#title Anarkisme Muslim
#subtitle Policrateia in the Islamic World
#author Erik van Luxzenburg
#date 2010
#source [[https://theanarchistlibrary.org/library/eric-van-luxzenburg-muslim-anarchism]]
#lang id
#pubdate 2025-06-25T00:00:00
#authors Erik van Luxzenburg
#topics Islam
#language Bahasa Indonesia
#publication 2023
#notes Diterjemahkan oleh Banu Ghifar.
*** Pengantar
Anarkisme adalah sebuah ideologi yang mempengaruhi kehidupan manusia sejak abad ke-19. Baik secara positif dan negatif, kaum anarkis telah mempengaruhi peristiwa sejarah dan masyarakat di seluruh dunia. Filsafat Anarkisme yang lebih dalam telah disusun oleh pemikir-pemikir seperti Filsuf Perancis Pierre Joseph Proudhon, pemikir Rusia Mikhail Bakunin dan Peter Kropotkin dan penulis terkenalnya Leo Tolstoy! Terutama yang terakhir (Tolstoy), akan mendapatkan perhatian khusus di sini, karena pemikirannya menggabungkan pemikiran Anarkis dengan agama. Tolstoy adalah salah satu “anggota” terkemuka dalam gerakan Anarkis Kristen.
Banyak Muslim lebih memilih Kekhilafahan[1] dan seorang Khalifah untuk kembali memerintah mereka, karena ini adalah satu-satunya bentuk pemerintahan Islam yang sejati. Meskipun versi mereka tentang Khalifah dalam banyak kasus tidaklah berbeda dengan rata-rata pemerintahan korup dan despot di Timur Tengah yang eksis sampai hari ini. Ketika kita melihat beberapa kasus di mana Revolusi Islam berhasil, negara yang koruplah yang kemudian muncul. Iran dan Taliban dari Afghanistan adalah contoh terkenal tentang bagaimana pandangan dunia yang rusak seperti itu dapat terjadi. Dengan demikian, dengan berpikir mengikuti pola pemikiran Mullah dan Ayatullah, kita dapat melihat bahwa orang-orang ini mengabaikan konsep Syura dan pemikiran Islam penting lainnya. Mungkin mereka mengabaikan konsep Syura karena fakta bahwa sebagian besar Muslim tidak pernah mengalami bentuk Syura dalam hidup mereka karena mereka selalu hidup dalam suatu bentuk pemerintahan yang menindas. Karena, Syura mengharuskan seorang Amir/Emir/Ameer untuk memimpin masyarakat dan berkonsultasi kepada masyarakat sebelum membuat sebuah keputusan. Mereka menerima sembarang penguasa bahkan ketika aturan yang dibuat tidak dalam proses konsultasi dengan mereka. Mereka mungkin tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika proses konsultasi terjadi.
Dari pandangan Anarkis Muslim, seorang Emir tidaklah harus seorang manusia. Seorang Anarkis Muslim melihat Allah (swt) sebagai satu-satunya Emir yang dimana ia membayar kesetiannya hanya padaNya. Hal itu berasal dari pandangan anarkistik bahwa tidak ada manusia lain yang dapat membuat manusia lain “mendengarkan”, kecuali jika manusia lain itu berkehendak bebas untuk mendengar. Kemudian dikombinasikan dengan konsep Syura yang sudah disebutkan di atas, memungkinkan kaum Anarkis Muslim[2] untuk membuat konsensus sesuai dengan kehendak Allah (swt) sebagaimana ditetapkan dalam Al-Qur’an Hadits dan pada gilirannya kemudian akan mencegah kekacauan dalam pengaturan masyarakat mereka sendiri.
Islam, menurut banyak orang adalah sebuah agama yang bisa sederhana dalam segala kerumitannya, sekaligus rumit dalam segala kesederhanaannya.
Untuk mengaplikasikan sebuah kerangka Anarkisme Muslim yang bisa diterapkan akan membutuhkan waktu. Sifat Anarkisme juga berarti bahwa orang akan cenderung tidak setuju satu sama lain. Dalam Islam ini akan memberikan sebuah konstitusi alamiah yang (harus) disetujui oleh para Anarkis, karena Al-Qur’an dan Hadits memberikan pedoman langsung bagi umat manusia untuk hidup.
Bab dalam Wikipedia tentang Islam dan Anarkisme, menyebutkan beberapa orang Barat dan Muslim terkenal yang memiliki cita-cita “anarkis”! yaitu: Gustave-Henri Jossot dan Ali Shariati[3]. Orang-orang ini menunjukan bahwa pemikirannya lebih dalam dari yang dipikirkan orang lain dan meluas lebih jauh, bahkan menginspirasi orang lain.
“Dan sungguh, jika kamu menaati manusia yang seperti kamu, niscaya kamu pasti rugi” sebagaimana yang terdapat pada Al-Qur’an Suci, Surah 23 Al-Mu’minun Ayat 34.
Kutipan ini membuktikan bahwa Islam mengandung elemen-elemen anarkis! Penolakan atas pemerintah muncul dengan jelas dalam Al-Qur’an karena tidak ada Muslim yang harus mematuhi Muslim lainnya, tetapi hanya mendengarkan orang lain untuk mengambil keputusan sendiri[4]!
*** Kecenderungan kesejarahan anarkis dalam Islam
Sepanjang sejarah, telah ada gerakan anti-otoritarian dalam Islam, tetapi mereka tidak terdokumentasi dengan baik dan tidak jelas seberapa besar dampaknya terhadap Islam arus utama.
Jenis kelompok Islam anti-otoritarian yang pertama kali tercatat dapat dilihat pada peristiwa kematian Khalifah ketiga Utsman bin Affan. Mereka berselisih tentang siapa yang harus menggantikannya sebagai pemimpin umat Islam, yang kemudian mengakibatkan perpecahan Syiah-Sunni. Namun, ada kelompok ketiga, Khawarij, yang menentang sekte Sunni dan Syiah, dan mengklaim bahwa setiap Muslim yang memenuhi syarat dapat menjadi Imam. Mereka berpendapat bahwa semua orang secara individu bertanggung jawab atas kebaikan atau kejahatan tindakan mereka. Mereka menantang semua otoritas dan mendorong semua orang, terutama yang miskin dan terlantar, untuk melihat perjuangan melawan ketidakadilan sebagai sanksi ilahi. Namun, meskipun Khawarij melihat semua orang beriman sepenuhnya sama terlepas dari perbedaan sosial apapun, mereka percaya bahwa orang yang tidak beriman tidak memiliki hak, dan dapat dibunuh[5]. Setidaknya satu sekte Khawarij, Najdiyya, percaya bahwa jika tidak ada Imam yang cocok yang hadir di masyarakat, maka posisi tersebut dapat ditiadakan.
Aliran pemikiran Mu’tazilah sejajar dengan pemikiran Najdiyya: jika para penguasa pasti menjadi tiran, maka satu-satunya tindakan yang dapat diterima adalah berhenti melantik penguasa.
Karena aliran Islam Sunni dan Syiah berkembang menjadi ideologi otoriter, gagasan libertarian dalam Islam terus berkembang paling kuat melalui Sufisme, aliran mistik Islam. Sufisme sangat umum di pinggiran Kesultanan Islam, di daerah terpencil, dan berkembang di bawah pengaruh filsafat timur, dan ide-ide anti-otoriter dan revolusioner hadir sepanjang sejarahnya. Banyak tarekat sufi mengadvokasi dan memperjuangkan kesetaraan perempuan dan keadilan sosial.
Sufisme juga menyediakan banyak puisi dan sastra Islam di mana kecenderungan ini tampak. Salah satu penyair Sufi paling terkenal adalah penulis Persia Farid al-Din Attar, yang hidup pada abad ke-13 Masehi. Dalam salah satu bukunya, “Muslim Saints and Mystics: Episodes from the Tadhkirat al-Auliya’ (Memorial of the Saints)”, Attar menceritakan kisah seorang guru Fozail-e Iyaz (seharusnya hidup pada abad ke-8 M) dan Khalifah Abbasiyah ke-5 Harun al-Rashid. Saat Harun mencari seseorang di kerajaannya yang dapat mengungkapkan kebenaran tentang dirinya, dia menemukan Fozail, satu-satunya orang yang berbicara jujur dan tanpa menjilat. Fozail memberitahu Harun bahwa dia tidak menghormati otoritas dan bahwa “menaati Tuhan sesaat jauh lebih baik daripada seribu tahun orang menaatimu”.
Meskipun ada contoh kecenderungan anti-otoritarian sepanjang sejarah Islam, perkembangan utama terjadi pada abad ke-20, yang memperkenalkan kembali interpretasi liberal terhadap Islam dan melihat percampuran ide radikal kiri dan Islam.
Kartunis Perancis Gustave-Henri Jossot – yang sering menjadi kontributor majalah anarkis termasuk l’Assiette au Beurre yang menerbitkan banyak polemik bergambar yang mencerca gereja Katolik – masuk Islam pada tahun 1913, mengutip “kesederhanaan, tidak ada pendeta, tidak ada dogma dan hampir tidak ada upacara” sebagai alasan. Setelah perpindahanya itu, dia terus mengkritik gagasan tentang tanah air, menuntut pembayaran yang sama untuk semua, menolak aksi politik, kekerasan dan pendidikan formal. Ia menolak aksi sosial, dengan alasan bahwa perubahan hanya mungkin terjadi pada tingkat individu.
Tokoh penting dan berpengaruh di abad ke-20 adalah Ali Shariati, salah satu ideolog Revolusi Islam di Iran, dan Jean Paul Sartre mengatakan: “Saya tidak punya agama, tetapi jika saya harus memilih satu, itu akan menjadi agamanya Shariati.” Setelah rezim Shah mengambil tindakan otoriter yang sangat kejam, Shariati dipenjara karena ceramahnya yang sangat populer di kalangan mahasiswa, dan terpaksa melarikan diri dari Iran. Dia dibunuh tak lama kemudian.
Meskipun Shariati bukan seorang anarkis, visinya tentang Islam adalah salah satu agama revolusioner yang berpihak pada orang miskin. Dia percaya bahwa satu-satunya cerminan sejati dari konsep Tauhid Islam adalah masyarakat tanpa kelas.
Seorang anarkis muda Isabelle Eberhardt menolak anarkisme dan memilih Islam di Afrika Utara pada tahun 1897. Sekte sufi yang dia ikuti terlibat dalam perjuangan anti-kolonial.
*** Kritik Anarkis atas Islam
Dikarenakan banyak gerakan anarkis terjadi di negara-negara di bawah pengaruh tradisi Kristen, kritik anarkis terhadap agama secara historis difokuskan pada agama Kristen. Sementara beberapa dari kritik ini dapat diperluas ke kepercayaan pada Tuhan dan agama yang terorganisir secara umum, kaum anarkis Barat telah begitu tenggelam dalam tradisi Kristen sehingga mengalihkan kritik ini ke Islam seringkali tidaklah akurat. Dunia Barat, dan kaum anarkis Barat, sering melihat Islam sebagai agama politik, mendikte semua aspek masyarakat dan perilaku sehari-hari. Ini bertentangan dengan prinsip penentuan nasib sendiri atas kehidupan sehari-hari pribadi seseorang dalam tradisi anarkisme.
Kritik anarkis anti-Islam berpusat pada pemaksaan yang mereka lihat dipaksakan pada perempuan dalam masyarakat Muslim tertentu, serta penindasan yang dialami kaum Homoseksual di negara-negara Islam. Dalam imajinasi populer Barat, beberapa masyarakat Islam bersifat patriarkal, di mana perempuan dipaksa mengenakan kerudung dan ditolak hak-hak dasarnya seperti hak memilih dan pendidikan. Sementara kaum anarkis tidak akan menganjurkan untuk memilih pemimpin (berlawanan dengan pemungutan suara atas isu-isu) atau, dalam sejumlah kecil kasus, pendidikan formal, alasan penolakan ini menjadi sumber konflik. Di banyak negara Muslim, homoseksualitas adalah ilegal dan tunduk pada hukuman fisik yang keras, yang melanggar konsep kesetaraan dan anti-penindasan anarkis. Namun, masih diperdebatkan berapa banyak dari masalah ini terkait dengan agama secara khusus dan berapa banyak yang berasal dari adat daerah. Selain itu, banyak feminis kontemporer, khususnya feminis Muslim, tidak melihat tradisi Islam “hijab” (berpakaian sopan) sebagai penindasan terhadap perempuan.
Yang juga bermasalah bagi kaum anarkis adalah perlakuan Islam terhadap orang murtad dan non-Muslim. Konsep Jihad (yang secara tradisional merupakan topik kontroversial di kalangan ulama Islam), meskipun berarti “berjuang dalam keyakinan”, dan awalnya digunakan terutama dalam kaitannya dengan yang personal, sebuah godaan dalam diri/internal, sering dipahami sebagai perang suci melawan orang-orang kafir. Anarkis juga menentang hukum Syariah, yang didasarkan pada Al-Qur’an dan tradisi Muslim awal dan menyerukan hukuman fisik yang keras untuk pelanggaran terhadap ajaran agama. Sebagian besar negara Muslim saat ini tidak menerapkan hukum Syariah.
Pada abad ke-19 dan ke-20, semakin banyak Muslim liberal yang mempertanyakan interpretasi Islam ortodoks. Umat Islam ini berkonsentrasi pada konsep realisasi diri, yang disebut Ijtihad. Banyak Muslim Liberal menyerukan kesetaraan penuh laki-laki dan perempuan, menerima homoseksualitas, dan menolak hukum Syariah, sehingga menghilangkan banyak keberatan kaum anarkis terhadap Islam. Banyak Muslim Liberal tidak melihat gerakan mereka sebagai reformasi, melainkan kembali ke esensi Islam, yang menurut mereka telah rusak selama bertahun-tahun.
*** Figur dan Trend Saat ini
**** Dalam Dunia Muslim
**** Di Barat
Peter Lamborn Wilson, yang menulis dengan nama pena Hakim Bey, menggabungkan tasawuf dan neo-paganisme dengan anarkisme dan situasionist. Dia dikenal karena konsepnya tentang Zona Otonomi Sementara (TAZ), yang memengaruhi gerakan dan acara “rebut kembali jalanan” seperti Parade Cinta. Namun, masih bisa diperdebatkan apakah dia dapat digambarkan sebagai seorang Muslim dan seorang anarkis, yang bertentangan dengan pengaruh kedua ideologi tersebut.
Pada tanggal 20 Juni 2005, Yakoub Islam, seorang mualaf yang berbasis di Inggris, menerbitkan Muslim Anarchist Charter online miliknya. Piagam tersebut menegaskan seperangkat prinsip dasar untuk pemikiran dan tindakan anarkis yang didirikan berdasarkan perspektif Muslim. Ini menegaskan kembali beberapa prinsip inti Islam, termasuk kepercayaan kepada Tuhan, kenabian Muhammad dan jiwa manusia, tetapi menegaskan kemungkinan bahwa jalan spiritual seorang Muslim dapat dicapai dengan menolak untuk berkompromi dengan kekuatan institusional dalam bentuk apapun, baik itu peradilan, agama, sosial, perusahaan atau politik.
[1] Kita harus membedakan antara konsep Kekhalifahan yang lahir pasca kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan dan kepemimpinan pasca meninggalnya Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin yang sangat egaliter (penerjemah).
[2] yang tiap individunya memiliki kehendak bebas (penerjemah).
[3] Penerjemah akan memotong deskripsi sepanjang dua paragraf tentang pemikiran dua tokoh ini dalam versi aslinya, karena merupakan pengulangan (benar-benar 100 persen sama sampai perkata-katanya) yang akan ditemukan pada sub bab dibawahnya.
[4] Salah satu contohnya adalah tindakan yang dipilih oleh Abu Dzar Al-Ghifari dalam ketidaksetujuannya terhadap kebijakan di masa kepemimpinan Ustman bin Affan (penerjemah).
[5] Hal ini lah yang kemudian mengarah pada pembunuhan atas Khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib (penerjemah).