Daniel Dylan Young

Menutup Muka dan Black Bloc: Sebuah Sejarah Sebelum Seattle

23/08/2009

      Mengenai Otonomi

      Membangun Dua Kekuatan Revolusioner - Budaya Dari Para Autonomen

      Penindasan Garis Keras, Resistansi Militan dan Asal Mula Black Bloc

      Black Bloc Di Amerika Sebelum Seattle

      Masa Depan Global Bagi Topeng Hitam

"Mereka yang duduk di kursi kekuasaan sangat cemas akan kekuatan mereka sehingga mengenakan topeng, dan tak suka apabila apa yang mereka lakukan tersebut teridentifikasi, terdeteksi dan terkatalogkan. Sementara, topeng kami bukanlah untuk menyembunyikan identitas, melainkan untuk menyatakannya. Hari ini kami harus memberi wajah pada aksi resistansi ini, dengan mengenakan topeng, kami menyatakan identitas kami, dan dengan meneriakkan suara kami di jalanan bersama-sama, kami menyatakan kemarahan kami kepada kekuatan sistem yang tak berwajah..."
- dari sebuah pamflet yang didistribusikan 9000 aktivis bertopeng dalam aksi Carnival Against Capital, 18 Juni 1999 lalu yang menghancurkan distrik finansial di pusat kota London.


Dalam aksi protes anti-WTO tahun lalu, di antara 100 hingga 300 anarkis dan lainnya yang berdandan hitam-hitam dan secara sistematis menyampah serta menghancurkan jendela-jendela counter-counter korporasi multinasional. Sejak saat itu, taktik dari Black Bloc mendapatkan perhatian lebih dari orang-orang yang sangat perhatian pada masalah perubahan sosial. Semua kelas menengah, kaum progresif yang bergantung pada donatur dan kaum liberal menyatakan bahwa mereka secara moral tidak memberikan ruang dalam aksi mereka untuk perilaku-perilaku seperti di atas. Dalam saat yang sama, Black Bloc di Seattle menginspirasikan sesuatu yang baru, yang menarik dalam taktik protes yang militan yang tidak memberi tempat bagi otoritas ataupun bagi mereka yang mencari kekuasaan. Black Bloc dalam aksi N30, bersama dengan aspek-aspek lain dalam event di Seattle, memberikan inspirasi bagi para anarkis radikal untuk tidak lagi bersembunyi di balik kelompok-kelompok aktivis liberal yang memiliki agenda reformis dan mulai untuk lebih vokal dalam menuntut sebuah revolusi dan perubahan sosial secara total. Di samping itu, sangat massifnya publikasi anarkis dan organisasi-organisasinya, dengan jelas tampak dalam aksi-aksi Black Bloc yang hadir dalam berbagai aksi di Amerika Utara. Diakui atau tidak, Black Bloc menjadi salah satu tradisi anarkis, dan itu semua dimulai oleh anak-anak muda yang sangat berani di Seattle.

Ataukah malah sebenarnya hal itu telah dimulai jauh sebelum itu? Dalam faktanya, 30 November lalu telah jauh dari saat pertama kali di mana sebuah kelompok besar para radikal berdandan hitam dan penutup muka dalam usahanya untuk membangun sebuah protes militan dalam anonimitas dan solidaritas. Black Bloc adalah sebuah bentuk persetujuan atas taktik protes yang telah berumur sekitar 20 tahun tersebut. Orisinilnya, aksi seperti itu dimulai di Eropa oleh para otonomis yang menamakan diri mereka Autonomen, sebuah gerakan perubahan sosial yang tidak pernah mengklaim diri mereka sebagai anarkis, walaupun ide-ide dan taktik mereka sangat mengapresiasikan dan mengadopsi bentuk-bentuk anarkis.


Mengenai Otonomi

Autonomia, autonomen atau otonomis telah digunakan dalam berbagai gerakan budaya perlawanan dan perubahan sosial yang populer di Italia, Jerman, Denmark, Belanda dan berbagai tempat lain di Eropa selama kurang lebih tiga dekade ke belakang. Semua gerakan-gerakan yang berbeda tersebut telah secara radikal melawan otoritas, dominasi dan kekerasan di mana saja hal tersebut eksis dalam kehidupan kontemporer. Otonomi dalam kasus ini bukanlah berarti isolasi ataupun superioritas regional yang sangat kompleks seperti misalnya nasionalisme negara atau otonomi daerah dalam propinsi di sebuah negara, atau juga otonomi individual atas kehidupan mayoritas seperti yang menjadi basis terbentuknya kapitalisme. Apa yang menjadi tujuan dari para otonomis adalah kebebasan bagi individual untuk memilih dengan siapa mereka saling berbagi dan membentuk sebuah grup affinitas untuk bertahan hidup serta memenuhi kebutuhan mereka secara kolektif, tanpa intervensi dari birokrasi yang tak manusiawi serta individual yang rakus dan penuh kekerasan.

Yang pertama kali disebut otonomis adalah para individual yang tergabung dalam gerakan Italian Autonomia yang mulai bergerak selama tahun-tahun Hot Autumn 1969 yang terkenal, sebuah masa di mana terjadi banyak penangkapan-penangkapan massal terhadap penduduk. Selama tahun 1970an, di Italia gerakan tersebut menyebar dengan luas dan menuntut perubahan sosial secara menyeluruh. Gerakan ini dimotori oleh grup-grup otonomis seperti para pekerja pabrik, perempuan dan pelajar. Kapitalis, serikat buruh, dan para birokrat dari Partai Komunis di sana tidak ada kaitannya sama sekali dengan gerakan ini, justru merekalah yang berusaha keras merepresi dan menghentikan gerakan otonomi ini. Dalam masa tersebut struktur kekuasaan mengalami ketidakpercayaan yang sangat luas di kalangan massa yang menolak untuk mematuhi aturan-aturan dan hukum pemerintah.

Meskipun aksi-aksi langsung, pemogokan, squating massal, pertempuran jalanan, pendudukan universitas dan berbagai aksi radikal lainnya dilakukan dengan skala besar dan massif selama tahun 1970, gerakan di Italia tersebut terpecah-pecah. Hal in diakibatkan oleh serangan-serangan yang brutal, pemenjaraan dan pembunuhan para radikal yang dilakukan oleh polisi dan pemerintah yang dikontrol oleh partai Komunis. Di saat yang sama, respon terhadap menanjaknya eskalasi serangan dari negara yang sangat keras dilakukan oleh aksi-aksi terorisme dari kelompok-kelompok gerilyawan kota yang radikal. Terorisme yang defensif justru sering membuat orang-orang berpaling dari gerakan perubahan sosial. Beberapa memilih untuk menjadi semakin militan dan sembunyi-sembunyi di saat yang lainnya malah memilih untuk hidup damai dan berkompromi dengan negara.


Membangun Dua Kekuatan Revolusioner - Budaya Dari Para Autonomen

Walaupun potensi revolusioner otonomis Italia telah mati, gaung, keyakinan dan kekuatan mereka menjadi sebuah inspirasi bagi para kaum muda di Jerman Barat pada tahun 1980an. Terinspirasi oleh gerakan squater Amsterdam dan organisasi pemuda di Swiss, kaum muda di Berlin, Hamburg dan beberapa kota besar lainnya mulai membangun pusat-pusat otonomi serta berbagai organisasi-organisasi sosial mereka sendiri berdasarkan resistansi melalui gaya hidup alternatif dan radikal.

Komposisi dan arah organisasi-organisasi radikal di Jerman Barat pada tahun 1980an ditentukan oleh resesi ekonomi yang cukup parah. Karena hubungan yang terbangun baik antara serikat-serikat buruh dan pemerintah Jerman, efek dari resesi ekonomi tidak terlalu terasa bagi para pekerja kerah biru, tetapi bagi kaum mudanya, keadaan ini sangat menekan seperti tidak adanya lapangan pekerjaan dan sulitnya masalah perumahan. Sementara rata-rata mereka telah memutuskan untuk tidak tinggal lagi bersama orang tua mereka dan mendanai hidup mereka sendiri. Oleh karena itu, poin-poin untuk memobilisasi kaum mudanya secara otonomis termasuk menaikan isu-isu mengenai kehidupan masyarakat pinggiran di Jerman dan keluarga nuklir (yang dianggap mapan) di sana, isu perumahan, tingginya angka pengangguran—serta mempertanyakan kebijakan-kebijakan pemerintah seperti masih dianggap ilegalnya aborsi dan rencana pemerintah untuk dibangunnya pusat pabrik senjata nuklir.

Sebagai hasil dari resesi ekonomi dan perpindahan ke daerah pinggiran, pada akhir tahun 1970an, puluhan gedung di berbagai belahan pusat kota Jerman, terutama Berlin Barat, dibiarkan kosong oleh para developer atau agen-agen pemerintah. Menempati gedung-gedung tersebut menjadi salah satu pilihan bagi kaum muda yang penuh improvisasi untuk tinggal secara independen dari rumah-rumah kelas menengah keluarga nuklir. Komunitas-komunitas squater yang penuh semangat tumbuh dan berkembang di daerah Kreuzberg, Berlin, squat-squat Haffenstrasse di Hamburg dan di berbagai titik konsentrasi lainnya. Inti masalah yang dituju oleh komunitas-komunitas tersebut adalah kehidupan komunal, dan pembangunan berbagai pusat aktivitas radikal seperti: infoshop, toko buku, cafe, ruang pertemuan, bar, ruang konser, galeri seni dan berbagai ruang multi-fungsi di mana budaya sosial artistik dan politis dikembangkan sebagai sebuah alternatif dari kehidupan keluarga nuklir, impian-impian di layar televisi dan budaya pop yang diproduksi secara massal.

Dari ruang-ruang sosial yang aman, tumbuh secara grass-root kekuatan-kekuatan yang berinisiatif untuk melawan kekuatan nuklir, menghancurkan patriarki dan stereotipikal peran gender; untuk memperlihatkan solidaritas kepada seluruh manusia di dunia dengan menyerang korporasi multinasional yang berbasis di Eropa atau institusi keuangan seperti Bank Dunia; dan setelah reunifikasi (penggabungan Jerman), aktivitas lainnya adalah untuk berperang melawan tumbuhnya kekuatan konservatif neo-Nazisme.

Inisiatif lain yang serupa bagi gaya hidup alternatif sebagai sebuah bentuk resistansi semakin berkembang pada tahun 1980an di Belanda, Denmark dan berbagai tempat di seluruh Eropa Barat. Akhirnya, semua yang hidup dalam grup-grup sosial yang desentralis di Eropa Barat berdedikasi untuk membentuk sebuah tatanan masyarakat anti-hirarki dan membangun sebuah kolektif besar bernama "Autonomen". Selama waktu tersebut, ide-ide dan taktik otonomis bermigrasi ke negara-negara Eropa Timur.


Penindasan Garis Keras, Resistansi Militan dan Asal Mula Black Bloc

Sejak awal, negara Jerman Barat tidak pernah berlaku ramah terhadap para otonomis-otonomis muda, baik apabila mereka menduduki gedung-gedung pusat pengembangan tenaga nuklir maupun pendudukan gedung yang tak terpakai. Pada musim dingin 1980, pemerintah Berlin memutuskan untuk mengambil garis keras melawan ribuan anak-anak muda yang tinggal dalam squat di sepanjang kota: mereka memutuskan untuk menganggap para squater sebagai kriminal, hingga diperbolehkan untuk diserang dan dievakuasi ke jalanan musim dingin yang bersalju. Hal ini sangat mengejutkan dan merupakan sesuatu yang tak biasa di Jerman dibandingkan seperti yang terjadi di Amerika Serikat, sehingga hal ini menimbulkan kemarahan yang lebih besar lagi terhadap pemerintah dan polisi.

Sejak Desember 1980 di sana terjadi penangkapan massal, pertempuran jalanan dan gerakan squat baru di Berlin dan seluruh Jerman. Autonomen tidak berlaku seperti pengecut, setiap evakuasi polisi selalu direspon dengan pendudukan beberapa gedung baru. Ketika dilakukan penangkapan massal para squater di selatan kota Freiburg, berbagai rally, march dan demonstrasi dukungan terhadap para squater merebak di berbagai kota besar Jerman untuk menentang kebijakan evakuasi dari pemerintah yang didukung oleh polisi. Pada hari tersebut di Berlin, yang kemudian dikenal sebagai hari Black Friday, lebih dari 15.000 hingga 20.000 orang memenuhi jalanan kota dan menghancurkan area belanja kelas atas.[1]

Penindasan dan aksi resistansi seperti inilah yang menjadi awal kelahiran dari Black Bloc. Pada akhir 1981, pemerintah Jerman mulai melegalkan beberapa squat dalam usahanya untuk memecah belah budaya perlawanan dan menyingkirkan segmen-segmen radikal dari dalamnya. Tetapi taktik tersebut sangat lambat untuk melemahkan gerakan radikal popular tersebut—terutama karena sejak periode 1980-81 tidak hanya ditemui kekerasan brutal terhadap para squater, tetapi juga terjadinya mobilisasi polisi terbesar pertama di Jerman sejak jaman kekuasaan Nazi, dengan tujuan untuk menyerang para pemrotes yang anti-kekerasan dalam kasus Free Republik Of Wendland, di mana sekitar 5.000 aktivis memblokade konstruksi limbah nuklir Gorleben.[2]

Sebagai respon terhadap kekerasan negara, para aktivis radikal mengembangkan taktik Black Bloc: mereka datang ke aksi-aksi protes dengan mengenakan helm berwarna hitam dan topeng ski serta berdandan serba hitam (bahkan banyak pula yang mengenakan sepatu bertumit baja dan membawa tongkat). Dengan taktik ini, Black Bloc, Autonomen dan para radikal lainnya dapat lebih efektif melawan serangan polisi, tanpa pernah sekali pun dibiarkan seorang diri ditangkap dan diperlakukan secara brutal. Dan dengan segera, taktik ini menyebar, semakin banyak orang-orang yang berdandan serupa lengkap dengan penutup wajah, tidak hanya membantu dalam mempertahankan diri melawan polisi, tetapi juga memudahkan para penyabot untuk melakukan aksi-aksinya melakukan perusakan terhadap counter-counter toko, bank, dan berbagai simbol material dari kekuatan negara dan kapitalisme. Menutup wajah sebagai Black Bloc mendorong para radikal untuk berpartisipasi secara popular menghancurkan properti dan melakukan kekerasan terhadap negara dan kapitalisme. Dalam cara ini, Black Bloc adalah sebuah format dari militansi yang menggabungkan berbagai taktik aksi popular seperti pembangkangan sipil anti-kekerasan, terorisme gerilya dan sabotase.

Penyempurnaan Black Bloc Autonomen: Black Bloc, militansi Autonomen, dan resistansi popular terhadap negara polisi dan Orde Dunia Baru di antara kaum muda Eropa pada tahun 1980an

Walaupun radikal-radikal dari Belanda tidak menyebut diri mereka Autonomen hingga sekitar tahun 1986, para aktivis budaya perlawanan Belanda berbagi taktik, struktur pengorganisiran dan militansi dengan memproklamirkan diri sebagai otonomis. Gerakan squating Belanda benar-benar dimulai sekitar tahun 1986, dan pada tahun 1981, lebih dari 10.000 rumah dan apartemen dijadikan squat di Amsterdam, dan di seluruh Belanda terhitung 15.000 squat pada tahun itu. Squat berupa restoran, bar, kafe dan pusat informasi, dan para squater (di sana biasa disebut kraakers) memiliki delegasi-delegaso mereka sendiri yang setiap beberapa waktu berkumpul bersama dalam menentukan arah gerakan dan membangun radio komunitas mereka sendiri.[3]

Walaupun para otonomis Belanda menolak mengenakan topeng ski saat beraksi bersama dalam Black Bloc [4], gerakan mereka tidak kalah militan. Sebuah buku yang menceritakan tentang gerakan squater Belanda menuliskan bahwa, "sejak awal, telah terbentuk sebuah “Brigade Helm Hitam” yang bergabung dalam pertempuran jalanan dan bersifat demokratis secara sosial."[5]

Pertempuran melawan evakuasi polisi di squat-squat Amsterdam seringkali menampilkan konstruksi dari barikade yang tinggi dan para squater bertahan dari lantai atas, melempari polisi dengan berbagai furniture dan berbagai proyektil dalam berbagai bentuk dan ukuran. Dalam tahun-tahun berikutnya ada beberapa batas kekerasan yang dilakukan oleh para squater Belanda melawan serangan polisi. Tetapi bagaimanapun, pada tahun 1985 saat seorang squater bernama Hans Kok meninggal setelah terjadinya penangkapan dan penyerangan brutal terhadap para squater, dukungan semakin meningkat. Dan respon yang terjadi pada malam hari setelah kematian Hans Kok adalah terjadinya aksi perusakan di mana-mana di sepanjang Amsterdam dengan mobil-mobil polisi dibakar di berbagai wilayah distrik. Seorang squater berkata, "Setiap orang memiliki ide, saat ini kami akan menggunakan sesuatu yang sangat berarti, sesuatu yang selangkah di belakang senjata api: molli (molotov). Setiap orang membawa molli dalam tasnya, setiap orang mempunyai sekaleng bensin... dan hal ini adalah sebuah metode aksi yang baru."[6] Walaupun kematian Hans Kok dan kekerasan yang terjadi menyertai kematiannya menimbulkan efek negatif bagi gerakan para squater, sebuah taktik militansi yang baru telah terbukti efektif dan sangat bermanfaat di kalangan para aktivis. Pada tahun 1985, grup anti-rasis Belanda (ARA) menyerukan kampanye yang sangat sukses, yang memaksa supermarket korporatif Marko untuk menarik diri dari Afrika Selatan: kampanye ini menyulut tindakan-tindakan ekstrim yang memakan kerugian yang sangat mahal akibat pelemparan molotov terhadap gerai-gerai Marko dan kantor-kantornya.[7]

Di Jerman pda tahun 1986, beberapa serangan polisi dan usaha evakuasi melawan sebuah kompleks squat di Hamburg, Haffenstrasse, direspon dengan kontra-ofensif dari sekitar 10.000 orang yang melakukan demonstrasi dan sekitar 1.500 di antaranya dalam barisan Black Bloc, membawa sebuah banner besar bertuliskan Bangun Dua Kekuatan Revolusioner. Dan pada akhir aksi demonstrasi, Black Bloc dengan sukses melakukan pertempuran jalanan melawan polisi yang pada akhirnya menyerah. Dan pada keesokan harinya, api menyala membakar 13 department store di Hamburg, dan menyebabkan kerugian material sejumlah $ 10 juta.[8]

Pada tahun yang sama, tragedi nuklir Chernobyl membawa sebuah militansi baru bagi demonstrasi melawan situs-situs tenaga nuklir di Jerman. Sebuah sumber yang mengikuti aksi demonstrasi anti-nuklir tersebut menyebutkan, "situasi menyerupai perang sipil, orang-orang mengenakan helm, sepasukan anarkis berjaket kulit yang merupakan para anarkis Autonomen, bersenjata ketapel, molotov dan pistol pelontar sinar bertempur secara brutal dengan barisan polisi yang dipersenjatai dengan water-cannon, helikopter dan gas CS yang sekarang secara legal telah dianggap ilegal untuk digunakan dalam menghentikan aksi demonstrasi."[9]

Bulan Juni 1987, saat Ronald Reagan datang ke Berlin, sekitar 50.000 orang berdemonstrasi di jalanan melawan si raja perang dingin, termasuk di dalamnya sekitar 3.000 orang Black Bloc.[10] Sebulan kemudian mendadak evakuasi dan serangan polisi terhadap kompleks Haffenstrasse diintensifkan kembali. Bulan November 1987, ratusan penduduk dan Autonomen memblokade kompleks squat tersebut. Mereka juga membangun barikade di jalanan dan bertempur secara terbuka dengan polisi selama kurang lebih 24 jam. Dan di akhir pertempuran, pemerintah kota setuju untuk melegalkan tempat tinggal para squater tersebut.[11]

Lebih dari sepuluh tahun sebelum Seattle dan protes anti-WTO, Autonomen mengorganisir event sejenis dengan sejumlah besar para pemrotes. Bulan September 1988, Bank Dunia dan IMF mengadakan pertemuan di Berlin. Autonomen menggunakan kesempatan ini sebagai seruan untuk melakukan aksi global melawan kapitalisme global dan penghancuran komunitas independen yang disponsori oleh pemerintah. Ribuan aktivis sepanjang daratan Eropa dan Amerika Utara dimobilisir, dan sekitar 80.000 pemrotes mendatangi bank-bank (setidaknya 30.000 lebih banyak daripada aksi Seattle).[12] Sejumlah besar pasukan polisi dan penjaga keamanan menghadapi para demonstran dan secara brutal menghajar mereka, tetapi kerusuhan masih terjadi di area-area perbelanjaan kelas atas (yang tampaknya semakin menjadi tradisi).


Black Bloc Di Amerika Sebelum Seattle

Dalam aksi November 1999, taktik Black Bloc tampak baru bagi kebanyakan demonstran. Hal ini disebabkan ide-ide dan aksi dari gerakan otonomis di Eropa kebanyakan tidak dipublikasikan dalam media-media Amerika sementara media Jerman jarang yang menuliskannya dalam bahasa Inggris. Bagaimanapun, ketidaktahuan mengenai Black Bloc juga berawal dari dominasi media massa korporasi yang menolak memberitakan event-event yang tidak cocok dengan pola pandang mereka.

Kaum radikal di Amerika Utara memang tidak sepenuhnya buta terhadap aksi-aksi dan ide-ide kaum otonomis Eropa, dan berkembangnya subkultur punk rock di Amerika sepanjang tahun 1980an banyak membantu mendistribusikan informasi-informasi dari para otonomis. Dan pada awal 1990an, anarkis-anarkis dan para radikal di Amerika Utara mulai mengenakan penutup wajah saat berdemonstrasi, serta membangun solidaritas dan anonimitas dalam militansinya.

Saat Perang Teluk terjadi, sebuah aksi protes menentang perang tersebut muncul di Washington DC, di dalamnya mulai muncul juga barisan Black Bloc yang menhancurkan jendela-jendela gedung Bank Dunia. Pada tahun yang sama, dalam aksi Anti-Columbus Day di San Fransisco, Black Bloc muncul memperlihatkan resistansi militannya terhadap pembantaian para Indian yang dimulai oleh bangsa Eropa dengan kedatangan Columbus.[13] Barisan Black Bloc terbesar yang pernah tercatat adalah demonstrasi solidaritas Millions March For Mumia di Philadelpia bulan April 1999. Setidaknya lebih dari seribu orang berpakaian hitam, mengenakan penutup wajah dan membawa spanduk-spanduk yang diantaranya bertuliskan Vegans For Mumia. Walaupun tak ada pertempuran jalanan yang terjadi dan tak ada penghancuran properti, beberapa orang masuk ke lahan parkir, memanjat ke atap dan mengibarkan bendera hitam.


Masa Depan Global Bagi Topeng Hitam

Simbol dari para militan otonomis bertopeng hitam telah menjalar juga ke negara-negara dunia ketiga. Saat kebijakan neo-liberal yang destruktif, NAFTA (North Amrican Free Trade Agreement) disahkan pada tanggal 1 Januari 1994, sepasukan besar gerilyawan melakukan insureksi di Chiapas, sebuah negara bagian di Meksiko selatan. Insureksi ini bertujuan menciptakan organisasi sosial yang otonomus di antara kaum Indian Maya. Sayap bersenjata dari perjuangan demi pembangunan komunitas otonomis dan demokrasi tanpa hierarki telah lahir dan berlanjut di antara para Zapatista, laki-laki dan perempuan mengenakan balaklava hitam saat mereka tampil di hadapan publik. Banyak otonomis dan anarkis telah berkunjung dan menolong mereka membangun perjuangannya dengan uang, material, dan membangun kepedulian dan solidaritas internasional dengan Chiapas.

Kembali ke Jerman, Autonomen mengalami masa-masa gelapnya. Pada masa lampau, para squater berhasil menduduki 165 gedung apartemen besar di timur kota Berlin, tetapi pada tahun 1997 hanya tinggal 3 gedung yang tersisa.[1] Melegalisir beberapa squat dan di saat yang sama mengevakuasi squat lain dengan brutal, telah berhasil memecahbelah para squater dan merupakan keberhasilan gemilang bagi negara. Banyak orang yang tinggal di gedung-gedung squat yang telah dilegalkan, menolak untuk memperlihatkan solidaritas dengan taktik-taktik militan seperti yang dipraktekkan para squater lainnya, dan marginalisasi ini membuat para squater kehilangan kekuatan melawan kekuatan polisi yang semakin besar.

Kebangkitan kembali neo-Nazisme di daratan Jerman Timur dan beberapa area lainnya juga berarti kesulitan yang tiada akhir bagi para Autonomen. Mereka menghadapi kekerasan dan kematian dari serangan-serangan neo-Nazi, khususnya di kebanyakan daerah Jerman Timur di mana geng-geng neo-Nazi memasang slogan zona bebas punk, bebas orang asing. Dengan begitu energi dan kemampuan terbanyak dari Autonomen digunakan untuk memerangi menyebarnya neo-Nazisme, dan hal ini juga berarti mengurangi energi untuk mengedepankan sebuah dunia alternatif dalam tatanan masyarakat otoriter, hal yang dulu merupakan tujuan utama para Autonomen. Aksi Anti-Fasis (Anti-Fascist Action) atau organisasi Antifa, membawa para Autonomen ke dalam konfrontasi yang lebih keras dengan polisi Jerman, yang pada dasarnya mendukung kelompok-kelompok neo-Nazi dan nasionalis, ideologi rasis, walaupun secara individual seorang polisi tidak langsung terlibat dalam organisasi rasis tersebut.

Sebuah rumor mengatakan bahwa banyak para militan di area-area Eropa Barat di mana Black Bloc adalah salah sebuah taktik protes yang biasa, telah menyerah akibat tekanan-tekanan harian yang dihadapi dari polisi maupun dari neo-Nazi yang lebih brutal. Kekuatan represifitas negara telah berhasil dengan menggunakan teknologi yang semakin canggih untuk menangkapi orang-orang yang dituduh sebagai Black Bloc. Proses serupa juga terjadi di Amerika Utara, dengan kekuatan Cointelpro yang menyatakan perang terhadap siapa pun yang melawan kerajaan kapitalisme global.

Dengan demikian, Black Bloc terus berlanjut sebagai salah satu taktik atau akan ditinggalkan, setidaknya Black Bloc pernah berusaha untuk mencapai tujuannya. Di berbagai tempat dan waktu Black Bloc telah secara efektif mendorong orang-orang untuk beraksi dalam sebuah solidaritas kolektif melawan kekerasan negara dan kapitalisme. Sangat penting bahwa kita harus melihatnya bukan sebagai romantisme yang menggunakan taktik-taktik dan tradisi yang ketinggalan jaman, ataupun menolaknya sama sekali hanya karena kadang taktik tersebut tidak berjalan baik. Kita sebaiknya terus melanjutkan usaha kita untuk bekerja secara pragmatis untuk mendistribusikan kekuatan dan kebutuhan individual melalui berbagai taktik secara obyektif, seperti bahwa taktik Black Bloc juga dapat berguna dalam beberapa situasi tertentu. Menutup muka dalam Black Bloc mempunyai saat dan waktunya sendiri, seperti juga taktik-taktik perlawanan lainnya.

[1] Katsiaficas, George. The Subversion of Politics: European Autonomous Social Movements And The Decolonization of Everyday Life. New Jersey: Humanities Press International, Inc., 1997, hlm. 91.

[1] Katsiaficas, George. The Subversion of Politics: European Autonomous Social Movements And The Decolonization of Everyday Life. New Jersey: Humanities Press International, Inc., 1997, hlm. 91.

[2] Katsiaficas, hlm. 82

[3] Katsiaficas, hlm. 116

[4] Katsiaficas, hlm. 116.

[5] ADILKNO. Cracking The Movement: Squatting Beyond the Media. Trans. Laura Martz. New York: Autonomedia, 1990. hlm. 25.

[6] ADILKNO, hlm. 123

[7] Katsiaficas, hlm. 119.

[8] Katsiaficas, hlm. 128.

[9] Katsiaficas, hlm. 211.

[10] Katsiaficas, hlm. 131.

[11] Katsiaficas, hlm. 130.

[12] Katsiaficas, hlm. 131.

[13] Mid-Atlantic Infoshop. "Black Bloc For Dummies."