Title: Protes Tak Akan Menggulingkan Diktator Tanpa Pengkhianatan Tentara
Language: Bahasa Indonesia
Date: 31/07/2019
Notes: Ditulis oleh: Jean Baptiste-Gallopin. Sosiolog sejarah yang memperoleh PhD dari Universitas Yale. Lalu diterjemahkan oleh Taufik Nurhidayat aka Uncle Cat

Apa yang diperlukan untuk menggulingkan seorang diktator? Dalam pengasingannya, Leon Trotsky merenungkan pertanyaan itu untuk kemudian ditulis dalam buku “The History of the Russian Revolution” (1930):

" Tidak diragukan bahwa nasib setiap revolusi pada titik tertentu ditentukan oleh jeda dari kecenderungan kaum tentara… Sehingga di jalanan, alun-alun, jembatan, & gerbang barak, perjuangan dilakukan tanpa henti—secara dramatis dan tanpa diketahui. Tetapi, perjuangan yang darurat selalu ada di hati prajurit. "

Seberapapun tampaknya kekuatan diri seorang pemimpin otoriter, sebenarnya para diktator itu tidak sedang memerintah sendirian. Ketika para penegak hukum mengelak dari tugas atau memberontak, rezim akan runtuh. Sebaliknya, ketika mereka tetap setia, rezim akan tetap berdiri. Mengandalkan protes massa saja tidaklah pernah cukup.

Selama Revolusi Tunisia; pemberontakan yang akhirnya menyebabkan Presiden Zine El Abidine Ben Ali melarikan diri dari kekuasaannya pada 14 Januari 2011, dimulai dari sebuah unit polisi elit—yang secara luar biasa dikerahkan untuk melindungi Kementerian Dalam Negeri dalam menghadapi demonstrasi terbesar saat ini. Ketika para demonstran berparade menuju Istana Presiden, ketidakpatuhan mulai menyebar ke pasukan keamanan lainnya sehingga Ben Ali terpaksa melarikan diri selama berjam-jam kemudian. Ketika polisi membalik keberpihakan, rezim pun jatuh.

Akan tetapi, mengapa keputusan pasukan militer dan polisi untuk mengikuti suatu tindakan atas yang lainnya tidak bisa dipahami dengan baik?

Penjelasan mengenai pembelotan militer yang berlaku selama pemberontakan revolusioner mempertegas kepentingan pribadi atau perusahaan. Dalam logika ini, keluhan akan memacu perwira pemberontak untuk bertindak karena berharap akan adanya kesepakatan lebih baik melalui sistem politik baru. Sementara para loyalis di kalangan mereka hanyalah berusaha untuk melestarikan keunggulan materinya.

Di balik ini ada realisme Hobbesian yang pragmatis; yaitu argumen yang bertumpu secara masuk akal pada hal sederhana: orang-orang melakukan apa yang paling menguntungkan bagi mereka. Tuntutannya menjadi menarik ketika dibuat dari kejauhan dan bermanfaat bagi yang di belakangnya. Pergulatan ini menjelaskan mengapa orang-orang yang telah mendedikasikan karier mereka untuk melayani pemerintah dan menempa identitas profesionalnya secara disiplin malah berikutnya berbalik melakukan pembangkangan. Argumen ini tidak menjelaskan kepada kita tentang bagaimana anggota angkatan bersenjata dan keamanan datang untuk mengubah pemahaman mereka atas kepentingannya menghadapi kerusuhan massa.

Keputusan untuk memberontak sangatlah berbeda dengan pelaksanaan kepentingan materi yang dipahami secara baik dan jelas. Hal ini juga mudah untuk mengabaikan betapa dalamnya dilema etis merepresi massa bisa mengondisikan polisi dan tentara profesional.

Bayangkanlah sebuah negara dalam pemberontakan yang masif. Puluhan atau ratusan ribu demonstran memenuhi jalan-jalan ibu kotanya. Penguasa otoriter tidak bisa lagi bergantung pada polisi rahasia dan unit penanggulangan kerusuhan. Dia harus mengerahkan pasukan cadangan yang biasanya membawa amunisi aktif dan tidak memiliki pelatihan atau pengalaman dalam berurusan dengan orang banyak. Orang-orang ini menghadapi pilihan yang jelas. Membela rezim akan mendatangkan pertumpahan darah besar-besaran. Apabila menghindari kewajiban atau memberontak, justru akan membawa ancaman pada pengadilan militer dan kematian.

Bahkan bagi mereka yang berpengalaman melakukan represi, dikondisikan untuk membunuh puluhan atau ratusan orang tak berdosa adalah prospek yang sering sangat tidak menyenangkan. Dilema ini, pertama-tama akan menjadi etika individual: ia mengkhianati pilihannya secara kontras dalam melayani pemerintahan dan negara orang tertentu. Lalu, dilema semacam ini dengan cepat menjadi kolektif. Ketika seorang petugas menjadi sadar bahwa dia tidak sendirian dalam teka-teki, dia mulai bertanya-tanya apakah rekan-rekannya akan mengikuti perintah. Dari keraguan inilah, muncul kemungkinan ketidakpatuhannya sendiri.

Pemberontakan militer dan polisi jarang pecah di hadapan demonstrasi kecil tapi potensial terjadi ketika ada pemberontakan revolusioner yang mencapai massa kritis; yang membikin pembunuhan besar-besaran secara tak adil menjadi satu-satunya pilihan kelangsungan hidup pemerintah. Tahun 2019 ini, para pemrotes yang bertebaran di Sudan telah menentang pasukan keamanan selama lebih dari tiga bulan tanpa mendorong terjadinya pembelotan skala besar. Justru ketika oposisi berkumpul di sebuah tempat duduk di depan markas militer pada tanggal 6 April, tentara menjadi goyah. Pada hari kedua, mereka melindungi demonstran dari kaum milisi yang loyal. Dan pada 12 April, aparat militer dan keamanan berbalik melawan Presiden Omar Al-Bashir.

Pembangkangan aparat militer dan keamanan yang dimulai selama pemberontakan sipil sering menyebar seperti api. Revolusi Rusia tahun 1917 dimulai ketika Resimen Penjaga Kehidupan Volynsky “menolak untuk menjadi algojo lebih lama lagi”—sebagaimana dikatakan oleh sejarawan Soviet, E. N. Burdzhalov pada tahun 1967; pemberontakan kemudian menyebar dengan cepat ke resimen yang berdekatan di Petrograd. Burdzhalov menulis; pada malam hari “tidak ada jenderal Tsar yang bisa mengambil alih situasi untuk menyelamatkan otokrasi”.

***

Namun akan menjadi keliru apabila dinamika ini dibaca—terutama—sebagai gejala dari keluhan yang tersebar luas dan lama di dalam angkatan bersenjata dan pasukan keamanan. Mereka telah berbuat lebih banyak; maka sebagai gantinya, para petugas berupaya untuk menyejajarkan diri dengan pemimpin lain. Saat pemberontakan dimulai, ancaman kekerasan dan pembunuhan sesama saudara—antara loyalis dan pemberontak—sangat membebani perhitungan para perwira. Calon loyalis akan sering mengikuti pemberontakan untuk menghindari pertikaian. Di Tunisia, pemimpin pemberontakan terhadap Ben Ali menggalang dua unit tambahan dengan cara berpura-pura melaksanakan tugas. Ketika rekan-rekannya mengerti bahwa dia berbohong, mereka tetap berada di sisinya alih-alih mengarahkan senjata ke arahnya. Beberapa menit kemudian, kepala keamanan Ben Ali yang seorang loyalis meyakinkan presiden untuk naik pesawat ke Arab Saudi, mengatakan bahwa ia takut akan terjadinya “pertumpahan darah”.

Pada kasus-kasus lainnya, para pemberontak berpotensi menghindari pemberontakan yang mereka pikir akan gagal. Di Tiongkok, para tentara bersahabat dengan para demonstran di Lapangan Tiananmen pada tahun 1989. Sementara, para perwiranya secara terbuka mengutuk keputusan pemerintah untuk menyatakan darurat militer. Meskipun ada keragu-raguan, faktanya tidak ada petugas yang berinisiatif melakukan pemberontakan terbuka. Pemerintah pun menegaskan kembali inisiatif dan pemberontakan bisa secara mutlak dihancurkan.

Menurut bahasa teori permainan, pemberontakan semacam itu adalah permainan koordinasi; situasi ketika individu berusaha mengikuti jalur perilaku yang sama dengan mengorbankan preferensi mereka sendiri karena bertindak dengan tujuan yang berbeda merupakan hasil paling buruk bagi semua orang. Dari situlah, masing-masing harus mencari tahu apa yang akan dilakukan orang lain. Itulah sebabnya, harapan atau keyakinan bersama tentang apa yang akan terjadi selanjutnya akan mendorong perilaku. Berhasil atau gagalnya pemberontakan di saat-saat revolusioner lebih tergantung kepada kemampuan pemberontak untuk menciptakan kesan bahwa mereka akan berhasil secara pasti dibandingkan mementingkan keluhan yang sudah ada dari rekan-rekan mereka.

Intinya, hal ini memiliki implikasi epistemologis yang mendalam untuk kita pahami sebagai hasil revolusioner. Pemberontakan sering dimulai dengan cara yang sama tetapi akhirnya mengambil jalan yang sangat berbeda; dari revolusi politik ke restorasi otoriter, perang saudara, dan revolusi sosial. Analisis sosial ilmiah tentang revolusi biasanya berusaha melihat masa lalu dari gejolak peristiwa untuk mengungkap pola sebab-akibat bawah tanah yang membuat faktor-faktornya bergerak lambat—semisal susunan kelas sosial, struktur negara, kondisi ekonomi—dengan hasil yang berbeda.

Tetapi, jika angkatan bersenjata membuat atau menghancurkan revolusi dan memberikan sikapnya pada peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam tempo berjam-jam atau bahkan beberapa menit, maka nilai penjelas dari unsur-unsur revolusi “struktural” semacam di atas menjadi kehilangan banyak keunggulannya. Untuk menjelaskan mengapa kasusnya berbeda di setiap negara, kita perlu mengembangkan teori yang lebih baik mengenai dampak peristiwa revolusioner yang khas; seperti tentang protes massa, pengkhianatan, dan pemberontakan.