David Graeber

Kepingan-Kepingan Antropologi Anarkis

2004

      Pengantar Penerjemah (Cetakan Kedua)

      Mengapa Hanya Ada Sedikit Anarkis di Kampus?

      Bukan Berarti Teori Anarkis Itu Tidak Mungkin.

    Grave, Brown, Mauss, Sorel

      Antropologi Anarkis yang Memang Hampir Saja Ada

      Menuju Teori Kuasa Tanding Imajiner

    Meledakkan Dinding-Dinding

      Keberatan yang Jelas

      Eksperimen Pikiran, atau Meledakkan Dinding Dinding

      Apa yang Diperlukan untuk Merobohkan Tembok Tembok Ini?

    Prinsip prinsip dari Ilmu yang Tidak Ada

      1) Teori tentang Negara Negara punya karakter ganda yang ganjil.

      2) Teori tentang Entitas Politik yang Bukan Negara

      3) Belum Lagi tentang Teori Kapitalisme Lainnya

      4) Kuasa/Kedunguan, atau Kuasa/Kebodohan

      5) Ekologi Asosiasi Sukarela Apa saja jenisnya?

      6) Teori Kegembiraan Politis

      7) Hierarki

      8) Penderitaan dan Kesenjangan: Tentang Privatisasi Hasrat

      9) Satu atau Beberapa Teori Alienasi

        A. Globalisasi dan Penghapusan Ketimpangan Utara-Selatan

        B. Perjuangan Melawan Kerja

        C. Demokrasi

    Antropologi (dimana penulis agak enggak menggigit tangan yang telah memberinya makan)

    Tentang Penulis

“Hanya ada sedikit antropolog yang memeluk anarkisme, atau bahkan, secara sadar menganut ide-ide anarkis: lebih dari itu, mereka bergerak dalam lingkaran yang sama, ide-ide mereka cenderung memantul satu sama lain, bahwa ada sesuatu tentang pemikiran antropologis pada khususnya —kesadarannya yang tajam akan berbagai kemungkinan atas manusia— yang sejak awal memberinya ikatan dengan anarkisme.”

- David Graeber

Pengantar Penerjemah (Cetakan Kedua)

Bersama dengan ahli linguistik dan pemerhati hubungan internasional Noam Chomsky, pengkaji agraria dan anarkisme James C. Scott, serta para teoritikus anarkis-primitif (John Zerzan, Kevin Tucker dan Ted Kaczynski), David Graeber adalah salah satu tokoh intelektual anarkisme modern abad 21 yang masih hidup saat ini (ketika cetakan kedua terbit, ia sudah meninggal dunia). Berbeda dengan karya-karya serius, monoton dan esoterik dari tokoh yang disebutkan sebelumnya, Graeber punya gaya menulis yang khas, nyeleneh, dan seringkali, dengan cara yang cerdas untuk bercanda dengan serius.

Graeber tumbuh dari kultur keluarga yang revolusioner dan menghabiskan masa kecil dan mudanya hidup dalam gedung apartemen kooperatif. Ayahnya seorang anggota Liga Komunis Muda, hingga kemudian keluar sebelum munculnya pakta antara Hitler dan Stalin, untuk kemudian berperang dan terlibat dalam Revolusi Spanyol 1936 (revolusi anarkis paling populer, paling mendalam dalam perubahan mendasar struktur sosial dan paling luas cakupannya dalam sejarah modern, yang bahkan belum dapat ditandingi hingga saat ini). Ibunya seorang pekerja garmen dan terlibat dalam komedi musik tahun 30'an yang diorganisir oleh serikat buruh perempuan. Ia sendiri, berdasarkan wawancara, telah menjadi anarkis sejak usia 16 tahun.

Ia sempat menjadi asisten professor di Yale University, tetapi kontraknya tidak diperpanjang pada 2005, diduga, karena motif politik. Ini membuat 4.500 pendukung, mulai dari sejawat antropolog, bekas murid dan aktivis menandatangi petisi duku- ngan untuk membatalkan keputusan tersebut. Dalam antropologi modern, ia menjadi salah satu pelopor radikal yang secara serius melakukan kajian interdisipliner antara bentuk masyarakat tanpa negara (stateless society), taktik gerakan sosial dan teori sosial dalam antropologi. “Tulisannya dalam teori antropologi,” tulis Maurice Bloch, antropolog terkenal lain dari London School of Economics, “sangat menakjubkan.” Bloch memandang bahwa Graeber adalah “teoritikus antropolog terbaik untuk generasi sezamannya di dunia.”

Studinya yang ekstensif dilakukan di Madagaskar, tempat ia dapat melahirkan thesis doktoralnya, yang kemudian dijadikan buku, Lost People: Magic and the Legacy of Slavery in Madagascar (2007). Studinya di Madagaskar tentang orang Tsimihety menjadi contoh dari salah satu dari beberapa sistem sosial historis yang tidak menerima otoritas dan mempraktikkan anarki. Tsimihety ditandai oleh organisasi dan praktik sosial egaliter yang tegas. Sampai hari ini mereka telah mempertahankan reputasi sebagai rajanya orang-orang yang menghindar karena upaya mereka untuk mengjauh dari atau tunduk terhadap otoritas. Pada suatu kasus, para tetua Tsimihety tampak kooperatif ketika mereka coba dilibatkan dalam pembangunan jalan pada zaman kolonialisme Prancis. Ketika administrator pembangunan tiba dan membawa peralatan konstruksi, mereka mendapati bahwa kampung-kampung mereka telah diterlantarkan.

Beberapa gagasan Graeber yang terkenal adalah ketika ia membantah konsep Kuasa/Pengetahuan yang dicetuskan oleh Foucault. Menurut pemahaman Foucault tentang kekuasaan, kekuasaan didasarkan pada pengetahuan dan telah memanfaatkan pengetahuan, bagi Graeber sebaliknya, kekuasaan didasarkan pada kedunguan dan kebodohan. Esai pertamanya soal ini, Beyond Power/Knowledge (2006), diawali dengan kisah pilu dan menyebalkan bagaimana ibunya tidak lama kemudian meninggal selama proses birokratik rumah sakit dan bank yang berbelit bahkan setelah ibunya meninggal dunia ia harus berurusan dengan hal serupa demi mendapat sertifikat kematian. Tapi, esai ini sama sekali tidak bermaksud membahas birokrasi, tetapi tentang kekerasan, khususnya secara struktural. Singkatnya: prosedur birokrasi bukanlah hal yang bodoh, atau bahkan cenderung menghasilkan perilaku yang mereka anggap bodoh, melainkan cara mengelola situasi sosial yang sudah bodoh dari sononya karena didirikan pada kekerasan struktural. Ia menyebut ini, Kuasa/Kebodohan, konsep yang dia jelaskan kembali secara ringkas dalam esai ini.

Konsep Graeber lain yang populer adalah soal “pekerjaan omong kosong” (bullshit jobs). Graeber berpendapat bahwa manfaat produktivitas otomatisasi tidak mengarah pada 15 jam kerja setiap minggu, seperti yang diprediksi oleh ekonom John Maynard Keynes pada tahun 1930, melainkan pada pekerjaan omong kosong, yaitu bentuk bentuk pekerjaan yang bahkan orang orang yang menjalankan pekerjaan itu merasa bahwa pekerjaan tersebut tidak dibutuhkan atau tidak perlu ada. Dia melihat pekerjaan seperti itu biasanya terkonsentrasi pada pekerja profesional, manajerial, klerikal, penjualan, dan layanan. Ia menulis beberapa esai untuk ini, hingga kemudian ia menuliskannya dalam buku, Bullshit Jobs: A Theory (2018).

Esai ini, Fragments of Anarchist Anthropology, terbit pada 2004, sebuah upaya untuk menjelaskan kepingan kepingan atau hubungan yang aneh antara antropologi dan anarkisme. Ia memandang bahwa antropologi menjadi disiplin keilmuan yang berpotensi dalam melakukan eksplorasi bentuk organisasi sosial masyarakat tanpa negara dan tanpa pasar, serta mengajukannya sebagai alternatif kepada dunia. Ia menelisik, bahwa beberapa tokoh antropolog awal yang populer, sebenarnya secara tidak sengaja dan tidak langsung, anarkistik.

Ia juga mencetuskan teori kuasa tanding imajiner (imagnary counter-power), yang pada dasarnya adalah keberadaan mekanisme tidak langsung yang kerap diselimuti oleh mistitisme dari masyarakat anarkis(tik) untuk mencegah timbulnya kekuasaan ekonomi politik dari dalam masyarakat mereka sendiri. Kuasa tanding tidak hanya muncul dalam masyarakat dalam negara, tetapi bahkan dalam masyarakat dimana mereka tidak membentuk negara, yang dengan kesadaran penuh, secara sengaja mencoba mencegah munculnya hal tersebut. Seluruh studi kasus mengenai kuasa tanding imajiner yang dibahas Graeber berangkat dari beberapa contoh masyarakat seperti Piaroa (Venezuela), Tiv (Nigeria) dan Madagaskar. Teori ini, menurut saya, dapat menangkis asumsi umum bahwa menciptakan masyarakat anarkis pada akhirnya hanya akan menjadi proses perulangan dimana menumbangkan penguasa lama untuk menciptakan masyarakat tanpa penguasa, pada akhirnya hanya akan melahirkan penguasa baru. Berangkat dari kasus kasus yang ada, kita bisa membayangkan suatu cara yang sama dengan cara yang berbeda, untuk mencegah munculnya kekuasaan yang dipaksakan dengan kekuatan. Selalu ada kemungkinan dialektis yang terjadi dalam masyarakat untuk mengatasi kemungkinan buruk ketika mereka berhadapan dengan kekuasaan.

Dalam esai ini ia menyatakan bahwa jika marxisme cenderung menjadi wacana teoritis atau analitis akan strategi revolusioner, maka anarkisme cenderung menjadi sebuah wacana etis mengenai praktik revolusioner. Hal ini yang membuat Graeber tetap konsisten untuk berperang di dua front. Ia tetap aktif menulis, mengajar dan melakukan penelitian sembari di satu sisi terlibat dalam banyak kegiatan aktivisme dan sejumlah protes, seperti dalam gerakan Occupy Wall Street, dimana ia dikenal karena mencetuskan slogan, “We are the 99 percent!” Ia juga tergabung dalam serikat buruh anarko sindikalis IWW. Karya karyanya, bagaimanapun juga, menjadi salah satu kontribusi terbaik anarkis pada zaman ini. Saya berharap dapat menerjemahkan lebih banyak lagi karya karyanya, atau menulis dengan memantik inspirasi darinya.

Anarkisme: Istilah yang diberikan pada prinsip atau teori kehidupan dan perilaku di mana masyarakat dipahami hidup tanpa pemerintahan —harmoni dalam masyarakat seperti itu diperoleh, bukan dengan tunduk pada hukum, atau dengan kepatuhan pada otoritas apa pun, tetapi dengan perjanjian bebas yang disepakati oleh berbagai kelompok, teritorial dan profesional, dibentuk secara bebas demi produksi dan konsumsi, juga untuk kepuasan beragam kebutuhan dan aspirasi makhluk beradab.

Peter Kropotkin (Encyclopedia Brittanica)


"Pada dasarnya, jika Anda bukan utopianis, Anda tolol. "

- Jonothon Feldman (Indigenous Planning Times)


Berikut ini adalah serangkaian pemikiran, sketsa teori teori yang potensial, dan manifesto manifesto kecil —yang semuanya ditujukan untuk memberi gambaran sekilas tentang sekumpulan teori radikal yang sesungguhnya tidak benar benar ada, yang meskipun kelak bisa jadi ada di masa depan.

Karena ada alasan yang sangat bagus mengapa antropologi anarkis harus ada, kita dapat mulai dengan bertanya mengapa seseorang tidak —atau lebih tepatnya dalam hal ini, mengapa sosiologi anarkis, atau ekonomi anarkis, teori sastra anarkis, atau ilmu politik anarkis, tidak ada.

Mengapa Hanya Ada Sedikit Anarkis di Kampus?

Ini adalah sebuah pertanyaan yang relevan karena, sebagai filsafat politik, anarkisme tengah membuncah hari ini. Anarkis atau gerakan yang terinspirasi oleh anarkis tumbuh di mana mana, prinsip prinsip anarkis tradisional —otonomi, asosiasi sukarela, swa-organisasi, gotong royong (mutual aid), demokrasi langsung— telah beranjak dari fondasi untuk pengorganisiran dalam globalisasi gerakan, hingga memainkan peranan serupa di sejumlah gerakan radikal di mana mana. Kaum revolusioner di Meksiko, Argentina, India dan sejumlah tempat lain telah kian meninggalkan tetek bengek soal perebutan kekuasaan dan mulai merumuskan gagasan yang secara radikal benar benar berbeda soal apa makna dari sebuah revolusi. Kebanyakan orang, mengaku malu untuk menggunakan kata “anarkis. Tetapi sebagaimana Barbara Epstein baru-baru ini jelaskan, anarkisme telah mengganti posisi Marxisme dalam gerakan sosial sejak tahun 1960'an: bahkan mereka yang tidak menganggap dirinya sebagai anarkis merasa mesti mengaitkan dirinya dengan anarkisme dan mengambil beberapa dari gagasannya.

Namun semua ini tidak menemukan gaungnya di dunia akademik. Kebanyakan kaum akademisi hanya memiliki sejumput kecil gagasan soal anarkisme, atau menyepelekannya dengan stereotipe yang sangat kasar. (“Organisasi anarkis! Tapi bukannya itu malah bertentangan dengan istilah anarkis sendiri?”) Di Amerika Serikat terdapat ribuan sarjana Marxis atau sejenisnya, tapi sulit sekali menemukan segelintir sarjana yang mau secara terbuka menyebut dirinya anarkis.

Apakah para akademisi ini menutupi dirinya? Bisa jadi. Mungkin dalam beberapa tahun ke depan dunia akademis akan dipenuhi oleh kaum anarkis. Tapi saya tidak akan menunggunya. Ada hubungan yang erat antara Marxisme dan dunia akademis yang tak pernah dimiliki anarkisme. Karena sejak awal, ia menjadi satu satunya gerakan sosial terbesar yang diciptakan oleh seorang Dr. (doktor), meski kemudian ia menjadi sebuah gerakan yang ditujukan bagi kelas pekerja. Pun anarkisme, dimana catatan sejarah mengasumsikannya secara serupa: anarkisme ditampilkan sebagai buah pemikiran para pemikir abad ke sembilan belas —Proudhon, Bakunin, Kropotkin, dll.— yang kemudian menginspirasi organisasi kelas pekerja, masuk dalam perjuangan politik, dan terbagi bagi ke dalam beberapa aliran... Anarkisme, dalam pandangan umum, biasanya dianggap sebagai saudara sepupu Marxisme, yang secara teoritis dipandang datar namun cukup melengkapi gagasan perjuangan den gan gairah dan ketulusan. Tetapi faktanya, pengandaian ini terlalu dibuat buat. Para “tokoh pendiri” di abad ke 19 tidak berpikir bahwa mereka telah menemukan sesuatu yang baru. Sebab prinsip prinsip dasar anarkisme (swa-organisasi, asosiasi sukarela, gotong-royong) merujuk pada perilaku manusia yang telah melekat sepanjang peradaban manusia.

Penolakan yang sama akan negara dan segala bentuk kekerasan struktural, ketidaksetaraan, atau dominasi (anarkisme secara harafiah berarti “tanpa penguasa”), bahkan diasumsikan bahwa semua hal tersebut terhubung dan saling menguatkan satu sama lain. Tidak ada satupun dari hal yang disajikan tersebut adalah sebuah doktrin baru yang mengejutkan. Dan faktanya memang tidak demikian: kita dapat menemukan berbagai catatan dimana orang orang memberikan argumen yang hampir sama sepanjang sejarah, meskipun juga ada banyak alasan untuk meyakini bahwa pada sebagian besar ruang dan waktu, pendapat tersebut setidaknya pernah diawali. Yang kita bicarakan tidak sepenuhnya soal bangunan teori, tapi lebih soal sikap, atau mungkin seseorang menyebutnya sebagai keyakinan: penolakan terhadap model relasi sosial tertentu, keyakinan bahwa sesuatu yang lain yang jauh lebih baik bisa dibangun dan layak dihuni, keyakinan bahwa sebuah masyarakat semacam itu dapat terwujud.

Jika kita membandingkan sejarah pemikiran Marxisme dan anarkisme, terlihat jelas bahwa kita tengah menghadapi sesuatu yang secara mendasar sangat berbeda. Marxis telah menjadikan nama para pendirinya sebagai nama mazhab. Sama seperti Marxisme yang muncul dari pikiran Karl Marx, kita bisa melihatnya dalam Leninis, Maois, Trotskyis, Gramscian, Althusserian... (Perhatikan bagaimana di dalam daftar itu tersebar nama-nama dari kepala negara hingga profesor Prancis.)

Suatu kali Pierre Bourdieu pernah mencatat bahwa, dunia akademis adalah sebuah permainan dimana para sarjana berlomba-lomba untuk saling mendominasi. Salah satu cara supaya Anda tahu kalau anda telah memenangkan permainan itu adalah saat sarjana lain mulai membuat kata sifat dari nama Anda.

Tampaknya, untuk mempertahankan kemungkinan dalam memenangkan permainan yang para intelektual tegaskan, dalam berdiskusi satu sama lain, untuk terus menggunakan sejenis teori sejarah Manusia Hebat yang akan mereka cemooh dalam hampir semua konteks lain: gagasan Foucault, sebagaimana Trotsky, tidak pernah diperlakukan sebagai produk utama dari lingkungan intelektual tertentu, sebagai sesuatu yang muncul dari percakapan ngalor-ngidul dan argumen yang melibatkan ratusan orang, namun kerapkali, seolah olah muncul dari kejeniusan seorang laki-laki (man) (atau, yang sangat jarang, perempuan).

Politik kaum Marxis tidak sepenuhnya mengorganisir dirinya seperti dalam sebuah displin akademis, atau ia telah menjadi model bagaimana kaum intelektual radikal atau bahkan semua intelektual saling memperlakukan satu sama lain, alih-alih, keduanya bergandengan tangan membangun sesuatu. Dari sudut pandang akademis, ini menyebabkan banyak hasil yang bermanfaat —perasaan bahwa mesti ada pusat moral, bahwa perhatian kaum akademis seharusnya relevan dengan kehidupan masyarakat— tetapi juga, membawa petaka lain: membuat banyak perdebatan intelektual menjadi sebuah parodi politik yang sektarian, karena setiap orang berusaha membantah argumentasi pihak lawan dan menertawakannya menjadi karikatur yang konyol sehingga meyakinkan bahwa mereka bukan hanya keliru, tapi juga jahat dan berbahaya. Perdebatan semacam ini terjadi dalam bahasa-bahasa yang rumit, yang tak bakal dimengerti oleh mereka yang tidak mampu menyelesaikan tujuh tahun masa kuliah dan tak tahu bahwa perdebatan semacam itu ada.

Sekarang kita lihat pemikiran anarkisme. Ada anarko-sindikalis, anarkis-komunis, individualis, insureksionis, platformis, kooperatifis... Tak ada satupun yang dilabeli dari nama Pemikir Besar, alih-alih mereka selalu dilabeli berdasarkan praktik, atau seringkali, prinsip organisasional. (Secara signifikan, tendensi Marxis yang tidak dilabeli dengan nama individu, seperti Otonomisme atau Komunisme Dewan, juga lebih dekat dengan anarkisme.) Anarkis lebih cenderung mencirikan diri dengan apa yang mereka lakukan, dan bagaimana mereka mengorganisir dirinya sendiri untuk melakukan hal tersebut. Dan memang inilah yang para anarkis pikir dan perdebatkan sepanjang waktu.

Para anarkis tidak pernah betul-betul tertarik dengan strategi atau pertanyaan filosofis yang begitu luas, yang secara historis kerap menyibukkan kaum Marxis, misalnya pertanyaan seperti: apakah kaum tani merupakan kelas revolusioner yang potensial? (Anarkis memandang persoalan ini lebih tepat ditentukan oleh kaum tani itu sendiri.) Apa sifat dari bentuk komoditas? Kaum anarkis justru cenderung berdebat soal bagaimana caranya menjalankan musyawarah yang benar benar demokratis ketika organisasi mulai berhenti memperkuat individu dan malah mengekang kebebasan individu. Atau, secara bergantian, soal etika menentang kekuasaan: Apa itu aksi langsung? Apakah perlu (atau benar) untuk mengutuk secara terang terangan seseorang yang telah membunuh kepala negara? Atau bisakah pembunuhan, khususnya jika bertujuan untuk mencegah sesuatu yang lebih buruk, seperti perang, menjadi sebuah aksi moral? Kapan waktu yang tepat untuk merusak properti?

Jadi kesimpulannya adalah:

  1. Marxisme cenderung menjadi wacana teoritis atau analitis akan strategi revolusioner.

  2. Anarkisme cenderung menjadi sebuah wacana etis mengenai praktik revolusioner.


Tentu saja, semua yang saya katakan adalah semacam karikatur (ada juga kelompok kelompok anarkis sektarian, dan banyak libertarian, termasuk Marxis yang berorientasi praktis, termasuk saya sendiri). Sekalipun demikian, hal ini tidak menunjukkan potensi untuk saling melengkapi di antara keduanya. Dan memang begitu adanya: bahkan Mikhail Bakunin, meski memiliki perselisihan yang tak ada ujungnya dengan Marx atas persoalan praktik, secara personal menerjemahkan Das Kapital-nya Marx ke dalam bahasa Rusia. Tapi hal itu juga membuat kita lebih mudah memahami mengapa hanya ada sedikit anarkis di kampus.

Ini bukan berarti kalau anarkisme cenderung tidak berguna bagi teori langitan. Bahwa anarkisme lebih memberi perhatian pada bentuk bentuk praktis, ya, itu benar. Hal itu menegaskan, sebelum beralih ke yang lain, sesuatu harus sejalan dengan tujuan akhir, orang tidak bisa menciptakan kebebasan dengan cara cara otoritarian: setiap orang mesti berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan masyarakat yang ingin diciptakan bersama rekan rekannya. Dan ini tidak cocok dengan metode Operasional yang ada di universitas —satu satunya lembaga selain Gereja Katolik dan monarki Inggris yang berhasil bertahan sejak Abad Pertengahan hingga hari ini dalam bentuk yang tidak jauh berbeda— melakukan peperangan intelektual dalam konferensi yang diselenggarakan di hotel-hotel mewah dan mencoba berpura-pura bahwa hal itu akan mendorong revolusi. Mungkin seseorang membayangkan bahwa ketika mengakui diri sebagai seorang profesor anarkis secara terbuka, maka artinya ia menantang apa yang sudah diterapkan universitas selama ini —saya tidak menganjurkan untuk membuka departemen studi anarkis di kampus, bukan begitu— dan hal ini tentu saja akan menimbulkan lebih banyak masalah ketimbang apapun yang pernah dituliskan.

Bukan Berarti Teori Anarkis Itu Tidak Mungkin.

Bukan berarti kaum anarkis itu menentang teori. Bagaimanapun juga, anarkisme, dalam dirinya sendiri, adalah sebuah ide, yang bahkan sudah sangat tua. Anarkisme adalah sebuah skema, yang dipersiapkan untuk mulai menciptakan sebuah tatanan masyarakat baru “dalam cangkang yang sudah tua,” untuk mengekspos, menumbangkan, dan mengikis struktur dominasi. Namun ia melakukannya dengan cara-cara yang demokratis, dengan cara yang menunjukkan bahwa struktur lama tersebut tidak dibutuhkan.

Tentu saja, setiap proyek apapun memerlukan pemahaman dan instrumen analisis intelektual. Tidak perlu ada Teori Langitan, cukup dengan apa yang bisa dipahami. Dan tentunya tidak juga menjadi teori tunggal, yang jadi semacam Teori Langitan Anarkis. Sebab, itu justru berlawanan dengan semangat anarkisme sendiri. Lebih baik, menurut saya, sesuatu yang terkandung dalam semangat proses pengambilan keputusan ala anarkis, digarap di berbagai tingkatan mulai dari kelompok-kelompok afinitas hingga majelis skala besar yang terdiri dari ribuan orang. Kebanyakan kelompok anarkis bekerja dengan metode konsensus yang sudah dikembangkan dengan berbagai cara, menjadi penentang kekuasaan tunggal yang telah memecah-belah, serta gaya sektarian yang cukup populer di kalangan kelompok kelompok radikal lainnya.

Diterapkan pada teori, hal ini bisa diartikan untuk menerima kebutuhan akan keberagaman perspektif Teori Langitan, yang hanya bisa dipadukan dengan berbagi komitmen dan saling mengerti. Dalam proses mufakat (konsensus), setiap orang menyepakati banyak hal sejak awal pada prinsip-prinsip persatuan yang luas dan tujuan keberadaan kelompok, namun diluar itu mereka juga menerimanya sebagai hal yang tak bisa ditawar lagi, bahwa tak seorangpun yang akan berusaha mengubah pandangan seseorang untuk mengikuti sudut pandang mereka sepenuhnya, dan memang tidak seharusnya demikan, sehingga diskusi semestinya harus lebih fokus pada pertanyaan-pertanyaan aksi yang kongkrit, dan muncul dengan rencana-rencana yang semua orang bisa menyepakatinya dan tak seorangpun yang merasa hak mendasarnya dilanggar.

Seseorang bisa melihat adanya hal yang paralel di sini: serangkaian prespektif yang beragam, bergabung karena adanya keinginan bersama untuk memahami kondisi manusia, dan mendorongnya ke arah kebebasan yang lebih baik. Ketimbang terus menerus berusaha membuktikan bahwa pendapat orang lain itu keliru, ia justru berusaha untuk menemukan garapan dimana mereka bisa saling memperkuat satu sama lain. Hanya karena adanya ketidakcocokan pada teori-teori tertentu, bukan berarti mereka tidak dapat hadir bersama-sama atau saling memperkuat satu sama lain. Fakta bahwa individu memiliki pandangan dunia yang unik, yang tidak dapat dibandingkan, dan ini bukan berarti mereka tidak bisa menjadi teman, atau kekasih, atau bekerja bersama dalam proyek.

Bahkan lebih dari sekadar Teori Langitan, apa yang dibutuhkan anarkisme adalah sesuatu yang mungkin disebut sebagai Teori yang Membumi: sebuah metode yang bergelut dengan hal-hal yang nyata, pertanyaan-pertanyaan mendesak yang muncul dari sebuah proyek transformatif. Ilmu sosial arus utama sebenarnya tidak cukup membantu untuk hal-hal seperti ini, karena secara normal di dalam ilmu sosial arus utama hal-hal seperti ini, secara umum, dianggap sebagai “masalah kebijakan |policy|” dan tentu saja tak ada seorang pun anarkis tulen yang mau berurusan dengan hal ini.

Menolak kebijakan (sebuah manifesto kecil):

Gagasan tentang “kebijakan” menganggap bahwa negara atau aparat yang memerintah bisa memaksakan kehendaknya atas yang lain. “Kebijakan” merupakan negasi dari politik, kebijakan secara definisi merupakan sesuatu yang direka-reka oleh sekelompok elit, yang menganggap mereka lebih tahu dari orang lain soal bagaimana mengurusi banyak hal. Dengan berpartisipasi dalam perdebatan soal kebijakan, setidaknya hal ini dapat mengurangi kerusakan yang akan ditimbulkan olehnya, sebab premis dasar kebijakan adalah lawan dari gagasan yang mendukung agar orang orang mengelola urusan dengan tangannya sendiri.

Maka dalam hal ini, pertanyaannya menjadi: Teori sosial macam apa yang sesuai dengan kepentingan mereka yang mencoba mendorong terciptanya dunia dimana orang-orang yang merdeka mengelola urusannnya sendiri?

Maka inilah hal utama yang hendak pamflet ini bicarakan. Sebagai permulaan, saya akan bilang bahwa teori semacam itu harus dimulai dengan beberapa asumsi awal. Tak banyak. Mugkin hanya dua. Pertama, ia mesti berangkat dari asumsi bahwa, sebagaimana ditembangkan dalam lagu-lagu rakyat Brazil, “dunia yang berbeda itu mungkin”. Bahwa institusi seperti negara, kapitalisme, rasisme dan dominasi laki laki bukanlah hal yang tak bisa diubah: bahwa memiliki sebuah dunia dimana hal-hal buruk semacam itu tidak ada lagi, dan kita akan menjadi lebih baik tanpanya adalah hal yang mungkin. Bentuk dedikasi diri terhadap prinsip semacam ini mirip dengan ketaatan terhadap agama, sebab bagaimana mungkin seseorang menguasai pengetahuan mengenai hal-hal macam itu?

Boleh jadi hal hal seperti ini tidak mungkin dicapai. Tetapi kita bisa membalik pendapat itu: justru dengan ketidaktersediaan pengetahuan absolut inilah yang membuat komitmen untuk Optimisme sebagai sebuah keharusan moral: Karena tak seorang pun bisa memastikan bahwa sebuah dunia yang lebih baik adalah tidak mungkin. Kalau begitu apakah kita tidak malah mengkhi anati orang banyak jika tetap membenarkan dan mereproduksi, kebobrokan yang kita alami saat ini? Dan tentu saja, bahkan jikapun kita keliru, kita mungkin menjadi lebih dekat pada solusi ketimbang menjauh.

Menolak anti-utopianisme (manifesto kecil lainnya):

Di sini kita mesti menghadapi persoalan yang tak terelakkan: bahwa utopianisme telah menuntun kita pada horor yang tak terperi, seperti yang telah dilakukan kaum Stalinis, Maois, dan kaum idealis lain yang berusaha mengukir peradaban ke dalam bentuk-bentuk yang tidak masuk akal, dengan membunuh jutaan orang dalam proses pembentukannya.

Argumen ini memiliki kesalahkaprahan mendasar: bahwa membayangkan dunia yang lebih baik itulah yang menjadi problemnya. Kaum Stalinis dan kaum sejenisnya tidak membunuh orang semata-mata karena membayangkan sebuah mimpi besar —sebenarnya, kaum Stalinis dikenal kurang memiliki imajinasi— tetapi mereka keliru karena mengira mimpinya sebagai kepastian ilmiah. Hal ini kemudian membuat mereka merasa memiliki hak untuk menerapkan visinya melalui mesin-mesin kekerasan.

Kaum anarkis tidak menawarkan hal semacam itu, justru sebaliknya. Mereka tidak memercayai adanya tahapan sejarah yang pasti, yang tak terhindarkan, dan tak seorang pun dapat membangun kebebasan yang lebih jauh dengan menciptakan sebuah penindasan yang lain. Faktanya segala bentuk kekerasan sistemik (di antaranya) juga menyerang peranan imajinasi sebagai prinsip dalam politik, dan satu-satunya cara untuk mulai berpikir soal penghapusan kekerasan sistemik adalah dengan mengakui hal ini.

Dan tentu saja kita bisa menulis berjilid-jilid buku tentang kekejaman sepanjang sejarah yang dilakukan oleh orang orang yang sinis dan pesimis...

***

Jadi itu adalah dalil yang pertama. Yang kedua, yang akan saya katakan adalah bahwa setiap teori sosial anarkis mesti men olak dengan sadar segala hal terkait dengan kepeloporan (vanguardism). Peranan kaum intelektual tentunya bukan untuk membentuk sebuah elit baru yang kemudian menciptakan analisis strategis yang tepat dan kemudian menuntut massa untuk mengikuti rencana ini. Tapi kalau itu tidak terjadi, akan jadi apa? Itulah sebabnya saya menamai esai ini “Kepingan Kepingan Antropologi Anarkis” —karena ini adalah medan dimana antropologi, saya pikir, memiliki posisi yang bagus untuk membantu. Dan bukan hanya karena komunitas komunitas swa-kelola sungguh-sungguh ada, tetapi juga dengan komunitas ekonomi tanpa pasar, yang lebih sering ditelusuri oleh antropolog daripada oleh sosiolog dan sejarawan. Ini juga karena etnografi menyediakan setidaknya semacam model, atau semacam model awal, tentang bagaimana kaum intelektual revolusioner non-pelopor bisa bekerja. Ketika melakukan etnografi, kita akan mengamati apa yang dilakukan orang-orang, dan kemudian mencoba membongkar simbol yang tersembunyi, moral, atau logika pragmatis yang mendasari perilaku mereka, kita mencoba mencari tahu kebiasaan dan tindakan orang-orang untuk memahami sesuatu dengan cara yang mereka sendiri tidak sadari. Salah satu peran utama kaum intektual radikal adalah melakukan hal serupa: untuk melihat mereka yang mencoba menciptakan alternatif yang lebih layak, berusaha mencari tahu dampak yang lebih besar atas apa yang mereka (sedang) lakukan, dan kemudian menawarkan ide-ide itu kembali, bukan sebagai resep, melainkan sebagai sebuah kontribusi, sebuah kemungkinan —sebagai sumbangsih. Inilah yang kira kira saya coba lakukan di beberapa paragraf awal saat saya menganjurkan bahwa teori sosial dapat membentuk kembali dirinya dalam kerangka proses demokrasi langsung. Dan ketika contoh contohnya jadi jelas, proyek semacam ini mesti memiliki dua aspek mendasar, atau momen jika kalian tak keberatan dengan istilah ini: satu etnografis, satu lagi yang utopian, yang ditangguhkan dalam dialog yang konstan.

***

Tidak satupun dari hal tersebut yang memiliki kaitan erat dengan apa yang ilmu antropologi lakukan, bahkan antropologi radikal sekalipun, selama kira-kira lebih dari seratus tahun terakhir. Namun selama bertahun-tahun ada sebuah relasi yang aneh antara antropologi dan anarkisme, yang begitu signifikan.

Grave, Brown, Mauss, Sorel

Hanya ada sedikit antropolog yang memeluk anarkisme, atau bahkan, secara sadar menganut ide-ide anarkis: lebih dari itu, mereka bergerak dalam lingkaran yang sama, ide-ide mereka cenderung memantul satu sama lain, bahwa ada sesuatu tentang pemikiran antropologis pada khususnya —kesadarannya yang tajam akan berbagai kemungkinan atas manusia— yang sejak awal memberinya ikatan dengan anarkisme.

Mari saya mulai dengan Sir James Frazer, meskipun ia adalah yang paling tidak cocok untuk dapat disebut sebagai seorang anarkis. Frazer, kepala antropologi di Cambridge pada pergantian abad (terakhir), adalah seorang Viktorian klasik yang kolot yang menulis kisah-kisah adat tentang orang-orang tidak beradab, terutama berdasarkan hasil kuesioner yang dikirimkan kepada para misionaris dan pejabat kolonial. Sikap teoretisnya pada kenyataannya benar-benar merendahkan —dia percaya bahwa hampir semua sihir, mitos, dan ritual didasarkan pada kesalahan logis yang bodoh— tetapi sebuah mahakarya berjudul, The Golden Bough, berisi deskripsi tentang roh pohon, para pendeta kasim, dewa-dewa tumbuhan yang sekarat, dan pengorbanan raja-raja ilahi yang begitu indah, fantastis, dan secara aneh dan menakjubkan, yang mana telah mengilhami satu generasi penyair dan sastrawan.

Di antara mereka adalah Robert Graves, seorang penyair Inggris yang pertama terkenal karena menulis sajak yang menusuk dari parit parit Perang Dunia I. Pada akhir perang, Graves berakhir di sebuah rumah sakit di Perancis di mana ia disembuhkan dari trauma oleh W.H.R. Rivers, antropolog Inggris yang merangkap sebagai psikiater, yang terkenal karena terlibat dalam Ekspedisi Selat Torres. Graves sangat terkesan oleh Rivers sehingga dia kemudian menyarankan agar antropolog profesional ditempatkan di semua pemerintahan dunia. Bukan sentimen anarkis, tentu saja —tetapi Graves cenderung melesat di antara segala macam posisi politik yang aneh. Pada akhirnya, ia sepenuhnya harus meninggalkan “peradaban” masyarakat industri dan menghabiskan sekitar lima puluh tahun terakhir hidupnya di sebuah desa di pulau Majorca, Spanyol, menghidupi dirinya dengan menulis novel, tetapi juga menghasilkan banyak buku puisi cinta, dan serangkaian esai paling subversif yang pernah ditulis.

Tesis Graves antara lain adalah bahwa kehebatan [greatness] merupakan sebuah penyakit sosial, bahwa “Laki-laki hebat” pada dasarnya adalah perusak, dan bahwa penyair “hebat” sama merusaknya (musuh bebuyutannya adalah Virgil, Milton dan Pound), bahwa semua puisi yang sesungguhnya adalah dan selalu menjadi perayaan mistik dari Dewi Tertinggi [supreme goddess] kuno, yang mana hanyalah salah satu kilauan-kilauan membingungkan Frazer, dan bahwa pengikut matriarkal Dewi Tertinggi ini ditaklukkan dan dihancurkan (meskipun mereka bertahan sedikit lebih lama di peradaban Minoa di Kreta) oleh simpanan-simpanan orang orang Aryanya Hitler yang tercinta ketika mereka kemudian muncul dari stepa-stepa Ukraina pada Zaman Perunggu awal.

Dalam sebuah buku berjudul The White Goddess: An Historical Grammar of Poetic Myth, Graves mengklaim telah memetakan dasar-dasar ritus kalender Dewi Tertinggi di berbagai belahan Eropa, yang fokus pada pembunuhan ritual secara berkala selir-selir kerajaan Dewi, yang antara lain merupakan cara pasti untuk menjamin calon laki-laki hebat tidak lepas kendali, dan mengakhiri buku itu dengan seruan agar industri harus runtuh. Saya perlu katakan di sini untuk benar-benar mempertimbangkan apa yang telah “diklaim” Graves. Hal yang menyenangkan, kalau bukannya malah membingungkan tentang buku buku Graves adalah, bahwa ia jelas sangat senang menulisnya, membuang satu tesis yang keterlaluan setelah yang lain, sehingga tidak mungkin untuk menjawab ada berapa banyak dari tesis itu yang harus dianggap serius. Atau bahkan apakah itu sebuah pertanyaan penting. Dalam sebuah esai yang ditulis pada tahun 50'an, Graves membuat perbedaan antara “kenalaran” [reasonableness] dan “rasionalitas” yang kemudian menjadi terkenal oleh Stephen Toulmin pada tahun 80'an. Tetapi ia melakukannya dalam sebuah esai yang ditulis dengan maksud membela istri Sokrates, Xanthippe, yang dikenal dengan reputasinya sebagai seorang cerewet yang kejam. (Argumennya: bayangkan apa yang terjadi jika Anda menikah dengan Sokrates.)

Apakah Graves benar-benar percaya bahwa perempuan selalu lebih unggul daripada laki-laki? Apakah dia benar-benar berharap agar kita percaya bahwa dia telah memecahkan satu masalah mitos dengan terjerembab pada “kesurupan analeptik” dan mendengar percakapan tentang ikan antara sejarawan Yunani dan pejabat Romawi di Siprus pada tahun 54 M? Patut dipertanyakan, karena untuk semua ketidakjelasan mereka saat ini, dalam tulisan-tulisan ini, Graves pada dasarnya menemukan dua tradisi intelektual yang berbeda yang kemudian menjadi ketegangan teoretis utama dalam anarkisme modern —jika memang diakui, secara umum dianggap sebagai dua hal yang paling outre, tidak disukai.

Di satu sisi, kultus Dewi Tertinggi telah dihidupkan kembali dan menjadi inspirasi langsung bagi Anarkisme Pagan, para pemain tarian spiral hippy yang selalu disambut dalam aksi massa karena mereka tampaknya memiliki kemampuan untuk memengaruhi cuaca, di sisi lain, kaum Primitif, yang avatar paling terkenalnya (dan ekstrem) adalah John Zerzan, yang telah mengambil penolakan Graves terhadap peradaban industri dan bahkan berharap lebih jauh atas keruntuhan ekonomi secara umum, dengan alasan bahwa pertanian sekalipun merupakan kesalahan sejarah yang hebat. Baik orang orang Pagan maupun Primitivis, dengan rasa ingin tahu, berbagi dengan sangat tepat kualitas yang tak dapat dijelaskan yang membuat karya Graves sangat berbeda: sangat tidak mungkin untuk mengetahui pada tingkat seperti apa seseorang mesti membaca karyanya. Keduanya pada saat yang bersamaan merupakan parodi diri yang konyol dan sangat serius.

Ada juga antropolog —di antara mereka merupakan beberapa tokoh pendiri disiplin ilmu antropologi— yang telah mencoba -coba politik anarkis, atau setidaknya, yang anarkistik.

Kasus yang paling terkenal adalah mahasiswa pergantian abad yang bernama Al Brown, yang dikenal oleh teman teman kuliahnya sebagai “Brown Anarki.” Brown adalah pengagum Pangeran anarkis yang terkenal, Peter Kropotkin (yang tentu saja meninggalkan gelarnya), seorang penjelajah arktik dan naturalis, yang telah melemparkan Darwinisme sosial ke dalam sebuah huru-hara yang sejak saat itu masih belum pernah selesai, dengan mendokumentasikan bagaimana spesies yang bekerja sama paling efektif adalah spesies yang cenderung sukses bertahan hidup. (Sosiobiologi misalnya, pada dasarnya merupakan upaya untuk memberikan lebih banyak jawaban pada Kropotkin.) Belakangan, Brown mulai terpengaruh dengan jubah dan kacamata berlensa, mengadopsi nama tiruan aristokratik yang mewah yang ditulis dengan tanda penghubung (A.R. Radcliffe Brown), dan akhirnya, pada tahun 1920'an dan 30'an, menjadi ahli teori antropologi sosial utama di Inggris. Brown tua tidak begitu suka berbicara tentang politik masa mudanya, tetapi mungkin bukan sebuah kebetulan jika minat teoretis utamanya adalah tetap soal mempertahankan tatanan sosial di luar negara.

Mungkin kasus yang paling menarik adalah kasus Marcel Mauss, Radcliffe Brown yang lebih kontemporer, dan pendiri antropologi Prancis. Mauss adalah anak dari orang tua Yahudi Ortodoks yang memiliki berkah campuran karena juga menjadi keponakan Emile Durkheim, pendiri sosiologi Prancis. Mauss juga seorang sosialis revolusioner. Sebagian besar hidupnya ia jalani dengan mengelola koperasi konsumsi di Paris, dan terus menerus menulis untuk surat kabar sosialis, melaksanakan proyek-proyek penelitian tentang koperasi di negara negara lain, dan mencoba untuk membuat hubungan antar koperasi untuk membangun ekonomi anti-kapitalis alternatif.

Karyanya yang paling terkenal ditulis sebagai tanggapan terhadap krisis sosialisme yang dilihatnya ketika Lenin kembali mengenalkan pasar di Uni Soviet pada tahun 20'an: Jika sekedar mengatur ekonomi uang untuk menjauh saja adalah hal yang tidak memungkinkan, bahkan di Rusia sebagai sebuah masyarakat yang paling tidak termonetisasi (mengubah sesuatu menjadi uang —penj) di Eropa, maka mungkin kaum revolusioner perlu mulai melihat pada catatan etnografi untuk melihat seperti apa sebenarnya pasar itu, dan seperti apa alternatif yang mungkin muncul dari kapitalisme. Oleh karena itu Essay on the Gift yang ditulis pada tahun 1925, yang berpendapat (antara lain) bahwa asal dari semua kontrak terletak pada komunisme, sebuah komitmen tanpa syarat untuk kebutuhan orang lain, dan meskipun ada buku pelajaran ekonomi yang tidak ada habisnya yang berseberangan dengan itu, bahwa tidak pernah ada ekonomi yang didasarkan pada barter: bahwa masyarakat yang benar-benar eksis, yang tidak mempergunakan uang, sebenarnya telah menjadi ekonomi hadiah (gift economy[1]), di mana perbedaan yang sekarang kita buat antara kepentingan dan altruisme, antara orang dan properti, antara kebebasan dan kewajiban, sama sekali tidak ada.

Mauss percaya sosialisme tidak akan pernah bisa dibangun oleh perintah negara, melainkan hanya secara bertahap, dari bawah (baca: masyarakat), bahwa adalah mungkin untuk mulai membangun masyarakat yang baru yang didasarkan pada gotong-royong dan pengorganisasian diri “di dalam cangkang lama”, dia merasa bahwa praktik populer yang ada memberikan dasar baik bagi kritik moral kapitalisme dan kemungkinan pandangan yang sekilas tentang seperti apa masyarakat itu nantinya. Semua ini adalah posisi anarkis klasik.

Namun, ia tidak menganggap dirinya anarkis. Faktanya, dia tidak pernah punya suatu kesan yang baik untuk dikatakan tentang anarkisme. Ini kelihatannya, karena ia mengidentifikasi anarkisme terutama dengan sosok Georges Sorel, seorang anarko-sindikalis dan anti-Semit Perancis yang tampaknya secara pribadi tidak menyenangkan, yang sekarang terkenal dengan esainya Reflections sur le Violence. Sorel berpendapat bahwa karena massa pada dasarnya tidak baik atau rasional, adalah hal bodoh untuk menarik perhatian mereka dengan menggunakan argumen yang bernalar. Politik adalah seni menginspirasi orang lain dengan mitos besar. Bagi kaum revolusioner, ia mengusulkan mitos Pemogokan Umum apokaliptik, suatu momen untuk transformasi total. Untuk mempertahankannya, ia menambahkan, orang akan membutuhkan elit revolusioner yang mampu menjaga mitos itu tetap hidup dengan kesediaan mereka untuk terlibat dalam aksi kekerasan simbolis —elit ini, mirip partai pelopor Marxis (walau seringkali agak kurang simbolis dalam kekerasannya), semacam konspirasi abadi, versi modern dari perhimpunan politik laki-laki rahasia di dunia kuno.

Dengan kata lain, Mauss melihat Sorel, dan karena itu juga melihat anarkisme, sebagai yang memperkenalkan unsur irasional, kekerasan, dan kepeloporan. Mungkin agak aneh bahwa di antara kaum revolusioner Prancis pada masa itu, malah seorang anggota serikat buruh yang menekankan kekuatan mitos, sementara antropolog justru keberatan. Tetapi ini adalah konteks tahun 1920'an dan 30'an. Ketika gerakan fasis ada di mana mana, dapat dimengerti mengapa seorang radikal Eropa, terutama yang Yahudi, mungkin melihat semua ini (Sorel dan anarkisme) sebagai sesuatu yang sedikit menyeramkan. Cukup menyeramkan sehingga ia melemparkan rencana orang lain yang dipandangnya negatif, bahkan pada citra Pemogokan Umum yang lebih menarik —yang bagaimanapun juga merupakan cara paling ganas untuk membayangkan revolusi apokaliptik. Menjelang tahun 40an, Mauss menyimpulkan bahwa kecurigaannya terbukti benar.

Bagi doktrin kepeloporan revolusioner, ia menulis, Sorel menambahkan gagasan yang mulanya diambil dari paman Mauss, Emile Durkheim: doktrin korporatisme, tentang struktur vertikal yang direkatkan oleh teknik solidaritas sosial. Ini, katanya memberikan pengaruh besar pada Lenin, menurut pengakuan Lenin sendiri. Dari sanalah hal itu kemudian diadopsi oleh kelompok Kanan. Pada akhir hidupnya, Sorel sendiri menjadi semakin bersimpati dengan fasisme, dalam hal ini ia mengikuti jalan yang sama dengan Mussolini (pemuda yang suka berkecimpung dengan anarko-sindikalisme) dan yang, menurut Mauss, mengambil ide-ide Durkheimian/Sorelian/Leninis yang sama ini pada kesimpulan akhirnya. Di akhir hidupnya, Mauss menjadi yakin bahkan arak-arakan ritual Hitler yang luar biasa, parade yang diterangi obor dengan nyanyian mereka “Seig Heil!,” benar-benar terinspirasi oleh kisah-kisah yang ia dan pamannya telah tulis tentang ritual totem penduduk asli Australia. “Ketika kami menggambarkan bagaimana ritual dapat menciptakan solidaritas sosial, merendam individu dalam massa,” keluhnya, “tidak pernah terpikir oleh kami bahwa ada orang yang akan menerapkan teknik semacam itu di zaman modern!” (Sebenarnya, Mauss keliru. Penelitian modern menunjukkan demonstrasi di Nuremberg sebenarnya diilhami oleh demonstrasi di Harvard. Tapi ini cerita lain.) Pecahnya Perang Dunia 2 menghancurkan Mauss, yang kemudian tidak pernah dapat benar-benar pulih dari rasa kehilangan sebagian besar teman terdekatnya pada masa Perang Dunia Pertama. Ketika Nazi mengambilalih Paris, dia menolak untuk melarikan diri. Setiap hari ia duduk di kantornya dengan pistol di mejanya, menunggu kedatangan Gestapo. Mereka tidak pernah datang, tetapi teror, dan beban karena perasaan atas keterlibatan historisnya, akhirnya menghancurkan kewarasannya.

Antropologi Anarkis yang Memang Hampir Saja Ada

Ketimbang gabungan semua antropolog lainnya yang telah di bahas sebelumnya, pada akhirnya, Marcel Mauss mungkin memiliki pengaruh lebih besar terhadap kaum anarkis. Itu karena dia tertarik pada moralitas alternatif, yang membuka jalan untuk berpikir bahwa masyarakat tanpa negara dan pasar adalah memang caranya mereka, karena mereka secara aktif memang ingin hidup seperti itu. Yang dalam istilah kami, ini artinya mereka adalah para anarkis. Sejauh ini kepingan-kepingan antropologi anarkis memang sudah ada, sebagian besar berasal dari Mauss.

Sebelum Mauss, ada asumsi universal bahwa ekonomi tanpa uang atau pasar telah beroperasi dengan cara “barter”. Dipercayai bahwa masyarakat barter sebenarnya mencoba untuk terlibat dalam perilaku pasar, dengan memperoleh barang dan jasa yang bermanfaat dengan biaya sekecil mungkin, menjadi kaya jika memungkinkan. Hanya saja, mereka belum mengembangkan cara yang sangat canggih untuk melakukannya. Tetapi Mauss menunjukkan bahwa sebenarnya, ekonomi semacam itu sebenarnya adalah “ekonomi hadiah.” Mereka tidak didasarkan pada perhitungan, tetapi pada penolakan untuk menghitung. Mereka berakar pada sistem etika yang secara sadar menolak sebagian besar dari apa yang kita anggap sebagai prinsip dasar ekonomi. Itu bukan karena mereka belum belajar mencari keuntungan melalui cara yang paling efisien. Mereka akan menemukan premis bahwa titik transaksi ekonomi —paling tidak, transaksi dengan seseorang yang bukan musuh Anda— adalah mencari keuntungan terbesar yang sangat ofensif.

Adalah hal penting bahwa salah satu (dari sedikit) antropolog yang secara terus terang merupakan antropolog anarkis dari ingatan baru baru ini, seorang Prancis lainnya, yaitu Pierre Clastres, yang jadi terkenal karena membuat argumen serupa di tingkat politik. Dia bersikeras bahwa para antropolog politik masih belum sepenuhnya memahami perspektif evolusionis lama yang melihat negara terutama sebagai bentuk organisasi yang lebih canggih daripada apa yang telah terjadi sebelumnya. Orang orang tanpa negara, seperti masyarakat Amazon yang dipelajari Clastres, diam-diam dianggap tidak mencapai tingkatan seperti katakanlah, suku Aztec atau suku Inca. Tetapi bagaimana jika, ia mengusulkan, orang orang Amazon sepenuhnya secara mendasar sadar apa itu bentuk kekuasaan negara. Bagaimana rasanya membiarkan beberapa orang memberikan perintah yang tak dapat diganggu-gugat kepada semua orang karena hal tersebut didukung dengan ancaman kekerasan, dan karena alasan itu juga bertekad untuk memastikan hal hal semacam itu tidak dapat terjadi? Bagaimana jika mereka ternyata menganggap premis dasar ilmu politik kita secara moral tidak menyenangkan?

Paralel antara kedua argumen itu sebenarnya cukup mencolok. Dalam ekonomi hadiah, seringkali individu yang giatlah yang mendapatkan tempat di dalam masyarakat. Tetapi semuanya diatur sedemikian rupa sehingga mereka tidak pernah dapat digunakan sebagai sarana untuk menciptakan kekayaan yang tidak setara secara permanen, karena jenis jenis memperkaya diri nantinya berakhir dengan persaingan untuk melihat siapa yang bisa memberi paling banyak. Dalam masyarakat Amazon (atau Amerika Utara), institusi datu (chief) memainkan peran yang sama pada tingkat politik: posisi itu sangat menuntut, dan sangat sedikit penghargaan yang bisa didapatkan, begitu banyak penjagaan dan pembatasan, sehingga tidak ada jalan bagi individu yang haus kekuasaan untuk berbuat banyak dengan kekuasaan dan kekayaannya. Orang Amazon mungkin tidak benar-benar memukul kepala penguasa setiap beberapa tahun, tetapi bukan berarti pengandaian itu sepenuhnya tidak pantas.

Dengan petunjuk-petunjuk ini, semuanya adalah, dalam pengertian yang sebenarnya, merupakan masyarakat anarkis. Mereka didirikan di atas penolakan secara eksplisit atas logikannegara dan pasar.

Namun, mereka sangat tidak sempurna. Kritik Clastres yang paling umum adalah mempertanyakan bagaimana orang-orang Amazon yang ia teliti benar-benar dapat mengatur masyarakat mereka terhadap munculnya sesuatu [penguasa] yang belum pernah mereka alami. Pertanyaan naif, tetapi menunjuk pada sesuatu yang sama naifnya dengan pendekatan Clastres sendiri. Clastres berhasil berbicara dengan blak-blakan tentang egalitarianisme yang tak kenal kompromi dari masyarakat Amazon yang, misalnya, juga terkenal dengan melakukan pemerkosaan secara berkelompok sebagai senjata untuk meneror perempuan yang melampaui peran gender yang sepatutnya. Ini adalah titik buta yang sangat mencolok, sehingga kita harus bertanya-tanya bagaimana Clastres bisa melewatkannya, terutama mengingat hal tersebut memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Mungkin, lelaki Amazon paham apa itu kekuasaan yang sewenang-wenang dan yang tak terganggu gugat, yang didukung oleh kekerasan, karena mereka sendiri menggunakan kekerasan semacam itu pada istri dan anak perempuan mereka. Mungkin karena alasan itulah mereka tidak ingin melihat munculnya suatu struktur yang mampu menimbulkan apa yang dialami oleh perempuan mereka pada diri mereka sendiri.

Layak disebutkan, karena Clastres dalam banyak hal adalah seorang romantis yang naif. Namun dari sudut pandang lain, sama sekali tidak ada misteri di sini. Lagi pula, kita berbicara tentang fakta bahwa kebanyakan orang Amazon tidak ingin memberi orang lain kekuatan untuk mengancam mereka dengan cedera fisik jika mereka tidak melakukan apa yang diperintahkan. Mungkin sebaiknya kita bertanya apa yang dikatakan tentang diri kita sehingga kita merasa sikap ini perlu penjelasan.

Menuju Teori Kuasa Tanding Imajiner

Inilah yang saya maksud dengan etika alternatif. Masyarakat anarkistik tidak lagi tidak menyadari kapasitas manusia untuk keserakahan atau kesombongan, sebagaimana orang orang Amerika modern tidak menyadari kapasitas manusia untuk iri, kerakusan, atau kemalasan: mereka hanya akan menemukan bahwa hal tersebut sebagai sesuatu yang sama sekali tidak menarik untuk dijadikan sebagai dasar bagi peradaban mereka. Bahkan, mereka melihat fenomena ini sebagai bahaya moral yang begitu mengerikan sehingga mereka akhirnya mengatur banyak kehidupan sosial mereka untuk dapat menangkalnya.

Jika ini murni esai teoretis, saya akan menjelaskan bahwa semua ini menyarankan cara yang menarik untuk menggabungkan teori nilai dan teori resistensi. Untuk tujuan saat ini, cukup lah untuk mengatakan bahwa saya pikir Mauss dan Clastres telah berhasil, terlepas dari diri mereka sendiri, dalam meletakkan landasan bagi sebuah teori kuasa tanding (counter power) yang revolusioner.

Saya khawatir ini adalah argumen yang agak rumit. Biarkan saya menjelaskannya pelan-pelan.

Dalam wacana yang tipikal revolusioner, “kuasa tanding” adalah kumpulan institusi sosial yang ditentang oleh negara dan modal: mulai dari komunitas hingga serikat buruh radikal hingga milisi populer. Terkadang hal itu juga disebut sebagai “anti-kekuasaan.” Ketika lembaga lembaga semacam itu mempertahankan diri mereka sendiri di hadapan negara, biasanya ini merujuk pada situasi “kekuasaan ganda” (dual power). Dengan definisi seperti ini, sebagian besar sejarah dicirikan oleh situasi kekuasaan ganda, karena beberapa negara dalam sejarahnya memiliki sarana untuk membasmi institusi semacam itu, bahkan diasumsikan bahwa mereka memang ingin membasminya.

Tetapi pendapat Mauss dan Clastres menimbulkan pikiran yang bahkan lebih radikal. Hal ini menunjukkan bahwa kuasa tanding, setidaknya dalam pengertian paling mendasar, benar-benar ada di dalam masyarakat tanpa negara dan pasar. Bahwa dalam kasus yang demikian, alih-alih tertanam di dalam lembaga-lembaga yang bertentangan dengan kekuasaan tuan, atau raja, atau orang kaya, mereka justru tertanam dalam lembaga-lembaga yang mencegah orang semacam itu dapat muncul dalam masyarakat mereka. Jadi apa yang dimaksud dengan “tanding” itu adalah sebuah potensi, aspek laten, atau kemungkinan dialektis, di dalam masyarakat itu sendiri.

Hal ini setidaknya akan membantu menjelaskan fakta-fakta yang ganjil: sebuah cara yang sering terjadi adalah, masyarakat egalitarian terkoyak oleh ketegangan batin yang mengerikan, atau setidaknya, bentuk ekstrim dari kekerasan simbolik.

Tentu saja, semua masyarakat sedikit banyak berperang dengan diri mereka sendiri. Selalu ada bentrokan antara kepentingan, faksi, kelas dan sejenisnya: juga, sistem sosial selalu didasarkan pada pengejaran berbagai bentuk nilai yang menarik orang ke arah yang berbeda-beda. Dalam masyarakat egalitarian, yang cenderung menempatkan penekanan besar pada penciptaan dan mempertahankan konsensus komunal, hal ini sering muncul untuk memicu semacam formasi reaksi yang sama rumitnya. Misal, sebuah dunia malam spektral yang dihuni oleh monster, penyihir, atau makhluk horor lainnya. Dan itu adalah masyarakat paling damai yang sekaligus juga paling berhantu, dalam konstruksi imajinatif mereka atas kosmos, oleh momok konstan perang yang abadi. Dunia tak kasat mata yang mengelilinginya secara harfiah adalah medan pertempuran. Seolah -olah kerja keras yang tak berkesudahan untuk mencapai konsensus menutupi kekerasan dalam diri yang konstan —atau, mungkin lebih baik dikatakan, sebenarnya adalah proses di mana kekerasan batin diukur dan dikandung— dan justru tepat seperti inilah yang terjadi, dan berujung pada kekusutan kontradiksi moral, yang merupakan bak utama kreativitas sosial. Bukanlah prinsip-prinsip yang saling bertentangan dan impuls kontradiktif ini sendiri yang merupakan realitas politik tertinggi, melainkan itu adalah proses pengaturan yang menjadi perantara mereka.

Ada beberapa contoh di bawah ini:

Kasus 1: Orang orang Piaroa adalah masyarakat yang sangat egalitarian yang hidup di sepanjang anak anak sungai Orinoco (sekarang Venezuela). Mereka digambarkan oleh etnografer Joanna Overing sebagai masyarakat anarkis. Mereka menempatkan nilai yang sangat besar pada kebebasan dan otonomi individu, dan cukup sadar diri tentang pentingnya memastikan bahwa tidak pernah ada satu orang pun yang berada di bawah perintah orang lain, atau sadar akan kebutuhan untuk memas tikan tidak ada yang mendapatkan kendali seperti itu atas sumber daya ekonomi yang dapat mereka gunakan untuk membatasi kebebasan orang lain. Namun mereka juga bersikeras bahwa budaya Piaroa itu sendiri adalah ciptaan dewa yang jahat, badut kanibalistik berkepala dua.

Piaroa telah mengembangkan filosofi moral yang mendefinisikan kondisi manusia sebagai sesuatu yang terperangkap di antara “dunia indrawi,” yang liar, keinginan pra-sosial, dengan “dunia pikiran.” Untuk tumbuh dewasa dalam masyarakat Piaroa, seseorang mesti belajar untuk mengendalikan dan menyalurkan dunia indrawi melalui pertimbangan yang bijaksana kepada orang lain, dan penanaman rasa humor. Tetapi ini menjadi jauh lebih sulit karena kenyataan bahwa semua bentuk pengetahuan teknis, betapapun diperlukannya pengetahuan teknis itu untuk kehidupan, karena asal usulnya, penuh dengan unsur unsur kegilaan yang merusak. Demikian pula, sementara Piaroa terkenal karena kedamaiannya —pembunuhan tidak pernah terjadi sebelumnya, karena ada anggapan bahwa siapa pun yang membunuh manusia lain akan langsung dimakan oleh suatu polusi[2] dan mati dengan cara yang mengenaskan— mereka mendiami kosmos perang tak kasat mata yang tak berujung, tempat penyihir terlibat dalam menangkis serangan-serangan gila, para dewa pemangsa dan semua kematian disebabkan oleh pembunuhan spiritual dan harus dibalaskan oleh pembantaian magis (yang jauh, yang tidak dapat diketahui) seluruh anggota komunitas mereka.

Kasus 2: Orang orang Tiv, masyarakat egalitarian yang dikenal sangat kejam, membangun rumah-rumah mereka di sepanjang sungai Benue di Nigeria tengah. Dibandingkan dengan Piaroa, kehidupan domestik mereka cukup hierarkis: tetua laki-laki cenderung punya banyak istri, dan saling bertukar hak atas kesuburan perempuan muda, laki-laki yang lebih muda dengan demikian menghabiskan sebagian besar hidup mereka dengan bersila dengan tumit mereka sebagai pembantu yang belum menikah di rumah ayah mereka.

Beberapa abad-abad belakangan ini, Tiv tidak pernah sepenuhnya terisolasi dari serangan pedagang budak, negeri Tiv juga dipenuhi pasar lokal, perang kecil antar klan kadang-kadang terjadi, meskipun jika terjadi perselisihan besar maka itu akan dimediasi dalam “pertemuan” komunal raksasa. Namun, tidak ada lembaga politik yang lebih besar pada kenyataannya, apa pun yang bahkan mulai terlihat seperti lembaga politik secara intrinsik dianggap mencurigakan, atau lebih tepatnya, dipandang sebagai sesuatu yang dikelilingi oleh aura gaib yang menyeramkan. Hal ini, seperti yang dikatakan oleh etnografer Paul Bohannan, berasal dari pandangan mereka mengenai sifat dari kekuasaan: “manusia memperoleh kekuasaan dengan mengonsumsi kandungan (substance) orang lain.”

Pasar dilindungi, dan aturan pasar ditegakkan oleh pesona yang mewabahkan penyakit. Konon hal tersebut ditenagai oleh darah dan bagian bagian tubuh manusia. Seorang wirausahawan yang berhasil menyatukan beberapa jenis ketenaran, kekayaan atau secara bersamaan punya pelanggan adalah seseorang yang dapat didefinisikan sebagai penyihir. Hati mereka dilapisi oleh zat yang disebut tsav, yang hanya bisa diperbanyak dengan memakan daging manusia. Sebagian besar orang orang Tiv berusaha menghindari hal itu. Tetapi perkumpulan rahasia para penyihir dikatakan ada yang akan menyelipkan daging manusia ke dalam makanan para korban mereka, sehingga menimbulkan “hutang daging” dan membuat korban menjadi mengidam secara tidak wajar, yang pada akhirnya akan mendorong mereka yang terkena dampak dari “hutang daging” itu untuk mengkonsumsi seluruh makanan keluarga mereka. Masyarakat penyihir khayalan ini dipandang sebagai pemerintah negara yang tak kelihatan. Kekuasaan dengan demikian melembagakan kejahatan, dan setiap generasi, suatu gerakan yang memburu para penyihir akan muncul untuk mengekspos para pelaku, yang dengan demikian, secara efektif, menghancurkan setiap struktur otoritas yang muncul.

Kasus 3: Dataran tinggi Madagaskar, tempat saya tinggal antara tahun 1989 dan 1991, adalah tempat yang agak berbeda. Daerah itu telah menjadi pusat negara Malagasi —kerajaan Merina— sejak awal abad ke 19, dan setelah itu berada di bawah pemerintahan kolonial yang keras selama bertahun tahun. Ada ekonomi pasar dan, secara teori, pemerintah pusat. Selama saya di sana, sebagian besar didominasi oleh apa yang dapat disebut sebagai “borjuis Merina.” Sebenarnya, pemerintahan Merina secara efektif menarik dirinya dari sebagian besar desa dan karena itu masyarakat pedesaan secara efektif memerintah dirinya sendiri. Dalam banyak hal ini juga dapat dianggap anarkis: sebagian besar keputusan lokal dibuat berdasarkan mufakat melalui badan-badan informal. Kepemimpinan dipandang dengan penuh kecurigaan, dan ada pandangan bahwa orang dewasa yang memberi perintah sebagai sebuah kesalahan, apa lagi jika terjadi secara terus menerus. Ini dapat dipertimbangkan sebagai hal yang membuat bahkan lembaga-lembaga seperti kerja upahan dicurigai secara moral, atau lebih tepatnya, tidak malagasi [unmalagasy] —beginilah sebutan bagi perilaku orang Prancis, atau raja dan pemilik budak yang jahat sejak lama.

Masyarakat secara keseluruhan sangat damai. Namun sekali lagi mereka dikelilingi oleh peperangan yang tak kasat mata, hampir semua orang memiliki akses ke obat-obatan berbahaya atau roh atau bersedia membiarkan mereka berlaku demikian. Malam malam mereka dihantui oleh para penyihir yang menari telanjang di atas kuburan dan mengendarai orang-orang seperti kuda, hampir semua penyakit disebabkan oleh rasa iri, kebencian, dan serangan magis. Terlebih lagi, santet mengandung hubungan yang aneh dan ambivalen dengan identitas nasional. Sementara orang orang membuat referensi retorik atas Malagasi sebagai “rambut yang sama di kepala” yang setara dan bersatu, cita-cita kesetaraan ekonomi, jikapun pernah, jarang untuk diminta. Namun, diasumsikan bahwa siapa pun yang menjadi terlalu kaya atau berkuasa akan dihancurkan oleh sihir, dan sementara sihir adalah definisi kejahatan, itu juga dilihat sebagai sesuatu yang khas Malagasi (mantra hanyalah mantra, tetapi mantra jahat disebut sebagai “mantra Malagasi”). Melalui ritual, solidaritas moral memang terwujud, dan ideal kesetaraan dilibatkan. Hal itu berlangsung dalam perjalanan ritual yang diadakan untuk menekan, mengusir, atau menghancurkan para penyihir yang, sebaliknya, adalah perwujudan atas sesuatu yang bengkok dan penegakan praktis etos egaliter masyarakat itu sendiri.

Coba perhatikan bagaimana dalam setiap kasus ada perbedaan yang mencolok antara konten kosmologis, yang tidak berarti apapun jika bukannya kacau, dan proses sosial, yang semuanya adalah tentang mediasi yang sampai pada konsensus. Tak satu pun dari masyarakat ini yang sepenuhnya egalitarian: selalu ada bentuk dominasi kunci tertentu, setidaknya laki laki atas perempuan, yang tua atas yang muda. Sifat dan intensitas bentuk-bentuk ini sangat bervariasi: di komunitas Piaroa, hierarkinya sangat sederhana sehingga keraguan yang berlebihan dapat benar-benar membuat seseorang mengatakan bahwa hal tersebut sebagai “dominasi laki-laki” (walaupun kenyataannya setiap pemimpin komunal adalah laki-laki): Tiv tampaknya sudah beda cerita. Namun, ketidaksetaraan struktural selalu ada, dan sebagai hasilnya saya pikir adil untuk mengatakan bahwa apa yang kita sebut anarki ini tidak hanya tidak sempurna, mereka juga mengandung benih-benih kehancuran mereka sendiri. Hampir bukan sebuah kebetulan bahwa ketika bentuk bentuk dominasi yang lebih besar dan lebih sistematis muncul, mereka menggunakan ungkapan usia dan jenis kelamin ini untuk menjustifikasi diri mereka sendiri.

Namun, saya pikir adalah suatu kesalahan jika memandang kekerasan dan teror yang tidak terlihat hanya sebagai hasil dari “kontradiksi internal” yang diciptakan oleh bentuk-bentuk ketidaksetaraan itu. Seseorang bisa saja, mungkin, membuat kasus bahwa yang paling riil adalah kekerasan terang-terangan. Setidaknya, sudah lazim diketahui bahwa, dalam masyarakat di mana satu-satunya ketidaksetaraan yang menonjol didasarkan pada gender, satu-satunya pembunuhan yang dapat diamati adalah laki-laki membunuh satu sama lain demi perempuan. Demikian pula, tampaknya memang sudah jadi kasus secara umum, bahwa semakin jelas perbedaan antara peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, maka semakin cenderung pula mereka mengarah pada kekerasan fisik. Tetapi ini bukan berarti bahwa jika semua ketidaksetaraan menghilang, maka segala sesuatu, bahkan imajinasi, akan menjadi tenang dan tidak terganggu. Hingga taraf tertentu, saya curiga bahwa semua guncangan ini berasal dari sifat alami dari kondisi manusia.

Tampaknya tidak akan ada masyarakat yang tidak melihat kehidupan manusia sebagai masalah mendasar. Betapapun banyaknya mereka mungkin berbeda pada apa yang mereka anggap sebagai masalah, paling tidak, adanya pekerjaan, jenis kelamin, dan reproduksi dipandang penuh dengan segala macam kebingungan, keinginan manusia selalu berubah-ubah, dan kemudian ada fakta bahwa kita semua akan mati. Jadi ada banyak masalah. Tidak satu pun dari dilema ini yang akan hilang jika kita menghilangkan ketidaksetaraan struktural (meskipun saya pikir ini akan secara radikal meningkatkan hal lain dalam hampir tiap cara lain). Memang, fantasi yang mungkin terjadi, bahwa kondisi manusia, hasrat, kefanaan, semuanya dapat diselesaikan, entah bagaimana, tampaknya menjadi sangat berbahaya, suatu gambaran utopia yang tampaknya selalu mengintai di suatu tempat di belakang pretensi Kekuasaan dan negara. Sebaliknya, seperti yang saya sarankan, kekerasan spektral tampaknya muncul dari ketegangan yang melekat dalam proyek mempertahankan masyarakat yang egaliter. Kalau tidak, kita setidaknya akan membayangkan imajinasi Tiv akan lebih kacau daripada Piaroa.

Bahwa negara muncul dari gambar-gambar resolusi yang mustahil dari kondisi manusia adalah salah satu poin Clastres juga. la berpendapat bahwa secara historis, institusi negara tidak mungkin muncul dari institusi politik masyarakat anarkis, yang memang dirancang untuk mencegah hal tersebut dapat terjadi. Alih-alih, hal itu dapat terjadi dari institusi keagamaan: ia menunjuk ramalan Tupinamba yang mengarah pada migrasi besar-besaran seluruh populasi untuk mencari “tanah tanpa kejahatan.” Tentu saja, dalam konteks selanjutnya, apa yang Peter Lamborn Wilson sebut sebagai “mesin Clastrian,” yang mengatur mekanisme yang menentang munculnya dominasi, yang saya sebut sebagai aparatus kuasa tanding, dapat dengan sendirinya terperangkap dalam fantasi apokaliptik semacam itu.

Sekarang, pada titik ini pembaca mungkin keberatan, “Tentu, tetapi apa hubungannya dengan komunitas pemberontak yang biasanya disebut oleh para ahli teori revolusioner ketika mereka menggunakan kata “kuasa tanding?”

Di sini mungkin berguna untuk melihat perbedaan antara dua kasus pertama dengan yang ketiga karena komunitas Malagasi yang saya tahu pada tahun 1990 hidup dalam sesuatu yang dalam banyak hal menyerupai situasi pemberontakan. Antara abad kesembilan belas dan kedua puluh, telah terjadi transformasi yang luar biasa dari sikap rakyat. Hampir semua laporan dari abad terakhir menegaskan bahwa, meskipun ada kebencian yang meluas terhadap pemerintah Malagasi yang korup dan kerapkali brutal, tidak ada yang mempertanyakan legitimasi monarki itu sendiri, atau khususnya, kesetiaan pribadi absolut mereka kepada sang Ratu. Tidak seorangpun akan, secara eksplisit, mempertanyakan legitimasi perbudakan. Setelah penaklukan Prancis atas pulau itu pada tahun 1895 yang segera diikuti oleh penghapusan monarki dan perbudakan, semua ini tampaknya telah berubah sangat cepat. Sebelum satu generasi muncul, seseorang mulai menemukan sikap yang menurut saya hampir universal di pedesaan seratus tahun kemudian: perbudakan itu jahat, dan para raja dipandang secara inheren tidak bermoral karena mereka memperlakukan orang lain seperti budak. Pada akhirnya, semua hubungan komando (dinas militer, kerja upahan, kerja paksa) kemudian menyatu dalam pikiran orang sebagai variasi dalam perbudakan, lembaga-lembaga yang sebelumnya dianggap melampaui tantangan sekarang adalah definisi dari haram, dan ini, terutama muncul di antara mereka yang setidaknya punya akses ke pendidikan tinggi dan ide-ide Pencerahan Perancis.

Menjadi “Malagasi” kemudian didefinisikan dengan menolak cara-cara asing semacam itu. Jika seseorang menggabungkan sikap ini dengan perlawanan pasif yang konstan terhadap lembaga-lembaga negara, dan penjabaran dari mode swa-pemerintahan yang otonom dan relatif egalitarian, seseorang dapat melihat apa yang terjadi sebagai sebuah revolusi. Setelah krisis keuangan tahun 80'an, negara itu di banyak daerah secara efektif runtuh, atau tetap beralih ke masalah bentuk yang kosong tanpa dukungan paksaan yang sistematis. Masyarakat pedesaan melakukan banyak hal seperti sebelumnya, pergi ke kantor secara berkala untuk mengisi formulir walaupun mereka tidak lagi membayar pajak riil, pemerintah hampir tidak menyediakan layanan apapun, dan jika terjadi pencurian atau bahkan pembunuhan, polisi tidak akan datang lagi. Jika sebuah revolusi adalah masalah orang-orang yang menentang suatu bentuk kekuasaan yang diidentifikasi sebagai penindas, mengidentifikasi beberapa aspek kunci dari kekuatan itu sebagai sumber dari apa yang secara mendasar dapat ditolak tentangnya, dan kemudian mencoba untuk menyingkirkan seorang penindas sedemikian rupa untuk mencoba menghilangkan kekuatan semacam itu sepenuhnya dari kehidupan sehari-hari, maka sulit untuk menyangkal bahwa, dalam beberapa hal, ini memang sebuah revolusi. Hal itu mungkin memang tidak melibatkan pemberontakan bersenjata sungguhan, tetapi itu adalah sebuah revolusi.

Berapa lama hal itu akan bertahan adalah persoalan lain: itu semacam kebebasan yang sangat rapuh dan lemah. Banyak kantong semacam itu telah runtuh —di Madagaskar sebagai mana juga di banyak tempat lain. Yang lainnya bertahan: yang baru sedang dibuat sepanjang waktu. Dunia kontemporer penuh dengan ruang-ruang yang anarkis, dan semakin sukses mereka, maka semakin kecil kemungkinan kita untuk mendengarnya. Hanya jika ruang seperti itu terurai menjadi kekerasan, maka ada kemungkinan orang luar bahkan akan mengetahui bahwa hal macam itu sungguh ada.

Pertanyaan yang membingungkan adalah bagaimana perubahan mendalam dalam sikap rakyat bisa terjadi begitu cepat? Jawaban yang paling mungkin adalah bahwa mereka benar-benar tidak melakukannya: mungkin ada hal-hal yang terjadi bahkan di bawah kerajaan abad kesembilan belas di mana pengamat asing (bahkan mereka yang tinggal lama di pulau itu) tidak sadar. Tetapi jelas juga, sesuatu tentang penerapan aturan kolonial memungkinkan perombakan prioritas dengan cepat. Saya berpendapat, inilah yang memungkinkan keberadaan bentuk-bentuk perlawanan yang tertanam dalam secara berkelanjutan. Banyak karya ideologis, pada kenyataannya, membuat revolusi dilakukan justru di dunia malam spektral para ahli sihir dan tukang sulap: dalam pendefinisian ulang implikasi moral dari berbagai bentuk kekuatan magis. Tetapi ini hanya menggarisbawahi bagaimana zona spektral ini selalu merupakan titik tumpu dari imajinasi moral, semacam wadah serapan kreatif, juga, dari potensi perubahan revolusioner. Justru dari ruang-ruang tak kasat mata ini —yang tak terlihat, terutama, ke kekuasaan— di mana potensi pemberontakan, dan kreativitas sosial luar biasa yang tampaknya muncul entah dari mana di saat saat revolusioner, benar-benar datang.

Beberapa argumen yang dapat dirangkum sejauh ini adalah:

1. Kuasa tanding pertama-tama dan terutama berakar pada imajinasi, itu muncul dari kenyataan bahwa semua sistem sosial adalah jalinan kontradiksi, yang hingga tingkat tertentu selalu berperang dengan diri mereka sendiri. Atau, lebih tepatnya, itu berakar pada hubungan antara imajinasi praktis yang diperlukan untuk mempertahankan masyarakat berdasarkan pada konsensus (karena setiap masyarakat yang tidak berdasarkan pada kekerasan harus, pada akhirnya, menjadi demikian) —karya konstan dari identifikasi imajinatif dengan orang lain yang memungkinkan pemahaman tersebut menjadi mungkin— dan kekerasan spektral yang tampaknya merupakan akibatnya yang konstan dan mungkin tak terhindarkan.

2. Dalam masyarakat yang egalitarian, kuasa tanding dapat dikatakan menjadi bentuk kekuasan sosial yang paling utama. Ia berjaga-jaga atas apa yang dipandang sebagai sebuah kemungkinan menakutkan di dalam masyarakat itu sendiri: terutama terhadap munculnya bentuk dominasi politik atau ekonomi yang sistematis.

2a. Secara kelembagaan, kuasa tanding mengambil bentuk yang kita sebut sebagai institusi demokrasi langsung, konsensus, dan mediasi, yaitu, cara-cara yang secara publik menegosiasikan dan mengendalikan timbulnya kerusuhan internal yang tak terhindarkan dan mengubahnya menjadi keadaan sosial (atau jika Anda suka, bentuk-bentuk nilai) yang dipandang masyarakat sebagai yang paling diinginkan: keramahtamahan, kebulatan suara, kesuburan, kemakmuran, keindahan, atau bagaimanapun hal tersebut dapat dibingkai.

3. Dalam masyarakat yang sangat tidak setara, penentang imajinatif sering mendefinisikan dirinya sendiri terhadap aspek aspek dominasi tertentu yang dipandang sangat menjengkelkan dan dapat menjadi upaya untuk menghilangkan mereka sepenuhnya dari hubungan sosial. Ketika itu terjadi, hal tersebut menjadi revolusioner.

3a. Secara kelembagaan, sebagai sumur imajinatif, ia bertanggungjawab atas penciptaan bentuk sosial yang baru, dan peningkatan atau perubahan yang lama, dan juga,

4. pada momen-momen transformasi radikal —revolusi dalam artiannya yang kuno— inilah lebih tepatnya apa yang memungkinkan kemampuan populer yang terkenal untuk berinovasi sepenuhnya dalam bentuk politik, ekonomi, dan sosial yang sepenuhnya baru. Oleh karena itu, ini adalah akar dari apa yang disebut Antonio Negri sebagai “kekuatan konstituen,” kekuatan untuk menciptakan konstitusi.

Kebanyakan tatanan konstitusional modern melihat diri mereka diciptakan oleh pemberontakan: revolusi Amerika, revolusi Prancis, dan sebagainya. Tentu saja tidak selalu seperti itu. Tetapi ini mengarah pada pertanyaan yang sangat penting, karena setiap antropologi yang benar-benar terlibat secara politis harus memulai dengan secara serius menghadapi pertanyaan tentang apa, jika ada, yang benar-benar membagi apa yang kita sebut dunia “modern” dari sisa sejarah manusia lainnya, dengan orang-orang seperti Piaroa, Tiv atau Malagasi yang biasanya terdegradasi. Ini mungkin seperti membayangkan pertanyaan yang sangat menjengkelkan, tetapi saya khawatir itu tidak bisa dihindari, karena kalau tidak, banyak pembaca mungkin tidak yakin ada alasan untuk memulai antropologi anarkis.

Meledakkan Dinding-Dinding

Seperti yang saya katakan, antropologi anarkis tidak benar-benar ada. Yang ada hanyalah kepingan-kepingan. Pada bagian pertama esai ini, saya mencoba mengumpulkan beberapa dari mereka, dan mencari tema-tema umum, dibagian ini saya ingin melangkah lebih jauh, dan membayangkan sebuah teori sosial yang mungkin bakal ada di masa depan.

Keberatan yang Jelas

Sebelum dapat melakukannya, saya merasa perlu untuk mengatasi keberatan yang biasa terjadi terhadap proyek apa pun dari perangai macam ini: bahwa studi tentang masyarakat anarkis yang benar-benar eksis sama sekali tidak relevan dengan dunia modern. Lagipula, bukankah kita hanya berbicara tentang sekelompok primitif?

Argumennya terlalu familiar bagi kaum anarkis yang memang tahu sesuatu tentang antropologi. Pembicaraan yang biasanya terjadi adalah seperti ini:

Skeptis: Yah, saya mungkin akan menanggapi lebih serius seluruh ide anarkisme ini jika Anda bisa memberi saya beberapa alasan untuk berpikir bahwa anarkisme akan berhasil. Dapatkah Anda menyebutkan saya satu contoh nyata dari masyarakat yang telah ada tanpa pemerintah?

Anarkis: Tentu. Sudah ada ribuan. Saya bisa menyebutkan selusin di atas kepala saya: Bororo, Baining, Onondaga, Wintu, Ema, Tallensi, Vezo...

Skeptis: Tapi itu semua hanya sekelompok primitif! Saya berbicara tentang anarkisme dalam masyarakat teknologi modern.

Anarkis: Oke, kalau begitu. Ada berbagai macam eksperimen yang berhasil: eksperimen dengan swakelola pekerja, seperti Mondragon, proyek ekonomi berdasarkan ide ekonomi hadiah, seperti Linux, semua jenis organisasi politik berdasarkan konsensus dan demokrasi langsung...

Skeptis: Tentu, tentu, tetapi ini adalah contoh yang kecil dan terisolasi. Saya berbicara tentang seluruh masyarakat.

Anarkis: Ya, bukan berarti orang-orang belum pernah mencobanya sebelumnya. Coba lihatlah Komune Paris, revolusi di Republik Spanyol...

Skeptis: Ya, dan lihat apa yang terjadi pada mereka! Mereka semua terbunuh!


Dadu dikeluarkan. Anda tidak bisa menang. Karena ketika orang yang skeptis mengatakan “masyarakat,” apa yang sebenarnya ia maksud adalah “negara,” bahkan “negara-bangsa.” Karena tidak ada yang akan menghasilkan contoh negara anarkis —itu akan menjadi istilah yang kontradiktift— apa yang yang benar-benar dituntut dari kita adalah contoh negara-bangsa modern dengan pemerintah yang entah bagaimana dicabut: situasi di mana pemerintah Kanada (untuk mengambil contoh acak), telah digulingkan, atau karena alasan tertentu dihapuskan dengan sendirinya, dan tidak ada orang baru yang mengambil alihnya, tetapi sebaliknya semua mantan warganegara Kanada mulai mengorganisir diri mereka menjadi kolektif libertarian. Jelas ini tidak akan pernah dibiarkan terjadi. Di masa lalu, kapan pun itu kelihatan mungkin —dalam hal ini, komune Paris dan perang saudara Spanyol adalah contoh yang sangat baik— para politisi yang menjalankan hampir semua negara di sekitarnya bersedia menahan permusuhan mereka sampai mereka yang berusaha menciptakan revolusi seperti itu ditangkap dan ditembak.

Tapi ada jalan keluarnya, yaitu menerima bahwa bentuk organisasi anarkis tidak akan terlihat seperti negara. Bahwa mereka akan melibatkan berbagai komunitas, asosiasi, jaringan, proyek, pada tiap skala yang tak terbatas, tumpang tindih dan berpotongan dengan cara apapun yang dapat kita bayangkan, dan mungkin banyak yang tidak bisa kita bayangkan. Beberapa akan sangat lokal, yang lain bersifat global. Mungkin kesamaan yang mereka miliki adalah bahwa tidak ada yang datang menenteng senjata untuk melibatkan siapa pun dan memerintah semua orang untuk tutup mulut dan melakukan apa yang diperintahkan. Dan bahwa, karena kaum anarkis tidak benar-benar mencoba merebut kekuasaan di dalam wilayah nasional mana pun, proses satu sistem untuk menggantikan yang lain tidak akan mengambil bentuk semacam bencana revolusioner yang tiba-tiba (seperti penyerbuan Bastille atau menduduki Istana Musim Dingin) tetapi akan secara bertahap. Penciptaan bentuk bentuk organisasi alternatif pada skala dunia, bentuk-bentuk komunikasi baru, cara-cara baru yang tidak mengalienasi dalam mengatur kehidupan, yang pada akhirnya akan membuat bentuk-bentuk kekuasaan yang ada saat ini tampak bodoh dan tidak penting. Pada akhirnya, ada contoh tak berkesudahan dari anarkisme yang dapat bertahan: hampir semua bentuk organisasi akan dianggap sebagai satu, asalkan itu tidak dipaksakan oleh otoritas yang lebih tinggi, mulai dari kelompok musik klezmer hingga layanan pos internasional.

Sayangnya, argumen semacam ini tampaknya tidak akan memuaskan sebagian besar skeptis. Mereka menginginkan “masyarakat.” Jadi, seseorang direduksi untuk menjelajahi catatan sejarah dan etnografi untuk entitas yang terlihat seperti negara-bangsa (satu bangsa, berbicara dalam bahasa yang sama, hidup dalam wilayah yang dibatasi, mengakui serangkaian prinsip hukum yang sama...), tetapi yang tidak memiliki aparatur negara (yang, menurut pengertian Weber, seseorang dapat mendefinisikannya secara kasar sebagai: sekelompok orang yang mengklaim bahwa, setidaknya ketika mereka ada di sekitar dan di dalam kapasitas resmi mereka, mereka adalah satu-satunya yang punya hak untuk bertindak koersif). Yang macam ini juga dapat ditemukan, jika seseorang mau melihat komunitas yang relatif kecil jauh baik dalam ruang atau waktu. Tapi kemudian kita diberitahu bahwa contoh semacam ini tidak diperhitungkan karena alasan macam itu.

Jadi kita kembali ke masalah semula. Diasumsikan ada perpecahan absolut antara dunia tempat kita hidup, dan dunia yang dihuni oleh siapa pun yang mungkin dikategorikan sebagai “primitif,” “suku,” atau bahkan “petani”. Para antropolog tidak dapat disalahkan di sini: kita telah mencoba selama beberapa dekade untuk sekarang meyakinkan publik bahwa tidak ada yang namanya “primitif,” bahwa apa yang sering disebut sebagai “masyarakat sederhana” tidak benar-benar sesederhana itu, bahwa tidak ada yang pernah ada dalam isolasi abadi, bahwa tidak masuk akal untuk berbicara tentang beberapa sistem sosial yang kurang lebih berkembang, tapi sejauh ini, kami hanya membuat sedikit kemajuan. Hampir mustahil untuk meyakinkan orang Amerika pada umumnya bahwa sekelompok orang Amazon mungkin memiliki sesuatu untuk diajarkan kepada mereka —selain, dapat dibayangkan, bahwa kita semua harus meninggalkan peradaban modern dan hidup di Amazonia— dan ini karena mereka dianggap hidup dalam suatu dunia yang benar-benar berbeda. Yang anehnya, lagi lagi kembali pada bagaimana kita terbiasa berpikir tentang revolusi.

Biarkan saya mengambil argumen yang bakal saya gambarkan di bagian terakhir dan mencoba menjelaskan mengapa saya pikir hal ini benar:

Manifesto singkat perkara konsep revolusi:

Istilah “revolusi” sudah begitu direndahkan tanpa henti dalam penggunaannya secara umum, sehingga sekarang dapat berarti banyak hal. Kita punya revolusi hampir tiap minggu sekarang: revolusi perbankan, revolusi sibernetik, revolusi medis, revolusi internet tiap kali seseorang menciptakan perangkat lunak baru yang cerdas.

Retorika semacam ini menjadi mungkin karena definisi umum dari revolusi selalu menyiratkan suatu sifat pergeseran dari sebuah paradigma: terobosan yang jelas, pecahnya secara mendasar sifat realitas sosial setelah semuanya bekerja secara berbeda, dan kategori yang sebelumnya sudah tidak lagi berlaku. Inilah yang memungkinkan untuk, katakanlah, mengklaim bahwa dunia modern berasal dari dua “revolusi”: revolusi Perancis dan revolusi Industri, meskipun pada kenyataannya keduanya tidak memiliki kesamaan, selain dari yang tampaknya menandai suatu keterputusan dengan segala sesuatu yang telah ada sebelumnya. Satu hasil yang aneh adalah bahwa, seperti yang dicatat oleh Ellen Meskins Wood, kita memiliki kebiasaan membahas apa yang kita sebut “modernitas” seolah-olah itu melibatkan kombinasi ekonomi laissez faire Inggris, dan pemerintah Republik Prancis, meskipun pada kenyataannya keduanya tidak pernah benar-benar terjadi bersamaan: revolusi industri terjadi di bawah konstitusi Inggris abad pertengahan yang sebagian besar aneh, kuno, dan Prancis pada abad ke 19 sama sekali bukan laissez faire.

(Seruan revolusi Rusia dalam sekali hentak untuk “negara berkembang” tampaknya berasal dari fakta bahwa itu adalah satu contoh di mana kedua jenis revolusi itu tampaknya berbarengan: perebutan kekuasaan nasional yang kemudian mengarah pada industrialisasi yang cepat. Sebagai hasilnya, hampir setiap pemerintah abad kedua puluh di dunia global bagian selatan yang bertekad untuk mengejar ketinggalan ekonomi dengan kekuatan industri juga harus mengklaim sebagai sebuah rezim yang revolusioner.)

Jika ada satu kesalahan logis yang mendasari semua ini, maka hal itu bersandar pada cara kita membayangkan perubahan sosial atau bahkan teknologi yang mengambil bentuk yang sama dengan apa yang disebut Thomas Kuhn sebagai “struktur revolusi ilmiah.” Kuhn mengacu pada peristiwa seperti pergeseran dari Newton ke alam semesta Einstein: secara tiba-tiba ada terobosan intelektual dan sesudahnya, alam semesta berbeda. Diterapkan pada apa pun selain revolusi ilmiah, hal itu menyiratkan bahwa dunia benar-benar setara dengan pengetahuan kita tentangnya, dan ketika kita mengubah prinsip-prinsip yang menjadi dasar pengetahuan kita, realitas juga berubah. Ini hanyalah semacam kesalahan intelektual mendasar yang dikatakan oleh para psikolog perkembangan bahwa kita seharusnya mengatasi hal tersebut di masa kanak-kanak, tetapi tampaknya hanya sedikit dari kita yang benar-benar melakukannya.

Kenyataannya, dunia tidak berkewajiban untuk memenuhi harapan kita, dan sejauh “realitas” mengacu pada apa pun, itu merujuk tepat pada apa yang tidak pernah bisa sepenuhnya diolah oleh konstruksi imajinatif kita. Totalitas, khususnya, selalu merupakan makhluk imajinasi. Bangsa, masyarakat, ideologi, sistem tertutup... tidak ada yang benar-benar ada. Realitas selalu lebih berantakan daripada itu —bahkan jika keyakinan bahwa mereka sungguh ada adalah kekuatan sosial yang tidak dapat disangkal. Untuk satu hal, kebiasaan berpikir untuk mendefinisikan dunia, atau masyarakat, sebagai sistem penjumlahan (di mana setiap elemen mengambil signifikansinya hanya dalam kaitannya dengan yang lain) hampir pasti cenderung mengarah pada pandangan bahwa revolusi berarti terjadinya bencana. Karena, bagaimana pun juga, bagaimana mungkin satu sistem penjumlahan digantikan oleh sistem penjumlahan yang sama sekali berbeda daripada dengan perpecahan yang dahsyat? Dengan demikian, sejarah manusia menjadi serangkaian revolusi: revolusi Neolitik, revolusi Industri, revolusi informasi, dll., dan impian politik menjadi entah bagaimana mengendalikan proses: untuk sampai pada titik di mana kita dapat menyebabkan perpecahan seperti ini, sebuah terobosan penting yang tidak hanya akan terjadi, tetapi hasil langsung dari semacam kehendak kolektif. “Revolusi,” berbicara dengan benar.

Jika demikian, tidak mengherankan bahwa ketika para pemikir radikal merasa bahwa mereka harus melepaskan mimpi ini, reaksi pertama mereka adalah melipatgandakan upaya mereka untuk mengidentifikasi revolusi yang terjadi, ke titik di mana dimata seseorang seperti Paul Virilio, pecah/putus (rupture) adalah situasi abadi kita, atau untuk seseorang seperti Jean Baudrillard, dunia sekarang berubah sepenuhnya setiap beberapa tahun, setiap kali dia mendapat ide baru.

Ini bukan seruan untuk sepenuhnya menolak totalitas imajiner seperti itu —bahkan dengan mengira bahwa hal ini mungkin terjadi, yang mana adalah tidak mungkin, karena mereka mungkin merupakan alat yang diperlukan dari pemikiran manusia. Adalah suatu seruan untuk selalu mengingat bahwa itu hanya sekedar: alat pemikiran. Misal, sangat baik untuk dapat bertanya “setelah revolusi, bagaimana kita mengatur transportasi massal?”, “Siapa yang akan mendanai penelitian ilmiah?”, Atau bahkan, “setelah revolusi, apakah Anda pikir akan masih ada majalah fesyen?” Ungkapan itu adalah sendi mental yang berguna, bahkan jika kita juga mengakui bahwa dalam kenyataan, kecuali jika kita bersedia untuk membantai ribuan orang (dan mungkin bahkan pada saat itu), revolusi hampir pasti tidak akan begitu bersih seperti yang disiratkan oleh ungkapan seperti itu.

Lalu apa yang akan terjadi? Saya sudah membuat beberapa saran. Sebuah revolusi dalam skala dunia akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Tetapi juga mungkin untuk menyadari bahwa itu sudah mulai terjadi. Cara termudah untuk menyiasati pikiran kita adalah dengan berhenti memikirkan revolusi sebagai suatu hal — “revolusi”, terobosan besar yang menghancurkan— dan alih-alih bertanya “apakah yang dimaksud dengan tindakan revolusioner itu?” Kami kemudian dapat menyarankan: tindakan revolusioner adalah tindakan kolektif yang mana menolak, dan karena itu berhadapan dengan, suatu bentuk kekuasaan atau dominasi dan dalam melakukan hal itu, membangun kembali hubungan sosial —bahkan di dalam kolektivitas— dengan pengertian macam itu. Tindakan revolusioner tidak harus bertujuan untuk menjatuhkan pemerintah. Upaya untuk menciptakan komunitas otonom di hadapan kekuasaan (menggunakan definisi Castoriadis di sini: komunitas yang membentuk diri mereka sendiri, secara bersama sama membuat aturan atau prinsip operasi sendiri, dan secara terus-menerus menguji kembali diri mereka), akan, misalnya, mirip dengan apa yang dimaksud dengan tindakan revolusioner. Dan sejarah menunjukkan kepada kita bahwa tumpukan tindakan macam itu secara terus-menerus dapat mengubah (hampir) segalanya.

Saya bukan orang pertama yang mengajukan argumen seperti ini —beberapa visi semacam itu hampir selalu muncul begitu seseorang tidak lagi berpikir dalam kerangka kerja negara dan perebutan kekuasaan negara. Yang ingin saya tekankan di sini adalah apa artinya hal ini bagi cara kita dalam memandang sejarah.

Eksperimen Pikiran, atau Meledakkan Dinding Dinding

Sebenarnya apa yang saya usulkan adalah bahwa kita terlibat dalam semacam eksperimen pemikiran. Bagaimana jika, seperti judul terakhirnya, “kita tidak pernah menjadi modern '? Bagaimana kalau ternyata tidak pernah ada terobosan mendasar, dan oleh karena itu, sebenarnya kita tidak hidup di dunia moral, sosial, atau politik yang berbeda dari orang orang Piaroa atau Tiv atau di sebuah kampung Malagasi?

Ada jutaan cara yang berbeda-beda untuk mendefinisikan “modernitas.” Menurut beberapa aspek, hal itu terutama berkaitan dengan sains dan teknologi, bagi yang lain itu adalah masalah individualisme, yang lain, kapitalisme, atau rasionalitas birokratis, atau keterasingan, atau cita-cita untuk kebebasan dalam salah satu bentuk atau yang lainnya. Bagaimanapun cara mereka mengartikannya, hampir semua orang setuju bahwa di suatu tempat di abad keenam belas, atau ketujuh belas, atau kedelapan belas, suatu Transformasi Hebat (Great Transformation) terjadi. Bahwa itu terjadi di Eropa Barat dan koloni koloni pemukimnya, dan karena itu, kita menjadi “modern.” Dan begitu kita melakukannya, kita menjadi makhluk yang secara fundamental berbeda dari apa pun yang pernah ada sebelumnya.

Tapi bagaimana jika kita menendang seluruh peralatan ini? Bagaimana jika kita meledakkan tembok? Bagaimana jika ternyata orang orang yang “ditemukan” Columbus atau Vasco da Gama dalam penjelajahan mereka sebenarnya cuma kita? Atau tentu saja, sama seperti “kita” sebenarnya adalah Columbus dan Vasco da Gama?

Saya tidak berpendapat bahwa tidak ada hal penting yang berubah selama lima ratus tahun terakhir. Lebih dari itu saya berpendapat bahwa perbedaan budaya sebenarnya tidak begitu penting. Di satu sisi, semua orang, setiap komunitas, setiap individu dalam hal ini, hidup di alam semesta unik mereka sendiri. Ketika saya mengatakan “meledakkan tembok,” maksud saya khususnya adalah untuk meledakkan asumsi yang arogan dan yang tidak merefleksikan apapun, yang mengatakan bahwa kita tidak memiliki kesamaan dengan 98% orang yang pernah hidup, jadi kita tidak benar-benar harus memikirkan mereka. Karena, setelah semuanya ini, jika Anda mengasumsikan jeda fundamental, satu-satunya pertanyaan teoretis yang dapat Anda tanyakan adalah beberapa variasi tentang “apa yang membuat kita begitu istimewa?” Begitu kita menyingkirkan asumsi-asumsi itu, putuskan untuk setidaknya menghibur gagasan bahwa kita tidak cukup istimewa seperti yang mungkin ingin kita pikirkan. Kita juga dapat mulai berpikir tentang apa yang benar-benar telah berubah dan apa yang tidak.

Misalnya:

Telah lama terjadi perdebatan terkait apa keunggulan khusus dari “Barat,” sebagaimana Eropa Barat dan koloni pemukimnya suka menyebut diri mereka sendiri demikian, atas seluruh dunia yang memungkinkan mereka untuk menaklukkan begitu banyak tempat dan masyarakat dalam empat ratus tahun antara 1500 dan 1900. Apakah ini sistem ekonomi yang lebih efisien? Tradisi militer yang superior? Apakah itu ada hubungannya dengan agama Kristen, atau Protestan, atau semangat penyelidikan rasionalistik? Apakah itu hanya masalah teknologi? Atau apakah itu ada hubungannya dengan pengaturan keluarga yang lebih individualistis? Atau jangan jangan kombinasi dari semua faktor ini? Untuk sebagian besar, sosiologi sejarah Barat telah mendedikasikan diri untuk menyelesaikan masalah ini. Ini adalah tanda betapa tertanamnya asumsi-asumsi bahwa baru-baru ini saja para sarjana bahkan datang untuk menyarankan bahwa mungkin, Eropa Barat tidak benar benar memiliki keunggulan mendasar apapun. Bahwa teknologi Eropa, pengaturan ekonomi dan sosial, organisasi negara, dan sisanya pada tahun 1450 sama sekali tidak lebih “maju” daripada apa yang berlaku di Mesir, atau Benggala, atau Fujian, atau sebagian besar bagian lain dari Dunia Lama yang urban pada saat itu. Eropa mungkin jadi yang terdepan dalam beberapa bidang (misalnya, teknik perang laut, bentuk bentuk perbankan tertentu), tetapi jauh tertinggal di belakang di bidang lainnya (astronomi, yurisprudensi, teknologi pertanian, teknik perang darat). Mungkin tidak ada sesuatu yang misterius. Mungkin yang terjadi hanyalah kebetulan. Eropa Barat kebetulan terletak di bagian Dunia Lama yang jadi tempat paling mudah untuk berlayar ke Dunia Baru (benua Amerika): mereka yang pertama kali melakukannya memiliki keberuntungan yang luar biasa untuk menemukan tanah yang penuh dengan kekayaan besar, dihuni oleh orang orang zaman batu yang tidak berdaya yang dengan mudah mulai sekarat saat mereka tiba di sana, rejeki nomplok yang dihasilkan dari hal ini, dan keuntungan demografis dari memiliki tanah untuk dapat menyedot kelebihan populasi, lebih dari cukup untuk menjelaskan keberhasilan kekuatan Eropa nantinya. Maka menjadi mungkin untuk mematikan industri kain India (yang jauh lebih efisien) dan menciptakan ruang bagi revolusi industri, yang pada umumnya merusak dan mendominasi Asia sedemikian rupa sehingga dalam hal teknologi —khususnya teknologi industri dan militer— industri Asia semakin tertinggal di belakang.

Sejumlah penulis (Blaut, Goody, Pommeranz dan Gunder Frank) telah membuat beberapa variasi dari argumen semacam ini dalam beberapa tahun terakhir. Karya merupakan merupakan argumen moral, serangan terhadap kesombongan Barat. Karena hal itu sangat penting. Satu satunya masalah dengan itu, dalam hal moral, adalah bahwa ia cenderung membingungkan sarana dan kehendak. Maksudnya, ia bertumpu pada asumsi bahwa sejarawan Barat benar untuk berpendapat bahwa apa pun yang memungkinkan orang Eropa untuk mengambil, menculik, memperbudak dan memusnahkan jutaan manusia lain, itu adalah tanda superioritas dan oleh karena itu, apapun itu, akan menghina orang non-Eropa untuk menyarankan mereka tidak memilikinya juga. Tampak bagi saya bahwa jauh lebih menghina untuk menyarankan siapa pun akan berperilaku seperti orang Eropa abad keenambelas atau ketujuhbelas —misalnya, mengurangi sebagian besar populasi Andes atau Meksiko tengah supaya bekerja di tambang sampai mati, atau secara besar-besaran menculik sebagian populasi Afrika untuk bekerja mati-matian di perkebunan gula —kecuali jika seseorang punya bukti nyata yang menunjukkan bahwa mereka sebenarnya tidak melakukan pembantaian. Kenyataannya, ada banyak contoh orang yang berada dalam posisi untuk dapat menimbulkan malapetaka serupa dalam skala dunia —misalkan saja dinasti Ming pada abad ke-15— tetapi bagi mereka yang tidak melakukannya, bukan karena mereka keberatan, tapi karena mereka tidak pernah berpikir untuk bertindak seperti ini sejak awal.

Pada akhirnya semua itu berubah, anehnya, tentang bagaimana seseorang memilih untuk mendefinisikan kapitalisme. Hampir semua penulis yang dikutip diatas cenderung melihat kapitalisme sebagai pencapaian lain yang membuat orang Barat angkuh: bahwa mereka yang menciptakan diri mereka sendiri, dan karenanya mendefinisikannya (seperti yang dilakukan para kapitalis) sebagai masalah perdagangan dan instrumen keuangan. Tetapi kesediaan untuk menempatkan pertimbangan keuntungan di atas kepedulian manusia yang mendorong orang Eropa untuk mengurangi populasi seluruh dunia untuk menempatkan jumlah maksimum perak atau gula di pasar tentu saja merupakan hal lain. Menurut saya itu layak diberi nama sendiri. Karena alasan ini, lebih baik bagi saya untuk terus mendefinisikan kapitalisme seperti yang lebih disukai lawannya, seperti yang ditemukan pada hubungan antara sistem upah dan prinsip pencarian keuntungan tanpa akhir untuk kepentingannya sendiri. Hal ini pada akhirnya memungkinkan kita untuk berargumen bahwa ini adalah penyimpangan aneh dari logika komersial normal yang terjadi pada sudut dunia yang sebelumnya agak biadab dan mendorong penduduk untuk terlibat dalam apa yang mungkin dianggap sebagai bentuk perilaku yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Sekali lagi, semua ini tidak berarti bahwa seseorang harus setuju dengan premis bahwa begitu kapitalisme muncul, ia langsung menjadi sistem totalisasi dan bahwa sejak saat itu, segala sesuatu yang terjadi hanya dapat dipahami sehubungan dengan kapitalisme. Tetapi ini menunjukkan salah satu sumbu di mana seseorang dapat mulai berpikir tentang apa yang benar-benar berbeda saat ini.

Maka mari kita bayangkan bahwa Barat, bagaimanapun ia didefinisikan, sebenarnya tidak memiliki apapun yang spesial, dan lebih jauh, bahwa didalamnya tidak ada satupun patahan mendasar dalam sejarah manusia. Tidak seorang pun yang dapat menyangkal bahwa ada perubahan kuantitatif besar-besaran: jumlah energi yang dikonsumsi, kecepatan orang-orang dalam menempuh suatu perjalanan, jumlah buku yang telah dihasilkan dan dibaca, semua angka-angka ini telah meroket. Tapi mari kita bayangkan demi argumen bahwa perubahan-perubahan kuantitatif ini, dalam dirinya sendiri, tidak selalu menyiratkan perubahan kualitas: kita tidak hidup dalam jenis masyarakat yang secara fundamental berbeda dari yang pernah ada sebelumnya, kita tidak hidup dalam jenis waktu yang secara fundamental berbeda, keberadaan pabrik atau microchip tidak berarti kemungkinan politik atau sosial telah berubah dalam sifat dasar mereka: Atau, lebih tepatnya, Barat mungkin telah memperkenalkan beberapa kemungkinan baru, tetapi tidak mencegah yang lama untuk dapat keluar.

Hal pertama yang ditemukan oleh seseorang ketika ia mencoba berpikir seperti ini adalah bahwa ini sangat sulit untuk dilakukan. Seseorang harus melewati serangkaian trik dan tipuan intelektual tanpa akhir yang menciptakan tembok jarak di sekitar masyarakat “modern”. Izinkan saya memberi satu contoh saja. Sudah lazim untuk membedakan antara apa yang disebut “masyarakat berbasis kekerabatan” dan yang modern, yang seharusnya didasarkan pada institusi impersonal seperti pasar atau negara. Masyarakat yang secara tradisional dipelajari oleh para antropolog memiliki sistem kekerabatan. Mereka diorganisasikan ke dalam kelompok kelompok keturunan —garis keturunan, atau klan, atau kelompok kecil— yang melacak keturunan leluhur bersama, hidup terutama di wilayah leluhur, dilihat sebagai terdiri dari “jenis” manusia yang serupa —sebuah ide yang biasanya diekspresikan melalui idiom fisik dari daging, atau tulang, atau darah, atau kulit yang sama. Seringkali sistem kekerabatan menjadi dasar ketidaksetaraan sosial karena beberapa kelompok dipandang lebih tinggi daripada yang lain, seperti misalnya dalam sistem kasta: selalu, kekerabatan menetapkan syarat untuk seks dan perkawinan dan diwariskannya properti dari generasi ke generasi.

Istilah “berbasis kekerabatan” sering digunakan dengan cara yang sama untuk menggunakan kata “primitif”, ini adalah masyarakat eksotis yang benar -benar berbeda dengan kita. (Itu sebabnya kita perlu antropologi untuk mempelajarinya, semua disiplin ilmu yang berbeda, seperti sosiologi dan ekonomi, diasumsikan diperlukan untuk mempelajari yang modern.) Namun, orang yang sama persis yang membuat argumen ini biasanya akan menerima begitu saja bahwa masalah sosial utama dalam masyarakat kita sendiri, “modern” (atau “postmodern”: untuk tujuan saat ini, hal yang persis sama) berkisar pada ras, kelas, dan gender. Dengan kata lain, justru dari sifat sistem kekerabatan kita.

Lagi pula, apa gunanya mengatakan bahwa kebanyakan orang Amerika melihat dunia terbagi ke dalam “ras”? Ini berarti mereka percaya bahwa manusia dibagi menjadi kelompok-kelompok yang dianggap berbagi keturunan dan asal geografis yang sama, yang karena alasan ini dipandang sebagai “jenis” orang yang berbeda, bahwa gagasan ini biasanya diekspresikan melalui idiom fisik darah dan kulit, dan bahwa sistem yang dihasilkan mengatur jenis kelamin, perkawinan, dan warisan harta benda dan karenanya menciptakan dan memelihara kesenjangan sosial. Kami berbicara tentang sesuatu yang sangat mirip dengan sistem klan klasik, kecuali pada skala global. Orang mungkin keberatan bahwa ada banyak pernikahan antar ras yang terjadi, dan bahkan lebih banyak seks antar ras, tetapi kemudian, ini hanyalah tentang apa yang mesti kita harapkan. Studi statistik selalu mengungkapkan bahwa, bahkan dalam masyarakat “tradisional” seperti Nambikwara atau Arapesh, setidaknya 5-10% anak muda menikahi seseorang yang tidak seharusnya mereka nikahi. Secara statistik, fenomena tersebut memiliki signifikansi yang hampir sama. Kelas sosial sedikit lebih rumit, karena kelompoknya tidak dibatasi dengan jelas. Namun, perbedaan antara kelas yang berkuasa dan sekelompok orang yang telah berhasil dengan baik adalah, tepatnya, kekerabatan: kemampuan untuk menikahkan anak-anak seseorang dengan tepat dan memberikan keuntungan seseorang kepada keturunan seseorang. Orang-orang menikah melintasi garis kelas juga, tetapi jarang terjadi, dan sementara sebagian besar orang Amerika tampaknya mendapat kesan bahwa ini adalah negara dengan mobilitas kelas yang cukup besar, ketika diminta untuk mengemukakan contoh-contohnya, yang biasa mereka dapatkan hanyalah sepenggal cerita tentang orang-orang kaya. Hampir tidak mungkin menemukan contoh orang Amerika yang terlahir kaya dan berakhir di bangsal negara yang miskin. Jadi yang benar-benar kita hadapi adalah fakta, yang akrab bagi siapa saja yang mempelajari sejarah, bahwa elit penguasa (kecuali poligami) tidak pernah dapat mereproduksi diri secara demografis, dan oleh karena itu selalu memerlukan cara untuk merekrut darah baru (dan jika mereka poligami, tentu saja, itu sendiri menjadi mode mobilitas sosial).

Hubungan gender tentu saja merupakan jalinan kekeluar gaan.

Apa yang Diperlukan untuk Merobohkan Tembok Tembok Ini?

Saya akan banyak bicara. Sudah terlalu banyak orang yang berupaya mempertahankannya. Ini termasuk anarkis, kebetulan. Setidaknya di Amerika Serikat, kaum anarkis yang paling serius menangani antropologi adalah kaum Primitivis, sebuah faksi kecil namun sangat vokal yang berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk mengembalikan umat manusia ke fitrahnya adalah dengan menyingkirkan modernitas sepenuhnya. Terinspirasi oleh esai Marshall Sahlins “The Original Affluent Society,” mereka mengusulkan bahwa ada suatu zaman ketika keterasingan dan ketidaksetaraan tidak ada, ketika semua orang adalah pemburu-peramu anarkis, dan oleh karena itu pembebasan yang sesungguhnya hanya dapat datang jika kita meninggalkan “peradaban” dan kembali ke Paleolitik Muda, atau setidaknya Zaman Besi awal. Sebenarnya, kita hampir tidak tahu apapun tentang kehidupan masa Paleolitik, selain hal-hal yang dapat diperoleh dari mempelajari tengkorak yang sangat tua (yaitu gigi orang Paleolitik jauh lebih baik: mereka juga lebih sering mati karena trauma luka kepala). Tetapi apa yang kita lihat dalam catatan etnografi yang lebih baru adalah variasi yang tidak ada habisnya. Ada masyarakat pemburu dengan bangsawan dan budak, ada masyarakat agraris yang sangat egaliter. Bahkan di tanah khusus di Amazonia yang disukai Clastres, kita akan menemukan beberapa kelompok yang dapat dengan adil digambarkan sebagai kaum anarkis, seperti Piaroa, yang tinggal bersama kelompok lain (katakanlah, seperti Sherente yang suka berperang) yang jelas-jelas sama sekali tidak anarkis. Dan “masyarakat” terus-menerus berubah, melompat-lompat di antara apa yang kita anggap sebagai tahap evolusi yang berbeda.

Saya tidak berpikir bahwa kita kehilangan banyak jika kita mengakui bahwa manusia tidak pernah benar-benar tinggal di taman Eden. Merobohkan tembok bisa membuat kita melihat sejarah ini sebagai sumber bagi kita dengan cara yang jauh lebih menarik. Karena ini bekerja dua arah. Kita tidak hanya, dalam masyarakat industri, masih memiliki kekerabatan (dan kosmologis) masyarakat lain memiliki gerakan dan revolusi sosial. Yang berarti, di antara hal hal lain, bahwa para teoretikus radikal tidak lagi harus meneliti tanpa akhir tentang sejarah revolusioner yang kurang dari dua ratus tahun yang sama.

Pantai barat Madagaskar antara abad keenambelas dan kesembilan belas dibagi menjadi serangkaian kerajaan yang saling terkait di bawah dinasti Maroansetra. Mereka secara kolektif dikenal sebagai Sakalava. Di barat laut Madagaskar saat ini ada “kelompok etnis” yang berlindung di negeri di balik perbukitan yang membingungkan yang disebut sebagai Tsimihety. Kata itu secara harfiah berarti “mereka yang tidak memotong rambut mereka.” Ini mengacu pada kebiasaan Sakalava: ketika seorang raja meninggal, semua rakyat laki laki diharapkan memotong rambut mereka sebagai tanda berkabung. Tsimihety adalah mereka yang menolak memotong rambutnya, dan karena itu menolak otoritas monarki Sakalava: sampai hari ini mereka ditandai oleh organisasi dan praktik sosial egalitarian yang tegas. Dengan kata lain, mereka adalah kaum anarkis di Madagaskar barat laut. Sampai hari ini mereka telah mempertahankan reputasi sebagai “raja nya menghindar: di bawah pemerintah kolonial Prancis, para administrator akan mengeluh bahwa mereka dapat mengirim delegasi untuk mengatur tenaga kerja untuk membangun jalan di dekat desa Tsimihety, menegosiasikan persyaratan dengan para sesepuh yang terlihat kooperatif, lalu kembali dengan peralatan untuk membangun jalan seminggu kemudian hanya untuk menemukan bahwa desa mereka telah diterlantarkan setiap penduduk telah pindah ke beberapa kerabat di bagian lain negeri itu.

Yang menarik minat saya di sini adalah prinsip “etnogenesis,” seperti yang disebut saat ini. Tsimihety sekarang dianggap sebagai foko —suatu masyarakat atau kelompok etnis —tetapi identitas mereka muncul sebagai proyek politik. Keinginan untuk hidup bebas dari dominasi Sakalava diterjemahkan ke dalam hasrat —keinginan yang melanda semua institusi sosial dari majelis desa hingga ritual kamar mayat— untuk hidup di dalam masyarakat yang bebas dari tanda-tanda hierarki. Ini kemudian dilembagakan sebagai cara hidup komunitas yang hidup bersama, yang kemudian dianggap sebagai “jenis” tertentu, kelompok etnis tertentu —orang yang juga, karena mereka cenderung kawin campur, menjadi dilihat sebagai kelompok yang disatukan oleh nenek moyang yang sama. Lebih mudah untuk melihat ini terjadi di Madagaskar di mana setiap orang berbicara dengan bahasa yang sama.

Tapi saya ragu itu tidak biasa. Literatur etnogenesis adalah yang cukup baru, tetapi menjadi semakin jelas bahwa sebagian besar sejarah manusia ditandai oleh perubahan sosial yang berkelanjutan. Alih-alih kelompok abadi yang hidup selama ribuan tahun di wilayah leluhur mereka, kelompok baru diciptakan, yang lama bubar, dan ini terjadi sepanjang waktu. Banyak dari apa yang kita anggap sebagai suku, atau bangsa, atau kelompok etnis pada mulanya merupakan proyek kolektif.

Dalam kasus Tsimihety kita berbicara tentang proyek revolusioner, paling tidak, revolusioner dalam pengertian yang saya kembangkan di sini: penolakan secara sadar terhadap bentuk-bentuk tertentu dari kekuatan politik menyeluruh yang juga menyebabkan orang berpikir ulang dan mengatur kembali cara mereka berurusan satu sama lain setiap harinya. Sebagian besar tidak. Beberapa egalitarian, yang lain mempromosikan visi otoritas atau hierarki tertentu. Namun, kita masih berurusan dengan sesuatu yang menurut pendapat kita sebagai gerakan sosial. Hanya saja hal ini tidak disebarkan dalam selebaran, aksi unjuk rasa dan manifesto, media dimana orang orang yang melaku kannya dapat menciptakan dan menuntut bentuk bentuk baru kehidupan sosial, ekonomi atau politik, untuk mengejar berbagai bentuk nilai yang berbeda. Seseorang harus bekerja dengan patung secara harfiah atau kiasan, melalui musik dan ritual, makanan dan pakaian, dan cara mengurus orang yang telah meninggal. Tetapi sebagai akibatnya, seiring waktu, apa yang dulunya proyek sekarang menjadi identitas, bahkan yang berkelanjutan dengan alam. Mereka mengeras dan membatu menjadi sifat kolektif atau kebenaran yang terbukti dengan sendirinya.

Seluruh disiplin ilmu tidak diragukan lagi dapat diciptakan untuk memahami dengan tepat bagaimana ini terjadi: suatu proses yang hanya dengan beberapa cara analog dengan “rutinisasi karisma” Weber, penuh dengan strategi, pembalikan, pengalihan energi... Bidang sosial yang, pada intinya, arena untuk pengakuan bentuk bentuk nilai tertentu dapat menjadi batas yang harus dipertahankan, representasi atau media nilai menjadi kekuatan spiritual dalam diri mereka sendiri, ciptaan menyelinap ke dalam peringatan, sisa-sisa gerakan pembebasan yang mengeras bisa berakhir, di bawah cengkeraman negara, berubah menjadi apa yang kita sebut “nasionalisme” yang entah dimobilisasi untuk menggalang dukungan untuk mesin negara atau menjadi dasar bagi gerakan sosial baru yang menentang mereka.

Hal kritis di sini, yang tampak bagi saya, adalah hal yang membantu ini, tidak hanya diterapkan pada proyek sosial. Ia dapat pula terjadi pada negara itu sendiri. Ini adalah fenomena dari teori perjuangan sosial yang jarang sepenuhnya diapresiasi.

Ketika administrasi kolonial Perancis menancapkan dirinya sendiri di Madagaskar, seperti biasa, mereka mulai membeda-beda kan populasi ke dalam serangkaian “suku”: Merina, Betsileo, Bara, Sakalava, Vezo, Tsimihety, dll. Karena ada perbedaan bahasa yang mencolok, hal ini menjadi lebih mudah, ketimbang di banyak tempat lain, untuk membedakan beberapa prinsip yang dengannya perpecahan ini terjadi.

Beberapa suku politis. Sakalava tercatat patuh pada dinasti Maroantsetra (yang menciptakan setidaknya tiga kerajaan di sepanjang pantai pesisir Bara). Tsimihety adalah yang menolak setia. Mereka yang disebut “Merina” adalah orang dataran tinggi yang sebenarnya terikat pada kepatuhan pada seorang raja bernama Andrianampoinimerina, sementara yang patuh pada kerajaan dataran tinggi di selatan, yang segera setelah itu hampir sepenuhnya ditaklukkan Merina, secara kolektif disebut sebagai Betsileo. Beberapa nama berhubungan dengan dimana orang-orang tersebut tinggal atau bagaimana mereka hidup: Tanala adalah “orang-orang hutan” di pantai pesisir timur, di pantai pesisir barat Mikea adalah pemburu dan peramu, dan Vezo adalah para nelayan. Bahkan walau pada umumnya terdapat elemen politik: Vezo hidup bertetangga dengan monarki Sakalava. Tapi sama seperti Tsimihety, mereka membuat diri mereka tetap merdeka dari monarki ini karena, sebagaimana legenda katakan, kapanpun perwakilan istana dalam perjalanan mengunjungi mereka, mereka akan segera pergi melaut dengan kapal mereka dan berlabuh sampai perwakilan istana pergi. Desa nelayan yang tidak tunduk menjadi Sakalava, bukan Vezo.

Merina, Sakalava, dan Betsileo sejauh ini adalah yang paling banyak. Jadi, sebagian besar orang Malagasi didefinisikan, bukan karena kesetiaan politik mereka, tetapi oleh kesetiaan yang dimiliki leluhur mereka sekitar tahun 1775 atau 1800. Yang menarik adalah apa yang terjadi pada identitas-identitas ini begitu raja tidak lagi ada. Di sini Merina dan Betsileo tampaknya mewakili dua kemungkinan yang berlawanan. Banyak dari kerajaan kuno ini tidak lebih dari sistem pemerasan yang dilembagakan: sejauh rakyat biasa benar benar berpartisipasi dalam politik kerajaan, itu adalah melalui kerja ritual: membangun istana dan makam, misalnya, di mana setiap klan biasanya diberi beberapa peran kehormatan yang sangat spesifik. Di dalam kerajaan Merina, sistem ini akhirnya disalahgunakan habis-habisan sehingga ketika Perancis tiba, sistem itu hampir seluruhnya didiskreditkan dan pemerintahan kerajaan menjadi, seperti yang saya sebutkan, diidentifikasi sebagai perbudakan dan kerja paksa: alhasilnya, “Merina” sekarang sebagian besar hanya ada di atas kertas. Seseorang tidak pernah mendengar ada orang di pedesaan yang menyebut diri mereka dengan istilah itu kecuali mungkin ketika menulis esai yang harus ditulis di sekolah.

Sakalava adalah cerita lain. Sakalava masih merupakan identitas yang hidup di pantai Barat, dan hingga hari ini artinya mereka adalah pengikut dinasti Maroantsetra. Tetapi selama seratus lima puluh tahun terakhir, kesetiaan utama sebagian besar Sakalava adalah kepada anggota dinasti ini yang sudah mati. Sementara keturunan mahkota yang masih hidup sebagian besar diabaikan, makam raja-raja kuno masih terus dibangun kembali dan didekorasi ulang dalam proyek proyek komunal yang luas dan inilah yang menjadi tujuan utama Sakalava. Dan raja-raja yang mati masih mengumumkan keinginan mereka — melalui perantara roh yang biasanya keluar dari mulut seorang perempuan tua dari keturunan biasa.

Di banyak wilayah lain di Madagaskar, sering kali tidak ada yang benar-benar mendapatkan otoritas penuh sampai mereka mati. Jadi mungkin kasus Sakalava tidak seluarbiasa itu. Tapi hal ini menunjukkan suatu cara yang sangat umum untuk menghindar dari efek langsung kekuasaan: jika seseorang tidak bisa dengan mudah menyingkirkan kekuasaan dari jalurnya, seperti Vezo atau Tsimihety, seseorang dapat, seolah-olah, mencoba memfosilkannya. Dalam kasus Sakalava, pengerasan negara cukup literal: raja-raja yang masih disembah secara fisik berbentuk peninggalan kerajaan, secara harfiah berupa gigi dan tulang. Tetapi pendekatan ini mungkin jauh lebih umum daripada yang akan kita curigai.

Kajsia Eckholm misalnya, baru-baru ini membuat saran yang menarik bahwa jenis kerajaan ilahi yang ditulis Sir James Frazer dalam The Golden Bough, di mana raja-raja dilindungi dengan ritual dan tabu yang tak ada habisnya (tidak menyentuh bumi, tidak melihat matahari...), bukanlah, seperti yang biasanya kita kira, sebagai bentuk kuno suatu kerajaan, tetapi dalam banyak kasus, sebenarnya adalah sesuatu yang jauh lebih tua lagi. Eckholm memberi contoh monarki Kongo. Ketika Portugis pertama kali muncul pada akhir abad ke-15, tampaknya tidak ada banyak ritual jika dibandingkan monarki di Portugal atau Spanyol pada saat yang bersamaan. Ada sejumlah upacara pengadilan, tapi tidak ada yang menghalangi pemerintahan. Baru kemudian, ketika kerajaan runtuh karena perang saudara dan kemudian bubar menjadi pecahan yang lebih kecil dan lebih kecil lagi, maka para penguasanya menjadi makhluk yang semakin suci. Ritual yang rumit dibuat, pembatasan dilipatgandakan, sampai pada akhirnya jika kita membaca tentang “raja, maka kita mendapati bahwa ia adalah seseorang yang terkurung di bangunan kecil, atau secara harfiah dikebiri saat naik tahta. Akibatnya mereka sangat sedikit memerintah, kebanyakan BaKongo pada kenyata annya sebagian besar telah beralih ke sistem swa-pemerintahan, meskipun itu juga sistem yang sangat kacau, yang terjebak dalam pergolakan perdagangan budak.

Apakah semua ini relevan dengan masalah kontemporer? Sangat banyak, setidaknya menurut saya. Pemikir otonomis di Italia, selama beberapa dekade terakhir, mengembangkan teori tentang apa yang mereka sebut “eksodus” revolusioner. Hal ini sebagian diilhami secara khusus oleh kondisi Italia —anak muda yang melakukan penolakan yang meluas terhadap pekerjaan di pabrik pabrik, berkembangnya squatting (pendudukan bangunan) dan pendudukan “pusat-sosial” yang begitu banyak di kota-kota Italia... Soal ini, Italia tampaknya telah bertindak sebagai sejenis laboratorium untuk gerakan sosial bagi masa depan, mengantisipasi tren yang kini mulai terjadi dalam skala global.

Teori eksodus menyatakan bahwa perlawanan paling efektif melawan kapitalisme dan negara liberal bukanlah melalui konfrontasi langsung, tetapi dengan cara yang Paolo Virno sebut sebagai “keterlibatan mundur” (engaged withdrawal), yaitu pembelotan massal oleh mereka yang ingin menciptakan bentuk komunitas baru. Kita hanya perlu melihat sekilas pada catatan sejarah untuk memastikan bahwa, bentuk perlawanan rakyat yang paling sukses telah mengambil bentuk ini dengan tepat. Mereka tidak menantang kekuasaan secara langsung (yang biasanya mengarah pada pembantaian, atau jika tidak, berubah menjadi sesuatu yang bahkan lebih buruk dari hal yang pertama kali ditantang), tetapi dengan beragam strategi mencoba melepaskan diri dari cengkeraman kekuasaan, mulai dari melarikan diri, desersi, mendirikan komunitas baru. Seorang sejarawan otonomis, Yann Moulier Boutang, bahkan berpendapat bahwa sejarah kapitalisme adalah serangkaian upaya untuk menyelesaikan masalah mobilitas pekerja —maka elaborasi institusi yang tak ada habisnya seperti kontrak, perbudakan, sistem kuli, pekerja kontrak, pekerja tamu, bentuk kontrol atas perbatasan negara yang tak terhitung banyaknya— karena, jika sistem itu benar-benar mendekati versi fantasinya sendiri, di mana para pekerja bebas untuk mendapatkan pekerjaan dan berhenti dari pekerjaan mereka di mana pun dan kapan pun mereka mau, seluruh sistem akan runtuh. Justru karena alasan inilah tuntutan paling konsisten yang diajukan oleh elemen-elemen radikal dalam gerakan globalisasi —dari Otonomis Italia hingga kaum anarkis di Amerika Utara— kebanyakan adalah soal kebebasan bergerak secara global, “globalisasi yang sesungguhnya”, penghancuran perbatasan, meruntuhkan tembok secara umum.

Jenis penghancuran tembok konseptual yang telah saya sajikan di sini memungkinkan kita tidak hanya untuk mengetahui pentingnya untuk mundur (defection), ini juga menjanjikan banyak konsepsi yang tak terbatas mengenai bentuk aksi revolusioner alternatif yang memungkinkan. Ini adalah sejarah yang sebagian besar belum ditulis dan bisa dieksplorasi. Peter Lamborn Wilson telah membuat serangkaian esai cemerlang termasuk refleksi tentang, salah satunya, keruntuhan kebudayaan Hopewell dan Mississippian di seluruh Amerika Utara bagian timur. Mereka adalah masyarakat yang didominasi oleh imam-imam elit, struktur sosial berbasis kasta, dan pengorbanan manusia yang secara misterius hilang, tergantikan oleh masyarakat hortikultur dan pemburu-peramu yang jauh lebih egalitarian.

Menariknya, dia berpendapat bahwa identifikasi penduduk asli Amerika yang terkenal dengan alam mungkin sebenarnya bukan reaksi terhadap nilai-nilai Eropa, tetapi pada kemungkinan dialektis dalam masyarakat mereka sendiri yang secara sadar mereka tinggalkan. Cerita berlanjut melalui pembelotan para pemukim Jamestown, kumpulan pelayan yang ditinggalkan di koloni Amerika Utara pertama di Virginia oleh lelaki pelindung mereka, yang tampaknya akhirnya menjadi orang Indian, ke serangkaian “utopia bajak laut”, di mana pemberontak Inggris bekerja sama dengan pembajak Muslim, atau bergabung dengan komunitas asli dari Hispaniola ke Madagaskar, republik “tiga ras” tersembunyi yang didirikan oleh budak yang melarikan diri di pinggiran pemukiman Eropa, Antinomians, dan kantong-kantong libertarian yang kurang terkenal lainnya yang menguasai benua tersebut bahkan sebelum Shaker dan Fourierist dan semua “komunitas intensional” abad kesembilan belas yang lebih terkenal.

Sebagian besar utopia utopia kecil ini lebih marjinal ketimbang Vezo atau Tsimihety yang ada di Madagaskar, mereka semua bahkan musnah. Ini berujung pada pertanyaan mengenai bagaimana caranya menetralisir aparatus negara itu tanpa politik konfrontasi langsung. Tidak diragukan lagi bahwa beberapa negara dan elit korporat akan rebah karena beban berat mereka sendiri. Beberapa begitu. Tapi susah untuk membayangkan skenario bahwa mereka semua memang akan begitu nasibnya. Di sini, Sakalava dan BaKongo mungkin dapat memberikan kita beberapa petunjuk berguna. Apa yang tidak dapat dihancurkan, dengan demikian, dibelokkan, dibekukan, diubah, atau secara bertahap dicabut dari intinya yang mana dalam kasus negara, sudah memang keahlian mereka untuk meneror. Apa artinya ini bagi kondisi kontemporer? Belum terlalu jelas. Mungkin aparatus negara yang masih ada secara bertahap direndahkan menjadi seperti jendela berpenampilan sebagai substansi mereka yang ditarik keluar dari atas dan bawah: yaitu, baik dengan tumbuhnya lembaga internasional, dan dengan mundur ke bentuk bentuk pemerintahan lokal dan regional sendiri sendiri. Mungkin politik layar kaca pemerintah yang dijalankan oleh media akan berubah menjadi tontonan yang murni dan sederhana (agak sejalan dengan apa yang disiratkan oleh Paul Lafargue, menantu Marx dari Hindia Barat dan penulis The Right to Be Lazy, ketika dia mengusulkan bahwa setelah revolusi, politisi masih dapat memenuhi fungsi sosial yang berguna dengan berkecimpung dalam industri hiburan). Kemungkinan besar itu akan terjadi dengan cara yang bahkan tidak dapat kita antisipasi. Tetapi tidak diragukan lagi, ada cara cara untuk mewujudkannya. Ketika negara negara Neoliberal bergerak menuju bentuk-bentuk baru feodalisme, semakin memusatkan senjata mereka ke sekitar komunitas yang terjaga keamanannya, ke ruang-ruang pemberontakan terbuka yang bahkan tidak kita ketahui. Para petani padi Merina yang dijelaskan di bagian terakhir memahami apa yang tidak diketahui oleh banyak calon revolusioner: bahwa kadang hal paling bodoh yang dilakukan seorang revolusioner adalah mengibarkan bendera merah hitam atau mengeluarkan deklarasi yang menantang. Kadang hal paling masuk akal adalah dengan berpura-pura bahwa tak ada yang terjadi, membiarkan pejabat pemerintah untuk mempertahankan kehormatannya, bahkan memamerkan kantor mereka dan mengisi berbagai dokumen, tetapi selebihnya, abaikan mereka.

Prinsip prinsip dari Ilmu yang Tidak Ada

Biar saya membuat garis besar dari beberapa area teori antropologi anarkis yang dapat digali:

1) Teori tentang Negara Negara punya karakter ganda yang ganjil.

Mereka adalah pemerasan dan perampasan yang terlembagakan, tetapi disaat yang bersamaan mereka adalah proyek utopis. Yang pertama jelas cerminan pengalaman berbagai komunitas yang memper tahankan sedikit otonomi dari negara, yang kedua bagaimana pun juga adalah bagaimana mereka muncul dalam sumber-sumber tertulis.

Dalam suatu pengertian, negara sebenarnya tidak lebih dari “totalitas bayangan, dan banyak kebingungan yang dihasilkan dalam teori-teori tentang negara secara historis berdasar dari ketidakmampuan dan ketidakmauan untuk mengakui hal ini. Sebagian besarnya, gagasan soal negara adalah cara untuk membayangkan tatanan sosial sebagai sesuatu yang bisa dipegang oleh seseorang, semacam model kontrol. Itu mengapa karya-karya teori sosial yang pertama kali dikenal, entah itu dari Persia, Cina atau Yunani kuno, selalu dibingkai sebagai teori kenegaraan (statecraft). Hal ini punya dua efek mengerikan. Pertama adalah utopia menjadi nama yang buruk. (Kata “utopia” awalnya adalah sebutan untuk membayangkan kota yang ideal, biasanya dengan geometri yang sempurna gambaran yang tampaknya bermula dari kemah militer kerajaan: ruang geometris yang sepenuhnya suatu hal yang abstrak tetapi jelas muncul atau berasal dari seseorang, kehendak pribadi, khayalan soal kendali penuh.) Semua ini punya akibat politik yang sangat buruk.

Yang kedua adalah kita bermaksud untuk memandang negara, dan tatanan sosial, bahkan masyarakat, sebagian besar saling menyesuaikan satu sama lain. Dengan kata lain, kita cenderung menganggap serius klaim penguasa dunia yang paling muluk, bahkan paranoid, dengan asumsi bahwa proyek kosmologis apa pun yang mereka hendak kejar benar-benar sesuai, setidaknya secara kasar, dengan sesuatu di lapangan. Sedangkan dalam banyak kasus, klaim ini biasanya hanya diterapkan sepenuhnya dalam beberapa puluh meter dari raja ke segala arah, dan sebagian besar taklukkan sehari-hari lebih cenderung melihat elit yang berkuasa, sebagai sesuatu yang mirip dengan predator perampok.[3]

Teori tentang negara yang memadai oleh karena itu mesti dimulai dengan memisahkan pada tiap kasusnya antara ideal kepenguasaan yang relevan (yang bisa berarti apapun, misal, kebutuhan untuk memaksakan disiplin bergaya militer, kemampuan untuk menyediakan perwakilan teatrikal sempurna tentang kehidupan yang ramah yang akan menginspirasi yang lain, kebutuhan untuk menyediakan dewa yang membutuhkan pengorbanan hati manusia tanpa akhir untuk mencegah kiamat...), dan hukum mekanik, tanpa mengasumsikan bahwa ada banyak penyesuaian di antara mereka yang dibutuhkan. (Itu mungkin. Tapi ini harus ditetapkan secara empiris). Misal: kebanyakan mitologi “Barat berasal dari kisah Herodotus tentang epos antara Kekai saran Persia yang digambarkan dengan kepatuhan dan kekuasaan mutlak, yang dibandingkan dengan kota-kota di Yunani kuno seperti Athena dan Sparta yang digambarkan dengan otonomi sipil, kebebasan dan kesetaraan. Bukan berarti bahwa gagasan ini, khususnya seperti yang digambarkan dalam puisi Aeschylus atau sejarawan seperti Herodotus tidak penting. Seseorang tidak mungkin memahami sejarah Barat tanpa memahami hal ini. Tetapi saking penting dan jelasnya, hal ini telah sejak lama membutakan sejarawan mengenai kenyataan bahwa entah bagaimana penggambarannya, sebenarnya Kekaisaran Achmaenid memiliki kontrol harian hidup yang lebih ringan atas orang yang mereka taklukkan, khususnya jika dibandingkan dengan perlakuan orang-orang Athena atas budak mereka atau orang Sparta atas sebagian besar populasi Laconian yang merupakan budak belian. Bagaimanapun penggambarannya, bagi orang-orang yang menjalaninya, hal yang terjadi malah sebaliknya.

Salah satu penemuan antropologi evolusioner yang paling mengejutkan adalah ternyata suatu masyarakat bisa memiliki raja dan bangsawan dan semua jebakan luar monarki lainnya tetapi ia tidak benar-benar berkerja seperti negara sungguhan dalam artian mekanisnya. Seseorang dapat berpikir bahwa ini akan menarik perhatian semua filsuf politik yang telah menumpahkan banyak tinta karena berdebat soal teori “kedaulatan” -karena hal itu berarti mereka yang berdaulat bukan kepala negara dan bahwa istilah teknis kesukaan mereka sesungguhnya terbangun di atas ideal yang hampir mustahil, dimana kekuasaan kerajaan mencoba mengartikan kehendak kosmologisnya ke dalam bentuk kontrol birokratik sungguhan yang diterapkan pada penduduk suatu wilayah. (Hal seperti ini terjadi di Eropa Barat pada abad ke-16 dan 17, tapi segera setelah hal itu terjadi, kedaulatan kekuasaan seseorang diganti dengan sosok fiktif yang disebut “rakyat,” yang membuat birokrasi mengambil alih hampir segala hal.) Tapi sejauh yang saya sadari, filsuf politik tidak bicara banyak soal hal ini. Saya yakin bahwa ini sebagian besar karena kesalahan dalam memilih istilah. Antropologis evolusioner biasa menyebut kerajaan-kerajaan yang tidak memiliki birokrasi memaksa yang lengkap sebagai kedatuan (chiefdoms): sebuah istilah yang mengingatkan kita pada Geronimo atau Sitting Bull ketimbang Salomo, Louis yang saleh, atau Kaisar Kuning. Dan tentu saja kerangka evolusionis itu sendiri memastikan bahwa struktur semacam itu dilihat sebagai sesuatu yang ada sebelum negara muncul, dan bukannya sebagai bentuk alternatif, atau bahkan sebagai salah satu kemungkinan bahwa negara dapat berubah jadi seperti itu. Untuk memperjelas semuanya ini akan jadi sebuah proyek sejarah besar.

2) Teori tentang Entitas Politik yang Bukan Negara

Jadi, ada suatu proyek: menganalisis ulang negara sebagai hubungan antara bayangan utopis, dan kenyataan yang berantakan yang melibatkan strategi untuk kabur dan menghindar, elit predator, dan cara kerja aturan dan kontrol.

Semua yang disoroti ini menekankan kebutuhan untuk proyek lain: seseorang akan bertanya, jika banyak entitas politis yang digunakan untuk dilihat sebagai negara, paling tidak dalam pengertian Weberian apapun, adalah tidak tepat, lalu mereka itu apa dan disebut apa? Dan apa pengaruh hal tersebut terhadap kemungkinan politis?

Di satu sisi, sungguh menakjubkan bahwa literatur teoretis seperti itu belum ada. Saya rasa, itu adalah tanda lain dari betapa sulitnya bagi kita untuk berpikir di luar kerangka kerja statis (kenegaraan).

Contoh kasus yang sangat bagus: salah satu tuntutan pal ing konsisten dari para aktivis “anti-globalisasi” adalah penghapusan pembatasan perbatasan. Jika kita ingin mengglobal seperti biasa kita katakan, coba kita seriusin. Coba perbatasan negara dihapus. Biarkan saja orang datang dan pergi sesuka mereka, dan tinggal di mana pun mereka suka. Tuntutan ini sering diutarakan dalam beberapa pengertian tentang kewarganegaraan global. Namun hal ini langsung menimbulkan keberatan: bukankah seruan untuk “kewarganegaraan global” berarti menyerukan semacam negara global? Apakah kita benar-benar ingin ada hal semacam itu?

Jadi pertanyaannya jadi soal bagaimana kita berteori ten tang kewarganegaraan (citizenship) di luar negara. Hal ini sering diperlakukan sebagai dilema yang mendalam, mungkin yang tidak dapat diatasi, tetapi jika seseorang mempertimbangkan masalah tersebut secara historis, sulit untuk memahami mengapa harus demikian. Gagasan Barat modern tentang kewarganegaraan dan kebebasan politik biasanya dilihat berasal dari dua tradisi. Kalau tidak berasal dari Athena kuno, pasti berasal dari Inggris abad pertengahan (di mana ia cenderung ditelusuri kembali pada pernyataan hak istimewa aristokrat terhadap Sang Mahkota dalam Magna Carta, Petisi Hak, dll., dan kemudian perpanjangan secara bertahap dari hak yang sama ini ke seluruh penduduk). Kenyataannya tidak ada kesepakatan di antara para sejarawan bahwa baik itu Athena klasik atau Inggris abad pertengahan dapat dikatakan sebagai negara — dan terlebih lagi, justru karena alasan hak warga negara yang pertama dan hak istimewa aristokrat yang kedua, begitu mapan.

Sulit untuk membayangkan Athena sebagai sebuah negara, dengan monopoli kekuatan oleh aparatur negara, jika dilihat bahwa aparat pemerintahan minimal yang ada seluruhnya terdiri dari budak, yang dimiliki secara kolektif oleh warga negara. Kepolisian Athena terdiri dari pemanah Skit yang dikirim dari tempat yang sekarang disebut Rusia atau Ukraina, dan sesuatu dari kedudukan hukum mereka dapat diperoleh dari fakta bahwa, menurut hukum orang Athena, kesaksian seorang budak tidak dapat diterima sebagai bukti di pengadilan kecuali jika diperoleh dengan penyiksaan.

Lalu entitas macam itu disebut sebagai apa? “Kedatuan”? Seseorang mungkin dapat menyebut King John sebagai “datu” dalam pengertian teknis, yang evolusioner. Tapi menyebut Perikles seperti itu rasanya aneh. Bisa juga kita terus menyebut Athena kuno sebagai “negara kota” padahal ia bukan negara sama sekali. Ini seperti kita tidak memiliki perangkat intelektual untuk menyebut hal macam itu. Hal yang sama juga terjadi dengan tipologi jenis negara, atau entitas mirip negara saat ini: sejarawan bernama Spruyt mengusulkan mengusulkan bahwa pada abad ke-16 dan 17, negara bangsa teritorial adalah satu-satunya pemain, ada kemungkinan lain yang gagal (seperti misal negara kota Italia, yang sebenarnya adalah negara, liga dari pusat pedagang terkonfederasi Hanseatik, yang melibatkan pemahaman kedaulatan yang sepenuhnya berbeda) atau setidaknya menjauh tetapi secara intrinstik layak.

Saya sendiri menyarankan bahwa salah satu alasan kenapa negara-bangsa teritorial akhirnya menang adalah karena, pada tahap awal globalisasi ini, para elit Barat mencoba mencontohkan diri mereka sendiri pada Tiongkok. Ini satu-satunya negara yang ada pada saat itu, yang tampaknya benar-benar sesuai dengan cita-cita mereka tentang populasi yang seragam, yang dalam istilah Konfusianisme adalah sumber kedaulatan, pencipta sastravernakular, tunduk pada pasal hukum yang seragam, yang dikelola oleh birokrat yang dipilih berdasarkan prestasi, dilatih dalam literatur vernakular itu... Dengan krisis negara-bangsa saat ini dan peningkatan pesat dalam lembaga-lembaga internasional yang sebenarnya bukan negara, tetapi dalam banyak hal sebenarnya sama menjengkelkannya, disandingkan dengan upaya untuk menciptakan lembaga internasional yang melakukan banyak hal yang sama dengan negara tetapi akan jauh lebih tidak menjengkelkan, kekurangan tubuh teoritik seperti itu bakal jadi krisis sejati.

3) Belum Lagi tentang Teori Kapitalisme Lainnya

Seseorang tidak suka menyarankan ini tetapi dorongan tanpa akhir untuk mengalamiahkan kapitalisme dengan menjadikannya hanya sebagai masalah perhitungan komersial, yang kemudian memungkinkan seseorang untuk mengklaimnya sama tuanya dengan peradaban Sumeria, teriakkan saja semuanya. Paling tidak kita membutuhkan teori yang tepat tentang sejarah kerja upahan, dan hubungan semacam itu. Karena bagaimanapun juga, dalam melakukan kerja upahan, bukan dalam jual beli, kebanyakan manusia sekarang menyia-nyiakan sebagian besar waktu bangun tidur mereka dan itulah yang membuat mereka sengsara. (Oleh karena itu, serikat buruh IWW (Industrial Workers of the World) tidak mengatakan bahwa mereka “anti kapitalis,” meskipun mereka sebenarnya memang demikian, mereka langsung ke pokok permasalahan dan mengatakan mereka “menentang sistem kerja upahan.”)

Kontrak kerja upah paling awal yang kita catat tampaknya benar-benar tentang budak sewaan. Bagaimana dengan model kapitalisme yang berangkat dari situ? Ketika para antropolog seperti Jonathan Friedman berpendapat bahwa perbudakan kuno sebenarnya hanyalah versi kapitalisme yang lebih tua, kita dapat dengan mudah —sebenarnya, jauh lebih mudah— menyatakan bahwa kapitalisme modern sebenarnya hanyalah versi perbudakan yang lebih baru. Alih alih orang menjual atau menyewakan kita, kita menyewakan diri kita sendiri. Tapi pada dasarnya pengaturannya sama.

4) Kuasa/Kedunguan, atau Kuasa/Kebodohan

Para akademisi suka dengan argumen Michel Foucault yang mengidentifikasi pengetahuan dengan kekuasaan, dan menegaskan bahwa kekerasan tidak lagi menjadi faktor utama dalam kontrol sosial. Mereka menyukainya karena itu menyanjung mereka: formula sempurna untuk orang-orang yang suka menganggap diri mereka sebagai radikal politik, meskipun yang mereka lakukan hanyalah menulis esai yang kemungkinan besar akan dibaca oleh beberapa lusin orang lain dalam lingkungan kelembagaan yang sama. Tentu saja, jika salah satu dari akademisi ini masuk ke perpustakaan universitas mereka untuk berkonsultasi dengan beberapa volume Foucault tapi lupa membawa kartu identitas yang sah dan memutuskan untuk tetap masuk, mereka akan segera menemukan bahwa kekerasan sebenarnya tidak terlalu jauh seperti yang mereka bayangkan —seorang dengan tongkat besar, yang terlatih untuk dengan tepat memukul orang lain dengan tongkat itu, akan dengan cepat muncul untuk mengusir mereka.

Nyatanya ancaman dari orang yang memegang tongkat itu menembus dunia kita setiap saat, kebanyakan dari kita telah menyerah, bahkan berpikir untuk melewati kekangan dan batasan yang tak terhitung banyaknya yang dia ciptakan, hanya agar kita tidak perlu mengingatkan diri kita sendiri tentang keberadaannya. Jika Anda melihat seorang perempuan kelaparan berdiri beberapa meter jauhnya dari tumpukan besar makanan —kejadian sehari-hari bagi kebanyakan dari kita yang tinggal di kota— ada alasan mengapa Anda tidak bisa mengambil dan memberikan makanan itu kepadanya. Seorang pria dengan tongkat besar akan datang dan kemungkinan besar akan memukul Anda. Sebaliknya, kaum anarkis selalu senang mengingatkan kita soal ini. Penduduk komunitas penghuni liar Christiana di Denmark, misalnya, memiliki ritual Natal di mana mereka mengenakan pakaian Santa, mengambil mainan dari pusat perbelanjaan dan membagikannya kepada anak-anak di jalan, sebagian bertujuan supaya semua orang dapat melihat adegan ketika polisi memukuli Santa dan merebut kembali mainan dari anak-anak yang menangis.

Penekanan teoretis seperti itu membuka jalan bagi teori bahwa kekuasaan tidak ada hubungannya dengan pengetahuan, tetapi dengan ketidaktahuan dan kebodohan. Karena kekerasan, terutama kekerasan struktural, di mana semua kekuatan berada di satu sisi, menciptakan kebodohan. Jika Anda memiliki kekuatan untuk memukul orang di atas kepala kapanpun Anda mau, Anda tidak perlu terlalu merepotkan diri Anda sendiri untuk mengetahui apa yang menurut mereka sedang terjadi, dan oleh karena itu, secara umum, Anda tidak perlu melakukannya. Oleh karena itu, cara pasti untuk menyederhanakan pengaturan sosial, mengabaikan permainan perspektif, hasrat, wawasan, keinginan, dan pemahaman timbal-balik yang sangat kompleks bahwa kehidupan manusia sebenarnya terbuat dari hal ini, adalah membuat aturan dan mengancam akan menyerang siapa pun yang melanggarnya. Inilah sebabnya mengapa kekerasan selalu menjadi jalan yang disukai orang bodoh: itu adalah satu bentuk kebodohan yang hampir tidak mungkin muncul dengan respon yang cerdas. Itu juga tentu merupakan dasar dari berdirinya negara.

Berlawanan dengan yang dipercayai banyak orang, birokrasi tidak menciptakan kebodohan. Mereka adalah cara cara untuk mengelola situasi yang pada dasarnya memang bodoh karena pada akhirnya didasarkan pada kekuatan yang semena-mena.

Pada akhirnya ini harus mengarah pada teori tentang hubungan antara kekerasan dengan imajinasi. Mengapa orang-orang yang ada di bawah (korban kekerasan struktural) selalu membayangkan seperti apa rasanya jadi orang-orang yang di atas (penerima manfaat dari kekerasan struktural), tetapi hampir tidak pernah terpikir oleh orang-orang di atas untuk bertanya-tanya apa rasanya jadi mereka yang di bawah? Manusia adalah makhluk yang simpatik, dan ini cenderung menjadi salah satu benteng utama dari sistem ketidaksetaraan manapun —orang yang tertindas benar-benar peduli tentang penindas mereka, setidaknya, jauh lebih perhatian ketimbang penindas terhadap mereka— tetapi tampaknya ini sendiri efek dari kekerasan struktural.

5) Ekologi Asosiasi Sukarela Apa saja jenisnya?

Dalam lingkungan apa mereka berkembang? Dari mana asal gagasan aneh tentang “korporasi?

6) Teori Kegembiraan Politis

Kurang lebih cuma teori mengenai mengapa kebanyakan orang saat ini tidak pernah mengalaminya. Ini pasti mudah.

7) Hierarki

Teori tentang bagaimana struktur hierarki, dengan logika mereka sendiri, butuh untuk menciptakan bayangan tanding atau penyangkalan mereka sendiri. Mereka melakukannya, asal Anda tahu.

8) Penderitaan dan Kesenjangan: Tentang Privatisasi Hasrat

Sudah jadi kesepakatan di antara kaum anarkis, otonomis, Situationis, dan revolusioner baru lainnya bahwa generasi lama dari kaum revolusioner yang suram, yang bertekad, dan rela berkorban, yang melihat dunia hanya dalam kerangka penderitaan pada akhirnya hanya akan menghasilkan lebih banyak penderitaan itu sendiri. Memang itulah yang cenderung terjadi di masa lalu. Karenanya topik satu ini menekankan pada kesenangan, pada karnaval, pada penciptaan “zona otonom sementara” di mana seseorang dapat hidup seolah-olah sudah bebas. Cita-cita dari “festival perlawanan” dengan musik gila dan boneka raksasanya, yang secara sadar, adalah kembali ke dunia akhir abad pertengahan dengan boneka-boneka raksasa besar dan naga, mainan anak-anak dan tarian morris, dunia yang sangat dibenci dan berhasil dihancurkan oleh para pelopor “roh kapitalis” Puritan. Sejarah kapitalisme bergerak dari serangan terhadap konsumsi kolektif dan meriah ke pemberlakuan bentuk-bentuk yang sangat pribadi, privat, bahkan sembunyi-sembunyi (lagipula, begitu mereka memiliki semua orang yang mendedikasikan seluruh waktunya untuk memproduksi barang-barang alih-alih berpesta, mereka memang harus memikirkan cara untuk menjual semuanya), sebuah proses privitisasi keinginan.

Pertanyaan teoretis: bagaimana mendamaikan semua ini dengan wawasan teoretis yang mengganggu dari orang orang seperti Slavoj Zizek: bahwa jika seseorang ingin memantik kebencian etnis, cara termudah untuk melakukannya adalah dengan berkonsentrasi pada cara-cara yang aneh dan menyimpang di mana kelompok lain dianggap sedang mengejar kesenangan. Jika seseorang ingin menekankan kesamaan, cara termudah adalah menunjukkan bahwa mereka juga merasakan sakit.

9) Satu atau Beberapa Teori Alienasi

Inilah hadiah utamanya: apa, tepatnya, dimensi yang memungkinkan pengalaman yang tidak mengasingkan? Bagaimana modalitasnya dikatalogkan, atau dipertimbangkan? Antropologi anarkis manapun yang kompeten harus memberi perhatian khusus pada pertanyaan ini karena inilah yang paling dipelajari oleh semua punk, hippie, dan aktivis dari setiap lapisan dalam antropologi. Para antropolog yang begitu takut dituduh meromantisasi masyarakat yang mereka teliti sehingga mereka menolak menyatakan atau bahkan menyarankan bahkan mungkin ada jawaban, yang tidak membiarkan mereka mencari jalan lain selain jatuh ke pelukan romantisme yang sebenarnya. Kaum primitivis seperti John Zerzan, yang mencoba untuk menghilangkan apa yang tampaknya memisahkan kita dari pengalaman murni dan tanpa perantara, akhirnya mengikis segalanya. Karya Zerzan yang semakin populer akhirnya mengutuk keberadaan bahasa, matematika, pengatur waktu, musik, dan semua bentuk seni dan representasi. Mereka semua dianggap sebagai bentuk keterasingan, meninggalkan kita dengan semacam cita-cita evolusioner yang mustahil: satu-satunya manusia yang benar-benar tidak terasing bukanlah manusia, tetapi lebih merupakan sejenis kera sempurna, dengan semacam telepati yang saat ini tak terbayangkan yang terhubung dengan sesamanya, yang menyatu dengan alam liar, yang hidup mungkin sekitar seratus ribu tahun yang lalu. Revolusi yang sejati berarti kembali ke situ. Bagaimana para penggemar hal semacam ini masih bisa terlibat dalam tindakan politik yang efektif (karena menurut pengalaman saya banyak yang melakukan pekerjaan yang sangat luar biasa), itu sendiri merupakan pertanyaan sosiologis yang menarik. Tapi tentunya, analisis alternatif tentang keterasingan mungkin berguna di sini.

Kita bisa mulai dengan sejenis sosiologi mikro-utopia, padanan dari tipologi paralel bentuk bentuk keterasingan, bentuk-bentuk tindakan teralienasi dan tidak teralienasi... Saat kita berhenti bersikeras melihat semua bentuk tindakan hanya dengan fungsinya dalam mereproduksi bentuk-bentuk ketidaksetaraan kekuasaan yang lebih besar, yang total, kita juga akan dapat melihat bahwa hubungan sosial anarkis dan bentuk tindakan yang tidak teralienasi ada di sekitar kita. Dan ini penting karena sudah menunjukkan bahwa anarkisme telah, dan selalu, jadi salah satu basis utama interaksi manusia. Kita mengatur diri sendiri dan terlibat dalam tindakan saling membantu sepanjang waktu. Kita selalu punya. Kita juga terlibat dalam kreativitas artistik, yang menurut saya jika diteliti akan mengungkapkan bahwa banyak dari bentuk pengalaman yang paling tidak mengasingkan biasanya melibatkan elemen yang oleh para Marrxis sebut sebagai fetisisasi. Akan lebih mendesak untuk mengembangkan teori semacam itu jika Anda menerima bahwa (seperti yang sering saya katakan) konstituensi revolusioner selalu melibatkan aliansi diam-diam antara yang paling tidak teralienasi dan yang paling tertindas.

***

T: Butuh berapa banyak pemilih untuk menyalakan bohlam?

J: Tidak ada. Karena pemilih tidak mengubah apapun.

Tentu saja tidak ada program anarkis tunggal dan tidak mungkin bisa tapi saya bakal memberi pembaca beberapa gagasan yang mungkin dapat membantu tentang kemana pemikiran dan pengorganisiran saat ini dapat mengarah.

A. Globalisasi dan Penghapusan Ketimpangan Utara-Selatan

Seperti yang telah saya singgung, “gerakan anti-globalisasi” semakin anarkis dalam hal inspirasinya. Dalam jangka panjang posisi anarkis terhadap globalisasi sudah jelas: penghapusan negara-bangsa berarti menyingkirkan perbatasan nasional. Ini adalah globalisasi sesungguhnya. Sisanya cuma sampah. Tetapi untuk sementara, ada berbagai macam saran konkret tentang bagaimana situasi saat ini dapat diperbaiki tanpa menggunakan pendekatan statis, proteksionis. Satu contoh:

Selama protes di depan Forum Ekonomi Dunia, para konglomerat dan politisi berjejaring dan berbagi koktail di Waldorf Astoria, berpura-pura mendiskusikan cara-cara untuk mengentaskan kemiskinan global. Saya diundang untuk terlibat dalam debat radio dengan salah satu perwakilan mereka. Kebetulan tugas diberikan kepada aktivis lain tetapi saya sudah cukup jauh untuk mempersiapkan program tiga poin yang menurut saya akan mengatasi masalah dengan baik:

Sisanya nanti akan berkembang dengan sendirinya. Ketika rata-rata penduduk Tanzania, atau Laos, tidak lagi dilarang pindah ke Minneapolis atau Rotterdam, pemerintah dari tiap negara kaya dan berkuasa di dunia pasti akan memutuskan bahwa tidak ada yang lebih penting daripada menemukan cara untuk memastikan bahwa orang-orang di Tanzania dan Laos lebih suka tinggal di tempat mereka sendiri. Anda percaya kan bahwa mereka akan muncul dengan sesuatu?

Intinya adalah, terlepas dari retorika yang tak ada habisnya tentang “masalah yang rumit, ribet, dan sulit diselesaikan” (yang membenarkan penelitian mahal selama puluhan tahun oleh orang kaya dan orang yang dibayar tinggi), program anarkis mungkin akan menyelesaikan sebagian besar masalah global dalam lima atau enam tahun. Tetapi, Anda pasti bakal berkata, tuntutan ini sama sekali tidak realistis! Memang. Tapi mengapa tidak realistis? Karena orang-orang kaya yang bertemu di Waldorf tidak akan pernah mendukung semua usulan itu. Itu kenapa kami bilang kalau mereka mereka itulah yang jadi biang keladinya.

B. Perjuangan Melawan Kerja

Perjuangan melawan kerja selalu jadi inti pengorganisasian anarkis. Maksud saya, ini bukan perjuangan untuk kondisi buruh yang lebih baik atau upah yang lebih tinggi, tetapi perju angan untuk menghapuskan pekerjaan, sebagai hubungan dominasi, sepenuhnya. Oleh karena itu, slogan IWW adalah “menentang sistem pengupahan”. Ini tentu saja tujuan jangka panjang. Dalam jangka pendek, apa yang tidak bisa dihilangkan setidaknya bisa dikurangi. Sekitar pergantian abad lalu, kaum Wobblies (sebutan bagi anggota IWW) dan anarkis lainnya memainkan peran utama dalam memenangkan tuntutan buruh demi kerja 5 hari seminggu dan 8 jam sehari.

Di Eropa Barat, pemerintah sosial-demokrat saat ini, untuk pertama kalinya dalam hampir satu abad, sekali lagi mengurangi jam kerja per minggu. Mereka hanya melakukan perubahan kecil (dari 40 jam menjadi 35 jam seminggu), tetapi di AS tidak ada yang membahas sebanyak itu. Sebaliknya mereka mendiskusikan apakah akan menghilangkan setengah jam lembur. Ini terlepas dari kenyataan bahwa orang Amerika sekarang menghabiskan lebih banyak jam kerja daripada populasi lain di dunia, termasuk Jepang. Jadi para Wobblies telah muncul kembali, dengan apa yang akan menjadi langkah selanjutnya dalam program mereka, bahkan di tahun 1920'an: 16 jam seminggu. (“4 hari seminggu, 4 jam sehari.”) Sekali lagi, ini tampak sama sekali tidak realistis, bahkan gila. Tapi adakah yang melakukan studi kelayakan? Lagi pula, telah berulang kali terbukti bahwa sebagian besar jam kerja di Amerika sebenarnya hanya diperlukan untuk mengkompensasi masalah yang diciptakan karena orang Amerika terlalu banyak bekerja. (Pertimbangkan di sini pekerjaan seperti pengantar pizza yang bekerja sepanjang malam atau pencuci anjing, atau perempuan yang menjalankan pusat penitipan siang hari untuk anak-anak perempuan yang harus bekerja malam hari menyediakan penitipan anak untuk perempuan pebisnis... belum lagi waktu yang dihabiskan tanpa henti oleh spesialis yang membersihkan kerusakan emosional dan fisik yang disebabkan oleh kerja yang berlebihan, luka-luka, bunuh diri, perceraian, amukan mematikan, produksi obat-obatan untuk menenangkan anak anak...)

Jadi pekerjaan macam apa yang sebenarnya dibutuhkan?

Nah, sebagai permulaan, ada banyak pekerjaan yang jika ia dihapuskan, hampir semua orang setuju, karena akan menjadi keuntungan bersih bagi umat manusia. Pertimbangkan misalnya telemarketer, produsen SUV, atau dalam hal ini, pengacara perusahaan. Kita juga dapat menghilangkan seluruh industri periklanan dan humas, memecat semua politisi dan staf mereka, menghilangkan siapa pun yang terhubung dari jarak jauh dengan HMO (Health Maintenance Organization), bahkan tanpa kita mulai membahas fungsi sosial yang penting. Penghapusan iklan juga akan mengurangi produksi, pengiriman, dan penjualan produk yang tidak perlu, sebab jika suatu barang benar-benar diinginkan atau dibutuhkan orang, mereka bakal mencari tahu nya sendiri. Penghapusan ketidaksetaraan radikal berarti kita tidak lagi membutuhkan layanan dari jutaan orang yang saat ini dipekerjakan sebagai penjaga pintu, pasukan keamanan swasta, penjaga penjara, atau tim SWAT —belum lagi militer. Selain itu, kita harus melakukan penelitian. Pemodal, perusahaan asuransi dan bankir investasi pada dasarnya adalah makhluk parasit, tetapi mungkin ada beberapa fungsi berguna di sektor ini yang tidak bisa begitu saja diganti dengan perangkat lunak. Secara keseluruhan, kita mungkin menemukan bahwa jika kita mengidentifikasi pekerjaan yang benar-benar perlu dilakukan untuk mempertahankan standar hidup yang nyaman dan berkelanjutan secara ekologis, dan mendistribusikan kembali jam kerja, mungkin platform Wobbly ternyata sangat realistis. Terutama jika kita ingat bahwa tidak ada orang yang dipaksa berhenti bekerja setelah empat jam jika mereka tidak menginginkannya. Tentu saja, banyak orang yang menikmati pekerjaan mereka, lebih dari sekedar bermalas-malasan tanpa melakukan apapun sepanjang hari (itulah mengapa di penjara, ketika mereka ingin menghukum narapidana, mereka mencabut hak mereka untuk bekerja), dan jika seseorang telah menghilangkan penghinaan yang tak ada habisnya dan permainan sadomasokistik yang pasti menyusul dari organisasi top-down, orang akan berharap lebih banyak. Bahkan mungkin ternyata tidak ada orang yang harus bekerja lebih dari yang mereka inginkan.

catatan kecil:

Harus diakui, semua ini mengasumsikan reorganisasi total pekerjaan, semacam skenario “setelah revolusi” yang saya anggap sebagai alat yang diperlukan bahkan untuk mulai berpikir tentang kemungkinan manusia, bahkan jika revolusi mungkin tidak akan pernah mengambil bentuk apokaliptik seperti itu. Ini tentu saja menimbulkan pertanyaan “siapa nanti yang akan melakukan pekerjaan kotor?” Pertanyaan-pertanyaan macam ini selalu dilontarkan pada kaum anarkis atau utopis lainnya. Peter Kropotkin sejak lama telah menunjukkan kesalahan argumen tersebut. Tidak ada alasan khusus kenapa pekerjaan kotor harus ada. Jika tugas yang tidak menyenangkan dibagi rata, itu berarti semua ilmuwan dan insinyur top dunia juga harus melakukan nya: tapi semoga dapur yang bisa membersihkan dirinya sendiri dan robot pertambangan batubara segera tercipta.

Semua ini bisa dikesampingkan, karena sebenarnya di bagian akhir ini saya ingin fokus pada:

C. Demokrasi

Ini mungkin memberi pembaca kesempatan untuk melihat secara sekilas seperti apa itu pengorganisasian yang sebenar nya, yang diilhami oleh anarkis —beberapa kontur dunia baru yang sekarang sedang dibangun di dalam cangkang yang lama— dan untuk menunjukkan seperti apa sejarah perspektif etnografis yang telah saya coba kembangkan di sini, yaitu ilmu pengetahuan kita yang tidak ada, yang mungkin dapat berkontribusi pada hal ini.

Siklus pertama dari pemberontakan global baru —yang semakin menggelikan karena media massa saat ini masih kekeuh menyebutnya sebagai “gerakan anti-globalisasi” dimulai dengan kotamadya otonom Chiapas di Mexico dan mencapai puncaknya dengan asambleas barreales (semacam majelis pertemuan warga) di Buenos Aires, dan kota-kota di seluruh Argentina. Hampir tidak ada ruang di sini kalau semuanya diceritakan: dimulai dengan penolakan Zapatista terhadap gagasan merebut kekuasaan. dan sebagai gantinya mereka menciptakan model organisasi mandiri yang demokratis untuk menginspirasi seluruh Meksiko, inisiasi mereka atas jaringan internasional (Aksi Global Rakyat, atau PGA) yang kemudian mengeluarkan seruan untuk unjuk rasa selama berhari-hari terhadap WTO (di Seattle), IMF (di Washington, Praha...) dan seterusnya, dan akhirnya, runtuhnya ekonomi Argentina, dan pemberontakan rakyat yang luar biasa yang, sekali lagi, menolak gagasan bahwa seseorang dapat menyelesaikan masalah dengan mengganti satu kelompok politisi dengan politisi lainnya. Sedari awal, slogan gerakan Argentina adalah, gue se vayan todas —“singkirkan mereka semua”. Alih-alih menciptakan pemerintahan baru, mereka menciptakan jaringan luas lembaga alternatif, dimulai dengan majelis rakyat untuk mengatur setiap lingkungan perkotaan (satu-satunya batasan untuk dapat berpartisipasi adalah jika seseorang bekerja dalam partai politik), ratusan pabrik yang dikelola pekerja yang mendudukinya, sistem yang kompleks dari “barter” dan sistem mata uang alternatif bermodel baru untuk menjaga mereka tetap beroperasi —singkatnya, variasi yang tak ada habisnya pada tema demokrasi langsung.

Semua ini terjadi sepenuhnya di bawah layar radar media korporat, yang juga melewatkan inti dari mobilisasi besar. Pengorganisasian tindakan-tindakan ini dimaksudkan untuk menjadi ilustrasi yang hidup tentang seperti apa dunia yang benar-benar demokratis, dari boneka-boneka yang meriah hingga organisasi yang cermat dari kelompok afinitas dan dewan juru bicara (spokes council), semua beroperasi tanpa struktur kepemimpinan, selalu berdasarkan pada prinsip-prinsip konsensus —berbasis demokrasi langsung. Itu adalah jenis organisasinya banyak orang kelak, yang sudah mereka dengar ketika diusulkan, ditulis seperti mimpi siang bolong, tetapi itu berhasil dan cukup efektif sampai-sampai departemen kepolisian di banyak kota kebingungan bagaimana cara menghadapinya. Tentu saja, ini juga ada hubungan nya dengan taktik yang belum pernah ada sebelumnya, yang benar-benar membingungkan kategori tradisional kekerasan dan non-kekerasan. Ratusan aktivis memakai setelan peri menggelitik polisi dengan kemoceng bulu, atau melapisi tubuhnya dengan begitu banyak ban dalam dan bantal karet sehingga mereka tampak berguling seperti Michelin-man di atas barikade, tidak menyakiti orang lain tetapi juga cukup tahan dari pukulan tongkat polisi.

Ketika pengunjuk rasa di Seattle meneriakkan “demokrasi itu seperti ini,” mereka bermaksud untuk dipahami secara harfiah. Dalam tradisi terbaik aksi langsung, mereka tidak hanya menghadapi bentuk kekuatan tertentu, mengekspos mekanisme nya dan berusaha secara harfiah untuk menghentikannya dari jalurnya: mereka melakukannya dengan cara yang menunjukkan mengapa jenis hubungan sosial dimana ia mendasarkan dirinya pada sesuatu yang sama sekali tidak diperlukan. Inilah sebabnya mengapa semua komentar merendahkan tentang gerakan yang didominasi oleh sekelompok anak-anak bodoh tanpa ideologi yang koheren sama sekali tak tepat sasaran. Keberagaman adalah fungsi dari bentuk organisasi yang terdesentralisasi dan organisasi itu sendiri adalah ideologi gerakan.

Istilah kunci dalam gerakan baru ini adalah “proses”, yang berarti proses pengambilan keputusan. Di Amerika Utara, hal ini hampir selalu digunakan untuk menemukan konsensus. Seperti yang saya jelaskan, hal ini secara ideologis tidak sebegitu mencekik ketimbang kedengarannya, karena asumsi dibalik segala proses konsensus yang baik adalah, seseorang tidak semestinya mencoba mengubah keseluruhan sudut pandang orang lain. Inti dari proses konsensus adalah untuk memungkinkan suatu kelompok untuk memutuskan tindakan yang sama. Ketimbang memungut suara atas suatu proposal usulan, proposal dikerjakan dan dikerjakan ulang, diubah atau diciptakan kembali, sampai akhirnya menjadi sesuatu yang dapat diterima semua orang. Ketika sampai pada tahap akhir, yaitu “menemukan konsensus” yang sebenarnya, ada dua tingkat keberatan yang memungkin kan: seseorang dapat “berdiri di samping”, yaitu mengatakan “Saya tidak suka dengan hal ini dan memutuskan tidak akan terlibat, walau saya tidak akan menghentikan orang lain melakukannya,” atau dengan “memblokir”, yang berarti punya efek veto. Seseorang hanya dapat memblokir jika merasa sebuah proposal telah melanggar prinsip-prinsip dasar atau nalar untuk menjadi suatu kelompok. Dapat dikatakan bahwa fungsi yang ada dalam konstitusi AS, yang ada di pengadilan, untuk menjatuhkan keputusan legislatif yang melanggar prinsip-prinsip konstitusional, dalam model ini memungkinkan semua orang yang berani untuk dapat benar-benar menentang kehendak gabungan kelompok (meskipun tentu saja ada juga cara untuk menantang blok yang tidak berprinsip).

Seseorang bisa panjang lebar membahas tentang metode yang rumit dan sangat canggih yang telah dikembangkan untuk memastikan semua ini berhasil, tentang bentuk-bentuk konsensus yang dimodifikasi yang diperlukan untuk kelompok yang sangat besar, cara konsensus itu sendiri memperkuat prinsip desentralisasi dengan memastikan seseorang tidak benar-benar ingin membawa proposal ke kelompok yang sangat besar kecuali jika untuk beberapa hal yang diharuskan, misalnya cara untuk memastikan kesetaraan gender diterapkan dan soal-soal penyelesaian konflik... Intinya, ini adalah bentuk dari demokrasi lang sung yang sangat berbeda dari jenis demokrasi yang biasa kita sebut —atau, dalam hal ini, dengan jenis yang biasanya digunakan oleh kaum anarkis Eropa atau Amerika Utara dari generasi sebe lumnya, atau yang masih digunakan, katakanlah, di asamblea perkotaan Argentina. Di Amerika Utara, proses konsensus lebih dari apa pun juga muncul melalui gerakan feminis, sebagai bagian dari reaksi luas terhadap beberapa gaya kepemimpinan macho yang lebih menjengkelkan dan terlalu membesar-besarkan diri dari kelompok Kiri Baru tahun 60'an. Sebagian besar prosedur awalnya diadopsi dari Ouaker atau kelompok yang terinspirasi oleh Quaker, Quaker, pada akhirnya mengaku telah terinspirasi oleh praktik penduduk asli Amerika. Apakah hal yang terakhir itu benar-benar terjadi dalam sejarah, sulit untuk dijawab. Meskipun demikian, pengambilan keputusan Penduduk Asli Amerika biasanya berhasil melalui beberapa bentuk konsensus. Sebenarnya, begitu pula majelis paling populer di seluruh dunia saat ini, mulai dari Tzeltal atau Tzotzil atau komunitas berbahasa Tojolobal di Chiapas hingga fokon'olona Malagasi. Setelah tinggal di Madagaskar selama dua tahun, saya terkejut ketika pertama kali menghadiri pertemuan Direct Action Network (DAN) di New York, saya tidak asing dengan semua itu. Perbedaan utamanya adalah bahwa proses DAN jauh lebih formal dan eksplisit. Tapi memang harus demikian, karena setiap orang di DAN baru saja memikirkan bagaimana caranya untuk membuat keputusan dengan cara begini, dan semuanya harus dijabarkan: sedangkan di Madagaskar, setiap orang telah melakukan ini sejak mereka belajar berbicara.

Kenyataannya, seperti yang disadari oleh para antropolog, 81 hampir setiap komunitas manusia yang kita ketahui yang harus mengambil keputusan kelompok, telah menggunakan beberapa jenis dari apa yang saya sebut “proses konsensus” —semuanya, mirip seperti yang digambarkan dalam tradisi Yunani kuno. Demokrasi mayoritas yang secara formal dipahami dalam aturan ketertiban (rules of orders) Roberts, yaitu panduan prosedur parlementer, jarang muncul dengan sendirinya. Sangat mengherankan bahwa hampir tidak seorang pun, termasuk para antropolog, yang bertanya pada diri sendiri mengapa hal ini harus terjadi.

Hipotesis.

Demokrasi mayoritas, mulanya, adalah sebuah institusi militer.

Tentu saja ini adalah bias yang khas dari historiografi Barat bahwa inilah satu-satunya jenis demokrasi yang dianggap sebagai “demokrasi” yang sebenarnya. Kita biasanya diberi tahu kalau demokrasi berasal dari Athena kuno —sebagaimana sains atau filsafat itu adalah penemuan orang Yunani. Maksudnya cukup jelas. Apakah kita mesti percaya bahwa sebelum orang Athena, dimanapun itu tidak pernah ada seorang pun yang mengumpulkan semua anggota komunitas mereka untuk bermusyawarah dengan cara memberi setiap orang hak untuk berpendapat? Itu konyol. Jelas ada banyak masyarakat egaliter dalam sejarah —bahkan banyak yang jauh lebih egaliter daripada Athena, banyak yang pasti sudah ada sebelum 500-SM— dan jelas, mereka pasti memiliki semacam prosedur untuk mengambil keputusan untuk masalah yang penting secara kolektif. Namun entah bagaimana, selalu diasumsikan bahwa prosedur ini, bagaimanapun juga tidak dapat benar-benar disebut “demokratis.”

Bahkan para sarjana dengan mandat radikal yang sempurna, yang mendukung demokrasi langsung, telah dikenal membengkokkan diri jadi kue pretzel karena mencoba membenarkan sikap ini. Komunitas egalitarian non-Barat itu “berbasis kerabat,” ujar Murray Bookchin. (Loh, memangnya Yunani tidak? Tentu saja agora di Athena itu sendiri tidak berbasis kerabat, tetapi bukannya fokon'olona Malagasi atau seka Bali juga begitu. Terus?) “Beberapa orang mungkin berbicara tentang demokrasinya suku Iroguois atau Berber,” bantah Cornelius Castoriadis, “tetapi ini adalah penyalahgunaan istilah demokratis. Ini adalah masyarakat primitif yang menganggap tatanan sosial diserahkan kepada mereka oleh dewa atau roh, bukan dibentuk oleh orang-orang itu sendiri seperti terjadi di Athena.” (Yang bener? Faktanya, “Liga Iroguois” adalah organisasi perjanjian, dilihat sebagai kesepakatan bersama yang dibuat dalam sejarah, dan tunduk pada negosiasi ulang yang konstan.) Pendapat-pendapat tersebut tidak pernah masuk akal. Tapi memang tidak harus masuk akal karena kita sama sekali tidak sedang mengurus argumen di sini.

Alasan sebenarnya kenapa sebagian besar cendikiawan enggan melihat dewan desa Sulawezi atau Tallensi sebagai sesua tu yang “demokratis” —selain karena rasisme dalam bentuknya yang paling halus, keengganan untuk menerima siapapun orang Barat yang dibantai dengan impunitas yang relatif sama seperti itu setara dengan Perikles— adalah bahwa mereka tidak melakukan pemilihan. Nah, ini memang fakta yang menarik. Kenapa tidak? Jika kita menerima gagasan bahwa mengacungkan tangan, atau meminta setiap orang yang mendukung suatu pendapat berdiri di satu sisi alun-alun dan semua orang yang menentangnya berdiri di sisi lain, bukanlah gagasan yang sangat canggih, sehingga hal ini tidak akan pernah terpikir oleh siapa pun kecuali oleh beberapa orang jenius dari zaman kuno “menciptakannya”, lalu mengapa cara begini sangat jarang dipakai? Sekali lagi, kita tampaknya memiliki contoh penolakan secara terang-terangan. Berulang kali, di seluruh dunia, dari Australia hingga Siberia, komunitas egalitarian lebih menyukai proses konsensus yang beragam. Mengapa?

Saya mengusulkan penjelasannya begini: jauh lebih mudah dalam komunitas tatap muka untuk mencari tahu apa yang ingin dilakukan sebagian besar anggota komunitas itu, daripada mencari cara untuk meyakinkan mereka yang tidak setuju. Pengambilan keputusan konsensus adalah tipikal masyarakat di mana tidak akan ada cara untuk memaksa minoritas agar setuju dengan keputusan mayoritas —entah itu karena ketiadaan negara dengan monopoli kekuatan koersif, atau karena negara tidak ada hubungannya dengan pengambilan keputusan lokal. Jika tidak ada cara untuk memaksa mereka yang tidak mau mengikuti keputusan mayoritas, maka hal terakhir yang dapat dilakukan adalah mengadakan pemungutan suara: kontes publik di mana seseorang akan terlihat kalah. Pemungutan suara akan menjadi cara yang paling bagus untuk menjamin munculnya penghinaan, dendam, kebencian, dan pada akhirnya, kehancuran komunitas. Apa yang dilihat sebagai proses yang berbelit dan sulit untuk menemukan konsensus, sebenarnya merupakan proses panjang untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang pergi dengan perasaan sakit hati karena pandangannya telah ditolak dan benar-benar diabaikan.

Demokrasi mayoritas, bisa kita katakan, hanya dapat muncul ketika dua faktor ini bertemu:

  1. Perasaan bahwa orang harus memiliki suara yang sama dalam membuat keputusan kelompok, dan

  2. Aparat koersif yang mampu menegakkan keputusan tersebut.

Untuk sebagian besar sejarah manusia, sangat sulit untuk memiliki kedua faktor ini pada waktu yang bersamaan. Jika ada masyarakat egalitarian, biasanya pemaksaan sistematis dianggap salah. Bahkan di mana mesin pemaksaan memang ada, tidak terpikir oleh mereka yang menggunakannya bahwa mereka sedang memaksakan kehendak rakyat apa pun.

Sangat relevan bahwa Yunani Kuno adalah salah satu masyarakat paling kompetitif yang dikenal dalam sejarah. Mereka adalah masyarakat yang cenderung membuat segala sesuatu menjadi kontes publik, dari atletik hingga filsafat atau drama tragis atau apa saja. Jadi, mungkin tidak terlalu mengejutkan bahwa mereka juga membuat pengambilan keputusan politik menjadi kontes publik. Yang lebih penting lagi nyatanya adalah bahwa keputusan dibuat oleh angkatan bersenjata. Aristoteles, dalam bukunya Politics, menyatakan bahwa konstitusi negara-kota Yunani biasanya akan bergantung pada lengan utama militernya: jika ini adalah kavaleri, maka artinya ia akan menjadi aristokrasi, karena kuda itu mahal. Jika infanteri hoplite, maka ia akan menjadi oligarki, karena tidak semua mampu ikut pelatihan dan membeli baju besi. Jika kekuatannya didasarkan pada angkatan laut atau infanteri ringan, orang dapat mengharapkan demokrasi, karena siapapun dapat mendayung, atau menggunakan umban. Dengan kata lain, jika seorang pria bersenjata, maka orang harus mempertimbangkan pendapatnya. Kita bisa melihatnya secara mencolok pada Anabasis karya Xenophon, yang menceritakan kisah tentara bayaran Yunani yang tiba-tiba menemukan diri mereka tanpa pemimpin dan tersesat di tengah Persia. Mereka memilih perwira baru, dan kemudian mengadakan pemungutan suara kolektif untuk memutuskan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Dalam kasus seperti ini, bahkan jika pemungutan suara 60/40, setiap orang dapat melihat keseimbangan kekuatan dan apa yang akan terjadi jika ketidaksetujuan meledak. Setiap suara, dalam arti yang sebenarnya, adalah penaklukan.

Legiun Romawi bisa juga demokratis, inilah alasan utama mereka tidak pernah diizinkan memasuki kota Roma. Dan ketika Machiavelli menghidupkan kembali gagasan republik demokratis di awal era “modern”, dia segera kembali ke gagasan soal rakyat bersenjata.

Hal ini pada gilirannya dapat membantu menjelaskan istilah “demokrasi” itu sendiri, yang tampaknya telah diciptakan sebagai penghinaan oleh lawan-lawannya yang elitis: secara harfiah berarti “kekuatan” atau bahkan “kekerasan” oleh rakyat. Kratos, bukan archos. Para elitis yang menciptakan istilah tersebut selalu menganggap demokrasi dekat dengan kerusuhan atau aturan massa, meskipun tentu saja solusi mereka adalah sama-sama penaklukan permanen oleh orang lain. Dan ironisnya, ketika mereka berhasil menekan demokrasi karena alasan ini, yang biasanya, akibatnya adalah bahwa satu-satunya cara untuk mengetahui apa yang rakyat inginkan adalah justru melalui kerusuhan, sebuah praktik yang menjadi cukup terlembaga di, katakanlah, kekaisaran Roma atau abad kedelapan belas.

Semua ini bukan berarti bahwa demokrasi langsung — seperti yang dipraktikkan, misalnya, di kota kota abad pertengahan atau pertemuan kota New England— biasanya bukanlah prosedur yang tertib dan bermartabat, meskipun orang menduga bahwa di sini juga, dalam penerapan yang sebenarnya, ada dasar tertentu dari pencarian konsensus yang sedang terjadi. Tetap saja, nada militer inilah yang memungkinkan para penulis Federalist Papers, seperti hampir semua orang terpelajar lainnya di zaman mereka, untuk menerima begitu saja bahwa apa yang mereka sebut “demokrasi” —yang mereka maksud, demokrasi langsung— yang ada di alam adalah bentuk pemerintahan yang paling tidak stabil dan penuh gejolak, belum lagi yang membahayakan hak-hak minoritas (minoritas tertentu yang mereka maksud dalam hal ini adalah orang kaya). Hanya sekali istilah “demokrasi” dapat diubah hampir seluruhnya untuk memasukkan prinsip representasi yang direhabilitasi di mata para ahli teori politik yang terkenal, dan mengambil maknanya saat ini. Ini adalah sebuah istilah yang dengan sendirinya memiliki sejarah yang sangat aneh, karena seperti yang dicatat oleh Cornelius Castoriadis, dulunya merujuk pada perwakilan rakyat di bawah raja, yang sebenarnya adalah para duta besar, daripada merujuk pada mereka yang memegang kekuasaan dalam artian apa pun.

Dalam arti tertentu, kaum anarkis memikirkan semua ahli teori politik sayap kanan yang bersikeras bahwa “Amerika bukanlah demokrasi, itu adalah sebuah republik "cukup benar. Perbedaannya adalah kaum anarkis punya masalah dengan itu. Mereka pikir itu harus menjadi demokrasi. Meskipun semakin banyak yang menerima bahwa kritik elitis tradisional terhadap demokrasi langsung mayoritas tidak sepenuhnya tak berdasar.

Saya tulis sebelumnya bahwa semua tatanan sosial dalam arti tertentu berperang dengan diri mereka sendiri. Mereka yang tidak mau membentuk aparatus kekerasan untuk menegakkan keputusan, harus mengembangkan aparatus untuk menciptakan dan memelihara konsensus sosial (setidaknya dalam arti minimal untuk memastikan bahwa orang yang tidak puas masih dapat merasa bahwa mereka telah dengan bebas memilih untuk mengikuti keputusan yang buruk), sebagai hasil nyata, perang internal akhirnya diproyeksikan ke luar menjadi pertempuran malam tanpa akhir dan bentuk kekerasan spektral. Demokrasi langsung mayoritarian terus menerus mengancam untuk membuat garis kekuatan itu secara terang-terangan. Untuk alasan ini cenderung agak tidak stabil: atau lebih tepatnya, jika bertahan, itu karena bentuk kelembagaannya (kota abad pertengahan, dewan kota New England, dalam hal ini jajak pendapat gallup, referendum...) hampir selalu berlindung dalam kerangka tata kelola yang lebih besar di mana para elit penguasa menggunakan ketidakstabilan itu untuk membenarkan monopoli terakhir mereka atas alat-alat kekerasan. Akhirnya, ancaman ketidakstabilan ini menjadi alasan untuk bentuk “demokrasi” yang sangat minim, yang hanya bersandar pada desakan bahwa para elit cuma perlu sesekali berkonsultasi kepada “publik” —dalam kontes yang dipentaskan dengan hati-hati, yang penuh dengan turnamen dan tombak-tombak yang tidak ada artinya— untuk membangun kembali hak mereka untuk terus membuat keputusan atas yang lain.

Ini jebakan. Bolak-balik antara keduanya memastikan akan tetap sangat tidak mungkin bahwa orang bisa membayangkan kemungkinan bahwa orang dapat mengatur hidup mereka sendiri, tanpa bantuan “perwakilan.” Karena alasan inilah gerakan global baru telah dimulai dengan menemukan kembali makna demokrasi. Melakukannya pada akhirnya berarti, sekali lagi, menerima kenyataan bahwa “kita —baik sebagai “Barat” (apa pun artinya itu), sebagai “dunia modern”, atau entah apa lagi istilah lainnya— tidak seistimewa yang kita biasa pikirkan tentang diri kita. Kita bukan satu-satunya orang yang pernah mempraktikkan demokrasi. Pada kenyataannya, bukannya menyebarkan demokrasi ke seluruh dunia, pemerintah “Barat” telah menghabiskan setidaknya waktu yang sangat lama untuk memasukkan diri mereka sendiri ke dalam kehidupan orang-orang yang telah mempraktikkan demokrasi selama ribuan tahun, dan dengan beragam cara, meminta mereka untuk menghentikannya.

Salah satu hal yang paling menggembirakan tentang gerakan baru yang diilhami oleh anarkis ini adalah mereka mengusulkan bentuk baru internasionalisme. Internasionalisme komunis yang lebih tua memiliki beberapa cita-cita yang sangat indah. Tetapi dalam istilah organisasi, setiap orang pada dasarnya mengalir ke satu arah. Hal ini membuat rezim di luar Eropa dan koloni pemukimnya untuk mempelajari gaya organisasi Barat: struktur partai, pleno, penyingkiran anggota, hierarki birokrasi, polisi rahasia... Kali ini —gelombang kedua internasionalisme, yang bisa disebut begitu, atau mungkin, globalisasi anarkis— bentuk organisasi pergerakan sebagian besar telah pergi ke arah berlawanan. Ini tidak sekedar proses konsensus: gagasan aksi langsung tanpa kekerasan massal pertama kali dikembangkan di Afrika Selatan dan India, model jaringan saat ini pertama kali diusulkan oleh pemberontak di Chiapas, bahkan gagasan tentang kelompok afinitas muncul dari Spanyol dan Amerika Latin.

Hasil dari etnografi —dan teknik etnografi— bisa sangat membantu di sini jika para antropolog dapat melewati keraguan mereka, yang bagaimanapun juga bisa dipahami. Karena sejarah para antropolog pada masa kolonial sendiri pada umumnya suram, dan datang untuk melihat apa yang mereka duduki bukan sebagai rahasia rasa bersalah (yang bagaimanapun juga merupakan rahasia rasa bersalah mereka, dan bukan rahasia orang lain) tetapi sebagai milik bersama umat manusia.

Antropologi (dimana penulis agak enggak menggigit tangan yang telah memberinya makan)

Pertanyaan terakhir yang selama ini agak saya hindari adalah, mengapa antropolog selama ini tidak melakukannya? Saya telah menjelaskan mengapa menurut saya para akademisi pada umumnya jarang merasa dekat dengan anarkisme. Saya telah berbicara sedikit tentang kecenderungan radikal di banyak antropolog pada awal abad ke-20, yang acap menunjukkan kedekatan yang sangat kuat dengan anarkisme. Tetapi tampaknya sebagian besar menguap seiring waktu. Ini semua agak aneh.

Bagaimanapun, antropolog adalah satu-satunya kelompok sarjana yang tahu banyak tentang masyarakat tanpa negara yang benar-benar eksis. Banyak yang hidup di sudut-sudut dunia di mana negara-negara telah berhenti berfungsi atau setidaknya untuk sementara menarik taruhannya dan pergi, dan orang-orang mengelola urusan mereka sendiri secara otonom. Para antropolog juga sangat sadar bahwa ketakutan umum andai negara tidak ada maka (“nanti orang akan saling bunuh!”) adalah tidak benar.

Lalu kenapa?

Ada sejumlah alasan, yang beberapa diantaranya cukup bisa dipahami. Jika anarkisme pada dasarnya adalah etika praktik, maka meditasi praktik antropologis cenderung memunculkan banyak hal yang tidak menyenangkan. Terutama jika seseorang fokus pada pengalaman kerja lapangan antropologis —yang selalu cenderung dilakukan para antropolog ketika mereka menjadi reflektif. Disiplin yang kita kenal sekarang muncul dari skema mengerikan penaklukan, penjajahan, dan pembunuhan massal —seperti juga kebanyakan disiplin akademi modern, yang sebenarnya, salah satunya geografi, dan botani, belum lagi mate matika, linguistik atau robotika. Tetapi para antropolog, yang kerjanya cenderung untuk mengenali para korban secara pribadi, akhirnya menderita dengan cara begini, cara yang hampir tidak dapat dilakukan oleh para pendukung disiplin ilmu lainnya. Anehnya, hasilnya paradoks: refleksi antropologis tentang kesalahan mereka sendiri, berujung terutama pada mereka yang bukan antropolog, yang tidak ingin diganggu karena harus mempelajari sekitar 90% pengalaman manusia, dengan dua atau tiga kalimat penolakan yang praktis. (Anda tahu: semua ini tentang cara membuat seseorang bisa merasakan Keliyanan (Otherness) pada mereka yang terjajah), yang dengannya mereka (yang menolak) secara moral bisa merasa lebih unggul ketimbang mereka yang melakukannya.

Bagi para antropolog sendiri, hasilnya juga, anehnya, paradoks. Sementara para antropolog secara efektif duduk di atas arsip pengalaman manusia yang luas, dari eksperimen sosial dan politik yang tidak diketahui orang lain, tubuh etnografi perbandingan itu sendiri dipandang sebagai sesuatu yang memalukan. Seperti yang saya sebutkan, itu diperlakukan bukan sebagai warisan umum umat manusia, tetapi sebagai rahasia kecil kotor kita. Yang sebenarnya nyaman, setidaknya sejauh kekuatan akademis sebagian besar adalah tentang menetapkan hak kepemilikan atas suatu bentuk pengetahuan tertentu dan memastikan bahwa orang lain tidak benar-benar memiliki banyak akses ke sana. Karena seperti yang juga saya sebutkan, rahasia kecil kotor kita masih menjadi milik kita. Ini bukan sesuatu yang perlu dibagikan dengan orang lain.[4]

Ada lebih dari itu. Dalam banyak hal, antropologi tampaknya merupakan disiplin ilmu yang takut akan potensinya sendiri. Ia adalah, misalnya, satu-satunya disiplin yang dapat membuat generalisasi tentang kemanusiaan secara keseluruhan —karena ini adalah satu-satunya disiplin yang benar-benar memperhitungkan seluruh umat manusia dan akrab dengan semua kasus anomali. Misal, ada yang berkata, “semua masyarakat mempraktikkan pernikahan.” Antropolog mungkin akan menjawab: “Itu tergantung bagaimana Anda mendefinisikan “pernikahan. Di antara Nayar...”)

Namun antropolog dengan tegas menolak untuk melakukannya. Saya tidak berpikir ini hanya dianggap sebagai reaksi yang dapat dimengerti terhadap kecenderungan sayap kanan untuk membuat argumen besar tentang sifat manusia untuk membenarkan institusi sosial yang sangat khusus, dan biasanya, terutama yang jahat (pemerkosaan, perang, kapitalisme pasar bebas) — Meskipun tentu saja itu adalah bagian besar darinya.

Sebagian lagi adalah karena luasnya materi yang harus dipelajari. Siapa yang benar-benar memiliki sarana dalam mendiskusikan, katakanlah, konsepsi keinginan, atau imajinasi, atau diri, atau kedaulatan, yang dikatakan pemikir Cina atau India atau Islam tentang masalah ini selain kanon Barat? Belum lagi dari konsepsi rakyat yang lazim pada ratusan masyarakat di Oseanik (Pasifik) atau penduduk asli Amerika juga? Itu terlalu menakutkan. Akibatnya, para antropolog tidak lagi menghasilkan banyak generalisasi teoretis yang luas sama sekali. Sebaliknya, mereka menyerahkan karya tersebut kepada para filsuf Eropa, yang biasanya sama sekali tidak memiliki masalah dalam mendiskusikan hasrat, atau imajinasi, atau diri, atau kedaulatan, seolah-olah konsep-konsep seperti itu telah ada, dan ditemukan oleh Plato atau Aristoteles, dikembangkan oleh Kant atau DeSade, dan tidak pernah didiskusikan secara bermakna oleh siapa pun di luar tradisi sastra elit di Eropa Barat atau Amerika Utara. Jika istilah teori kunci antropolog adalah kata kata seperti mana (roh), totem, atau tabu, kata kunci baru tersebut selalu berasal dari bahasa Latin atau Yunani, biasanya melalui Prancis, kadang-kadang Jerman.

Jadi, sementara antropologi mungkin tampak diposisikan dengan sempurna untuk menyediakan forum intelektual untuk semua jenis percakapan di planet, politik dan sebagainya, ada keengganan bawaan tertentu untuk melakukannya.

Lalu ada pertanyaan tentang politik. Kebanyakan antropolog menulis seolah-olah karya mereka memiliki signifikansi politik yang jelas, dengan nada yang menunjukkan bahwa mereka menganggap apa yang mereka lakukan cukup radikal, dan tentu saja orang-orang kirinya tengah. Tapi sebenarnya terdiri dari apakah politik ini? Semakin sulit untuk mengatakannya. Apakah antropolog cenderung anti kapitalis? Tentu sulit untuk memikirkan orang yang banyak bicara dengan benar tentang kapitalisme. Banyak yang memiliki kebiasaan menggambarkan zaman saat ini sebagai salah satu “kapitalisme tahap akhir” (late capitalism), seolah-olah dengan menyatakannya maka hal ini akan segera berakhir, mereka dapat mempercepat kehancurannya dengan tindakannya itu sendiri. Tetapi sulit untuk memikirkan seorang antropolog yang, baru-baru ini, membuat saran apapun tentang alternatif kapitalisme itu seperti apa.

Jadi, apakah mereka liberal? Banyak yang tidak bisa mengucapkan kata itu tanpa nada menghina. Lalu bagaimana? Sejauh yang saya bisa pahami, satu-satunya komitmen politik fundamental yang nyata yang berjalan di semua bidang adalah sejenis populisme yang luas. Jika tidak ada yang lain, kita pasti tidak berpihak pada siapa pun, dalam situasi tertentu, atau menganggap diri mereka elit. Kami ada untuk orang kecil. Karena dalam praktiknya, sebagian besar antropolog terikat pada universitas (yang semakin global), atau jika tidak, berakhir pada pekerjaan seperti konsultan pemasaran atau bekerja pada PBB —posisi dalam aparatus tatanan global— apa yang sebenarnya menjadi kesimpulan dari hal ini adalah semacam deklarasi ketidaksetiaan yang terus menerus dan yang diritualkan kepada elit yang sangat global dimana kita sendiri, sebagai akademisi, jelas merupakan satu fraksi (yang diakui agak marjinal).

Sekarang, apa bentuk praktek populisme ini? Terutama, ini berarti bahwa Anda harus menunjukkan bahwa orang yang Anda pelajari, orang-orang kecil, berhasil melawan suatu bentuk kekuatan atau pengaruh global yang dipaksakan kepada mereka dari atas. Bagaimanapun, inilah yang dibicarakan sebagian besar antropolog ketika subjeknya menuju globalisasi —yang biasanya segera terjadi, saat ini, apapun yang Anda pelajari. Apakah itu periklanan, atau opera sabun, atau bentuk disiplin kerja, atau sistem hukum yang diberlakukan negara, atau apa pun yang mungkin tampak menghancurkan atau memukulrata atau memanipulasi orang, seseorang menunjukkan bahwa mereka tidak dibodohi, tidak dihancurkan, tidak dihomogenisasi, memang mereka secara kreatif menyesuaikan atau menafsirkan kembali apa yang dilemparkan kepada mereka dengan cara yang tidak akan pernah diantisipasi oleh penulisnya.

Tentu saja, sampai batas tertentu semua ini benar. Saya tentu tidak ingin menyangkal pentingnya memerangi asumsi populer yang masih tersebar luas bahwa kalau orang di Bhutan atau Irian Jaya terpapar MTV, peradaban mereka pada dasarnya sudah berakhir. Yang mengganggu, setidaknya bagi saya, adalah sejauh mana logika ini menggemakan logika kapitalisme global. Agensi periklanan, bagaimanapun juga, menyatakan mereka ti dak akan memaksakan apapun kepada publik. Apalagi di era segmentasi pasar ini, mereka mengaku menyediakan materi bagi anggota masyarakat untuk menyesuaikan dan membuatnya sendiri dengan cara yang tidak terduga dan khusus. Retorika “konsumsi kreatif” khususnya dapat dianggap sebagai ideologi pasar global baru: sebuah dunia di mana semua perilaku manusia dapat dipilah-pilah sebagai produksi, pertukaran, atau konsumsi, di mana pertukaran diasumsikan didorong oleh kecenderungan dasar manusia untuk mengejar keuntungan rasional yang sama dimana-mana, dan konsumsi menjadi cara untuk menetapkan identitas tertentu pada seseorang (dan produksi tidak dibahas sama sekali jika seseorang mungkin dapat menghindarinya). Kita semua sama di lantai bursa, apa yang kita lakukan dengan barang-barang saat kita pulang itulah yang membuat kita berbeda. Logika pasar ini telah menjadi begitu dalam sehingga, jika, katakanlah, seorang perempuan di Trinidad mengumpulkan beberapa belanjaannya yang berlebihan dan pergi menari, para antropolog secara otomatis akan berasumsi bahwa apa yang dia lakukan dapat didefinisikan sebagai “konsumsi” (sebagai lawan katanya pamer atau bersenang-senang). Seolah-olah yang paling penting tentang malamnya adalah kenyataan bahwa dia membeli beberapa minuman. Atau mungkin, karena antropolog menganggap mengenakan pakaian itu sendiri seperti minum, atau mungkin, karena mereka tidak memikirkannya sama sekali dan berasumsi bahwa apa pun yang dilakukan seseorang yang tidak berkerja adalah “konsumsi” karena yang paling penting tentang hal itu adalah keterlibatan produk manufaktur. Sudut pandang antropolog dan para eksekutif pemasaran global menjadi hampir tidak bisa dibedakan.

Tidak jauh berbeda di tingkat politik. Lauren Leve baru-baru ini memperingatkan bahwa para antropolog, jika mereka tidak berhati-hati, maka mereka berisiko menjadi roda penggerak lain dalam “mesin identitas” global, perangkat institusi dan asumsi di seluruh planet yang selama dekade terakhir ini, secara efektif menginformasikan penduduk bumi (atau setidaknya, semua kecuali yang paling elit): karena semua perdebatan tentang sifat kemungkinan politik atau ekonomi sekarang telah berakhir, satu-satunya cara saat ini untuk dapat membuat klaim politik adalah dengan menegaskan beberapa identitas kelompok, dengan semua asumsi tentang apa itu identitas (yaitu, bahwa identitas kelompok bukanlah cara untuk membandingkan satu kelompok satu sama lain tetapi dibentuk oleh cara suatu kelompok berhubungan dengan sejarahnya sendiri, bahwa tidak ada perbedaan penting dalam hal ini antara individu dan kelompok ...) seperti yang ditetapkan sebelumnya. Banyak hal telah terjadi sedemikian rupa sehingga bahkan di negara negara seperti Nepal penganut Buddha Theravada dipaksa untuk memainkan politik identitas, tontonan yang sangat aneh karena mereka sebenarnya mendasarkan klaim identitas mereka pada kepatuhan pada filosofi universal yang menegaskan bahwa identitas adalah ilusi.

Bertahun-tahun yang lalu seorang antropolog Prancis bernama Gerard Althabe menulis sebuah buku tentang Madagaskar berjudul Oppression et Liberation dans I'Imaginaire (Penindasan dan Pembebasan dalam Khayalan). Itu frasa yang menarik. Saya pikir itu dapat diterapkan dengan baik pada apa yang akhirnya terjadi dalam banyak tulisan antropologis. Apa yang kita sebut “identitas” di sini untuk sebagian besar, dalam apa yang Paul Gilroy kerap sebut sebagai “dunia yang terlalu berkembang,” dipaksakan kepada orang orang. Di Amerika Serikat, sebagian besar adalah hasil dari penindasan dan ketidaksetaraan yang sedang berlangsung: seseorang yang didefinisikan sebagai kulit Hitam tidak diizinkan untuk melupakan itu selama satu detik pun dalam hidup mereka. Definisi dirinya sendiri tidak penting bagi bankir yang akan menolak kreditnya, atau polisi yang akan menangkapnya karena berada di lingkungan yang salah, atau dokter yang, dalam kasus anggota tubuh yang rusak, akan lebih cenderung merekomendasikan amputasi. Seluruh upaya “penggayaan diri” (self fashioning) atau “penemuan diri” (self discovery) individu atau kolektif harus dilakukan sepenuhnya dalam rangkaian batasan yang sangat kejam itu. (Satu-satunya cara nyata yang bisa berubah adalah dengan mengubah sikap mereka yang memiliki hak istimewa untuk didefinisikan sebagai “Putih” —kemungkinan terakhir, dengan menghancurkan kategori Keputihan (Whiteness) itu sendiri.) Faktanya, tidak ada yang tahu bagaimana kebanyakan orang di Amerika Utara akan memilih untuk mendefinisikan diri mereka sendiri jika rasisme institusional benar-benar lenyap —jika setiap orang benar-benar dibiarkan bebas untuk mendefinisikan diri sendiri sesuka mereka. Tidak ada gunanya berspekulasi tentang itu. Pertanyaannya adalah bagaimana menciptakan situasi di mana kita bisa mencaritahunya.

Inilah yang saya maksud dengan “pembebasan dalam khayalan.” Sangat sulit untuk memikirkan apa yang dibutuhkan supaya setiap orang benar-benar punya kekuatan untuk memutuskan sendiri baik secara individu atau kolektif, komunitas seperti apa yang mereka inginkan dan identitas seperti apa yang mereka ingin buat. Untuk mewujudkan dunia seperti itu sulitnya minta ampun. Ini membutuhkan perubahan atas hampir segala hal. Hal ini akan membuat mereka yang paling diuntungkan dari tatanan yang ada saat ini menentangnya dengan keras kepala, dan pasti berujung pada kekerasan. Jadi daripada menulis seolah-olah identitas ini sudah dibuat dengan bebas —atau sebagian besar begitu— adalah mudah, dan ini memungkinkan seseorang sepenuhnya lolos dari masalah yang rumit dan tak terselesaikan hingga tingkat dimana kerja seseorang menjadi bagian dari mesin identitas ini. Tetapi tidak ada yang membuatnya jadi lebih benar daripada berbicara tentang “kapitalisme tahap akhir” yang dengan sendirinya hal ini akan membawa keruntuhan industri atau revolusi sosial lebih lanjut.

Sebuah contoh:

Jika tidak jelas apa yang saya katakan di sini, izinkan saya kembali sejenak ke pemberontak Zapatista di Chiapas, yang pemberontakannya dimulai pada perayaan Tahun Baru 1994, yang dapat dibilang telah memantik apa yang kemudian disebut sebagai gerakan globalisasi. Zapatista sebagian besar berasal dari komunitas berbahasa Maya Tzeltal, Tzotzil dan Tojolobal yang telah menetap di hutan hujan Lacandon —beberapa komunitas termiskin dan paling tereksploitasi di Meksiko. Zapatista tidak menyebut diri mereka anarkis, meski bahkan sangat otonomis: mereka mewakili untaian unik mereka sendiri dalam tradisi yang lebih luas itu, memang, mereka mencoba merevolusi strategi revolusioner itu sendiri dengan meninggalkan gagasan tentang partai pelopor yang merebut kendali negara, tetapi sebalik nya berjuang untuk menciptakan kantong-kantong bebas yang dapat berfungsi sebagai model untuk swa-pemerintahan yang otonom, yang memungkinkan reorganisasi umum masyarakat Meksiko menjadi jaringan kompleks yang tumpang tindih dari kelompok kelompok swakelola yang kemudian dapat mulai membahas penemuan kembali masyarakat politik. Rupanya ada beberapa perbedaan pendapat dalam gerakan Zapatista itu sendiri tentang bentuk-bentuk praktik demokrasi yang ingin mereka promosikan. Basis penutur bahasa Maya mendorong dengan kuat suatu bentuk proses konsensus yang diadopsi dari tradisi komunal mereka sendiri, tetapi diformulasi ulang menjadi lebih egaliter secara radikal: beberapa pemimpin pemberontakan militer berbahasa Spanyol sangat skeptis apakah ini benar-benar dapat diterapkan di tingkat nasional. Namun pada akhirnya, mereka harus tunduk pada visi orang-orang yang mereka “pimpin dengan taat”, seperti kata pepatah Zapatista. Tetapi hal yang luar biasa adalah apa yang terjadi ketika berita tentang pemberontakan ini menyebar ke seluruh dunia. Disinilah kita dapat melihat cara kerja “mesin identitas”-nya Leve. Alih-alih sekelompok pemberontak dengan visi transformasi demokrasi radikal, mereka segera didefinisikan ulang sebagai suku Indian Maya yang menuntut otonomi adat. Beginilah media internasional menggambarkan mereka, inilah yang dianggap penting tentang mereka dari semua orang mulai dari organisasi kemanusiaan hingga birokrat Meksiko hingga pemantau hak asasi manusia di PBB. Seiring berjalannya waktu, Zapatista —yang strateginya sejak awal bergantung pada pertambahan sekutu di komunitas internasional— semakin dipaksa untuk memainkan kartu pribumi pula, kecuali ketika berhadapan dengan sekutu mereka yang paling berkomitmen.

Strategi ini tidak sepenuhnya tidak efektif. Sepuluh tahun kemudian, Tentara Pembebasan Nasional Zapatista masih ada, tanpa harus melepaskan tembakan, jika hanya karena mereka bersedia, untuk sementara waktu, meremehkan bagian “Nasional” atas nama mereka. Yang ingin saya tekankan adalah seberapa menggurui —atau, mungkin jangan melakukan pukulan di sini, betapa rasis sepenuhnya— reaksi internasional terhadap pemberontakan Zapatista sebenarnya. Karena apa yang Zapatista usulkan untuk kita lakukan adalah memulai pekerjaan sulit yang, seperti saya tunjukkan, begitu banyak retorika tentang “identitas” yang secara efektif diabaikan: mencoba mencari tahu bentuk organisasi apa, bentuk proses dan musyawarah apa, yang akan diperlukan untuk menciptakan dunia di mana orang dan komunitas benar benar-bebas untuk menentukan diri sendiri dan komunitas seperti apa yang mereka inginkan. Dan apa yang diberitahukan kepada mereka? Secara efektif, mereka diberi tahu bahwa, karena mereka adalah orang Maya, mereka tidak mungkin mengatakan apa pun kepada dunia tentang proses yang didalamnya identitas dibangun, atau tentang sifat kemungkinan politik. Sebagai orang Maya, satu-satunya pernyataan politik yang mungkin mereka buat kepada orang yang bukan Maya adalah tentang identitas Maya mereka sendiri. Mereka bisa menegaskan hak untuk terus menjadi Maya. Mereka bisa menuntut pengakuan sebagai Maya. Tetapi bagi seorang Maya untuk mengatakan sesuatu kepada dunia yang bukan sekadar komentar tentang ke Maya an mereka sendiri jadi hal tak akan terbayangkan.

Dan siapa yang benar-benar mendengarkan apa sesungguhnya hal yang mereka katakan?

Tampaknya, sebagian besar adalah sekumpulan remaja anarkis di Eropa dan Amerika Utara, yang segera mulai mengepung puncak puncak elit yang sangat global yang kepadanya para antropolog mempertahankan persekutuan yang sulit dan tidak nyaman.

Tapi kaum anarkis benar. Saya pikir antropolog harus membuat alasan yang sama dengan mereka. Kita punya alat di ujung jari kita yang bisa menjadi sangat penting bagi kebebasan manusia. Mari mulai mengambil tanggung jawab untuk itu.

Tentang Penulis

David Graeber (lahir 1961) adalah seorang antropog anarkis (meski ia menolak label itu) dari Amerika Serikat. Ia pernah menjadi asisten professor di Yale University, dan di beberapa perguruan tinggi lain. Graeber juga aktif dalam beberapa gera kan sosial seperti Occupy dan bergabung dalam serikat anarko-sindikalis IWW. Beberapa karyanya yang populer antara lain Direct Action: An Ethnography (2009), Debt: The First 5000 Years (2011), The Democracy Project: A History, a Crisis, a Movement (2013), The Utopia of Rules: On Technology, Stupidity, and the Secret Joys of Bureaucracy (2015) dan Bullshit Jobs: A Theory (2018).

[1] Ekonomi hadiah adalah mode pertukaran di mana barang-barang berharga tidak diperdagangkan atau dijual, melainkan diberikan tanpa perjanjian yang eksplisit untuk membalas, entah saat itu juga atau di masa depan. Barang-barang tidak diberikan dalam pertukaran barang atau jasa secara eksplisit dengan uang, atau komoditas atau layanan lain. Bentuk ekonomi ini berbeda dengan ekonomi barter atau ekonomi pasar, di mana barang dan jasa terutama secara eksplisit ditukar dengan nilai yang diterima. Beberapa studi kasus tentang ekonomi hadiah misalnya di Kepulauan Solomon dan Papua Nuigini. Sementara di Indonesia, ekonomi hadiah ini berlangsung di antara Dayak. Beberapa praktik yang berlangsung pada masa yang lebih modern pada era digital misalnya berbagai file, piranti lunak terbuka (open source software), atau toko gratis. Keluarga dalam satu rumah, kecuali yang perhitungan, sebenarnya menerapkan ekonomi hadiah.

[2] Catatan penerjemah: Dalam pengertian ini, berarti keberadaan suatu substansi yang berbahaya dalam lingkungan.

[3] Catatan penerjemah: Dalam konteks nusantara, kalian mungkin perlu membaca tentang “lingkaran konsentris” yang berlaku di antara kerajaan-kerajaan Hindu Buddha kuno hingga Kesultanan Mataram: semakin jauh dari pusat kekuasaan, semakin kekuasaan itu meredup. Lihat Nusa Jawa: Silang Budaya (Warisan Kerajaan Kerajaan Kon sentris) (1996) oleh Denys Lombard. Atau lihat dikotomi “negara” dengan “desa”, dalam Negara Teater (1980) oleh Clifford Geertz. Biasanya kita juga keliru mengenai proyek Sumpah Palapa penyatuan nusantara yang diucapkan Gajah Mada dan benar benar membayangkannya dalam pengertian negara modern Indonesia saat ini.

[4] Catatan penerjemah: Graeber sedang berbicara tentang hak cipta dari buku ilmu pengetahuan atau bahwa akses menuju karya para akade misi sulit diakses publik (?)