Bertahun-tahun saya berkubang dalam lumpur kriminologi—disiplin yang diajarkan seolah ia firman Tuhan: netral, steril, objektif. Mereka bicara tentang korban dengan empati palsu, seolah kejahatan adalah anomali yang lahir dari ruang hampa. Saya muntah mendengarnya. Ilmu yang berpura-pura tidak berpihak adalah pelacur intelektual paling hina. Kriminalitas, Saudara, tidak pernah lahir begitu saja. Ia adalah konsekuensi logis dari mekanisme sosial yang menindas, dari gigi-gigi sistem yang meremukkan tulang mereka yang di bawah. Dan jika sistem itu sendiri adalah kebohongan yang terstruktur, maka apa yang mereka sebut "kejahatan" seringkali adalah kejujuran paling telanjang, pemberontakan paling murni dari sang Ego yang menolak ditundukkan.
Ayah saya, misalnya, mati bukan karena takdir, tapi karena praktik eksploitasi perusahaan karet Belanda keparat itu. Penyakitnya adalah warisan kerja upah murah. Tulisan saya tentang itu, upaya akademis untuk membuktikan kematiannya sebagai kejahatan struktural, berakhir di keranjang sampah fakultas. Mereka tak sudi mendengarnya. Maka, persetan dengan jalur resmi. Persetan dengan moralitas kaum borjuis yang menutupi kebusukan mereka dengan jubah hukum.
Pada 1979 ini, setelah mengamati dan terlibat dalam berbagai helat di lorong-lorong gelap Jakarta (dari Rawamangun ke Salemba), hingga gang-gang sempit Cikeruh, saya mulai merumuskan sesuatu yang melampaui istilah-istilah usang: organisasi, jaringan, federasi, pertemuan mingguan, konsensus, dan segala tetek bengeknya. Sebutannya boleh berganti, tapi prinsipnya sama: struktur. Dan setiap struktur, saya tegaskan, menyimpan benih kematian di dalamnya. Dari struktur tumbuh administrasi. Dari administrasi lahir pengkhianatan. Kita sudah kenyang dengan itu.
Saya mengadaptasi konsep "konspirasi berantai"—istilah yang saya pinjam dari buku-buku teks kriminologi usang itu , yang membedakannya dari konspirasi roda (dengan satu poros sentral) atau konspirasi tunggal. Namun, saya melihatnya bukan sekadar sebagai skema kriminal seperti yang dipahami para penegak hukum itu. Bagi saya, ini adalah embrio dari sesuatu yang lebih liar, lebih fundamental. Komite Hitam, lingkaran diskusi kami yang lebih mirip sel tikus tanah ketimbang forum terhormat, mulai mengadopsi dan mempraktikkannya dalam berbagai moda: penyebaran buku-buku dan catatan, agitasi, bahkan dalam upaya-upaya ekonomi subsisten yang menolak tunduk pada pasar, serta tentunya apa yang oleh negara pengecut itu disebut sebagai terorisme.
Namun, istilah "konspirasi berantai" itu sendiri masih terlampau jinak, terlampau terikat pada logika hukum yang ingin saya lampaui. Maka, saya ajukan sebuah istilah baru, sebuah konsep yang mungkin lebih mampu menangkap esensi dari apa yang saya saksikan dan, terus terang saja, saya praktikkan: Pascakonspirasi.
Pascakonspirasi bukanlah bentuk organisasi. Ia bahkan bukan jaringan dalam pengertian umum. Tidak ada simpul yang bisa dipetakan, tidak ada pusat kendali yang bisa disadap, tidak ada mekanisme koordinasi yang bisa diinfiltrasi. Ia hidup justru karena tidak bernama, tidak terdokumentasi, dan tidak dapat direplikasi secara preskriptif. Ia tidak bisa digandakan seperti resep kue—ia hanya bisa ditularkan seperti wabah, dari satu Ego yang menyala ke Ego lainnya.
Apa yang saya lihat di jalanan, di festival buku yang sempat aku dan kawan-kawan adakan, dalam distribusi stensilan-stensilan ilegal di Cikeruh pada akhir dekade 70-an ini, menunjukkan satu pola: tindakan-tindakan kecil, yang masing-masing tampak terpisah, ternyata membentuk serangkaian sambungan yang tak terduga. Satu langkah memancing langkah lain. Tapi tidak ada yang mengarahkan. Tidak ada yang tahu ujungnya di mana, atau bahkan apa "tujuan bersama" itu. Jika ada tujuan, itu adalah tujuan masing-masing individu yang kebetulan bertemu dalam satu momentum, satu kebutuhan untuk bertindak. Inilah bentuk paling jujur dari kolektivitas: kolektivitas tanpa komunitas. Sebuah kumpulan Ego yang bertindak, bukan karena solidaritas semu, tapi karena dorongan internal masing-masing.
Dalam pascakonspirasi, tidak ada satu individu atau kelompok pun yang mengatur keseluruhan. Istilah "operasi vertikal" yang sering muncul dalam analisis konspirasi berantai klasik perlu kita bedah ulang. Saya lebih suka menyebutnya Progresi Fungsional Terdistribusi atau Rangkaian Aksi Sekuensial Non-Hierarkis. Peserta memang terhubung secara sekuensial, dengan setiap individu atau sel kecil melakukan tugas tertentu dalam serangkaian langkah. Satu orang mengetik naskah, yang lain mencetak, yang lain lagi menyelundupkan, yang lain menjualnya di emperan. Mereka tidak harus saling kenal. Mereka tidak perlu rapat mingguan.
Lalu, bagaimana mereka tahu harus berbuat apa? Di sinilah letak apa yang saya sebut Kohesi Laten atau Kesepahaman Implisit. Sifat dari progresi fungsional ini memungkinkan kesimpulan bahwa setiap peserta, pada tingkat tertentu, menyadari—atau lebih tepatnya, menginferensikan—tindakan orang lain dalam rangkaian itu, atau setidaknya kebutuhan akan tindakan berikutnya. Tak satu pun dari kami harus saling kenal. Tapi kami tahu kami saling menyambung. Satu mata rantai tidak perlu memahami seluruh skema; cukup memahami bahwa apa yang ia lakukan akan diterima atau dilanjutkan oleh yang berikutnya. Dan yang berikutnya akan melakukan hal yang sama. Saling percaya bukan karena cinta atau ideologi agung, tapi karena tak ada cara lain jika Ego ingin hasratnya terpenuhi, jika gagasan ingin terus mengalir. Inferensi adalah percakapan yang tidak terucap.
Tujuan? Para ahli hukum akan mengatakan bahwa semua konspirator bekerja menuju satu tujuan melanggar hukum yang sama. Saya katakan, tujuan itu bisa jadi bukan hanya untuk melawan hukum, tapi untuk melampaui logika hukum itu sendiri , atau bahkan, tujuan itu sendiri adalah sesuatu yang cair, yang muncul belakangan, atau bahkan tidak pernah ada secara eksplisit. Apa yang membuat rangkaian bekerja hanyalah intensitas yang cukup dari masing-masing individu. Jika cukup banyak orang muak, mereka akan bergerak. Dan jika mereka bergerak tanpa saling bicara tapi tetap selaras dalam ketidakteraturan, itu sudah cukup disebut pascakonspirasi. Kita menolak semua otoritas, bahkan otoritas tujuan yang ditetapkan di muka.
Dan di sinilah letak keindahan sekaligus kebrutalan pascakonspirasi: niat tidak diindahkan. Seorang individu mungkin bergabung dalam satu mata rantai karena ingin mencari untung dari penjualan buku bajakan. Yang lain mungkin terdorong oleh dendam kesumat terhadap aparat yang pernah menyiksanya, sehingga ia dengan senang hati menyabotase fasilitas mereka. Seorang seniman mungkin menyebarkan karya subversifnya murni untuk kepuasan estetika pemberontakannya. Seorang mahasiswa mungkin ikut menyebarkan pamflet karena ingin terlihat radikal di mata kekasihnya. Niat-niat ini, Saudara, bisa jadi serendah lumpur atau setinggi langit khayalan, bisa egois murni, bisa pula dibungkus idealisme semu. Persetan dengan niat! Yang penting adalah tindakan mereka menyambung dalam rangkaian fungsional. Selama tindakan si pencari untung menciptakan buku yang bisa dibaca, selama sabotase si pendendam menciptakan kekacauan yang membuka ruang, selama karya si seniman menginspirasi kegelisahan, selama pamflet si mahasiswa sampai ke tangan yang tepat—mereka semua, tanpa sadar dan tanpa perlu sepakat soal niat, telah menjadi bagian dari pascakonspirasi. Mereka tertarik dan menyambung rantai karena tindakan sebelumnya menciptakan peluang atau kebutuhan bagi tindakan berikutnya yang sesuai dengan dorongan Ego masing-masing. Tujuan akhir yang mengikat mereka bukanlah sebuah manifesto bersama, melainkan efek kumulatif dari tindakan-tindakan individual tersebut: disrupsi, kekacauan, pelampauan batas-batas yang ditetapkan sistem. Dan dalam kekacauan itulah Ego menemukan ruang gerak terluasnya.
Dalam konspirasi berantai perdagangan narkoba yang sering dijadikan contoh itu , satu konspirator mungkin bertanggung jawab atas pembuatan, yang lain atas pengangkutan, dan yang lain atas penjualan. Setiap individu menjalankan peran berurutan yang berbeda, tetapi semuanya merupakan bagian dari skema yang lebih besar. Perbedaannya dengan "konspirasi roda" (wheel conspiracy) jelas: konspirasi roda melibatkan pusat (pemimpin) yang terhubung langsung ke beberapa jari-jari (konspirator lain). Dalam pascakonspirasi, tidak ada pusat; hubungan antar konspirator lebih bersifat sekuensial dan, yang terpenting, oportunistik.
Saya membaca beberapa gagasan dari filsuf-filsuf kontinental yang baru mulai beredar secara terbatas, tentang struktur yang mereka sebut 'rhizome'—sebuah jaringan akar serabut yang tak berpusat, di mana setiap titik bisa terhubung dengan titik lainnya, bisa patah di satu tempat dan tumbuh lagi di tempat lain. Ini seolah memberi bahasa pada apa yang telah lama saya amati: sebuah keteraturan yang muncul dari ketidakteraturan, sebuah koordinasi tanpa koordinator. Setiap tindakan individu menciptakan jejak, memodifikasi lingkungan—entah itu tumpukan buku bajakan di pasar loak, atau grafiti di tembok—dan jejak inilah yang menjadi stimulus bagi tindakan berikutnya oleh individu lain. Ini bukan komando, ini adalah resonansi. Sebuah stigmergi liar di mana Ego-ego saling memprovokasi secara tak langsung.
Hampir semua diskursus yang membicarakan kolektivitas dalam aksi ilegal—atau dalam segala bentuk gerilya sosial yang tidak ingin tunduk—terus saja kembali ke formula usang: organisasi, jaringan, federasi, dan semua itu. Saya muak. Setiap struktur menyimpan benih kematian di dalamnya. Dari struktur tumbuh administrasi. Dari administrasi lahir pengkhianatan. Saya punya seorang kawan yang sudah saya kenal sejak saya baru masuk jurusan Kriminologi (sekarang dia sudah drop out), namanya Ahmad Bagja, dia yang memperkenalkan saya dengan Komite Hitam dan banyak mempengaruhi cara pandang saya terhadap dunia. Dia sahabat saya, tapi kalkulasi keserakahannya adalah pengingat abadi akan kerapuhan struktur yang mengandalkan "kepercayaan" atau "tujuan bersama." Pernah suatu ketika, saya bekerjasama dengannya dan berhasil mencuri sebuah mesin tik yang saya dapatkan di ruang dosen. Setelahnya, dia malah menjualnya tanpa sepengetahuan saya. Di situ, saya pikir teori rasionalitas instrumental saya bertemu dengan kenyataan pahit. Tapi justru karena itu, pascakonspirasi menjadi semakin relevan: ia tidak bergantung pada moralitas atau kesetiaan semacam itu. Pengkhianatan Bagja, hanya menegaskan bahwa ketergantungan pada "niat baik" atau "solidaritas kelompok" adalah ilusi. Pascakonspirasi justru mengakomodasi sifat oportunistik Ego. Jika tindakan Bagja menjual mesin tik itu (setelah saya mencurinya) secara tak langsung membiayai pencetakan pamflet ilegal lain oleh pihak ketiga yang membeli mesin tik itu darinya, maka ia, dalam ketidaksadarannya, tetap menjadi bagian dari rangkaian, meskipun niatnya murni keuntungan pribadi. Kehancuran struktur lama, termasuk struktur kepercayaan antar individu, adalah "produktif" karena ia memaksa kita mencari bentuk-bentuk sambungan yang lebih cair, lebih fungsional, dan lebih sesuai dengan sifat dasar Ego yang selalu mencari kepentingannya sendiri.
Pascakonspirasi tidak mengajukan proposal. Ia tidak menunggu restu ideologi. Ia bahkan tidak butuh pembenaran moral. Sebab moralitas adalah alat negara, dan negara tidak berhak menghakimi apa yang lahir dari luar perangkatnya. Bahwa hukum menyebut ini “kesepakatan kriminal” hanyalah wujud bahasa dominan yang selalu ingin mengklasifikasikan. Bagi negara, satu orang yang mencetak buku ilegal, satu orang yang menjualnya, satu orang yang menyelipkannya ke tas mahasiswa, dan satu orang yang membacanya dalam forum kecil—semuanya disebut "konspirator". Tapi bagi saya, itu hanya satu cara: memastikan bahwa gagasan tidak berhenti di satu kepala saja, memastikan Ego menemukan jalannya.
Dalam logika hukum, struktur berantai disebut "vertikal" karena satu tahapan mengantar ke tahapan berikutnya. Tapi bagi kita, para individu yang bergerak dalam pascakonspirasi, "vertikal" bukanlah soal tingkatan hierarkis, melainkan progresi fungsional tanpa hierarki. Kita tidak sedang membangun tangga menuju surga revolusi. Kita sedang menyusun bahan peledak yang sambung-menyambung. Setiap bagian dari pascakonspirasi adalah detonator kecil—ia akan meledak pada waktunya, dipicu oleh intensitas internalnya sendiri, dan mungkin, hanya mungkin, memicu ledakan berikutnya. Setiap "ledakan" ini adalah afirmasi Ego, sebuah penolakan terhadap pembatasan. Entah itu tindakan kecil mencoret tembok dengan slogan anarkis, atau tindakan besar seperti sabotase yang saya dan Komite Hitam kadang lakukan, semuanya adalah percikan yang berpotensi menyulut api lebih besar. Bukan karena ada komando, tapi karena satu percikan menunjukkan bahwa perlawanan itu mungkin, dan Ego lain yang melihatnya, yang merasakan resonansinya, akan terdorong untuk menciptakan percikannya sendiri.
Contoh lapangan? Dalam kasus perampokan bank yang pernah saya kaji untuk makalah yang tak pernah selesai itu: satu perencana menentukan target (mungkin karena ia butuh uang, atau sekadar ingin membuktikan ia bisa), satu pengintai memetakan pola keamanan (mungkin ia menikmati sensasi mengelabui sistem), beberapa pelaku masuk dan mengambil uang (dorongan adrenalin, kebutuhan ekonomi, atau kebencian pada institusi finansial), satu pengemudi mengevakuasi (mungkin hanya butuh bayaran). Tak satu pun dari mereka perlu tahu siapa yang akan menerima uang di ujungnya, atau bahkan siapa nama rekan satu timnya di luar fungsi sesaat itu. Peran mereka berjalan karena kebutuhan situasional dan kepentingan individual yang bertemu dalam satu titik aksi. Sama dalam distribusi buku ilegal: penulis mengetik naskah (mungkin dengan nama samaran, didorong hasrat intelektual atau kebutuhan untuk menghasut), tukang cetak menggandakan (tanpa tahu siapa penulisnya, mungkin demi upah atau simpati samar pada gagasan terlarang), agen lapangan menyebar (tanpa tahu siapa pencetaknya, mungkin karena ia percaya pada isi buku atau sekadar menikmati risiko), penjual kaki lima menjajakan (tanpa tahu siapa agennya, demi sesuap nasi). Tidak ada yang menyebut diri mereka "rekan seperjuangan," tidak ada yang menganggap dirinya bagian dari "organisasi." Tapi materi tetap sampai. Gagasan tetap menyebar. Ego menemukan ekspresinya.
Para pengagum struktur akan berkata: ini terlalu kacau, tidak efisien, tidak terarah. Tapi kekacauan, Saudara, adalah satu-satunya keadaan di mana pengawasan tak bisa bekerja secara efektif. Dan bila musuhmu adalah sistem yang terstruktur rapi, maka kekacauan bukan musuh: ia adalah medan perang kita, medan perang sang Ego. Dalam kekacauan, jaring-jaring kontrol negara menjadi renggang, hukum menjadi kabur, dan moralitas publik yang munafik itu kehilangan cengkeramannya. Di situlah Ego bisa bernapas lega, bergerak bebas, menari di atas kehancuran tatanan lama. Kekacauan adalah kanvas kosong bagi ekspresi individual yang paling liar.
Pascakonspirasi adalah logika tak terdaftar. Ia tidak perlu tanda tangan, tidak perlu rapat, tidak butuh stempel, dan tidak akan pernah punya juru bicara. Ini bukan bentuk alternatif dari organisasi. Ini adalah bentuk yang menolak seluruh gagasan tentang organisasi formal. Satu-satunya perlindungan yang benar-benar bisa diandalkan dalam perlawanan ilegal adalah ketidaktahuan—atau lebih tepatnya, pengetahuan yang tersegmentasi. Dalam pascakonspirasi, setiap orang tahu cukup untuk bertindak sesuai dengan dorongan dan kepentingannya sendiri, tapi tidak cukup untuk mengkhianati keseluruhan jaringan yang bahkan tidak ia sadari sepenuhnya. Anonimitas bukan sekadar taktik perlindungan; ia adalah pembebasan dari identitas yang dipaksakan oleh sistem, dari nomor induk kependudukan, dari catatan kriminal, dari segala label yang ingin disematkan negara pada dahi kita. Dalam kegelapan anonimitas, Ego menjadi murni potensi, murni tindakan. Sistem negara menuntut keterbukaan, identitas, registrasi. Kita harus membalasnya dengan kegelapan, dengan anonimitas taktis, dengan menjadi hantu dalam mesin mereka.
Ini bukan tentang membangun dunia baru yang lebih baik. Itu ilusi kaum moralis, para pemimpi utopia yang selalu berakhir membangun penjara baru dengan jeruji yang lebih indah. Ini tentang bagaimana sang Ego, individu yang sadar akan kekuatannya sendiri, dapat bergerak, bertindak, dan menghancurkan—atau sekadar melampaui—struktur-struktur yang mencoba membelenggunya, di sini dan saat ini. Pascakonspirasi adalah tentang itu: sebuah tarian liar individu-individu di atas puing-puing keteraturan yang mereka bantu runtuhkan, tanpa janji akan fajar baru, hanya kepuasan sesaat dari tindakan itu sendiri, dari afirmasi absolut sang Ego. Dan bagi saya, seorang kriminolog yang telah melihat kebusukan di balik fasad hukum dan moralitas, yang telah merasakan bagaimana sistem meremukkan ayahnya dan mencoba meremukkan dirinya, kepuasan itu, betapapun singkatnya, sudah lebih dari cukup. Ini adalah pemberontakan permanen sang individu terhadap segala yang ingin menyeragamkannya. Ini adalah ilegalisme sebagai taktik hidup.
Cikeruh-Rawamangun, 1979.