Liberalisasi sistem pendidikan merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi mahasiswa, baik di Chile maupun di Indonesia. Dengan rasionalisasi untuk meningkatkan daya saing dalam interaksi global, pemerintah melepaskan tanggung jawabnya untuk mengelola sistem pendidikan dan menyerahkannya pada mekanisme pasar.[1]
Beberapa waktu terakhir, mencuat wacana konsolidasi nasional yang digulirkan oleh mahasiswa Indonesia. Wacana tersebut digulirkan setelah disadari perlunya memperkuat gerakan mahasiswa dalam skala nasional untuk merespon kebijakan liberalisasi pendidikan di Indonesia. Sebelumnya, letupan-letupan protes yang terjadi di berbagai kampus di Indonesia dirasa belum mampu—jika tidak mau disebut gagal—memberikan perubahan yang signifikan terhadap kebijakan liberalisasi pendidikan dalam skala nasional. Berbagai letupan protes tersebut ironisnya hanya mampu menghiasi media-media nasional beberapa saat, lantas menguap begitu saja tanpa pengonsolidasian tuntutan lebih lanjut.
Lantas, mengapa penolakan mahasiswa terhadap liberalisasi sistem pendidikan di Indonesia sejauh ini masih terhenti sebatas judicial review dan letupan-letupan protes secara sporadis di masing-masing kampus; sementara di Chile direspon dengan begitu masif oleh mahasiswa dan mampu menekan pemerintah untuk melakukan perubahan kebijakan pendidikan?


Liberalisasi Sistem Pendidikan Chile

“No se vende educación!” Begitulah kalimat yang terpampang dalam poster-poster demonstran yang memadati jalan-jalan di pusat-pusat kota di Chile tahun 2011 lalu. Kalimat tersebut dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti “Pendidikan tidak untuk dijual!”. Tahun 2011 lalu, Chile mampu menarik perhatian dunia, bukan karena pertumbuhan ekonomi negara tersebut, melainkan karena gelombang protes yang dipimpin mahasiswa terkait liberalisasi sistem pendidikan di Chile. Gelombang protes yang diinisiasi mahasiswa yang terjadi berbulan-bulan tersebut berhasil membawa setengah juta rakyat Chile dari berbagai lapisan masyarakat turun ke jalan. Gelombang protes yang dikenal dengan Winter of Discontent, merupakan gelombang protes terbesar sejak yang terakhir terjadi pada akhir periode 1980-an dalam menggulingkan rezim otoriter Augusto Pinochet.[2]
Salah satu warisan dari rezim neoliberal[3] di bawah pimpinan Pinochet adalah kebijakan liberalisasi pendidikan. kebijakan ini mengubah orientasi sistem pendidikan di Chile menjadi market based. Sejak kebijakan tersebut diterapkan, di Chile menjamur universitas-universitas swasta. Selain itu, kebijakan tersebut menyebabkan biaya pendidikan tinggi di Chile merupakan salah satu yang termahal di dunia—sekitar 3.400 US$ per tahun.[4] Hal tersebut menyebabkan banyak sarjana lulusan perguruan tinggi di Chile terjerat utang untuk membiayai pendidikannya, serta tak sedikit pula mahasiswa dari keluarga miskin yang harus menghentikan kuliahnya karena kendala dana. Pendidikan di Chile merupakan cerminan ketidakadilan dan ketimpangan sosial akibat sistem neoliberalisme. Mahalnya biaya pendidikan menyebabkan beberapa sekolah terbaik di Amerika Latin hanya bisa diakses oleh kalangan siswa kaya, sementara para siswa miskin ‘dibuang’ ke sekolah-sekolah negeri yang kekurangan dana.[5]


Winter of Discontent

Gelombang protes mahasiswa yang terjadi di Chile pada tahun 2011 di masa pemerintahan presiden Pinera tidak dapat dilepaskan dari gelombang protes yang sebelumnya terjadi pada tahun 2006. Penguin Revolution, begitulah sebutan untuk protes yang dilakukan siswa sekolah menengah di Chile pada tahun 2006 yang menuntut perubahan kurikulum sekolah. Namun gelombang protes tahun 2006 tersebut, gagal membawa perubahan yang signifikan, karena terpecah-pecahnya gerakan, dan akhirnya berhasil didemobilisasi sebelum mencapai proses negosiasi dengan pemerintah.
Kemudian pada tahun 2011, mahasiswa Chile kembali turun ke jalan untuk melakukan protes terhadap rencana Menteri Pendidikan Chile, Joaquin Lavin, dalam meningkatkan pendanaan pemerintah untuk universitas non-negeri. Gelombang protes tumbuh secara pesat dari mulai ribuan massa hingga mencapai angka ratusan ribu massa pada musim dingin tahun 2011. Awalnya, tuntutan yang diajukan oleh demonstran tak jauh beda dari tuntutan pada gelombang protes di tahun 2006, yakni tentang subsidi untuk transportasi mahasiswa dan keterlambatan dalam penyediaan beasiswa. Namun tuntutan merembet menjadi tuntutan penyediaan pendidikan gratis untuk semua rakyat Chile, hukuman bagi aktor yang mencari keuntungan dari pendidikan, pendanaan pendidikan publik yang dikelola negara, reformasi pajak, hingga tuntutan nasionalisasi perusahaan tambang tembaga.[6]
Gelombang protes yang terjadi dari Mei 2011 hingga Agustus 2012 terjadi secara terus-menerus dan dengan metode aksi yang sangat variatif. Puncak gelombang protes yang terjadi pada Agustus 2011, melibatkan setidaknya 400.000 massa, dan aksi represif polisi menyebabkan bentrokan yang menyebakan terbunuhnya salah seorang demonstran serta ditangkapnya 874 demonstran. Besarnya massa aksi dan variasi metode mahasiswa Chile dalam menjalankan aksi protes tersebut berhasil menarik perhatian dari masyarakat Chile dan media massa internasional. Metode yang digunakan oleh mahasiswa Chile dalam aksi protes tersebut diantaranya berupa aksi jalan kaki yang dilakukan serentak di seluruh penjuru Chile, blokade dan pendudukan gedung-gedung sekolah dan universitas, pengambilalihan stasiun televisi, serta aksi mogok makan hingga berbagai aksi pertunjukan seni kolektif.[7] Menurut polling yang dilakukan pada Maret 2012, dukungan dari rakyat Chile terhadap gerakan protes tersebut mencapai 80%. Sementara dukungan terhadap presiden Pinera terus anjlok hingga ke angka 22%. Gelombang protes yang terjadi selama berbulan-bulan tersebut memaksa dua menteri pendidikan mundur dalam jangka waktu yang relatif singkat. Selain itu, pada Agustus 2012, akhirnya pemerintah menaikkan pajak perusahaan untuk mendanai pinjaman dengan bunga rendah.
Gerakan mahasiswa Chile kemudian berimbas pada perubahan politik nasional Chile dengan kemenangan Michelle Bachelet dalam pemilu tahun 2013, serta terpilihnya dua tokoh juru bicara gerakan mahasiswa Chile, Camila Vallejo dan Gabriel Boric sebagai anggota parlemen. Koalisi Nueva Mayoria yang mengusung Michelle Bachelet menyatakan komitmen mereka untuk membangun sistem akses universal dan gratis terhadap pendidikan tinggi dalam waktu 6 tahun.[8] Rencananya, pembebasan biaya pendidikan tinggi akan diberlakukan mulai Maret 2016. Meskipun pemerintah Chile sudah memberikan janji untuk merealisasikan tuntutan-tuntutan mahasiswa, namun gelombang protes mahasiswa Chile belum juga redup hingga saat ini.


Belajar dari Chile

Gerakan mahasiswa Chile yang puncaknya terjadi pada tahun 2011 hingga 2012 yang memprotes liberalisasi sistem pendidikan mampu menyita perhatian dunia. Meskipun gelombang protes tersebut belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan, namun terdapat beberapa faktor penting yang perlu di garis-bawahi dari protes ini.

Pertama, gerakan tersebut bukanlah gerakan yang diciptakan top-down dari aktor politik yang mapan maupun lembaga politik, melainkan gerakan kolektif yang mampu steril dari berbagai kepentingan dan institusi politik. Gerakan tersebut spontan diciptakan oleh mahasiswa yang berusaha keras melawan kooptasi kelas elit politik. Hal tersebut dapat terjadi karena mahasiswa Chile sadar bahwa konstelasi politik mainstream memakai status quo politik sebagai counter-model, sebagai pengontrol sekaligus alternatif.
Kedua, peran Confederación de Estudiantes de Chile (CONFECH) sebagai ‘vanguard movement’. CONFECH merupakan konfederasi mahasiswa dari berbagai universitas di Chile yang menjadi inisiator sekaligus koordinator dalam gerakan protes tahun 2011 tersebut. CONFECH terdiri dari perwakilan-perwakilan asosiasi mahasiswa dari sekitar 30 universitas di Chile, baik universitas negeri ataupun swasta.[9] Peran CONFECH sebagai inisiator sekaligus koordinator membuat gerakan protes tersebut massif, kuat dan tidak terpecah-pecah.
Ketiga, dalam gelombang protes Winter of Discontent tersebut, mahasiswa Chile meminimalkan struktur hierarkis dalam model gerakan mereka. Gerakan protes tersebut mempromosikan versi gerakan ‘horizontalisme’ mereka sendiri. Hal tersebut merupakan suatu model gerakan baru—yang di Amerika Latin sering disebut dengan “horizontalidad”—yang ditemukan pada gerakan-gerakan radikal buruh yang termarginalisasi di Argentina pada Desember 2001. Horizontalidad sebagai metode gerakan merupakan pengorganisasian orang dalam model dimana mereka menciptakan sebuah hubungan yang terbuka antara peserta, yang deliberatif, bukan dengan status perwakilan.[10] Meskipun demonstrasi tersebut dikoordinasi oleh CONFECH, Camila Vallejo sebagai ketua dari CONFECH sekaligus sosok yang paling terlihat dalam gerakan tersebut berperan hanya sebagai juru bicara bukan perwakilan gerakan. Selain itu, horizontalisme di dalam internal CONFECH memberikan kesempatan bagi semua mahasiswa untuk berpartisipasi menyuarakan pendapat mereka. Sehingga keputusan yang diambil terkait gerakan tersebut mendapatkan legitimasi yang kuat dari internal CONFECH itu sendiri.
Keempat, mahasiswa Chile tidak hanya fokus terhadap masalah yang terkait sistem pendidikan, namun juga memberikan solusi terkait masalah tersebut. Selain berbagai gelombang protes dengan turun ke jalan, mahasiswa Chile sebagai motor gerakan tersebut mengajukan proposal-proposal yang berisi langkah-langkah yang seharusnya diambil pemerintah untuk membiayai pendidikan gratis di Chile. Diantaranya dengan menasionalisasi tambang tembaga, memotong anggaran belanja militer dan melakukan reformasi pajak.[11]
Kelima, strategi dalam gerakan protes yang variatif. Dengan tidak mengesampingkan aksi tradisional berupa turun ke jalan sebagai tulang punggung dan menunjukkan besarnya dukungan terhadap aksi protes mereka, mahasiswa Chile menambahkannya dengan aksi-aksi kreatif berupa berbagai flash-mob massal, aksi dengan kostum-kostum dan boneka raksasa, hingga aksi bersepeda hingga aksi kissathon[12] di depan istana kepresidenan yang mampu menarik perhatian rakyat Chile dan media massa internasional.
Terakhir, meskipun belum membuahkan hasil tuntutan pendidikan gratis, namun mahasiswa Chile telah banyak memberi pelajaran tentang; bagaimana mahasiswa harusnya mengorganisir dirinya, bagaimana mahasiswa menunjukkan dirinya sebagai kekuatan penekan yang layak diperhitungkan dan bagaimana mahasiswa mempertahankan nafas perjuangan meski memakan waktu yang tak sebentar.
Setidaknya, mahasiswa Chile sudah menunjukkan siapa mereka di hadapan negara.


Catatan

[1] Umar, A. R. M. ‘UU Pendidikan Tinggi dalam Jerat Kapitalisme’. Indoprogress (online). Maret 2013. <http://indoprogress.com/2013/03/uu-pendidikan-tinggi-dalam-jerat-kapitalisme>. Diakses, 8 Juli 2016.

[2] Soma, Nicolas M. ‘The Chilean student movement of 2011-2012: challenging the marketization of education’. Interface: a journal for and about social movements. Vol. 4. No. 2. November 2012. Hal. 300.

[3] Baca https://id.wikipedia.org/wiki/Neoliberalisme

[4] McIntyre, Jody. ‘How To Grow a Student Movement, Chilean Style’. New Internationalist. Oktober 2012. Hal. 26.

[5] Long, Gideon. ‘Chile student protests point to deep discontent’. BBC (online). Agustus 2011. <http://www.bbc.com/news/world-latin-america-14487555>. Diakses, 8 Juli 2016.

[6] Soma, Nicolas M. ‘The Chilean student movement of 2011-2012: challenging the marketization of education’. Interface: a journal for and about social movements. Vol. 4. No. 2. November 2012. Hal. 300.

[7] McIntyre, Jody. ‘How To Grow a Student Movement, Chilean Style’. New Internationalist. Oktober 2012. Hal. 26-27

[8] Telesur. ‘Chile to Have Free Higher Education by 2016’. Telesur (online). http://www.telesurtv.net/english/news/Chile-to-Have-Free-Higher-Education-by-2016-20141204-0049.html. Diakses, 8 Juli 2016.

[9] Soma, Nicolas M. ‘The Chilean student movement of 2011-2012: challenging the marketization of education’. Interface: a journal for and about social movements. Vol. 4. No. 2. November 2012. Hal. 303.

[10] Sitrin, Marina. Horizontalism: Voices of Popular Power in Argentina. AK Press. 2006.

[11] McIntyre, Jody. ‘How To Grow a Student Movement, Chilean Style’. New Internationalist. Oktober 2012. Hal. 26.

[12] Aksi ciuman massal di depan umum sebagai aksi protes politik.