Title: Komune Sebagai Budaya-Tanding: Memungkinkan Ketidakmungkinan
Subtitle: 'Secara historis, komune adalah bentuk konkret keberhasilan manusia merebut kembali kemanusiaannya. Jadi, sebagai tantangan perjuangan kelas yang konkret, komune adalah jawaban'
Language: Bahasa Indonesia
Publication: Kolektif Anarkis.org
Date: 03/05/2017

La comuna o nada

(the commune or nothing)
–Hugo Chavez


APAKAH melawan sesuatu yang besar dan telah meresap ke lubuk hati yang paling dalam, seperti kapitalisme, itu mungkin? Apa bisa sistem sebesar kapitalisme dilawan dengan tindakan-tindakan kecil? Bukankah sebuah totalitas sistem harus dilawan dengan totalitas juga? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini barangkali kita perlu masuk ke waktu jeda. Waktu di mana refleksi menemukan ruang. Pada momen refleksi itu, jika saja kita berhenti sejenak untuk melihat kapital sebagai sebuah ‘isme’, sebuah totalitas sistem, dan menempatkannya sebagai “kapital”, maka momen jenak itu akan menghadirkan kemungkinan dari ketidakmungkinan. Ketidakmungkinan melawan kapitalisme pun menjadi mungkin karena kita sendirilah yang membuat kapital menjadi ‘isme’. Maka dari itu, kita jugalah yang bisa melucuti ‘isme’ dari kapital, bahkan melucuti kapital sebagai kekuatan yang dibangun oleh kita sendiri.

Seperti dikatakan oleh Marx, kapital bukan benda, tapi ia adalah relasi sosial. Bentuk relasi yang dibangun oleh manusia terhadap manusia lain dan terhadap alam, dengan satu tujuan, yaitu: akumulasi melalui produksi komoditi. Maka jika kapital adalah relasi sosial, kekuatannya adalah kekuatan sosial (de Angelis, 2007). Kekuatan sosial tidak semata-mata dibangun dengan pengorganisasian, tetapi lebih dari itu, dibangun oleh aspirasi (kognisi dan afeksi), keyakinan, nilai-nilai, tradisi, ritual, serta hasrat. Aspek terakhir ini menjadi arena perjuangan yang paling berat melawan kapital. Selain mengubah pengorganisasian sosial secara mendasar, medan perjuangan yang harus dihadapi adalah meruntuhkan dogma, keyakinan dan tradisi yang dibentuk oleh hukum besi etika kapital: individualisme, kompetisi, dan akumulasi. Kedua medan perjuangan ini, relasi sosial dan nilai-nilai, bukan pilihan berdasarkan peringkat prioritas, melainkan perjuangan yang hanya bisa dijalani secara bersama dan bersamaan. Dijalani bersama karena bersendiri kita lemah, dan dijalani bersamaan karena relasi sosial dibentuk oleh nilai dan nilai-nilai dibentuk oleh relasi sosial.

Sejarah memperlihatkan bahwa kebersamaan dalam mempraktikkan nilai-nilai (budaya) baru yang menandingi etika kapital telah dimungkinkan dalam wajah komune (commune), jauh sebelum peristiwa Paris Commune pada tanggal 18 Maret 1871 yang perjuangannya terus menghidupi pemikiran dan perlawanan terhadap kapitalisme sampai dengan hari ini.

Simon Rodriguez telah menginspirasi proses transformasi sosial di Amerika Latin melalui sebuah bentuk yang ia sebut sebagai ‘toparchy’ (Ciccarielo-Maher 2016). Ide Rodriguez—yang di kala itu disebut utopia—mengimajinasikan Venezuela tanpa kungkungan kuasa militer, diatur oleh unit-unit kecil di tingkat lokal yang mampu mengelola diri (self-governing unit) dan bersatu melalui federasi. Alih-alih utopis, satu setengah abad kemudian Hugo Chavez mempraktikkan konsep toparchy dengan mengubah konstitusi Venezuela dan membentuk undang-undang komune demi mewujudkan apa yang ia bayangkan sebagai ‘communal state. Berkomunal merupakan satu-satunya pilihan untuk menciptakan dunia yang berbeda, demikian menurut Chavez dalam pidato terakhirnya sebelum wafat: “Golpe de Timón” atau “Perubahan Arah”.

Sebagai sebuah ruang sosial, komune menyediakan kerangka dan perangkat untuk mewujudkan relasi sosial di mana produsen mengatur dirinya sendiri (self-governing producers) dalam tatanan demokrasi radikal dan egaliter. Di Venezuela, para petani membentuk komune produksi, membangun jejaring dan merajut sumbu-sumbu produksi berbasis teritori. Warga kota membentuk komune sesuai dengan sumberdaya dan keterampilan mereka. Komune perkotaan bisa membentuk penyedia jasa transportasi dan pengangkutan hasil produksi pedesaan atau membentuk bengkel-bengkel kerja dan kelompok artisan. Meskipun tetap mengalami berbagai kendala dan tantangan karena negara Venezuela yang kapitalistik enggan mati, bagi warga Venezuela, komune selalu menjadi masa lalu yang aktual. Ia tidak berhenti sebagai fakta historis untuk dipelajari, tetapi terus hidup, menghidupi, dan dihidupi sampai dengan saat ini.

Pertanyaannya kemudian, mengapa komune sebagai fakta sejarah ternyata masih terus hidup atau (minimal) menghidupi semangat perlawanan terhadap kapitalisme sampai hari ini? Bagaimana komune terbentuk dan apa saja kondisi-kondisi yang hadir menciptanya?

Sejarah Gagasan dan Praktik Komune

Menelusuri historiografi penggunaan kata komune dalam konteks perlawanan kapitalisme hari ini agaknya cukup sulit untuk menghindar dari konteks sejarah Barat. Komune sebagai model masyarakat sosialis di era modern tidak melandaskan diri pada primordialisme ala Geertz. Namun, diilhami oleh hidup harmoni yang dibentuk oleh relasi produksi yang membebaskan, egaliter, dan berbasis solidaritas tanpa mengindahkan ada/tidaknya ikatan darah, perbedaan ras, gender, bahkan orientasi seksual. Komune perkotaan di Rusia paska Revolusi Oktober 1917 atau Komune Paris 1871, misalnya, dilandaskan pada imajinasi dan praktik nilai komunal atas dasar relasi sosial produksi yang setara (Willimott, 2017). Meskipun di sisi lain, primordialisme—dalam bentuk gerakan masyarakat adat—juga terbukti mampu membawa gerakan Zapatista di Chiapas, Meksiko, membentuk komune yang otonom (Subcomandante Marcos, 2005). Oleh sebab itu, para pemikir gerakan anti-kapitalisme, termasuk Marx, selalu memandang pembentukan komune sebagai proses historis yang sangat partikular, tergantung dari kondisi-kondisi yang memungkinkannya lahir.

Dalam Perang Franco-Prusia 1870, ketika Bismarck mengalahkan Louis Bonaparte, sebagian wilayah kota Paris—yang belum terokupasi oleh tentara Jerman—pada 18 Maret 1871 menolak menyerah, meskipun pemerintahan boneka yang dipimpin oleh Thiers mengerahkan tentara untuk menyerang warga yang menolak. Untuk mempertahankan Paris, warga pekerja membentuk Komune Paris. National Guard yang menolak melontarkan meriam kepada warganya sendiri, mendukung warga kelas pekerja Paris membentuk pemerintahan otonom, membangun 43 bengkel kerja dan koperasi, menyelenggarakan sistem pendidikan integral yang menyatukan “tangan dan kepala” (kerja intelektual dan manual) dan memerdekakan pekerja untuk berkarya dengan bebas. Cerita kemenangan kelas pekerja ini pupus di hari ke-72, ketika penyerangan tentara Perancis yang didukung Jerman mengakibatkan kematian 30.000 communards dan menghentikan Komune Paris sebelum berkembang menjadi model federasi komune.

Walaupun hanya bertahan 72 hari, peristiwa pembentukan Komune Paris menjadi momentum sejarah penting yang membuktikan eksistensi pembangkangan kelas pekerja terhadap negara dan pembentukan negara kelas pekerja. Vaillant (2010) menuliskan pernyataan penyintas yang menegaskan bahwa Komune bukan sekadar bentuk perlawanan terhadap Jerman (sebagai negara musuh), tetapi rezim negara kapitalis:

“If socialism wasn’t born of the commune, it is from the commune that dates that portion of international revolution that no longer wants to give battle in a city in order to be surrounded and crushed, but which instead wants, at the head of the proletarians of each and every country, to attack national and international reaction and put an end to the capitalist regime.”

Para anarkis berdiri di belakang terbentuknya Komune Paris. Pengaruh anarkisme terutama terlihat dari pembentukan koperasi dan ide federasi yang merupakan wujud dari gagasan Pierre-Joseph Proudhon yang menulis tentang What is Property? dan Mikhail Bakunin, seorang revolusioner Rusia yang membentuk gerakan anarkis-kolektivis.

Peristiwa-peristiwa revolusi yang terjadi di puluhan negara Eropa sejak 1848 memang membidani lahirnya beragam kelompok gerakan revolusioner di Eropa. Gerakan-gerakan ini terpecah menjadi nasionalis, sosialis, anarkis, dan liberal.

Pada mulanya, melalui sebuah organisasi pekerja yang berhasil menyatukan kelas pekerja di Eropa (International Workingmen Association atau First International) yang berdiri pada 1864, kelompok-kelompok revolusioner sosialis ini berhasil disatukan. Marx menjadi salah satu tokoh di General Council Internationale dan bekerja sama dengan Bakunin serta kelompok anarkis-kolektivisnya untuk mendorong First International ke arah sosialisme yang lebih revolusioner. Namun, Bakunin dan Proudhon memandang ide Marx tentang negara sosialis sekadar akan menghadirkan kekuasaan baru dari kelas pekerja, bukan membebaskan kelas pekerja dari negara. Ide anarkis-kolektivis yang ingin meniadakan negara dan mewujudkan properti kolektif ini berseberangan dengan sosialisme–negara ala Marxis. Perpecahan gagasan ini pun menyebabkan keluarnya kelompok anarkis dari First International.

Meskipun di level politik kelompok Marxis dan anarkis berdiri berseberangan, di tataran gagasan, peristiwa Komune Paris melahirkan tonggak pemikiran penting bagi teorisasi transformasi sosial. Bagi Marx, Komune Paris menjadi momen sejarah penting. Bukan karena persoalan kemenangan atau kekalahan atau bahkan dilahirkannya komune dari gagasan anarkis atau bukan, tetapi karena peristiwa itu telah menjadi titik balik dari perjalanan teorisasinya (Shanin, 1983; Ross, 2015). Di naskah On Paris Commune, Karl Marx bertemu dengan materialitas dari perjuangan kelas: “The greatest social measure of the Commune was its own working existence. Its special measures could but betoken the tendency of a government of the people by the people” (Marx and Engels, 1971).

Komune Paris menjadi bukti konkret bahwa pemerintahan kelas pekerja itu mungkin, bahwa fetisisme komoditi bisa digantikan oleh relasi sosial antar-pekerja yang membebaskan daya kreatif, dan bahwa komune bukan bentuk arkaik, melainkan bentuk masa depan masyarakat sosialis. Pada awalnya, Marx dalam debat teori terhadap Ricardo dan Smith mendudukkan proses transformasi sosial secara linier dan bertahap: masyarakat sosialis tercapai setelah melalui tahap kapitalisme dan penghancurannya melalui revolusi. Namun, setelah peristiwa Komune Paris dan beberapa perjumpaan tekstualnya dengan komunalisme petani di Rusia, Marx menggeser metode berteorinya, dari sejarah teori ke sejarah perjuangan kelas. Hal ini sangat terlihat pada teks Communist Manifesto yang memasukkan kalimat bahwa “kelas pekerja tidak bisa serta-merta mengandalkan negara dan mengubahnya sesuai dengan kepentingan kelas”. Ini adalah ide yang jauh berbeda dari ide Marx sebelumnya tentang pembentukan negara sosialis oleh kelas pekerja. Pengaruh berikutnya juga terlihat pada Das Kapital jilid 1 versi bahasa Perancis yang dikawal sendiri oleh Marx penerjemahannya. Di edisi bahasa Perancis ini pada bagian penjelasan tentang waktu kerja, terinspirasi oleh Komune Paris, Marx memberi sebutan pada perjuangan pemotongan jam kerja sebagai “Civil War”.

Pergeseran teorisasi Marx yang mendudukan komune sebagai materialitas dari perjuangan kelas dan bentuk masa depan masyarakat sosialis tidak terlepas dari jasa Elisabeth Dmietriff. Ia seorang revolusioner sosialis Rusia yang pada 1872 bertemu Marx di London dan dikirim oleh Marx untuk berjuang bersama communard di Komune Paris. Selain melaporkan aktivitas di Komune Paris kepada Marx, Dmitrieff juga membentuk Women’s Union, koperasi dan sekolah di sana. Lewat Dmitrieff lah Komune Paris membawa dunia kognitif baru kepada Marx.

Peran Dmitrieff juga tidak dapat diabaikan ketika ia membawakan buku Nikolai Chernyshevsky berjudul What is to be Done dan beberapa jurnal tentang komune petani Rusia di masa Tsar untuk Marx. Chernyshevsky memberikan gambar ideal tentang masyarakat sosialis. Pada perjalanannya, novel ini sangat berpengaruh pada ideologisasi sosialisme orang muda Rusia. Pada masa Revolusi Oktober 1917, bahkan disebut-sebut sebagai “buku panduan radikalisme”.

Tulisan Chernyshevsky dan beberapa surat-menyurat Marx dengan Vera Zasulich, teman Kropotkin (salah satu pemikir anarkis berpengaruh), memunculkan ide bahwa transformasi sosial di Rusia tidak harus sama dengan bagian Eropa lainnya. Masyarakat sosialis di Rusia bisa berkembang tanpa harus melalui tahap kapitalisme. Itu dimungkinkan oleh adanya benih-benih komunalisme petani Rusia yang bagi Marx dasarnya bukan kekerabatan, tetapi lokalitas. Pada momen teoretik ini Marx melihat bahwa trajektori perkembangan masyarakat menuju sosialisme bisa sangat partikular. Komune Paris dan komune petani Rusia (obshina, mir) adalah elemen partikular yang belum tentu bisa hadir dalam kondisi historis yang berbeda di tempat lain.

Komune sebagai jalan pembentukan masyarakat sosialis dibayangkan oleh para pemikir anti-kapitalisme sebagai bentuk pengorganisasian produksi secara kolektif. Hubungan antarprodusen merupakan hubungan egaliter. Pemerintahan dilakukan bukan melalui representasi, tetapi kesepakatan bersama dan semua komune bergabung dalam bentuk federasi. Pemikiran anarkis ini banyak dianggap sebagai utopia. Namun, pemikir seperti Kropotkin (2014) meyakini bahwa manusia bisa menjalani kehidupan bukan karena saling mengalahkan, tetapi justru karena saling bantu, sehingga saling bantu adalah kebutuhan. Oleh sebab itu, bagi Kropotkin, saling bantu–atau disebut reclus–sebagai solidaritas, bukan sekadar tuntutan moral dan sentimen, tetapi sebuah strategi.

Dari pengalaman Komune Paris dan beragam komune di Venezuela, tugas pertama yang diemban oleh komune adalah membentuk budaya dan spirit komunal melalui pendidikan dan seni. Komune Paris membentuk sistem pendidikan baru yang membongkar nilai-nilai kapitalistik yang terinternalisasi melalui birokrasi negara dan institusi agama. Para communard menyebutnya sebagai pendidikan integral, yaitu pendidikan yang mengandalkan metode “politeknik” agar tidak terjadi pembedaan kerja intelektual dan manual. Penulis esai diajarkan bertanam, disainer tekstil diajarkan berhitung dan memasak. Dengan demikian, spesialisasi dan hirarki tenaga kerja yang dibentuk oleh etika kapital digerus habis. Para edukator communard membayangkan pembentukan tradisi berbagi pengetahuan dan common culture. Bagi mereka, pedagogi adalah kerja politik dengan tujuan emansipasi, yaitu emansipasi manusia dari kungkungan spesialisasi dan hirarki kerja.

Strategi Komune Paris membentuk pendidikan dan koperasi sebagai jalan pertama adalah upaya politik untuk menghapuskan pemisahan manusia dengan manusia lainnya, juga mendekatkan manusia dengan alam. Dua jalan politik yang ditempuh adalah membentuk kepemilikan tanah secara kolektif dan ekspropriasi industri yang dilakukan secara simultan, serta kemandirian regional melalui pembentukan unit-unit produksi bersama. Kehidupan communards yang membangun Komune Paris selama 72 hari sampai dengan hari ini masih ditulis, dipelajari, dan dirayakan.

Kristin Ross (2015) mengumpulkan cerita-cerita tercecer dari para communards penyintas tentang pengalaman berkomunal. Ross menyebut pengalaman mereka sebagai Communal Luxury, sebagaimana mereka juga menyebutnya demikian. Untuk bisa menciptakan kehidupan komunal di tengah tekanan negara pada hari itu sesungguhnya bagi mereka adalah sebuah kemewahan, sebagaimana kita juga memandang mewahnya berkomunal pada hari ini ketika himpitan kapitalisme semakin subtil.

Menciptakan kemewahan memang tidak mudah. Buktinya, komune-komune di Venezuela sampai dengan hari ini masih terus mengalami jatuh bangun. Meskipun didukung oleh negara untuk menciptakan federasi komune, Rosa Capote, seorang organisator komune, mengakui bahwa elemen negara kapitalis seperti para gubernur dan walikota, masih merupakan halangan berarti (Ciccarelo-Maher, 2016). Sebagai contoh, program Land Reform yang seharusnya memecah kepemilikan skala luas, malah menendang campesinos dari tanahnya dan mendistribusi sebagian besar tanah subur bagi pengusaha yang setia pada partai. Meskipun kondisi ini berubah pada 2001 ketika undang-undang komune diberlakukan dan Land Reform dijalankan sebenar-benarnya oleh Chavez, perjuangan para organisator komune untuk menghalangi masuknya sektor swasta ke usaha produksi komune tidak pernah henti. Keberhasilan perjuangan komune ternyata banyak didukung oleh penguasaan komune atas media komunikasi, yaitu radio dan TV komunal. Media komunikasi inilah yang berperan penting membentuk sumbu-sumbu komunal dan koridor-koridor politik-teritorial. Hasilnya adalah pembentukan teritori wilayah dari bawah sebagai embrio dari negara komunal yang dibayangkan oleh Chavez.

Komune, bagi para organisator komune di Venezuela, bukan saja kerja memproduksi, tetapi komune juga diproduksi. Komune diproduksi sejalan dengan produksi keseharian, yaitu pengalaman dan pemahaman hidup bersama, membuat keputusan bersama dan berproduksi bersama. Inilah tugas permanen komune. Chavez dalam pidato terakhirnya dengan tegas mengatakan bahwa, “Saat ini yang lebih penting adalah spirit dari komune daripada komune itu sendiri, yaitu: budaya komunal” (Ciccarielo-Maher, 2016).

Membangun budaya komunal menjadi tantangan sendiri di perkotaan Venezuela, seperti Caracas, karena basis produksi kolektif yang lebih terbatas dibanding wilayah pedesaan dan orang muda kota yang tinggal di kantong-kantong kemiskinan kerap harus berhadapan dengan kejahatan geng. Strategi yang dibangun dalam kondisi ini adalah meletakkan fondasi politik yang kuat sehingga mobilisasi politik berhasil memaksa negara untuk memindahkan kontrol produksi pabrik ke tangan komune. Budaya komunal dibangun pertama-tama melalui tradisi politik, baru ke produksi ekonomi.

Dua bentuk praksis komune ini tidak menawarkan kepada kita gagasan preskriptif tentang bagaimana membentuk komune. Para penulis yang menarasikan pengalaman komune dengan jujur menunjukkan bahwa berkomune selalu penuh tantangan dan kondisi kelahirannya seringkali sangat partikular. Oleh sebab itu, praktik berkomune tidak pernah sejak awal ditujukan untuk menciptakan model, melainkan sebuah upaya rendah hati untuk mengenali dan menjalani bentuk dan arena perjuangan sosial.

Mengapa Komune?

Sudah diingatkan oleh Kropotkin (2014) bahwa membayangkan eksperimentasi komune sebagai kelompok kecil terisolasi yang mencoba hidup beda sendiri adalah awal kegagalan. Sebagai seorang pemikir anarkis-komunis, Kropotkin meyakini bahwa skala komune harus setidaknya melingkup satu kota. Namun, bagi John Holloway, penulis buku Changing the World Without Taking Power dan Crack Capitalism, sebuah langkah perlawanan lahir dari negasi atas dunia hari ini dan bertindak untuk membuat bentuk dunia yang berbeda, berapa pun skalanya. Bahkan, yang paling penting adalah dimulai dari teriakan penolakan diri sendiri terhadap cara hidup hari ini (Holloway, 2002–2010). Ada jalan lain, yaitu menolak dan berkreasi (negate-create).

Holloway berkata bahwa ia sering ditanya orang apakah ia anarkis atau komunis. Kedua bukunya sulit digunakan untuk memetakan sekte ideologi mana yang ia anut. Holloway dengan rendah hati mengatakan bahwa ia adalah semua itu: sosialis, komunis, anarkis. Dengan kata lain, pemikiran dan praktik untuk menciptakan dunia yang berbeda, tidak pernah berhenti dan tidak boleh sektarian. Justru karena kapitalisme terbukti jahat, selalu menciptakan kemiskinan, kekerasan dan penderitaan, maka gerakan perlawanan pun tidak pernah mati. Apapun dasar ideologinya, anarkisme, komunisme, atau sosialisme, totalitas kapitalisme akan selalu menghadapi tantangan. Tantangan itu, gerak tanding dan melawan itu, juga akan selalu berusaha membentuk totalitas.

Apakah totalitas perlawanan akan pernah tercapai? Hanya sejarah yang bisa menjawabnya. Tugas permanen kita adalah terus-menerus menemukan bentuk dan isi dari gerak-tanding itu. Secara historis, komune adalah bentuk konkret keberhasilan manusia merebut kembali kemanusiaannya. Jadi, sebagai tantangan perjuangan kelas yang konkret, komune adalah jawaban.

Membentuk komune sekaligus merupakan upaya menorehkan sejarah partikular, yaitu proses mencari dan membentuk working existence dari komune itu sendiri di ruang-waktu kita berada. Komune bukan ruang klangenan atau arus hipster kekinian, tetapi tubuh solidaritas, unit ekonomi politik, dan sosial ekologis. Komune baru bisa bermakna sebagai penanding ketika mampu membangun relasi sosial egaliter yang membebaskan. Menautkan jejaring kerja produksi desa dan kota secara kolektif. Membentuk tata produksi dan konsumsi selaras alam. Serta membangun nilai-nilai komunal sebagai laku-tanding terhadap kejahatan kapitalisme.

Komune mati jika menjadi kata benda. Ia adalah kata kerja berkomunal, maka kehidupannya dibentuk oleh keseharian. Ia adalah jalan hidup itu sendiri.[]

Daftar Pustaka

  • De Angelis, Massimo. 2007. The Beginning of History: Value Struggles and Global Capital, Pluto Press: London

  • Ciccariello-Maher, George. 2016. Building a Commune Radical Democracy in Venezuela, Verso Press: London

  • Holloway, John. 2002, Changing the World Without Taking Power, Pluto Press: London

  • Holloway, John. 2010, Crack Capitalism, Verso: London

  • Kropotkin, Peter. 2014. Kropotkin on Communes and Wages (edition V 1.0). Bastards Press

  • Marx, Karl and F. Engels. 1971. On the Paris Commune. Progress Publisher: Moscow

  • Ross, Kristin. 2015. Communal Luxury, The Political Imaginary of the Paris Commune. Verso: London

  • Shanin, Teodor. 1983. Late Marx and the Russian Road. Monthly Review Press: New York.

  • Subcomandante Marcos. 2005. Atas dan Bawah: Topeng Keheningan, Komunike-komunike Zapatista Melawan Neoliberalisme. Resist Book: Yogyakarta.

  • Vaillant, A.E. 2010. Communards, The Story of Paris Commune as told by Those who Fought for It. Marxist Internet Archive Publisher

  • Willimott, Andy.2017. Living the Revolution, Urban Communes & Soviet Socialism, 1917–1932. Oxford University Press: Oxford.