Judul : Power and Politics in Poststructuralist Thought; New Theories of the Political

Pengarang : Saul Newman

Penerbit : Routledge, New York, 2005

Jumlah hal. : xii + 177


Banyak yang sudah tidak lagi berharap pada ide-ide emansipasi dan transformasi sosial, ketika berhadapan dengan hegemoni ekonomi global neoliberal, meninggalkan ruang politik radikal yang kemudian diambil alih oleh kanan-jauh.

Saul Newman ingin menunjukan bahwa teori post-strukturalis mempunyai komitmen politis dan etis, dan dapat memberi pemahaman baru pada politik egalitarian, otonomi individual dan demokrasi radikal.

Buku ini adalah jilid kedua dari sekuel tiga buku post-anarkisme, yang dimulai dengan penerbitan ‘From Bakunin to Lacan: Anti Authoritarianism and The Dislocation of Power’, dan yang terakhir adalah ‘The Politics of Post-Anarchism’.

Koleksi esai dalam buku ini membahas bagaimana pendekatan post-strukturalis dapat memberikan wawasan baru pada beberapa tema dan permasalahan konseptual politik antiotoritarian. Hal-hal tersebut terkait dengan topik-topik: humanisme Pencerahan, kekuasaan dan dominasi, ideologi, dan identitas subyek, dan kolektif yang terlibat dalam pergerakan politik dan etis. Newman juga menunjukkan bahwa, tidak seperti kritisisme yang beredar, post-strukturalisme tidak berujung pada nihilisme, apolitis dan amoral. Sebaliknya, pendekatan post-strukturalis mempunyai hubungan dengan tujuan-tujuan politis dan etis. Namun, hubungan tersebut tidak selalu terlihat jelas. Buku ini memilah dan menggaris-bawahi keterkaitan politik dan etika antiotoritarian dengan teori post-strukturalis.

Newman mendiskusikan teori-teori dari pemikir-pemikir post-strukturalis, Michel Foucault, Jacques Derrida, Jacques Lacan dan Gilles Deleuze, selain juga memberikan perhatian khusus pada Max Stirner—yang mendahului pemikir yang disebutkan sebelumnya—melihatnya sebagai ‘proto-post-strukturalis’. Newman juga mendiskusikan pemikir-pemikir yang lebih kontemporer yang meneruskan kajian-kajian post-strukturalis awal, termasuk, Ernesto Laclau, Chantal Mouffe, Jacques Rancière, Étienne Balibar, Judith Butler, William Connolly, Wendy Brown and Slavoj Žižek. Pemikir-pemikir ‘post-strukturalis’ tersebut dianggap penting oleh Newman karena fokus mereka yang secara eksplisit ditujukan pada isu-isu politis.

Pendekatan post-strukturalis yang digunakan Newman menginterogasi pengaruh-pengaruh humanisme Pencerahan, determinisme ekonomi Marxian, dan historiografi materialisme dialektis pada anarkisme klasik yang dalam pembahasan buku ini diwakili oleh ide-ide Peter Kropotkin, Mikhail Bakunin, dan William Godwin. Diskusi pada buku ini mengerucut pada narasi post-anarkisme, pembacaan ulang anarkisme, yang tidak menolak wawasan-wawasan fundamental anarkisme klasik, tapi meradikalisasinya dengan pendefinisian ulang fondasi-fondasi teori anarkisme klasik—identitas subyek manusia, relasi-relasi kekuasaan dan antar-subyek, dan dimensi universal sebagai strategi resistensi politik kolektif.

Di awal buku ini, Newman mendiskusikan kritik Stirner pada liberalisme—artikulasi politik humanisme Pencerahan. Newman kemudian mengembangkan politik ‘post-liberalisme’ yang merupakan politik liberal non-essensialis untuk memperluas pluralitas dan otonomi individual.

Stirner mendekonstruksi konsep humanisme—manusia sebagai mahluk rasional dan bermoral—yang merupakan ideal anarkisme klasik. Humanisme merupakan konsep sekular yang menegasi mistisisme religius agar manusia mengembangkan nalar rasio dan moralnya. Masalah yang menjadi perhatian Stirner adalah, absolutisme rasio dan moral pada humanisme. Emansipasi manusia inilah yang oleh Stirner dianggap bukan sebagai pelampauan agama, tapi hanya perekayasaan ulang ketuhanan menjadi bentuk humanisme. Kualitas-kualitas Tuhan hanya menjadi kualitas manusia yang direifikasi. Dalam hal ini, Tuhan belum tergantikan, dan konsep tersebut hanya membuat manusia menjadi Tuhan. Seperti Tuhan, esensi manusia menjadi esensi takhayul: ‘tidak ada yang esensial tentang manusia: konsep-konsep tersebut hanya merupakan hantu ideologis yang mengikat individu pada kesamaan-kesaman dari luar (manusia), yang mengasingkannya’. Dan Stirner juga menunjukkan figur manusia yang merupakan pokok dalam konsep humanisme selalu dibayangi oleh dimensi lain yang un-man. Un-man merupakan bagian dari individu yang tersisa dari prose dialektika humanisme, dan yang tidak dapat terintegrasi dalam identitas manusia humanisme.

Stirner tidak bisa dinyatakan sebagai orang yang menentang rasionalitas, tapi hanya statusnya sebagai diskursus universal dan absolut. Lebih jauh lagi, Newman juga mendiskusikan isu problematis pada filsafat politik Stirner. Misalnya, individualme dan egoisme ekstrim yang memandang segala jenis identitas kolektif sebagai beban yang menindas—yang jelas akan mempersulit teoritisasi suatu politik resistensi kolektif.

Stirner memulai suatu pemisahan dari tradisi Pencerahan. Humanisme dilihat sebagai diskursus, yang di satu sisi mengklaim membebaskan manusia, tetapi sebenarnya mengenalkan bentuk-bentuk penaklukkan dan keterasingan yang baru.

Stirner telah mendekonstruksi ontologi (konsepsi penentuan keberadaan) subyek yang universal dalam humanisme Pencerahan, berarti esensi manusia tidak bisa lagi menjadi kepastian ontologis. Liberalisme didasarkan pada asumsi subyek manusia esensial sebagai lokus rasionalitas. Liberalisme merupakan ambang batas (threshold) diskursif dimana kebebasan individu bertemu dengan kekuasaan negara yang mengaturnya. Liberalisme merupakan artikulasi politis ide tentang esensi manusia, dan dapat dilihat sebagai strategi untuk menggantikan individu dengan esensi (manusia)—sebagai subyek yang dikendalikan dari luar dengan norma, mekanisme ideologis, dan institusi politik (negara). Sementara pengungkapan karakter religius humanisme Pencerahan oleh Stirner juga mempunyai konsekuensi pada politik sekuler saat ini. Misalnya, ide tentang kedaulatan Negara, seperti ditunjukkan oleh Stirner (dan Derrida), berakar pada kategori teologis tentang otoritas keilahian.

Menurut Newman, anarkisme bisa menjadi lebih relevan dengan perjuangan politik kontemporer jika jiwa resentimen (ressentiment) dalam filasafatnya dapat dikonfrontasi, terutama, identitas esensialis dan struktur oposisional (biner) yang melekat pada filsafat tersebut. Newman mengkritik prinsip pokok dari anarkisme klasik yang melakukan pembagian konseptual yang radikal di antara dua orde ontologis—‘otoritas alamiah’ dan ‘otoritas artifisial’.

‘Otoritas alamiah’, menurut Bakunin, adalah dimensi yang diliput oleh ‘hukum alam’. Rasionalitas dianggap sebagai bagian dari yang alamiah, kehidupan dunia yang organik. Kepatuhan pada ‘hukum-hukum alamiah’ bukanlah suatu jenis perbudakan:

“hukum-hukum tersebut adalah inheren, dan bagian dari sifat alamiah kita, keseluruhan bagian fisik kita, secara intelektual dan moral.” -Bakunin

Dengan ungkapan lain, Bakunin memercayai adanya esensi pada subyek manusia.

Menurut skema Bakunin, orde ‘alamiah’ tersebut beroposisi dengan orde ‘artifisial’ yang terkandung dalam institusi seperti negara dan hukum-hukum buatan manusia. Anarkisme klasik dapat dipahami sebagai antagonisme di antara dua jenis otoritas tersebut. Perjuangan anarkisme adalah bagian dari proses dialektis yang mana subyek berkembang menuju kemanusiaan sepenuhnya.

Skema tersebut, yang memapankan oposisi di antara dua titik ontologis—yang alamiah dan artifisial—adalah persis dengan logika Manicheism, dualisme teologis yang menemukan bentuk sekularnya pada filsafat politik radikal seperti anarkisme.

Negara dibutuhkan untuk eksistensi subyek penentangnya, dan sebaliknya, eksistensi negara juga membutuhkan subyek tersebut. Sesuatu mendefinisikan dirinya dengan beroposisi dengan yang lain. Kemurnian identitas anarkis hanya didefinisikan dengan mengkontraskannya dengan ketidakmurnian kekuasaan politik. Ketika hubungan di antara negara dan subyek anarkis adalah jelas terdefinisikan sebagai oposisi, kedua antagonis tersebut tidak dapat eksis di luar hubungan tersebut. Hal ini memberikan teori anarkis sejenis titik berangkat yang tidak terkontaminsi—dengan kata lain menempati posisi istimewa di luar orde kekuasaan, dari mana kekuasaan dapat dikutuk sebagai yang tidak bermoral dan tidak rasional. Hubungan paradoks tersebut dapat dilihat sebagai suatu bentuk resentimen dalam pengertian Nietzschean.

Nietzsche memercayai bahwa percobaan untuk meniadakan atau mengingkari kekuasaan—seperti pada anarkisme—merupakan suatu sinyal adanya resentimen. Bakunin sendiri mempunyai keraguan ketika berbicara tentang peniadaan ‘kekuasaan’. Kekuasaan merupakan nafsu alamiah yang dipercayai Bakunin ada dalam diri setiap individu:

“Setiap orang membawa dalam dirinya benih nafsu kekuasaan, dan setiap benih, seperti kita ketahui, akan bertumbuhkembang karena hukum alamiah dasar.” -Bakunin

Menurut Nietzsche, kita harus menerima dan bahkan menegaskan hasrat kita untuk kekuasaan, dan merasa senang dengan kemampuan kita untuk menunaikannya—daripada menyangkalnya. Nietzche menganggap kekuasaan sebagai sesuatu yang positif, daya penegas-kehidupan, sedangkan di sisi lain, Bakunin menganggapnya sebagai sesuatu yang berbahaya.

Lebih jauh lagi, menurut Nietzsche, penyangkalan pada antagonisme kekuasaan berarti menyerah pada nihilisme ‘negatif’. Nihilisme ‘aktif’ di sisi lain adalah, penegasan di dunia kekuasaan yang bergejolak. Kita dapat melihat bagaimana analisis kekuasaan ini merongrong ide tentang orde sosial yang rasional berdasarkan hukum-hukum alamiah.

Tema kehendak untuk kekuasaan Nietzsche dicerminkan pada proyek genealogis Foucault, yang bertujuan untuk mengekspos pertentangan dengan kekerasan yang terjadi terus-menerus sepanjang sejarah, dan yang tersembunyi di balik ideal universal—diskursus moral, dan norma legal.

Sejarah terungkap dengan hubungan kekuasaan yang tidak stabil, daripada pengungkapan berdasarkan tahap-tahap dialektis menuju rekonsiliasi final kekuatan-kekuatan sosial:

“Kemanusiaan tidak mengalami kemajuan dari perang ke perang sampai mencapai timbal balik universal. Kemanusiaan menyelesaikan setiap tindakan kekerasannya dalam suatu sistem pengaturan, dan yang berlanjut dari dominasi ke dominasi.” -Foucault

Pernyataan tersebut menyatakan, tidak adanya kemungkinan suatu masyarakat berekonsiliasi dengan dirinya sendiri, yang bebas dari distorsi dan perpindahan (dislokasi) kekuasaan, dan yang berdasarkan hubungan sosial setara, seperti dibayangkan anarkis. Percobaan yang dilakukan untuk mengeliminasi kekuasaan dan antagonisme, akan menjadi suatu bentuk dominasi. Hal ini terjadi karena tidak adanya kesamaan esensial pada dasar masyarakat, tidak adanya hukum-hukum alam atau sosiabilitas manusia yang inheren yang dapat menjadi dasar pemapanan orde sosial yang terekonsiliasi sepenuhnya.

Menurut Newman, anarkisme dapat membebaskan dirinya dari resentimen jika beberapa kondisi teoritis dapat dipenuhi. Pertama, teori anarkis harus mengakui bahwa kekuasaan adalah dimensi yang tidak dapat dilenyapkan dalam suatu identitas sosial. Hal ini berarti, menerima bahwa relasi kekuasaan akan ada terus bersama kita. Kedua, kondisi di mana kekuasaan tidak dapat disingkirkan berarti bahwa pembagian manichean—di antara orde alamiah yang ‘tanpa dosa’ dan orde kekuasaan—yang menjadi prinsip utama anarkisme klasik tidak dapat dipertahankan. Hal ini menegaskan bahwa, tidak ada titik berangkat yang tidak terkontaminasi yang berada di luar kekuasaan—baik dalam bentuk subyek manusia esensial atau orde sosial rasional yang imanen. Ketiga, teori anarkis harus mengadopsi sejarah yang ditentukan oleh genealogi—terjadinya peristiwa, kejadian yang tidak terprediksi, dan diskontinuitas—dan bukan dialektik. Jika anarkisme menolak pembagian di antara alamiah dan artifisial dan tidak lagi bergantung pada dialektik, maka revolusi harus dipandang sebagai kegiatan politik artifisial dan bukan alamiah (keniscayaan).

Newman mendekonstruksi kekuasaan dan dominasi dengan diskursus kekuasaan Foucault, kemudian beralih menggunakan konsep psikoanalisis Lacanian untuk menganalisis kekuasaan sampai pada dimensi simbolik dan ideologisnya. Di sini, Newman membuka wawasan tentang fungsi kekuasaan, proses konstruksi subyek (subyektifikasi), dan resistensi dalam masyarakat kontemporer.

Menurut Foucault, kekuasaan terdispersi, terdesentralisasi, dan tersebar ke seluruh masyarakat. Konsep tersebut menemukan keterbatasan dengan sendirinya; jika kekuasaan berada di mana-mana, maka ia akan kehilangan identitasnya sebagai kekuasaan. Dan jika kekuasaan berada di mana-mana, bagaimana seseorang melawannya?

Butler (penggagas teori post-Foucauldian, yang disebut ‘keterikatan bergairah’) menyatakan bahwa kekurangan dari ide Foucault terkait kekuasaan dan dominasi pada subyek adalah pada dimensi hasrat—pemahaman bagaimana kita secara psikis terikat dengan sesuatu yang mendominasi kita, dan bagaimana keterikatan tersebut sebenarnya melanggengkan hubungan dominasi tersebut. Maka ide Foucault tentang subyektifikasi tidak lengkap tanpa teori psikis. Domain psikis ini berada dalam bawah sadar—bidang terkait hasrat, dorongan, gairah yang mengikat kita pada kekuasaan dan yang juga menyebabkan kita berusaha bebas darinya.

Bagi Lacan, identitas subyek selalu tidak lengkap. Swa-pengakuan pada orde simbolik pada akhirnya akan mengalami kegagalan, maka kesenjangan struktural akan terjadi di antara subyek dan penanda (identitas) yang merepresentasikannya. Kesenjangan tersebut, secara paradoksal, adalah bagian dari subyek. Kekosongan radikal terjadi di antara identitas dan makna subyek. Lacan mampu menteoritisasi batas-batas subyektifitas, yang merujuk pada dimensi yang melampaui simbol. Lacan mendefinisikannya sebagai riil yang tidak dapat diintegrasikan pada makna orde simbolik. Riil dalam pemahaman Lacanian adalah non-esensialis karena ia merupakan ‘sisa’ yang dihasilkan dari proses simbolisasi, dan dimensi ini melampaui simbolisasi.

Laclau dalam teorinya yang terinspirasi Lacan, menunjukkan gagasan tentang subyek yang tidak bisa ditentukan (indeterminate) dan ‘bebas’, selain juga non-essensialis. Bagi Laclau, subyek tersebut bukan merupakan entitas yang esensialis dan otonom karena dia adalah sama dengan struktur sosial—kekuasaan, wacana, bahasa, dlsb. Namun struktur yang mendefinisikan subyek itu sendiri adalah sesuatu yang retak dan tidak dapat ditentukan.

Implikasi krusial intervensi oleh riil pada subyek adalah, bahwa identitas kekuasaan itu sendiri tidak lengkap. Hal ini seperti yang digagas Newman bahwa yang tidak dapat ditentukan dari subyek berada pada yang tidak dapat ditentukan dari struktur.

Newman mengkritisi pendekatan-pendekatan teori klasik dan kritis pada ideologi yang mana menurutnya didasarkan pada pengandaian suatu esensi manusia dengan ‘kepentingan riil’ yang terdistorsi oleh ideologi. Misalnya, dalam anarkisme, subyek dalam negara liberal tidak mengetahui kepentingan-kepentingan ‘riil’-nya maka mendukung negara dan institusi-institusi yang mengeksploitasi dan mendominasinya. Dengan ungkapan lain, ideologi beroperasi melalui distorsi persepsi fundamental. Asumsi tentang ‘kesadaran palsu’ (berarti ada kesadaran otentik—esensialis) tersebut ditolak dalam wacana post-strukturalis.

Pendekatan Lacanian pada ideologi menyatakan bahwa ideologi tidak beroperasi dengan pendistorsian dan pengelabuan tapi melalui kebenaran itu sendiri. Pernyataan tersebut berbasis pada tesis Lacanian bahwa sebenarnya ada kemungkinan berbohong dengan kedok kebenaran. Dengan ungkapan lain, yang penting tentang kebenaran dalam psikoanalisis bukanlah kebenaran obyektif atau kebohongan, tapi lebih pada pengucapannya—posisi di mana psikis bawah sadar subyek menerimanya.

Jika ideologi tidak menutupi kebenaran obyektif, apakah kemudian fungsinya? Di sini Newman menggunakan kategori Lacanian tentang fantasi. Dalam perumusan ini, fantasi bukanlah sesuatu yang berlawanan dengan realita, tetapi dimensi yang melanggengkannya. Fantasi adalah faktor yang menentukan karakter ideologis tentang realita itu sendiri—suatu fakta bahwa ideologi tidak merepresi ‘kebenaran’ representasi realita, tapi lebih pada pengkondisian realita ini:

“Ideologi bukanlah ‘kesadaran palsu’, representasi khayalan realita, tapi lebih merupakan realitas ini sendiri yang sudah harus dianggap sebagai ‘ideologis’.” -Žižek

“Realitas” kita sebenarnya adalah realitas simbolik—sama dengan tanda-tanda dan struktur-struktur representasi—dan ini dilanggengkan dengan fantasi pelarian ke kondisi Firdaus yang ‘hilang’ yang melampaui simbolisme. Peran ideologi di sini adalah untuk menutupi, ‘menambal’ kekosongan ini—untuk melanggengkan fantasi tentang keutuhan. Misalnya, Nazisme merupakan ideologi untuk menambal kekosongan tersebut yang mana orang Yahudi adalah figur fantasi yang menjadi target pelampiasan tuduhan kesalahan untuk segala jenis penyakit sosial, untuk menutupi kekurangan radikal yang berada pada tingkat sosial. Kita dapat melihat ideologi sebagai suatu tindakan untuk menyembunyikan— kekurangan pada jantung realitas sosial tersebut, bukan persepsi kita tentang realitas sosial.

Distorsi ideologis yang lebih radikal tidak beroperasi pada tingkat kepercayaan seorang subyek, tapi pada tingkat perilaku subyek. Distorsi ideologis di sini berada di luar (subyek), dan berfungsi pada jantung realita sosial. Berdasarkan tesis ‘materialis’ ini, ideologi mempertahankan jarak sinis di antara ia dan subyek. Kita tidak diharapkan untuk mempercayai isi ideologi tersebut, sejauh kita bertindak selayaknya kita mempercayainya. Seperti yang dinyatakan oleh Žižek: ‘Kita semua mengetahui bahwa birokrasi tidak mempunyai kekuatan menyeluruh, tapi tindakan “efektif” kita ketika berhadapan dengan mesin birokrasi diatur oleh kepercayaan birokrasi yang mempunyai kekuasaan menyeluruh’. Tindakan tanpa kepercayaan inilah yang melanggengkan struktur dan hubungan dominasi.

Newman mengusulkan ‘sisa’ dari dialektika humanisme Pencerahan—rill dalam terminologi Lacanian dan un-man dalam terminologi Stirner—yang luput dari simbolisme—sebagai titik berangkat politik. Sebagai ‘sisa’, riil atau un-man dapat dilihat sebagai dimensi yang melampaui ideologi. Riil atau un-man bukanlah sejenis esensi. Dimensi tersebut muncul hanya setelah penyimbolan dilakukan—representasi batas-batas simbolisasi. Dimensi tersebut dapat memberikan titik berangkat non-esensialis, ekstra-ideologis, dari mana kritik pada ideologi dapat dikonstruksi.

Dalam pandangan Newman, post-strukturalisme merupakan teori yang lebih mengedepankan etika dibandingkan nihilisme: “Foucault dan Derrida mempunyai tujuan untuk memperbaharui potensi emansipatif Pencerahan dengan menginterogasi struktur diskursusnya”. Di sisi lain post-strukturalisme tidak meletakkan panduan etika yang jelas untuk tindakan politik. Newman mengusulkan batas-batas dinamis daripada yang tetap dan absolut untuk pewacanaan etika, yang kemudian dapat direinterpretasi melalui perjuangan sosial dan politik konkret.

Derrida mengembangkan gagasan etika dekonstruktif melalui konsep keadilan, hak asasi manusia dan demokrasi yang akan datang. Namun konsep-konsep tersebut bukan merupakan standar ideal atau normatif absolut. Konsep-konsep tersebut lebih berfungsi sebagai jalur-jalur pembuka struktur politik dan legal eksisting menuju Yang Lain, yang tersisihkan.

Komunitas dan identitas merupakan isu pokok dalam politik; praktek politik tidak dapat sepenuhnya berada pada relung individual. Politik ego Stirner merupakan individualisme radikal—sejenis ‘hiper-liberalisme’—yang menjauhi identitas politik dan sosial yang lebih luas. Bagi Stirner, kolektif sosial merupakan abstraksi yang meniadakan individualitas, bagi Marx individu adalah bagian dari identitas yang lebih luas.

Proyek politik kolektif resistensi dan emansipasi tidak dapat lagi bersandar pada kategori Marxian universal–proletariat; tapi juga tidak bisa dibayangkan dengan basis individualisme egoistik. Politik radikal saat ini harus melibatkan dekonstruksi dua jenis subyektifitas yang berlawanan tersebut. Newman mencoba mengembangkan suatu identitas radikal subyek yang non-esensialis dan dinamis, melalui telaah psikoanalisis subyek, dan mengintegrasikan dimensi subyek tersebut dalam identitas politik.

Psikoanalisis Freud menunjukkan bahwa perilaku politik tidak sepenuhnya dapat dijelaskan dengan rasionalitas. Politik tidak selalu dapat direduksi dengan model-model perilaku rasional. Pemahaman perilaku politik harus menyertakan dimensi irasional psikis. Dengan ungkapan lain psikoanalisis menunjukkan bahwa impuls dan dorongan—keterikatan bergairah dengan yang lain dan bahkan dengan figur otoritarian yang mendominasi kita—mempunyai peran yang sama pentingnya dengan perhitungan kalkulasi rasional dalam memotivasi tindakan politik.

Newman berpaling pada teori Freudian untuk menempatkan domain gairah subyek, yang mengembangkan pemahaman subyek yang berada pada ketidakpastian. Subyek berada pada sesuatu yang mana si subyek juga merasa ambigu dan buram, yaitu pada bawah sadar. Di sini Newman mengeksplorasi ide yang-misterius (the uncanny) sebagai ‘kembalinya yang terrepresi’ (return of the repressed)—kekosongan bawah sadar yang traumatis yang menemukan si subyek—memperdebatkan bahwa hal ini mempunyai implikasi krusial untuk politik, khususnya untuk memahami bagaimana identifikasi politis terjadi dengan dilatari negatifitas dan kekurangan (lack). Stirner dan Marx, dengan cara yang berbeda mencoba untuk menggapai—dan mengalami kegagalan—figur yang-misterius tersebut, melihatnya sebagai kesenjangan yang mengalinenasi di antara subyek dan dunia obyektif yang mengelilinginya.

Bagi Freud, trauma dari kekosongan yang telah direpresi pada subyek, akan kembali dalam berbagai bentuknya sepanjang hidupnya, memprovokasi pengalaman yang-misterius. Ide tentang yang-misterius sebagai ‘kembalinya yang terrepresi’ menjelaskan kembalinya yang familiar dalam bentuk asing, yang menurut Newman merupakan hal yang krusial dalam politik. Politik selalu merupakan upaya untuk mengonstruksi sesuatu yang baru yang secara simultan membangkitkan kembali yang lama. Politik radikal selalu dihantui masa lalu—tradisi revolusioner yang telah mati tapi masih belum terkubur; yang telah direpresi, tapi bersikeras kembali dalam bentuk-bentuk familiar yang misterius.

Untuk memahami ‘kembalinya yang terrepresi’ dalam politik, Newman mendiskusikan pendekatan yang dilakukan oleh Stirner dan Marx. Bagi keduanya, yang-misterius adalah kesenjangan yang memisahkan subyek dan dunia obyektif. Bagi Stirner, gagasan esensialisme humanis merupakan kembalinya idealisme agama, merepresentasikan bentuk baru keterasingan. Bagi Marx, kesenjangan tersebut kembali dalam bentuk pemisahan (Stirnerian) egoistik dari masyarakat. Stirner mencoba menyelesaikan keterasingan dengan bentuk otonomi radikal individualisme. Marx menunjukkan bahwa penyelesaian tersebut terjebak pada idealisme. Bagi Marx, individu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sosial. Namun Stirner pun menunjukkan bahwa sosial itu sendiri merupakan momok idealis tanpa basis ragawi manusia (corporeal).

Newman menyimpulkan beberapa hal: individu tidak dapat dipandang sebagai otonom dari masyarakat, dan ide tentang masyarakat sendiri harus dipikir ulang. Masyarakat tidak dapat dikonstruksi dari kategori-kategori esensial atau dikonstruksi melalui proses dialektik atau dengan hukum historisis yang niscaya. Penerimaan kritik esensialisme Stirner berarti penolakan pada ide tentang logika internal atau identitas, yang pengungkapannya menentukan relasi dan identitas sosial. Dalam Marxisme, wujud umum masyarakat adalah dalam proletariat. Namun masyarakat tidak mempunyai esensi atau identitas yang menyatukannya, misal, dalam identitas proletariat.

Kedua pemikir tersebut, Marx dan Stirner terancam oleh yang-misterius. Ia adalah dimensi hantu yang menyebabkan pemisahan di antara subyektifitas dan dunia obyektif. Kedua pemikir tersebut mencoba menjinakkan yang-misterius pada figur positif subyektifitas untuk mengatasi keterasingan. Bagi Newman tindakan pengidentifikasian politis tersebut bersandar pada kekurangan yang diciptakan yang-misterius. Kita dapat menyatakan bahwa yang-misterius adalah dimensi yang tidak dapat direduksi lagi.

Lacan menunjukkan bahwa subyektifitas selalu tidak pernah utuh dan ‘mengalami kekurangan’. Hal ini berarti bahwa identitas politik adalah simbolisasi yang-misterius yang gagal.

Kebuntuan dalam merepresentasikan komunitas masih terus menghantui teori politik. Tuntutan universalnya untuk kesetaraan dan kebebasan adalah trauma terrepresi dalam politik. Gagasan tentang komunitas adalah misterius dan aneh, karena ia tidak sesuai dengan, dan selalu melampaui struktur-struktur yang dimapankan untuk menampungnya. Stirner dan Marx mencoba untuk mendomestikasi momok traumatis ini: Stirner dengan egoisme individual dan Marx dengan gagasan identitas kelas kolektif. Namun permasalahan komunitas tidak dipertimbangkan dalam gagasan-gagasan tersebut. Ia selalu kembali sebagai tuntutan yang tidak mungkin, perintah yang muncul dari suara-suara sejarah yang diredam. Ia muncul dalam bentuk-bentuk aneh dan asing karena telah terpinggirkan, tapi masih menjadi wawasan universal dari khayalan politik kita.

Tuntutan untuk komunitas merujuk pada dimensi universal politik radikal, sesuatu yang melampaui identitas dan perjuangan partikular,[1] dan terkait dengan semua yang didominasi, ditindas, dipinggirkan dan dieksplotasi. Universalitas adalah penting dalam pemahaman politik radikal, yang dapat diwujudkan dengan isu, hak-hak, kesetaraan atau demokrasi radikal. Dimensi ini dibutuhkan jika kita terlibat dalam proyek-proyek resistensi dan emansipasi kolektif.

Dimensi universal ini jika konsisten dengan pendekatan post-strukturalis tidak dapat didasari pada subyek manusia universal atau ideal rasional dan moral universal. Universalitas harus diartikulasikan tanpa fondasi esensial dan yang juga tidak muncul dari dialektika. Dalam post-strukturalisme, genealogi menggantikan dialektik untuk menjelaskan terjadinya peristiwa, dan subyek otonom Pencerahan digantikan dengan subyek yang terkonstruksi dari struktur-struktur—eksternal, bawah sadar, bahasa, wacana, dan kekuasaan. Maka subyek tidak mungkin dilihat dalam ranah esensialis, yang mempunyai kapasitas moral dan rasional alamiah atau bahkan identitas yang stabil.

Pembacaan post-strukturalisme Newman mengedepankan penolakan pada esensialisme, baik pada politik universal maupun politik identitas (gay, etnis minoritas, perempuan, dll.). Post-strukturalisme menunjukkan bahwa semua identitas pada akhirnya menemui ketidak-mungkinannya—identitas-identitas tersebut tidak dapat menjadi sesuatu yang utuh dan tertutup, yang mana wujudnya akhirnya menjadi tidak stabil dan terbuka. Derrida menyatakan ketidaktetapan identitas karena hubungannya dengan perbedaan, heterogenitas, disunitas, dan antagonisme, yang disisihkan dari pembentukkan identitas tersebut (différance)[2] yang membuatnya tidak stabil, tetapi yang sebenarnya dibutuhkan sebagai penanda identitas tersebut. Sementara Lacan berpendapat bahwa identitas tidak pernah utuh karena adanya kesenjangan pada struktur identitas tersebut yang menolak simbolisasi—riil. Gagasan riil Lacan dan konsep différance Derrida merupakan prinsip-prinsip struktural yang menghalangi terbentuknya identitas yang utuh dan tertutup.

Sementara bagi Deleuze dan Guattari, konstruksi politik pada identitas dengan perbedaan murni bukan hanya tidak mungkin tapi juga memunculkan dikotomi Manichean palsu di antara identitas yang melakukan resistensi dan identitas yang dilawannya. Pemaksaan partikularitas murni juga berbahaya karena mengesampingkan potensi gelap, volatil dan energi otoritarian yang dilepaskan dari perjuangan politik—di sini Deleuze dan Guattari merujuk pada potensi fasisme-mikro kelompok. Dan menurut Foucault, logika oposisional akan sangat membatasi kemungkinan politis kita, yang mana seharusnya kita berpikir di luar struktur oposisional.

Fokus post-strukturalisme tidak ditujukan pada politik identitas yang menolak universal, tapi selalu pada universal itu sendiri, dan pada heterogenitias dan aporia[3] pada strukturnya. Penekanan di sini tidak ditujukan pada suatu identitas tertentu yang disisihkan dari universal, tapi pada proses pengecualian itu sendiri, bagaimana suatu identitas atau diskursus—misal, rasionalitas—telah mencapai status universalnya dengan mengabaikan dan merepresi identitas dan diskursus lainnya. Identitas(-identitas) yang diabaikan tersebut tidak penting pada dirinya sendiri, tidak mempunyai previlese moral yang lebih dan tidak esensial: fungsinya hanya untuk memaparkan tindakan sewenang-wenang universalitas.

Post-strukturalisme—tidak seperti anggapan sebagian orang, tidak mempunyai tujuan untuk mengorbankan yang universal. Fokusnya adalah pada yang universal dan kemunculannya. Interogasi yang dilakukan post-strukturalisme pada yang universal bertujuan untuk menggarisbawahi penyisihan diskursif yang inheren pada strukturnya—dengan tujuannya agar kita dapat mempunyai gagasan universal yang riil. Kritik post-strukturalis menunjukkan bahwa selalu ada suatu partikularitas di balik yang universal tersebut. Dengan kata lain kita tidak dapat mengasumsikan universalitas sebagai sesuatu yang netral secara politis atau ideologis. Hal ini bukan berarti kategori universalitas tersebut harus ditinggalkan. Sebaliknya, dengan pengungkapan batas-batas epistemologi (teori pengetahuan) universalitas, post-strukturalisme dapat mempolitisasinya dan membukanya pada artikulasi yang berbeda dan lebih universal. Kita dapat mengatakan bahwa pendekatan post-strukturalis pada universalitas, secara paradoksal, menyiratkan tuntutan untuk universalitas yang benar-benar universal, yang dapat memenuhi janjinya.

Pencerahan mengandung warisan politik universal yang selama dua abad telah menyerukan kebebasan manusia dari penindasan dan eksplotasi. Pemikir post-strukturalis, sama sekali tidak menolak Pencerahan—misal, Derrida dan Foucault sebenarnya mempunyai komitmen untuk memikirkan-ulang batas-batas diskursif Pencerahan, dan melalui itu memperbaharui proyek emansipasi tersebut. Proyek emansipatif tersebu—Pencerahan—diartikulasikan dengan asumsi-asumsi positivis, gagasan tentang rasionalitas absolut, dan konsepsi esensialis subyek manusia—konsep dan diskursus yang tidak lagi berkelanjutan saat ini, dan yang telah membatasi politik radikal. Tantangan teori politik post-strukturalis adalah, menyegarkan energi radikal dan potensi subversif Pencerahan dengan membebaskan fondasi-fondasinya dari ide-ide yang sudah tidak berkelanjutan.

Derrida menyerukan pembelaan tanpa syarat gagasan hak asasi manusia universal, khususnya ketika berhadapan dengan penegasan ulang kedaulatan Negara yang agresif. Di sisi lain, gagasan hak asasi manusia ini harus dipikirkan ulang dan didekonstruksi. Derrida mengatakan bahwa, pengakuan hak asasi manusia adalah sosial dan historisis, dan bukan alamiah, berarti penyempurnaannya adalah imanen. Dengan kata lain, kritik pada hak asasi manusia tidak hanya terbatas pada ide tentang ‘manusia’ tapi juga pada aparat hukum dan relasi kekuasaan yang terkait. Dekonstruksi yang diadvokasikan Derrida mungkin dilakukan melalui teknik dekonstruksi Stirner, yang mengungkap karakter ganda dan paradoksal diskursus seperti humanisme dan liberalisme, yang menunjukkan figur manusia sebagai konstruksi ideologis dengan pengaruh efek-efek dari pendominasian. Derrida menunjukkan bahwa dengan melakukan kritik seperti yang dilakukannya, kita dapat memilih hal-hal yang berpotensi subversif dan membebaskan.

Foucault juga menunjukkan pembacaan Pencerahan dengan cara heterogen, memfokuskan pada aspek-aspek yang membebaskan, menginterogasi batas-batas modernitas, dan merefleksikan identitas kita sebagai subyek.

Suatu peristiwa politik radikal, peristiwa-peristiwa yang melampaui batas-batas diskursifnya, dan terhubung dengan isu dan kondisi yang lebih luas, menandakan universalitas, yang mendorong orang untuk mempertanyakan kondisi sosial eksisting dan kerangka politik-ideologis yang melegitimasinya. Beberapa pemikir menggunakan kerangka pemikiran yang sama. Alain Badiou mempercayai bahwa Revolusi Prancis, meskipun akhirnya dikonkritkan menjadi orde Republik, memiliki potensi emansipatif, yang disebutnya ke-tidak-terhinggaan berlipat (infinite multiplicity) dengan tuntutan demokrasi egalitarian universal, yang saat ini dorman, tapi dapat diaktifkan kembali. Peristiwa seperti itu menciptakan ruang pembayangan politik yang baru. Jacques Rancière berbicara tentang bagaimana tuntutan yang tidak dapat dapat direpresi dari mereka yang tertindas dan tersisihkan—mereka yang tidak mempunyai ruang dalam sistem—untuk pengakuan dan penyertaan politis, berpotensi untuk mengancam stabilitas sistem. Rancière berpendapat bahwa proses yang terjadi—pemisahan individu dari massa dan penunjukkan tempatnya dalam orde dominan—mendepolitisasi massa dan mereduksi ruang politik melalui proses individualisasi. Kapitalisme global saat ini ‘menyediakan’ tempat-tempat yang dapat mengakomodir identitas kultural yang berbeda, dan mendepolitisasi mereka. Pada kasus di atas, ancaman pada sistem adalah posisinya yang diabaikan, yang pada saat yang sama, memunculkan posisi universal. Bagi Rancière dan Badiou, tuntutan-tuntutan yang tidak dapat diakomodir dalam sistem, membuka universalitas. Di sini universalitas muncul dari partikularitas yang tidak terakomodir.

Bagi post-strukturalis, yang universal dan partikular terhubung dalam relasi yang mengkontaminasi, yang mana relasi oposisional di antara keduanya adalah jebakan esensialisme. Suatu identitas bergantung pada yang lainnya, maka mengkontaminasi keduanya. Laclau mempunyai pandangan skeptis terkait ‘politik perbedaan’, menunjukkan bahwa identitas politik tidak dapat eksis tanpa dimensi universal yang mengkontaminasinya. Tuntutan dan perjuangan partikular jika ingin mempunyai pengaruh politik yang riil, harus diartikulasikan dalam suatu relasi dengan pijakan umum atau wawasan universal. Misalnya, tuntutan untuk otonomi kultural selalu mempunyai rujukan pada dimensi universal. Hal ini berarti bahwa identitas perbedaan tersebut terbelah diantara partikular dan universal. Tuntutan etnis minoritas selalu merujuk pada dimensi universal, misal, hak yang sama dengan kelompok lain. Maka partikularitas selalu terkontaminasi dengan dimensi universal yang ditentangnya. Universalitas kemudian menjadi kondisi politik positif.

Pendekatan post-strukturalis menyanggah kealamiahan identias, diskursus dan praktek politik. Hal-hal tersebut tidak ‘tertulis pada batu’, dan sebaliknya, merupakan bentukkan sejarah dengan makna yang dapat ditantang, dan bentuk-bentuk yang dapat ditransformasi. Telaah post-strukturalis pada politik selalu mengarah pada kekosongan tertentu yang membuat identias sosial dan politis tidak dapat ditentukan: ledakan genealogis dan antagonism bagi Foucault; kekosongan kreatif bagi Stirner; trauma yang riil (trauma of the real) bagi Lacan; différance bagi Derrida, dlsb.

Kekosongan tersebut adalah dimensi politis. Dalam analisis post-strukturalis praktek politik tidak bersandar pada latar rasionalitas universal atau moralitas absolut ide esensialis humanisme—yang stabil—tapi pada kekosongan yang membuatnya tidak stabil. Hal ini bukan berarti proyek-proyek demokratis dan emansipatif harus ditinggalkan. Maksud dari pernyataan tersebut adalah, praktek politik saat ini tidak akan memberikan jaminan akhir, dan juga tidak adanya panduan dengan tujuan akhir (telos).
Berdasarkan dimensi kekosongan Newman menggagas, titik tolak resistensi, konsep (ekstra)-ideologi, etika, subyek, resistensi kolektif, dan dimensi universal—dalam politik radikal.
Konsep rill Lacan—yang merupakan batas internal identitas simbolik—memberikan titik tolak pengguncangan struktur kekuasaan, yang dengannya resistensi dapat muncul.

Newman mengusulkan untuk mempertahankan konsep ekstra-ideologi yang berperan sebagai titik berangkat politik. ‘Sisa’ dari dialektika humanisme Pencerahan—rill dalam terminologi Lacanian dan un-man dalam terminologi Stirner—yang luput dari simbolisme—diusulkan sebagai titik berangkat politik. Dimensi tersebut dapat memberikan titik berangkat non-esensialis dan ekstra-ideologis.

Newman mencoba untuk mendefinisikan subyek (aktor politik) yang tidak berbasis model perilaku rasional yang banyak digunakan pada teori politik lain. Identifikasi politis yang dinamis dapat mengadopsi dimensi bawah sadar sebagai tempat bernaungnya ‘keterikatan bergairah’ dan yang-misterius.
Telaah-telaah yang dilakukan Newman pada konsep-konsep Lacan, Stirner, dan Derrida memunculkan subyek dan etika yang berada di luar struktur bahasa, diskursus, dan kekuasaan. Konsep rill Lacan menunjukan batas orde simbolik; un-man Stirner sebagai ‘sisa’ manusia yang didefinisikan humanisme, dan aporia Derrida yang memunculkan etika dari batas-batas dan kontradiksi internal filsafat. Filsafat Pencerahan menjadi titik berangkat konstruksi etika politik emansipasi, dengan pembaharuan terus-menerus dengan telaah pada batas-batas diskursifnya.

Proyek resistensi politik kolektif yang didiskusikan pada buku ini menggagas ide komunitas dengan wawasan universal kesetaraan dan kebebasan sebagai ‘perintah’ suara-suara sejarah yang diredam—yang harus muncul dari khayalan politik kita sebagai tuntutan yang tidak mungkin. Bentuk-bentuk komunitas akan mengalami perubahan terus-menerus seiring kemunculan tantangan-tantangan pada batas-batas diskursif bentuk komunitas.

Dimensi universal politik radikal seperti yang didiskusikan dalam buku ini muncul melalui tarik-menarik dan kontaminasi diantara orde partikular dan universal. Politik radikal memerlukan dimensi universal tersebut untuk melampaui kebuntuan politik identitas.

Catatan akhir:

[1] Perjuangan berbasis politik identitas, misalnya gay, etnis minoritas, dan perempuan.

[2] Perbedaan yang ditekan, disembunyikan dan heterogenitas, antagonisme dan perpecahan (disunitas) yang digumamkan dan setengah-ditahan—tapi yang tidak esensial/absolut.

[3] Kontradiksi internal (misal, pada sebuah konsep) yang tidak terselesaikan.