Tulisan ini merupakan gambaran tentang dampak dan penyebab mogok buruh dan kerusuhan di Cina selama 10 tahun terakhir, dan bagaimana hal yang didukung oleh sejumlah kaum kiri dan LSM ternyata tidak cukup untuk memajukan perjuangan kelas di negara tersebut.

1. Pengantar

Perjuangan sosial di tempat kerja dan di tempat lain di Cina telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Karena dibatasi oleh represi negara dan kapitalis, perjuangan ini berlangsung tanpa perwakilan serikat buruh yang efektif. Karena menghadapi momok krisis dan kerusuhan sosial, kapital dan negara mengorganisasi ulang strategi tandingannya yang represif dan memperkenalkan bentuk mediasi untuk mengontrol kembali proses rekomposisi kelas. Sementara itu, aktivis buruh dan akademisi sayap kiri yang mendukung perjuangan buruh di Cina mendorong pembentukan serikat-serikat ‘independen’, yang mengikuti narasi besar kaum kiri, yaitu peningkatan kekuatan kelas lewat perwakilan pekerja dalam negara kapitalis. Dengan cara itu, LSM dan kaum kiri ini mengambil risiko: melegitimasi ulang struktur kapitalis (yang direformasi). Untuk memahami potensi perjuangan sosial dan keputusan strategis pihak yang terlibat, kita harus melihat dinamika sejarah perubahan sosial, khususnya, peran perwakilan (serikat buruh) dan kekuatan-kekuatan kapitalisme yang berfungsi untuk mengintegrasikan dan mempasifkan perjuangan di negara tersebut. Tulisan ini berpendapat bahwa bentuk-bentuk pengorganisasian buruh yang otonom di Cina dapat menggunakan potensinya untuk menciptakan perubahan sosial yang mendalam sambil menghindari kesalahan yang dilakukan oleh gerakan di tempat lain.

2. Kondisi Global

Sebagai hasil perjuangan global di tahun 1960-an dan 1970-an serta krisis ekonomi, kapital mengubah strategi Keynesiannya di seluruh dunia dan melancarkan serangan balasan, misalnya melalui kebijakan penghematan, pemotongan upah, dan relokasi industri. Relokasi industri ini menyebabkan proses dan daerah industrialisasi baru, migrasi desa-kota yang masif, dan proletarisasi di beberapa bagian dunia, khususnya di Asia Timur. Di negara-negara tua yang merupakan ‘inti’ kapitalis, negara-negara yang dulu merupakan negara sosialis di Eropa Timur, serta beberapa negara berkembang, kelas-kelas pekerja lama yang memiliki kontrak kerja dan tunjangan yang relatif aman kini diserang[1] dan kelas pekerja baru yang kondisi tenaga kerjanya relatif sulit pun terbentuk. Namun, baik serangan terhadap komposisi kelas yang lama maupun pembentukan industri-industri dan rantai produksi global baru tetap saja tak dapat menyelesaikan masalah kapital. Dalam hal ini, krisis di akhir tahun 2000-an merupakan perpanjangan krisis tahun 1970-an. Hanya dua tahun setelah pecahnya krisis global pada tahun 2008, kita menyaksikan gelombang pemberontakan, mogok dan bentuk perlawanan lainnya di seluruh dunia. Secara keseluruhan, ada lebih banyak kerusuhan saat ini daripada di akhir 1960-an dan awal 1970-an, yang merupakan fase terakhir dari gelombang pemberontakan sosial global semacam itu.[2] Dalam banyak perjuangan yang terjadi baru-baru ini, aktivitas akar rumput, swaorganisasi dan amarah sosial mendorong terciptanya proses-proses sosial yang lebih partisipatoris dan egaliter, misalnya, pada tahun 2011 selama pemberontakan Arab, gerakan Spanyol M15, pemberontakan Yunani, dan gerakan Occupy. Pada saat yang sama, kaum “kiri” yang terlembagakan—yang sering ingin mendapatkan fungsi dan peran dalam aparatus negara—terus menampakkan minat dan potensinya untuk kembali melegitimasi negara yang direformasi dan struktur kapitalis yang diorganisasi ulang. Tanggapan yang serba negarawi ini menambah kelemahan organisasional dan struktural dalam perjuangan, dan mempersempit ruang untuk membangun masa depan dalam masa kini: revolusi sosial.

3. Rekomposisi di China

Di Cina, krisis sistem ‘sosialis’ memuncak pada tahun 1970-an. Gelombang perjuangan dan balasan serangan kapitalis di seluruh dunia pada periode yang sama mendorong koalisi yang sebelumnya tidak mungkin terjadi antara Partai Komunis Cina (PKC) dengan kapital swasta dan negara. Reformasi yang dimulai pada tahun 1970-an membuat Cina menjadi ‘pabrik dunia’ pada akhir tahun 1990-an. Kelas pekerja tua mengalami dekomposisi lewat restrukturisasi dan penciutan industri-industri negara dan penghancuran ‘mangkuk nasi besi’—seperangkat jaminan sosial bagi pekerja perkotaan. Sementara itu, industrialisasi dan migrasi desa-kota membentuk pasar tenaga kerja yang tersegmentasi dan kelas pekerja migran yang jumlahnya besar, yaitu 200 hingga 300 juta, yang dieksploitasi oleh kapital asing dan Cina dan dikendalikan serta direpresi oleh negara melalui langkah-langkah pengendalian politik dan sosial yang ketat.

Sampai sekarang, proses proletarisasi kaum migran belumlah selesai, karena undang-undang pendaftaran rumah tangga (hukou) tidak memungkinkan migran untuk menetap di kota. ‘Pembebasan lahan’ yang menyebabkan petani di seluruh dunia telah kehilangan tanahnya dan harus bermigrasi dan menjual tenaga kerjanya di tempat-tempat kerja kapitalis baru tidak terulang di Cina dengan cara yang sama. Sebaliknya, bagi mayoritas pekerja migran di Cina, proses kembalinya mereka ke desa dan petak tanahnya dihadang oleh kenyataan rendahnya penghasilan di pedesaan, pengangguran, kurangnya kesempatan, dan pilihan subjektif untuk memilih kehidupan kota yang ‘modern’.[3]

4. Perjuangan-Perjuangan Baru

Industrialisasi, migrasi, dan proletarisasi telah mengubah lanskap sosial di Cina. Seperti di tempat lain, migrasi adalah proses mobilitas paksa demi tujuan kapitalis (untuk melakukan kerja upahan atau tanpa upah jika kapital membutuhkannya), tetapi migrasi juga mencakup unsur-unsur mobilitas buruh yang otonom untuk lari dari kesengsaraan, eksploitasi, dan patriarki di daerah asal. Di Cina, migrasi telah memicu pertempuran lapangan yang masih berlangsung dalam seluruh hubungan sosial berbasis jenis kelamin, generasi, dan kelas yang berjuang untuk mendapatkan lebih banyak kebebasan sosial dan kontrol atas hidupnya.[4] Mayoritas perjuangan sosial yang terjadi di Cina dalam dua dekade terakhir berpusat di sekitar isu-isu perburuhan, korupsi, perampasan tanah, atau isu-isu lingkungan, dan perjuangan sosial tersebut dipimpin oleh pekerja perkotaan dan migran, petani, dan bahkan ‘kelas menengah’. Pada akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an, kelas pekerja tua membangun perjuangan besar melawan PHK dan memburuknya kondisi-kondisi hidup. Namun, hal tersebut hanya bisa menunda prosesnya, bukan mencegahnya. Pada periode yang sama, petani-petani berperang melawan negara yang korup dan pejabat-pejabat partai, pencurian tanah, dan pajak yang tinggi, sehingga memaksa negara untuk menurunkan pajak, tetapi tetap menyisakan banyak masalah di pedesaan.

Perjuangan para buruh migran baru yang menuntut perbaikan ekonomi meningkat sepanjang tahun 2000-an dan mencapai puncaknya pada tahun 2010.[5] Hal ini digambarkan sebagai “perjuangan kelas tanpa organisasi kelas”[6] karena ia berbasis kelas, tapi terorganisasi secara otonom, yaitu tanpa organisasi-organisasi buruh yang terlembagakan. Kerusuhan yang terjadi mencakup bentuk-bentuk perjuangan ilegal seperti pemogokan liar oleh para pekerja industri di tempat-tempat kerja berskala menengah atau besar, kerusuhan besar yang melibatkan proletariat migran (upahan dan non-upahan), demonstrasi, aksi duduk, dan blokade jalan, serta berbagai bentuk perlawanan sehari-hari di tempat kerja seperti pelambatan pekerjaan dengan sengaja, banyaknya buruh yang mangkir kerja, atau sabotase.[7] Baru-baru ini, perjuangan pekerja yang lebih besar ramai di pusat-pusat industri baru utama di sepanjang pantai timur Cina (Delta Sungai Mutiara, delta Yangtze, dan Beijing/Tianjin), dan juga membanjiri jalur relokasi industri menuju zona pedalaman baru seperti Chongqing, Zhengzhou dan Chengdu.

5. Mengubah Pola

Dengan meningkatnya jumlah perjuangan, isi, pola, dan bentuk organisasinya pun berubah. Pada paruh pertama tahun 2000-an, sebagian besar perjuangan tersebut dilakukan untuk mempertahankan standar-standar dasar atau melawan pelanggaran hak asasi, dan didasarkan pada bentuk kekerabatan antar organisasi sosial. Perjuangan ini biasanya terbatas pada satu perusahaan saja (satu desa, satu lingkungan, dll.) dan keterbatasan ini disebut “aktivisme seluler”.[8] Di paruh kedua tahun 2000-an, lebih banyak perjuangan mengangkat tuntutan ofensif tentang perbaikan ekonomi, menggunakan organisasi sosial di luar kekerabatan, dan terbukti menular, yang mendorong aksi tiruan, mogok-mogok yang menjalar seperti efek domino, partisipasi yang lebih banyak, bentuk demokrasi dari bawah ke atas dan koordinasi oleh semakin banyak pekerja militan dan jaringan aktivis yang berpengalaman.[9] Tempat kerja serta asrama dan desa-desa pekerja migran di luar zona pabrik dan lokasi konstruksi menjadi situs pengorganisasian sosial bagi perjuangan ini. Pekerja terampil, mandor laki-laki dan mandor perempuan memainkan peran penting dalam banyak perjuangan dengan menggunakan kemampuan dan posisinya untuk mengorganisasi protes. Dalam kasus tertentu, mereka yang dikenal sebagai pengacara dan jurnalis ‘warga’, seringkali merupakan (mantan) pekerja migran, memperoleh keterampilan hukum dan lainnya dengan mendukung pekerja dalam perjuangannya melawan perusahaan dan membantu menyebarkan informasi dan pengalaman.[10]

6. Generasi-Generasi Baru

Pekerja saat ini lebih mampu mengatasi persoalannya sendiri, percaya diri dan kompeten untuk melancarkan protes dan mogok. Ini terhubung dengan keberlanjutan generasi sosial pekerja migran yang berbeda. Generasi pertama bermigrasi ke zona perkotaan pada tahun 1980-an dan 1990-an, tidak memiliki pengalaman kerja industri dan kehidupan kota, dan berencana untuk kembali ke desa. Generasi ini hanya melancarkan insiden pergolakan buruh yang terisolasi. Generasi kedua, bermigrasi di akhir tahun 1990-an dan 2000-an, telah mengetahui pengalaman orang lain di kota. Generasi ini belum belajar bertani, ingin menetap di kota, dan mampu menggunakan internet dan ponsel untuk pengorganisasian sosial. Seperti kasus industrialisasi dan migrasi lain di seluruh dunia, adalah generasi kedua yang mulai melancarkan protes dan mogok.[11] Kita sekarang melihat generasi ketiga yang tidak ingin melakukan kerja industri lagi tapi mendapatkan pekerjaan kerah putih. Mereka bermimpi memiliki bisnis sendiri, mampu membeli mobil dan gadget elektronik, dan punya waktu untuk keluarga dan rekreasi. Beberapa dari mereka berhasil melakukan mimpi mereka, sementara mayoritasnya tetap melarat dengan pekerjaan upah rendah di pabrik-pabrik, di lokasi konstruksi, di toko-toko, restoran, sebagai pembantu rumah tangga atau penjaga keamanan. Pengalaman ini menyebabkan kekecewaan, ketidakpuasan, dan amarah. Hari ini, banyak pekerja migran dari generasi kedua dan ketiga melihat mobilisasi sosial, termasuk mogok, sebagai bentuk perlawanan yang sah. Pengetahuan tentang pengorganisasian protes telah menyebar di lingkungan hidup mereka lewat kelompok-kelompok pekerja dan aktivis militan. Ini tidak berarti bahwa mereka semua mengatasi fragmentasi sosial yang mereka alami dan terlibat dalam perjuangan kolektif – tetapi banyak hal yang berhasil dilakukan daripada sebelumnya.

7. Strategi negara dan kapital

Perjuangan baru tersebut merupakan ancaman baik terhadap rezim PKC maupun pembagian kerja global. Model pekerja murah sebagai mesin peledak profit Cina dan tulang punggung produksi global menghasilkan produk konsumen murah untuk wilayah dunia lainnya dan memungkinkan negara-negara inti untuk terus maju dengan program penghematan dan pemotongan upah. Sekarang hal tersebut mungkin berakhir. Strategi utama negara dan kapital untuk menghadapi momok perjuangan kelas pekerja telah berbuah ‘perbaikan ruang’ untuk lari dari perjuangan tersebut, yaitu relokasi pabrik ke pedalaman Cina (atau negara-negara seperti Vietnam). Strategi ini hanya berhasil sebagian karena ada peningkatan perjuangan buruh di pusat-pusat industri baru di tahun-tahun terakhir. Negara juga meluncurkan serangan terhadap pekerja untuk melemahkan perjuangan mereka melalui (1) penegakkan pembagian internal pekerja melalui undang-undang migrasi dan pemisahan pasar tenaga kerja berbasis gender; (2) represi oleh lembaga negara termasuk penangkapan orang-orang yang disebut sebagai pemimpin kelompok dan serangan polisi terhadap para demonstran. Pada saat yang sama, negara mencoba untuk meredakan ketegangan sosial lewat (3) intervensi langsung ke dalam konflik yang berpotensi mendestabilisasi sistem melalui berbagai lembaga negara, yaitu pemerintah daerah dan biro tenaga kerja, lewat taktik-taktik seperti intimidasi dan penangkapan hingga janji-janji dan kompensasi tunai; dan lewat (4) penyaluran keluhan pekerja lewat undang-undang tenaga kerja dan mediasi di tempat kerja, yaitu jalur yang jadi ritual bagi keluhan dan tuntutan pekerja yang berfungsi untuk membuat konflik menjadi masalah perorangan dan melemahkan pekerja-pekerja yang mengalami konflik.

8. Peran Umum Serikat

Semua bentuk ini memainkan peran dalam menghambat perjuangan buruh tetapi tidak mencegah pemberontakan yang terjadi baru-baru ini seperti gelombang mogok tahun 2010 dalam industri otomotif. Akibat berhadapan dengan protes yang lebih banyak, negara ingin membangun katup-katup pengaman lebih lanjut untuk menyalurkan tekanan sosial. Salah satu fokusnya adalah dengan menjadikan serikat sebagai kekuatan mediasi (selama dan di luar perundingan bersama) yang dapat membantu manajemen perusahaan dan negara untuk mengontrol ketidakpuasan pekerja. Serikat pekerja tidak dapat dipahami sebagai strategi ‘dari atas’ saja atau sebagai organisasi ‘dari bawah ‘ semata. Secara historis, serikat pekerja didasarkan pada ketidakpuasan pekerja dan kesediaan pekerja untuk mengungkapkannya. Serikat mencoba untuk mewakili kekuatan pekerja dan menggunakan kemampuan mereka untuk menghentikan produksi atau menolak bekerja dalam negosiasi untuk mendapatkan kesepakatan yang baik: upah yang lebih tinggi, keamanan kerja dll. Serikat berfungsi sebagai badan mediasi antara kapital dan pekerja—dalam kerangka kapitalis namun tidak melampauinya—dan karenanya memerlukan niat baik dari kubu-kubu yang bertentangan untuk mematuhi kesepakatan yang dicapai. Supaya tetap diterima oleh kapital, serikat-serikat ini harus membuktikan kemampuannya untuk mengontrol aktivitas pekerja independen yang tidak diinginkan; untuk memelihara rasa percaya dari para pekerja, serikat-serikat ini harus menunjukkan keterbukaan mereka terhadap masalah buruh dan menghasilkan sejumlah keberhasilan dalam proses perundingan bersama. Namun, selama pekerja lemah, kapital dapat berpikir bahwa perwakilan dan serikat tidaklah diperlukan dan ongkosnya terlalu mahal; tetapi ketika pekerja kuat dan perjuangan pekerja menghambat produksi dan mengancam kedamaian sosial, manajemen sering meminta kehadiran perwakilan pekerja dari tempat kerja atau serikat-serikat yang diakui secara resmi.[12]

9. Matinya Ruang Terbuka Serikat

Organisasi-organisasi pekerja independen direpresi di Cina, dan Federasi Serikat Pekerja Seluruh Cina (ACFTU) yang resmi berhubungan erat dengan PKC yang berkuasa dan menentang militansi buruh. Karena keterlibatannya dengan negara dan kapital, serikat-serikat ACFTU tidak diterima oleh pekerja sebagai badan perwakilan mereka, dan tidak dapat secara efektif campur-tangan dan menengahi perjuangan buruh. Oleh karena itu, pekerja memiliki ruang tertentu untuk melakukan pengorganisasian dan berjuang secara mandiri. Perjuangan tersebut mendorong konsesi seperti peningkatan kondisi kerja dan upah, dan telah memperluas ruang untuk kegiatan sosial yang melawan negara yang represif sehingga PKC melihatnya sebagai ‘ancaman bagi stabilitas sosial’ (yang berarti ancaman terhadap aturan PKC sendiri).

Untuk merusak bentuk otonom pengorganisasian pekerja, PKC membutuhkan struktur serikat efektif yang dikendalikan oleh negara, sehingga PKC mulai memperbolehkan sedikit reformasi dalam ACFTU seperti eksperimen lewat perundingan bersama dan lebih banyak partisipasi pekerja di tingkat serikat perusahaan—seperti yang terjadi dalam perjuangan yang paling menonjol selama beberapa tahun terakhir: pada tahun 2010 setelah mogok di pabrik Honda di Foshan, dan pada tahun 2013 setelah berbagai perjuangan di berbagai pabrik Foxconn.

Namun, negara menghadapi dilema karena ada kemungkinan bahwa sikap pemerintah yang lebih toleran terhadap segala jenis pengorganisasian pekerja akan mendorong protes yang lebih kolektif dan menyebabkan lebih banyak koordinasi dan tuntutan perubahan politik, dan mungkin akan sulit bagi pemerintah untuk menghentikan proses tersebut. Oleh karena itu, sangat diragukan untuk saat ini apakah negara akan melangkah terlalu jauh hingga melegalkan mogok (yang dipimpin oleh serikat).

10. Narasi Besar Kaum Kiri

Strategi terhadap perjuangan pekerja dirancang oleh lembaga negara dan kapital, tetapi ketika menyangkut integrasi dan serangan terhadap perjuangan, negara dan kapital sering mengandalkan kolaborasi kekuatan ‘kaum kiri’ dari dalam dan luar kelas pekerja.

Di Cina, beberapa aktivis buruh, pejabat LSM, dan akademisi mendukung (1) pembentukan serikat ‘independen’, atau (2) reformasi ACFTU sehingga dapat memenuhi fungsi sebagai badan perwakilan pekerja.[13] Ironisnya, kedua proposal tersebut dipromosikan oleh kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan: kelompok yang ingin mempasifkan perjuangan, beberapa bahkan mengatasnamakan ‘masyarakat harmonis’ ala PKC, dan kelompok-kelompok yang ingin meningkatkan tensi perjuangan – tapi keliru menafsirkan bahwa serikat-serikat pekerja tersebut merupakan organisasi yang memperkuat kekuatan pekerja .

Mengapa kelompok yang kedua membuat kesalahan tersebut? Dalam 150 tahun terakhir, kapitalisme sebagai hubungan sosial telah terbukti sangat fleksibel dalam beradaptasi dengan dan mengintegrasikan konflik sosial, sehingga sistem dapat distabilkan dan perubahan mendasar dapat dicegah. Kapitalisme sering berhasil mengintegrasikan kekuatan-kekuatan kiri yang mengikatkan mobilisasi kelas pekerja pada bentuk-bentuk borjuis pemerintahan dan ideologi kapitalis tentang kemajuan dan modernitas. Kekuatan-kekuatan ini sering mengikuti narasi besar kaum kiri yang menyatakan perlunya revolusi borjuis sebelum revolusi proletar, pembentukan ‘organisasi-organisasi kelas’ seperti serikat (untuk “perjuangan ekonomi”) dan partai pekerja (untuk “perjuangan politik”), yang merebut kekuasaan negara, dan membentuk negara pekerja selama fase transisi.

Narasi ini didasarkan pada komposisi kelas tertentu khususnya di Jerman pada akhir abad ke-19 dan awal ke-20, yang membentuk doktrin utama kiri, Sosial Demokrat dan Marxisme-Leninisme (seberapapun berbedanya doktrin utama ini). Pada intinya, narasi ini berfungsi sebagai ideologi pembangunan kapitalis lewat industrialisasi, proletarisasi (Tayloris), pemerintahan yang kurang lebih ‘demokratis’ atau otoriter.[14] Hari ini, setelah runtuhnya sosialisme abad ke-20 yang didasarkan pada sistem kelas yang birokratis dan represi politik serta partisipasi sosial-demokratis dalam pemerintahan demokratis kapitalis barat, keduanya tampak usang sebagai kerangka politik yang berguna bagi perubahan sosial, tetapi narasi ini masih sangat hidup sebagai strategi politik di kalangan kaum kiri saat ini dan kelompok-kelompok lobinya.

Di Cina, narasi besar kaum kiri ini atau variasi-variasinya dipromosikan tidak hanya oleh minoritas ‘kiri’ dalam PKC yang ingin merevitalisasi negara pekerja Maois tersebut, tetapi juga oleh sejumlah ‘kiri ‘ oposisi yang mendukung mobilisasi dan mogok pekerja, yaitu akademisi LSM buruh tertentu, kelompok-kelompok (neo) Maois, akademisi kiri dll.

11. Kritik Praktis Dalam Perjuangan

Banyak pemberontakan dan gerakan sejak 1960-an menjadi kritik praktis atas narasi besar kaum kiri ini, atas ‘sosialisme yang benar-benar ada’ dan Sosial Demokrat. Pemberontakan dan gerakan ini mendorong bentuk-bentuk kolektivitas dan pemberdayaan diri yang dikelola sendiri untuk melawan ketidakmampuan serikat atau pejabat partai, dan telah mendorong inisiatif egaliter untuk melawan pembagian pekerja yang mencakup gender, ‘ras’, atau keterampilan. Selain itu, gerakan-gerakan ini menolak keterikatan pada kekuasaan negara serta nasionalisme ‘kiri’ dan memilih perspektif global atas perubahan sosial.

Ini adalah elemen hidup dari banyak perjuangan, baru-baru ini selama gerakan-gerakan majelis rakyat di alun-alun kota di Spanyol dan Yunani serta gerakan Occupy. Namun, unsur-unsur ini tidak mencegah pemulihan sistem setelah perjuangan terjadi dan stabilisasi sistem eksploitatif ini. Misalnya, meskipun terdapat mobilisasi kelas pekerja yang masif, pemberontakan di Yunani berulang kali disalurkan ke dalam organisasi-organisasi formal dan pemilu-pemilu ‘demokratis’.

Aktivis memainkan peran dalam kegagalan ini karena mereka mempromosikan taktik reformis dan menjunjung tinggi berhala perwakilan berbentuk organisasi formal besar, meskipun tidak ada bukti sejarah yang mendukung gagasan bahwa organisasi pekerja formal merupakan prasyarat bagi perlawanan pekerja yang efektif. Serikat-serikat atau partai-partai pekerja biasanya didirikan setelah periode militansi. Mereka mewujudkan penyaluran konflik ke dalam organisasi-organisasi, yang sering menyebabkan hilangnya solidaritas praktis ketimbang penguatannya. Konflik dipisahkan dari orang-orang yang langsung terkena dampak dan terlibat, dicerabut dari tempat kerja dan dari jalanan, dan ‘diselesaikan’ di meja-meja negosiasi dan lewat kotak suara.[15]

Namun, kritik terhadap represi atau penyaluran perjuangan lewat ‘perbaikan kapitalis’ ini atau pelemahannya akibat strategi kaum kiri tidaklah cukup. Perjuangan belum tentu menuju ke revolusi jika tidak ada intervensi ‘kiri’. Represi negara dan strategi negara untuk memecah-belah dan menyalurkan gerakan memiliki dampak, dan, tentu saja, kelemahan-kelemahan internal memainkan peran, yaitu kontradiksi masalah yang ada di dalam/di luar: perjuangan untuk perbaikan kondisi sosial dalam kerangka kapitalis, yaitu menggunakan serikat dan perundingan bersama atau bentuk serupa lain untuk bernegosiasi dengan musuh kelas vs. perjuangan untuk menghapus kapitalisme yang terus berubah dan memproduksi ulang kondisi eksploitasi dan penindasan. Selama kapitalisme ada, semua elemen tersebut akan memainkan peran dalam perjuangan. Apakah hal ini mengarah ke situasi revolusioner sangat tergantung pada kekuatan pihak-pihak yang memberontak dan pemahaman terhadap kekuatan ini.

Oleh karena itu, setiap bentuk pengorganisasian pekerja yang sesuai bergantung pada kemampuan pekerja untuk mengorganisasi dirinya dengan cara yang memungkinkan pemberdayaan diri mereka untuk melawan kapital, mengembangkan perspektif yang melampaui eksploitasi kapitalis, dan menolak bentuk-bentuk mediasi dan reintegrasi ke dalam pembangunan kapitalis.

12. Kekuatan Kaum Pekerja

Dalam menganalisis peluang perubahan sosial yang mendasar di Cina, kita perlu menilai kekuatan tempat kerja dan organisasi[16] dari kelompok-kelompok pekerja yang berbeda dan menyelidiki disposisi dan tindakan pekerja dalam perjuangan konkrit yang merupakan dasar bagi rekomposisi sebuah gerakan kelas pekerja. Berikut ini merupakan sekadar sketsa atas hal tersebut:

Kekuatan tempat kerja (kemampuan untuk memperjuangkan kepentingan seseorang di tempat kerja lewat penghentian produksi dll.) di kalangan kelas pekerja di Cina telah meningkat bersamaan dengan perkembangan klaster industri, integrasi tempat kerja Cina dalam rantai produksi global, dan reorganisasi kerja dan produksi just-in time. Sebagian besar gelombang pemogokan pada tahun 2010 terpusat di perusahaan yang memiliki kondisi tertentu. Kalangan-kalangan pekerja lain memiliki kekuatan tempat kerja yang jauh lebih sedikit karena individualisasi, represi dan kontrol, misalnya kalangan Pekerja Rumah Tangga. Hal ini mencerminkan komposisi teknis kelas pekerja Cina yang terpecah-pecah dan berbagai rezim produksi menciptakan tempat untuk memisahkan pekerja. Hal ini merupakan penghambat penting bagi menyebar dan membesarnya perjuangan kelas pekerja. Kekuatan organisasional telah meningkat sejauh banyak pekerja telah belajar bagaimana mengorganisasi perlawanan dan perjuangan (lihat di atas), namun masih terbatas karena direpresi oleh pemerintah dan dilemahkan oleh taktik mediasi pemerintah.

13. Pertanyaan-Pertanyaan untuk Perubahan

Pertanyaan-pertanyaan tentang disposisi dan tindakan pekerja dalam perjuangan yang konkrit dapat menunjukkan rekomposisi politis gerakan kelas pekerja, tetapi pertanyaan-pertanyaan tersebut harus mampu melampaui analisis yang sekadar membahas peperangan politik, ekonomi dan ideologi yang dilancarkan negara dan kapital terhadap kelas pekerja dan reaksi dari para pekerja terhadapnya.

Perjuangan pekerja migran khususnya masih memiliki karakter yang agak temporer di Cina karena lapangan kerja yang mudah berubah dan mobilitas pekerja sendiri. Ada juga beberapa perjuangan yang menyatukan pekerja perkotaan, buruh migran, petani dan mahasiswa. Meningkatnya jumlah protes telah menggerogoti legitimasi negara PKC, namun banyak pekerja masih melihat negara sentral tersebut sebagai satu-satunya lembaga yang dapat melakukan peningkatan hidup atau kondisi kerja ketika kapitalis melanggar hukum dan memperlakukan mereka dengan buruk. Gerakan-gerakan sosial tersebut belum berhasil menyatukan sebagian besar pekerja dan menghancurkan struktur yang eksploitatif dan represif seutuhnya, dan juga belum mampu menghasilkan sebuah wacana terbuka tentang kekuasaan kelas pekerja dan perspektif kelas yang melampaui kapitalisme.

Namun, kita melihat penguatan pekerja di Cina melalui perjuangan-perjuangan tersebut dan pengembangan kepentingan, aspirasi dan tindakan yang berbasis kelas. Perkembangan ini memiliki arah (lebih banyak perjuangan, lebih banyak koordinasi, dan lebih banyak kekuatan), tapi masa depan, tentu saja, tetaplah tidak pasti. Perjuangan-perjuangan tersebut bisa (1) menandakan terjadinya perubahan keseimbangan kekuasaan yang sifatnya sementara dalam perjuangan kelas yang akan berbalik jika krisis dan represi baru terjadi, (2) menandakan meningkatnya kekuatan kelas pekerja dalam kerangka kapitalis yang terus dilanggengkan dan adaptasi reformis terhadap struktur politik seperti yang sedang terjadi sekarang, dan (3) menandakan sebuah revolusi sosial yang mungkin sudah berlangsung dan menghapus struktur struktur-struktur kapitalis yang eksploitatif di Cina (dan di tempat-tempat lain).

14. Pertanyaan-pertanyaan penutup

Mempertimbangkan krisis kapitalisme dan kemungkinan perubahan sosial secara global, dorongan apa yang akan datang dari Cina? Setelah panjangnya periode pertumbuhan ekonomi yang subur, perubahan sosial besar-besaran, krisis ekonomi yang ‘ditunda’ dan kelanjutan pemerintahan otoriter PKC dan ‘masyarakat yang harmonis’, Cina mungkin menjadi inti kapitalis dan kekuatan hegemonik baru. Perjuangan kelas pekerja baru telah mengganggu akumulasi kapital dan membuat Cina menjadi pusat pergolakan buruh global, namun sejauh ini kapital dan negara berhasil mengelola tekanan tersebut dan meneruskan kebijakan pemecahan, represi dan pengalihan terhadap perlawanan pekerja. Sistem ekonomi dan politiknya masih berfungsi, kekuatan yang berkuasa masih duduk di kursi mereka.

Kapital dan negara telah berhasil mengisolasi dan menghancurkan kelas pekerja tua, dan pertanyaannya sekarang adalah apakah kelas buruh migran yang baru akan dapat lebih memperluas ruang perjuangan dan menghasilkan bukan hanya perubahan ekonomi tapi juga politik. Migrasi dan perjuangan telah menyebabkan peningkatan upah dan perbaikan kondisi hidup, namun pembangunan secara keseluruhan mengakibatkan kesenjangan pendapatan yang terus membesar, pendalaman gesekan desa-kota, diskiriminasi yang terus terjadi terhadap migran, kemiskinan, dan proses komodifikasi (misalnya pendidikan dan kesehatan) yang menyebabkan lebih banyak penderitaan dan kesulitan hidup.

Krisis kapitalis dan perjuangan pekerja sebagai proses yang saling berhubungan dapat menyebabkan delegitimasi tatanan kapitalis yang sarat krisis serta negara dan ketidakstabilan sistem kapitalis saat ini – di Cina dan di seluruh dunia. Efek dari krisis dan perjuangan dapat menyebabkan orang mempertanyakan relasi kuasa yang kapitalistis, rasis dan bias gender dan mencari bentuk-bentuk sosialitas yang baru. Apakah Cina dan perjuangan pekerja dapat berfungsi sebagai laboratorium perubahan sosial yang melampaui perangkap kemitraan sosial tergantung (1) pada ruang mobilisasi sosial yang diciptakan saat bentrokan antara negara / kapital dan kelas pekerja terjadi, (2) pada sukses atau tidaknya kelompok-kelompok politik kiri yang mencoba untuk mendorong perwakilan dan institusionalisasi perjuangan sosial dan (3) pada dinamika krisis kapitalis dan perjuangan sosial di seluruh dunia.

Kita perlu membahas kelemahan organisasi-organisasi kelas yang melakukan mediasi, dan peran mereka dalam menstabilkan hubungan kapitalis yang eksploitatif. Batas dari ‘perjuangan kelas tanpa organisasi kelas’ – yaitu perjuangan sosial dan bentuk organisasinya di Cina saat ini – sudah jelas, tetapi absennya atau disfungsinya perwakilan institusi ‘kiri’ di Cina ternyata bermanfaat dalam mendorong lebih banyak ruang bagi upaya penguatan diri pekerja sendiri, yang dicekik oleh para mediator kiri dalam konteks sejarah yang sama. Dengan kata lain, konsolidasi kekuatan pekerja, termasuk pertahanan dan perluasan medan yang sudah dimenangkan memang hanya mungkin dilakukan lewat bentuk-bentuk pengorganisasian pekerja yang efektif. Namun, dengan menghindari jalan buntu yang diciptakan narasi besar kaum kiri yang dimaksud dalam tulisan ini, terbukalah lebih banyak ruang bagi bentuk-bentuk pengorganisasian yang melampaui berhala perwakilan.

Catatan Kaki

[1] Tentu saja, semua negara ini juga memiliki kelas pekerja lama yang tidak mempunyai kontrak kerja yang aman, dan juga khususnya mencakup perempuan dan migran.

[2] Menurut Alain Bertho dalam film dokumenter “Les Raisons de la Colere”, Arte, Prancis, 2010: http://www.youtube.com/watch?v=_QpIqcfsDlQ, ada lebih banyak pemberontakan pada tahun 2009 (540) ketimbang tahun 1968. Selama tahun 2010, dia menghitung ada 1250 pemberontakan: http://www.regards.fr/societe/alain-bertho-les-mobilisations,5008

[3] Untuk referensi yang lebih detail, lihat: Pun Ngai, Lu Huilin (2010): Unfinished Proletarianization: Self, Anger, and Class Action among the Second Generation of Peasant-Workers in Present-Day China. Modern China, September 2010, 36: 493-519.

[4] Ini termasuk perjuangan tentang dasar-dasar ideologis masyarakat Cina, misalnya rezim patriarkal Confusian.

[5] Contoh terbaru di: Au Loongyu/Bai Ruixue (2012): New Signs of Hope. Resistance in China Today. China Labour Net http://worldlabour.org/eng/node/515 Lihat juga: Butollo, Florian/Tobias ten Brink (2012): Challenging the Automization of Discontent, Critical Asian Studies, 44:3, 419-440 http://dx.doi.org/10.1080/14672715.2012.711978 dan China Labour Bulletin (2012): A Decade of Change. The Workers’ Movement in China 2000-2010 http://www.clb.org.hk/en/node/110030.

[6] Chan, Chris King-Chi (2010): The Challenge of Labour in China. Strikes and the changing labour regime in global factories. London/New York.

[7] Untuk peristiwa pemogokan dan kerusuhan paralel oleh pekerja yang berbeda sepanjang sejarah kapitalis, lihat Mason, Paul (2007). Live Working or Die Fighting: How the Working Class Went Global. London. London. Untuk contoh kerusuhan besar-besaran pada tahun 2011 di Cina, lihat penggambaran tentang Guxiang (Chaozhou) dan Zengcheng (Guangzhou) di Buttolo/ten Brink (lihat di atas).

[8] Lihat Lee, Ching Kwan (2007): Against the Law. Labor Protests in China’s Rustbelt and Sunbelt. Berkeley.

[9] Elemen ini bisa, misalnya, terlihat dalam gelombang pemogokan di industri mobil pada musim panas tahun 2010 dan mogok berbagai sopir taksi sejak tahun 2008. Ini menggambarkan kecenderungan dan tidak mewakili semua perjuangan di semua daerah. Untuk penilaian serupa, lihat Friedman, Eli (2012): China in Revolt. Jacobin, Double Issue 7/8, http://jacobinmag.com/2012/08/china-in-revolt, dan Buttolo/ten Brink, China Labour Bulletin, dan Au/Bai (lihat di atas).

[10] Lihat misalnya Wang Kan (2011): Collective Awakening and Action of Chinese Workers: The 2010 Auto Workers’ Strike and its Effects. Sozial.Geschichte Online 6, S. 9–27, http://duepublico.uni-duisburg-essen.de/servlets/DerivateServlet/Derivate-29001/03_WangKan_Strike.pdf

[11] Lihat Silver, Beverly (2003): Forces of Labor. Workers’ Movements and Globalization since 1870. Cambridge.

[12] Pola ini dapat sering dilihat di Cina, tempat manajemen sering “meminta” pekerja yang mogok untuk memilih wakil-wakil untuk perundingan – juga berharap bahwa wakil tersebut dapat disuap, diancam, dan diberhentikan setelah konflik diselesaikan.

[13] Salah satu pendukung terkemuka dari kelompok kedua adalah China Labour Bulletin (http://www.clb.org.hk/en/), selain merupakan sumber informasi tentang kondisi eksploitasi dan perjuangan buruh.

[14] Sebuah kritik terperinci atas narasi besar kaum kiri harus mencakup analisis mendalam tentang dikotomi buatan yang digunakan dalam ideologi ini – masyarakat / negara, perjuangan ekonomi / perjuangan politik, serikat / partai -, upaya narasi ini untuk menyembuhkan kesalahan dan irasionalitas kapitalis lewat ekonomi terencana yang menjalankan akumulasi kapital, dan mencakup kritik terhadap gambar yang terdistorsi tentang kelas kapitalis yang kuat yang mengeksploitasi para pekerja di satu sisi dan negara / partai / serikat sebagai lembaga yang diperlukan untuk membela “hak-hak” pekerja di sisi lain – yang menolak atau mengabaikan esensi kelas pekerja sebagai bagian dari hubungan kapital tersebut dan kekuatan untuk menghancurkan hubungan ini.

[15] Lihat Piven, Francis F./Richard Cloward (1977): Poor People’s Movements – Why They Succeed, How They Fail. New York

[16] Lihat Silver (lihat di atas). Bentuk kekuatan ketiga yang diajukan Silver, kekuatan pasar (kemampuan untuk menjual tenaga kerja sendiri di pasar dengan harga yang bagus), memainkan peran yang kurang penting bagi perkembangan kekuasaan sebagai sebuah kelas. Di Cina, kekuatan ini meningkat bersamaan dengan kurangnya tenaga kerja di kawasan industri dan tawaran pekerjaan baru setelah adanya relokasi industri ke lokasi pedalaman, tetapi kekuatan ini masih cukup rendah di daerah tertinggal dan untuk pekerja tak terampil di industri konsumen yang berupah rendah. Pemisahan pasar tenaga kerja melalui undang-undang hukou dan diskriminasi masih merongrong kekuatan pasar dari banyak pekerja.