Title: Dari Feminisme ke Egoisme
Author: John F Welsh
Language: Bahasa Indonesia
Date: 2010
Source: Welsh, J.F. (2010). “From Feminism to Egoism”, Ch. 6, p. 203–210. Max Stirner’s Dialectical Egoism. United Kingdom: Lexington Books.
Notes: diterjemahkan oleh Alvin Born to Burn [unduh pdf di sini
j-f-john-f-welsh-dari-feminisme-ke-egoisme-id-1.png

Marsden menemukan bahwa “doktrin serikat” ragamuffinisme[1] muncul dalam perjuangan kesetaraan perempuan. Pendukung awal suffragisme[2] dan feminisme berpendapat bahwa, “perempuan harus menciptakan monopoli serikat atas jenis kelamin mereka, dan menggunakannya untuk memaksakan kemitraan antara mereka dan laki-laki. Serikat untuk laki-laki. Pernikahan bagi perempuan.”[3] Marsden mengkritik relasi kuasa yang tidak setara dalam pernikahan dan melawan preskripsi budaya yang menuntut pernikahan bagi perempuan. Dia mengolok-olok gagasan bahwa perempuan harus melihat diri mereka sendiri sebagai serikat dan bahwa pernikahan harus dilihat sebagai elemen mutlak dari emansipasi perempuan. Argumen feminis menunjukkan bahwa “serikat untuk perempuan” memerlukan bentuk embargoisme serupa yang akan meminggirkan perempuan yang belum menikah, mengucilkan dan mendenda laki-laki yang belum menikah, dan mempromosikan kepentingan perempuan yang sudah menikah melalui kekuatan pemungutan suara. Bagi para suffragis[4], pemungutan suara merupakan alat praktis yang akan digunakan untuk memaksakan “kemurnian dan moral” dalam masyarakat melalui advokasi penghapusan prostitusi dan penyakit kelamin. Laki-laki akan dipersekusi melalui “skala (tuntutan) yang terus meningkat”, pemeliharaan pasangan, pemeliharaan anak-anak, bahkan ditolak masuk ke rumah mereka sendiri jika mereka menyerah pada kebiasaan buruk dan kemalasan. Perempuan juga akan mencari kendali penuh atas hubungan seksual dalam pernikahan dan tuntutan hukum atas penghasilan laki-laki. Arti dari janji feminis untuk menegakkan ekspektasi budaya untuk pernikahan adalah bahwa: hukuman bagi laki-laki yang berselingkuh, disinsentif finansial untuk laki-laki lajang, dan penghinaan bagi perempuan lajang akan memastikan pernikahan sebagai jalan keluar yang aman dan murah dari ancaman embargo feminis. Marsden menyimpulkan bahwa, “bagi serikat-perempuan, monopoli- serikat atas jenis kelamin mereka akan menjadi mutlak—perkembangan yang cukup alami dari teori monopoli-serikat.”[5] Bagi Marsden, adalah kontradiktif untuk mengatakan bahwa emansipasi perempuan dapat dicapai melalui ketundukan mereka pada pernikahan dan negara. Penggantian monopoli yang didominasi laki-laki dengan monopoli pemerintah bukanlah jalan menuju pembebasan.

Hubungan Marsden dengan aktivisme dan filosofi suffragisme dan feminisme sejak awal kompleks dan kontroversial. Sementara ia adalah seorang advokat sepanjang hayat untuk perempuan, di sisi lain ia juga adalah seorang kritikus suffragisme dan feminisme tanpa henti, terutama selama masa jabatannya sebagai editor The Freewoman, The New Freewoman, dan The Egoist dari tahun 1911 hingga 1914. Pembangkangannya dari modernitas membawanya untuk mengadopsi bentuk egoisme yang, dalam pandangannya, menggeser atau menggantikan filosofi feminis. Gerakan suffrage di Inggris mencapai puncak ketenaran dan dukungan publiknya sebelum Perang Dunia I, terutama melalui agitasi, pembangkangan sipil, dan teater politik Women’s Political and Social Union (WPSU[6]). Periode 1908–1914 memberikan kesempatan yang sangat baik bagi WPSU untuk membangun organisasi dan gerakannya. Berdasarkan pekerjaan awalnya di WPSU, Marsden dipandang oleh pimpinan, Emmeline dan Christabel Pankhurst, sebagai pejuang yang sangat berbakat dan bersemangat untuk pembebasan perempuan. Pimpinan WPSU bermaksud untuk menumbuhkembangkan bakat Marsden dalam public speaking dan berorganisasi untuk membangun keanggotaan dan menggalang dana untuk organisasi. Ekspektasinya adalah bahwa, dia akan mendukung rencana pertumbuhan organisasi, mengikuti arahan dari pimpinan WPSU. Akan tetapi, Marsden selalu mengekspresikan “kejeniusan teatrikal akan antagonisme spektakuler,” menggunakan retorika dan teater jalanan untuk menarik perhatian pada isu-isu perempuan dengan memprovokasi otoritas. Kegiatan “organisasi” dan “penggalangan dana”-nya cenderung menjadi bentuk teater jalanan yang mendramatisir konsep individualisme feminisnya yang berkembang dan agresif. Dia ditangkap beberapa kali, menghabiskan waktu di penjara, berpartisipasi dalam mogok makan, dan dipaksa makan secara brutal, sampai menderita luka seumur hidup sebagai akibatnya. Dia adalah seseorang yang selalu lebih ke ‘pejuang dan provokator’ daripada ‘fungsionaris’ yang disiplin, sebuah fakta yang semakin mengganggu kepemimpinan WPSU. Masalah yang ia alami dalam aktivisme politiknya dapat diringkas dengan mengatakan bahwa: Pankhurst ingin “mengubah seorang anarkis menjadi birokrat”, sebuah transformasi yang ditentang Marsden secara mendalam.[7]

Pada tahun 1909, Marsden membaca Stirner dan Nietzsche dan tertarik untuk mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang kritik Stirner terhadap ideologi dan gerakan sosial. Perihal politik, dia menunjukkan preferensi yang jelas pada aksi langsung yang independen, daripada apa yang dia lihat sebagai kelambanan, keleletan organisasi otoriter dan kolektivis yang berbelit-belit. Dia kurang memperhatikan rencana strategis dan pengambilan keputusan hierarkis dari pembentukan suffragis. Akibatnya, Marsden semakin dipandang oleh pimpinan WPSU sebagai liabilitas dan ”meriam lepas”.[8] Pengunduran dirinya dari WSPU pada tahun 1911 disebabkan oleh ketidaksetujuannya dengan taktik serikat tersebut, perbedaan filosofisnya dengan tujuan politik suffragisme, dan penolakannya untuk melakukan pengajuan (izin) aktivitas dan organisasi penggalangan dananya kepada Pankhurst dan rekan-rekannya untuk mendapatkan persetujuan sebelumnya. Dengan berdirinya The Freewoman pada tahun 1911, karir Marsden sebagai aktivis politik secara substansial berakhir dan karirnya sebagai penulis, editor, dan intelektual publik radikal pun dimulai.

Analisis dan komentar Marsden tentang suffragisme dan feminisme tersebar di ketiga jurnalnya. Sementara dia sangat senang mengolok-olok kepemimpinan WPSU dan menyerang gerakan suffragis dan feminis yang lebih luas, perjuangan Marsden dengan isu-isu yang berkaitan dengan pembebasan perempuan mendorongnya untuk mengartikulasikan posisi egois pada budaya dan politik. Egoismenya tidak diragukan lagi berkembang dari pembacaannya tentang Stirner, tetapi ia memperoleh bentuk, isi, dan ritmenya dalam pertemuannya dengan teori dan gerakan suffragisme dan feminisme. Dia memberikan kritik terhadap konsep kebebasan suffragis, kecenderungan sentralis gerakan sosial, dan gagasan bahwa orang-orang dapat dibebaskan oleh negara; yang mana semua kritiknya merefleksikan pengaplikasian konsep Stirner pada gerakan sosial. Menjelang akhir masa jabatannya sebagai editor The Egoist pada bulan Juni 1914, dia merefleksikan rasa frustrasi yang muncul di dalam gerakan suffrage, khususnya di dalam WPSU, dengan “pengulang-ulangan yang tak berkesudahan dan argumen usang” dari tujuan yang telah didesak pada generasi baru perempuan sebagai isu yang urgen.[9] Marsden meragukan bahwa suffragisme mendekati sesuatu yang sangat urgen sebagian besar karena, “secara nominal” para pendukungnya hanya peduli dengan hak pilih dan tantangan yang dihadapi perempuan dalam kehidupan sehari-hari.

Apa yang disebut gerakan suffrage itu lebih berkaitan dengan pelembagaan dan pemeliharaan hierarki di dalam WPSU, yang berarti mendiskreditkan lawan politik keluarga Pankhurst dan rekan-rekannya. Marsden berpendapat bahwa, gerakan politik biasanya kehilangan gairah dan arahnya seiring waktu, dan menciptakan ritual “menyedihkan dan monoton” yang menegaskan kembali ingatan dan mitos tentang kontribusi para pemimpin pada “tujuan”. Para penganutnya, yang awalnya mencari partisipasi dalam gerakan untuk mendapatkan bantuan atas masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari, akhirnya direduksi menjadi status “penggugat” yang didorong kembali untuk mengacaukan solusi atas keluhan mereka dengan “retorika kebebasan” yang bertingkat-tingkat. Penggugat adalah unit tingkat rendah, disebabkan karena membuat klaim bahwa mereka harus menerima “hak” agar “bebas.” Bagi Marsden, “klaim-klaim sosial dan politik adalah celaan dari mereka yang tidak berdaya: rengekan untuk perlindungan. Semua ‘klaim’ suffragis adalah dari urutan ini.”[10] Rengekan untuk perlindungan tidak kurang dari seruan kepada orang lain yang kuat, terutama kepemimpinan gerakan dan negara, untuk membebaskan individu dari tanggung jawab, kekuasaan, dan properti. Rengekan adalah wacana ragamuffin. Tujuan Marsden menulis tentang fixed ideas gerakan politik adalah untuk mengurai klaim hak dan perlindungan dari “pusat kekuasaan: diri. Seseorang memiliki kebebasan jika dia memiliki kekuatan, dan ukuran kekuatan adalah urusannya sendiri.” Kolektivisasi keluhan adalah pelembagaan ragamuffinisme.

Artikel berjudul “Bondwomen” dalam edisi awal The Freewoman pada bulan November 1911 menguraikan arah filosofis yang direncanakan Marsden untuk jurnal tersebut. Ini juga memberinya kesempatan untuk membedakan posisinya dari posisi WPSU.[11] “Bondwomen” adalah kritik besar terhadap status perempuan dalam masyarakat yang bertentangan dengan konsep “bondwoman[12]” dengan “freewoman[13]”, dengan alasan bahwa suffragisme dan feminisme adalah jalan yang tidak memadai menuju kebebasan karena hanya mereproduksi ragamuffinisme dalam bentuk baru. Tema ini ditegaskan kembali dalam beberapa artikel yang muncul di The Freewoman dan The New Freewoman. Artikel dan komentarnya dalam The Egoist lebih tegas mengungkapkan anggapan bahwa hal-hal yang menyangkut kondisi perbudakan perempuan memiliki makna yang lebih luas. Artinya, tujuan filosofisnya bukanlah pembebasan perempuan, melainkan pembebasan-diri individu. Hal ini mengatasi ragamuffinisme dalam segala bentuknya.

Awal terjunnya ke dalam filosofi pembebasan di The Freewoman masih memberikan indikasi kuat tentang berkembangnya egoisme Marsden dan pengaruh Stirner, meskipun mengandung terminologi yang pasti dia hindari. Misalnya, Marsden sering menggunakan istilah “spirit” dan “spiritual” untuk menunjukkan gairah dan intensionalitas perempuan, dan bukan dalam artian religius atau Hegelian. Kendati demikian, bahkan artikel awalnya mengungkapkan konsep Stirner dan metode dialektis yang akan digunakan Marsden secara konsisten dalam artikel dan editorialnya di ketiga jurnal. Metodenya dimulai dengan statement yang gamblang, dramatis, dan kontroversial tentang topiknya. Dia mengikuti cara ini dengan diskusi yang lebih analitis dan bijaksana yang dimaksudkan untuk mengungkapkan perkembangan dialektis dari masalah tersebut. Antagonisme muncul di awal esai dan bertahan sampai resolusi muncul di akhir. Antagonisme antara konsep atau kekuatan sosial diselesaikan ke arah egoisme, atau gagasan bahwa individu harus memanfaatkan kehendak dan sumber dayanya sendiri untuk menegaskan kekuasaan atau memperoleh properti.[14] Dengan demikian, antagonisme antara “kondisi perbudakan” tradisional perempuan dan gerakan suffrage mengungkapkan bahwa suffragisme hanya menghasilkan bentuk lain dari “bondwomen”. Konflik antara servilitas[15] tradisional dan suffragisme digantikan oleh egoisme sebagai presuposisi yang lebih tinggi.

Bondwomen” berbeda dari “freewomen” dengan perbedaan mendasar: mereka [bondwomen] bukan individu yang otonom; mereka tidak memiliki kehendak, spirit, atau niat mereka sendiri. Tidak ada yang menjadikan mereka sebagai individu yang unik dan mandiri. “Mereka hanyalah pelengkap. Dengan kebiasaan berpikir, dengan bentuk aktivitas, dan sebagian besar oleh preferensi; mereka melengkapi kepribadian beberapa individu lain, daripada mengembangkan kepribadian mereka sendiri.”[16] Secara historis, “bondwomen” mendefinisikan status dan praktik kerja perempuan. Menggunakan konsep tuan dan pelayan, Marsden berpendapat bahwa: perempuan sebagai kategori di masa lalu telah menunjukkan sedikit atribut dari “pelayan”, sementara kualitas “tuan”, seperti memaksakan hukum, menetapkan standar, menetapkan hak dan kewajiban, memperoleh properti, telah diturunkan ke laki-laki. Perempuan telah menjadi “pengikut, penganut, yang taat-hukum, yang bermoral, yang secara konvensional mengagumi” yang kebajikannya adalah kelas bawahan. Perempuan telah menjabat sebagai fungsionaris dan pelayan. Mereka hidup dengan “ajaran yang dipinjam” yang dikeluarkan oleh laki-laki. Hierarki masyarakat memastikan bahwa beberapa laki-laki harus menjadi pelayan, tetapi semua perempuan adalah pelayan dan semua tuannya adalah laki-laki. Apa yang secara fundamental mencirikan perempuan adalah kondisi mereka yang seperti budak.

Tujuan akhir dari perjuangan kebebasan perempuan adalah penguasaan atau kepemilikan-diri. Kepemilikan-diri tidak mungkin tanpa kepemilikan sesuatu di luar diri sendiri. Agar perempuan memiliki diri mereka sendiri, mereka harus memiliki properti material. Tanpa properti, orang dipaksa untuk menjual diri mereka sendiri atau tenaga kerja mereka kepada orang lain yang dapat menukar tenaga kerja dengan upah atau hadiah dalam bentuk barang yang diperlukan untuk kelangsungan hidup. Di luar hubungan ekonomi, orang-orang tanpa kekuasaan harus menukar apa yang mereka miliki untuk desiderata yang mereka cari dari dunia dan dari orang lain. Orang yang tidak memiliki properti tidak dapat menjadi tuan-nya sendiri, tidak dapat memiliki diri-nya sendiri, tidak dapat otonom, dan tidak dapat memiliki kehendak bebas. Orang yang tidak memiliki properti harus menjadi “orang sewaan”, menjual tenaga kerja atau menukar sumber daya pribadi untuk kelangsungan hidup, kenyamanan, dan keamanan materi. Dialektika powerlessness[17] dan propertylessness[18] memungkinkan untuk memahami perjuangan perempuan dalam masyarakat modern. Dia mengatakan bahwa, perempuan secara keseluruhan memiliki sedikit atau tidak ada properti sama sekali. Akibatnya, proses barter sendiri dimulai segera dan terjadi hampir secara otomatis setiap hari. Kunci pembebasan adalah memutus proses ini dengan menegaskan kekuasaan dan memperoleh properti—mengatasi ragamuffinisme.

Marsden tidak tertarik untuk merinci sejarah penindasan perempuan, dia ingin memahami manifestasi modernnya dan memprovokasi pemberontakan melawannya. Untuk melakukannya, dia mengatakan penting untuk mengakui bahwa perempuan memikul tanggung jawab atas penindasan dan pembebasan mereka. Penindasan dan pembebasan memiliki komponen internal dan eksternal. Perempuan tidak akan pernah bebas dari perbudakan, kecuali mereka memahami bagaimana mereka telah berkontribusi untuk perbudakan tersebut. Alasan mengapa laki-laki secara historis berhasil “menekan” perempuan adalah karena perempuan “jatuh dalam dirinya sendiri—yakni, lebih lemah dalam pikiran.” Mereka yang didorong ke tingkat yang lebih rendah dari hierarki sosial adalah yang inferior, sebagian, karena mereka percaya diri mereka lebih rendah (inferior). Untuk mengubah status perempuan, perempuan harus mengubah cara mereka memandang diri mereka sendiri. “Ketika perubahan terjadi pada keadaan itu sendiri—yaitu, ketika ia menjadi setara atau lebih tinggi—dengan sifat keberadaan-nya sendiri ia muncul.”[19] Dalam modernitas, kondisi perbudakan perempuan dimanifestasikan dalam status “protected”-nya; mereka “dilindungi” oleh laki-laki, budaya, dan negara. Status yang dilindungi membantu menjelaskan kontradiksi dan “pengaruh yang memabukkan dari sekuritas (keamanan) dan irresponsibilitas (ketidakbertanggungjawaban)” yang “menenangkan perempuan agar bersedia menerima” status sosial mereka. Proteksi berarti bahwa sekuritas diberikan kepada perempuan, tetapi mereka harus melepaskan kekuatan mereka untuk mencari nafkah, berpikir, dan menuntut responsibilitas atas hidup mereka. Gerakan politik dan advokasi bagi perempuan harus dinilai dari perspektif ini. Sejauh mana suffragisme dan feminisme menganjurkan dalam teori dan praktiknya untuk mengatasi “protected status” perempuan demi kepemilikan-diri (self-ownership)? Sejauh mana suffragisme dan feminisme mengadvokasi kepemilikan-diri dan penggantian bondwomen dengan freewomen? Sejauh mana suffragisme dan feminisme mempromosikan akuisisi properti dan kekuasaan oleh perempuan?

Pilihan politik bagi perempuan adalah untuk “tenggelam kembali” ke dalam status historis propertylessness dan powerlessness, atau untuk “berdiri dan diakui sebagai ‘tuan’ di antara ‘tuan-tuan’ lainnya.’” Marsden tidak yakin bahwa suffragisme dan feminisme adalah jalan yang layak menuju pembebasan. “Kultus suffragisme” dimulai dari sebuah premis yang mengkonseptualisasikan status inferior dan subordinat bagi perempuan. Ia “bersikap di atas kelemahan dan kesedihan kondisi perempuan.” Dikatakan, “Apakah perempuan tidak lemah? Apakah perempuan tidak tertindas? Apakah perempuan tidak membutuhkan perlindungan? Oleh karena itu, berilah mereka sarana yang dengannya mereka dapat dilindungi.”[20] Bagi suffragisme dan feminisme awal abad kedua puluh, pemberian “sarana yang dengannya mereka dapat dilindungi” sama dengan perolehan suara dan partisipasi dalam pembuatan undang-undang yang melindungi perempuan. Ini adalah pemberian “hak basa-basi (kesopanan),” atau pemenuhan politik dari keyakinan kemanusiaan bahwa perempuan harus memiliki “hak” untuk dilindungi dari konsekuensi yang lebih mengerikan dari perbudakan. Ini sendiri bukanlah mengatasi perbudakan. Hak-hak diberikan oleh negara sebagai basa-basi kesopanan modernis kepada perempuan. Unsur dasar ideologi suffragis adalah bahwa kebebasan perempuan dicapai melalui partisipasi perempuan dalam pembuatan undang-undang yang berorientasi pada perlindungan perempuan, tidak lepas dari ragamuffinisme.

Marsden juga percaya bahwa teori dan strategi suffragisme itu cacat karena didasarkan pada konsep kebebasan yang ditolaknya. Kebebasan untuk egois adalah tindakan, bukan kondisi, atau keadaan keberadaan. Konsep “kebebasan” mengandaikan suatu kondisi di mana orang mengalami apa yang melekat pada kondisi tersebut dan bukan dalam aktivitas-nya. Akan tetapi, hal ini adalah kontradiksi karena tidak ada kondisi di mana kebebasan dialami oleh objek-objek yang tidak dapat beraksi (lembam); yang ada hanyalah aktivitas membebaskan diri. Tindakan membebaskan diri dapat memperoleh “atmosfer” di mana makna dikaitkan dengan tindakan oleh pengamat eksternal, tetapi tindakan tersebut pada dasarnya adalah gagasan tentang kekuatan yang menerobos penghalang. “Terobosan” adalah tindakan tunggal untuk “mendapatkan kebebasan.” Ini adalah aksi spesifik dan nyata yang memiliki jangka waktu terbatas, awal, akhir, dan durasi yang dapat diketahui. Setelah tindakan terjadi, ia pun selesai. Ia tidak memerlukan “eksistensi yang independen dengan caranya sendiri,” ia tidak menjadi kondisi eksternal yang objektif. Ia tidak menempati ruang apa pun; ia hanya terjadi pada waktunya. Setiap “eksistensi yang terpisah” dari tindakan tersebut hanyalah “atmosfer” yang eksis dalam wacana dan ingatan pengamat eksternal. Kehidupan sehari-hari adalah proses “mengatasi resistensi spesifik” terhadap lintasan perilaku individu. Menerobos penghalang adalah “urusan individu yang harus dijalankan dalam diri sendiri.” Hanya seorang yang benar-benar peduli tentang pembebasan individu: orang yang memakai, merasakan, dan membenci belenggu. Belenggu harus dipatahkan oleh orang tersebut. Jika belenggu-belenggu tersebut dilepaskan oleh seorang laki-laki eksternal, pada akhirnya belenggu akan muncul kembali dengan tiba-tiba dari orang lain yang lebih kuat dan lebih bertekad. Seperti yang digunakan oleh para suffragis, atau agen dari setiap gerakan politik, “kebebasan” adalah atmosfer yang dikaitkan dengan aksi yang telah “digarap” atau direifikasi untuk melayani kepentingan organisasional. Atmosfernya, aksi-aksi yang direifikasinya, adalah “eksploitasi ganas dari aktivitas normal bekerja sendiri bebas dari kesulitan.”[21]

Upaya gerakan sosial seperti suffragisme dan sosialisme untuk mendefinisikan diri mereka dalam istilah kebebasan adalah mencoba memberi makna pada kualitas dunia luar yang statis dan lembam. Ini adalah upaya yang sia-sia untuk memumikan aksi, atau untuk mereduksi perilaku manusia ke lanskap atau atmosfer. Tindakan membebaskan adalah kualitas waktu, bukan ruang, di mana ujung adalah motif yang mendorong perjuangan seseorang. Tidak ada artinya mendirikan suatu gerakan atau suatu organisasi yang berusaha membangun “kebebasan” seolah-olah itu merupakan suatu kondisi atau kualitas ruang. Kebebasan adalah aksi dan hanya bisa eksis dalam waktu. Tidak ada perjuangan untuk kebebasan karena ia bukanlah objek. Ia tidak dapat dipisahkan dari perbuatan. Retorika gerakan perempuan dan gerakan buruh yang berusaha melegitimasi hierarki organisasional dan pembagian pemikiran dan aksi melalui seruan terhadap “kebebasan perempuan” atau “kebebasan pekerja” adalah banalitas dan mis-statement yang hanya mendorong perempuan dan pekerja untuk “mengejar bayangan mereka sendiri.” “Penyebab” juga merupakan atmosfer belaka karena referensi berpura-pura membatasi atau mengkonseptualisasikan aksi, kata, artefak, orang, dan hubungan yang tak terbatas jumlahnya menjadi satu kesatuan entitas yang terintegrasi yang memiliki “eksistensi yang terpisah”. “Penyebab” adalah wacana dan ingatan yang memiliki makna yang dikaitkan dengannya oleh pengamat yang biasanya berada di luar (eksternal) dari aksi. “Penyebab” eksis untuk memberikan penghiburan dan proteksi di suatu tempat di antara mereka yang “kehilangan naluri untuk beraksi” agar dapat “menghibur diri dengan kata-kata.” Meskipun semua penggugat mungkin “terpesona oleh jargon”, di mana individu terpesona oleh retorika: ada “konsekuensi petaka yang sangat berbahaya bagi diri mereka sendiri.”[22]

Dalam edisi awal The Egoist, Marsden benar-benar seorang insureksionis. Dia bukan lagi seorang reformis atau revolusioner. Dia mengadopsi konsep pemberontakan egois Stirner dan, kadang-kadang, menunjukkan bahwa insureksi dari banyak freewomen dapat menghasilkan transformasi sosial. Berbeda dengan bondwomen, yang menukar satu bentuk subordinasi untuk yang lain karena mereka hanya menjadi penuntut yang tunduk pada tujuan, gerakan, dan negara; freewomen “merasakan di dalam diri kita gejolak kekuatan baru dan tenaga yang tumbuh,” berniat untuk membentuk sebuah “perkembangan yang lebih tinggi dalam evolusi ras manusia dan pencapaian manusia.” Freewomen menghindari proteksi demi “usaha keras” untuk memikul tanggung jawab mereka sendiri. “Mereka tidak menyimpan dendam dan mengklaim tidak ada pengecualian karena beban yang lebih besar yang telah dibuat oleh alam. Mereka menerimanya dengan rela, karena peluang dan kekuatan tambahan mereka.”[23] Aksi politik, seperti pemungutan suara, hanya akan memberikan “kuota kecil” untuk transformasi ini karena tindakan kolektif hanya membahas bentuk, bukan konten maupun maksud dari pembebasan. Niat atau kehendak itu berasal dari dalam diri perempuan. Freewomen menolak “proteksi” yang ditawarkan oleh pernikahan dan proteksi yang dijanjikan oleh gerakan suffragis dan negara. Dia harus “menghasilkan dalam dirinya kekuatan yang cukup” untuk menghidupi dirinya sendiri dan anak-anaknya. Dia harus memperoleh properti dengan bekerja, menghasilkan uang, dan mengadopsi semua insentif yang mendorong “usaha keras” oleh laki-laki—kekayaan, kekuasaan, gelar, dan kehormatan publik—sehingga dia tidak perlu meminta pemeliharaan dari laki-laki, gerakan, atau pemerintah mana pun. Doktrin feminis, oleh karena itu, menghadapi banyak kesulitan bagi perempuan karena hal itu berarti pemutusan total perbudakan masa lalu dan tidak dapat memberikan perempuan jaminan sekuritas, kemakmuran, dan kenyamanan yang sama. Sementara pembebasan egois adalah mungkin bagi perempuan yang menegaskan kekuasaan dan memperoleh properti, Marsden tidak mengharapkan transformasi seperti itu dalam waktu dekat karena merek feminismenya kemungkinan tidak akan diterima oleh “perempuan biasa yang belum menanggung cap individual.” Dia memperkirakan, dengan agak optimis, bahwa “interpretasi kita tentang doktrin tersebut hanya perlu dinyatakan dengan jelas untuk ditolak secara terus terang oleh, setidaknya, tiga dari setiap empat perempuan.”[24]

[1] Ragamuffin adalah seseorang (biasanya anak-anak) yang berpakaian kotor dan compang-camping seperti pengemis. Istilah ragamuffinisme ini (sejauh pemahaman penerjemah) digunakan untuk menggambarkan kondisi seseorang yang merengek dan mengemis kepada otoritas layaknya seorang anak kecil atau pengemis; hal ini sangat bertentangan dengan prinsip egois yang mana kebebasan itu ada pada diri sendiri bukan dari kemurahan hati orotitas. [Penerj.]

[2] Perjuangan hak suara atau hak pilih perempuan. [Penerj.]

[3] Dora Marsden, “Democracy,” The New Freewoman, 15 Juli, 1913, t.hlm. Tersedia secara Daring di i-studies.com (diakses 3 Mei, 2010).

[4] Sebutan untuk orang-orang pendukung suffrage (hak pilih) perempuan. Selain suffragis, ada juga sebutan suffragetee. Sebutan ini sering dikaitkan dengan aktivis WSPU. Mengenai WSPU nanti akan dibahas. [Penerj.]

[5] Dora Marsden, “The Lean Kind,” t.hlm.

[6] Gerakan politik khusus perempuan dan organisasi militan terkemuka yang mengkampanyekan hak pilih perempuan di Inggris dari tahun 1903 hingga 1918. [Penerj.]

[7] Clarke, Dora Marsden and Early Modernism, hlm. 47–56.

[8] Hubungan Marsden dengan pimpinan WPSu dibahas dalam bukunya Clarke, Dora Marsden and Early Modernism, hlm. 47–94. Les Garner juga membahasanya dalam A Brave and Beautiful Spirit: Dora Marsden, 1882–1960 dan Stepping Stones to Women’s Liberty: Feminist Ideas in the Women’s Suffrage Movement, 1900–1918.

[9] Dora Marsden, “Views and Comments,” The Egoist, 15 Juni, 1914, t.hlm. Tersedia secara Daring di i-studies.com (3 Mei, 2010).

[10] Dora Marsden, “Views and Comments,” The New Freewoman, 15 Juni, 1913, t.hlm. Tersedia secara Daring di i-studies.com (diakses 3 Mei, 2010).

[11] Marsden, “Bondwomen,” t.hlm.

[12] Budak perempuan. [Penerj.]

[13] Perempuan merdeka. [Penerj.]

[14] Clarke, Dora Marsden and Early Modernism, hlm. 58.

[15] Watak budak. [Penerj.]

[16] Marsden, “Bondwomen,” t.hlm.

[17] Ketidakberdayaan. [Penerj.]

[18] Kekurangpropertian. [Penerj.]

[19] Marsden, “Bondwomen,” t.hlm.

[20] Marsden, “Bondwomen,” t.hlm.

[21] Marsden, “Views and Comments,” The New Freewoman, 15 Juni, 1913, t.hlm.

[22] Marsden, “Views and Comments,” The New Freewoman, 15 Juni, 1913, t.hlm.

[23] Marsden, “Bondwomen,” t.hlm.

[24] Marsden, “Bondwomen,” t.hlm.