation of Hierarchy. Oakland [US]; AK Press. - Bryant RL, Bailey S. 1997. Third World Political Ecology. London (GB): Routledge. - Caporaso JA, Levine DP. 1992. Theories of Political Economy. London (GB): Cambridge University Press - Enzensberger, H.M. 1974. A critique of political ecology. New Left Review, 84: 3–32. - Forsyth T. 2003. Critical Political Ecology: The Politics of Environmental Science. London (GB): Routledge. - Kropotkin P. 1972. Mutual Aid: A Factor of Evolution, [US]; New York University Press. - Marx K. 1859, 1904. A Contribution to the Critique of Political Economy. International Library Publishing Co - Peet R. and Watts M. 1996. Liberation Ecologies: Environment, Development, Social Movements. London (GB): Routledge. - Perreault T, Gavin B, McCarthy J. 2015. Handbook of Political Ecology. New York (US): Routledge - Satria A. 2009. Ekologi Politik Nelayan. Semarang (ID): Lkis. - Semple EC. 1911. The operation of geographic factors in history in Influences of Geographic Environment. New York: Henry Holt, 1911: 1-32. - Watts MJ. 1983. On the poverty of theory: natural hazards research in context. In: Hewitt, K. (ed.), Interpretations of Calamity from the Viewpoint of Human Ecology. Boston: Allen & Unwin, pp. 231–262. - Weikart R. 1993. The Origins of Social Darwinism in Germany 1859-1895. Journal of the History of Ideas, Inc. - Wiradi G. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria; Dua Abad Penguasaan Tanah. Editor S. M. P Tjondronegoro dan G. Wiradi. Jakarta (ID): PT Gramedia. - Wiradi G. 2009. Metodologi Studi Agraria; Karya Terpilih Gunawan Wiradi. Bogor (ID): Sajogyo Institute - Wolf E. 1972. Ownership and political ecology. Anthropological Quarterly, 45(3): 201–205.