Introduksi

Bulan Maret adalah bulan yang menandai hadirnya pemberontakan Kronstadt di Rusia tahun 1921, tahun-tahun penting pasca insureksi Oktober 1917 yang menjadi landasan citra keberhasilan revolusi proletariat pertama di dunia yang terorganisir dan ideologis. Dari kelompok-kelompok para pendukung Bolshevik, bahkan juga dari sudut pandang para borjuis, momen 1917 tersebut adalah momen penting yang tak boleh terlupakan.

Selanjutnya, sebuah pemahaman atas insureksi Oktober 1917 sangat penting bagi berbagai pemahaman yang dapat menjelaskan mengapa gerakan Kiri di Indonesia, telah gagal semenjak kehadirannya di abad ke-20 hingga sekarang ini, tidak hanya pasca tragedi 1965, tetapi bahkan juga pasca tumbangnya Suharto untuk tidak menyebut hal-hal eksternal lain yang mestinya juga patut diperhitungkan. Dan diskusi mengenai insureksi Oktober 1917 tak sekalipun berhasil melampaui argumen-argumen standar tentang pemberontakan Kronstadt.

Tema sentral yang sesungguhnya patut juga dipertanyakan dan diperdebatkan bukanlah sekedar persoalan bagaimana sistem kapitalisme ini terus berjalan, melainkan juga kesalahan-kesalahan apa yang dilakukan oleh mereka yang mengaku dirinya sebagai bagian dari proletariat, yang melakukan tindak-tindak bersejarah. Mengkritisinya artinya berusaha untuk tidak terjerat ke dalam perangkap yang sama. Artikel mengenai Kronstadt ini adalah sebuah tulisan yang ditulis untuk menjelaskan tiga poin utama. Pertama, untuk mempertahankan revolusi Oktober dari kampanye borjuis tentang “kematian komunisme” pasca kolapsnya blok Timur tahun 1989. Kedua, artikel ini juga bertujuan untuk melawan gaung yang berkata bahwa kegagalan Revolusi Rusia adalah sebuah konfirmasi atas oposisi prinsipil rata-rata kaum anarkis ortodok yang menyatakan bahwa itu adalah tanda kesalahan ide kediktatoran proletariat. Tapi mereka tak pernah sekalipun mempertimbangkan kesulitan-kesulitan dalam membangun sebuah masyarakat baru di tengah negeri yang luluh lantak oleh perang sipil. Dalam poin ketiga, untuk membuat perbedaan yang jelas bahwa tidak selalu Marxisme berarti juga Bolshevikisme seperti yang dipahami banyak orang di Indonesia. Untuk mengkritisi sesuatu yang mengakar jauh ke belakang, kadang kita harus memulainya juga dari belakang. Jadi untuk memberikan sudut pandang lain soal Revolusi Rusia dan pemahaman lebih jauh bahwa tidak selalu Marxisme berarti Bolshevikisme dalam konteks implementasi idenya ke tataran praksis, maka perlu dimulai juga untuk menilik dan memahami kasus pemberontakan Kronstadt, yang dimotori justru oleh para pekerja komunis yang awalnya paling setia terhadap ide kediktatoran proletariatnya Bolshevik.

Artikel yang disusun dalam beberapa bagian ini adalah upaya untuk mengajukan otokritik dalam sejarah sosial, demi pembangunan sebuah politik revolusioner yang dapat belajar dari kesalahan-kesalahannya sendiri, selain hanya kesalahan-kesalahan pihak oposannya. Juga akan diperlihatkan bahwa kebijakan-kebijakan Bolshevik memang sangat problematis semenjak dari awal. Tahun 1917, Lenin berpendapat bahwa sebuah kapitalisme privat tak akan dapat memajukan Russia, sebuah negara revolusioner harus menggunakan ‘kapitalisme negara’ untuk membangun transisi menuju tatanan masyarakat komunis. Pendekatan ini pada gilirannya justru membangun konfliknya sendiri dengan kelas pekerja. Dengan demikian, akibat revolusi yang gagal menyebar keluar dari batas-batas negeri Russia, Bolshevik menekankan sebuah kedisiplinan eksternal bagi pekerja, yang dengan sangat efektif justru menihilkan penekanan Marx atas “emansipasi diri kelas pekerja”.

Hanya konsep “emansipasi diri” kelas pekerja yang dapat menciptakan komunisme dengan secara bebas membuat dan mempertahankan revolusi yang mereka bangun sendiri. Maka aksi para pekerja yang mengambil alih kontrol harian atas segala aspek masyarakat adalah esensi dari proses revolusioner, sekaligus tujuan akhir dari perjuangan. Masyarakat komunis bukanlah sesuatu yang hanya akan muncul di kemudian hari, tetapi juga adalah masyarakat yang bibit-bibitnya harus diciptakan di masa sekarang.

Lebih jauhnya, artikel ini juga sebagai bagian kecil saja dari upaya untuk memperlihatkan konsekuensi-konseksuensi berbahaya saat mengidentifikasikan partai proletariat dengan negara transisional, serta adanya kebutuhan bagi kelas proletariat secara keseluruhan untuk menjaganya agar tetap berdiri otonom dari organ-organ negara beserta aparatusnya—sesuatu yang akan sulit dilakukan tetapi menjadi poin penting pasca pengambil alihan kekuasaan politis oleh para pekerja. Kekurangan dasar sejarah dan mengambil pelajaran darinya, hanya akan berujung pada pengkambing-hitaman seluruh oposisi Bolshevik sebagai kekuatan Putih (Tzar) sebagaimana Suharto mengkambing-hitamkan seluruh oposisinya sebagai komunis, yang pada gilirannya hanya akan menjebloskan gerakan proletariat untuk terpuruk kembali jauh ke belakang. Untuk berbicara Marxisme berkembang maju dengan sekedar merujuk para eksistensi negara-negara blok Timur, maka tentunya kita juga perlu mempertanyakan, benarkah dengan keberadaan negara-negara tersebut ia telah berkembang maju menuju pembentukan masyarakat tanpa kelas atau sesungguhnya semua hal tersebut hanya ilusi yang menabiri fakta yang memperlihatkan bahwa yang terjadi sekedar pergantian komposisi di jajaran kelas penguasa. Dengan kata lain, tanpa memahami dari mana kita berasal, kita tak akan tahu ke mana kita akan melangkah dan menuju.

Revolusi Oktober dan Kediktatoran Proletariat

Pendekatan Marxian atas masalah Kronstadt hanya dapat berangkat dengan mengafirmasikan bahwa revolusi Oktober 1917 adalah revolusi proletariat, sebuah momen yang membuka revolusi proletarian dunia yang mana merupakan respon atas kelas pekerja internasional terhadap perang imperialis 1914—1918. Perang tersebut pada gilirannya menandai pintu masuknya kapitalisme dunia ke dalam era yang lebih buas yang sulit untuk diredam, yang dengan demikian membuat revolusi proletariat menjadi sebuah kebutuhan di semua negeri. Perlu diafirmasikan juga bahwa partai Bolshevik, yang meletakkan dirinya sendiri sebagai pemimpin insureksi Oktober, sebagai partai komunis, proletarian, kekuatan vital di tengah kaum Kiri internasional pasca pengkhianatan Internasional Kedua di tahun 1914, yang terus mempertahankan posisi kelas proletariat selama Perang Dunia dan periode-periode sekitarnya.

Melawan mereka yang mendeskripsikan insureksi Oktober sekedar sebagai kudeta, langkah tegas yang dilakukan oleh elit-elit konspiratif, perlu ditekankan bahwa insureksi adalah sebuah titik puncak proses panjang perjuangan kelas dan pendewasaan kesadaran kelas pekerja; yang terepresentasikan dalam pengambil alihan kekuasaan politik secara sadar oleh kelas pekerja yang terorganisir dalam soviet-soviet, komite-komite pabrik dan milisi Merah. Insureksi adalah bagian dari sebuah proses liquidasi negara borjuis dan pemapanan kediktatoran proletariat, dan sebagaimana yang ditekankan dengan penuh gairah oleh para Bolshevik, signifikansinya adalah bahwa hal tersebut menandai momen penentu pertama dalam revolusi proletarian dunia, perang sipil internasional melawan borjuis. Ide bahwa insureksi sengaja dilakukan untuk membangun ‘sosialisme’ di Rusia itu sendiri sangat jauh dari pemikiran para Bolshevik saat itu, merunut pada sejumlah kebingungan dan kesalahan program ekonomi revolusi yang segera disusun, kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan dengan mengorbankan gerakan pekerja era tersebut secara keseluruhan.

Melemahnya Kediktatoran Proletariat

Revolusi yang diinisiasikan pada bulan Oktober 1917 tersebut gagal untuk melebarkan sayapnya secara internasional meskipun beberapa upaya pemberontakan dilakukan di sepanjang Eropa. Wajah Rusia sendiri telah penuh carut marut akibat perang sipil yang panjang dan berdarah, yang mengandaskan ekonomi dan memfragmentasikan kelas pekerja industri, tulang punggung kekuasaan soviet. Dalam konteks isolasi dan kekisruhan internal, kesalahan ideologis Bolshevik yang segera setelah mereka berkuasa, memberlakukan hegemoni politik melawan kesadaran politik kelas pekerja: membubarkan komite-komite pabrik, soviet-soviet yang independen dan berbasiskan di tataran akar rumput saat mereka menolak dipimpin oleh partai Bolshevik.

Pendelegasian kekuasaan terhadap sebuah partai, pengeliminasian komite-komite pabrik, pengalihan gradual kekuasaan soviet kepada aparatus negara, pembubaran milisi-milisi otonom pekerja, tumbuhnya pendekatan militeristik atas berbagai masalah sebagai sebuah hasil dari ketegangan-ketegangan selama periode perang sipil, pembentukan komisi-komisi birokratis, semuanya adalah manifestasi-manifestasi paling signifikan dalam proses kemerosotan revolusi di Rusia.

Perkembangan-perkembangan tersebut bukanlah satu-satunya tanda melemahnya kekuasaan politik kelas pekerja di Rusia sebelum 1921, tetapi hal-hal tersebutlah yang dapat dikatakan paling signifikan. Walaupun beberapa masalah tersebut dapat dirunut bermula sebelum periode Komunisme Perang dimulai, perang sipillah yang menjadi poin terpenting yang menandai evolusi proses tersebut. Semenjak pemberontakan Kronstadt dalam banyak sisi merupakan sebuah reaksi terhadap kekakuan dan kekerasan Komunisme Perang, tetaplah penting untuk memahami periode seperti apa yang melatar belakangi kebangkitan proletariat Rusia tersebut.

Komunisme Perang

Di bawah Kebijakan Ekonomi Baru (KEB)[1] yang diberlakukan untuk mempertahankan republik yang baru terbentuk di Rusia, nyaris menghilangnya uang dan sistem upah serta pengambil-alihan hasil panen dari para petani tidak merepresentasikan sebuah abolisi terhadap relasi-relasi sosial kapitalistik, melainkan sekedar upaya-upaya darurat yang tak terhindarkan akibat blokade kapitalis melawan republik tersebut, serta akibat tuntutan-tuntutan akibat perang sipil yang berkepanjangan. Sejauh kekuasaan kelas pekerja menjadi perhatian utama, kita akan dapat melihat bagaimana periode ini ditandai dengan melemahnya secara drastis organ-organ kediktatoran proletariat yang dibarengi dengan menguatnya kecenderungan birokrasi dan institusi. Kepemimpinan partai negara berulang-ulang mengumandangkan bahwa organisasi otonom kelas pekerja memang tidak salah secara prinsipil tetapi kala tersebut segala sesuatunya harus difokuskan pada perjuangan militer. Sebuah doktrin ‘efisiensi’ juga mulai mengubur prinsip-prinsip penting dari demokrasi proletarian. Dengan berlindung di bawah doktrin ini, negara mulai menginstitusikan sebuah militerisasi pekerja, yang semakin menjadikan para pekerja target bagi eksploitasi dan pengawasan yang sangat ketat dan keras. Disiplin kerja di pabrik-pabrik juga mulai diawasi oleh pasukan-pasukan Tentara Merah. Dengan pengebirian komite-komite pabrik, jalan menuju manajemen oleh satu orang diperkenalkan oleh negara.[2] Fakta kemudian dengan jelas berkata bahwa negara proletarian tersebut sama sekali berada di luar kendali para proletarian itu sendiri, persis seperti era sebelumnya.

Kondisi kerja yang keras dalam pabrik-pabrik tidak dapat dikompesasikan dengan upah tinggi ataupun akses mudah terhadap ‘nilai guna’. Secara kontras, kandasnya ekonomi akibat perang dan blokade, telah membawa seluruh penjuru negeri ke jurang kelaparan, dan para pekerja harus tetap bekerja dengan ransum yang sangat minim, yang kadang diberikan dan kadang tidak. Berbagai sektor industri yang luas tidak berfungsi lagi dan ribuan pekerja terpaksa mengembara kesana kemari dan mempertahankan diri mereka sendiri sekedar demi dapat bertahan hidup. Respon alamiah yang muncul kebanyakan adalah meninggalkan kota dan berusaha mempertahankan eksistensi hidup mereka di daerah-daerah pedesaan; ribuan berusaha bertahan hidup dengan melakukan barter dengan para petani, kadang mempertukarkan barang-barang yang dicuri dari pabrik-pabrik untuk makanan.[3] Semenjak rezim Komunisme Perang melarang pertukaran pribadi, menyerahkan pendistribusian dan penyimpanan barang-barang kebutuhan pokok sebagai urusan negara, banyak orang hanya dapat bertahan hidup melalui pasar-pasar gelap yang bermunculan di mana-mana. Untuk melawan pasar gelap, pemerintah membangun blokade-blokade jalanan yang dipersenjatai untuk memeriksa semua orang yang masuk atau keluar dari kota-kota, sementara di saat yang sama aktivitas Cheka yang berusaha menegakkan keputusan-keputusan pemerintah semakin keras dan represif.[4] ‘Komisi Khusus’ yang dibentuk pada 1918 untuk memerangi kontra-revolusi, semakin bertindak sama kerasnya, menggunakan metoda-metoda kejam yang pada gilirannya menimbulkan kebencian mendalam di berbagai sektor dalam populasi.

Perlakuan ringkas dan keras yang diberlakukan pada petani ternyata juga tidak mendapatkan sambutan positif dari para pekerja. Relasi personal dan kekeluargaan antara banyak sektor dari kelas pekerja dan petani Rusia cenderung membuat para pekerja bersimpati pada keluhan-keluhan yang keluar dari mulut para petani akibat metoda-metoda penuh paksaan yang kadang juga dengan digunakannya pasukan bersenjata untuk meraup hasil panen para petani, khususnya saat pasukan-pasukan tersebut mengambil lebih banyak daripada kelebihan panen yang diproduksi oleh para petani dan hanya menyisakan terlalu sedikit, bahkan untuk kebutuhan keluarga para petani itu sendiri. Sebagai responnya, sering para petani tersebut secara berkala menyembunyikan atau malah menghancurkan tanaman mereka sendiri, yang dengan demikian malah semakin memperparah kemiskinan dan kelaparan yang melanda seluruh negeri. Pemberlakuan metoda-metoda ekonomi yang penuh kekerasan dan ditentang oleh publik, dengan jelas diekspresikan dalam program-program para pemberontak Kronstadt, sebagaimana nanti akan kita lihat.

Apabila para revolusioner seperti Trotsky cenderung untuk berusaha menonjolkan nilai-nilai positif yang diimplementasikan dalam periode yang penuh kekacauan ini dan mengglorifikasikan militerisasi kehidupan ekonomi dan sosial, dan lainnya, Lenin sendiri, justru lebih berhati-hati. Lenin tidak menyembunyikan fakta bahwa soviet-soviet memang tidak lagi berfungsi sebagai organ langsung dari kediktatoran proletariat, dan selama perdebatannya tahun 1921 dengan Trotsky mengenai pertanyaan-pertanyaan tentang serikat pekerja, ia mendukung ide bahwa para pekerja harus mempertahankan dirinya sendiri melawan ‘negara mereka’, khususnya semenjak Republik Soviet bagi Lenin bukanlah sekedar sebuah ‘negara proletarian’ melainkan juga sebuah ‘negara petani dan pekerja’ dengan memperdalam ‘deformasi birokratik’. Mayoritas Bolshevik yakin bahwa sepanjang mereka—partainya para proletariat—mengontrol mesin negara, kediktatoran proletariat akan tetap eksis, bahkan walaupun massa pekerja itu sendiri tampak absen dari panggung politik. Dari posisi yang sedemikian palsu, konsekuensi-konsekuensi terparah yang tak akan dapat terelakkan segera hadir menyusul.

Krisis tahun 1921

Saat perang sipil berakhir, negara Soviet mendapatkan dukungan dari mayoritas populasi semenjak ia diidentifikasikan sebagai sebuah perjuangan melawan kelas para pemilik tanah yang lama dan para kapitalis. Kondisi perang sipil yang ekstrim pada gilirannya telah berhasil membuat solidaritas yang kuat antar para pekerja dan petani-petani kecil. Tetapi pasca kekalahan pasukan imperialis, banyak yang mulai berharap kondisi hidup akan semakin membaik dan rezim yang berkuasa akan semakin melonggarkan kontrolnya atas kehidupan sosial ekonomi.

Kepemimpinan Bolshevik, di antaranya juga Lenin, mulai melihat kebutuhan untuk sedikit relaksasi, khususnya bagi para petani, tetapi masalahnya nyaris seluruh jajaran kepemimpinan partai tetap berdiri mempertahankan metoda Komunisme Perang. Sebagai hasilnya, kesabaran para petani mulai habis. Selama musim dingin 1920-1921, sebuah serial pemberontakan petani meletup di seluruh penjuru negeri. Di provinsi Tambov, tengah area Volga, Ukraina, sebelah barat Siberia dan berbagai regional lain, para petani mengorganisir diri mereka ke dalam grup-grup bersenjata yang melawan pengambil-alihan hasil panen oleh negara, termasuk melawan Cheka. Dalam banyak kasus, jajaran mereka diperkuat oleh anggota-anggota Tentara Merah yang didemobilisasi pasca perang, yang jelas memiliki pengalaman dalam bidang militer. Di beberapa regional, pasukan-pasukan insurgensi dibentuk, setengah gerilya dan setengah bandit. Di Tambov, misalnya, pasukan gerilyawan A.S. Antonov berhasil meraih sekitar 50.000 orang. Kekuatan ini nyaris tidak memiliki motif ideologis, katakanlah setidaknya penolakan tradisional petani terhadap kota, melawan pemerintah yang tersentralisir, yang biasanya mengarah pada independensi borjuis-kecil pedesaan dan swadaya. Baru saja terpaksa menghadapi pemberontakan hebat pasukan petani di bawah pimpinan Makhno di Ukraina, para Bolshevik dihantui oleh kemungkinan akan timbulnya pemberontakan besar petani Jacquerie melawan kekuasaan pusat. Tidak mengherankan apabila lantas mereka segera saja mengasosiasikan pemberontakan Kronstadt dengan ancaman-ancaman yang muncul dari kawasan pertanian. Ini jugalah yang menjadi salah satu alasan mengapa pemberontakan Kronstadt mendapatkan represifitas yang keras dan kejam dari negara.

Tetapi di tengah gelombang pemberontakan petani dan kebangkitan di Kronstadt, sebuah rangkaian peristiwa hadir, sesuatu yang memberikan karakter yang sangat berbeda bagi para pemberontak Kronstadt di mata para pemimpin Bolshevik. Pertengahan bulan Februari 1921, berbagai demonstrasi, pemogokan dan rapat-rapat pabrik muncul di Moskow, menuntut ransum lebih banyak, pemberhentian metode ‘kerja paksa’ yang diinisiasi oleh Komunisme Perang dan legalitas perdagangan bebas dengan daerah pedesaan. Untuk menumpas semua aktivitas tersebut, pasukan dan kadet-kadet dipanggil.

Persis setelah semua ditumpas, sebuah rangkaian pemogokan liar yang jauh lebih besar melanda Petrograd. Dimulai di pabrik besi Trubochny, pemogokan meluas dengan cepat melibatkan banyak perusahaan-perusahaan industrial besar di kota tersebut. Dalam pertemuan-pertemuan pabrik dan demonstrasi, resolusi ditelurkan, menuntut peningkatan jatah makanan dan pakaian semenjak para pekerja beserta keluarganya kedinginan dan kelaparan. Di antara tuntutan-tuntutan ekonomis, beberapa tuntutan politis juga muncul: para pekerja menuntut agar pembatasan perjalanan masuk dan keluar kota ditiadakan, pembebasan tahanan-tahanan kelas pekerja, kebebasan berpendapat, dsb. Jajaran pemerintahan Soviet di kota tersebut dengan Zinoviev sebagai ketuanya, merespon dengan melabeli semua tuntutan pemogokan sebagai sebuah aksi dari kekuatan kontra-revolusi, segera memberlakukan darurat militer di kota, melarang pertemuan-pertemuan, serta memberlakukan jam malam mulai pukul 7. Memang benar apabila dikatakan bahwa di tengah situasi tersebut, elemen-elemen kontra-revolusioner dari kekuatan lama turut campur tangan dan berperan sebagai ‘penyelamat’ tetapi gerakan pemogokan Petrograd pada esensinya adalah sebuah respon spontan para proletariat atas kondisi hidup mereka yang semakin berada di luar batas toleransi. Pemerintahan Bolshevik, bagaimanapun juga, tak dapat menerima kenyataan bahwa para pekerja bangkit melawan ‘Negara Pekerja’ dan segera melabeli, mengkarakteristikkan para pemogok tersebut sebagai pekerja bermental borjuis-kecil, individualis, provokator dan tentu saja: pro-kekuasaan lama dan kontra-revolusi. Mereka juga kemudian berusaha mematahkan pemogokan dengan penghentian pembagian jatah ransum, dan Cheka lokal menangkapi para orator pekerja dan kepala simpul-simpul pekerja. Aksi represif tersebut dikombinasikan dengan berbagai konsesi: Zinoviev menyerukan agar blokade jalanan di sekeliling kota dibuka, pengiriman batu bara dari luar untuk menyuplai bahan bakar di kota yang semakin menipis dan mulai berencana untuk mengakhiri pengambilan hasil panen dari petani. Kombinasi dari represi dan konsiliasi membuat mayoritas para pekerja yang makin melemah dan kelelahan untuk berhenti berjuang dalam harapan akan hidup yang lebih baik.

Tetapi efek terpenting dari gelombang pemogokan di Petrograd tersebut terlihat di kota benteng yang berada di dekatnya: Kronstadt. Garnisun Kronstadt, satu dari kubu-kubu terkuat Revolusi Oktober, telah terlibat dalam perjuangan melawan birokrasi bahkan sebelum pemogokan Petrograd muncul ke permukaan. Selama tahun 1920 dan 1921 jajaran Armada Merah di lautan Baltik telah memerangi tendensi otoritarian para perwira beserta aksi-aksi birokratis POUBALT (seksi politis armada Baltik, organ partai yang mendominasi struktur soviet angkatan laut). Mosi-mosi mulai diajukan dalam berbagai rapat kelasi di bulan Februari 1921, mendeklarasikan bahwa, “POUBALT tidak hanya memisahkan dirinya dari massa, tetapi juga dari fungsi aktifnya. Ia telah bertransformasi menjadi sebuah organ birokratis, bebas dari kekuasaan siapapun di antara kelasi.” (Ida Mett, The Kronstadt Commune, Solidarity Pamphlet no.27, hlm 3).

Dengan demikian kabar mengenai pemogokan di Petrograd dan deklarasi darurat militer oleh pemerintah Petrograd atas populasi, para kelasi tersebut telah berada di ambang batas kesabaran mereka. Tanggal 28 Februari, mereka mengirim delegasi ke pabrik-pabrik Petrograd untuk melihat sendiri apa yang sesungguhnya terjadi. Di hari yang sama, para awak kapal perang Petropavlovsk bertemu untuk mendiskusikan situasi yang terjadi, menghasilkan sebuah resolusi:


"Mendengar reportase dari para kru representatif, yang kami kirim oleh rapat-rapat umum yang diselenggarakan oleh para awak kapal ke kota Petrograd untuk mengklarifikasi situasi yang terjadi di sana, kami memaklumatkan:


  1. Melihat fakta bahwa Soviet yang ada kini tidak mengekspresikan kehendak para pekerja dan petani, untuk diadakan secepatnya pemilihan umum baru atas Soviet-Soviet melalui pengambilan suara yang rahasia, dengan kebebasan bagi agitasi pra-pemilu bagi seluruh pekerja dan petani;

  2. Kebebasan berpendapat dan press bagi para pekerja dan petani, para anarkis dan partai-partai sosialis Kiri;

  3. Kebebasan berserikat bagi serikat-serikat pekerja dan asosiasi-asosiasi petani;

  4. Untuk menyerukan sebuah konferensi non-partai bagi para pekerja, anggota Tentara Merah dan kelasi Petrograd, Kronstadt dan provinsi Petrograd, tidak lebih dari tanggal 10 Maret 1921;

  5. Untuk membebaskan semua tahanan politik dari partai-partai sosialis, termasuk juga seluruh pekerja, petani, tentara dan kelasi yang dipenjarakan atas keterlibatan mereka dalam gerakan-gerakan pekerja dan petani;

  6. Untuk memilih sebuah komisi untuk meninjau kasus-kasus atas mereka yang kini ditahan di penjara-penjara dan kamp-kamp konsentrasi;

  7. Untuk mengabolisi semua politotdel karena tak ada partai yang berhak mendapatkan perlakuan khusus dalam mempropagandakan ide-idenya atau menerima dukungan dari negara untuk tujuan-tujuannya. Di tempatnya harus dikembangkan komisi-komisi edukasional-kultural yang dipilih secara lokal, yang mana negara harus menyediakan sumber dayanya.

  8. Untuk menarik seluruh detasemen blokade anti-penyelundupan;

  9. Untuk menyetarakan semua ransum bagi mereka yang bekerja, dengan pengecualian bagi mereka yang melakukan kerja-kerja yang membahayakan kesehatan;

  10. Untuk menghapus detasemen tempur Komunis di semua unit militer, termasuk penempatan oleh para Komunis penjaga-penjaga yang bertugas di pabrik-pabrik dan lahan-lahan pertanian. Apabila dibutuhkan, maka para penjaga dipilih dari unit-unit militer dalam jajaran ketentaraan dan ditempatkan di pabrik-pabrik serta lahan-lahan pertanian atas kesepakatan para pekerja;

  11. Untuk memberikan kontrol penuh bagi para petani atas tanahnya sendiri, untuk melakukan apa yang mereka ingin lakukan, dan juga untuk memiliki peternakan, yang mana harus diurus dan diatur oleh tenaga mereka sendiri, tanpa mempekerjakan tenaga sewaan;

  12. Untuk meminta seluruh unit militer, termasuk kamerad-kamerad kami para kadet, untuk mendukung resolusi kami;

  13. Untuk menuntut press memberikan publisitas yang luas atas seluruh resolusi kami;

  14. Untuk menunjuk sebuah biro pengawas keliling;

  15. Untuk mengizinkan produksi kriya gratis oleh pekerja secara perseorangan.


Petrichenko, Presiden Pertemuan Brigade

Perepelkin, Sekretaris (Izvestiia of the Provisional Revolutionary Committee no.01, 3 Maret 1921)"


Resolusi tersebut dengan segera menjadi program pemberontakan Kronstadt. Tanggal 1 Maret sebuah pertemuan massa yang dihadiri oleh sekitar 16.000 orang dilangsungkan di garisun, secara resmi dianggap sebagai sebuah pertemuan seksi-seksi Kapal Perang Pertama dan Kedua, dihadiri oleh Kalinin, Presiden Eksekutif Soviet seluruh Russia, serta Kouzmin, komisariat politik Armada Baltik. Walaupun Kalinin disambut dalam pertemuan tersebut dengan musik dan bendera, ia dan Kouzmin segera menyadari bahwa mereka tidak diterima dalam pertemuan tersebut. Seluruh peserta yang hadir mendukung resolusi Petropavlovsk, kecuali Kalinin dan Kouzmin yang bersuara melawan inisiatif populasi Kronstadt dengan sangat provokatif.

Keesokan harinya, 2 Maret, adalah hari di mana soviet Kronstadt dipilih kembali. Pertemuan massa sehari sebelumnya telah menyerukan sebuah pertemuan para delegasi dari kapal-kapal laut, unit-unit Tentara Merah, pabrik-pabrik dan dari mana saja, untuk mendiskusikan rekonstitusi Soviet. 300 orang delegasi bertemu tanggal 2 Maret di kantor Pusat Kebudayaan. Resolusi Petropavlovsk kembali didukung dan direncanakan sebuah pemilu Soviet yang baru agar segera diselenggarakan, dengan sebuah visi ke depan berupa “rekonstruksi damai rezim Soviet” (Ida Mett, ibidem, hlm 13). Segera para delegasi membentuk Komite Revolusioner Provinsional, yang bertugas mengurusi administrasi kota dan mengorganisir pertahanan melawan semua intervensi pemerintah. Yang disebutkan terakhir tampaknya memiliki tekanan lebih akibat beredarnya kabar bahwa akan ada serangan mendadak dari pasukan Bolshevik dan akibat intimidasi dari Kalinin dan Kouzmin. Akibat sikap mereka yang keras kepala dan tak mau mendengarkan kehendak populasi, baik Kalinin dan Kouzmin ditangkap bersama dua orang pengawal mereka. Aksi penangkapan ini menandai sebuah langkah yang paling menentukan yang berujung pada pengunduran diri dalam jajaran ketentaraan, sebuah aksi yang di mata pemerintah dianggap sebagai sebuah desersi.

Komite Revolusioner Provinsional tersebut dengan cepat melakukan fungsinya. Mereka segera menerbitkan Izvestiia-nya sendiri, yang dalam edisi perdananya mendeklarasikan: “Partai Komunis, yang memerintah negeri ini, telah terpisah dari massanya,.dan telah memperlihatkan ketidakmampuannya dalam membawa dirinya dan juga negeri mereka ini keluar dari keruntuhan besar. Partai juga tidak menghadapi kenyataan dari insiden-insiden yang terjadi belum lama ini di Petrograd dan Moskow. Kebangkitan ini dengan jelas memperlihatkan bahwa partai telah kehilangan kepercayaan terhadap massa pekerja. Partai juga tidak mengindahkan tuntutan-tuntutan para pekerja. Bagi mereka tuntutan-tuntutan tersebut adalah plot dari kontra-revolusioner. Sesuatu yang telah disalahpahami.” (To the Populace of the Fortress and Town of Kronstadt, Comrades and Citizens!, Izvestiia of the Provisional Revolutionary Committee no.01, 3 Maret 1921)

Karakteristik Kelas dari Pemberontakan Kronstadt

Melihat bahwa setiap aksi pemberontakan dapat menyebar dengan sangat luas apabila tidak segera diredam, khususnya apabila aksi tersebut memiliki corong suaranya sendiri yang tidak tergantung pada corong suara yang dikontrol oleh pemerintah, maka propaganda-propaganda pengkambinghitaman para insurgen Kronstadt segera dilancarkan oleh Bolshevik. Sesuatu yang juga segera menjadi perang propaganda.[5] Walaupun pengkambinghitaman tersebut masih juga diulang-ulang dewasa ini, interpretasi ini sendiri telah didiskreditkan bahkan oleh sejarawan semi-Trotskyist seperti Deutscher, yang menegaskan bahwa tuduhan tersebut tidak beralasan. Jelas dalam setiap situasi demikian, para kontra-revolusioner Tentara Putih berusaha untuk membajak kebangkitan tersebut dan menawarkan bantuan. Tetapi selain tawaran bantuan ‘kemanusiaan’ yang dikontrol oleh Palang Merah Russia, Komite Revolusioner menolak setiap upaya untuk kembali ke tatanan dunia lama. Mereka menegaskan, bahwa mereka tidak berjuang untuk kembali ke otokrasi ataupun juga pada Badan Konstituensi[6] seperti yang dituduhkan oleh Lenin[7], melainkan bagi sebuah regenerasi kekuasaan soviet-soviet yang bebas dari dominasi birokratik[8]. Kebanyakan argumen-argumen tersebut mengikuti pembenaran yang dikumandangkan Trotsky di tahun-tahun berikutnya. Dalam Hue and Cry over Kronstadt yang ditulis tahun 1938, Trotsky mengajukan argumen, bahwa para insurgen Kronstadt adalah mereka yang terilusi oleh para agen kontra-revolusioner yang membuat mereka juga memiliki karakter borjuis-kecil yang sama dengan yang dimiliki para petani yang sebelumnya terlibat dalam berbagai pemberontakan melawan kekuasaan Soviet, “Pemberontakan Kronstadt sendiri, yang mana seksi-seksi reaksioner dari para kelasi berusaha untuk menggulingkan kediktatoran proletariat.” (Leon Trotsky, Hue and Cry over Kronstadt, M.I.A. DVD 2006). Ia juga menambahkan bahwa, secara kontras para pekerja Petrograd menganggap bahwa aksi desersi para kelasi di Kronstadt berdiri di sisi yang berseberangan dengan mereka dan bahwa para pekerja tersebut “mendukung kekuasaan Soviet”[9].

Tuduhan bahwa para insurgen memiliki karakter borjuis-kecil, seperti tuntutan para pekerja Petrograd yang menuntut jatah ransum yang lebih baik, jelas bukanlah sebuah tuntutan kontra-revolusioner ala borjuis-kecil yang menginginkan kenyamanan yang lebih dibandingkan dengan yang lainnya. Hal ini dengan cepat dapat dikonfrontasikan dengan poin ke sembilan dari resolusi Petropavlovsk, yang menuntut kesetaraan ransum bagi mereka semua yang melakukan kerja—bukan sebuah kenyamanan istimewa. Dengan mudah juga, gambaran bahwa para pekerja di Petrograd mendukung represi atas Kronstadt dapat dengan mudah dijelaskan dengan memperhatikan bagaimana Bolshevik memutus jalur komunikasi antara Kronstadt dengan tempat-tempat lainnya, menyebarkan propaganda bahwa Kronstadt dimotori oleh para kontra-revolusioner serta memberlakukan represi keras terhadap mereka yang bersimpati terhadap para insurgen Kronstadt. Gerakan pemogokan pekerja di Petrograd masih berlangsung, belum sepenuhnya berhasil direpresi oleh pemerintah, kabar mengenainya tersisihkan oleh pemberontakan Kronstadt, tetapi seksi-seksi penting dari para proletariat Petrograd masih terus aktif berjuang dengan isu yang sama dengan para insurgen Kronstadt[10]. Tanggal 7 Maret, saat pengeboman pasukan pemerintah atas Kronstadt bermula, para pekerja di pabrik senjata mengorganisir rapat akbar yang memilih sebuah komisi yang bertanggung jawab untuk memperluas agitasi yang menyerukan pemogokan umum untuk mendukung pemberontakan Kronstadt. Pemogokan-pemogokan kembali dilancarkan di Pouhlov, Battisky, Oboukhov dan beberapa pabrik besar lain yang masih bertahan di bawah represi pemerintah.

Memang, di sisi lain tidak dapat dibantah keberadaan elemen-elemen borjuis-kecil dalam ideologi dan program para insurgen maupun di antara para awak kapal perang. Tetapi toh pada kenyataannya memang seluruh pemberontakan proletarian selalu menyertakan sejumlah borjuis-kecil dan elemen-elemen reaksioner, tetapi tidak pernah membuat karakter pertentangan kelas sebuah gerakan berubah. Misalnya dapat dengan mudah dilihat bagaimana insureksi Oktober sendiri juga berhasil karena mendapat dukungan penuh dan partisipasi aktif dari elemen-elemen petani di jajaran ketentaraan dan area-area pedesaan. Faktanya, para insurgen Kronstadt masih memiliki sejumlah besar kelas pekerja yang berada di jajaran Komite Revolusioner yang dibentuk pada 2 Maret, yang terdiri dari para proletariat dari pabrik-pabrik, unit-unit angkatan laut di benteng yang semuanya merupakan para revolusioner yang telah bergabung dengan gerakan-gerakan revolusioner semenjak setidaknya tahun 1905[11]. Tetapi fakta-fakta tersebut tidak terlalu penting dibanding konteks utama pemberontakan: hal tersebut terjadi dalam sebuah gerakan perjuangan kelas pekerja melawan birokratisasi dari rezim yang mengidentifikasikan diri dengan kelas pekerja dan menganggap dirinya sendiri sebagai satu-satunya jalan kebenaran umum. “Semoga para pekerja di seluruh dunia tahu bahwa kita, para penjaga kekuasaan Soviet, berdiri menjaga kemenangan-kemenangan Revolusi Sosial. Kami akan menang, atau mati di bawah reruntuhan Kronstadt, berjuang bagi kepentingan orang-orang yang bekerja. Para pekerja di seluruh dunia akan memutuskan. Darah mereka yang tak berdosa ada di hadapan hewan-hewan liar Komunis, yang mabuk kekuasaan. Panjang umur kekuasaan Soviet!” (Izvestiia of the Provisional Revolutionary Committee no.06, 8 Maret 1921).

Mengesampingkan keberadaan fakta bahwa para ideolog borjuis-kecil dan anarkis mengklaim Kronstadt sebagai pemberontakan mereka, serta fakta bahwa pengaruh anarkis tak dapat disangkal memang hadir dalam program-program dan fraseologi para insurgen Kronstadt, tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh para insurgen tidak lantas menjadi sekedar tuntutan anarkistik. Mereka tidak menyerukan penghapusan negara sebagaimana yang menjadi program favorit para anarkis-anarkis Russia di era tersebut, melainkan regenerasi kekuasaan Soviet dan kembalinya kekuasaan ke tangan para pekerja yang terorganisir dalam soviet-soviet. Mereka juga tidak menyerukan pembubaran partai-partai politik. Walaupun para insurgen meninggalkan partai Bolshevik di saat tersebut, dan walaupun mereka mempublikasikan banyak pernyataan-pernyataan yang kadang membingungkan tentang “tirani Komunis”, mereka tetap mendeskripsikan diri mereka sebagai pendukung kediktatoran proletariat yang jelas komunistik. Slogan-slogan utama mereka adalah kebebasan untuk beragitasi bagi kelompok-kelompok kelas pekerja dan “seluruh kekuasaan bagi soviet-soviet, bukan partai-partai politik” (Izvestiia of the Provisional Revolutionary Committee no.05, 7 Maret 1921) sesuai dengan yang ditulis oleh Lenin pada tahun 1917 bahwa, “Seluruh kekuasaan bagi soviet-soviet!”. Walaupun tampak ambigu dan dapat dianggap bahwa para insurgen terlalu memahaminya secara literer tentang kekuasaan soviet, yang semestinya dapat dimengerti semenjak para insurgen tersebut bukanlah para teoritisi murni yang sempat mempelajari banyak teori revolusioner mengingat mereka tumbuh dan berkembang di tengah era perang sipil, mereka mengekspresikan penolakan mereka atas ide bahwa partai politik dapat menggantikan kekuasaan kelas itu sendiri saat kelas proletariat yang oleh partai diklaim mereka wakili telah bergerak begitu maju menuju kediktatoran proletariat—satu poin penting yang menjadi kritik utama atas kemerosotan Bolshevikisme.

Inilah satu fitur utama dari pemberontakan, yang mana pemberontakan itu sendiri tidak merepresentasikan sebuah analisa politik yang koheren dan jelas tentang kemerosotan revolusi. Beberapa analisa yang koheren menemukan ekspresinya di kalangan minoritas kelas pekerja, walaupun dalam waktu-waktu tertentu para minoritas tersebut seringkali mengalami lag di belakang kesadaran spontan kelas secara keseluruhan. Dalam kasus Revolusi Russia, hal tersebut membutuhkan beberapa dekade untuk dapat dipahami dengan baik dalam gerakan komunis Kiri internasional sebagai sebuah tanda kemerosotan Bolshevikisme. Apa yang direpresentasikan oleh pemberontakan Kronstadt adalah sebuah respon elemental proletariat atas kemerosotan, satu dari beberapa ekspresi massa dari kelas pekerja Russia dalam periode tersebut. Di Moskow, Petrograd dan Kronstadt, para pekerja di tengah keputusasaannya mengirimkan SOS dalam upaya mempertahankan kediktatoran proletariat yang mulai terbangun melalui insureksi Oktober—seruan yang dipahami oleh para anarkis walaupun banyak disalah artikan dan sayangnya baru dipahami oleh kaum Kiri baru beberapa dekade setelahnya.

Kronstadt dan Kebijakan Ekonomi Baru (NEP)

Tuduhan yang sering muncul adalah bahwa para insurgen mendukung kebebasan berdagang yang biasanya menjadi tuntutan umum para borjuis-kecil, tetapi pada kontrasnya yang terjadi adalah bahwa “…Kronstadt, yang mana bukan menuntut ‘perdagangan bebas’ melainkan kekuasaan Soviet yang sesungguhnya.” (To Live with Wolves is to be Like a Wolf, Izvestiia of the Provisional Revolutionary Committee no.12, 14 Maret 1921). Dan kebijakan ekonomi yang dapat menyelamatkan revolusi adalah pertanyaan yang justru jarang diperdebatkan di tengah diskusi kelompok-kelompok Kiri, padahal melihat pada kegagalan gelombang revolusioner tahun 1917—1923, tak ada kebijakan ekonomi, baik itu Komunisme Perang maupun KEB, yang mampu menopang revolusi. Padahal sebagaimana yang ditekankan oleh Marx, bahwa sistem ekonomi adalah sesuatu yang vital dalam menentukan bagaimana suatu tatanan masyarakat terbentuk. Dan dalam kasus ini, para insurgen Kronstadt memang berbeda dengan KEB. Perbedaan paling esensial dari keduanya adalah bahwa KEB diterapkan dari atas oleh birokrasi negara yang bekerja sama dengan manajer-manajer privat dan kapitalis yang masih tersisa, sementara para insurgen Kronstadt berpendapat bahwa tanpa adanya demokrasi proletariat, semua hal tersebut tak akan dapat membangun sebuah kekuasaan Soviet yang sesungguhnya sehingga mereka menuntut penghapusan kediktatoran-partai Bolshevik.

Tapi memang tak berguna apabila sekarang didiskusikan mengenai kebijakan ekonomi apa yang ‘lebih sosialis’ di tengah gejolak Russia pada masa tersebut. Sosialisme tak akan dapat dibangun hanya di daratan Russia. Para insurgen Kronstadt mungkin kurang paham hal ini dibandingkan dengan para Bolshevik yang berpikir jernih. Para insurgen, misalnya, berbicara mengenai pemapanan “sosialisme yang bebas” di Russia, tanpa memberi penekanan tentang pentingnya penyebaran dan perluasan revolusi sebelum sosialisme dapat terbangun. “Kronstadt Revolusioner… berjuang untuk Sosialisme yang berbeda. Berjuang bagi sebuah Republik Soviet para pekerja, di mana produsen harus menjadi penguasa dan pengatur sepenuhnya atas produksi dari hasil kerjanya sendiri.” (Socialism in Quotes, Izvestiia of the Provisional Revolutionary Committee no.14, 16 Maret 1921)

Penilaian Lenin yang dilakukan dengan sadar bagi perkembangan ‘sosialis’ di Russia pada era tersebut, walau telah menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang reaksioner, pada faktanya adalah sebuah pertimbangan yang memang dekat dengan kenyataan daripada harapan-harapan para insurgen Kronstadt akan komune swakelola di Russia.

Tetapi Lenin dan kepemimpinan Bolshevik, terpenjara oleh aparatus negara, gagal untuk melihat bahwa apa yang dikatakan oleh para insurgen Kronstadt, terlepas dari kebingungan dan ide-ide mereka yang terformulasi dengan kasar, adalah: bahwa revolusi tak akan dapat berjalan maju apabila proletariat tidak dapat mengambil keputusan atas hidup mereka sendiri dan menjadi pemimpinnya. Prakondisi dan ekstensi revolusi di Russia adalah seluruh kekuasaan ada di tangan Soviet-Soviet—dengan kata lain, adalah pengambil alihan kontrol dan hegemoni politik oleh kelas pekerja sendiri. Pertanyaan tentang kekuasaan politik memang tetap paling penting. Kekuasaan proletariat mungkin dapat membuat perekonomian membaik atau malah memburuk, tetapi revolusi tak akan kalah. Tetapi sekali saja kekuasaan politik kelas tersebut dikuburkan, tak ada satu langkah ekonomipun yang dapat mempertahankan revolusi. Karena para insurgen Kronstadt telah berjuang untuk mengambil kembali kontrol kekuasaan politiklah maka para revolusioner di hari ini harus paham bahwa perjuangan Kronstadt adalah perjuangan dalam mempertahanan posisi mereka sebagai kelas yang paling fundamental dalam proses revolusi.

Penundukkan Kronstadt

Kepemimpinan Bolshevik bereaksi dengan penuh sikap permusuhan atas pemberontakan Kronstadt. Di atas telah dibahas mengenai perilaku provokatif Kouzmin dan Kalinin saat para pekerja menyatakan perbedaan pendapatnya, kebohongan dan fitnah yang disebar luaskan oleh Radio Moskow tentang Kronstadt yang disetir oleh kontra-revolusioner Tentara Putih. Sikap keras kepala pemerintahan Bolshevik dengan cepat mengeliminir semua kemungkinan untuk berkompromi atau diskusi. Peringatan keras pada benteng laut yang dinyatakan oleh Trotsky hanya menuntut agar para insurgen menyerah tanpa syarat dan sama sekali tidak memperhatikan tuntutan-tuntutan yang diajukan para insurgen sebelumnya[12]. Seruan terhadap Kronstadt yang dikeluarkan oleh Zinoviev sebelumnya memang tak kalah keras kepala, mengancam untuk “menembakmu seperti ayam hutan” apabila para insurgen menolak menyerah. Zinoviev juga mengorganisir penangkapan-penangkapan keluarga para insurgen sebagai sandera, melakukannya dengan dalih pembenaran atas penahanan Kouzmin dan Kalinin oleh Komite Revolusioner Provisional. Aksi tersebut dikutuk oleh para insurgen, yang menolak merendahkan diri ke dalam aksi serupa[13].

Selama serangan militer yang lantas terjadi terhadap benteng, unit-unit Tentara Merah yang dikirimkan untuk menghancurkan pemberontakan secara konstan mengalami demoralisasi total[14]. Beberapa bahkan mulai memihak pada para insurgen. Untuk menegakkan ‘loyalitas’ tentaranya, para pemimpin Bolshevik rehat sementara dari Kongres Partai ke-10 untuk memimpin penyerbuan, di antara mereka adalah anggota-anggota Oposisi Pekerja, yang benar-benar menolak diidentifikasikan dengan pemberontakan; pada saat yang sama moncong-moncong senjata Cheka tertuju ke balik punggung para tentara untuk meyakinkan bahwa tentara mereka akan tetap loyal.

Saat benteng pada akhirnya ditundukkan, ribuan insurgen dibantai langsung atau dieksekusi di tempat oleh Cheka. Ribuan lain dikirim ke kamp-kamp konsentrasi, sementara mereka yang berhasil selamat menyeberangi es menuju Finlandia. Represi tersebut dilakukan dengan sistematis. Untuk menyapu bersih semua bekas-bekas pemberontakan, militer memegang kontrol penuh atas benteng Kronstadt, Kronstadt soviet dibubarkan dan penyisiran semua elemen-elemen yang dianggap terlibat mulai dilakukan. Bahkan para tentara yang turut serta dalam penundukkan Kronstadt juga secara besar-besaran dipisah-pisah dan ditransfer ke dalam berbagai unit baru yang berbeda untuk mencegah meluasnya ‘kuman’ ketidakpuasan Kronstadt.

Perkembangan event-event di Russia pasca pemberontakan membuat klaim bahwa penindasan atas pemberontakan Kronstadt adalah sebuah ‘keharusan tragis’ untuk mempertahankan revolusi menjadi sebuah omong kosong. Para Bolshevik percaya bahwa mereka mempertahankan revolusi dari ancaman reaksi Tentara Putih di benteng laut yang memiliki posisi strategis ini. Tetapi apapun yang dipikirkan oleh para Bolshevik tentang apa yang mereka lakukan, pada faktanya, dengan menindas para insurgen tersebut mereka telah menindas satu-satunya para penjaga revolusi: otonomi kelas pekerja dan kediktatoran langsung proletariat. Dengan melakukan penindasan tersebut, mereka telah membuat diri mereka bertransformasi menjadi agen-agen kontra-revolusi dari dalam revolusi itu sendiri, dan aksi-aksi tersebut telah melapangkan jalan bagi puncak kemenangan kontra-revolusioner dalam bentuk Stalinisme.

Penindasan oleh pemerintah Soviet tersebut jelas adalah sebuah keharusan bagi sebuah kekuatan kapitalisme negara, yang artinya secara terbuka partai Bolshevik di tahun 1921 menegaskan diri sebagai kapitalis dalam bentuk yang berbeda. Tetapi sekedar menuduh bahwa partai Bolshevik sebagai kapitalis di tahun 1921, artinya kita belum belajar dari tragedi Kronstadt, selain sekedar mengetahui kapan tahun pertama kalinya Revolusi Russia benar-benar mulai meruntuh. Kapitalis, bagaimanapun juga, selalu beroposisi dengan proletariat dan karenanya akan selalu harus menindas setiap upaya kebangkitan demi otonomi proletariat—kita tak perlu ‘menyadari’ hal ini berulang kali. Tetapi Kronstadt telah memberikan kita pelajaran baru apabila kita memahaminya sebagai sebuah babak dalam sejarah proletariat, sebagai sebuah tragedi dalam kubu proletariat. Masalah utama yang dihadapi oleh kita dewasa ini, yang bisa diambil dari tragedi tersebut, adalah bagaimana sebuah organisasi kekuasaan proletariat justru beraksi seperti Bolshevik memperlakukan Kronstadt di tahun 1921 dan bagaimana kita dapat meyakinkan diri bahwa tragedi seperti demikian tak akan terulang kembali. Jadi, intinya, apa pelajaran yang dapat diraih dari tragedi Kronstadt bagi para revolusioner? Karena toh buktinya, menurut catatan Victor Serge, saat penyerbuan Cheka dalam kota Kronstadt, para insurgen yang dieksekusi berteriak sebelum peluru menembus tubuh mereka, “Panjang umur revolusi dunia!”

Catatan

Pemberontakan Kronstadt menggarisbawahi dengan sebuah cara yang dramatis, pelajaran-pelajaran fundamental yang bisa diambil dari keseluruhan Revolusi Russia, bagi proletariat hari ini. Beberapa pelajaran itu adalah:

  1. Revolusi proletarian harus berupa revolusi internasional atau tidak sama sekali

Revolusi proletarian hanya akan dapat meraih keberhasilannya apabila ia dilakukan dalam skala internasional. Menghapuskan kapitalisme atau membangun sosialisme hanya di satu negara saja jelas sama sekali tidak mungkin. Revolusi tak akan dapat dipertahankan melalui program-program reformasi ekonomi, melainkan hanya melalui akselerasi kekuasaan total proletariat atas alat-alat produksi beserta seluruh sistem distribusinya, kekuasaan sosial politik yang juga total. Tanpa hal ini, kemerosotan revolusi tak akan terhindarkan, tak peduli seberapa banyak reformasi ekonomi dicanangkan. Apabila revolusi tetap terisolasi, kekuasaan sosial politik proletariat akan dihancurkan, baik oleh invasi eksternal ataupun juga represifitas internal, sebagaimana yang dialami di Kronstadt.

  1. Kediktatoran proletariat bukanlah kediktatoran dari sebuah partai politik atas proletariat.

Tragedi Revolusi Russia, khususnya represi atas Kronstadt, adalah persoalan mengenai bagaimana “partai proletariat”, dalam hal ini Bolshevik, melihat dirinya sendiri sebagai pengambil alih kekuasaan negara dan dengan demikian segala langkah dan tindakan yang diambilnya adalah demi mempertahankan kekuasaannya, termasuk apabila hal tersebut juga berarti melawan kepentingan kelas pekerja secara keseluruhan. Saat kekuasaan negara berdiri tanpa pijakan kelasnya, dan bahkan juga berdiri melawan kelasnya seperti yang terjadi di Kronstadt, para Bolshevik melihat para pemberontak sebagai sebuah kekuatan kontra-revolusioner melawan kekuasaan partai kelas pekerja dan bukannya sebuah perjuangan kelas pekerja melawan birokratisasi negara.

Para revolusioner dewasa ini harus memahami bahwa prinsip-prinsip fundamental yang diperankan oleh partai politik bukanlah sebuah upaya perebutan kekuasaan atas nama kelas. Hanya kelas pekerja secara keseluruhan yang terorganisir dalam komite-komite pabrik dan tempat kerja, konsil-konsil pekerja dan milisi, yang dapat menjalankan transformasi masyarakat menuju komunisme. Partai politik memang dapat digunakan sebagai faktor aktif dalam mendorong kesadaran proletariat, tetapi ia tak dapat menciptakan komunisme walaupun “mengatasnamakan” kelas proletariat. Otoritas partai dalam menentukan seluruh jalan yang harus ditempuh oleh kelas pekerja, hanya akan membawa, sebagaimana yang terjadi di Russia, ke dalam kediktatoran partai politik atas kelas, penindasan aktivitas mandiri proletariat dengan berdasar pada asumsi bahwa “partai mengetahui segalanya”.

Di saat yang sama pengidentifikasian partai dengan negara hanya akan mengarah pada korupsi dan penyalahgunaan partai-partai proletariat. Sebuah partai proletariat harus mengkonstitusikan fraksi yang paling radikal dan berpandangan luas serta jauh dari sebuah kelas yang mana dirinya sendiri akan menjadi kelas yang paling dinamis dalam sejarah; melingkari partai dengan administrasi-administrasi negara hanya akan mengarah pada sebuah fungsi partai yang konservatif, menegasikan seluruh fungsi partai politik bagi proletariat dan menindas seluruh kreativitas revolusioner. Birokratisasi yang konstan di dalam partai Bolshevik yang membuat semakin terpisahnya kepentingan kelas revolusioner dengan kepentingan negara Uni Soviet, kemerosotannya ke dalam sebuah mesin administratif, itu semua adalah harga yang harus dibayar oleh proletariat atas kesalahan-kesalahan partai yang memegang kekuasaan negara secara absolut.

  1. Tak ada relasi kekuasaan di dalam proletariat

Sejalan dengan prinsip bahwa tak ada minoritas, tak peduli sebagaimana tercerahkannya mereka, yang dapat memegang kekuasaan atas proletariat, adalah sebuah prinsip yang menyatakan bahwa tak ada relasi kekuasaan dalam kelas pekerja sendiri. Demokrasi proletarian bukanlah sebuah kemewahan yang dipinggirkan atas nama ‘efisiensi’ melainkan sebuah jaminan demi sehatnya revolusi, sehingga juga memungkinkan kelas tersebut belajar dari pengalamannya sendiri. Bahkan apabila beberapa bagian dari kelas tersebut melenceng, tak ada ‘garis kebenaran’ yang dapat dipaksakan oleh satu bagian atas bagian-bagian lain tersebut, tak peduli apakah bagian tersebut minoritas ataukah mayoritas. Hanya sebuah kebebasan total untuk berpendapat dari organ-organ kelas yang berdiri otonomlah yang dapat menyelesaikan konflik-konflik dan berbagai permasalahan yang timbul di dalam kelas tersebut. Hal ini juga berimplikasi bahwa seluruh anggota kelas harus memiliki akses yang sama terhadap komunikasi (media cetak, radio, televisi, dsb.) dan bahwa seluruh anggota kelas juga berhak untuk melakukan penolakan sebuah agenda yang diisukan oleh bagian lainnya.

Bahkan apabila seandainyapun para kelasi di Kronstadt memang telah salah melangkah dan menganalisa, represifitas yang diambil oleh pemerintah Bolshevik sungguh tak dapat dibenarkan. Beberapa aksi serupa hanya akan menghancurkan solidaritas dan kohesivitas kelas yang telah terbangun, yang berujung pada demoralisasi dan keputusasaan. Kekerasan revolusioner adalah senjata yang bisa digunakan oleh proletariat dalam perjuangannya melawan kelas kapitalis. Penggunaannya untuk mempertahankan diri juga jelas menjadi sebuah keharusan, tetapi untuk digunakan membasmi bagian lain dari proletariat yang berbeda pendapat, sama sekali tak dapat dibenarkan.

  1. Kediktatoran proletariat tidak berarti berbentuk sebuah negara

Saat Revolusi Rusia terjadi, terdapat sebuah kebingungan di tengah gerakan kelas pekerja tentang apakah kediktatoran proletariat harus berbentuk sebuah negara, yang muncul pasca kejatuhan rezim Tzar. Kediktatoran proletariat, yang berfungsi secara spesifik melalui organ-organ kelas pekerja seperti dewan-dewan pabrik dan komite-komite pekerja, bukanlah sebuah institusi melainkan sebuah pola, sebuah gerakan nyata dari sebuah kelas secara keseluruhan. Tujuan dari kediktatoran proletariat bukanlah untuk melalui negara sebagaimana dipahami oleh para elit Bolshevik. Negara adalah sebuah organisasi yang hadir dari keberadaan masyarakat kelas, yang fungsinya adalah memapankan dominasi atas rakyat pekerja. Sementara kediktatoran proletariat, di sisi lain, bertujuan untuk mentransformasikan seluruh relasi-relasi sosial dan menghapuskan pengkelasan masyarakat.

Di saat yang sama, para Marxis rata-rata selalu mengafirmasikan bahwa negara adalah sebuah institusi yang tak terelakkan dalam periode transisi menuju komunisme, pasca dihancurkannya kekuasaan politik borjuis. Dengan demikian, negara Uni Soviet, adalah sebuah produk yang tak terhindarkan dari masyarakat kelas yang eksis di Russia pasca 1917.

Beberapa revolusioner lain menegaskan bahwa satu-satunya ‘negara’ yang dapat eksis pasca dihancurkannya kekuasaan politik borjuis adalah dewan pekerja itu sendiri. Adalah sesuatu yang dapat dibenarkan bahwa dewan pekerja diasumsikan dapat berfungsi sebagai kekuatan politik seperti negara, dalam soal memonopoli kekerasan. Tetapi untuk kemudian menyebut dewan pekerja itu sebagai negara adalah jelas keliru. Negara borjuasi saat ini, berisi sejumlah institusi yang fungsinya adalah untuk melanggengkan orde kapitalistik yang juga ditopang oleh keberadaan kekuatan represif, melanggengkan antagonisme kelas dalam kerangka kerja yang mereka tetapkan. Sementara dewan pekerja, secara kontras, adalah sebuah negasi aktif dari fungsi negara, sehingga secara keseluruhan dewan-dewan pekerja adalah organ-organ yang mentransformasikan sosial secara radikal, bukan organ-organ dari status quo.

Maka selanjutnya, satu-satunya bentuk institusi yang dapat eksis dalam perioda transisi jelas adalah dewan-dewan pekerja tersebut. Sebuah revolusi tidaklah mengikuti alur konsepsi-konsepsi yang dicanangkan oleh para revolusioner. Kebangkitan sosial jelas selalu memberi jalan bagi kebangkitan berbagai macam institusi, bukan hanya para kelas pekerja yang langsung berhadapan dengan proses produksi, melainkan dari seluruh populasi yang sebelumnya ditindas oleh kelas kapitalis. Di Russia, soviet-soviet dan organ-organ popular bermunculan tidak hanya di pabrik-pabrik semata, melainkan sungguh-sungguh di mana-mana—di jajaran ketentaraan, di desa-desa, di lingkungan-lingkungan ketetanggaan di kota-kota. Apa yang terjadi juga bukan hanya sekedar sesuatu yang simpel bahwa “Bolshevik mulai membangun sebuah negara yang memisahkan eksistensinya dari organisasi-organisasi kelas” seperti yang banyak dituduhkan oleh para anarkis. Memang benar bahwa Bolshevik berperan aktif terhadap proses birokratisasi negara tersebut melalui pembentukan komisi-komisi yang berdiri independen di luar soviet-soviet yang telah terbangun; tetapi Bolshevik sendiri tidaklah menciptakan “Negara Soviet”. Apa yang terjadi adalah sebuah perkembangan dari masyarakat Russia pasca Insureksi Oktober, hal tersebut muncul karena masyarakat harus melahirkan sebuah institusi yang mampu mengontrol antagonisme kelas yang berlangsung radikal. Maka sekedar berkata bahwa hanya dewan pekerja yang boleh eksis pasca insureksi berarti juga bahwa hal itu akan berimplikasi pada hadirnya sebuah perang sipil permanen yang tidak hanya terdiri dari kelas pekerja melawan borjuis (yang tentu hal ini tak akan terhindarkan dan harus tetap dilakukan), melainkan juga antara kelas pekerja melawan sesamanya atau kelas-kelas lainnya. Di Russia, hal ini berarti sebuah perang antara soviet-soviet melawan organ-organ popular di jajaran ketentaraan dan juga petani. Hal ini jelas akan merupakan sesuatu yang dapat dianggap hanya buang-buang waktu dan energi, serta memecah fokus revolusi: pengembangan menuju revolusi internasional melawan kelas kapitalis. Tetapi apabila Negara Soviet seperti ini dipilih kembali sebagai sebuah langkah satu-satunya dalam masyarakat pasca-insureksional, tentu juga perlu dipertimbangkan bahwa hal tersebut juga membawa bibit-bibit kehancurannya sendiri melalui struktur dan fungsinya.

Melihat hal tersebut, diperbandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Bolshevik, maka ada dua poin utama yang menjadi landasan represifitas terhadap Kronstadt.


(a) Dalam sebuah fungsi negara[15] terdapat sebuah keterpisahan dari prinsip-prinsip mendasar yang dikembangkan melalui pengalaman Komune tahun 1871, yang juga direafirmasi oleh Lenin sendiri tahun 1917, bahwa “seluruh pejabat, tanpa pengecualian, dipilih dan dapat diturunkan dari jabatannya setiap saat, upah mereka diturunkan hingga setingkat dengan upah para pekerja biasa […] semua berada di bawah kontrol dan kepemimpinan proletariat bersenjata—itulah tujuan kita saat ini.” (V.I Lenin, The State and Revolution, M.I.A. DVD 2006). Sementara di bawah rezim Bolshevik yang terjadi adalah semakin banyak komisi-komisi dan pejabat yang dipilih dan diberi kedudukan benar-benar tanpa persetujuan dari kelas pekerja selain keputusan langsung dari partai—semisal pembentukan Cheka atau pemberlakuan Kebijakan Ekonomi Baru (KEB); tak pernah ada pejabat yang dapat dicopot dari jabatannya tanpa seijin partai, sekalipun para pekerja sungguh-sungguh tidak menginginkan pejabat tersebut; kemakmuran lebih bagi para pejabat negara menjadi sesuatu yang lumrah; milisi-milisi proletariat dilucuti senjatanya dan dileburkan ke dalam Tentara Merah yang tak lagi berada di bawah kontrol soviet-soviet ataupun juga kontrol dari komite ketentaraan yang dikuasai oleh para tentaranya.

(b) Di bawah kekuasaan rezim Bolshevik, dewan-dewan pekerja, komite-komite pabrik dan berbagai organ-organ proletarian diarahkan ke dalam satu bagian dari aparatus negara bersama berbagai bagian lain (walaupun para pekerja mendapatkan hak-hak memilih yang lebih besar). Bukannya diberi jaminan bagi otonomi dan hegemoni atas seluruh institusi sosial, organ-organ tersebut tidak hanya diinkorporasikan ke dalam aparatus negara, tetapi juga cenderung diinternalisasikan ke dalamnya. Kekuasaan proletariat, bukannya diekspresikan melalui organ-organ kelas yang spesifik, melainkan diidentikkan dengan aparatus negara. Lebih jauhnya lagi, asumsi-asumsi yang umum terjadi adalah bahwa “negara proletarian” dipimpin oleh Bolshevik untuk menjaga agar negara memiliki kepentingan yang sama dengan para pekerja, bukannya bahwa secara kesejarahan negara eksis sebagai oposisi terhadap kepentingan para pekerja. Konsekuensi dari pandangan-pandangan tersebutlah maka setiap penentangan terhadap negara—yang diasumsikan sebagai representasi para pekerja—akan selalu dilabeli sebagai kontra-revolusioner. Konsepsi ini jugalah yang menjadi jantung penggerak reaksi Bolshevik atas pemogokan Petrograd dan pemberontakan Kronstadt.


Di masa depan, prinsip-prinsip Komune tentang otonomi kelas pekerja, harus dicanangkan tidak lagi hanya di atas kertas, tetapi juga harus diperjuangkan dan dipertahankan sebagai sebuah prakondisi fundamental bagi kekuasaan proletarian atas negara. Tak sekalipun permusuhan proletariat terhadap aparatus negara dapat direlaksasikan, karena pengalaman Russia dan khususnya even-even yang terjadi di Kronstadt telah memperlihatkan dengan jelas bahwa kontra-revolusi dapat terekspresikan melalui negara pasca-insureksional sendiri, dan bukan hanya sekedar terekspresikan oleh agresi-agresi eksternal dari kaum borjuis.

Sebagai konsekuensinya dalam usahanya untuk menjaga agar “Negara Komunis” tetap menjadi sebuah instrumen kekuasaan proletariat, kelas pekerja tidak dapat mengidentifikasikan kediktatoran tersebut dengan aparatus-aparatus yang ambigu dan tak dapat dipercaya, melainkan hanya dapat melalui organ-organ kelas otonomnya sendiri. Organ-organ inilah yang harus secara konstan mengawasi dan menentukan kerja-kerja aparatus negara di segala bidangnya, menuntut representasi maksimum dari delegasi-delegasi dewan pekerja dalam kongres-kongres soviet secara umum; unifikasi permanen dan independen kelas pekerja melalui dewan-dewannya, serta maksimalisasi keputusan-keputusan dewan pekerja tersebut sebagai keputusan-keputusan negara. Di atas semua hal tersebut, para pekerja harus tetap menjaga agar negara tidak menjadi organ kelas mereka, baik secara politik ataupun militer; di sisi lain, organ-organ kelas pekerjalah yang akan memantapkan kediktatoran mereka atas dan melawan negara, dengan kekerasan apabila memang diperlukan. Hal ini berarti bahwa kelas pekerja harus menjamin otonomi kelasnya dengan mempersenjatai seluruh proletariat yang telah terorganisasi. Apabila, selama perioda perang sipil, dibutuhkan pembentukan ‘Tentara Merah’ yang anggota-anggotanya direkrut dari populasi, maka kekuatan ini harus benar-benar berada di bawah kekuasaan dewan pekerja, juga harus mampu kembali melebur ke dalam populasi, bukannya menjadi sebuah institusi resmi yang mampu berdiri sendiri. Tentara Merah ini harus dibubarkan begitu situasi darurat berakhir, tetapi milisi-milisi proletariat yang berasal dari organ-organ dewan pekerja tidak sekalipun harus dibubarkan.

Pada tahun 1921 terisolirnya Revolusi Russia telah mengarah pada pembentukan negara, yang menurut definisi adalah penjaga status quo, penjaga stabilisasi akumulasi kapital serta penghisapan terhadap pekerja. Mengesampingkan niat-niat baik yang seandainyapun ada di tengah para pemimpin Bolshevik, yang terus berharap menyelamatkan ufuk revolusi dunia selama beberapa tahun setelahnya, keterlibatan mereka dengan mesin negara telah memaksa mereka untuk beraksi sebagai penghambat terjadinya revolusi internasional dan memberi jalan bagi kemenangan kontra-revolusi para Stalinis. Beberapa dari mereka mulai melihat bahwa apa yang terjadi bukanlah partai mengontrol negara, tetapi negaralah yang telah menyedot partai sehingga berada di bawah kontrolnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Lenin sendiri.

Dalam tahun-tahun terakhir hidupnya, Lenin berjuang mati-matian tanpa harapan melawan perkembangan birokrasi dengan skema-skema menyedihkan yang menganjurkan agar dibentuk komisi birokratik baru yang akan mengawasi jalannya birokrasi[16]. Apa yang tak dapat ia pahami, apa yang tak dapat ia lihat, adalah bahwa apa yang ia sebut sebagai negara proletarian telah menjadi sebuah mesin borjuis baru yang murni dan simpel, sebuah aparatus yang menghasilkan relasi-relasi sosial kapitalistik yang sama seperti relasi-relasi yang sebelumnya mati-matian berusaha ia hancurkan dan digantikan dengan relasi sosial yang kooperatif[17]. Kemenangan Stalinisme adalah sebuah pengembangan dari apa yang dibangun sebelumnya, adaptasi final atas kekuasaan absolut partai yang dikolaborasikan ke dalam sebuah negara kapitalis. Inilah arti sesungguhnya dari deklarasi “Sosialisme di Satu Negara”, bahwa apa yang dilakukan Lenin lah yang telah menerbitkan kejayaan Stalin.

Pemberontakan Kronstadt telah memaksa partai berhadapan dengan pilihan-pilihan bersejarah: apakah partai akan terus bersebelahan dengan mesin borjuasi, yang akan berakhir sebagai sebuah partai pelindung akumulasi kapital; atau apakah partai memisahkan diri dari negara dan berdiri bersebelahan dengan perjuangan kelas pekerja melawan mesin yang merupakan personifikasi kapital. Dengan mengambil pilihan yang pertama, maka Bolshevik telah menutup bukunya sebagai partai para proletariat dan memulai perjalanannya dalam proses kontra-revolusioner yang semakin mendalam. Pasca 1921 hanya fraksi-fraksi Bolshevik yang mulai paham akan adanya kebutuhan untuk secara langsung mengidentifikasikan diri dengan perjuangan para pekerja melawan negaralah yang masih berpegang teguh pada prinsip-prinsip fundamental melawan kelas borjuis, yang kemudian juga mengambil partisipasi aktif dalam perjuangan internasional para Komunis Kiri melawan Internasional Ketiga. Bagian dari perlawanan tersebut antara lain adalah Grup Pekerja pimpinan Miasnikov yang memainkan peran penting dalam gelombang pemogokan liar yang melanda Russia di bulan-bulan Agustus hingga September tahun 1923. Hal ini berbeda secara kontras dengan Oposisi Kiri pimpinan Trotsky yang berjuang melawan fraksi Stalinis dengan tetap berada dalam jalur birokrasi, yang tidak berupaya mengidentifikasikan diri dengan perjuangan pekerja melawan apa yang oleh Trotsky disebut sebagai “negara pekerja” dan “ekonomi pekerja”. Ketidakmauan untuk melepaskan diri dari mesin partai negara inilah yang pada gilirannya di era-era selanjutnya banyak yang menyebutkan bahwa Trotskisme adalah sebuah organ yang paling kritis dalam bagian kontra-revolusinya para Stalinis.

Tetapi toh bagaimanapun juga, pilihan-pilihan sejarah tak pernah benar-benar hitam putih. Manusia membuat sejarahnya sendiri dalam kondisi-kondisi obyektif tertentu dan seperti juga ungkapan Karl Marx sendiri, bahwa tradisi-tradisi dari generasi-generasi masa lampau membebani bagaikan mimpi buruk dalam otak-otak yang masih hidup saat ini. Beban mimpi buruk dari masa lampau itu dibebankan oleh para Bolshevik, dan hanya kemenangan revolusioner proletariatlah yang akan dapat membuat beban tersebut terhapuskan, terutama oleh para pendukung Bolshevik hari ini atau setidaknya beberapa elemen substansial dari organ-organ proletariat saat ini yang mampu belajar dari kesalahan-kesalahan di masa lampau tersebut. Tradisi-tradisi Sosial Demokrasi, keterbelakangan Russia, dan terutama peran partai di tengah gelombang revolusioner—semua itulah faktor-faktor yang mendorong para Bolshevik untuk mengambil posisi yang berseberangan dengan garis kelas di Kronstadt.

Toh tidak hanya para pemimpin Bolshevik yang tak mampu memahami apa yang terjadi di Kronstadt. Sebagaimana kita juga tahu, kelompok Oposisi Pekerja dengan segera membedakan dirinya dari para pemberontak dan segera memimpin serbuan ke benteng Kronstadt. Bahkan saat kelompok ultra Kiri Russia yang tersingkirkan oleh Oposisi Pekerja dan mulai menjalankan aktivitasnya secara klandestin, mereka juga gagal untuk menarik pelajaran dari pemberontakan para kelasi, sehingga juga nyaris tidak pernah menyertakan pemberontakan tersebut dalam salah satu rujukan mereka saat mereka mengkritisi rezim. KAPD (Partai Pekerja Komunis Jerman) dalam Kongres Ketiga Komintern juga tidak melihat karakter proletarian dari pemberontakan, juga secara terbuka menolak untuk berpihak pada para pemberontak. Sebagian lainnya malah menganggap bahwa pemberontakan Kronstadt sebagai pemberontakan para anarkis dan menyamaratakannya dengan pemberontakan-pemberontakan petani semisal Makhnovis, yang jelas juga keliru. Dan ketidakpahaman inilah yang masih terus berlanjut hingga kini, terutama dalam kritisisme mayoritas Marxis terhadap Bolshevik.

Pada kesimpulannya, hanya beberapa sajalah yang kemudian paham signifikansi pemberontakan tersebut atau malah berupaya mengambil pelajaran-pelajaran penting darinya. Seluruh paparan ini adalah sebuah testimoni pada fakta bahwa proletariat tidaklah memahami pelajaran-pelajaran mendasar perjuangan kelas melalui satu sapuan kuas, melainkan melalui sebuah akumulasi yang menyakitkan dari pengalaman, perjuangan berdarah dan refleksi teoritis yang berkesinambungan.

Tugas para revolusioner hari ini bukanlah untuk melakukan penghakiman-penghakiman moral yang abstrak atas gerakan-gerakan pekerja di masa lampau, melainkan untuk melihat dirinya sendiri sebagai sebuah produk bersejarah dari gerakan-gerakan revolusioner di masa lampau—sebuah produk yang tentu mampu untuk membuat kritik-kritik atas kekeliruan gerakan-gerakan sebelumnya untuk lebih berhati-hati dalam melangkah ke masa depan. Hanya dengan memahami even-even di Kronstadt sebagai sebuah bagian dari gerakan bersejarah kelaslah maka kini kita dapat berharap untuk menarik pelajaran dari apa yang dialami dan diaplikasikan pada mereka sebagai sebuah percik obor yang membantu menerangi praksis saat ini dan masa depan perjalanan proletariat menuju pembebasan dirinya. Hanya dengan cara tersebutlah kita dapat berharap agar tak pernah lagi ada even-even seperti Kronstadt.

Catatan kaki

[1] Kebijakan Ekonomi Baru (KEB) diinisiasikan tahun 1921 untuk menggantikan kebijakan Komunisme Perang, yang diberlakukan selama masa perang sipil Russia, yang mengarah pada kehancuran agrikultural dan produksi industri (non-militer). Untuk membangkitkan ekonomi pasca perang sipil, KEB diadopsi sebagai sebuah upaya temporer yang memperbolehkan kebangkitan perdagangan bebas dalam Republik Soviet dan konsesi-konsesi asing sepanjang sektor-sektor ekonomi yang dinasionalisasi dan dikontrol oleh negara. Orang-orang KEB adalah mereka yang menggunakan sistem ekonomi tersebut untuk memaksimalkan profit. KEB dianggap berhasil pada tahun 1928 dengan rencana lima tahunnya yang berujung pada pemaksaan kolektivisasi tanah di bawah Stalin. Kebijakan ini diadopsi, atas inisiatif Lenin, dalam Kongres Partai Komunis Russia ke-10, awal 1921 dan ditekankan lagi dalam Konferensi Partai Ke-10 di bulan Mei di tahun yang sama. Selama Kongres, Lenin mengajukan sebuah kebijakan yang menggantikan pengambilan paksa dengan pajak, memperbolehkan para petani mempertukarkan surplus mereka dalam batas perdagangan lokal, mengijinkan konsesi-konsesi kapitalis pada sebuah tingkat yang tak terbatas dan pemberlakuan kapitalisme negara.

[2] Kita harus belajar untuk mengkombinasikan demokrasi ‘rapat publik’ bagi para pekerja—bergolak, bergelora, membanjiri tepian-tepiannya seperti sebuah banjir di musim semi—dengan kedisiplinan besi saat sedang bekerja, dengan kepatuhan yang tak bisa dipertanyakan lagi atas kehendak dari diri seorang, pemimpin Soviet, saat sedang bekerja.” (V.I. Lenin, The Immediate Tasks of the Soviet Government, M.I.A. DVD 2006) Pendapat yang justru juga berkontradiksi dengan pendapat setahun sebelumnya, “Semakin kurang pengalaman berorganisasi di tengah masyarakat Russia, semakin kita butuh meneruskan pengembangan organisasional oleh masyarakat sendiri dan bukan oleh para politisi borjuis dan birokrat-birokrat yang ‘berkedudukan baik’.” (V.I. Lenin, A New Type of State Emerging from Our Revolution, M.I.A. DVD 2006) Sementara Marx sendiri telah menekankan bahwa emansipasi proletariat hanya dapat dilakukan oleh proletariat itu sendiri.

[3] “Didorong oleh kedinginan dan kelaparan, orang-orang meninggalkan mesin-mesin mereka berhari-hari untuk mengumpulkan kayu dan mengelana mencari makan di sekitar pedesaan. Melakukan perjalanan dengan berjalan kaki atau dengan kereta-kereta yang penuh sesak, mereka membawa barang-barang milik mereka dan material-material yang mereka curi dari pabrik-pabrik untuk dipertukarkan dengan makanan apapun yang bisa mereka dapatkan.” (Paul Avrich, Kronstadt 1921, hlm 9)

[4] Untuk menjelaskan bagaimana blokade jalanan yang dijaga ketat oleh pasukan bersenjata ini dapat dikutip dari berbagai sumber, di antaranya yang dikutip dari catatan Emma Goldman berikut ini ketika ia mengunjungi Russia, “Dalam banyak kasus, barang-barang yang disita dipilah-pilah di antara para penjaga Negara Komunis itu sendiri. Korbannya masih cukup beruntung apabila dapat melewatkan kesulitan lain berikutnya. Setelah mereka dirampok bawaannya, seringkali mereka dijebloskan ke dalam penjara atas tuduhan ‘spekulasi’. Jumlah para spekulator yang sesungguhnya jelas tidak signifikan apabila dibandingkan dengan sejumlah besar massa orang-orang yang tidak beruntung, yang mengisi penjara-penjara Russia atas usaha mereka untuk tidak mati kelaparan.” (Emanuel Pollack, The Kronstadt Rebellion, hlm 2-3)

[5] Radio Moskow menyiarkan, “Sudah jelas bahwa desersi di Kronstadt diarahkan langsung oleh Paris… dan kontra-intelejensi Paris telah menyatu di sini.” (Izvestiia of the Provisional Revolutionary Committee no.02, 4 Maret 1921). Sementara, jurnal Izvestiia of the Provisional Revolutionary Committee edisi ke-4 menegaskan, “Para kamerad! Mereka tidak hanya memperdayaimu, tetapi juga bertujuan mengaburkan kebenaran, menempatkan para pemfitnah pada posisinya. Para kamerad, jangan termakan oleh hal tersebut! Seluruh kekuasaan di Kronstadt ada di tangan para kelasi, tentara dan pekerja revolusioner sendiri, dan tidak di tangan Tentara Putih dengan Jenderal Kozlovsky sebagai ketuanya, sebagaimana yang disiarkan oleh para pemfitnah dari Moskow ingin kalian percayai.” (Izvestiia of the Provisional Revolutionary Committee no.04, 6 Maret 1921) Tentang hal ini, menurut catatan Victor Serge, yang sempat menjabat sebagai Presiden Eksekutif untuk Internasional Ketiga, ia bersama Emma Goldman dan Alexander Berkman pasca penindasan pemberontakan Kronstadt berusaha memediasi antara para insurgen Kronstadt dan pemerintah Soviet, “…benar bahwa seorang bekas tentara bernama Kozlovsky, ada di antara mereka, tetapi ia sama sekali tidak memiliki kekuasaan.” (Victor Serge, Memoirs of a Revolutionary, Penguin Books)

[6] Badan Konstituensi, pertama kali diajukan oleh para reformis Russia semenjak abad ke-19. Pada 1 Maret 1917, setelah Nicholas II turun tahta, Pemerintahan Provisional memperkenalkan Badan Konstituensi. Bulan November 1917 dilakukan pemilihan umum untuk memilih kandidat dalam Badan Konstituensi, di mana hasil akhirnya adalah 299 suara untuk Revolusioner Sosialis, 168 untuk Bolshevik, 18 untuk Menshevik dan 17 untuk Partai Demokrasi Konstitusional. Tahun 1918 Bolshevik mengundurkan diri dari Badan Konstituensi setelah program untuk pembentukan Pemerintahan Soviet ditolak. Pada kesimpulannya, Badan Konstituensi adalah sebuah badan yang bertujuan untuk memberikan perubahan bagi Russia dengan cara reformasi—walaupun diketuai oleh Yakov Sverdlov, seorang veteran organisasi teroris anti-Tsar, Kehendak Rakyat.

[7] Beberapa orang tolol atau para pengkhianat di Kronstadt berbicara soal Badan Konstituensi.” (V.I. Lenin, On Kronstadt Revolt, M.I.A. DVD 2006)

[8] Dalam faktanya, para delegasi Kronstadt telah memberitahukan pada para pemogok di Petrograd bahwa meriam-meriam Kronstadt akan “dapat dipastikan diarahkan untuk melawan Badan Konstituensi dan melawan semua langkah mundur.” (Voline, Unknown Revolution, hlm 469)

[9] Bertentangan dengan anggapan Trotsky bahwa para pekerja Petrograd mendukung kekuasaan Soviet sementara para insurgen Kronstadt mendukung Badan Konstituensi, yang terjadi justru sebaliknya: pemogok Petrograd menuntut untuk kembali ke Badan Konstituensi dan para insurgen Kronstadt mendukung kekuasaan Soviet—tapi tidak di tangan Partai. Dalam sebuah proklamasi tanggal 28 Februari 1921 yang dipublikasikan oleh para pekerja sosialis di regional Nevsky dikatakan, “Kami tahu siapa yang takut akan Badan Konstituensi. Ialah mereka yang tak akan dapat lagi mencuri, yang akan dibawa untuk mengaku di hadapan para representatif rakyat atas penipuan, pencurian dan semua tindak kriminal. Jatuhlah para Komunis yang dibenci! Jatuhlah kekuasaan Soviet! Panjang umur seluruh Badan Konstituensi Nasional!” (Volia Rossii, The Story of the Heroic Struggle of the People of Kronstadt Against the Communist Party Dictatorship, With a Map of Kronstadt, Its Forts and the Gulf of Finland, Praha 1921) Perbedaan-perbedaan fundamental dalam tuntutan mereka ini salah satunya yang setelah melalui kekacauan, represi dan perang propaganda yang simpang siur, menjadikan para insurgen di Kronstadt terkurung seorang diri melawan kekuasaan Bolshevik.

[10] “Sesuai dengan laporan-laporan yang ada, berbagai rapat sedang dilangsungkan di seluruh pabrik di Petrograd, yang mana event-event di Kronstadt didiskusikan. Sikap para pekerja berada di sisi Kronstadt Revolusioner, dan mereka berusaha dengan berbagai cara untuk menjalin kontak dengan kita. Para Komunis tentu menghalangi hal ini, menyebar seluruh kekuatan mereka untuk mengamati dan memata-matai para pekerja, tentara dan kelasi. Upaya penangkapan semakin ditingkatkan, khususnya di antara para kelasi. Para kelasi tidak diijinkan untuk absen di kapal-kapalnya. Para Komisariat dan Komunis ditempatkan untuk memata-matai secara intensif. Pertemuan-pertemuan di jalanan dibubarkan dengan personel bersenjata dari para Komunis.” (In Petrograd, Izvestiia of the Provisional Revolutionary Committee no.03, 5 Maret 1921) Mengenai apa yang terjadi di Petrograd sebagai dukungan terhadap para insurgen Kronstadt juga dipaparkan oleh Ida Mett sebagai berikut, “Sebagian dari proletariat Petrograd terus melangsungkan pemogokan selama event-event Kronstadt. Poukhov, sejarawan Partai, mengakui hal tersebut. Para pekerja menuntut pembebasan para tahanan. Di pabrik-pabrik tertentu, eksemplar-eksemplar ‘Izvestiia’ dari Komite Revolusioner Provisional ditemukan tertempel di dinding-dindingnya. Bahkan sebuah lori dijalankan melintasi jalanan Petrograd menyebarkan leaflet-leaflet dari Kronstadt. Di beberapa perusahaan (seperti Kerja Percetakan Negara no.26) para pekerja menolak mengadopsi sebuah resolusi yang mengutuk para kelasi Kronstadt. Di pabrik senjata, para pekerja mengorganisir sebuah rapat massa pada 7 Maret (hari di mana pengeboman Kronstadt bermula). Rapat ini mengadopsi sebuah resolusi dari para kelasi yang desersi! Mereka juga memilih sebuah komisi yang akan pergi dari pabrik ke pabrik, mengagitasi untuk sebuah pemogokan umum.” (Ida Mett, ibidem, hlm 19)

[11] Para kelasi basis armada laut Kronstadt telah lama menjadi sumber para radikal. Desersi telah berlangsung semenjak Revolusi 1905, memainkan peranan penting dalam mendorong Nicholas II mempublikasikan Manifesto Oktober. Mereka juga berperan aktif dalam penggulingan Nicholas II dalam Revolusi Februari (1915) yang mana sejumlah besar kelasi adalah para Bolshevik. Dalam insureksi Oktober (1917) mereka mengambil alih kapal perusak, Aurora, menjalankannya melayari sungai Neva dan membombardir Winter Palace yang menjadi simbol kekuasaan Tzar. Lihat Ida Mett, ibidem, hlm 15 soal jajaran kepengurusan dalam Komite.

[12] “Pemerintahan Pekerja-Petani telah memutuskan untuk secepatnya mengembalikan Kronstadt dan kapal-kapal para desertir kembali dalam komando Republik Soviet. Dengan demikian, aku perintahkan

[13] Pada semua yang telah mengangkat tangannya melawan negeri Sosialis untuk segera meletakkan senjatanya. Lucuti semua yang menolak, dan berikan ke tangan-tangan pemerintahan Soviet. Bebaskan komisariat-komisariat dan representatif-representatif lain yang ditangkap, secepatnya. Hanya mereka yang menyerah tanpa syarat yang akan diperhitungkan untuk mendapat pengampunan dari Republik Soviet. Secara simultan, aku berikan perintah untuk bersiap menerima kekalahan bagi desersi, para desertir, dengan kekuatan bersenjata. Tanggung jawab atas penderitaan yang telah dibawa pada sebuah populasi yang damai ini sepenuhnya ada pada para desertir Tentara Putih. Peringatan ini adalah yang terakhir,” Trotsky, Presiden Dewan Perang Revolusioner Republik. (Trotsky Threaten Defeat, Izvestiia of the Provisional Revolutionary Committee no.05, 7 Maret 1921)

[14] “Atas nama garnisun Kronstadt, Komite Revolusioner Provisional Kronstadt menuntut agar seluruh keluarga pekerja, tentara dan kelasi yang ditahan sebagai sandera oleh Petrosoviet dibebaskan dalam 24 jam. Garnisun Kronstadt menegaskan bahwa Komunis-Komunis di Kronstadt menikmati kebebasan penuhnya, dan keluarga-keluarga mereka sepenuhnya tak akan mendapat tindak kekerasan. Kami tidak ingin mengambil contoh dari Petrosoviet, semenjak mereka menggunakan metoda-metoda tersebut, yang bahkan dalam kemarahan dan keputus-asaan, adalah sesuatu yang paling memalukan dan hina apapun keyakinanmu. Sejarah tak akan pernah melihat kami menggunakan metoda-metoda demikian.” (Kronstadt Demands Liberation of Hostages, Izvestiia of the Provisional Revolutionary Committee no. 05, 7 Maret 1921)

[15] “Dalam permulaan operasi, batalion kedua menolak maju. Dengan berbagai kesulitan dan terima kasih atas kehadiran para Komunis, mereka dapat diyakinkan untuk pergi melewati es. Secepat mereka tiba di deretan selatan pertama, sepasukan dari batalion kedua menyerah. Para perwira harus kembali seorang diri,” dari laporan Resimen Infanteri 561 yang diperintahkan untuk menyerang Kronstadt. (Paul Avrich, ibidem, hlm 153)

[16] Definisi negara dalam tulisan ini didasarkan pada definisi yang dituliskan oleh Lenin, yaitu sebagai “sebuah produk dari antagonsime-antagonisme kelas yang tak terdamaikan” dan “sebuah instrumen bagi pengeksploitasian kelas tertindas.” (V.I Lenin, The State and Revolution, M.I.A. DVD 2006) Juga merujuk pada sudut pandang Kautsky (yang oleh Lenin dikutip dalam tulisan yang sama), bahwa “negara representatif modern adalah sebuah instrumen bagi pengeksploitasian pekerja-upahan oleh kapital.”

[17] Pada Januari 1923, di hadapan Kongres Partai ke-12, Lenin merekomendasikan pembentukan “Inspeksi Buruh Tani” melihat bahwa pilar-pilar kekuasaan partai semakin tidak terkontrol dan kekuasaannya semakin absolut. (Lihat: V.I. Lenin, How We Should Reorganise the Workers’ and Peasants’ Inspection, M.I.A. DVD 2006)