Tak seorangpun akan datang menyelamatkanmu, Kamerad.

Tak seorangpun.

Tak ada revolusi yang terjadi, tak ada partai, tak ada ide besar yang akhirnya membangunkan kemanusiaan menuju potensinya, yang dapat membebaskan kita dari rantai kita.

Tak ada pelopor, tak ada tujuan, tak ada metode rahasia yang dapat kita gunakan untuk secara ajaib membuat mereka yang berkuasa memutuskan untuk melepas kekuasaannya dan menjadi orang biasa.

Ada mereka yang berpura-pura. Ada pendeta, dan germo, dan tuhan palsu, yang berseru padamu untuk menyembah mereka. Mereka akan memberikanmu “ilmu” keabadian dan identitas, mereka akan meyakinkanmu bahwa jika ada cukup orang yang mengenakan seragam tertentu atau mengucapkan kata-kata yang benar maka segalanya akan baik-baik saja.

Ada mereka yang tentu saja akan menolakmu, yang menolak aksi apapun, tanpa ada alternatif rencana lain. Siapa yang akan menjalankan sekolah, siapa yang akan membangun jalan raya? atau bagaimana kalau membakar ban dan blokade malah meningkatkan jejak karbon kita?

Mereka akan menyebut rencanamu lamunan belaka, tak bisa dipraktikkan, fantasi insureksionis.

Mereka mengatakan ini dengan setengah tertidur.

Mereka, dengan bijaknya, mendengkur dan mengatakan bahwa mereka akan “menunggu orang-orang untuk bangkit.” Orang-orang telah bangkit dan diluluhlantahkan. Pendudukan gagal. Standing Rock gagal. Yang tersisa hanya kau dan aku.

Mereka mendengkur dengan sangat kuat dan mengatakan bahwa mereka menunggu hak mereka diambil, hak untuk berkumpul atau memilih, sebuah garis tak terlihat yang tidak boleh mereka biarkan. Dimana mereka ketika haknya dilucuti? Mereka membuat petisi, mereka mengerang, mereka kalah.

Setiap hari mereka bilang mereka menunggu kejadian besar di semesta yang melibatkan jutaan dari mereka. Setiap hari kriterianya berubah, setiap hari mereka tumbuh semakin stagnan dan tua.

Semua orang menunggu dan tidak ada yang mau memulai. Semua orang mau bergabung namun tidak ada yang mau membangun. Semua orang menunggu pemberontakan besar dan umum, namun ketika kau mencuri apel atau membakar mobil polisi mereka akan menyebutmu avonturir.

Semua orang percaya perubahan itu ada di setiap sudut, bahwa kekuatan ilahi akan membawa kita menuju jalan yang benar. Semua orang yakin bahwa waktu sedang berada di pihak kita, bahwa yang baik selalu menang dan bahwa berbagai hal tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Semua orang mengatakan revolusi sangatlah mungkin terjadi tanpa pertumpahan darah dan tanpa perasaan hati, bahwa semua orang akan didengarkan dan dipedulikan.

Semua orang yakin bahwa revolusi akan datang seperti paket online shop: cepat, bersih, dan siap untuk langsung dinikmati, sampai tepat di depan pintu rumah mereka. Lihat dong! mereka punya anak! dan harus mengutamakan anaknya dahulu. Tapi akan dengan senang hati melangkah di atas tubuhmu setelah kau mendirikan jalan bagi mereka untuk dijalani.

Semua orang menunggu. Menunggu sesuatu. Menunggu seseorang, seseorang yang akan menyelamatkan mereka.

Mereka tak akan datang menyelamatkanmu, kamerad.

Tak seorangpun.

Orang-orang ini mati tepat ketika mereka hidup. Mereka akan bertahan tepat dimana mereka berada, di sofa, dan menjalankan permainan berpura-pura secara online,sebab dengan begitu, mereka tidak perlu mengorbankan apa-apa. Seperti mainan seks yang digunakan pada “malam pertama,” politik terdengar seksi dan membuat mereka merasa berbeda.

Mereka selalu berbicara banyak hal tentang perasaan, berapa banyak “solidaritas” yang mereka berikan dan butuhkan. Setiap kali ada orang Papua tergeletak bersimbah darah atau ditembak, mereka akan merasa sangat bersalah. Sungguh! Tapi kau lihat, mereka memiliki pekerjaan dan keluarga, dan acara untuk ditonton dan mobil untuk dirawat.

Mereka rela berkorban untukmu, kamerad, ketika kau kehilangan pekerjaanmu. Ya, mereka akan menyerukan pemogokan umum dan membuat poster, logo-logo dan pin! Asalkan dilakukan di akhir pekan dan bukan hari libur, tentu saja, dan dengan pemberitahuan awal serta izin mogok yang cukup sebelumnya.

Mereka tumbuh untuk bertambah tua, orang-orang ini, bahagia dengan pengetahuan bahwa jika mereka memiliki kesempatan mereka akan melakukan sesuatu yang spektakuler. Mereka akan memiliki pemakaman kecil yang menyenangkan, bukan yang menyedihkan, dimana kehidupannya yang biasa-biasa saja akan dirayakan dengan membicarakan tentang betapa “berani”nya mereka dan betapa “keras”nya mereka berjuang demi kebebasan.

Siapa, bagaimana, dan di mana mereka berjuang, dengan sopan tidak didiskusikan.

Ada jutaan orang-orang seperti mereka, kamerad. Selalu begitu. Selalu akan seperti itu. Mereka akan lahir, menggeliat untuk beberapa saat, dan kembali ke lubang dimana mereka merangkak keluar sebelumnya.

Mereka berharap untuk dipimpin, mereka mengamati kemana mereka mau terlibat, dan menunggu dengan sabar untuk seseorang memasukkan makanan ke mulut mereka dan membantu mereka mengunyah.

Maukah kau menunggu mereka, Kamerad?

Maukah kau menunggu orang yang sama yang lebih memilih KAU untuk menderita dan KAU untuk mati, agar mereka dapat bermain tanpa resiko?

Maukah kau menunggu orang-orang yang malas mengangkat jari untuk membantumu? Orang-orang yang membantu hanya ketika mereka yakin sudah tidak ada resiko dan ketika masalah sudah selesai?

Maukah kau menunggu dan menyusun rencana untuk meyakinkan mereka yang harus diyakinkan, yang tidak mau bergerak seinchi pun, sampai kita semua sedang menghitung berapa banyak pohon yang akan ditanam di sekolah-sekolah yang tiba-tiba gratis bagi mereka yang tuli dan buta?

Maukah kau menunggu orang-orang yang menyebut aksimu sebagai dosa, selagi mereka berdoa dihadapan pentungan polisi?

Maukah kau menunggu seisi planet sepakat dengan suatu ide, kejadian monumental yang akan merupakan yang pertama dalam sejarah kita?

Apakah kau siap, kamerad terkasih, untuk mati sama seperti mereka kelak, dikelilingi pesta murah dengan musik yang lebih murah lagi, selagi temanmu menyanyikan himne bagi eksistensi hidup yang tak bermakna?

Atau akankah kau beraksi?

Jangan anggap aku bodoh kamerad, kuharap kau bukanlah salah satu dari mereka. Aku tidak mau mati. Aku tidak mau masuk penjara. Tidak ada gunanya buatku untuk menjadi martir, karena aku mau bebas, sama seperti dirimu.

Tapi jika kau bersiap untuk beraksi, mengesampingkan argumen-argumen, dan benar-benar membangun, maka mungkin kita masih memiliki kesempatan. Kau dan aku. Aku sudah selesai berbicara tentang mereka.

Bagaimana jika kita fokus untuk menjadi bebas? Bagaimana jika kita membangun struktur yang dibutuhkan untuk melakukannya? Ketimbang memperdebatkan tentang gosip selebriti dan kelakuan para pejabat, bagaimana jika kita memperdebatkan tentang tanaman apa yang akan ditanam atau toko mana yang akan dicuri? Bagaimana jika kita membuat serikat, geng, yang dikhususkan untuk menjadi bebas? Bagaimana jika kita berhenti berdebat secara online dan mulai menjadi kawan nyata, kawan yang dapat menyembunyikan satu sama lain dari kejaran polisi, dan saling menawarkan tempat yang aman untuk ditinggali?

Bagaimana kalau kita mengandalkan satu sama lain dengan sangat baik, hingga aku tahu aku aman dimanapun sebab “melukai satu berarti melukai semua”? Bagaimana jika kita tidak menunggu datangnya perang apokaliptik dan melaksanakan sendiri perang KITA setiap hari, perang melawan segala sesuatu yang memperbudak kita?

Bagaimana jika kita melakukan itu? Bagaimana jika kita mengesampingkan teori-teori dan fokus pada hal itu? Kenapa tidak? Kenapa menunggu?

Tak akan ada yang akan datang menyelamatkan kita, kamerad.

Tak seorangpun.

Jadi, tergantung kau dan aku