Title: Para Pemikir Anarkisme, Siapa Saja Mereka?
Subtitle: Bagaimana jejak pemikiran anarkisme selama ini?
Topic: Introductory
Language: Bahasa Indonesia
Publication: Tirto.id
Date: 5 Mei 2019
Notes: Editor: Nurul Qomariyah Pramisti

Dalam teori politik maupun kebahasaan, anarkisme adalah gagasan yang paling banyak disalahpahami. Umumnya, istilah tersebut digunakan untuk mengartikan (situasi yang) “chaos” atau “tanpa tatanan.” Akibatnya, kaum anarkis dianggap menginginkan kekacauan sosial serta kembali ke “hukum rimba.”

Anarkisme pada dasarnya merupakan sebuah filosofi yang percaya bahwa manusia sebagai anggota masyarakat akan membawa pada manfaat yang terbaik bagi semua jika tidak diperintah atau hidup dalam belenggu otoritas. Para anarkis percaya, manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang secara alamiah mampu hidup secara harmoni dan bebas tanpa intervensi kekuasaan.

Secara sepintas dapat dilihat bahwa “musuh” gerakan anarkisme adalah segala bentuk otoritas, dan bentuk otoritas yang sangat jelas adalah (otoritas yang dimiliki oleh) negara modern. Bagi kaum anarkis, negara dipandang telah memonopoli berbagai lini kekuasaan: kekuasaan teritorial, kekuasaan yurisdiksi, kekuasaan menguasai kekayaan sumber daya, hingga pemanfaatan sistem hukum positif yang eksistensinya kerap menyingkirkan semua bentuk hukum yang dianggap “negatif” seperti hukum adat dan banyak hukum lainnya.

Semua otoritas tersebut dipelihara, dikembangkan, dan terus menerus dijalankan melalui mekanisme monopoli penguasaan alat-alat pertahanan dan keamanan, termasuk senarai propaganda yang ditujukan untuk menundukkan rakyat. Sebaliknya, anarkisme justru memimpikan sebuah visi sosial tentang “masyarakat alami”: masyarakat swakelola mandiri yang dibentuk secara swadaya dari para individual di dalamnya.

Secara ideologis, anarkisme mengambil berbagai bentuk dan spektrum dari aliran kiri maupun kanan, termasuk sampai ekstrem kanan yang berwatak individualistik. Lokasi konflik anarkisme terletak pada titik antara negara dan masyarakat, kendatipun terdapat berbagai aliran pemikiran mengenai hal ini. Namun demikian, semua jenis anarkis memiliki sebuah pendekatan dasar.

Simak penjelasan Rudolf Rocker, salah seorang pemikir anarkis yang kerap dianggap sebagai “Bapak Anarko Sindikalis,” dalam risalahnya The Origins of Anarcho Syndicalism:

“Bersama dengan pendiri sosialisme, kaum anarkis menuntut menghapusan semua monopoli ekonomi serta kepemilikan bersama atas tanah dan semua sarana produksi lainnya, yang harus dimanfaatkan oleh semua tanpa pembedaan; karena kebebasan sosial dan personal hanya dapat dipahami pada dasar keuntungan ekonomi yang setara bagi setiap orang. Bahwa perang melawan kapitalisme harus bersamaan juga berperang melawan semua institusi kekuasaan politis, karena dalam sejarah, eksploitasi ekonomi selalu bekerja sama dengan penindasan sosial politik. Eksploitasi dan dominasi orang terhadap sesamanya tidak dapat dipisahkan, dan masing-masing saling mengkondisikan.”

Untuk mengetahui lebih jauh mengenai anarkisme, ada baiknya menelusuri segenap pemikir anarkis lain yang berpengaruh.

Menelusuri Pemikir(an) Anarkisme

Istilah anarkisme berakar dari bahasa Yunani, anarchos/anarchein, yang berarti “tanpa penguasa” atau “tanpa pemerintahan.” Hanya saja, bentuk anarkisme yang saat ini dikenal luas muncul tatkala industrialisasi meluas di Eropa, hingga lantas mengilhami Revolusi Perancis.

Namun demikian, jauh sebelum Revolusi Perancis, para pemikir seperti Gerald Wistanle dan William Godwin telah mulai memperkenalkan filsafat anarkisme pada abad 17 dan 18. Wistanle melalui The New Law of Righteousness yang terbit pada 1648 — sebuah pamflet yang basis pemikirannya ditakik dari Kitab Para Rasul (Book of Acts), terutama ayat 44 dan 45 yang menyerukan bahwa “semua orang beriman akan menjual harta benda dan barang-barang mereka lalu membagikan hasilnya kepada semua yang memerlukan.”

Lewat ayat tersebut, Winstanley berpendapat: “Ketika Tuhan menciptakan bumi, tidak terdapat satu kata pun yang diucapkan sejak awal bahwa satu cabang umat manusia berhak berkuasa atas yang lain, tapi imajinasi yang egoislah yang membuat manusia merasa dapat mengatur dan memerintah yang lain.” Selain itu, gagasan Winstanley juga berpijak dari semangat pemikiran radikal Inggris kuno, terutama pada zaman Pemberontakan Petani (Peasants’ Revolt) tahun 1381 yang dipimpin Wat Tyler.

Sementara Godwin, seorang ekonom politik yang juga penyair di era Romantik, pada tahun 1793 menerbitkan buku berjudul Enquiry Concerning Political Justice yang secara garis besar menjelaskan “bentuk yang cukup definitif tentang prinsip-prinsip ekonomi dan politik dari Anarkisme.”

Godwin bertindak sebagai bagian dari kelompok anarkisme-komunis, sebab itu ia menekankan prinsip egalitarianisme, penghapusan hierarki sosial, penghapusan perbedaan kelas, distribusi kesejahteraan yang merata, penghilangan kapitalisme, serta produksi kolektif berdasarkan kesukarelaan. Dengan kata lain, ia menganggap bahwa negara dan hak milik pribadi adalah sesuatu yang tidak seharusnya hidup dalam tatanan masyarakat anarkisme-komunis.

Memasuki pertengahan akhir abad ke 19, anarkisme mulai menjadi diskursus yang koheren dengan fondasi yang lebih sistematik. Para pemikir menjadi aktor intelektualnya antara lain: Max Stirner (1806–1856) Pierre- Joseph Proudhon (1809–1865) Michael Bakunin (1814–1876) Peter Kropotkin (1842–1921). Keempat pemikir yang masing-masing berasal dari Jerman, Perancis, dan Rusia ini menghadirkan gagasan mereka langsung di dalam masyarakat pekerja.

Stirner, yang corak pemikirannya lekat dengan atmosfir filsafat romantisme Jerman, menghadirkan anarkisme melalui bentuk individualisme yang ekstrim atau egoisme — individu berdiri di atas apapun — , sebagaimana dijelaskannya lewat “The Ego and Its Own.” Serangannya terhadap kapitalisme (ia menyerukan “Serikat Kaum Egois”: asosiasi bebas individu yang bekerja sama dengan setara untuk memaksimalkan kebebasan) dan sosialisme negara menjadi landasan awal bagi anarkisme.

Proudhon adalah tokoh pertama yang secara terbuka mendaku diri sebagai seorang anarkis. Berbagai karya besarnya seperti “What is Property,” “Economic Contradictions,” dan “The Political Capacity of The Working Classes,” padat dengan gagasan mengenai mutualisme dan federalisme, yang kelak berdampak besar bagi pertumbuhan anarkisme sebagai gerakan massa. Ia berusaha mengubah konotasi negatif penuh kekerasan yang kerap dilekatkan pada anarkisme, sebab menurutnya, anarkisme adalah cara paling rasional dan adil untuk menciptakan ketertiban masyarakat.

Jika Anda bertanya dari mana asal mula serikat pekerja, Proudhon-lah aktor intelektual penggagas hal tersebut. Baginya, adalah krusial bagi para pekerja untuk mengendalikan alat produksi sebagai sesuatu yang iheren dengan nilai kebebasan. Bersama rekan-rekannya pada 1864, Proudhon membentuk First International Workingmen’s Association, sebuah serikat buruh berskala internasional pertama di dunia.

Bakunin menekankan pentingnya kolektifisme dalam perkembangan aktivitas dan gagasan kaum anarkis modern. Gagasan tersebut ia kembangkan melalui pemikiran Proudhon dan menitikberatkannya kepada serikat pekerja para anarkis dalam memperjuangkan kebebasan bagi diri mereka sendiri. Ia juga menjelaskan bagaimana revolusi yang menghancurkan seluruh institusi yang ada kelak melahirkan masyarakat tanpa kelas.

Dalam konteks lahirnya masyarakat tanpa kelas, Bakunin berseberangan dengan visi Karl Marx mengenai “kediktatoran proletariat.” Sebab menurutnya, “sosialisme tanpa kebebasan adalah perbudakan dan sebuah bentuk kebrutalan.” Berbagai gagasan Bakunin termaktub dalam “God and the State” atau “The Paris Commune and the Idea of the State,” dan memiliki pengaruh amat besar dalam banyak gerakan rakyat, wabilkhusus Revolusi Spanyol 1936.

Pada masa ketika Paris diokupasi oleh pemerintahan komunis-anarkis Paris Commune, Kropotkin, seorang ilmuwan otodidak, hadir membawa gagasan yang ia kembangkan dari pemikiran Bakunin. Ia melahirkan analisa detail untuk formula masyarakat anarko-komunisme di masa depan. “Alat produksi,” menurut Kropotkin, “tak hanya harus dimiliki secara kolektif, namun hasil produksinya pun harus dibagi bersama.”

Menurut identifikasinya, kompetisi antarmanusia adalah momok yang menjadikan manusia tidak berkembang dengan baik. Karya-karya utama pangeran Rusia ini meliputi “Mutual Aid,” “The Conquest of Bread,” “Fields, Factories, and Workshop,” “Modern Science and Anarchism,” “Act for Yourself,” hingga “The State : Its Historic Role.” Usai ia wafat, pemikiran anarkisme tentunya terus mengalami dialektika.

Di Amerika Serikat, misalnya, terdapat Emma Goldman. Melalui “Anarchism and Other Essays,” Emma menyatukan gagasan egoisme Stirner dengan komunisme Kropotkin, serta mengombinasikannya ke dalam intisari teoritik feminisme. Sementara Alexander Berkman, memperkenalkan berbagai gagasan anarkisme klasik melalui “What is Communist Anarchism?.” Usai Revolusi 1917, kedua sahabat ini dibuang ke Rusia oleh Pemerintah AS karena dianggap terlalu berbahaya.

Nama lain adalah Voltairine de Cleyre, yang merangkum pemikirannya lewat “Anarchism and American Traditions” dan “Direct Action.” Lalu di Italia ada Errico Malatesta yang telah menghabiskan lebih dari limapuluh tahun untuk memperjuangkan anarkisme ke penjuru dunia. Luigi Galleani, melalui “The End of Anarchism?” yang berisi 10 teks-gagasannya, menjelaskan bahwa “anarkis-komunisme merupakan dasar ekonomi dan dengannya individu memiliki kesempatan untuk mengatur dirinya dan melaksanakan tugasnya.”

Kendati kini anarkisme sebagai suatu sistem politik kian memudar, namun tradisi antifasis yang kuat menyebabkan para pengikutnya — terutama di Eropa — masih setia membentangkan simbol huruf A di dalam lingkaran saban berdemonstrasi di jalanan. Di antara mereka terdapat Antifa hingga Federazione Anarchica Informale (FAI), grup anarkis insureksioner dari Italia yang kerap melakukan aksi bersenjata demi meruntuhkan segala bentuk otoritas.