标题: Tiga Abad Anarkisme Eropa
副标题: Kelesuan ekonomi mendorong meningkatnya tindakan anarkis di Eropa.
作者: Devi Fitria
话题: Europe, history
Publication: Historia
日期: 07 Jan 2011

Di pengujung tahun 2010, sejumlah kota di Eropa dikejutkan oleh serangan sporadis dari kelompok anarkis. Mereka menargetkan beberapa kedutaan besar di Italia dan Yunani. Sebuah kebangkitan anarkisme?

Pada 23 Desember 2010, dua paket bom meledak di Kedutaan Besar Chile dan Swiss di Roma, Italia, yang mencederai dua pegawai kedutaan. Empat hari kemudian, sebuah paket bom dikirim ke Kedutaan Yunani di Roma namun berhasil dijinakan. Sementara pada 30 Desember 2010, sebuah bom berdaya ledak sedang meledak di tengah kota Athena, Yunani.

Menurut AFP, di Yunani, pada November 2010, dalam sebuah plot yang menurut laporan dirancang oleh organisasi anarkis Conspiracy of the Cells of Fire, lebih dari selusin bom dikirim ke kedutaan-kedutaan besar dan kepala pemerintahan di Eropa. Setidaknya empat di antaranya meledak dan mencederai satu orang. Kejadian itu membuat Yunani menghentikan pengiriman surat-surat internasional selama setidaknya dua hari.

“Kami memutuskan untuk membuat suara kami terdengar sekali lagi, lewat kata-kata dan tindakan. Kami akan menghancurkan sistem dominasi… Hidup Anarki!” tulis sebuah surat yang ditemukan di dekat sisa-sisa bom yang meledak di Kedutaan Besar Chile di Roma.

Informal Federation of Anarchy (FAI), salah satu kelompok anarkis terbesar di Italia, mengaku bertanggung jawab atas ledakan bom di Roma.

Menurut Menteri Dalam Negeri Italia Alfredo Mantovano, sebagaimana dikutip Time, aksi FAI adalah bentuk solidaritas terhadap kelompok anarki di negara-negara lain di Eropa. Kedutaan Besar Chile menjadi sasaran karena pemerintah Chile gencar memburu tokoh anarki Mauricio Morales, yang meninggal dunia di Santiago, Chile, pada 2009 karena bom yang dia bawa meledak. Sementara bom yang gagal meledak di Kedutaan Besar Yunani adalah bentuk solidaritas atas penangkapan 13 anggota Conspiracy of Cells of Fire yang akan diadili.

Anarkisme dan Kelesuan Ekonomi

Ada kaitan antara peningkatan tindakan anarkis dan kelesuan ekonomi Eropa. Sebagaimana dikutip Time, berdasarkan data yang dikeluarkan European Union Police Agency (Europol), serangan kelompok-kelompok militan yang menyebut diri sebagai anarkis naik hingga 43 persen pada 2008–2009 ketika krisis ekonomi global mencapai puncaknya.

Faktor ekonomi menjadi salah satu alasan tindakan anarki marak di Eropa belakangan ini. Faktor ekonomi pula yang menjadi salah satu alasan kemunculan anarkisme modern.

Anarkisme punya akar panjang di Eropa. Istilah anarkisme berasal dari bahasa Yunani, anarkos, yang berarti tanpa penguasa. Namun, bentuk anarkisme yang berkembang luas saat ini terbentuk saat Revolusi Prancis, di mana industrialisasi meluas. Banyak orang marah terhimpit dan marah di bawah kekuasaan monarki dan kekuatan elite kapitalis.

Pierre Joseph Proudhon, filsuf Prancis ternama abad ke-19, adalah orang pertama yang mendapuk dirinya sebagai seorang anarkis. Ucapannya pada 1849 sangat terkenal: “Siapa pun yang menggunakan kekerasan untuk memerintah saya adalah seorang perebut kekuasaan dan seorang tiran, dan saya menganggapnya sebagai musuh saya.”

Berbeda dengan pengertian kontemporer, Proudhon berusaha mengubah konotasi negatif penuh kekerasan yang kerap dilekatkan pada anarkisme. Menurut Proudhon, anarkisme adalah cara paling rasional dan adil untuk menciptakan ketertiban masyarakat. Antara lain dia menganjurkan apa yang dia disebut “mutualisme” dan (melampaui zamannya) menciptakan konsep bebas pinjaman dari bank dan serikat pekerja untuk melindungi kepentingan buruh.

Menurut Brian Crabtree dalam The History of Anarchism, meski Proudhon tak mengakui hak milik, dia juga tak mendukung komunisme. Dia menggarisbawahi pentingnya hak pekerja untuk mengendalikan alat produksi sebagai bagian penting dari kebebasan. Proudhon adalah orang pertama yang menggagas serikat pekerja. Bersama rekan-rekannya, pada 1864 dia membentuk First International Workingmen’s Association, sebuah serikat buruh berskala internasional pertama di dunia.

Mikhail Bakunin, seorang intelektual Rusia, adalah nama penting berikutnya dalam perkembangan pemikiran anarkis di Eropa. Bakunin melarikan diri dari pengasingannya di Siberia pada 1861, dan berkeliling dunia hingga 1864 ketika akhirnya tiba di Italia. Di sini dia mengembangkan pemikiran Proudhon menjadi “anarkisme kolektif,” di mana pekerja bergabung secara setara untuk mengendalikan sepenuhnya hasil produksi mereka.

Titik berat pemikiran Bakunin ada pada “anarko-sindikalisme,” di mana serikat pekerja, yang dipimpin para anarkis, memperjuangkan kebebasan lebih besar bagi diri mereka sendiri. Bakunin percaya bahwa anarki hanya dimungkinkan melalui sebuah revolusi yang menghancurkan seluruh institusi yang ada. Bakunin tak menyetujui visi Karl Marx tentang “diktator proletariat,” dan menulis pada 1868 bahwa “sosialisme tanpa kebebasan adalah perbudakan dan sebuah bentuk kebrutalan.”

Di Eropa, anarkisme mencapai puncaknya menjelang akhir abad ke-19. Pada 18 Maret hingga 28 Mei 1871, kota Paris diambil alih oleh pemerintahan komunis-anarkis Paris Commune. Ini mengobarkan semangat kaum anarkis di seantero Eropa. Pamflet dan koran-koran, yang diperuntukkan bagi masyarakat kelas bawah, bermunculan. Pemogokan buruh di belahan dunia terpencil sekalipun menjadi perhatian dunia internasional.

Pada masa ini muncul Peter Kropotkin, seorang pangeran Rusia yang membuang kebangsawanannya dan mengembangkan pemikiran Bakunin. Kropotkin membangun teori komunisme-anarkis. “Alat produksi tak hanya harus dimiliki secara kolektif, namun hasil produksi pun harus dibagi bersama.” Visi utopisnya: dunia akan bisa bekerja sama tanpa kompetisi atau benturan kepentingan.

Anarkisme muncul sebagai kekuatan sosial yang besar saat terjadi perang saudara di Spanyol pada 1936–1939. Kelompok anarkis tumbuh dengan pesat dan kuat di Catalonia. Kelompok anarkis berbenturan dengan kelompok komunis yang didukung Rusia. Inilah awal kemunduran anarkisme.

Sejak itu gaung anarkisme sebagai sebuah sistem politik memudar. Tapi para pengikut dan simbol-simbolnya –bendera hitam anarko-sindikalis dan huruf A di dalam lingkaran– masih tetap ada. Tradisi antifasis yang populer di seluruh Eropa, terutama dalam masyarakat yang terpolarisasi secara politik seperti di Yunani dan Italia, menarik perhatian kelompok-kelompok yang menyebut diri mereka sebagai kelompok anarkis.

Kelompok anarkis juga menjadi salah satu motor gerakan “antiglobalisasi,” sehingga kerap disamakan dengan gambaran demonstran yang melempari kaca jendela Starbucks dengan batu atau mengikatkan diri mereka ke pohon.

Apakah anarkisme abad ke-21 yang berperang melawan “persekongkolan” perusahaan multinasional dan negara, memiliki daya tarik yang sama dengan para pendahulu mereka? [TIME/AFP]