Title: Siapa Suka Sukhoi?
Subtitle: Pernyataan editorial dari Tim Kontinum
Author: Kontinum
Language: Bahasa Indonesia
Publication: Kontinum
Date: 19 September 2010
Source: https://kontinum.wordpress.com/2010/09/19/siapa-suka-sukhoi/

Berita tentang tewasnya tiga teknisi Sukhoi di Makassar baru-baru ini seharusnya direspon berbeda dari cara media borjuis memberitakan peristiwa tersebut. Ada banyak spekulasi dan opini menyangkut kematian tiga perakit pesawat perang yang diimpor dari Rusia itu. Dari yang berbau konspirasi, bahwa ada hubungannya dengan memanasnya hubungan Indonesia – Malaysia, hingga kesimpulan sementara kepolisian bahwa ini adalah keracunan methanol biasa akibat minuman keras campuran.

Tapi dari semua berita informasi yang mengemuka, kecenderungannya selalu melihat bahwa kasus kematian tersebut seolah-olah hanya memiliki aspek diplomatik dan atau kriminal seperti biasa.

Kasus kematian teknisi Sukhoi –terlepas dari apa motif dan penyebabnya, seharusnya menggiring kita pada ingatan kita tentang ketimpangan dan penindasan yang kita alami sehari-hari. Jika para juru bicara negara dan pemilik modal terus menerus membuat sensasi berita, lantas mengapa kita tidak mempertanyakan hal yang lebih esensial?

Apakah kita butuh Sukhoi dan peralatan perang? Siapa sebenarnya yang butuh dan untuk apa? Apakah ada kaitannya dengan kepentingan kita sebagai masyarakat biasa yang tidak ada kaitannya dengan hiruk pikuk politik elit?

Agar pikiran kita tidak terus menerus ditelikung dengan logika sesat, marilah kita memikirkan hal-hal esensial terkait dengan kepentingan kita sebagai masyarakat umum.

Dalam hal anggaran publik, harga pesawat perang Sukhoi sangatlah mahal mencapai US $ 35 juta atau Rp 315 milyar per unit. Untuk memenuhi ambisa negara memiliki 10 unit Sukhoi berarti harus mengeluarkan setidaknya 3,5 trilyun rupiah. Uang sebanyak ini dapat membangun pusat-pusat kesehatan komunitas, perpustakaan publik, atau rehabilitasi lahan pangan. Belum lagi, peralatan-peralatan perang lainnya seperti helikopter, pesawat tempur jenis lain, tank, senjata tangan, kapal perang, dan sebagainya. Tentu saja akan diikuti dengan pembiayaan yang menempel di belakang pengadaan alat perang tersebut yang mensyaratkan dukungan dana dengan operasional yang tidak sedikit, yang meliputi perawatan dan aspek teknisnya.

Apabila ingatan kita geser ke belakang, kita pasti akan tercengang bahwa anggaran keseluruhan anggaran pertanahan negara dalam APBN 2010 ini naik menjadi 7,6 trilyun rupiah. Jangan lupa, anggaran pertahanan menempati urutan kedua porsi terbanyak dalam APBN 2010. Dan bersamaan dengan kenaikan anggaran pertahanan tersebut, kita juga merasakan bagaimana anggaran publik dipangkas untuk memenuhi kaidah-kaidah dalam Konsensus Washington.

Ini menunjukkan kontradiksi yang tajam antara pemegang kekuasaan negara yang merepresentasikan kepentingan kapital dan kontrol, dengan mayoritas masyarakat yang berada dalam dominasi, eksploitasi dan kontrol.

Tetapi, persoalannya bukanlah semata dan melulu soal anggaran. Intinya justru keseluruhan hal ini membangun pemahaman dan logika sesat bahwa kita membutuhkan persenjataan dan alat perang yang kuat untuk menghadapi musuh; persenjataan yang kuat adalah kepentingan keamanan rakyat; militer ada untuk melindungi rakyat. Jelas alur berfikir seperti ini adalah tipe pemikiran dan moralitas borjuasi yang dimanifestasikan dalam kekuasaan negara.

Ini juga menunjukkan rapuhnya ide-ide tentang masyarakat modern hari ini. Bagaimana demokrasi perwakilan telah melegitimasi perang yang terlegitimasi, bagaimana perang antar negara-bangsa seperti tak terhindarkan dan diperlukan, atau bagaimana tercekokinya kita atas eksistensi negara dan masyarakat terkontrol.

Bagi mayoritas orang, sikap kita untuk menolak militerisasi dalam seluruh aspek kehidupan, selalu dinilai naif dan tidak rasional. Tentu saja ini selalu muncul dari ‘pikiran-pikiran yang berada di dalam kotak’. Karena gagasan yang naif justru sesungguhnya adalah bahwa kehidupan yang lebih baik dapat tumbuh bersamaan dengan eksisnya otoritas eksternal, yang dipercaya dapat mengatur dan mengelola masyarakat.

Bagaimana pun, negara adalah kolektif kapitalis. Alat bagi kaum majikan untuk menindas dan mengeksploitasi kita. Tetapi pemahaman kita tidak bisa berhenti menganalisa sifat dan karakter sebuah alat dan organisasi kontrol seperti negara mengikut gagasan-gagasan naif lain yang mengikuti kemunculan kenaifan sebelumnya: bahwa negara bisa dikendalikan, tergantung siapa yang berkuasa.

Kenaifan tersebut justru menyingkap borok struktur gagasan otoritarian, bahwa sebuah tatanan sosial dapat diorganisir dengan baik oleh kekuasaan tersentral. Adanya kelas sosial meniscayakan kekuasaan tersentral (negara, partai), alat kontrol (seperti penjara, hukum dan militer dengan pesawat Sukhoi dan tank supernya), penghisapan dan penindasan.

Meskipun mengatasnamakan perjuangan, kita tidak bisa melawan kenaifan dengan memperjuangkan sesuatu yang lain yang sama naifnya.

Oleh karenanya kita mesti mengambil alih kehidupan kita sendiri, komunitas kita, tanah kita, air, sungai dan sawah kita, dan menolak memberikan kontrol kepada pihak lain sekaligus tidak menjadi kekuasaan tersentral itu sendiri pada akhirnya.

Bekerja bersama berbasis mutual aid antar dan sesama masyarakat adalah bentuk nyata dalam melawan kekuasaan otoritarian, seperti negara dan bentuk-bentuk pemerintahan revolusioner yang birokratis dan sentralistik lainnya. Termasuk membangun pertahanan sendiri bila kita perlukan.

Rujukan:

Polisi Duga Teknisi Sukhoi Tewas Karena Miras Oplosan, Majalah Tempo (2010) https://nasional.tempo.co/amp/278326/polisi-duga-teknisi-sukhoi-tewas-karena-miras-oplosan