Title: Karena Aku Ingin
Subtitle: Fumiko Kaneko Tentang Nihilisme Dan Mengapa Ia Ingin Membunuh Kaisar Jepang
Publication: Public Enemy Books
Date: 1923-1925

Pengantar

Fumiko Kaneko (1903-1926) merupakan seorang anarkis asal Jepang yang hidup pada awal abad ke-20. Lahir dalam kemiskinan parah di luar ikatan pernikahan, ia menjalani hidup sebagai seorang asing dalam masyarakat Jepang, termasuk satu masa bersama kerabat yang tak berkasih sayang dan kejam di Korea yang saat itu dalam pendudukan. Pengalaman tersebut mengilhami pemberontakannya terhadap otoritas, begitu pula dengan perasaan solidaritasnya terhadap orang-orang di pihak yang menderita dalam lapisan terbawah masyarakat. Bersama Pak Yol, yang menjadi rekan, pasangan, dan suami sebelum kematiannya. Fumiko memulai perkumpulan anarkis bawah tanah, menerbitkan artikel-artikel yang menentang negara dan masyarakat Jepang serta mungkin saja, berencana membunuh Kaisar Taisho dan Putra Mahkota Hirohito dengan bahan peledak saat pernikahan Hirohito.

Dia dan Pak adalah sebagian dari banyak orang yang akan tersapu dalam penangkapan dan pembunuhan massal musuh negara yang benar-benar terjadi dan dirasakan setelah Gempa Besar Kanto pada 1923. Ditempatkan dalam sel ‘pengawasan protektif’, keduanya diadili dan dijatuhi hukuman mati karena pengkhianatan tingkat tinggi atas tuduhan terkait rencana pembunuhan Kaisar dan Putra Mahkota. Saat hukumannya diubah oleh Kaisar menjadi penjara seumur hidup, sebuah kehormatan yang segera ia tolak dengan merobek dekrit di depan sipir, Fumiko ditemukan tergantung di selnya pada 1926 dan diduga bunuh diri.

Transkrip interogasi ini memberi pandangan yang berharga tentang pemikiran dan perbuatan Fumiko di luar masa mudanya yang secara rinci ada di The Prison Memoirs of Japanese Woman, sebuah memoar yang ia tulis selama persidangan. Pada pokoknya, kita melihat ia mendiskusikan filsafat nihilisme dan individualisme, serta sekilas filsafat Stirner lewat protesnya terhadap ‘hantu’ (phantasm) altruisme Konfusianisme dan desakan bahwa kita harus menjadi pusat dari segala sesuatu. Penolakannya terhadap Kaisar dan negara Jepang juga mendebarkan, walaupun substansi plot pembunuhan yang banyak diungkap dalam interogasi kedua yang disertakan di sini agak tidak jelas karena, seperti yang diamati oleh Helene Bowen Raddeker. Fumiko membesar-besarkan perannya dalam keterangan yang disampaikan saat interogasi untuk membuat dirinya tampak lebih bersalah dan, dengan demikian, mendapat hukuman seberat Pak. Kendati ia berbicara tentang upaya Pak yang gagal mendapat bahan peledak untuknya di Korea dalam wawancara pertama pada tahun 1925, satu tahun kemudian Fumiko mengaku upaya mencari bahan peledak itu diketahuinya setelah Pak kembali[1]. Meski begitu, dia merespon para penginterogasinya dengan serangan-serangan yang keras terhadap sistem kekaisaran—cukup keras untuk membuat ia mendekam di penjara, bahkan setelah pengakuannya tersebut.

Pamflet ini mencakup tiga interogasi: pertama, dikutip dari Reflections on the Way to the Gallows karya Hane Mikiso yang mencakup narasinya tentang bagaimana Fumiko sampai pada filsafat nihilismenya serta penolakan terhadap sistem kaisar, yang kedua dan ketiga, terjemahan asli saya sendiri, interogasi dua tahun kemudian dari yang pertama dan dikutip oleh Kurihara Yasushi dalam kompilasi tulisan anarkis Jepang, Kurigaze, Freedom. Ini mengandung celaan terbuka yang lebih kuat terhadap Kaisar dan masyarakat Jepang. Di luar ketiga transkrip itu terdapat transkrip lengkap persidangan, korespondensi, dan interogasi Fumiko dan Pak dalam catatan pengadilan yang juga telah diterbitkan, namun saat ini di luar jangkauan saya. Beberapa tulisan pra-persidangan mereka juga masih ada, walaupun dalam jumlah terbatas, dan hampir semuanya belum diterjemahkan kecuali memoar Fumiko, Prisons Memoirs of a Japanese Woman.

Selain Memoirs, sumber berbahasa Inggris untuk informasi lebih lanjut tentang Fumiko adalah Reflections on the Way to the Gallows yang saya sebut di atas, yang memuat profil singkat serta terjemahan dari esai Nami Ga Watashi Wo Kou Saseta Ka? (Apa yang Membuatku Melakukan Apa yang Kulakukan?). Buku Raddeker, Treacherous Women of Imperial Japan, menceritakan dan menganalisis kisah Fumiko dan Kanno Suga, seorang anarkis asal Jepang yang dieksekusi dengan dakwaan pengkhianatan 15 tahun sebelumnya, serta mencakup profil kehidupan Fumiko yang jauh lebih kuat. Keakraban Raddeker dengan anarkisme, Stirner, Nietzsche serta rujukan berbagai macam bahan sumber membuatnya menjadi bacaan yang satangat menarik. Tanka[2] di akhir teks ini juga diambil dari buku itu (Raddeker 232).

– Max Res

Hari Tahun Baru, 2020

Max merupakan bagian dari Viscera Print Goods & Ephemera[3]


22 November 1923
Berikut ini adalah petikan dari interogasi Fumiko pada 22 November 1923

Interogator: Mengapa Anda menganut nihilisme?
Fumiko: Karena keadaan keluargaku dan penindasan sosial yang mengikutinya.

I: Bagiamana dengan keluarga Anda?
F: Aku tidak memiliki keluarga dalam arti sebenarnya… Aku ditelantarkan orang tuaku dan dipisahkan dari satu saudara dan saudariku. Aku tidak memiliki kehidupan keluarga. Kelahiranku tidak tercatat, sehingga aku ditindas masyarakat. Ini adalah kesalahan sistem … [Setelah datang ke Tokyo] Aku membaca tulisan Toshihiko Sakai dan majalah sosialis. Mengamati hal ini, orang tuaku tampaknya khawatir aku cenderung ke arah sosialisme. Sekitar tahun 1922, aku berkenalan dengan Pak Yeol, seorang Korea yang tidak dikenal dan miskin. Aku putuskan tinggal bersamanya dan memberitahu orang tuaku tentang hal ini… Setelah aku mulai tinggal bersama Pak, ayahku menulis sebuah surat pada Mei tahun itu mengatakan bahwa aku adalah keturunan Fujiwara-no-Fusame (681-737). Kanselir Kerajaan, yang hidup lebih dari seratus generasi yang lalu. Aku dianggap menodai garis keluarga Saeki yang agung ini dengan hidup bersama dengan orang Korea rendahan. Ayahku tidak mengakuiku dan, dia menulis, mulai saat itu aku tidak menganggap dia sebagai ayah. Jadi aku tidak diakui oleh ayah yang telah menelantarkanku. Ibu juga telah meninggalkanku… Bahkan, dia berpikir untuk menjualku ke rumah pelacuran… Orang tuaku tidak memberi kasih sayang, tetapi berusaha untuk mendapatkan keuntungan apapun yang bisa mereka dapat dariku. Cinta mereka adalah cinta yang benar-benar oportunis, suatu bentuk keserakahan. Jadi, sebagai objek keserakahan, aku gagal memahami arti berbakti. Apa yang disebut moralitas didasarkan pada hubungan antara yang kuat dan yang lemah. Moralitas itu selalu dimanipulasi untuk melayani kenyamanan yang kuat. Artinya, yang kuat bersikeras mempertahankan kebebasan bertindaknya sambil menuntut ketundukan yang lemah. Dari sudut pandang yang lemah, moralitas berarti kesepakatan yang menyerukan kepatuhan seseorang kepada yang kuat. Prinsi moral ini lazim di semua zaman dan semua masyarakat. Tujuan utama dari mereka yang berkuasa adalah untuk melestarikan prinsip moral ini selama mungkin. Hubungan antara orang tua dan anak juga didasarkan pada prinsip itu. Bedanya dilapisi dengan istilah yang terdengar menarik “berbakti”.

I: Bagaimana anda bisa berteman dengan sosialis dan akhirnya sampai pada nihilisme?
F: Tiga kelompok intelektual memengaruhiku ketika aku berjualan koran… Satu adalah kelompok keselamatan Buddhis, kedua adalah kelompok Tentara keselamatan Kristen yang menabuh tamborin mereka, dan yang ketiga adalah sosialis berambut panjang yang berteriak dengan suara putus asa… Tentara Keselamatan Kristen adalah yang pertama aku dekati.

[Selanjutnya Fumiko menceritakan pengalamannya dengan Saito, yang dalam memoarnya disebut sebagai Ito. Dia mengaku kecewa dengan kekristenan ketika Ito mengatakan harus mengakhiri persahabatannya dengan Fumiko karena terlalu jatuh cinta padanya.]

F: Sungguh suatu kontradiksi yang luar biasa bagi seorang Kristen untuk mengkhotbahkan kasih di sudut jalan, tetapi gagal untuk memahami kasih yang murni dan tanpa cela. Orang-orang Kristen telah terbelenggu pada konsep Tuhan yang mereka ciptakan. Keyakinan mereka adalah kepercayaan budak yang pengecut. Kebajikan dan keindahan manusia adalah hidup secara alami, tidak dikendalikan kekuatan eksternal. Kuputuskan bahwa aku tidak bisa menganut Kekristenan, yang mengajarkan doktrin kehidupan yang bertentangan dengan cita-cita keindahan dan kebajikan. Jadi aku meninggalkan Kekristenan…

[Kemudian Fumiko berteman dengan seorang sosialis, Hori Kiyotoshi. tetapi juga menjadi kecewa dengannya karena menurut dia, Hori adalah seorang munafik. Hori menyembunyikan hubungan dengan istri geisha-nya karena takut hal itu akan menghalangi peluangnya tampil ke muka. Hori juga membuat semua bawahannya melakukan seluruh pekerjaan di bisnis percetakannya, sementara dia menghabiskan waktu bermalas-malasan.]

F: Aku juga dikenalkan kepada sosialis lain, Kutsumi Fusako. Kehidupan dan prinsip keluarganya tidak berbeda dengan Hori. Kutsumi mengurus kebutuhan pribadinya sendiri tetapi tidak memperhatikan kebutuhan anak-anaknya. Dia akan mencari alasan untuk pergi keluar dengan seorang lelaki mudan dan keluyuran sepanjang hari. Aku mendengar perkataannya bahwa yang ia harus lakukan hanya naik ke mimbar dan berpidato tentang sosialisme dan berkata “Masyarakat sekarang harus dihancurkan” hingga polisi turun tangan. Keesokan harinya, surat kabar akan mewartakan bahwa Kutsumi Fusako membuat pidato ekstremis, sehingga polisi melarangnya berpidato. Aku muak dengan kalangan sosialis yang umumnya punya keinginan agar nama mereka muncul di koran. Saat ini Kutsumi tidak punya uang bahkan untuk membeli makanan, sehingga dia menjaminkan pakaianku di pegadaian. Dia tak peduli tenggat waktu untuk menebusnya berakhir dan membiarkan pegadaian menjual pakaianku tanpa persetujuan. Aku tidak mengeluh tentang kehilangan pakaian, walaupun dia tahu bahwa aku membutuhkan karena musim dingin telah tiba. Kutsumi tidak menunjukkan rasa tanggung jawab. Aku membenci sikapnya, seorang sosialis yang tidak memikirkan kebutuhan orang lain dan berpikir hanya untuk memberi makan dirinya sendiri.

Aku telah membayangkan bahwa para sosialis adalah orang-orang yang melampaui omong kosong kebiasaan dan moralitas masyarakat. Aku membayangkan mereka menjadi pejuang pemberani tanpa ketertarikan pada apa yang disebut kemahsyuran, kehormatan, dan reputasi sosial. Aku pikir mereka adalah pejuang berjuang untuk menghancurkan masyarakat sesat saat ini dan berjuang menciptakan masyarakat yang ideal. Namun, meski mereka mencela aspek irasional dan munafik dari masyarakat serta berpura-pura tidak peduli terhadap kecaman sosial, kemahsyuran, dan reputasi, mereka sebenarnya diperintah oleh dan peduli tentang standar masyarakat. Mereka berusaha mempercantik diri mereka dengan hiasan konvensional, dan mengambil nilai-nilai konvensional untuk diri mereka sendiri. Sama seperti para Jendral yang bangga dengan medali di dada mereka, para sosialis mendamba catatan penangkapan demi mendapat roti. Mereka membanggakan itu. Ketika aku menyadari kenyataan ini, aku kapok dengan mereka.

Aku juga jadi terperanjat dengan kelesuan para petani yang terperosok dalam penderitaan tetapi tidak merasa sakit, dan kepandiran para pekerja yang bekerja dengan rajin sementara diri mereka dirusak hingga ke tulang-tulangnya. Jika rantai yang mengikat mereka dilepas, mungkin mereka akan menemui para penguasa politik dan ekonomi sambil membawa rantai untuk memohon agar mereka dirantai lagi. Barangkali mereka akan lebih bahagia jika dibiarkan hanyut begitu saja dalam ketidaktahuan. Demikianlah, aku merasa jijik dengan semua arus pemikiran dan merangkul erat kepercayaan nihilistik yang kumiliki hari ini sejak musim semi 1922.

Adapun signifikansi nihilisme bagiku – singkatnya, ini merupakan fondasi pemikiranku. Tujuan aktivitas-aktivitasku adalah penghancuran semua makhluk hidup. Aku merasakan kemarahan tak terbatas terhadap otoritas orang tua yang menghancurkanku di bawah nama cinta orang tua (parental love) yang kedengarannya indah, serta terhadap otoritas negara dan sosial yang menyakitiku atas nama cinta universal.

Setelah mengamati realitas sosial bahwa semua makhluk hidup di bumi terus-menerus terlibat dalam perjuangan bertahan hidup, bahwa mereka saling membunuh untuk bertahan hidup, aku berkesimpulan jika ada hukum universal yang mutlak di bumi, maka itu adalah kenyataan bahwa yang kuat makan yang lemah. Ini, aku meyakini, adalah hukum dan kebenaran dalam alam semesta. Sekarang, setelah aku melihat kebenaran tentang perjuangan untuk bertahan hidup dan fakta bahwa yang kuat menang dan yang lemah kalah, aku tidak dapat bergabung dengan barisan idealis dan mengadopsi cara berpikir optimistis yang mengangankan pembangunan masyarakat tanpa otoritas dan kontrol. Sepanjang semua makhluk hidup tidak lenyap dari bumi, relasi kekuasaan berdasarkan prinsip itu [yang kuat menghancurkan yang lemah] akan bertahan. Karena penguasa terus mempertahankan otoritas mereka seperti biasanya dan menindas yang lemah, dan karena pengalaman masa laluku adalah penindasan oleh semua sumber otoritas, aku putuskan untuk menolak hak semua otoritas, memberontak melawan mereka dan mempertaruhkan tidak hanya hidupku sendiri tetapi semua umat manusia dalam upaya ini.

Pada akhirnya demi alasan itu, aku berencana untuk melempar bom dan menerima akhir hidupku. Aku tak peduli apakah tindakan ini akan memicu revolusi atau tidak. Aku benar-benar senang memuaskan hasratku. Aku tidak ingin membantu menciptakan masyarakat baru berdasarkan otoritas baru dalam bentuk yang berbeda.

I: Apa pendapatmu tentang negara dan sistem sosial Jepang?
F: Aku membagi sistem sosial negara Jepang menjadi tiga tingkatan kelas pertama adalah anggota klan kerajaan; kelas kedua adalah para menteri pemerintah dan pemegang kekuasaan politik lainnya, dan kelas ketiga adalah massa pada umumnya.

Aku memandang kelas pertama, klan kerajaan, sebagai umpan menyedihkan yang hidup seperti narapidana penjara dengan pengaturan aktivitas secara ketat, sama seperti halnya wali kekaisaran. Aku pikir mereka adalah wayang menyedihkan dan boneka kayu yang dimanipulasi oleh kelas kedua, pemegang kekuasaan yang sebenarnya, untuk menarik perhatian massa, seperti yang aku sebut sebelumnya, tidak tahu apa-apa selain keselamatan. Kelas kedua, pemegang kekuasaan politik, adalah mereka yang memiliki kekuatan nyata untuk menganiaya yang lemah sepertiku. Atas alasan itu, aku tidak merasakan apapun selain kebencian pahit terhadap kelas ini. Sementara kelas kedua pada kenyataannya adalah pemegang kekuasaan yang sebenarnya, kelas pertama adalah pemegang kekuasaan formal. Jadi kedua kelas ini berjalan seiring. Konsekuensinya, aku menempatkan kelas kedua di tingkat sekunder dan mengarahkan sentimen pemberontakanku terhadap kelas pertama. Aku juga bermaksud untuk melempar bom pada kedua kelas itu. Pak Yeol dan aku telah membicarakannya.

Aku membuat jurnal tentang hari-hariku di penjara. Pada 6 November, aku menulis: “Hak-hak masyarakat sedang diombang-ambing penguasa semudah layaknya bola tangan. Akhirnya pejabat pemerintah menjebloskanku ke penjara. Tetapi izinkan aku memberimu saran yang masuk akal. Jika kau ingin mencegah insiden saat ini membuahkan hasil, kau harus membunuhku. Kau mungkin bisa menahanku di penjara selama bertahun-tahun, namun segera setelah aku dibebaskan, aku akan mencoba hal yang sama. Aku akan menghancurkan tubuhku sendiri dan menjatuhkanmu dari masalah. Kau bisa saja membawa tubuhku ke mana pun kau mau, ke guillotine jika kau mau, atau ke penjara Hachioji. Kita semua harus mati pada akhirnya. Jadi kau dapat melakukan sesukamu. Kau hanya akan membuktikan bahwa aku sungguh hidup untuk diriku sendiri. Aku sangat senang dengan hal itu “Kau mengharapakan aku berkompromi, mengubah cara berpikirku, dan hidup sesuai cara masyarakat? Jika aku mau berkompromi denganmu saat ini, aku telah berkompromi denganmu saat aku berada di dalam masyarakat. Kau tidak perlu menceramahiku soal itu. Aku punya cukup akal sehat untuk memahaminya. Aku siap untuk apapun yang kau lakukan kepadaku. Jadi lakukan sesukamu. Jangan ragu. Sejujurnya, aku ingin pergi sekali lagi ke dunia. Aku tahu bahwa yang harus kulakukan mengajukan penawaran dengan berkata, “Aku telah mengalami perubahan hati”, lalu menundukkan kepala. Tetapi aku tidak bisa menghancurkan diriku saat ini agar diriku di masa depan dapat bertahan hidup.

Biarkan aku menyatakan sekali lagi kepadamu dengan berani: “Daripada bersujud di hadapan penguasa, aku lebih suka mati dan jujur kepada diri sendiri. Jika ini membuatmu tak senang, kau bisa membawaku ke mana pun yang kau mau. Aku tidak takut dengan apa pun kemungkinan yang akan kau lakukan.” Inilah yang kurasakan di masa lalu dan itulah yang kurasakan saat ini.

I: Apakah anda mengenal Pak Yeol setelah mengembangkan cara berpikir seperti itu?
F: Benar. Setelah aku bertemu Pak, kami berbicara tentang ide-ide kami dan menemukan pandangan bahwa kami serupa. Jadi kami mulai hidup bersama untuk bekerja sama[4]

[Selama interogasi, Fumiko mengungkapkan pendapatnya secara jujur soal sistem kekaisaran.]

F: Bahkan, sebelum aku bertemu Pak Yeol, aku percaya bahwa kaisar adalah entitas yang tak berguna. Aku dan Pak hidup bersama karena kami sepakat tentang hal ini. Kami bergandeng tangan sebagai kawan untuk menggulingkan sistem kekaisaran. Pada dasarnya manusia harus setara. Tetapi manusia dibuat tidak setara karena kehadiran entitas yang disebut kaisar. Kaisar menghendaki dirinya dimuliakan dan diagungkan. Padahal fotonya menunjukan bahwa dia sama seperti kita, orang biasa. Dia memiliki dua mata, satu mulut, kaki untuk berjalan, dan tangan untuk bekerja. Tetapi dia tidak menggunakan tangannya untuk bekerja dan kakinya untuk berjalan. Itu satu-satunya perbedaan. Alasanku menyangkal keberadaan kaisar muncul dari keyakinan bahwa manusia setara.

Kami telah diajari bahwa kaisar adalah keturunan para dewa, dan bahwa haknya untuk memerintah telah dianugerahkan para dewa kepadanya. Tetapi aku yakin bahwa kisah tiga harta suci [pedang, cermin dan permata, yang turun dari zaman para dewa sebagai lambang otoritas kekaisaran] hanya mitos yang dicomot begitu saja. Jika kaisar adalah dewa, maka tentaranya tidak akan mati. Mengapa puluhan ribu rakyat kekaisaran terbunuh oleh Gempa Besar dihadapannya? Di tengah-tengah kita ada seorang yang dianggap sebagai dewa yang hidup, mahakuasa dan mahatahu, seorang kaisar yang seharusnya mewujudkan kehendak para dewa. Tetapi anak-anaknya menangis karena kelaparan, mati lemas di tambang batu bara, dan diremukan sampai mati di mesin-mesin pabrik. Mengapa demikian? Karena, sebenarnya, kaisar hanya manusia biasa. Kami ingin menunjukan kepada orang-orang bahwa kaisar adalah manusia biasa seperti kami. Oleh karena itu kami berpikir untuk melempar bom untuk menunjukkan bahwa dia bakal mati sama seperti manusia lainnya.

Kami telah diajari bahwa pemerintahan nasiona Jepang terdiri dari garis keturunan kekaisaran yang tidak terputus sepanjang zaman. Namun, silsilah kekaisaran sungguh tidak jelas. Dan, bahkan, jika silsilah tidak terputus selama berabad-abad pun tidak berarti apa-apa. Tidak ada yang dibanggakan. Sebaliknya, sangat memalukan bahwa orang Jepang begitu bodoh untuk menerima bayi yang disodorkan kepada mereka sebagai kaisar.

Di bawah sistem kaisar, pendidikan, hukum, dan prinsip moral semuanya dirancang untuk melindungi otoritas kekaisaran. Gagasan bahwa kaisar itu suci dan agung adalah fantasi. Orang-orang telah dituntun untuk mempercayai kaisar dan putra mahkota mewakili otoritas yang suci dan tak dapat diganggu gugat. Padahal mereka hanyalah boneka dungu. Konsep kesetiaan pada kaisar dan cinta tanah air hanyalah gagasan retorik yang dimanipulasi sekelompok kecil kelas istimewa demi memenuhi keserakahan dan kepentingan mereka sendiri.[5]

Terjemahan tersebut, termasuk parafrase dan catatan kaki, dapat ditemukan dalam buku Mikiso Hane, Reflections on the Way to the Gallows: Rebel Women in Prewar Japan.


14 Mei 1925
Catatan Interogasi ke-52, Penjara Ichigaya, 14 Mei 1925

I: Apakah pertanyaan Anda terakhir kali benar bahwa ide meminta bahan peledak kepada Kim Han untuk digunakan selama pernikahan Putra Mahkota muncul dari diskusi dengan Pak?
F: Benar.

I: Apakah benar bahwa Anda meminta bahan peledak kepada Kim Han juga dalam persiapan untuk pernikahan Putra Mahkota?
F: Aku mengetahui bahwa mereka akan mengadakan upacara pernikahan untuk pangeran kecil dalam waktu dekat. Di sekitar waktu tersebut, Pak pergi ke Gyeongseong untuk berkontak dengan Kim Han.

Aku ingat pada saat itu tanggal pernikahan pangeran kecil belum diputuskan dengan tegas. Bagaimanapun, aku sudah mengantisipasi prosesi pernikahan yang digelar dalam waktu dekat. Oleh karena itulah, seingatku, Pak pergi ke Gyeongseong. Jadi aku akan memiliki bom di waktu yang tepat untuk kesempatan prosesi yang luar biasa itu.

I: Apakah ada diskusi saat Anda dan Pak pergi ke Gyeongseong tentang ketepatan waktu upacara pernikahan?
F: Aku terus-menerus berbicara dengan Pak soal menghadiahi bom untuk pangeran muda saat upacara pernikahan Kekaisaran. Apakah itu sesuatu yang terjadi sebelum dia pergi ke Gyeongseong atau setelahnya, aku tidak bisa mengingat dengan jelas saat ini. Bagaimana pun, sejak pergi ke Gyeongseong, aku pikir menggunakan bom di acara pernikahan adalah yang terbaik, aku pikir Pak agaknya meminta Kim Han untuk memberi kami bom tepat waktu.

I: Setelah kembali dari Gyeongsang, apakah Pak memberitahu Anda bahwa dia telah berdiskusi dengan Kim Han soal bom di acara pernikahan?
F: Aku tidak mendengar dari Pak kalau dia melakukan percakapan seperti itu. Satu-satunya hal yang dia katakan kepadaku setelah kembali dari Gyeongseong adalah bahwa Kim Han akhirnya berbagi bom dengan kami.

I: Pada perkara itu, sejak Pak kembali dari Gyeongseong pada akhir 1922, apakah Anda mendiskusikan soal tidak bisa mendapat bom dari Kim Han karena insiden Kim Sang-ok[6], dan soal menggunakannya di upacara setelah Anda mendapat bom darinya pada akhir 1923?
F: Ada banyak percakapan antara aku dan Pak tentang menggunakan bom pada upacara itu, tetapi aku tidak punya ingatan pasti apakah itu terjadi pada saat itu atau tidak.

I: Bagaimana keterlibatan Anda dengan Kim Jun Han[7]?
F: Aku ingat dengan jelas saat itu ada pembicaraan dengan Pak tentang menggunakan bom saat prosesi pernikahan.

I: Kepada siapa anda akan melempar bom?
F: Kami akan senang selama kami membunuh pangeran kecil pada akhirnya.

Akan bagus juga membunuh Kaisar, tetapi prosesi merupakan kesempatan langka, dan Kaisar sedang sakit, sehingga nilai dari pernyataan yang kami buat akan berbeda dan tidak sepadan jika yang terbunuh adalah Kaisar, bukan pangeran kecil. Jadi kami menargetkan pangeran kecil.

I: Setelah Anda mendapat bomnya, siapa yang seharusnya melempar bom itu?
F: Tentu saja aku dan Pak, tetapi aku juga berpikir untuk meminta rekan-rekan lain seperti Niyama, Choi Gyujong, dan Yamamoto Katsuyuki untuk melakukannya.

Gagasan yang ada di kepalaku itu lantaran Niyama dan Yamamoto sudah mencemaskan masalah kesehatan dadanya untuk sementara waktu dan siap untuk mati, lalu Choi adalah tipe orang yang sekali bersemangat akan melakukan aksi langsung apa pun. Pak dan aku bisa membuat ketiganya berpencar dan melempar bom ke tempat-tempat seperti The Diet[8], Mitshukoshi[9], markas besar polisi, dan Istana Kekaisaran pada saat yang sama ketika kami melempar bom.

Namun, setelah Niyama jatuh dalam hubungan romantis dengan Kim Jun-han, kami merasa karakternya tidak cocok untuk aksi langsung semacam itu dan kami membatalkan rencana untuk melibatkan kawan-kawan kami.

I: Apakah melempar bom ke Yang Mulia Putra Mahkota satu-satunya tujuan Anda?
F: Pada akhirnya, kami akan senang hanya membunuh pangeran kecil, namun kalau bisa kami ingin membunuhnya bersama dengan Perdana Menteri dan penguasa politik lainnya. Tetapi, karena kami lambat mengambil kesempatan saat bom sudah ada di tangan kami— dan kami akan terlihat sangat bodoh jika ditangkap aparat sebagaimana aku duduk di sini—kami mempertimbangkan, jika benar-benar tidak punya kesempatan, mengarahkan pandangan pada rute pengiriman pesan, dan melempar bom saat peristiwa seperti perayaan May Day atau pembukaan the Diet.

I: Apakah Pak punya niat seperti Anda untuk melempar bom kepada Yang Mulia?
F: Ya, Benar.

I: Mengapa anda berbuat celaka seperti itu kepada Yang Mulia Putra Mahkota?
F: Aku telah berpikir mendalam sejak lama bahwa manusia setara. Setiap orang sebagai manusia semuanya harus setara. Tidak ada perbedaan antara bodoh dan pintar, atau kuat dan lemah. Sejak manusia secara alamiah ada di bumi, aku percaya bahwa semua manusia sepenuhnya bernilai setara dan, berdasarkan satu-satunya kualifikasi sebagai manusia, mereka harus menikmati sepenuhnya dan secara setara hak mereka beraktivitas sebagai manusia.

Pada intinya, semua tindakan yang telah, sedang, dan dapat dilakukan manusia dibangun atas dasar keberadaan mereka sebagai manusia. Oleh karena itu, menurutku, semua tindakan ini—yang dibangun di atas fondasi alam dan dikerjakan manusia di bumi—harus diakui sebagai aktivitas manusia yang setara dengan satu-satunya kualifikasi bahwa tindakan itu dilakukan manusia. Tetapi berapa banyak tindakan alami itu, sebagai keberadaan alamiah itu sendiri, yang ditolak dan dikendalikan atas nama hukum yang dibuat manusia. Betapa tidak setaranya situasi manusia dalam masyarakat ini, meski pada dasarnya mereka harus setara. Aku mengutuk ketidaksetaraan ini. Sekitar dua atau tiga tahun lalu, aku berpikir apa yang disebut bangsawan kelas atas[10] itu seperti ras yang aneh, diberkahi kondisi dan hakekat dalam segala hal yang berbeda dari yang disebut jelata. Kenyataannya, bahkan ketika melihat gambarnya di koran, kau bisa melihat bahwa yang disebut bangsawan sama sekali tidak berbeda dari warga yang jelata. Dengan dua mata, satu mulut, dua kaki untuk berjalan, dan tangan untuk bekerja, sepertinya mereka tidak kekurangan sedikit pun.

Sesungguhnya aku berpikir tidak mungkin anak cacat dengan berbagai kekurangannya bisa menjadi bagian dari kelas seperti itu.

Singkatnya, tentang pemahaman kelas keluarga Kekaisaran ini—pemahaman bahwa ketika kau berbicara tentang mereka maka kau secara naluriah merasa seperti sedang berbicara tentang orang-orang yang mulia dan tidak terjamah—adalah sesuatu yang kemungkinan telah tertanam di hati orang-orang. Dengan kata lain, hal-hal seperti negara dan penguasa Jepang sedikit banyak telah memanfaatkan pemahaman populer ini.

Sejak mula hal-hal seperti negara, masyarakat, bangsa dan penguasa hanyalah gagasan. Kendati demikian, untuk memberi proposisi para penguasa itu dengan keagungan, kekuatan politik, dan kesucian, di Jepang ini ada sesuatu yang merepresentasikan apa yang baru saja aku katakan: hak ilahi para raja. Siapapun yang lahir di tanah Jepang ditanamkan ide ini, bahkan kepada siswa sekolah dasar, untuk memberi kesan kepada orang-orang polos itu tentang gagasan semacam Kaisar adalah keturunan para dewa, atau haknya untuk memerintah sebagai sesuatu yang dianugerahkan lewat titah para dewa, atau Kaisar menjadi seorang yang mengendalikan kekuatan negara untuk mewujudkan kehendak para dewa, dan dengan demikian, hukum adalah kehendak para dewa: mereka melandaskan hal-hal ini dalam legenda-legenda ajaib, memuji dan menakzimkan hal-hal seperti cermin, pedang, dan permata[11] seolah pemberian para dewa, ini benar-benar memperdaya mereka. Orang-orang malang yang diperdaya tenggelam dalam legenda absurd ini, menganggap hal-hal seperti pemerintah dan Kaisar sebagai dewa luar biasa yang tak tertandingi, tetapi jika Kaisar adalah dewa itu sendiri atau keturunan para dewa, jika orang-orang berada di bawah semangat generasi penerus kaisar dewa ini, maka seharusnya tidak ada tentara Jepang yang mati di masa perang, tidak ada satupun pesawat Jepang yang jatuh dari langit, dan berapa puluh ribu orang yang setia dengannya tidak bisa mati di halaman belakang dewa itu sendiri akibat bencana seperti tahun lalu.[12]

Sayangnya, hal yang tidak dapat dipercaya itu yang menjadi kebenaran tak tergoyahkan, hak ilahi para raja tidak lebih dari sekedar waham, bukankah sudah terbukti dengan jelas bahwa legenda tersebut tidak berdasar? Dan, terlepas dari apakah Kaisar merupakan manifestasi kemahakuasaan dari para dewa dan pelaksanaan kehendak para dewa benar-benar ada di bumi atau tidak, bukankah beberapa anak manusia yang ada di bawahnya menangis kelaparan, mati lemas di tambang batu bara dan mati sengsara dihancurkan mesin? Dan, bukankah bukti ini sudah cukup bahwa Kaisar seonggok daging, seseorang yang dalam segala hal dengan yang disebut masyarakat umum, dan bahwa setiap orang harus setara dengannya? Bukankah, itu berlalu sama kepadamu, petuga? Aku diajari di sekolah dasar bahwa bahwa karena satu-satunya kebanggaan kita sebagai manusia adalah memiliki keberuntungan dilahirkan di negara yang tiada bandingnya ini, di mana kita hidup di bawah Kaisar yang menjadi bagian dari garis berkesinambungan dan tak terputus, kita harus menempatkan upaya kita untuk meningkatkan kemuliaan ini. Dan, sementara aku tidak tahu apakah keberadaan mereka dari satu garis keturunan itu benar atau tidak, dalam hal apa pun apakah suatu kehormatan besar untuk diperintah oleh satu garis keturunan? Aku pernah mendengar sebelumnya tentang seorang Kaisar yang tenggelam dan menjadi santapan ikan, namanya Antoku[13] atau semacamnya, yang mengemban tanggung jawab berkuasa atas Jepang pada usia tak lebih dari dua tahun. Apakah membanggakan manusia yang tidak cakap seperti itu sebagai penguasa benar-benar kemuliaan bagi yang diperintah? Sebaliknya, memberi kekuasaan untuk memerintah sekitar sepuluh ribu tahun garis kekaisaran, bahkan sebagai formalitas, adalah penghinaan terdalam orang-orang yang lahir di tanah Jepang, dan bukti kepandiran orang-orang Jepang.

Tragedi tahun lalu, di mana banyak orang mati terbakar hidup-hidup di sisi Kaisar yang saat ini masih bernafas, adalah sesuatu yang membuktikan bahwa dia sebenarnya hanya seonggok daging yang bodoh dan pada saat yang sama mencomooh kebodohan dan kenaifan orang-orang di masa lalu.

Sekolah pertama-tama berupaya untuk mengajari manusia yang eksis secara alami di bumi kata ‘bendera’ dan menanamkan semangat nasionalisme di dalamnya. Dan berbagai macam aktivitas yang semuanya didasarkan pada perbuatan manusia, semua itu, dibagi menjadi benar dan salah di bawah standar tunggal apakah mereka mendukung otoritas atau tidak. Dan standar itu adalah hukum dan moralitas buatan manusia.

Polisi, yang menjalankan hukum yang hanya mengajari jalan menuju kehidupan yang lebih baik bagi para pemenang di masyarakat dan tunduk pada otoritas, menghunuskan pedangnya dan mengancam tindakan-tindakan manusia, menangkap semua orang yang mereka khawatirkan akan mengguncang pilar kekuasaan dan, bam, merantai mereka semua. Dan para hakim, para pejabat terhormat itu, yang bertugas sebagai pelindung otoritas, membolak-balik buku hukum dan menjatuhkan keputusan sewenang-wenang atas tindakan manusia, mengasingkan diri mereka dari kehidupan manusia, bahkan menyangkal kemanusiaan mereka.

Seperti halnya saat Kekristenan mencapai puncaknya dan, demi melindungi kesuciannya, mereka melarang penelitian ilmiah karena takut mengguncang pilar keajaiban takhayul Tuhan dan tradisi lama yang mereka khotbahkan, hal-hal seperti kesucian Negara atau kekudusan Kaisar juga fana, dan kekerasan digunakan untuk menindas gagasan-gagasan dan argumen yang akan mengekspos mereka sebagai tak lebih dari ilusi.

Jadi bumi saat ini tengah diduduki dan diinjak-injak oleh iblis yang disebut kekuasaan karena kehidupan yang menurut kodratnya dapat dinikmati oleh manusia, yang merupakan eksistensi alami di bumi, hanya diperbolehkan jika mereka memenuhi misi melayani kekuasaan.

Dan perwakilan iblis yang disebut kekuasaan, yang menginjak-injak kehidupan manusia di bumi yang seharusnya semua setara, adalah Kaisar dan Putra Mahkota. Semua alasan untuk menargetkan pangeran kecil yang telah aku sampaikan tadi berasal dari gagasan ini.

Dan untuk para representasi kekuasaan—yang menginjak-injak kehidupan manusia secara alami setara di bumi, mereka yang gumpalan dagingnya sama dengan tanah, mereka yang disebut Kaisar dan Putra Mahkota—mereka telah menipu orang-orang miskin untuk memberi mereka kesucian yang berlebihan dan superioritas yang tak terbantahkan, sementara orang-orang miskin itu dieksploitasi. Dan di situlah aku ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa orang-orang yang membuat mereka terkesan sebagai kekuatan suci yang tak dapat disentuh—Kaisar dan Putra Mahkota, yang sebenarnya hanyalah daging di antara gumpalan daging—tidak lain hanya boneka: untuk menunjukan kepada mereka yang tak tereksploitasi bahwa Kaisar dan Putra Mahkota tidak lebih dari wayang dan boneka tolol yang digunakan segelintir orang yang memiliki hak istimewa, dan melalui hal ini aku ingin menunjukan bahwa tumpukan tradisi lama yang menganugerahkan Kaisar dengan keilahian adalah takhayul kosong belaka. Untuk menunjukkan bahwa—karena omong kosong bangsa Jepang yang dianggap sebagai tanah para dewa ini tidak lebih dari sistem provosional untuk meningkatkan keuntungan pribadi segelintir orang—ideologi pengorbanan diri untuk bangsa yang disebut ‘kesetiaan dan patriotisme’ yang dimuliakan dan dipropagandakan, dan bahkan dianggap sebagai slogan nasional, sebenarnya tidak lebih dari keinginan kejam untuk mengorbankan nyawa orang lain demi keuntungan segelintir orang itu, yang dibungkus dengan kata sifat yang cantik sebagai sarana untuk memanjakan kepentingan diri mereka. Aku menargetkan pangeran kecil untuk memperingatkan orang-orang bahwa menerima bulat-bulat hal tersebut berarti setuju untuk menjadi budak dari segelintir orang yang memiliki hak istimewa; untuk memberitahu orang-orang bahwa fondasi moralitas altruistik yang dituntut Konfusianisme sebagai keyakinan hidup yang dipegang orang-orang Jepang hingga saat ini—moralitas budak yang menundukkan hati orang-orang hari ini, dan bahkan membuat mereka diperintah dalam bertindak—sebenarnya adalah ilusi yang muncul dari rekaan belaka, hanya khayalan kosong; dan untuk membiarkan mereka memahami itu, membuka mata mereka untuk melihat bahwa mereka harus bertindak sepenuhnya atas diri mereka sendiri, bahwa mereka sendiri yang mengadakan alam semesta ini, dan dengan demikian, setiap ‘sesuatu’ ada untuk mereka dan segala sesuatu harus dilakukan untuk mereka.

Mengenai pemikiran-pemikiran yang menjadikan diriku sebagai objeknya, yang mengacu pada ideologi nihilistikku, sudah aku bicarakan secara detail sebelumnya. Untuk mengikuti rencanaku sampai pada simpulan logisnya tujuan negatinya adalah menegasi hidupku sendiri: dan yang positifnya, tujuan dan akhir dari inti dari rencana itu sendiri, adalah penghancuran semua kekuasaan di bumi.

Inilah mengapa aku menargetkan pangeran kecil.

I: Bagaimana kesehatan fisik Anda?
F: Kesehatanku? Sudah diputuskan sejak lama.

I: Apakah Anda sudah mereformasi diri?
F: Aku sama sekali tidak melakukan apa pun yang perlu aku sesali. Memang kau bisa mengatakan bahwa gagasan dan tindakanku, rencanaku, semuanya buruk karena akan menyebabkan masalah bagi orang lain, tetapi pada saat yang sama itu adalah hal-hal yang darinya aku mendapat kebaikan.

Menilai hal-hal berdasarkan minatmu tentu tidak buruk; itu adalah sifat alami manusia, kondisi untuk hidup. Jika menilai hal-hal berdasarkan minatmu itu buruk, kesalahannya adalah kenyataan bahwa manusia itu sendiri hidup. Bagiku, hal-hal yang menguntungkanmu adalah baik, dan hal-hal yang merugikanmu adalah buruk.

Tetapi aku tidak melakukan rencana ini karena itu baik. Aku melakukannya hanya karena aku menginginkannya. Seperti halnya aku tidak peduli bagaimana aku dikecam sebagai jahat oleh orang lain, jika aku tidak ingin melakukan sesuatu maka tidak aku lakukan, tidak peduli bagaimana kau mungkin menyanjungku sebagai baik: aku tidak tersesat dari jalanku.

Aku akan terus melakukan sesuatu karena aku ingin. Aku tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi, tetapi apa yang pasti adalah selama aku berada di atas tanah aku akan hidup untuk saat ini, mengejar hal-hal yang paling aku ingin lakukan dari yang satu ke yang lainnya.


18 Juli 1925
Catatan Interogasi Pertama[14], Penjara Ichigiya, 18 Juli 1925.

Mengenai kasus di atas, terdakwa didakwa dengan Pasal 73[15] serta melanggar Undang-Undang Pengendalian Bahan Peledak, Interogasi berikut terjadi di Penjara Ichigiya pada 18 Juli 1925, dilakukan dengan Hakim Tematsu Kaisei dari Pengadilan Banding Tokyo, dakwaan dengan sidiang pendahuluan di bawah kuasa istimewa Mahkamah Agung, dan dihadiri Sekretaris Okuyama Gunji dari pengadilan yang sama.

I: Nama Anda?
F: Fumiko Kaneko.

I: Usia?
F: Secara resmi aku berusia 24 tahun, meskipun berdasarkan ingatanku 22 tahun. Tetapi sejujurnya aku tidak memercayainya. Dan, terlebih lagi, aku tidak perlu percaya. Tidak masalah berapa usiaku, itu tidak ada hubungannya denganku yang menjalani hidupku saat ini.

I: Kelas Anda?
F: Seorang jelata keturunan Tuhan[16]

I: Bagaimana pekerjaan Anda?
F: Pekerjaanku meruntuhkan semua yang ada saat ini.

I: Tempat tinggal?
F: Penjara Tokyo.

I: Alamat tetap?
F: Prefektur Yamanashi, Distrik Higashi-Yamanashi, Desa Suwa, 1236 Somaguchi.

I: Tempat Lahir?
F: Kota Yokohama.

I: Apakah Anda memiliki pangkat, tanda jasa, untuk lencana dalam dinas militer, pengunduran diri, pensiun, atau kantor publik?
F: Kau tidak bisa memberiku semua itu, dan bahkan jika kau bisa, aku tidak akan mengambilnya.

I: Apakah Anda pernah dipenjara oleh suatu hal?
F: Aku akan segera mendapatkannya, bukan?

I: Apakah Anda sudah membaca dokumen resmi perubahan yurisdiksi untuk Anda dan para terdakwa lainnya?
F: Sudah

I: Apakah ada perbedaan fakta yang tercatat oleh dokumen itu?
F: Tidak ada.

I: Dalam hal tersebut, apakah Anda punya komentar tentang Jaksa Agung yang menuntut Anda dan Pak Junsik[17] dengan cara ini serta meminta sidang pendahuluan dari Mahkamah Agung? [Saat itu juga hakim mulai membacakan ‘Dakwaan Permohonan Sidang Pendahuluan’.]
F: Tidak ada.

I: Dan terkait saya melakukan sidang pendahuluan atas perintah Ketua Mahkamah Agung?
F: Tidak keberatan.

I: Apakah ada kesalahan dalam apa yang Anda katakan pada sidang pendahuluan di Pengadilan Distrik Tokyo atas Pelanggaran Undang-Undang Polisi Keamanan dan Undang-Undang Pengendalian Bahan Peledak?
F: Tidak ada.

Membungkuk menonton orang-orang dari balik pahaku ini raut dunia yang perlu kulihat, jungkir balik.

– Fumiko Kaneko

Referensi

  • Hane, Mikiso. Reflections on the Way to the Gallows: Rebel Women in Prewar Japan. University of California Press, 1988.

  • Kurihara, Yasushi, Kuruizake, Freedom: Anarchism Anthology. Chikuma Shobou, 2018.

  • Raddeker, Helene Bown. Treacherous Women of Imperial Japan: Patriarchal Fictions, Patricidal Fantasies. Routledge, 1997.

[1] Raddeker, Helene Bowen, Anarchist Women of Imperial Japan: Lives, Subjectivities, Representations, Anarchist Studies, Vol 24 No. 1

[2] Tanka adalah bentuk syair pendek asal Jepang yang terdiri dari lima baris dengan struktur polamora 5-7-5-7-7 secara berurutan—Penerj.

[3] Viscera Print Goods & Ephemera adalah distro anarkis yang berbasis di Philadelphia dan secara umum beroperasi di wilayah Mid-Atlantic dan New England—Penerj.

[4] Catatan Interogasi Pengadilan Distrik Tokyo, 22 November 1923.

[5] Setouchi Harumi, ed., Jinbutsu Kindai Joseishi, Onna no Ishhō, Hangyaku no Onna no Roman, Tokyo, Kōdansha, 1980, VI: 168-69.

[6] Sang-ok, seorang anggota perlawanan terhadap pendudukan Jepang di Korea, melempar bom ke Kantor Polisi Jongno di Seoul pada Januari 1923. Ia tewas dalam baku tembak dengan polisi beberapa hari kemudian.

[7] Rekan Fumiko dan Pak. Mereka tergabung bersama dalam sejumlah kelompok radikal dan kemungkinan berpisah karena selisih pendapat antara Jun-han dan Pak pada Agustus 1923.

[8] Sebutan untuk gedung parlemen di Jepang—Penerj.

[9] Jaringan department store Jepang.

[10] Masyarakat Meiji terbagi menjadi posisi kelas formal bangsatwan, yakni mereka yang berasal dari keluarga samurai, dan rakyat jelata.

[11] Benda-benda yang dikenal sebagai Tiga Harta Karun Suci (sanshu no jingi). Menurut legenda, barang-barang ini dibawa ke bumi oleh nenek moyang dari garis kekaisaran Jepang.

[12] Gempa Besar Kanto tahun 1923, di mana lebih dari 140.000 orang diperkirakan tewas, banyak di antaranya terbakar dari kebakaran akibat gempa tersebut.

[13] Nenek Antoku, Taira no Tokiko, menenggelamkan diri bersama Antoku (1178-1185) di laut saat Pertempuran Dan-no-ura ketimbang mengambil risiko ditangkap.

[14] Ini adalah interogasi pertama sejak Fumiko didakwa dengan tuduhan tambahan.

[15] Kejahatan pengkhianatan tingkat tinggi di bawah kitab undang-undang hukum pidana era Meiji.

[16] Raddeker memandang ini sebagai provokasi terhadap status ketuhanan Kaisar (h.234)

[17] Nama lahir Park Yeol