#title Setiap Juru Masak dapat Melenyapkan Pemerintahan #author Lena Kafka #date 2018 #source [[https://fillerpgh.wordpress.com/2016/10/25/every-cook-can-abolish-governance/]] #lang id #pubdate 2025-07-03T00:00:00 #topics Restaurants, Food, abolition #language Bahasa Indonesia #publication Filler PGH #notes Diterjemahkan oleh Banu Ghifar **** Bagian 1 Kita tidak lagi bekerja: kita menikmati waktu kita. – The Coming Insurrection Mereka telah bersiap untuk meletakkan tangan mereka kepadaku, sesuatu yang aku… alergi padanya. – Freedom: My Dream, the autobiography of Enrico Arrigoni Jam tujuh pagi, hungover lagi, bersiap untuk bekerja. Aku tidak bisa absen lagi, manajer tau aku minum-minum kemarin. Ia mengasumsikan bahwa juru masak yang sedang minum-minum, adalah satu-satunya cara bagi mereka untuk bisa menghadapi kenyataan sebagai juru masak. Aku mulai kerja sekitar pukul delapan dan menemui fakta bahwa teman kerjaku izin absen karena hungover. Siswa SMA tidak terlalu bisa diandalkan. Hanya ada manajer dan aku sampai juru masak yang lain datang pukul sebelas. Aku berfikir tentang hutang dan setengah kotak rokokku, dan mencoba untuk tidak keluar dan bertahan bekerja disini selama mungkin. Manajerku meletakkan tangannya di bahuku dan menunjukkanku prep list yang baru ia print, siap untuk berbincang tentang segunung hal brengsek yang harus kita lalui hari ini. Tiap hari – brengsek – manajer akan ngeprint prep list untuk tiap anggota kru agar diselesaikan sebelum restoran dibuka. Daftar tersebut harus diikuti, meskipun akal sehat (dan pengetahuan dari bekerja dalam posisi yang sama selama enam hari tiap minggu) mengatakan sebaliknya. Aku punya dua pengalaman dapur yang mirip, yang pertama sebuah waralaba burrito yang sangat kultus yang namanya tidak akan saya sebutkan, dan yang lain yaitu sebuah restoran mie yang pura-pura etis. Kedua dapur tersebut dikelola secara sama, memiliki pembagian kerja yang sama, memiliki dinamika kekuasaan yang sama, peralatannya juga sama, layout-nya juga, dan keduanya mematuhi prep list. Prep list adalah sekumpulan perhitungan matematis yang didasarkan pada data penjualan sebelumnya dan faktor-faktor lain. Prep list sebuah dapur kadang sangat akurat, dan memperhitungkan tren mingguan atau bulanan, cuaca, lokal event, dan sebagainya. Prep list lainnya, terasa seperti lelucon memuakkan yang dimainkan oleh pihak manajemen untuk para juru masak. Bagaimanapun, keputusan-keputusan di dapur dibuat berdasarkan perhitungan-perhitungan matematis. Perhitungan-perhitungan matematis ini menentukan apa yang harus dipersiapkan sebelum pembukaan dan pada saat pergantian shift, sebanyak apa ia diproduksi, berapa pendapatan yang diperlukan, berapa banyak dana yang dapat dialokasikan pada upah/tenaga kerja dan lain-lain, dan tiap deviasi ini harus dicatat (sebagai contoh, sisa limbah harus di catat dan dijelaskan pada pihak manajemen off-site). Jumlahnya tidak selalu masuk akal bagi siapa pun yang bekerja penuh waktu, dan selalu akan menghasilkan setidaknya satu kekurangan/kekacauan dalam sehari. Contoh, “hasilkan sejumlah Z atas komoditas X”, Z adalah 5,36. Bangsat macam apa itu 0,36 dari komoditas yang hanya dapat diproduksi dalam bilangan bulat. Jika kamu menghasilkan 5, maka kamu bertanggungjawab atas kekurangan yang akan terjadi. Jika kamu menghasilkan 6, kamu dalam masalah kelebihan produksi (limbah, “pemborosan”). Limbah pemborosan, sisa-sisa, kekurangan, dan apapun yang dapat mereka berikan padamu diatur oleh manajer on-site. Manajer di restoran-restoran ini, sambil memegang wewenang untuk memecat dan memperkerjakan orang (tentunya harus dengan penjelasan kepada atasan), sama sekali tidak mengontrol produksi. Cok, kebanyakan dari mereka bahkan tidak menyentuh alat-alat produksi. Mereka hanya harus memastikan segalanya tetap mengalir secara lembut, seperti polisi di tempat kerja. Sekitar pukul delapan tiga puluh, si manajer memukul pundakku lagi, aku dapat merasakan whiskey teraduk-aduk dalam tubuhku. “Tau gak,” dia berkata padaku dalam keceriaan yang tidak biasa, “Aku tau hari ini bakalan menjadi sangat taik sebelum aku datang, tapi aku bahagia kita melalui ini bersama.” Apa yang ia maksud adalah, aku akan melakukan tiga pekerjaan dengan bayaran satu pekerjaan, lagi. Dia memegang kedua pundakku untuk memaksakan kontak mata; aku ingin mengeluarkan setiap cairan dalam diriku, mengarahkan ke sepatunya. “Ke-hungoveranmu itu lebih produktif daripada dua pekerja lain yang sober.” Fuck, man! Fuck! Aku muntah lagi. Hampir pukul Sembilan, aku tidak bisa muntah lagi, aku tidak bisa memegang papan talenan lagi. Aku tidak bisa menunggu juru masak yang lain datang. Kemudian aku merokok, kemudian lunch rush, lalu pergi ke bar. Saat lunch/dinner rushes, manajer selalu mengambil posisi yang paling gampang dan harus mengawasi setiap produk. Di waralaba burrito yang sangat kultus posisi-posisi ini adalah expo (disamping kasir, mengawasi pesanan) dan linebacker (memindahkan makanan dari dapur ke line). Saat jam-jam produksi sibuk, tiap kualitas produk akan diperiksa dan tiap gerakan salah akan dikoreksi oleh manajer. “Tugas” mereka yang lain, kebanyakan yaitu membaca komentar-komentar dari customer, mengirim email, dan mendelegasikan tugas-tugas prep. “Tugas” (dari lembaran-lembaran prep list) ini tidaklah menciptakan nilai (value), kru yang menciptakan nilai. Mereka tidak mengkontrol produksi, prep list yang mengontrol produksi. Tetapi, jika manajer dapur dan jendral manajer tidak memegang kuasa atas produksi, lantas siapa? Prep list diciptakan oleh teknokrat-teknokrat dan majikan mereka di “perusahaan”. Teknokrat membuat keputusan akhir atas apa yang masuk akal dan tidak, dari permintaan/kebutuhan dalam proses produksi. Kebanyakan dari mereka bahkan tidak pernah menginjakkan kaki di dapur yang mereka buat keputusannya. Pertentangan kelas telah disingkirkan dari tempat kerja kemana pun “di luar dapur”, sehingga manajer dapur dapat mengambil peran sebagai proletariat tukang marah. Teknokrat, A-B-Ceo, dewan direksi, dan segala macam jenis sampah lainnya, memutuskan berapa jumlah yang harus diproduksi. Sementara manajer mengoceh sekitar pukul sepuluh, aku menyelundupkan segelas anggur jelek untuk diriku sendiri dan pergi keluar. Aku nyalakan rokokku dan duduk di trotoar. Di seberang parkiran, seorang polisi sedang duduk di luar toko distributor bir. Mengingat reputasi dapurku, dan catatan kriminal yang aku miliki, aku tidak begitu kaget ketika ia menatapku. Aku berharap aku bisa muntah di sepatunya juga. **** Bagian 2 - Dari Pendudukan ke Perlawanan Opening shift dan hangoverku akhirnya berakhir. Waktunya untuk mendapatkan makan dan merokok sebelum aku kembali untuk tujuh jam berikutnya. Prep list akhirnya selesai dan semuanya sudah pada mise en place, lumch rush sudah berakhir, manajer sudah kembali ke ruangannya dan membutuhkan sejam untuk membalas email, dan ketika aku berjalan ke pintu depan waralaba burrito yang sangat kultus ini, rekan kerjaku tampak bermain suit gunting-batu-kertas untuk menentukan siapa yang akan mengambil bagian cuci piring sampai aku kembali. Setelah bermain kejar-kejaran dan mengcover yang lain sepanjang pagi hari, aku akan mengambil lima belas menit ekstraku. Restoran waralaba seperti ini (restoran cepat saji, fast casual, apa saja) menerapkan logika prep list pada segala aspek dapur. Jam dan upah kerja dibudget dan dipaksakan oleh manajemen; sebagaimana dengan prep list, mereka menghukum untuk tiap “limbah” dan “sisa” untuk tujuan apapun. Apakah kamu memiliki lebih banyak pekerjaan daripada yang tertera di prep list? Apakah lunch/dinner rush-mu lebih ramai dari biasanya? Terlalu banyak orang absen dan tidak ada yang bisa menggantikannya? Terlambat pulang karena bersih-bersih untuk inspeksi besok? Tidak pernah prep list, alogaritma, pihak manajemen, atau apapun yang terkait dengan kekuasan dikritik karena kekurangan atau kesalahan yang mereka miliki. Kru dapur hanya perlu bekerja lebih keras, tiap orang hanya perlu untuk mengcover satu sama lain dan segalanya akan baik-baik saja. Bagaikan sebuah dapur yang normalnya dijalankan oleh lima orang dapat dijalankan oleh dua atau tiga orang dan tidak ada dampak perubahan yang terlalu besar pada arus kerja yang biasanya. Bagaikan tiap dari kita ingin untuk melakukan pekerjaan tiga orang dengan upah satu orang! “Kebutuhan atas komunisme merubah segalanya. Melalui kebutuhan untuk komunisme, kebutuhan atas non-work bergerak dari aspek negatif (oposisi atas kerja) kearah positif: adanya kepenuhan diri individu, kemungkinan untuk mengekspresikan diri mereka sendiri secara bebas absolut, melepaskan diri dari segala bentuk-bentuk model bahkan meskipun itu dianggap mendasar dan sangat diperlukan seperti model produksi.” – Alfredo M. Bonanno, Armed Joy “Cok hati-hati!” teriak seorang pria yang mengenakan setelan yang berharga lebih dari setahun gajiku. Biarkanlah aku menghancurkan botol-botol diparkiran dengan tenang, bangsat. Aku hanya punya lima belas menit lagi sebelum mereka memanggilku masuk dan berhenti marah-marah, biarkan aku menikmati ini. Aku mundur ke tepi jalan dan melakukan apa yang paling bisa dilakukan oleh juru masak yang kesal: duduk. Dua tahun sebelum aku bekerja disini, disuatu tempat yang jauh, aku melakukan pekerjaan brengsek yang sama dengan bayaran yang lebih sedikit. Bekerja dalam sebuah lingkungan yang lebih cepat, dengan manajemen yang lebih kejam, dan tidak ada istirahat merokok di setiap shift (kecuali kamu bagian dari tim manajemen). Suatu hari aku clocked in di mid-shift sekitar jam sepuluh, memulai shift sebagaimana biasanya. Rekan kerjaku, kasir dari shift ini, terlambat sepuluh menit karena bus terlambat dan ia harus menunggu penitipan anaknya buka. Hari itu manajer kawasan (general manajer dari semua jenderal manajer) sedang melakukan inspeksi bulanannya, dimana ia siap menghancurkan semangat kru. Begitu kasir datang, manajer itu teriak kepadanya sampai ia keluar dari toko. Aku dan kru yang lain gelisah sampai pintu terbuka dan kita tidak punya waktu untuk khawatir. Lunch rush sudah mulai, dan aku merasakan sebuah kombinasi indah dari ketakutan dan kemarahan berputar dalam diriku. Manajer itu ngomel selama setengah jam tentang “tanggung jawab pribadi” dan bagaimana “ia harus melalukan hal yang sama” sebagaimana kasir yang ia pecat. Dia membual, kita semua sudah pernah mendengar ceritanya tentang bagaimana ibunya harus membanting tulang membayar rent sambil mengasuhnya saat “waktu-waktu terberat”. Aku tidak bisa menghadapi apa yang aku rasakan dan memutuskan bahwa aku ga bisa hanya tenang-tenang saja. Antrian berbaris melalui pintu sebagaimana biasa jam-jam service sibuk. Aku berjalan menuju lemari pendingin, menyenderkan bahuku, dan duduk dibawah. “Apa maksudnya ini? A fucking strike?” “I guess so!” Lima menit bentakan mondar-mandir dan akhirnya manajer kawasan setuju untuk kembali mempekerjakan si ibu yang dia pecat dua jam yang lalu. Sayangnya, tidak ada satupun rekan kerja yang bergabung bersamaku. Beberapa berpikir aku sedang mempertaruhkan pekerjaanku dengan berbuat seperti itu, beberapa yang lain berterima kasih padaku dan mulai mendiskusikan sesuatu yang lebih besar… Aku berjalan kembali ke dapur, mengucapkan salam kepada kru malam yang baru saja datang, dan lega karena seseorang telah mengcover pekerjaan cuci piringku. Bagaimanapun, tidak mengherankan, tidak ada yang sanggup bekerja di tempat cuci piring setelah dua puluh menit. Aku tidak menyalahkan mereka, kami tidak diizinkan untuk membuka pintu belakang dan kipas murah kecil disana cenderung knock you over daripada menyejukanmu. Pelan-pelan aku mulai mengembalikan memontum lagi dan mulai menyelesaikan semua piring kotor dan mencoba membuat ruangan kembali bersih. Bagaimapun pun, piring akan terus berdatangan sampai restoran benar-benar tutup, berharap benar-benar bersih adalah optimisme naif. Setelah beberapa saat aku harus menerima bahwa semua ini tidak dapat diselesaikan dan berharap jika seseorang atau juru masak membutuhkan sesuatu yang spesifik (penerj, biasanya mereka butuh trays dan pan), mereka bisa mencucinya sendiri. Aku letakkan celemek plastik ini di pengait dan buru-buru pergi membantu cook di bagian grill karena saat ini dinner rush. Semuanya berlalu dengan cepat, dan sesekali aku bergerak untuk membuat makanan, mencuri minuman, dan beristirahat. Sekitar tiga minggu pertama di pekerjaan ini, tidak ada satupun yang mengambil istirahat hingga “performance kita menampakkan bahwa kita pantas mendapatkannya.” Jika kita tidak membuat semuanya mise en place dan membersihkan semua sebelum service buka, tidak ada satupun yang boleh makan selama tujuh jam atau lebih. Ya, bahkan kadang selama double shifts. Tiap kru membenci ini kecuali beberapa dari mereka yang mendapatkan shift lebih pendek. Bersama-sama kita mulai mengambil jatah istirahat kita di jam 10.30 tiap pagi, meskipun ada argumen dari manajer shift. Kadangkala kamu hanya ingin diperlakukan sebagaimana manusia dan kebutuhan dasarmu dipenuhi. Kadangkala semua orang disekitarmu merasakan hal yang sama. Setelah dua minggu mengambil setengah jam tiap hari, pihak manajemen memutuskan untuk mewajibkan kita semua istirahat setidaknya pukul 10.45. Pada akhirnya, hal itu menjadi praktik umum untuk mengambil istirahat pada pukul 10.30, selama station kita bersih, terlepas dari sebanyak apa bagianmu dari prep list yang harus kamu selesaikan. Di tempat ini, kami memiliki lima kru. Empat orang bekerja dari jam delapan sampai jam empat, dan dua orang bekerja dari pukul sebelas sampai pukul tujuh, kemudian kru malam dengan empat orang bekerja dari jam empat sampai jam dua belas malam. Tanpa mengasumsikan optimisme bahwa semua orang akan muncul, ada delapan orang yang bekerja delapan jam tiap shift. Ketika jadwal mingguan (dua mingguan) muncul, sejumlah uang yang dapat dibelanjakan untuk upah pekerja direpresentasikan sebagai jam kerja. Jam kerja adalah upah yang dimasukkan kedalam rasio waktu dan digunakan untuk penganggaran setiap restoran atau gerai. Katakanlah upah dasar adalah $9/jam, jadi setiap jamnya pekerja berharga $9. Jadi, jika kedelapannya bekerja delapan jam di $9/jam, mereka menghabiskan enam puluh empat jam kerja (labor hour). Tetapi tidak setiap orang di restoran bekerja berdasarkan upah minimum. Manajer shift memiliki upah sekitar $18/jam (dua jam kerja perjam yang dikerjakan) dan manajer dapur mendapatkan sekitar $13/jam (satu setengah jam kerja perjam yang dikerjakan). Lima orang kerja delapan jam, menggunakan empat puluh jam kerja. Seorang manajer dapur bekerja delapan jam, dan dua manajer shift bekerja delapan jam masing-masingnya, menggunakan empat puluh jam. “Kebebasan adalah sebuah konsep destruktif yang melibatkan eliminasi absolut atas segala batas-batas. Sekarang, kebebasan adalah sebuah ide yang harus kita tanam dalam hati kita, tetapi pada waktu yang sama kita harus paham bahwa jika kita menginginkannya kita harus siap untuk menghadapi segala resiko-resiko yang melibatkan destruksi, segala resiko-resiko atas proses penghancuran tatanan yang kita hidupi. Kebebasan bukanlah sebuah konsep untuk membuai diri kita sendiri, dengan harapan bahwa perbaikan akan berkembang secara independen dari kapasitas nyata kita untuk mengintervensi.” – Alfredo M. Bonanno, The Anarchist Tension Jadwal membatasi jam kerja tiap hari dengan produksi yang diharapkan (algoritma yang sama yang memutuskan apa dan berapa banyak yang diproduksi setiap hari di prep list). Total delapan puluh empat jam tidak berarti apa-apa kecuali bila dibandingkan dengan batas tujuh puluh jam sehari. Tidak pernah ada cukup waktu untuk membersihkan dan menutup toko dengan benar. Setiap waktu yang dihabiskan melebihi batas yang ditentukan akan menimbulkan telpon kemarahan dari atasan, atau hukuman yang lebih buruk. Selepas kembali bekerja setelah istirahat, aku mengendap-endap kebelakang untuk mengambil sampah. Tiap perjalanan aku buat sepuluh sampai lima belas menit, aku ingin menikmati rokokku dulu. Ada angin sepoi-sepoi di luar dan sayang sekali jika aku harus melewatkannya untuk mencuci piring. Kemudian aku kembali masuk, mengendap-endap menuju kamar mandi, dan kembali ke tempat cuci piring. Si manajer, salah satu teman baikku di restoran, datang untuk membantuku mencuci piring sebelum restoran tutup. Mereka telah menyelesaikan kerja preparation-ku ketika aku sedang diluar. Kita maju mundur menggosok dengan terburu-buru bekas nasi gosong dari panci-panci. Ketika kelambatan yang aku buat-buat ketika membuang sampah tampak “masuk akal”, mereka pergi membantuku membersihkan sisi lain belakang restoran. Tanpa mereka, aku mungkin harus berpura-pura melakukannya. Menghemat ku untuk harus berbohong sekali lagi. Kami menyelesaikan apa pun yang kami bisa lakukan, sampai ada cukup jam kerja ekstra buat kami yang akan mereka bayar. Bos mencari dolar, kami mencari uang receh, karenanya itulah mengapa kami bermain-main dengan waktu perusahaan. Lalu kami clock out dan pergi merokok bersama untuk bersimpati pada omelan-omelan yang akan kami dapatkan besok pagi karena apa yang kita lakukan hari ini. Aku tidak peduli, aku tidak harus bekerja besok dan aku harus mendapatkan ekstra dua jam istirahat hari ini. Aku pergi ke kamar mandi, mengambil sampah, menyapu diluar, bersembunyi di depan ruang pendingin, merokok batang rokok kedua, melakukan apapun yang akan meningkatkan ketegangan antara pihak manajemen dan mengungkap keabsurdtan dari kerja itu sendiri. “Jadi, ketika orang-orang ini berkata, “Kalian utopis, kalian anarkis pemimpi, utopia kalian tidak akan pernah berhasil”, kita harus menjawab “Ya, memang benar, anarkisme adalah ketegangan, bukan realisasi, bukan upaya konkret untuk memunculkan anarki besok pagi”. Tetapi kamu harus bisa mengatakan pada kalian – tuan-tuan demokratis yang terhormat di pemerintahan yang mengatur hidup kami, yang berpikir bahwa kalian bisa masuk ke kepala kami, otak kami, yang mengatur kami melalui opini yang kalian bentuk setiap hari di surat kabar, di universitas, sekolah, dll – memangnya apa yang telah kalian capai? Sebuah dunia yang patut untuk ditinggali? Atau sebuah dunia kematian, sebuah dunia yang dimana kehidupan adalah sebuah perkara yang membosankan, tanpa kualitas apapun, tanpa makna apapun? Sebuah dunia dimana ketika seseorang mencapai umur tertentu, kemudian mendapatkan pensiun, dan bertanya pada diri sendiri, “Tapi apa yang telah saya lakukan dengan hidup saya? Apa arti hidup saya selama ini?” – Alfredo M. Bonanno, The Anarchist Tension