Title: Undangan untuk Melakukan Desersi
Language: Bahasa Indonesia
Date: 22 September 2018
Notes: Teks aslinya berjudul An Invitation to Desertion diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Alvin Born to Burn **untuk versi ebook pdf-nya, bisa diunduh pada link berikut ini (dimensi 14 x 21 cm dengan perubahan semua endnote menjadi footnote)
b-f-bellamy-fitzpatrick-undangan-untuk-melakukan-d-1.png

Pengantar Penerjemah

Apa yang digadang-gadang oleh kaum kiri sebagai revolusi atau anarkis sebagai insureksi, jika kita sandingkan dengan peradaban, tak lain dan tak lebih hanyalah reformasi. Padahal, baik Negara, kapitalisme, fasisme, rasisme, spesiesisme, patriarki, agama, maupun segala paham-paham lainnya (yang dianggap menindas), adalah produk yang dihasilkan oleh peradaban. Siapa yang memproduksi peradaban? Kita sendiri! Melalui apa yang disebut oleh Cicero sebagai civitas. Sadar atau tidak, disengaja atau tidak disengaja.

Mengapa kita membutuhkan hantu-hantu (spooks) dari semua ide-ide di atas? Apakah kita tak bisa hidup tanpanya? Kita menciptakan berhala untuk disembah, karena kita merasa bahwa ada energi yang sangat besar yang menggerakkan semuanya. Sosok pencipta yang mengendalikan semuanya. Ketidakmampuan kita menjelaskan semua fenomena yang ada berakhir pada mentalitas ketertundukkan budak, yang menjadikan kita hamba, dan menyerahkan ketidakmampuan kita pada ‘rahasia ilahi’. Hal ini terjadi di mana-mana, sehingga munculah tuhan yang berbeda-beda. Dan, kita pun berperang karenanya. Karena perbedaan tersebut. Pada akhirnya, kita merasa perlu berpolitik. Memutuskan pada siapa kita akan bersekutu dan pada siapa kita beroposisi.

Perjalanan panjang kita melalui riset, studi, dan filsafat pada ilmu pengetahuan dan sains untuk mengungkapkan jawaban atas semua fenomena-fenomena itu tidak memberikan hasil yang memuaskan. Ujungnya hanya menciptakan lebih banyak lagi hantu-hantu dan lebih banyak lagi berhala-berhala untuk disembah. Terlebih lagi, semakin peradaban kita ini maju, semakin rusaklah dunia hidup. Belum lagi keberadaan kita sebagai manusia di sini dengan manusia yang lain, bukannya menjadi individu yang menumbuhkan, tapi saling meracuni satu sama lain, saling menyemprotkan herbisida keyakinan satu sama lain. Perang semua melawan semua, dengan sentimen bahwa semua orang merasa menjadi yang tertindas. Sebuah kutukan sindrom martir atau martyr complex yang menimpa secara massal.

Perjalanan peradaban, tanpa perlu kita kuak panjang lebar di sini, kalau kita semua mau merenunginya masing-masing, jawabannya sudah jelas. Tanpa perlu dibantah, peradaban telah membuktikan sendiri dirinya bahwa ia gagal.

Peradaban sudah tidak bisa lagi dijadikan sebagai limbah untuk didaur-ulang, ia harus dihancurkan! Destruksi kita pada peradaban, salah satunya dapat dilakukan dengan desersi. Destruksi kita adalah destruksi kreatif, bukan penghancuran yang membabi-buta sehingga tak ada lagi ruang yang tersisa untuk hidup. Inilah yang membedakan kita dengan barbarisme. ‘Ketiadaan peradaban berimplikasi pada barbarisme’, itulah yang diungkapkan oleh mereka orang-orang yang membenci wacana anti-peradaban. Justru ungkapan merekalah yang barbar, para aparatus peradaban!

Tanpa peradaban, berarti kita kembali ke kehidupan kita yang paling otentik. Kehidupan yang unik tanpa terikat dogma apapun. Menjalani hari dengan aktivitas yang autarkis. Menjalin hubungan yang hangat dan intim dengan semua individu, tak hanya manusia, tetapi mencakup juga individu flora, individu fauna, dan mineral yang hidup. Persatuan semua individu inilah yang disebut Langer sebagai peratuan egois. Hasil dari semua ini, desersi dan autarki, adalah apa yang kita sebut sebagai reinhabitasi.

Maka dari itu, yang kita inginkan di sini bukanlah reformasi, revolusi, ataupun insureksi. Yang kita inginkan adalah berakhirnya peradaban. End civ! Dan ini tidak terjadi dengan pemberontakan semalam, melainkan terjadi secara bertahap dan inkremental. Pemberontakan kita adalah harian, setiap menit, atau bahkan detik. Di sini saya tidak akan menciptakan panduan manual ataupun menyusun manifesto. Tentukan sendiri jalan pemberontakanmu.

Tak ada yang sakral, tak ada yang suci, tak ada yang dapat melebihi di atas itu semua kecuali dirimu sendiri.

Bandung, Juli 2021

Penerjemah,

Alvin Born to Burn

Backwoods

Backwoods[1] adalah undangan untuk mereka yang mampu mendengar, mereka yang tahu bahwa ada sesuatu yang salah dan sakit tentang cara kita hidup, dan undangan untuk mereka yang mencari persahabatan dalam menghadapi krisis kita dengan sungguh-sungguh. Krisis ini bukanlah salah satu isu yang ada di permukaan, sesuatu yang dapat diperbaiki dengan niat baik reformasi sosial atau dengan otak-atik rasional melalui organisasi ekonomi – melainkan krisis ini adalah isu yang terletak di jantung (inti) dari cara hidup kita: nilai-nilai kita, hubungan kita, dan cara kita dari melihat dunia. Kita hidup melalui kekacauan besar, kultur immiserasi[2] dan ekosidal Leviathan, di mana mayoritas orang dirasuki oleh etika konsumeris dan budak penurut, sebuah keterasingan yang mendalam dari dunia non-manusia, dan sebuah kebingungan yang mendalam yang dibangun di atas kebohongan kultural.

Bagian ini merupakan pengantar teori untuk memotivasi Backwoods. Karena teori (theory) adalah thea yang berarti “a view,” dan horan yang berarti “to see” (Online Etymology Dictionary), sehingga di sini kita berbicara tentang whole way of seeing (keseluruhan cara melihat), sebuah pemahaman tentang dunia dan bagaimana cara untuk bertindak di dalamnya dengan penuh makna. Bagian ini disajikan sebagai antidot untuk ideologi republikanisme neoliberal yang berkuasa, bagian ini bertujuan untuk menggali akar krisis kita –dengan begitu— untuk memahami bagaimana caranya hidup sebanyak mungkin di luar krisisnya dan bagaimana melawan krisis tersebut. Etos kita akan dijelaskan lebih lanjut dalam bagian ini dan secara kontinu dikembangkan di seluruh jurnal ini, namun ringkasnya adalah sebagai berikut:

I. Kita mendakwa Peradaban Leviathan sebagai cara hidup yang benar-benar gila yang didasarkan pada penciptaan Negara untuk memaksakan perbudakan pada banyak orang, sehingga beberapa parasit dapat memperoleh kekayaan dan pengaruh yang tidak masuk akal. Hubungan sosial seperti itu beracun bagi semua orang yang terlibat, hubungan yang didasarkan pada venalitas[3] dan koersi (paksaan), fetisisme komoditas yang konyol, dan kematian komunitas manusia yang sesungguhnya melalui dominasi dan atomisasi.

II. Kita mencela mode subsistensi (penghidupan) yang memakan-dunia (world-eating) yang dikenal sebagai agrikultur, bersama penipisan ekosistem dan penggantiannya dengan domestikasi oleh manusia, sebagai kesalahan manusia (human error) yang fundamental, salah satu penyebab kepunahan massal generatif, kelelahan tanah (soil exhaustion[4]), perang, dan over-populasi.

III. Kita menolak logika tekno-industrial yang memperlakukan permadani indah dari dunia hidup (living world) hanya sebagai gandum untuk pabrik penggilingan, sebagai "sumber daya" yang tidak hidup untuk "dikembangkan" – yaitu, untuk dijarah dan diaspal tanpa henti, dimusnahkan dari kehidupan, dan digantikan oleh tempat parkir, peternakan, tempat pembuangan sampah, situs ekstraksi (extraction sites[5]), dan kompleks apartemen dan perkantoran kita yang menyerupai kandang baterai.

IV. Kita menolak ketidakbermaknaan modernitas yang telah menghasilkan orang-orang yang mungkin paling terhina, terdislokasi, terdesak, terganggu, kesepian, tidak sehat, dan tidak dicintai yang pernah hidup.

V. Kita memperjuangkan anarki: kebebasan yang berasal dari kepemilikan-diri (self-ownership) secara sadar dan hubungan sukarela yang saling menguntungkan dengan jenis manusia dan non-manusia dalam komunitas kecil, autarkis[6], dan langsung (tatap-muka) yang didasarkan pada hubungan regeneratif dengan tanah.

VI. Kita menyerukan penerapan pengetahuan yang diperoleh baik dari kearifan tradisional maupun dari ekologi modern untuk mengejar mode penghidupan yang harmoni dengan dunia yang menopang kita: mencari makan (foraging), berburu, memancing, dan berkebun di hutan (forest gardening).

VII. Kita mendukung Neo-Luddisme yang terdiri dari menghindari teknologi beracun (toxic) dan memabukkan (stupefying[7]), mempelajari rangkaian keterampilan yang menyeluruh untuk melengkapi hidup, dan menjelajahi serta menghidupkan kembali pengetahuan, keterampilan, dan bentuk penyembuhan tradisional.

VIII. Kita merangkul kelincahan cara hidup yang sangat harmonis secara ekologis dan merangkul rasa akan tempat (sense of place[8]), rasa akan kehadiran (sense of presence[9]), dan rasa akan pemenuhan (sense of fulfillment[10]) yang berasal dari memelihara dan dipelihara oleh dunia yang hidup dan menyelimuti yang penuh dengan kesadaran dan hak pilihan (agency[11]).

Untuk mulai mengkomunikasikan filosofi kita kepada mereka yang dapat mendengar undangan Backwoods, undangan untuk desersi dari isi perut Leviathan ini akan terdiri dari: 1) pemeriksaan singkat tentang krisis kita, yang terjadi pada tingkat hubungan sosial manusia, hubungan ekologis yang lebih luas, dan di dalam pikiran individu; 2) pengakuan yang jujur ​​atas fakta bahwa realitas politik negara-bangsa modern hanya akan melanggengkan krisis, bukan memperbaikinya; 3) analisis singkat tentang ideologi politik alternatif Kiri dan Kanan, dan mengungkapkan bahwa ideologi tersebut juga tidak mampu mengatasi inti dari masalah yang menimpa kita; 4) melihat anarkisme, kecenderungan politik paling radikal, dan bagaimana anarkisme (bahkan sebagian besar bentuk-bentuknya) gagal mencapai tujuan kita; 5) pengantar teori anarki anti-peradaban yang menjadi dasar Backwoods; dan akhirnya 6) pandangan sekilas tentang implikasi praksis perspektif kita: desersi, autarki, dan reinhabitasi.

Krisis Peradaban Modern

Sebagian besar manusia yang hidup di Bumi saat ini memiliki kendali yang sangat kecil atas kebohongan dan dunia bersama mereka. Cara kita makan, mencari tempat berteduh, dan mencari nafkah; sebagian besar sudah ditentukan untuk kita, sangat ditentukan oleh norma-norma sosial yang ada yang kecil kesempatan kita untuk mempengaruhinya; norma-norma yang memberikan kita ruang yang sangat kecil untuk bermanuver dalam pengambilan keputusan tentang bagaimana kita ingin hidup dan apa nilai-nilai yang ingin kita kejar. Sebagian besar dari kita makan makanan dari toko kelontong atau restoran, tumbuh di tempat yang tak ramah yang tidak akan pernah kita lihat di bawah kondisi yang tidak diketahui dan tidak dapat dikendalikan. Kita menyewa atau mengambil kredit-cicilan untuk menemukan rumah yang tidak kita bangun dengan tetangga yang tidak kita inginkan; dan kita juga harus langsung bekerja dan terus menerus bekerja hanya untuk membayar tagihan tersebut. Setelah pergi dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mengemis kesempatan untuk menjual waktu kita, menggembar-gemborkan nilai kita dengan selembar kertas yang merangkum seberapa patuh dan seberapa produktif kita, kita dibayar dengan menyerahkan apa yang diproduksi dengan kerja kita, kita dibayar dengan bagaimana kinerja kerja kita, dan apa yang dilakukan dengan produk setelahnya.

Siklus kehidupan tampaknya menghadapkan kita seperti ras yang kabur dan tergesa-gesa. Sejak masa kanak-kanak, kebanyakan dari kita diindoktrinasi di sekolah wajib yang dikelola oleh pemerintah atau perusahaan di mana kita diajarkan sejarah yang salah dan menyesatkan; dilatih untuk patuh pada waktu linier yang terukur, dan dibiasakan untuk bersaing dengan rekan kita dalam kinerja tugas yang dikeluarkan oleh otoritas. Pada masa remaja, melalui sekolah, kita diindoktrinasi dengan sosialisasi, dan propaganda; kebanyakan dari kita mengadopsi ideologi agama, sekuler, dan/atau politik yang dengannya kita dibombardir, yang membuat realitas kita tampak diinginkan, pantas, atau setidaknya tak terhindarkan. Selain perebutan untuk menjual tenaga yang disebutkan di atas, apa yang disebut ‘sukses di masa dewasa’ bagi banyak orang adalah berlomba-lomba menukar teror kesendirian dengan isolasi keluarga inti; unit reproduksi yang memungkinkan siklus kehidupan ini terus berulang. Usia lanjut pun melengkapi penghinaan ini, karena ketidakmampuan atau ketidakinginan seseorang untuk terus bekerja seringkali berarti: ‘meningkatkan ketidakrelevanan sosial dan impotensi’ yang biasanya cenderung berakhir dengan: seperti tak valid oleh orang asing yang diberi upah.

Apa yang biasa disebut dengan ‘kebebasan kita’, hanya terdiri dari bentuk-bentuk kebebasan yang paling sepele dan tidak berguna: kebebasan untuk memilih beberapa penguasa di antara kandidat politik yang telah ditentukan sebelumnya dan tak jauh berbeda; kebebasan untuk memilih di antara komoditas yang meneriaki kita dengan label dan iklannya; kebebasan untuk melarikan diri dari kehadiran dalam kehidupan sendiri melalui kumpulan besar pornografi, serial televisi, film, dan — yang paling baru, yang berada di pos terdepan dari inovasi yang bodoh — realitas virtual dan robot seks.

Sebagai budak modern – Atas apa yang kita lakukan, seperti yang akan kita lihat, benar-benar layak mendapatkan gelar yang mungkin menghasut itu – kita berjuang untuk menegaskan beberapa sense of agency dalam hidup kita sendiri, seluruh dunia menelan kita sebagai krisis yang luas dan beraneka ragam, hampir tak terduga. Krisis kita beraneka ragam, jaringan subkrisis yang saling terkait dan saling memperkuat — ekologis, sosial, ekonomis, psikis, filosofis — yang tidak hanya merusak kehidupan kita dan meracuni tubuh kita, tetapi, pada tahap akhir ini, sekarang mengancam integritas seluruh biosfer, asosiasi kompleks organisme dan habitatnya yang meliputi Bumi: memberinya kekayaan kehidupan dalam kesatuan dan keragaman simultan yang indah.

Krisis ekologi kita adalah salah satu percepatan biosida[12] yang hampir menentang imajinasi. Karena budaya teknopatologis pertanian, urbanitas, dan industrialisme kita, spesies akan punah dengan kecepatan seribu kali lebih cepat dari yang [tingkat kepunahan normal (normal extinction rate)], atau yang disebut juga dengan background extinction rate (De Vos et al.). Bisa ditebak, hanya kepunahan massal besar dalam sejarah Bumi yang bisa dibandingkan dengan kecepatan kematian ini, dan tanda-tanda keparahannya mengelilingi kita. Tanah menjadi tidak bernyawa (Moss dan Scheer) dan terbawa ke laut (World Economic Forum), ketika mereka tidak dikubur di bawah trotoar (Brown). Lautan menjadi asam (NOAA), tanpa karang (Eyre et al.), dan kosong dari ikan (Tanzer, et al.). Udara menjadi semakin karsinogenik[13] (WHO) dan mematikan serangga (Hallmann et al.). Para klimatologis (ahli iklim) yang lebih pesimistik saat ini menyarankan bahwa, kita mungkin sangat dekat atau melewati titik awal dari pusaran umpan balik positif (positive feedback loop[14]) yang, sekali dipicu, akan menyebabkan kenaikan suhu yang dramatis dalam beberapa dekade mendatang (Hall), dan bahkan tujuan minimal dari yang lebih optimistic pun tidak terpenuhi (Shibli).

Sebagaimana di luar, demikian pula di dalam, jiwa manusia pasti runtuh sepasti biosfer yang dengannya ia dipelihara. Depresi, "gangguan psikologis nomor satu di dunia barat," begitu melimpah ruah, menimpa lebih dari 17% orang Amerika. Sejak dimulainya konsumerisme, tak tanggung-tanggung, pada pertengahan abad ke-20, diperkirakan ada sepuluh kali lebih banyak orang yang menderita depresi, dengan insiden lebih dari dua kali lipat dalam dua puluh tahun terakhir (Pietrangelo, Elliott dan Tyrrell), membuat beberapa psikolog dengan terus terang mengakui depresi sebagai "penyakit modernitas" klasik, karena "manusia telah menyeret tubuh dengan sejarah hominid[15] yang panjang ke dalam lingkungan yang terlalu banyak makan, kurang gizi, tidak aktif, kurang sinar matahari, kurang tidur, kompetitif, tidak adil, dan lingkungan yang terisolasi secara sosial dengan konsekuensi yang mengerikan.” (Hidaka). Kurang dari satu dalam lima penderita depresi bahkan mencari bantuan atau mengakui kondisi – kesengsaraan mereka, mungkin, dipandang sebagai norma seperti yang kita harapkan semakin sedikit dari kehidupan (Real).

Bunuh diri, akhir bencana depresi, adalah penyebab kematian tertinggi kedelapan dan juga meningkat — di antara orang-orang paruh baya, angkanya naik tiga puluh persen dari tahun 1999 sampai 2010 (Elliott dan Tyrrell). Tidak diragukan lagi, salah satu simbol paling tepat di zaman kita adalah keberadaan jaring di bawah jembatan dan jendela yang tidak dapat dibuka di gedung-gedung perkantoran dan hotel yang tinggi: para ahli perencana sosial mengantisipasi pekerja atau pelanggan yang sakit hati dan putus asa pada suatu malam yang sepi untuk akhirnya mengakhiri eksistensi mereka, dan mereka bahkan mengingkari hal-hal kebebasan itu.

Sementara itu, empati, yang pada dasarnya merupakan kapasitas manusia untuk merasakan apa yang orang lain rasakan, telah menurun dengan cepat dalam beberapa dekade terakhir; sementara narsisisme, pertahanan diri yang tertutup oleh persona palsu (Vaknin), telah meningkat selama periode yang sama. Pemutihan psikis ini diatribusikan oleh para peneliti untuk perubahan sosial yang meluas: peningkatan minat guna memperoleh kekayaan, penurunan frekuensi membaca, peningkatan isolasi sosial, pertemanan yang lebih sedikit, dan, tentu saja, penggunaan gadget teknologi yang sangat meningkat (Konrath et al, Kristol, Zaki).

Politik “The End of History

Bagi mereka yang menganggap serius krisis kita bersama, politik status quo tidak dapat menawarkan solusi yang benar. Lebih dari itu, eksistensi politik (sebagai aktivitas khusus yang terpisah dari kehidupan), eksistensi politik itu sendiri pun merupakan manifestasi dari krisis: politik adalah pelepasan (yang dikehendaki) banyak orang dari tanggung jawab atas kehidupan mereka sendiri dan dunia bersama; politik adalah teologi sekuler modern (Schmitt), di mana seseorang memohon pembebasan oleh makhluk yang luas dan tak terlihat yang dikenal sebagai Negara melalui doa pemungutan suara; dan politik itu, tentu saja, adalah salah satu wilayah kelas parasit yang kita sebut sebagai politisi: seorang penjaga profesional dari tatanan sosial yang disfungsional.

Ideologi dominan dari kelas politik modern mengalir dari deklarasi millenarian (yang menggelikan) seorang ilmuwan politik terkenal Francis Fukuyama pada tahun 1989 bahwa, kita telah mencapai “akhir dari sejarah seperti: titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia dan universalisasi demokrasi liberal Barat sebagai bentuk akhir dari pemerintahan manusia” (Fukuyama). Keturunan intelektual Fukuyama, kaum neokonservatif dan neoliberal yang sekarang mendominasi kedua partai politik terbesar Amerika Serikat, mengucapkan selamat kepada diri mereka sendiri karena telah memerintah masyarakat yang kebajikan tertingginya adalah: memperoleh kekayaan dengan menjarah dunia hidup dan mendaki ke puncak hierarki budak perusahaan dalam ritual, perang damai dari semua melawan semua yang kita perhalus sebagai "pasar bebas". Elit ideologi ini, dengan berbagai cara, sangat yakin akan kehebatan jalan hidup mereka, atau terlalu mementingkan diri mereka sendiri sehingga mereka secara paksa menyebarkan Injil “kebebasan dan demokrasi” ke tanah asing melalui perang untuk “perubahan rezim.”

Bahkan di antara orang-orang yang percaya pada otoritas politik yang sah – yaitu, mereka yang percaya bahwa: adalah hal yang pantas dan diinginkan untuk memiliki penguasa selama penguasa itu baik dan adil – korupsi politik yang merajalela adalah rahasia umum, fakta yang diakui oleh setiap orang dalam percakapan sehari-hari. Kebiasaan kuno korupsi, penjajakan pengaruh, penggelapan, dan bentuk-bentuk korupsi lainnya tidak hanya hidup, tetapi juga berkembang – hal-hal seperti itu adalah fitur abadi dan inheren dari republik demokratis, yang hanya memilih demagog yang ambisius dan jahat yang terlibat dalam praktik ini daripada, seperti yang sering dibayangkan, mencegah kenaikan mereka. Di era kita sekarang, tipisnya legitimasi politik telah mencapai titik di mana politisi secara rutin berpidato mencemooh proses politik [korupsi] itu sendiri dan secara terbuka menyebut orang lain sebagai ‘karier(is) politik yang dibeli dan dibayar’. Dalam hal ini, ketika sering dikeluhkan oleh komentator politik bahwa, hanya sekitar setengah dari penduduk AS yang berhak untuk vote memilih untuk melakukannya (melakukan voting); kita mungkin bertanya, ‘mengapa begitu banyak orang masih percaya bahwa kita dapat diselamatkan dengan menempatkan orang yang tepat ke dalam jabatan.’

Memang, kekosongan total dari proses politik terbentang dari pemeriksaan sepintas dari beberapa dekade terakhir pemilihan presiden dan kongres AS, di mana dua partai dominan telah berulang kali bertukar kekuasaan, tetapi tidak ada yang dilakukan untuk mencegah implementasi bentuk-bentuk otoritarianisme telanjang yang lebih baru: pembunuhan dengan pesawat tak berawak melalui dekrit presiden, penganiayaan agresif terhadap jurnalis dan pelapor pelanggaran, penahanan tanpa pengadilan dan penyiksaan terhadap yang dirasa musuh, pengawasan penduduk yang hampir ada di mana-mana, normalisasi "zona kebebasan berbicara (free speech zone)" di luar dari protes yang tidak diperbolehkan, dan legalisasi ulang penggunaan militer untuk menegakkan hukum domestik (Abu El-Haj, Mian, Risen, Sterne, Wolf). Pada tahun 1918, sejarawan dan filsuf Oswald Spengler meramalkan bahwa: sekitar tahun 2000, negara Barat yang paling kuat, dalam upaya untuk melawan penurunan dan destabilisasi, akan menjadi Caesarisme baru — kita menyaksikan ramalannya benar terjadi (Spengler).

Kegagalan Ideologi-Ideologi Politik Alternatif

Karena kehancuran di sekitar manusia mencerminkan kehancuran dalam individu di tengah kebangkitan tekno-otoritarianisme baru ini, alternatif-alternatif politik untuk status quo baik di Kiri maupun di Kanan, dengan demikian, menjadi semakin mengerikan. Dengan pandangan jauh ke depan yang luar biasa pada pertengahan abad ke-19, filsuf Friedrich Nietzsche meramalkan bahwa: ‘nihilisme yang dibawa oleh disintegrasi Kekristenan yang lama dan lambat akan menyebabkan orang-orang Barat rela melarikan diri ke dalam penjara rezim politik totalitarian untuk memeluk teologi sekuler baru sebagai salep untuk malaise[16] eksistensial mereka – kengerian Komunisme dan Fasisme di abad ke-20 melahirkan prediksinya secara mendalam’ (Nietzsche). Sekarang, bagaimanapun, generasi muda yang aktif secara politik, dengan semangat amnesia, berniat mengulangi eksperimen yang gagal ini dalam kesempurnaan manusia melalui otoritas Negara.

Sebagian besar kaum Kiri, dari varian yang reformis hingga yang lebih revolusioner, sekarang menganut apa yang disebut sebagai ideologi keadilan sosial, praktik anti-penindasan, atau, biasanya dengan meremehkan, politik identitas, di mana krisis kita terutamanya dipahami dalam istilah diad penindas/tertindas yang dilembagakan: Kulit-Putih/Kulit-Berwarna, Pemukim/Pribumi, Laki-laki/Perempuan, Straight/LGBTQ, Berbadan Sehat/Difabel, dan sebagainya. Melalui pemahaman tentang penindasan ini – perpaduan antara Maoisme dan pasca-modernisme yang divulgarkan, yang sering kali tidak disadari oleh para penganutnya – anggota dari ‘separuh penindas’ dari dualisme itu (secara objektif dan mungkin tak terelakkan) bahwa mereka adalah pendominasi: tidak hanya tindakan mereka saja, tetapi cara berpikir mereka juga cenderung mereproduksi penindasan ini, bahkan jika individu yang bersangkutan secara sadar menolak dan menentang sistem hierarki yang dilembagakan secara keseluruhan. Sebaliknya, anggota dari ‘separuh tertindas’ dari dualisme itu tidak hanya dianggap sebagai korban yang tidak bersalah tetapi juga dianggap sebagai tokoh-tokoh revolusioner yang secara objektif ditempatkan dengan baik untuk menjadi pemimpin resistensi: status mereka sebagai ‘yang tertindas’ tidak hanya memberi mereka pengetahuan khusus tentang sistem secara keseluruhan, tetapi juga berarti bahwa hampir semua tindakan yang mereka ambil terhadap ‘penindas’ adalah sesuatu yang dibenarkan dan membebaskan.

Analisis dualistik ini, meski tentu saja mendapatkan sesuatu yang asli, tetapi juga mengabaikan atau meremehkan fakta bahwa ‘pengalaman hierarki yang sebenarnya hidup adalah kontekstual dan dialektis,’ tidak hanya universal dan langsung dari atas ke bawah: parasit bukanlah tuan dari tuan rumah, tetapi terlibat dalam kodependensi[17] yang kompleks dan bernuansa dengan itu yang tentu saja mencakup beberapa tingkat submisi (ketundukan) dan akomodasi oleh tuan rumah, dan beberapa tingkat kelemahan dan insentifisasi oleh parasit.[18]

Kesalahan yang lebih buruk dan lebih jelas dari ideologi keadilan sosial adalah kebingungannya bahwa: dalam realitas kita sekarang, sebagian besar dari apa yang disebut penindas sendiri adalah subjek yang direbut dan diperbudak. Laki-laki Amerika keturunan Eropa, yang dibayangkan sebagai "pemilik hak istimewa" yang luar biasa di dunia ini yang seharusnya [hak istimewa itu] dibuat untuknya (laki-laki Amerika keturunan Eropa), kemungkinan besar adalah keturunan orang-orang yang menjadi budak, yang direbut dari tanah tempat mereka memperoleh penghidupan, dan/atau yang diperbudak di pabrik-pabrik. Dia sendiri lahir ke dunia di mana semua yang dia butuhkan untuk bertahan hidup dimiliki, secara fisik dan material dilarang darinya. Dia bukan tuan, tetapi hanya budak dengan hak istimewa yang berbeda — dan setiap masyarakat budak yang luas bergantung pada integritasnya pada tingkatan hak istimewa yang membagi budak satu dengan budak yang lain. Para penganut ideologi keadilan sosial, dengan demikian, telah menginternalisasi langkah penguasa mereka dengan menyalahkan krisis kita terutama pada sesama budak mereka.

Otoritarianisme yang merayap dari kecenderungan politik yang ‘seolah-olah membebaskan’ ini semakin menampakkan dirinya dalam berbagai cara yang, meski tentu saja tidak universal, tetap umum dan didukung atau ditoleransi secara luas oleh kaum Kiri: pemahaman vulgar tentang pasca-strukturalisme yang menolak penggunaan pragmatis penyelidikan empiris sebagai sesuatu yang pasti menjadi bagian tak terpisahkan dari aparatus Barat yang menindas setiap kali kesimpulannya bertentangan dengan ideologi Kiri;[19] kesediaan Marcusean untuk secara legal atau ekstralegal menekan ucapan individu atau kelompok yang dikecam sebagai penindas objektif dengan menyamakan pidato dengan kekerasan, dan penindasan terhadap pidato seperti itu sebagai tindakan defensif yang secara sah kontra-kekerasan (Marcuse); dan sering menyerukan perampasan massal, subordinasi, dan hukuman kelompok penindas.[20] Peningkatan otoriter ini, dengan tepat, sepenuhnya konsisten dengan sejarah rezim komunis otoriter.

Beberapa tahun terakhir telah terlihat kebangkitan yang tiba-tiba dalam gerakan sayap kanan kontra-kultural yang secara kasar diorganisir di sekitar label Alt-Right (Kanan-Alternatif), sebuah campuran Nasionalis Putih atau "Identitarian," Neo-Reaksioner, ahli teori konspirasi, dan yang mengidentifikasi diri sebagai Neo-Nazi. Ideolog Alt-Right hadir, dan mungkin dengan tulus memandang, diri mereka sebagai benar-benar kontra-kultural atau bahkan revolusioner, karena mereka menolak kebangkitan "Marxisme kultural,"[21] penindasan dari kebebasan berbicara,[22] dan, yang paling penting, kematian budaya Eropa dan "genosida kulit putih" melalui imigrasi massal ke Eropa dan Amerika Serikat, ditambah lagi dengan tingkat kelahiran yang rendah saat ini dari orang-orang keturunan Eropa. Dengan sering kali mesianis, retorika mitis, mereka membayangkan kemenangan mereka sebagai semacam renaisans kedua Eropa yang dicapai melalui penciptaan tanah air Eropa, "negara etnis kulit putih," di mana akan ada perkembangan budaya artistik, ilmu pengetahuan, dan kehidupan moral dan spiritual.

Beberapa kritik sosial terhadap Kanan-Alternatif — kritik mereka terhadap penyensoran, perang AS yang tak berkesudahan di bawah kompleks industri militer, dan kematian makna di bawah konsumerisme — ditempatkan dengan baik, meskipun tidak lengkap atau tidak secara memuaskan ditangani oleh solusi yang mereka usulkan dari separatisme rasial. Tidak ada yang secara inheren membebaskan tentang nasionalisme rasial, terlepas dari pengaruhnya dalam bentuk Eropa dalam politik Kanan saat ini dan dalam hampir semua bentuk non-Eropa dalam politik Kiri, dulu dan sekarang.[23] Masyarakat yang homogen secara rasial; secara historis, saat ini, dan tidak diragukan lagi akan terus melibatkan semua kengerian peradaban yang disebutkan sejauh ini, termasuk perbudakan. Memang, sosiolog dan sejarawan perbudakan Orlando Patterson, dalam surveinya terhadap 66 masyarakat budak, sampai pada kesimpulan yang mungkin mengejutkan bahwa, ‘kesamaan atau perbedaan rasial tidak berpengaruh pada seberapa baik budak diperlakukan secara materi atau seberapa besar penghinaan yang dilakukan tuan mereka kepada mereka’ (Patterson). Nasionalisme hanya mengaburkan realitas ini dengan menciptakan persatuan palsu, solidaritas otomatis yang dibayangkan antara parasit dan inang — nasionalisme adalah pengganti ilusi dari yang nyata, komunitas intim dari yang kecil, masyarakat band (band society[24]) komunitas langsung (tatap muka) tempat kita berkembang.

Kadang-kadang, tokoh-tokoh Kanan-Alternatif merangkul bentuk otoritarianisme pesimistik eksentrik yang disajikan sebagai semacam realisme amoral dan brutal, seperti ketika Richard Spencer, dalam wacana yang sama, mengamati bahwa, ‘Negara pada dasarnya adalah institusi kekerasan terorganisir, bahwa semua masyarakat Negara memiliki aristokrasi (apakah mereka mengakuinya atau tidak), dan bahwa semua Negara sangat melanggar otonomi individu’ – namun pada saat yang sama ia menegaskan bahwa, ‘Negara adalah sesuatu tidak dapat dihindari dan bahwa ia ingin membuat yang baru, bahkan jika itu memerlukan kekerasan’ (Warski). Analisis pseudo-radikal ini menyelidiki cukup dalam sifat otoritas, namun pada saat terakhir menarik kembali untuk menebusnya sebagai hal yang tak terhindarkan dan diinginkan.[25] Memang, visi Spencer untuk membangun masyarakat yang diinginkan melalui "negara-etnis" adalah licik atau naif, karena — bahkan jika seseorang, karena Nasionalisme Kulit Putih yang ekstrem, acuh tak acuh terhadap teror dan kesengsaraan yang tidak diragukan lagi disebabkan oleh pembersihan etnis di seluruh atau sebagian Amerika Serikat — aparat birokrasi-polisi yang diperlukan untuk mencapainya pasti akan mengembangkan kelembamannya sendiri dan menjadi institusi tirani yang berkelanjutan atas populasi tuan rumah Eropa-Amerika. Kaum Kanan-Alternatif dengan demikian ironisnya sejajar dengan komunis vulgar yang membayangkan – melawan bukti dan intuisi – bahwa: kediktatoran proletariat, setelah merebut Negara dan menggunakan kekuatan otoriternya untuk mengamankan transisi ke komunisme, pada akhirnya akan memungkinkan terjadinya pelenyapan Negara untuk menciptakan masyarakat tanpa negara. Ironi paralel ini menghilang dengan kejelasan, bahwa baik politik Kiri dan politik Kanan, dari perspektif anarkis, selalu memiliki lebih banyak kesamaan daripada perbedaan: keduanya memiliki tujuan Statecraft (ketatanegaraan) — yaitu, otoritas segelintir orang dan perbudakan banyak orang.

Pembebasan Palsu dari Anarkisme Minimalis

Bagaimana dengan anarkisme, filosofi politik kebebasan manusia yang paling ekstrem? Anarkisme layak mendapat pujian dan pertimbangan besar atas pengakuan pembebasannya bahwa, ‘kebebasan individual dan kebebasan komunitas (atau kebebasan positif dan negatif) tidak selalu dan secara inheren saling bertentangan; mereka dapat, dalam pengaturan tertentu, sebaliknya justru saling meningkatkan.’ Untuk alasan ini, kita menempatkan proyek kita dengan kuat di dalam tradisi anarkis, meskipun mungkin heterodoks. Sayangnya, bagaimanapun, sebagian besar kecenderungan anarkis tetap terjebak dalam pseudoliberasi yang menyesatkan.

Konsep revolusi sosial telah bersama anarkisme sejak hari-hari paling awal, yang diperjuangkan oleh tokoh-tokoh pendiri seperti Pyotr Kropotkin, Mikhail Bakunin, Emma Goldman, dan Alexander Berkman. Atas dasar etika bahwa, ‘tatanan saat ini didasarkan pada kekerasan yang hampir konstan’ — betapapun dimediasi, diritualisasikan, dan ditenangkan melalui hukum, pertukaran ekonomi, dan norma-norma sosial — banyak anarkis revolusioner telah dan melakukan advokasi untuk attentat, tindakan kekuatan simbolis kekerasan, seperti destruksi properti atau asasinasi individu yang dianggap sebagai kunci tatanan pemerintahan. Melalui “propaganda perbuatan (propaganda of the deed)” ini, kaum anarkis bermaksud untuk menunjukkan bahwa: status quo tidak terkalahkan dan tak terelakkan; untuk menunjukkan kepada semua orang bahwa: sentimen pemberontakan laten mereka dibenarkan dan dibagikan oleh orang lain; dan untuk mempromosikan dan menggeneralisasi perilaku pemberontak.[26]

Tetapi melihat (dengan sadar) sejarah revolusi tidak mengungkapkan ekspansi kebebasan yang besar, melainkan hanya revolusi dalam mode otoritas. Revolusi Amerika menukar satu aristokrasi dengan aristokrasi lainnya, akhirnya menghasilkan apa yang bisa dibilang sebagai kerajaan paling teroristik yang pernah dikenal dunia. Revolusi Haiti, yang secara literal adalah kebangkitan budak barang (chattel slave[27]) melawan tuannya, dengan cepat memimpin dari keberhasilan revolusinya menuju ke kembalinya sistem perkebunan yang telah mereka berontak sejak awal. Revolusi Rusia dan Cina menukar otoritas rezim kuno (ancien regime) dengan tirani birokrasi, pengawasan, dan teror polisi.

Dalam upaya untuk menjauhkan diri dari sejarah yang mengerikan ini, banyak anarkis modern menyukai apa yang mereka sebut sebagai insureksi, sebuah mode revolusi tanpa pemimpin yang sepenuhnya terdesentralisasi berdasarkan attentat dan propaganda. Dengan menghindari pembentukan partai formal atau garda depan dalam bentuk apapun, logikanya, tidak akan ada otoritas untuk menggantikan apa yang dihancurkan. Runtuhnya tatanan sosial justru akan membuka pintu bagi anarki: kehidupan manusia yang bebas tanpa otoritas.

Akan tetapi, insureksionisme diliputi oleh pemikiran magis dan optimisme yang paling beracun tentang manusia. Untuk mencapai praksis anarkis insureksi, harus ada semacam titik kritis di mana pemberontakan minoritas anarkis menjadi umum, diambil oleh sejumlah besar orang — mungkin hanya sebagian kecil dari populasi, tetapi hal ini tetap akan melibatkan sejumlah besar orang yang saat ini bukan anarkis atau radikal politik dalam bentuk apapun, hanya orang-orang yang di dalamnya, hal ini dibayangkan, beberapa naluri radikal yang tersembunyi dan kurang berteori eksis, menunggu untuk disadap oleh aksi simbolis yang aktif, realisasi-diri anarkis insureksioner.

Sementara banyak orang, tidak diragukan lagi, kurang lebih tidak puas dengan sejumlah aspek status quo, itu adalah lompatan yang luar biasa dan tidak berdasar untuk membayangkan bahwa: karena itu, mereka adalah anarkis laten, hanya menunggu untuk disadap oleh beberapa propaganda yang dilakukan dengan sempurna. Sebaliknya, sebagian besar menderita apa yang disebut Jason McQuinn sebagai "Sindrom Budak" – ekstrapolasi dari gagasan Sindrom Stockholm – di mana mereka sangat dikondisikan untuk mengidentifikasi dan bertindak dalam peran sosial mereka, yang dibentuk hanya memiliki beberapa keterampilan yang diperlukan untuk bertahan hidup melalui pekerjaan mereka, dan sangat mungkin tidak siap dan takut dengan gagasan untuk merekonstruksi secara radikal setiap aspek masyarakat (McQuinn).

Bagi kebanyakan orang, ketidakpuasan mereka dengan status quo terdiri dari: menginginkan lebih banyak komoditas, lebih banyak waktu luang, pekerjaan yang lebih bergengsi dan tidak terlalu berat, prospek yang lebih baik di masyarakat untuk keturunan mereka, dan seterusnya — ini bukanlah orang-orang yang memimpikan transformasi mendalam dari budaya yang dominan. Paling-paling, kita dapat mengatakan bahwa, ‘sejumlah besar orang menginginkan masyarakat yang – dalam beberapa cara yang samar-samar dan kurang berteori – lebih adil atau adil, yang mungkin diterjemahkan ke dalam: disparitas kekayaan yang lebih rendah dan perluasan negara kesejahteraan.’ Tetapi berapa banyak orang yang benar-benar ingin melepaskan mobil, AC, Netflix, pornografi, dan obat-obatan modern? Jika mereka tidak mau, apakah kader-kader pemberontak akan memaksakan perubahan seperti itu – atau justru mereka percaya bahwa: mereka dapat menciptakan kembali masyarakat dengan teknologi tinggi dan komoditas mewah yang – entah bagaimana – non-otoriter dan non-ekosidal?

Lebih jauh lagi, budaya simbolik masyarakat — agama, mitos, adat istiadat, gagasan sukses, peristiwa siklus hidup, dan sebagainya — memberi sebagian besar orang perisai makna artifisial yang sangat dibutuhkan, melindungi mereka dari ketakutan eksistensial dan teror kematian — hal-hal tersebut dengan demikian melekat secara psikis pada tingkat yang dalam, sebagian di level bawah sadar (unconscious) pada budaya mereka: untuk mengakhiri fungsi masyarakat yang sangat luas diharapkan, akan memerlukan penyesuaian dengan realitas kehidupan dan pilihan seseorang ‘seolah-olah untuk pertama kalinya’, sebuah pengalaman yang berpotensi sangat traumatis.[28]

Tetapi, bahkan jika anarkis insureksioner entah bagaimana berhasil menggulingkan kekuasaan yang ada, mereka kemungkinan masih akan gagal dalam tujuan mereka. Jauh dari mengantarkan kebebasan anarki, penciptaan kekacauan sosial umum yang diperebutkan oleh para anarkis insureksioner kemungkinan akan mendukung (dan secara historis telah disukai) faksi-faksi pembangkang non-anarkis, khususnya yang paling kejam dan demagogis yang memiliki kemampuan dan kemauan terbesar untuk menggunakan kekerasan terorganisir. Siapapun yang dapat mengalahkan saingan mereka dan membawa keamanan dan akses ke sumber daya bagi banyak orang, dapat memaksa penduduk untuk mengikuti cara hidup baru mereka, apakah banyak dari mereka menyukainya atau tidak. Kaum Leninis dan Maois yang cenderung dibenci oleh kaum anarkis — namun sering berada di jalan bersama mereka selama protes dan kerusuhan — cukup jujur ​​pada diri mereka sendiri dan orang lain tentang hal ini dan bersedia menjadi orang-orang itu. Mereka juga, tidak seperti kebanyakan anarkis, secara bersama-sama men-teologi gerakan mereka dengan mitos kolektif baru — melalui seruan dari Rakyat, Revolusi, Utopia Komunis, yang semuanya adalah perubahan tema Kristen[29] – untuk memberikan balsem eksistensial dalam suatu bencana. Orang yang dilahirkan dan dibesarkan sebagai budak jauh lebih mungkin merasa nyaman menjadi budak jenis baru daripada memikul tanggung jawab kebebasan yang menakutkan.

Dengan demikian, kaum anarkis revolusioner menyangkal diri dalam praksis mereka. Dengan menjadikan revolusi sebagai telos[30] mereka, mereka membatasi pembebasan pada momen masa depan yang hampir selalu surut, terkurung di masa sekarang untuk mengacaukan penjara mereka — namun, secara historis, bahkan di saat-saat kemenangan nyata mereka, mereka menemukan bahwa: upaya masa lalu mereka hanya membantu dalam penciptaan penahanan (penjara) baru mereka.

Leviathan dan Civitas

Jika kita menghindari ilusi reformasi dan revolusi, politik Kiri dan Kanan, kita sampai pada kritik yang konsisten dan dengan demikian mengakui krisis kita apa adanya. Kembali ke klaim yang diulas di awal, krisis kita bukan hanya krisis politik, masyarakat, atau ekonomi, tetapi salah satunya adalah peradaban; dan oleh karena itu, proyek pembebasan kita bukanlah politis, reformis, atau revolusioner, melainkan anti-peradaban.

Untuk mengidentifikasi diri sendiri dan proyek seseorang sebagai anti-peradaban, dapat dianggap sebagai hal yang ekstrem, absurd, atau bahkan kejam — apa artinya menjadi “melawan peradaban”? Karena bahasa yang berubah-ubah dan kebutaan ideologis, hampir semua dari kita accrue (tumbuh) [menumbuhkan peradaban] dan begitu sedikit dari kita yang shed (menumpahkan atau melepaskan peradaban); peradaban bagi sebagian besar dari kita berarti: ‘semua yang baik dan layak tentang sosialitas manusia,’ biasanya kontras dengan barbarisme – dengan demikian, peradaban adalah aturan hukum yang berbeda dengan tirani kesewenang-wenangan barbarisme, peradaban adalah kerja sama yang teratur daripada "perang semua melawan semua" yang kacau,[31] peradaban adalah seni dan budaya tinggi yang mendukung perjuangan brutal untuk bertahan hidup, dan peradaban adalah penemuan ilmiah dan kecanggihan teknologi melawan kebodohan, takhayul, dan kerja keras. Digunakan dengan cara yang biasa ini, istilah peradaban lebih merupakan pernyataan etis — klaim tentang bagaimana seseorang harus hidup — bukan deskriptif — klaim tentang bagaimana seseorang benar-benar hidup. Bahkan kemudian, peradaban itu hanyalah semacam klaim etis yang longgar dan kabur, semacam cita-cita bromida (zat penenang), karena setiap yang disebut peradaban pasti akan menampilkan banyak sekali apa yang disebut barbarisme.

Namun, dalam upaya untuk menggambarkan dan memahami krisis kita, kita akan menggunakan peradaban secara lebih spesifik dan konsisten. Istilah peradaban (civilization) berasal dari bahasa Latin civitas, yang dipopulerkan di zaman Roma kuno oleh orator Cicero untuk menggambarkan kontrak sosial implisit yang seharusnya disepakati oleh semua warga negara Romawi sebagai dasar koeksistensi mereka. Bagi Cicero, civitas benar-benar eksis karena orang percaya itu eksis: bahwa mereka bertindak dan berpikir dengan cara tertentu yang konsisten dalam berhubungan satu sama lain, itu semua menunjukkan bahwa peradaban itu eksis — civitas, seperti yang kita katakan di awal, cara hidup dan cara melihat. Dengan demikian, civitas bukan hanya negara-kota sebagai struktur atau sebagai populasi warga negara, tetapi juga gagasan bersama dari komunitas sipil (civic community), konstruksi psikososial negara-kota yang diciptakan dan diperkuat bersama.

Mengikuti Cicero, melalui peradaban, oleh karena itu, kita merujuk pada materi dan psikis: peradaban adalah serangkaian pemikiran dan gerakan yang direproduksi setiap hari sebagai keseluruhan bentuk kehidupan, yang dengan sangat tiba-tiba dan baru-baru ini berkembang dalam perjalanan eksistensi manusia. Cara hidup ini dicirikan oleh pertumbuhan dan pemeliharaan kota-kota, dengan kota yang ditetapkan untuk tujuan kita sebagai kawasan penampungan manusia permanen dengan populasi yang padat dan besar. Dengan menjadi permanen, penduduk sebuah kota tidak dapat bergerak sesuai dengan siklus-siklus ekologikal lokal, yang berarti ia harus bertahan hidup terlepas dari siklus-siklus tersebut, melawannya. Dengan menjadi populasi yang padat, penduduk kota melebihi daya dukung tanah mereka, yang berarti mereka harus mengimpor nutrisi dari daerah pedesaan sekitarnya yang biasanya ditandai dengan agrikultur, serta mengangkut limbah mereka ke tempat lain agar tidak tersedak. Dengan menjadi populasi yang besar, warga negara melebihi jumlah yang mungkin untuk komunitas langsung (tatap muka) dan intim; dan karena itu, mereka ada di antara orang asing, yang harus mereka perlakukan sebagai orang abstrak, bukan kerabat.

Secara psikis, orang-orang beradab secara rutin mengalienasi-diri dari aktivitas hidup mereka, mengambil aspek-aspek dari kehidupan, kekuatan, dan fenomena mereka[32] dan memperlakukan aspek-aspek sebagai sesuatu yang asing atau Absolut;[33] mereka kemudian me-reifikasi entitas yang dibayangkan ini dan tunduk kepadanya sebagai sesuatu yang superior atau tak terhindarkan. Dengan kata lain, sebuah ide abstrak yang diimpikan oleh seorang individu dan diperkuat melalui komunikasi dengan orang lain di sekitar mereka menjadi setengah-sadar atau tak sadar diperlakukan sebagai kekuatan konkret. Dengan demikian, kita menciptakan phantasmagoria[34] dari “ide-ide tetap (fixed ideas)”[35] yang tampaknya mendominasi dan mendikte kehidupan kita: dewa, negara bangsa, peran sosial, ekonomi, keluarga inti, dan sebagainya. Pemuda yang mencintai negaranya — yang baginya adalah embun ideal, sejarah, dan etnis — mendaftar, berjuang, dan mati untuk kekaisaran yang mana bagi kekaisaran pemuda itu hanyalah statistik. Sang ibu, terhipnotis oleh citra ideal keluarga bahagia, budak untuk suaminya yang kasar dan anak-anak yang tidak ramah, dan kemudian menyalahkan ketidakmampuannya sendiri ketika kehidupan aktualnya tidak selaras dengan reifikasi ini.

Dalam pembalikan keadaan yang jelas-secara eksistensial, konsep-konsep beku ini — yang hanyalah abstraksi, simbol, atau model kehidupan sensual yang benar-benar dijalani — secara delusi diperlakukan sebagai yang utama, lebih nyata, dan lebih kuat daripada orang-orang yang sebenarnya membayangkan dan menciptakannya. Demikianlah, dalam peradaban, orang-orang pada umumnya percaya bahwa: diri mereka sebagian besar tidak dapat menciptakan dan menjalani hidup mereka dengan cara mereka sendiri dalam pergaulan bebas dengan orang lain, melainkan berpikir dan bertindak dengan cara yang sangat patuh dan kaku ini, saat dikelilingi oleh orang asing yang cenderung bersama mereka secara ritual dan setengah-sadar memperkuat reifikasi bersama ini — seperti yang dibayangkan Cicero secara positif dengan konsep civitasnya. Dengan cara ini, semua peradaban, dulu dan sekarang, telah dan terus didirikan pada tingkat tinggi (seringkali tak sadar atau setengah-sadar) ketundukan sukarela kepada otoritas.

Contoh konkret: aktivitas subsisten — penciptaan makanan, tempat tinggal, obat-obatan, dan kebutuhan penting lainnya untuk bertahan hidup dari habitat seseorang — yang dapat dilakukan melalui kerja sama yang dipilih secara bebas dengan orang lain secara mandiri, dan dalam hubungan yang tidak terasing dengan dunia non-manusia yang mendukung kita semua, malah sangat dimediasi melalui infrastruktur psikososial yang membatasi, yang kita sebut sebagai ekonomi. Karena begitu banyak dari kita begitu sering memperlakukan peran sosial kita sebagai pekerja dan memperlakukan abstraksi uang kita lebih nyata daripada kekuatan kreatif dan kemampuan kita untuk berkomunikasi dan bekerja sama, sejumlah besar dari kita tunduk pada bahaya, obat beracun, dan kehinaan; atau sederhananya merasa bosan dan tidak perlu bekerja (Graeber), menyerahkan hak pilihan kita kepada manajer dan investor yang memperoleh kekayaan dari kerja kita, untuk menciptakan komoditas, barang dan jasa yang terlepas dari mereka yang membuatnya, dan kemudian kurang lebih secara pasif dikonsumsi oleh orang lain; hal itu dilakukan untuk penghidupan dan rekreasi, yang mana kemungkinannya untuk memperoleh langsung adalah mustahil karena tidak ada waktu dan telah terlalu dihabiskan untuk bekerja di tempat pertama.

Secara material, pada tingkat yang berbeda-beda, orang-orang beradab kehilangan sarana untuk menciptakan kehidupan mereka dengan cara mereka sendiri. Banyak fitur dunia tempat kita dilahirkan — organisme bukan manusia, tanah, air, mineral — dilarang untuk kita manfaatkan, karena secara ideologis telah diciptakan kembali sebagai milik negara atau milik pribadi, yang berarti orang menjadi tidak bergantung pada dunia yang hidup, tetapi bergantung pada lembaga-lembaga beradab yang menengahi ini semua untuk penghidupan (subsisten) mereka.

Sejarah peradaban, seperti yang akan kita bahas di seluruh jurnal ini, sebagian besar dapat dipahami dalam kerangka proses perampasan bertahap yang tidak sepenuhnya linier, tetapi tetap hadir. Pada awal peradaban, dengan munculnya peradaban abadi pertama Sumeria, Mesir, dan Lembah Indus, orang-orang direbut tanah dan hasil kerjanya melalui perpajakan dan kepemilikan teokratis. Seperti peradaban yang semakin dalam dan meluas, kebanyakan orang datang untuk memiliki dan/atau mendapatkan akses ke lahan yang semakin sedikit. Penatagunaan bersama atas tanah yang digunakan untuk makanan, obat-obatan alami, dan rekreasi hampir hilang; dan sebagian kecil yang tersisa, sering dikelola secara ketat oleh agen-agen Negara. Banyak orang bahkan tidak lagi memiliki rumah mereka sendiri, sementara yang mereka miliki adalah hampir bidang-bidang kecil yang tidak cukup untuk subsisten. Sekarang, kita hidup di dunia di mana seseorang dapat melangkah keluar dari rumah mereka — yang mungkin hanya disewa dari orang lain atau dalam bahaya disita dari mereka oleh bank atau pemerintah — untuk mengemudi di jalan yang bukan milik mereka ke kota yang penuh dengan toko-toko dengan makanan dan barang-barang kebutuhan yang diambil dari mereka yang awalnya mereka buat dan hanya tersedia dengan harga tertentu. Hampir seluruh dunia diklaim sebagai properti, dan hanya bisa diakses oleh banyak orang yang membutuhkannya dengan melakukan ritual perilaku kepatuhan dari peradaban.

Jadi, melalui alienasi-diri dan perampasan yang bertindak bersamaan, orang-orang beradab direduksi menjadi hubungan yang sangat tergantung dengan lembaga-lembaga psikis dan material peradaban. Aktivitas hidup mereka tidak lagi dirasakan sebagai milik mereka sendiri, tetapi malah menjadi sesuatu yang ritual, kaku, dan terpisah dari mereka, seolah-olah mereka semua hanya memainkan peran dalam tubuh yang lebih besar — ​​dan itu adalah tubuh Leviathan, Negara, yang fungsinya adalah untuk memperoleh dan menyimpan kekayaan materi, membawa kekuasaan dan prestise bagi segelintir orang, berperang melawan Leviathan yang berkompetisi, dan menghancurkan Bumi sepanjang waktu.

Situasi ini – kita berpendapat – pantas diberi label perbudakan, dengan pengakuan bahwa perbudakan telah ada dalam bentuk yang sangat beragam, secara kualitatif berbeda di sepanjang sejarah peradaban: perbudakan barang, pergundikan, dan penghambaan kontrak, di mana seseorang kurang lebih secara langsung dimiliki sebagai properti; perbudakan hutang, upah, dan gaji, di mana orang-orang diparasit secara tidak langsung melalui kontrol uang dan properti; dan perbudakan kuil, kasim, dan sistem kasta sosial, di mana orang-orang dimiliki dan diLainkan (Othered[36]) sebagai akibat dari sistem kepercayaan spiritual atau agama.

Perbudakan (slavery) – untuk tujuan jurnal kita – adalah parasitisasi yang berkelanjutan dan pada akhirnya kejam dari orang-orang yang mengalienasi-diri dan dirampas. Definisi yang kita gunakan dalam jurnal ini merupakan perluasan dan modifikasi dari definisi yang ditawarkan oleh sejarawan terkenal tentang perbudakan barang, David Brion Davis dan Orlando Patterson, yang, terlepas dari kecemerlangan dan pengetahuan mereka, tidak dapat menggambarkan krisis kita saat ini sebagai perbudakan (slavery) — bahkan ketika mereka sangat dekat untuk mendefinisikannya. Jadi, kita ‘melangkah lebih jauh’ dengan mengutip mereka yang mendefinisikannya — malah menggunakan bahasa yang kurang menghasut, dan lebih akademis seperti, "eksploitasi" atau "perbudakan (dengan istilah bondage)" (Davis 1966, Davis 1984, Patterson).

Dengan demikian, kritik anti-peradaban jauh melampaui apa yang ditawarkan oleh kaum Kiri, Kanan, atau mayoritas anarkis. Kaum Kiri lama mengakui parasitisasi kelas, tetapi hanya merekapitulasinya melalui pembentukan partai dan birokrasi; Kiri baru bahkan semakin mengaburkan wawasan dasar ini di bawah panopoli (persenjataan) lengkap dari penindasan khusus yang hanya merupakan gejala dari perbudakan umum. Kaum Kanan juga mengaburkan masalah ini dengan mencoba untuk melarutkannya menjadi identitas umum dari nasionalisme. Kaum anarkis datang paling dekat [dengan kritik anti-peradaban ini], namun gagal untuk secara memadai menyelidiki asal-usul material krisis kita di agrikultur dan industrialisme atau asal-usul psikis mereka dalam alienasi-diri, dan malah menyatakan bahwa pembebasan milenarian sekular akan menyelesaikan krisis kita.

Seperti yang akan kita jelajahi secara lebih rinci dalam isu-isu masa depan, akibat wajar yang lebih lanjut dari kritik anti-peradaban mengungkapkan bahwa: agrikultur dan industrialisme tentu memerlukan despoliasi tanah yang berkelanjutan dan kebutuhan konstan yang dihasilkan untuk berkembang di samping gelombang perusakan habitat yang semakin parah. Kebutuhan untuk terus-menerus berkembang, tidak hanya karena despoliasi, tetapi juga biasanya karena meningkatnya populasi, mau tidak mau membawa masyarakat beradab ke dalam konflik dengan orang lain (baik beradab atau tidak) yang menempati tanah tempat mereka berkembang, dan biasanya mengakibatkan perang, genosida, asimilasi, dan perbudakan yang lebih lanjut.

Dengan demikian, peradaban lahir dalam perampasan dan reifikasi, mempertahankan dirinya melalui perbudakan dan kekerasan terorganisir, dan memerlukan perang dan ekosida. Untuk benar-benar menghargai kebebasan dan kegembiraan individu; untuk menghargai kekerabatan dan cinta di antara manusia; untuk menghargai keintiman dengan dunia non-manusia yang indah, dan untuk kedamaian dan kejelasan psikis: memerlukan anarki anti-peradaban, dan ditinggalkannya cara hidup yang beradab.

Desersi

Di sini kita kembali ke desersi, undangan kita di awal, sebagai awal praksis anti-peradaban, yang mengarah lebih jauh ke autarki dan reinhabitasi. Praksis ini akan dikembangkan baik secara teoritis maupun praktis dalam perjalanan jurnal ini, dan dimaksudkan hanya sebagai pendahuluan dan pengenalan lebih lanjut dari tema-tema Backwoods.

Desersi, yang kita maksud adalah: bergerak menuju ditinggalkannya peradaban, baik secara material maupun psikis. Karena peradaban dan Negara direproduksi setiap harinya terutama melalui pemikiran dan gerak tubuh yang tunduk dan kurang berteori dari banyak orang — karena peradaban adalah yang pertama dan terutama civitas yang kita ciptakan secara psikososial — maka kita harus melepaskannya dengan meninggalkan jalur hidupnya. Desersi material berarti: mengurangi atau menghilangkan ketergantungan pada ekonomi budak yang beradab untuk penghidupan seseorang — makanan, air, tempat tinggal, bahan bakar, dan obat-obatan — demi memperolehnya melalui aktivitas langsung antarmuka dengan habitat seseorang secara individual atau melalui kerja sama sukarela dalam asosiasi bebas dengan orang lain. Desersi psikis berarti: ditinggalkannya ideologi budak beradab yang direifikasi dan tunduk, yang menjadi dasar dari fungsi masyarakat sehari-hari; hubungan dengan skrip dan peran sosial yang terasing dan palsu; dan bantuan yang memukau dari agama-agama yang menyesatkan, hiburan yang menenangkan, dan fetisisme komoditas. Mengganti pandangan dunia yang beradab ini, saya sarankan, secara singkat akan berarti: adopsi filosofi kepemilikan-diri yang sadar dan pembebasan pribadi, mengejar hubungan terbuka yang didasarkan pada mutualitas dan asosiasi sukarela dalam proyek bersama, dan merangkul kebenaran yang sulit dari hidup dengan rasa akan eksistensialisme (sense of existentialism) dan kehormatan pribadi daripada ilusi yang menghibur yang ditawarkan peradaban kepada kita sebagai pemikat untuk ketundukan kita. Lebih jauh lagi, ini akan berarti: identifikasi mendalam tentang diri sendiri sebagai bagian dari daging dunia, sebagai bagian yang terikat dengan kehidupan semua makhluk duniawi lainnya — tergantung pada keyakinan ontologis atau metafisik seseorang, hal ini mungkin berarti: pengakuan akan ketergantungan material semua makhluk di biosfer, atau hidup berdampingan dengan mereka sebagai bagian dari anima mundi[37], atau jiwa-dunia (world-soul).

Untuk mengantisipasi kritik kaum reformis tentang desersi: Akibat langsung dari pandangan ini adalah, bahwa upaya untuk mereformasi masyarakat harus ditolak karena pada akhirnya kontraproduktif. Seperti telah disinggung di atas, peradaban tidak dapat direformasi menjadi jalan hidup yang ramah baik untuk manusia ataupun untuk dunia hidup yang lebih luas, karena peradaban itu secara mendasar bergantung pada perbudakan dan tidak dapat ditarik kembali menyebabkan ekosida. Kita akan memeriksa di edisi mendatang bagaimana janji-janji yang disebut energi hijau (green energy[38]), agrikultur organik (organic agriculture), dan perbaikan teknis lainnya yang tidak dapat secara mendasar mengubah fondasi yang rusak ini — hal-hal itu saat ini hanyalah berfungsi untuk mengaburkannya.

Selain itu, stabilitas peradaban bergantung pada para reformis dari segala jenisnya untuk melindungi konstituen manusia dan korban non-manusia dari ekses terburuknya: kesejahteraan sosial melindungi dari kemelaratan yang melumpuhkan dan kekacauan sosial yang diakibatkannya, perluasan hak-hak sipil netral yang berpotensi membahayakan kelas bawah dan penjahat dengan membiarkan beberapa dari mereka merasa mendadak memiliki andil dalam pelestarian tatanan sosial; undang-undang perlindungan lingkungan berarti ‘keracunan dan penggundulan biosfer hingga tidak dapat dihuni’ akan memakan waktu sedikit lebih lama. Reformis, yang mungkin membayangkan dirinya sebagai kritikus sosial yang gigih, dengan demikian ironisnya adalah ‘penjaga peradaban yang paling tulus dan gesit’. Hampir hal yang serupa dapat dikatakan tentang kaum revolusioner, yang, seperti yang telah dibahas di atas, adalah ‘sejenis hiper-reformis yang agresif, yang menolak inkrementalitas[39] demi transformasi peradaban yang dramatis dan segera’. Tapi, sejarah peradaban adalah sejarah reformasi dan revolusinya — memang, reformasi sosial progresif adalah bagian dari Negara yang paling awal.[40] Kita secara resmi diberitahu, dan hal ini secara populer dipercaya, bahwa kita di Barat (modern) hidup di peradaban yang paling terreformasi, tercerahkan, dan terbebaskan dari yang pernah ada (dan di Amerika Serikat, peradaban kita lahir dalam revolusi), namun kelas peradaban ini hampir tidak memberi kita pengaruh apapun pada keputusan kebijakannya, mengawasi lebih lama lagi hidup kita, menghancurkan perbedaan pendapat politik di luar jalan yang diizinkan secara sempit, dan memusnahkan ‘dunia hidup’ hingga nafas terakhirnya — itulah buah dari reformasi dan revolusi.

Untuk mengantisipasi kritik kaum anarkis: desersi tidak selalu berarti bahwa semua bentuk attentat harus ditolak mentah-mentah; melainkan hal itu berarti evaluasi ulang yang mendalam tentang apa yang oleh beberapa anarkis secara samar-samar disebut sebagai "serangan," yang menurut saya sangat dibesar-besarkan, seringkali dilakukan dengan sangat salah arah, biasanya dengan mudah direkuperasi oleh kelas sosial yang bersifat parasit, dan secara menyedihkan menutupi apa yang seharusnya menjadi tujuan utama desersi, autarki, dan reinhabitasi. Ini hanyalah gertakan kosong – atau dorongan bunuh diri dan pembunuhan massal – untuk memprioritaskan menyerang peradaban ketika seseorang dan kerabatnya sepenuhnya bergantung pada infrastruktur dan hubungan sosialnya untuk kelangsungan hidup mereka.

Mungkin sangatlah perlu dan tepat untuk melawan secara lebih konfrontatif pada saat-saat tertentu, tetapi banyak dari aktivitas anarkis akhir-akhir ini adalah: latihan repetitif dalam pembenaran-diri sebagai korban, mesin gerak abadi yang digerakkan oleh kompleks martir (martyr complex[41]) yang berbahan bakar-kebencian: kerusuhan, konfrontasi agresif polisi, menghancurkan properti publik dan privat — yang semuanya hampir tidak menghasilkan apa-apa ketika aktivitas sipil dan ekonomi kembali normal satu atau beberapa hari kemudian, namun sering mengakibatkan penangkapan, denda, penahanan, dan cedera bagi para aktivis yang terlibat. Seseorang mencoba untuk menyerang secara langsung musuh yang memiliki perlengkapan terbaik dan sangat terbiasa untuk menyerap dan/atau menghancurkan serangan langsung, mengetahui bahwa mereka kemungkinan hanya akan menyebabkan goresan ringan pada musuh mereka dengan mempertaruhkan kehancuran total hidup mereka — hanya moralitas pengorbanan-diri yang kejam yang menempatkan katarsis di atas kebijaksanaan yang dapat memotivasi perilaku seperti itu. Seseorang kalah, tetapi merasa terbukti benar, merasa dibenarkan, dan merasa ditebus dalam kehilangan mereka; dan penindasan yang mereka terima hanya membuktikan dedikasi mereka pada kebenaran dan kejahatan musuh mereka — dan begitulah siklus berlanjut.

Paling banter, kerusuhan dapat menekan politisi untuk meloloskan reformasi tertentu, yang berarti seseorang telah jatuh kembali ke dalam perangkap reformisme. Sekali lagi, mungkin ada waktu dan tempat untuk melakukan bentuk sabotase dan serangan tertentu yang sangat spesifik, tetapi destabilisasi terbesar terhadap paradigma dominan kemungkinan akan disebabkan oleh proses produktif yang merusak-diri sendiri dari peradaban. Bagaimanapun, desersi memang merugikan tatanan yang berkuasa dengan merampas sumber daya yang sepenuhnya bergantung padanya: ketundukan budak setiap hari.

Dalam hampir semua kasus, desersi tidak bisa dan tidak akan bisa terjadi secara cepat atau total, tetapi tetap bisa terjadi secara bertahap dan parsial, mendorong penarikan yang semakin besar ketika para desertir berkumpul, berbagi keterampilan dan inspirasi, dan menciptakan jaringan informal untuk saling membantu. Jurnal ini, antara lain, dimaksudkan sebagai organ untuk penciptaan jaringan tersebut.

Autarki

Autarki adalah bentuk timbal balik dalam hubungannya dengan desersi, pengetahuan dan praktik menyediakan penghidupan (subsisten) seseorang — makanan, air, tempat tinggal, bahan bakar, dan obat-obatan — untuk dan oleh diri sendiri dalam hubungan yang tidak terpisahkan dengan habitatnya dan dalam kerja sama sukarela dengan orang lain yang dengannya seseorang secara bebas berasosiasi. Desersi – jika bukan untuk bunuh diri – hanya mungkin dilakukan sesuai dengan praktik autarki seseorang; dan, pada gilirannya, keterlibatan sejati dengan pra-figur autarki dan menyiratkan desersi.

Ekonomi modernitas kapitalis – dengan pembagian kerja yang dipaksakan dan pengeluaran isi perut yang thanatonik[42] dari dunia hidup – menekan kita ke dalam gaya hidup yang jauh secara fisik dan material dari habitat kita dan menekan kita ke dalam pekerjaan di mana kita cenderung hanya mempelajari sejumlah kecil keterampilan yang terkait untuk bertahan hidup – dan mungkin bahkan tidak. Dengan demikian, mengejar autarki menyiratkan penolakan terhadap hiperspesialisasi ini demi peningkatan keterampilan yang mendalam, perolehan kembali keterampilan yang mulia dan berharga untuk mencari makan, merawat, melacak, berburu, memancing, melestarikan, pengerjaan kayu (woodworking), herbalisme, dan lain-lain yang, hingga baru-baru ini, begitu umum di antara manusia.

Mengingat "Slave Syndrome" McQuinn yang disebutkan di atas, karena hiperspesialisasi dari perbudakan kita berarti bahwa: sebagian besar keterampilan-keterampilan ini telah begitu asing bagi kita sepanjang hidup kita, prospek untuk mempelajarinya dan melakukan semua aktivitas yang diperlukan untuk menghidupi diri kita sendiri mungkin terasa mengintimidasi, bahkan menakutkan, sehingga kita dapat mundur ke dalam kenyamanan penghambaan yang palsu dan memuakkan di mana kita membeli ketidaktahuan yang diberkati dengan harga kebebasan. Autarki berarti menentang kepatuhan ini dengan pernyataan bahwa: mendapatkan kembali keterampilan-keterampilan ini bukanlah beban yang tidak menguntungkan yang diperlukan untuk kebebasan, melainkan pengayaan kehidupan dan peningkatan kekuatan pribadi — dan dengan demikian, memperkuatnya, baik tubuh maupun pikiran dalam berbagai cara; itu adalah pemenuhan yang menyenangkan dari kapasitas utuh kita sebagai organisme.

Sepanjang jurnal ini, kita akan mengkaji forest gardening sebagai metodologi untuk mencapai autarki. Melalui praktiknya, seseorang dapat memperoleh penghidupan dari tanah tanpa ekosida dan agrikultur yang membosankan; dapat memperkaya tanah tidak hanya untuk tujuan manusia, tetapi juga non-manusia; dan dengan demikian, dapat mencapai semacam kontra-revolusi agrikultural. Kita di Backwoods, dengan demikian, bukan hanya radikal sejati — dalam artian: berupaya memahami dan mengatasi dasar, atau akar, dari krisis kita — tetapi juga bentuk reaksioner yang paling sejati.

Reinhabitasi

Reinhabitasi adalah hasil dari desersi dan autarki. Seorang anarkis, Emma Goldman, menyebut eksistensi yang terbebaskan sebagai "lebih sederhana, tetapi jauh lebih dalam dan lebih kaya"[43] – Saya katakan bahwa ini adalah esensi dari reinhabitasi. Hal ini, dalam arti yang paling mendalam, keberadaan di suatu tempat (being somewhere). Hal ini berarti membentuk dan memberi makan tanah (landbase) sebagaimana tanah memberi makan dan membentuk Anda, secara sadar menjadi bagian dari indera yang saling berhubungan dan proses metabolisme ekosistem seseorang, berpartisipasi bersama dengan makhluk lain untuk merawat keseluruhan yang menopang kita semua. Melawan globalisme modernitas, kita menegaskan pada kembali ke tempat.

Autarki dapat dikejar secara individual, tetapi pengejaran solonya lebih sulit dan lebih tidak menyenangkan daripada jika dilakukan secara kooperatif. Terlebih lagi, sebagai primata, kita mendambakan persahabatan dan kita paling bersemangat ketika dipupuk oleh hubungan yang intim — sense of place membutuhkan rasa memiliki (sense of belonging). Antropolog Robin Dunbar, melalui studi tentang perilaku manusia dan neurobiologi, telah menyarankan bahwa: manusia secara kognitif dilengkapi untuk berfungsi dalam ukuran kelompok sekitar seratus lima puluh individu, jumlah yang tampaknya secara tidak sadar kita sukai dalam aktivitas yang membutuhkan tingkat kepercayaan, efisiensi, dan pengorganisasian-diri yang tinggi agar dapat dilakukan dengan baik.[44] Setuju dengan Dunbar tetapi melampauinya, saya akan mengatakan bahwa: hanya dalam kontak langsung yang berkelanjutan, teratur, dan empati yang mendalam, kelompok dapat dipupuk dan dipertahankan — ini adalah bagaimana kita berevolusi dan bagaimana kita menghabiskan sebagian besar eksistensi kita sebagai manusia, dalam apa yang disebut oleh para antropolog sebagai band society (masyarakat band). Manusia tentu saja mampu untuk memiliki rasa kasih sayang dan kebersamaan; tetapi sejarah peradaban yang tragis secara tak terbantahkan menunjukkan kepada kita kapasitas manusia untuk melakukan kekejaman dan kecerobohan yang mencengangkan ketika manusia lain dan non-manusia dapat diperlakukan bukan sebagai makhluk hidup, tetapi sebagai abstraksi dan alien. Era kita adalah era komunitas palsu: kita diberitahu, dan secara populer mempercayainya, bahwa kita adalah anggota bangsa, warga kota, dan pengikut agama — tetapi kebanyakan dari kita hidup di antara orang asing, dengan hubungan yang dangkal atau bahkan tidak ada sama sekali dengan mereka yang dekat dengan kita, dengan siapa kita bekerja, dan dengan siapa kita lewat di jalan.

Untuk benar-benar berkembang sebagai organisme dalam komuni dengan habitat kita, kita harus hidup dengan cara yang memupuk jiwa manusia: dalam komunitas kekerabatan yang kecil, berkelanjutan, langsung (tatap muka), dan autarki. Dengan cara hidup seperti itu, adalah mungkin untuk mengetahui cerita setiap orang, untuk mengandalkan satu sama lain, untuk hidup tanpa rasa takut satu sama lain, dan untuk bersatu dalam tujuan yang sama sebagai apa yang bisa disebut masyarakat band, atau, [sebutan lain yang] kurang disukai, keluarga atau suku (tribe).[45] Kelompok seperti itu tidak akan menjadi penindasan terhadap individualitas melalui kolektivisme yang menyesakkan dan tanpa henti, melainkan sebenarnya menjadi medan di mana persatuan individualitas sejati dapat tumbuh, seperti yang ditunjukkan oleh catatan etnografis dari masyarakat band tersebut (Berezkin, Clastres, Kaczynski, Turnbull).

Menolak pemikiran utopis, kita mengakui sebagai pesimis filosofis bahwa: konflik dan penderitaan manusia bersifat abadi — tetapi perspektif ini hanya memperkuat keunggulan cara hidup ini. Dikelilingi oleh teman seumur hidup, seseorang dapat menghadapi kemalangan dengan dukungan dan kasih sayang dari orang yang dicintai. Menghadapi kesulitan hidup yang tak terhapuskan dan pilihan sulitnya, seseorang dapat ditantang oleh teman-temannya untuk bangkit pada kesempatan itu, menghindari kelemahan dan alasan, dan didorong untuk mengaktualisasikan potensi mereka. Budaya etika, kehormatan, dan akuntabilitas hanya dapat dipupuk dan dipertahankan melalui kombinasi cinta dan rasa malu yang berasal dari keintiman yang berkelanjutan — budaya modernitas akhir kita, di mana seseorang dapat menghilang ke dalam anonimitas dan menemukan kelompok sosial baru pada tanda pertama konflik atau kekecewaan, adalah antitesis yang fantastis dari hubungan manusia yang sehat. Berapa banyak kesengsaraan manusia saat ini yang diakibatkan oleh kesepian, ketakutan akan ditinggalkan, kemiskinan dan kecemburuan seksual, atau isolasi pada saat krisis? Akhirnya, kecenderungan psikopat dan parasit sosial manusia paling baik ditangani dengan langsung (tatap muka), hubungan skala-kecil di mana pendominasi dan penghisap tidak memiliki polisi dan tentara untuk memanipulasi dan bersembunyi di belakangnya, tidak ada ideologi agama atau politik untuk merasionalisasi kekejaman mereka, dan tidak ada anonimitas massal untuk mengaburkan bagi diri mereka sendiri keganasan mereka sendiri — parasit semacam itu dapat dihadapi dengan segera dan langsung oleh kelompok yang dapat mengandalkan satu sama lain, yang memang terjadi dalam budaya semacam itu. Terhadap anonimitas massa modernitas, kita menegaskan bahwa: reinhabitasi menyiratkan kembalinya keintiman masyarakat band.

Sense of belongings dan sense of place tidak dapat benar-benar diwujudkan kecuali dan sampai komunitas manusia memilih sebagai kelompok individu untuk secara sadar melepaskan diri dari fantasi memabukkan supremasi manusia dan berhubungan dengan komunitas makhluk hidup di sekitar mereka bukan sebagai pemilik, manajer, atau pelayan, tetapi sebagai ko-kreator. Arsitektur keagamaan monumental yang paling awal dikenal tampaknya menggambarkan: manusia menguasai hewan berbahaya, dan tanda-tanda agrikultur dan peternakan berkembang di sekitar monumen tidak lama setelah penciptaannya (Mann). Jika agama dan agrikultur memulai pemisahan manusia dari komunitas makhluk hidup dengan menunjukkan bahwa: manusia secara spiritual berbeda dan secara material mampu merestrukturisasi seluruh ekosistem untuk keuntungannya, pemisahan ini hanya diperdalam dengan agama-agama Ibrahim yang mendesakralisasi dan mencemarkan dunia hidup demi kepentingan supranatural dan dunia lain. Sekularisasi yang dibawa oleh Humanisme dan saintisme memperdalamnya lebih jauh dengan menempatkan dunia terdiri dari materi yang mati, tidak berperasaan, dan dapat dimanipulasi secara rasional untuk digunakan bagi peradaban manusia. Maka datanglah era kita sekarang dari rasionalisme patologis tekno-industrialisme dan konsumerisme, di mana danau-danau beracun diciptakan sebagai produk sampingan untuk produksi telepon pintar yang dengannya orang-orang yang bosan dan kesepian menghabiskan hidupnya (Maughan). Buah terbesar dari pemisahan kita dari kerabat kita yang hidup adalah: kepunahan massal, kecemasan eksistensial, dan kumpulan komoditas hiburan yang memukau — melawan keangkuhan dan kematian ini, kita menegaskan ‘kembalinya ke self-conscious animality (animalitas yang sadar-diri)’.

Undangan kita

Sederhananya, kita harus bertanya pada diri sendiri pertanyaan tentang bagaimana kita benar-benar ingin hidup dalam waktu dekat: Akankah manusia tidak lain adalah sebuah fungsi, sebuah epifenomenon belaka dari kekuatan politik dan sosial yang luas, dan residu dari produksi dan konsumsi komoditas? Atau akankah manusia menjadi eksistensialis di pusat kehidupannya sendiri, makhluk yang bergotong-royong dalam penciptaan dan pemakaian habitatnya, hewan di antara dunia yang ia rasakan sebagai kerabat? Pertanyaan-pertanyaan ini menyiratkan nilai-nilai yang sangat berbeda, dan hasil dari mengejarnya tidak bisa lebih berbeda.

Melalui cara hidup yang disebut peradaban, kita telah menjadi parasit satu sama lain dan menjadi kanker bagi biosfer yang lebih luas. Manusia modern adalah karikatur tragis: makhluk yang tidak bisa makan atau buang air tanpa menghubungkannya ke salah satu lubang besar, infrastruktur industri pemakan-dunia; makhluk yang kapasitasnya setiap hari berkurang dan makhluk yang semakin dipermalukan dan dibodohi oleh kotoran konsumerisme terbaru, dari alat pengocok-garam otomatis dan "air organik" hingga mempekerjakan teman palsu untuk muncul dalam foto "selfie" yang dipotret oleh pendewaan anomie, smartphone; dan makhluk yang baginya kekosongan dan kebosanan dalam hidupnya begitu jelas dan tak terbantahkan sehingga hanya bisa ditenggelamkan oleh gangguan yang dangkal dan tanpa henti. Gravitasi kesalahan kita telah jelas selama berabad-abad; sudah waktunya untuk berpaling.

Situasi saat ini begitu suram: kekuatan kelas yang bersifat parasit sangat luas, ketundukan dan kepasrahan tersebar luas; dan biosfer, menurut beberapa perkiraan, sudah berada dalam spiral kepunahan massal yang tidak dapat ditarik kembali. Tetapi, apakah kita para desertir begitu luar biasa sukses untuk memulai gerakan pemisahan diri yang meluas, atau begitu tidak penting untuk hanya membuat "kantong kebahagiaan[46]" yang cepat berlalu setelah kematian kita, saya yakin pilihannya jelas. Ini adalah kalkulus moral utilitarian modern yang mengukur nilai suatu tindakan dalam kaitannya dengan konsekuensi kuantitatif yang diharapkan; dan dengan demikian, menimbulkan cemoohan yang meremehkan kemungkinan tidak signifikannya sejumlah kecil desertir yang tersebar di seluruh dunia. Bagi banyak orang kuno, serta ikonoklas[47] modern, nilai dan makna justru ditemukan dalam rasa kebajikan individu itu sendiri, terlebih lagi dalam menghadapi tragedi. Persis seperti apa etika kebajikan di periode akhir peradaban ini akan dikembangkan di seluruh jurnal ini, tetapi nilai-nilai yang dianut di seluruh bagian ini adalah pandangan pertama (sekilas).

Oleh karena itu, undangan kita kepada semua yang dapat mendengarnya adalah: Tolak nilai-nilai ketundukan dan harapan palsu dari ideologi dominan; ikuti implikasi dari kritik radikal — katakan dan jalani apa yang kau tahu benar. Tolak perbudakan, karena itu hanya akan menjadi pelengkap Leviathan — ambil kembali hidupmu. Tolak kanker kehidupan teknoindustrial-agrikultural — kejar mutualitas dengan dunia hidup dan temukan kembali animalitasmu.

Catatan



[1] Backwoods (Dusun/Hutan Belantara/Pedalaman): 1) sebuah tempat di pedesaan yang jauh dari kota mana pun dan tempat di mana tidak banyak orang tinggal; 2); daerah terpencil atau terbelakang secara budaya; 3) jauh dari kota-kota besar dan terisolasi dari kehidupan modern; 4) lahan hutan terpencil yang tidak ditebang; 5) daerah terpencil atau jarang berpenghuni, terutama yang dianggap terbelakang. Backwoods juga merupakan nama jurnal yang di dalamnya berisi teks An Invitaton to Desertion ini. Lebih lengkapnya, judul jurnal tersebut adalah Backwoods: A Journal of Anarchy and Wortcunning. Mendengar kata Backwoods ini, penerjemah serasa terpanggil untuk Back to Woods! [Penerj.]

[2] Immiserasi merupakan tindakan membuat orang, negara, organisasi, dll. menjadi miskin. Dalam analisis Marx, sederhananya immiserasi berarti: meningkatnya komposisi organik kapital dan berkurangnya permintaan tenaga kerja relatif terhadap peralatan kapital seiring dengan berkembangnya teknologi. [Penerj.]

[3] Venalitas: 1) perihal menjadi venal (dapat disuap); 2) kemauan untuk disuap. [Penerj.]

[4] Soil exhaustion adalah kondisi ketika tanah tak lagi mampu menunjang kehidupan tanaman. [Penerj.]

[5] Extraction sites (Situs Estraksi) secara sederhananya adalah lokasi penambangan, tempat di mana manusia mengekstrak apa yang ada di dalam bumi menjadi sebuah produk. [Penerj.]

[6] Autarkis (kata sifat untuk autarki) yang berarti independen atau swasembada jika dilihat dalam konteks ekonomi. [Penej.]

[7] Stupefying (memabukkan): membuat seseorang tidak dapat berpikir atau merasa dengan baik. [Penerj.]

[8] Sense of place (perasaan akan tempat) adalah perasaan atau persepsi yang dipegang oleh seseorang terhadap suatu tempat. Hal ini biasanya berkaitan dengan tempat-tempat yang memiliki kenangan, sehingga tempat tersebut dapat mengaktifkan sense of place seseorang. [Penerj.]

[9] Sense of presence: kesadaran akan keberadaan saat ini. [Penerj.]

[10] Sense of fulfillment ini semacam innser peace (kedamaian batin) yang hadir ketika seseorang mampu menyelesaikan apa yang ingin ia penuhi, [Penerj.]

[11] Agensi (agency) atau yang diartikan dengan “hak pilih” adalah sesuatu yang mengacu pada sense of agency (kemampuan untuk mengambil tindakan atau kemampuan untuk memilih tindakan apa yang harus diambil). [Penerj.]

[12] Menurut Badan Perlindungan Lingkungan AS (EPA / U.S. Environmental Protection Agency) biosida adalah, "Beragam kelompok zat, termasuk pengawet, insektisida, desinfektan, dan pestisida yang digunakan untuk mengendalikan atau organisme berbahaya bagi kesehatan manusia yang menyebabkan kerusakan. [Penerj.]

[13] Karsinogen (zat karsinogenik) adalah zat yang dapat menyebabkan pertumbuhan penyakit kanker. [Penerj.]

[14] Positive Feedback (Umpan balik positif) atau yang dikenal juga dengan exacerbating feedback (umpan balik yang memperburuk) dan self-inforcing feedback (umpan balik yang memperkuat diri sendiri) adalah proses yang terjadi dalam pusaran (loop) umpan balik yang memperburuk efek gangguan kecil. Artinya, memperburuk efek dari gangguan pada sistem termasuk peningkatan besarnya gangguan. Dengan kata lain, jika A menghasilkan lebih banyak, maka pada gilirannya juga akan menghasilkan lebih banyak A. [Penerj.]

[15] Dalam zoology, Hominid berarti sebuah primata dari famili (Hominidae) yang mencakup manusia dan nenek moyang fosil mereka dan juga (dalam sistem yang terbaru) setidaknya juga mencakup beberapa kera besar. [Penerj.]

[16] Malaise adalah istilah medis untuk menggambarkan perasaan lelah, tidak nyaman, dan kurang enak badan yang tidak diketahui apa penyebabnya. [Penerj.]

[17] Kodependensi berarti adiksi relasi atau ketergantungan dalam hubungan. [Penerj.]

[18] Untuk beberapa eksposisi yang sangat baik dari tema ini, lihat dialektika tuan-budak Hegel yang terkenal dalam bukunya Phenomenology of Spirit dan bab penutup dari Slavery and Social Death karya Orlando Patterson yang sangat baik, di mana ia berpendapat bahwa, ‘konsep biologis dari parasit adalah cara yang paling hemat untuk memahami hubungan dominasi dan eksploitasi.’

[19] Misalnya, melalui konsep versi filsuf Michel Foucault yang encer dan terdistorsi tentang épistémè era manapun, yang ia pahami sebagai epistemologi apriori yang biasanya tidak disadari dari suatu era — yaitu, asumsi tersembunyi di dalam wacana pengetahuan masyarakat yang memungkinkan untuk membuat klaim kebenaran sama sekali. Dalam ideologi keadilan sosial, hal ini sering bermuara pada penyangkalan yang dangkal terhadap validitas klaim kebenaran yang dianggap “menindas.”

[20] Pertimbangkan, misalnya, kasus yang semakin aneh dan umum seperti pada musim gugur tahun 2017, surat kabar sekolah Texas State University menerbitkan artikel berjudul '(white) DNA is a abomination [DNA (kulit-putih) adalah kekejian,' atau pada 13 April 2017, publikasi Huffington Post dari sebuah artikel yang menganjurkan untuk ‘pencabutan hak global pria kulit putih’ (yang ternyata adalah artikel hoaks yang mereka sukai dan diterbitkan).

[21] "Marxisme kultural (cultural Marxism)" adalah ungkapan yang terkait dengan teori konspirasi sayap-kanan bahwa, ‘ada upaya terorganisir kaum Marxis untuk membawa Komunisme ke Amerika Serikat tidak melalui revolusi kekerasan yang tiba-tiba, tetapi melalui perubahan bertahap dalam nilai-nilai budaya negara tersebut.’

[22] Banyak tokoh Kanan-Alternatif yang pidatonya disupresi dengan berbagai cara, termasuk de-platforming [tindakan atau praktik mencegah seseorang yang memiliki pandangan yang dianggap tidak dapat diterima atau menyinggung untuk berkontribusi pada forum atau debat, terutama dengan memblokirnya di situs web tertentu – Penerj.] di acara-acara pidato dan larangan dan shadow-banning (pelarangan sembunyi-sembunyi) di platform media sosial. Yang pasti, penindasan atau supresi seperti itu sama sekali tidak hanya untuk Kanan-Alternatif semata — penindasan serupa juga telah terjadi di kalangan Far-Left.

[23] Nasionalisme Kulit-Hitam, Nasionalisme Chicano atau Latino/Latina, Pribumi, dan apa yang disebut Nasionalisme Dunia Ketiga semuanya telah dianut dalam berbagai bentuk oleh kaum Kiri, setidaknya sejak pembentukan Kiri Baru (New Left) pada tahun 1960-an.

[24] Band Society (Masyarakat Band) dapat juga disebut dengan kamp atau horde (gerombolan) adalah bentuk masyarakat manusia yang paling sederhana yang biasanya mengacu kepada kelompok kecil yang memiliki hubungan kekerabatan, tetapi tidak sebesar keluarga besar atau klan. Para ahli antropologi modern sepakat bahwa jumlah anggota kelompok ini biasanya berkisar antara 30 hingga 50 orang. [Penerj.]

[25] Manuver Spencer adalah contoh yang baik dari "Operation Margarine’ Roland Barthes, di mana seseorang secara tidak jujur ​​​​dan secara dangkal mengkritik sesuatu untuk pada akhirnya menebus (menarik kembali) dan mempertahankannya. Barthes merinci fenomena ini dalam esai yang sangat singkat dengan nama yang sama dalam bukunya tahun 1957, Mythologies.

[26] Seberapa banyak kekerasan dan jenis kekerasan apa yang diperlukan (atau sesuai untuk perubahan sosial) telah telah menjadi perdebatan yang sengit di antara kaum anarkis selama satu setengah abad terakhir, dengan posisi yang diambil mulai dari pasifisme (misalnya, Leo Tolstoy) hingga kekerasan teroristik yang disengaja (misalnya, Luigi Galleani).

[27] chattel slave (budak barang) memiliki arti bahwa: satu orang memiliki kepemilikan total atas orang lain. Ada dua bentuk dasar barang, yaitu 1) barang dalam negeri dengan tugas rumah tangga yang rendah; dan 2) barang yang produktif, yang bekerja di ladang atau pertambangan. Dengan begitu, dalam sistem budak barang pun terdapat 2 kelas yang hierarkis di mana budak domestik dinilai lebih rendah daripada budak produktif yang bekerja di luar. [Penerj.]

[28] Hal yang kompleks ini perlu disinggung secara singkat di sini. Fenomena ini telah diteliti secara panjang lebar oleh banyak tokoh dari berbagai latar belakang, seperti Émile Durkheim dalam Suicide, Peter Wessel Zapffe dalam The Last Messiah, dan Ernest Becker dalam The Denial of Death; yang melahirkan konsep psikologis Teori Manajemen Teror. Saya mengambil masalah khusus ini dari sudut lain dalam esai ‘Existential Cowardice’: Submission as Teror Management,' yang dicetak dalam koleksi yang akan datang The Prison Built by Its Inmates: Voluntary Servitude Revisited, yang akan diterbitkan oleh Enemy Combatant Publications.

[29] Kesamaan antara politik sayap-kiri, Humanisme Sekuler, dan teologi Kristen telah diteliti secara panjang lebar oleh banyak orang, mungkin paling awal dan paling tajam menelitinya adalah Friedrich Nietzsche dan Max Stirner. Untuk pandangan yang lebih kontemporer dan mudah didekati tentang pengaruh agama dalam politik, lihat Black Mass: Apocalyptic Religion and the Death of Utopia karya John Gray.

[30] Telos berarti suatu sasaran atau tujuan akhir. [Penerj.]

[31] Ini adalah frasa yang digunakan oleh Thomas Hobbes dalam bukunya tahun 1651 Leviathan untuk menggambarkan apa yang dia bayangkan sebagai keadaan brutal manusia yang tidak beradab — Hobbes dengan senang hati menyandingkan penyerahan kebebasan secara sukarela kepada Negara berdaulat yang kuat: Leviathan. Kami mengikuti jejak para pemikir libertarian seperti Ernst Jünger dan Fredy Perlman yang menggunakan istilah pilihan Hobbes secara kritis.

[32] Yang saya maksud dengan fenomenalitas adalah apa yang disebut kesadaran atau pengalaman subjektif, yaitu kehidupan sebagaimana yang benar-benar dijalani dan dirasakan, perspektif seseorang dengan pengalaman indrawi dan kehidupan batin dari emosi, pikiran, dan imajinasi.

[33] Absolut adalah sesuatu yang dibayangkan sebagai sesuatu dalam dirinya sendiri, sesuatu yang eksis, di, dari, dan untuk dirinya sendiri terlepas dari hubungan dan perspektif, seperti dewa transendental, dewa yang terlepas dari dunia yang kita huni. Filosofi saya sendiri adalah bahwa, hal yang Absolut semacam itu tidak eksis — mereka adalah delusi filosofis berbahaya yang terkait dengan ideologi Perbudakan.

[34] Phantasmogaria merupakan rentetan gambar nyata atau imajiner seperti yang terlihat dalam mimpi. [Penerj.]

[35] Ini adalah ungkapan yang dikemukakan Max Stirner, yang bukunya tahun 1844 The Unique and Its Property, yang merupakan investigasi awal dan luar biasa tentang sifat otoriter reifikasi. Untuk pandangan yang lebih kontemporer, lihat 'Critical Self-Theory: The Non-Ideological Critique of Ideology' karya Jason McQuinn dalam edisi ketiga jurnal Modern Slavery dari C.A.L. Press.

[36] Othering adalah fenomena di mana beberapa individu atau kelompok didefinisikan dan diberi label sebagai tidak sesuai dengan norma-norma kelompok sosial. Ini adalah efek yang mempengaruhi bagaimana orang memandang dan memperlakukan mereka yang dipandang sebagai bagian dari dalam-kelompok Lain dari mereka yang dipandang sebagai bagian dari luar-kelompok luar. [Penerj.]

[37] Anima mundi adalah hubungan intrinsik antara semua makhluk hidup di planet ini, yang berhubungan dengan dunia dengan cara yang sama seperti jiwa terhubung dengan tubuh manusia. [Penerj.]

[38] Green energy (energy hijau) lebih populer disebut dengan energi terbarukan. Energi terbarukan adalah energi yang berasal dari "proses alam yang berkelanjutan", seperti tenaga surya, tenaga angin, arus air, proses biologi, dan panas bumi. [Penerj.]

[39] Inkrementalitas adalah kecenderungan untuk melakukan perubahan secara marjinal atau bertahap. [Penerj.]

[40] Pertimbangkan pemerintahan Urukagina, ensi (penguasa) negara-kota Lagash pada abad ke-24 SM. di Mesopotamia, yang mungkin adalah seorang otoriter reformis progresif pertama di peradaban.

[41] Kompleks martir (martyr complex) atau sindrom martir adalah Suatu kondisi di mana seseorang menggunakan penderitaan, pengorbanan-diri (self-sacrifice), dan peran mereka sebagai korban (victim) untuk memanipulasi orang lain agar secara psikologis memberi mereka imbalan atas kesengsaraan mereka yang berkelanjutan. [Penerj.]

[42] Thanatonik adalah kata sifat yang diambil dari kata Thanatos yang merupakan dewa kematian dalam mitologi Yunani. [Penerj.]

[43] Untuk lebih jelasnya, pernyataan itu komentar Emma Goldman secara khusus mengenai visinya untuk kehidupan bagi wanita yang dibebaskan, tetapi komentar itu juga dapat berlaku secara umum.

[44] Dunbar awalnya sampai pada jumlah dengan memperhatikan hubungan positif antara ukuran neokorteks primata dan ukuran kelompok sosial mereka – ia mengemukakan bahwa: hubungan itu mungkin kausal dan diekstrapolasi darinya bahwa ukuran neokorteks manusia menyarankan kelompok sosial yang stabil dari seratus lima puluh individu. Selanjutnya, ia memperkuat teori tersebut dengan data empiris berdasarkan banyak kelompok manusia yang memelihara hubungan dan/atau bekerja sama secara erat melintasi ruang dan waktu, dari unit militer hingga pekerja pabrik hingga jumlah kartu ucapan liburan yang dikirimkan keluarga. Teori Dunbar mendapat kritik di sejumlah bidang yang menurut saya menunjukkan kelemahan serius, seperti pengamatan bahwa serangga sosial, dengan otak yang relatif kecil, hidup dalam masyarakat dengan mikro-politik mereka sendiri yang canggih — posisi saya tidak bergantung pada hal itu benar secara literal, tetapi hanya bergantung karena ia dapat menjadi pedoman konseptual atau apa yang juga dikenal secara fenomenologis.

[45] Band – meskipun aneh untuk digunakan sebagai bahasa sehari-hari – adalah istilah yang lebih disukai di kalangan antropolog untuk komunitas kecil tatap muka; dan dengan demikian, istilah ini akan kita gunakan di Backwoods. Meskipun perbedaan terminologis tidak sepenuhnya konsisten di seluruh literatur antropologi, suku (tribe) umumnya digunakan untuk kelompok yang cukup besar sehingga tidak lagi terikat oleh komunikasi [kecil] tatap muka dan ikatan kekerabatan, melainkan terikat melalui lembaga politik kecil dan peran seperti dewan tetua, orang-orang besar, atau pemimpin – bagi kami, kelompok-kelompok seperti itu, meskipun masih relatif anti-otoriter terhadap negara, sudah melewati titik anarki dan bukan bagian dari tujuan kami. Melampaui akurasi antropologis, "suku" dan "keluarga" bagi kita sarat dengan Zaman Baru dan asosiasi kultus – dengan demikian, band jelas merupakan istilah terbaik.

[46] Kantong kebahagiaan (Pockets of Happiness) adalah judul dari teks yang ditulis oleh Toby Hemenway yang mejadi salah satu teks di dalam jurnal Backwoods. [Penerj.]

[47] Ikonoklas adalah paham penentangan terhadap gambar-​gambar religius atau ikonografi. Kebalikannya adalah Ikonodul, orang yang mendukungnya. [Penerj.]