Tindakan-tindakan berikut ini menentukan apakah suatu kegiatan negara dapat dikategorikan sebagai genosida menurut konvensi PBB atas cegahan dan hukuman kejahatan genosida:

  • Menewaskan anggota-anggota dari suatu kelompok

  • Menyebabkan cidera serius, baik secara fisik maupun psikis atas anggota dari suatu kelompok

  • Dengan sengaja mengakibatkan kondisi kehidupan dengan maksud membinasakan semua atau sebagian dari suatu kelompok

  • Menerapkan langkah-langkah dengan maksud untuk mencegah kelahiran dalam suatu kelompok

  • Melakukan pemindahan paksa anak-anak suatu kelompok ke kelompok lain

Kebijakan militer pemerintah Brazil (1964-1985) terhadap penduduk asli setempat dapat dengan mudah dipandang sebagai sebuah kejahatan genosida. Bagi pemerintah diktator saat itu, komunitas suku-suku penduduk asli adalah rintangan dalam rangka pembangunan nasional yang ideal – khususnya bagi konstruksi sistem jalan raya dan pengembangan kapasitas pembangkit energi nasional.

Mari kita lihat, misalnya, pada komunitas Waimiri-Atroari. Populasinya pada tahun 1972 berjumlah sekitar 3000 jiwa. [1] Sebelas tahun kemudian, populasinya berkurang hingga 332 individu, dengan tanpa bukti bahwa pernah terjadi adanya wabah penyakit apapun. [2] Periode tersebut bertepatan dengan konstruksi jalan raya BR 174 di Brazil Utara yang melintasi daerah-daerah penduduk asli.

Laporan-laporan dan dokumen-dokumen yang dikumpulkan oleh Truth and Memory Comission dari negara bagian Amazonas (CVM Amazonas) menunjukkan terjadinya sebuah proses pembasmian sistematis dan pengusiran paksa. Sampai sejauh itu sudah diketahui oleh institusi-institusi yang seharusnya menjaga kepentingan penduduk asli – the old Society for the Protection of the Indian (SPI) dan the National Foundation of the Indian (FUNAI) –, dan telah memiliki dukungan mereka. Sebagaimana diungkapkan oleh salah satu pemimpin dari the Front for the Attraction of the Waimiri (FAWA), tentara pemerintah, “menunjukkan kekuatan orang-orang beradab, dengan cara-cara termasuk penggunaan dinamit, granat, gas air mata, dan penembakan senapan mesin, serta penahanan atas pimpinan-pimpinan penduduk asli di bagian daerah lain negeri.” [3] Dokumentasi ekstensif oleh CVM Amazonas menunjukkan bahwa penduduk-penduduk asli telah menjadi target penindasan darat, pengeboman, dan bahkan juga mungkin bom napalm. Korban tewas mencapai 2000, dengan niat jelas untuk mengenyahkan keberadaan mereka karena dianggap mengganggu. [4]

Komunitas peduduk asli yang paling dimusuhi oleh rezim pemerintah adalah orang-orang Cinta-Larga dari Brazil Tengah-Barat. Diperkirakan bahwa selama periode 20 tahun, yakni dari 1950-an hingga 1970-an, lebih dari 5000 penduduk Indian Cinta-Larga tewas oleh orang-orang bersenjata yang memiliki hubungan dengan rezim militer, juga oleh para tuan tanah yang berhasil memperoleh hak-hak jelajah pada tanah Indian dari pemerintah.[5] Beberapa cara yang digunakan untuk membasmi Indian adalah dengan pengeboman dari helikopter dan pengiriman gula yang telah diracun. [6]

Dampak tingkat kematian yang begitu tinggi dari perbuatan pemerintah, baik yang terbuka maupun sembunyi-sembunyi ini, serupa dengan apa yang terjadi pada komunitas penduduk asli lainnya. Selama masa-masa campur tangan SPI dan FUNAI di antara suku Indian, khususnya pada 1970-an – tahun-tahun penindasan terparah selama berjalannya kediktatoran – diperkirakan bahwa 36% suku Awaretes, 50% suku Catrimani, 66% suku Paranas, dan 80% suku Yanomamis tewas di negara bagian Amazonas. [7] Berdasarkan laporan CVM, total korban dari sepuluh komunitas diperhitungkan mencapai 8900 jiwa. Proporsi mencengangkan tersebut bahkan memaksa rezim militer patuh untuk mendeklarasi perbuatan mereka genosida atas penduduk asli. [8]

Namun, mengapa menganggap tindakan pemerintah Brazil sebagai genosida adalah hal yang penting bagi kita? Karena sampai sekarang proyek penindasan tersebut belum usai, hanya dilaksanakan dengan beberapa perubahan. Para Indian masih dibasmi dan diusir dengan konstruksi-konstruksi proyek-proyek besar seperti bendungan Belo Monte – dibangun atas kerja sama dengan perusahaan konstruksi terbesar setempat, yakni perusahaan yang sama dengan yang kini sedang dibawah investigasi terkait korupsi skala besar.

Selain beberapa pemberhentian kerja, tidak ada satupun dari pihak-pihak bertanggung jawab yang pernah dituntut, baik yang dari di lingkungan sipil maupun kriminal. Satu dari direktur-direktur FUNAI selama kediktatoran Romero Juca, kini menjabat senat di negara bagian Roraima – tempat yang sama dengan terjadinya pembantaian atas Waimiri-Atroira. Penghapusan komunitas penduduk asli adalah sebuah keinginan yang sangat nyata dimiliki oleh pemerintah, baik secara sadar maupun tidak. Sebagaimana dinyatakan pada 1976 oleh Rangel Reis, mantan Menteri Dalam Negeri dan Sekjen Agrikultur dibawah Jenderal Medici dan Geisel: “Indian tidak bisa menghentikan perkembangan …. Dalam 10 atau 20 tahun, tidak akan ada lagi Indian di Brazil. “ [9]

Diterjemahkan oleh Sasmito Yudha Husada.

[1] Oliveira, Rubens Auto da Cruz. FUNAI/DGPC. Postos Indígenas da FUNAI / Primeira Delegacia Regional / Estado do Amazonas. Brasília, 1972, pp. 1, 2, 7 e 8.

[2] Baines, Stephen Grant. Comment on “Relatório sobre a Visita aos Waimiri-Atroari: de 20 de setembro de 1992”, by Comissão de Assuntos Indígenas da ABA. Brasília, 19 de maio de 1993, p. 4.

[3] O Globo. Sertanista vai usar até dinamite para se impor aos Waimiris. Rio de Janeiro, 06 de janeiro de 1975.

[4] CVM Amazonas, http://www.dhnet.org.br/verdade/resistencia/a_pdf/r_cv_am_waimiri_atroari.pdf, p. 75.

[5] National Truth Commision. Relatório Temático sobre Violações de Direitos Humanos à Comunidades Índigenas, p. 237.

[6] 117 – Relatório Figueiredo, 1968, v. XX, p. 4.917.

[7] National Truth Commision. Relatório Temático sobre Violações de Direitos Humanos à Comunidades Índigenas, pp. 227/229

[8] Ibid., p. 205.

[9] National Truth Commision. Final Report. Texto 5 – Violações de direitos humanos dos povos indígenas. 2014, pp. 203-264.