Mereka yang berbicara mengenai revolusi dan perjuangan kelas tanpa mengacu kepada realitas hidup sehari-hari, berarti menyimpan bangkai dalam mulutnya.
—Grafiti di kota Paris tahun 1968

Pertimbangkan bahwa peradaban kapitalisme dan negara telah berlangsung selama beberapa abad sebagai suatu proses evolutif yang seringkali tak terelakkan, yang menyebabkan terubahnya pandangan dunia dan memanifestasi dirinya melalui berbagai paradigma perubahan masyarakat: agrikultur, industri, posindustrial. Namun, adakah sesuatu di antara hal-hal besar tersebut yang mampu membuat kita bergairah atas hidup?

Pertimbangkan bahwa kapitalisme dan segala institusi formal-informal hierarkis merupakan kekuatan yang membebankan peraturan mereka yang menyeragamkan karakter manusia menjadi hanya untuk bertahan hidup. Lihatlah dengan kejelasan seorang anak yang begitu berbinar saat melihat bundanya, dominasi terjadi dalam banyak sektor dan wilayah, yang menjadikan manusia hanya sebagai statistik untung-rugi atau modal yang bisa diolah untuk mendapatkan modal yang lebih besar. Dunia dalam kerangka besar yang kita tinggali saat ini merupakan sesuatu yang hanya berharga dalam kacamata keuntungan, kompetisi, dan efisiensi.

Pertimbangkan bahwa hierarki dan kapitalisme berangkat melalui sebuah pandangan dunia yang melihat bahwa segala sesuatunya terpisah dan tak saling berhubungan. Menimbang bahwa pandangan dunia semacam ini merefleksikan setiap ketimpangan, ketidakadilan, kerusakan, dan penderitaan di dunia, dan karena kapitalisme adalah suatu manifestasi maju dari sebuah pola relasi non-hidup yang berresiko untuk menghancurkan kemanusiaan, penolakan kita terhadapnya harus bersifat menyeluruh. Juga menegasikan semaksimal mungkin setiap kolaborasi ataupun adaptasi akan logika kapitalisme bersama segala sesuatu yang mereka sertakan di dalam gerbong kereta mereka. Anti-kapitalisme berarti tidak hanya memerangi pandangan dunianya tapi juga mencoba mematerialkannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena perpisahan antara ide dan tindakan adalah juga pilar-pilar arkaik masyarakat hierarkis-kapitalis.

Pertimbangkan bahwa personalitas dalam kultur kapitalis hanyalah ilusi untuk membuat mereka masuk lebih dalam dan mengatur pola hidup manusia secara lebih detil. Mengidentikkan diri menjadi individual bebas dengan titik tolak eskapisme keluarga dan masyarakat, tanpa mengakar pada hasrat hidup bebas itu sendiri, menjadikan bebas hanyalah apologi bagi konsumsi akut. Sekedar berreaksi memilih sosialitas pun tak akan membuat keadaan yang lebih baik dalam kultur ideal manusia bebas. Personalitas harus disandingkan secara mesra seperti sepasang kekasih yang berselimut kehangatan cinta dalam deraan dinginnya maut. Aksi jangan sampai terjebak menjadi sekedar hempasan reaksi, tapi juga kreasi.

Pertimbangkan bahwa pola produksi kapitalis yang mengalienasikan merupakan kondisi yang tak terelakkan—yang mereduksi kesenangan dan kegembiraan menjadi taktik dan strategi terus menerus demi pencapaian akumulasi dan eksistensi dalam kompetisi. Mengadopsi kebahagiaan versi televisi juga merupakan pencapaian terburuk dari sebuah hubungan yang dinamis. Realitas hidup tak hanya melulu hitam-putih—protagonis-antagonis. Tidak juga oposisi bayangannya yang berwarna abu-abu dalam konteks konstruksi hierarkis-kapitalis. Kita harus bisa melampaui bangkai dunia lama menuju dunia baru yang mungkin, untuk membuat kerja menjadi sesuatu yang lepas dari kegiatan kebinatangan. Membuat kerja menjadi aktifitas kemanusiaan komunal yang akan membawa nilai penggarapnya.

Pertimbangkan bahwa kehidupan sehari-hari merupakan tumpuan hubungan produksi kapitalis. Melaluinya setiap mediasi dan penyelubungan relasi hidup sebenarnya dilakukan. Pembebasan sebenarnya dimulai dari kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, sebuah proyek untuk menghancurkan dan mempertanyakan kemonotonan aktivitas sehari-hari (menurut strata sosialnya) yang termaterialkan dalam kerja, sekolah, bisnis seperti biasanya, hubungan keluarga, merupakan hal yang vital untuk memahami bagaimana kapitalisme mereproduksi dirinya sendiri di berbagai wilayah kehidupan yang saling berhubungan. Dan hanya dapat dihancurkan dengan mengidentifikasinya seperti demikian.

Dengan demikian revolusi menuntut peruntuhan setiap sudut pandangan dunia borjuis yang termaterialkan dalam hubungan produksi kapitalis yang menjadi suatu relasi sosial hidup manusia dalam relung keseharian. Oleh karenanya, revolusi adalah suatu proses di mana relasi-relasi sosial lama telah dinegasikan untuk menciptakan pola relasi yang baru. Pola relasi baru ini pun bukanlah suatu blueprint mutlak yang tak dapat diubah, tapi suatu proses tanpa ujung dari eksperimentasi kehidupan untuk dapat terus mendinamisasikan suatu pola relasi kehidupan baru yang bebas dari setiap residu masyarakat lama. Revolusi, juga berarti memutuskan rantai dalam diri kita sendiri.

Dalam sebuah masyarakat yang telah menghapuskan semua jenis petualangan, satu-satunya petualangan yang masih tersisa adalah menghapuskan masyarakat tersebut.
—Grafiti di kota Paris tahun 1968