Title: Prinsip Palsu Pendidikan Kita
Subtitle: Atau, Humanisme dan Realisme
Author: Max Stirner
Language: Bahasa Indonesia
Publication: Public Enemy Books
Date: 1842
Source: Keberanian Merusak (Public Enemy Books, 2021)
Notes: Teks aslinya berjudul The False Principle of Our Education

Karena masa kita sedang bergumul dengan kata yang dapat mengekspresikan semangatnya, banyak nama yang mengemuka dan semuanya membuat klaim jadi nama yang benar. Di semua sisi masa kita sekarang mengungkapkan keributan partisan yang menggemparkan dan elang-elang masa mengelilingi warisan yang membusuk dari masa silam. Di mana-mana ada banyak sekali mayat politik, sosial, kependetaan, sans, kesenian, moral, dan hingga mereka semua dikonsumsi, udara tidak akan bersih dan napas makhluk hidup akan terkekang.

Tanpa bantuan kami, waktu tidak akan membawa kata yang benar jadi terang; kita semua harus bekerja sama untuk itu. Namun jika terlalu tergantung pada kami, mungkin kami dengan akal sehat bertanya apa yang telah mereka perbuat untuk kami dan apa yang ditawarkan bagi kami; kami bertanya mengenai pendidikan melalui apa yang mereka upayakan untuk memungkinkan kami jadi pencipta kata itu. Apakah mereka dengan sadar menumbuhkan kecenderungan kami untuk jadi pencipta atau apakah mereka memperlakukan kami sebagai makhluk yang mana secara alamiah diperkenankan berlatih? Pertanyaan itu sama pentingnya dengan salah satu pertanyaan sosial kita, tentu saja itu yang paling penting karena pertanyaan-pertanyaan itu bertumpu pada dasar terakhir ini. Jadilah sesuatu yang luar biasa dan kau akan mewujudkan hal yang luar biasa: jadilah “masing-masing sempurnya dalam dirinya sendiri,” maka masyarakatmu, kehidupan sosialmu, juga akan sempurna.

Karenanya kami (lebih) perhatian di atas semuanya dengan apa yang mereka lakukan pada kita pada saat plastisitas kami; pertanyaan sekolah adalah pertanyaan hidup. Sekarang mereka dapat dilihat dengan cukup jelas; wilayah ini telah diperebutkan selama bertahun-tahun dengan kegairahan dan kejujuran yang jauh melampaui dalam bidang politik karena di sana tidak merobohkan rintangan kekuasaan yang sewenang-wenang.

Seorang veteran terhormat, Professor Theodor Heinsius,[1] seperti mendiang Profesor Krug[2] mempertahankan kekuatan dan semangatnya hingga usia tua, baru-baru ini berusaha memancing perhatian untuk penyebab ini dengan sedikit esai. Dia menyebutnya “Konkordat antara sekolah dan kehidupan atau meditasi humenisme dan realisme dari sudut pandang nasionalistik.” Dua bagian mengupayakan kemenangan dan masing-masing ingin menyarankan prinsip pendidikannya sebagai yang terbaik dan paling sejati untuk kebutuhan kita: para humanis dan realis. Tidak ingin menimbulkan ketidaknyamanan, Heinsius berkata dalam bukletnya dengan kelembutan dan konsiliasi yang berarti memberikan hak mereka dan dengan demikian melakukan ketidakadilan terbesar pada penyebab itu sendiri karena itu hanya bisa dilayani oleh ketegasan yang tajam. Sejauh ini, dosa melawan roh penyebab ini tetap merupakan warisan tak terpisahkan dari semua mediator pengecut. “Konkordat” hanya menawarkan kebijaksanaan pengecut.

Hanya jujur bagai manusia: mendukung atau menentang!

Dan semboyannya: budak atau merdeka!

Bahkan dewa diturunkan dari Olympus,

Dan bertempur di benteng sekutu mereka.


Sebelum sampai pada usulannya sendiri, Heinsius membuat sketsa singkat jalannya sejarah sejak Reformasi. Periode antara Reformasi dan Revolusi adalah yang akan aku tegaskan tanpa dukungan karena aku berencana untuk menunjukkannya secara lebih rinci pada kesempatan yang lain bahwa hubungan antara orang dewasa dan anak di bawah umur, antara memerintah dan melayani, yang berkuasa dan tak berkuasa, singkatnya, periode ketundukan. Terlepas dari dasar lain yang mungkin membenarkan superioritas, pendidikan, sebagai kekuatan (baca: kuasa), membesarkan ia yang memilikinya di atas yang lemah, yang tidak memilikinya, dan orang yang berpendidikan dihitung dalam lingkarannya, betapapun besar atau kecilnya, sebagai yang perkasa, yang kuasa, yang mengesankan: karena dia adalah sang otoritas. Tidak semua orang dapat dipanggil untuk kekuasaan dan otoritas ini; oleh karena itu, pendidikan tidak untuk semua orang dan pendidikan universal bertentangan dengan prinsip itu. Pendidikan menciptakan superioritas dan membuat seseorang jadi ahli: demikianlah seorang ahli di zaman itu, adalah alat untuk berkuasa. Namun revolusi menerobos ekonomi hamba-tuan dan aksioma tampil: setiap orang adalah tuan bagi dirinya sendiri. Terkait dengan ini adalah kesimpulan yang niscaya bahwa pendidikan, yang tentu saja menghasilkan seorang ahli (master), untuk selanjutnya musti jadi universal dan tugas untuk menemukan pendidikan universal sejati kini menampilkan dirinya sendiri. Dorongan kepada pendidikan universal yang dapat diakses oleh semua orang harus maju untuk berjuang melawan yang tak henti-hentinya mempertahankan pendidikan eksklusif, dan juga di tempat Revolusi musti menghunuskan pedang melawan dominasi periode Reformasi. Gagasan pendidikan universal berbenturan dengan gagasan pendidikan eksklusif, dan perselisihan dan perjuangan bergerak melalui fase-fase dan di bawah berbagai nama hingga masa kini. Karena kontradiksi kemah musuh yang berlawanan, Heinsius memilih nama humanisme dan realisme, dan setidak akurat hal itu, kami akan mempertahankannya sebagai yang paling lazim digunakan.

Sampai Pencerahan mulai menyebarkan cahayanya di abad ke-18, yang disebut pendidikan tinggi teronggok tanpa protes di tangan para humanis dan hampir semata-mata didasarkan pada pemahaman klasik lama. Pada saat yang sama pendidikan yang lain berjalan yang juga mencari contoh dalam kebaheulaan dan terutama berakhir dengan pengetahuan yang memadai mengenai Alkitab. Bahwa dalam kedua kasus tersebut mereka memilih pendidikan terbaik dari dunia kebaheulaan untuk pokok bahasan eksklusif mereka sendiri yang cukup membuktikan betapa sedikit martabat yang ditawarkan kehidupan kita sendiri, dan seberapa jauh kita masih mampu menciptakan bentuk keindahan dari orisinalitas dan isi kebenaran dari nalar kita sendiri. Pertama kita harus mempelajari bentuk dan isi; dari magang kita. Dan sebagai dunia kebaheulaan melalui (era) klasik dan Alkitab berkuasa atas kita sebagai gundik, begitu pula yang secara historis dapat dibuktikan sebagai esensi tuan dan hamba dari semua aktivitas kita, dan hanya dari karakteristik masa inilah yang menjadi jelas mengapa mereka bercita-cita begitu terbuka menuju “pendidikan tinggi” dan sangat bersungguh-sungguh untuk membedakan diri mereka dengan cara demikian di hadapan orang-orang biasa. Dengan pendidikan, yang memilikinya jadi seorang ahli (master) atas yang tidak berpendidikan. Pendidikan populer (umum) akan ditentang ini karena orang-orang mustinya tetap menjadi orang awam yang bertentangan dengan orang-orang terpelajar, yang semestinya menatap dengan terperangah pada kemegahan aneh dan memujanya. Demikianlah Romantisme terus belajar dan para pendukungnya adalah bahasa Latin dan Yunani. Selain itu, tak dapat dipungkiri bahwa pendidikan ini tetap melalui pendidikan formal, sebanyak mungkin karena kebaheulaan lama mati dan dikuburkan, semata-mata hanya bentuknya, pola kesusastraan dan seni bertahan, karena alasan khusus bahwa dominasi atas manusia akan diraih dan dipaksakan melalui superioritas formal; ia hanya membutuhkan tingkat kecerdasan intelektual tertentu untuk mendapatkan superioritas atas orang-orang yang kurang cerdas. Oleh karena itu yang disebut pendidikan tinggi adalah pendidikan yang elegan, suatu sensus omnis elegantiae, pendidikan atas citarasa dan badani atas bentuk yang pada akhirnya terancam tenggelam sepenuhnya ke dalam pendidikan gramatikal dan semerbak bahasa Jerman sendiri dengan aroma Latium begitu banyak sehingga bahkan hari ini orang memiliki kesempatan untuk mengagumi struktur kalimat Latin, misalnya dalam History of the Brandenburg-Prussian States. A Book for Everyone[3] yang baru saja diterbitkan.

Sementara itu, semanat oposisi secara bertahap muncul dari Pencerahan melawan formalisme ini dan menuntut untuk mencakupi seluruhnya, pendidikan manusia yang benar-benar bersekutu dengan rekognisi hak manusia yang aman dan universal. Kurangnya instruksi yang solid yang akan berinteraksi dengan kehidupan diterangi dengan cara di mana para Humanis telah maju sampai saat itu dan menimbulkan permintaan akan pendidikan akhir yang praktis. Untuk selanjutnya, semua pengetahuan musti hidup, pengetahuan dijalani; karena hanya realitas pengetahuanlah kesempurnaannya. Jika membawa materi kehidupan ke sekolah berhasil menawarkan sesuatu yang berguna bagi semua orang, dan untuk alasan itu memenangkan semua orang demi persiapan untuk hidup ini dan untuk mengarahkan mereka ke sekolah, maka orang tidak akan lagi iri pada orang terpelejar karena pengetahuan mereka yang istimewa dan orang-orang tidak lagi akan jadi orang awam. Untuk menghilangkan kependetaan para cendikiawan dan keawaman orang-orang adalah upaya realisme dan oleh karena itu harus melampaui humanisme. Penggunaan bentuk klasik kebaheulaan mulai dibatasi dan dengan itu otoritas-berdaulat kehilangan semangatnya. Waktu berjuang melawan penghormatan tradisional demi kesarjanaan karena umumnya memberontak terhadap penghormatan apa pun.

Keunggulan esensial sarjana, pendidikan universal, harus bermanfaat bagi semua orang. Namun orang bertanya, apa itu pendidikan universal selain kapasitas yang dengan sederhana diungkapkan (sebagai), “supaya dapat berbicara mengenai apa pun,” atau yang lebih serius diungkapkan, kemampuan untuk menguasai materi apa pun? Tampaknya sekolah ditinggalkan oleh kehidupan karena tidak hanya mundur dari masyarakat melainkan juga mengabaikan pendidikan universal dengan siswanya yang mendukung pendidikan eksklusif, dan gagal mendorong penguasaan di sekolah atas banyak materi yang disodorkan kepada kita melalui kehidupan. Sekolah, sebuah pemikiran, tentu saja untuk menguraikan rekonsiliasi kita dengan segala sesuatu yang ditawarkan kehidupan dan untuk merawatnya sehingga tidak ada hal-hal yang pada suatu saat kita musti perhatikan sendiri jadi sepenuhnya asing bagi kita dan jadi di luar kemampuan kita untuk menguasainya. Oleh karena itu pembiasaan dengan hal ihwal dan keadaan-keadaan saat ini dicari dengan sangat bersemangat dan pedagogi dibawa pada fesyen yang musti menemukan aplikasi bagi semua orang karena itu memuaskan kebutuhan umum setiap orang demi menemukan diri mereka sendiri dalam dunia dan waktunya sendiri. Prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia dengan cara ini memperoleh kehidupan dan realitasnya dalam lingkup pendidikan: kesetaraan, karena pendidikan merangkul semua orang, dan kebebasan, karena orang terbiasa dengan kebutuhan-kebutuhannya dan akibatnya mandiri dan otonom.

Bagaimanapun, untuk memahami masa lalu seperti yang diajarkan humanisme dan meraih masa kini, yang merupakan tujuan realisme, menggiring keduanya hanya demi menguasai sesuatu yang sementara. Hanya roh yang (dapat) memahami dirinya sendiri yang kekal. Oleh karena itu, kesetaraan dan kebebasan hanya menerima eksistensi subordinat. Seseorang tentu saja dapat menjadi setara dengan orang lain dan dimerdekakan dari otoritas mereka; dari kesetaraan dengan diri sendiri, dari penyetaraan dan rekonsiliasi kesementaraan kita dan manusia abadi, dari transfigurasi kealamiahan kita ke spiritualitas, singkatnya, dari kesatuan dan kekuasaan tertinggi ego kita, yang cukup bagi dirinya sendiri karena tidak meninggalkan apa pun yang asing berdiri di luar dirinya sendiri: Hampir tidak ada gagasan mengenai itu yang dapat dikenali prinsip itu. Dan kebebasan tampaknya memang sebagai kemerdekaan dari otoritas, sekali pun kekurangan determinasi-diri dan masih tidak menghasilkan satu pun tindakan manusia yang bebas-dalam-dirinya-sendiri, pencerahan-diri atas manusia yang tidak dipertimbangkan[4], yaitu, dari salah satu pikiran yang diselamatkan dari fluktuasi kontemplasi. Manusia yang berpendidikan formal tentu tidak akan berdiri di atas cermin samudera pendidikan universal lagi, dan ia mengubah dirinya dari “manusia yang sangat terdidik” menjadi “manusia terdidik satu-sisi” (demikian ia secara alami mempertahankan nilainya yang tidak terbantahkan, karena semua pendidikan universal dimaksudkan untuk memancar ke dalam pemikiran-tunggal yang paling beragam dari pendidikan khusus); namun manusia terpelajar dalam arti realisme tidak melampaui kesetaraan dengan yang liyan dan kebebasan dari yang liyan, ia juga tidak muncul ke muka sebagai yang disebut manusia praktis. Tentu saja keanggunan kosong seorang humanis, sang pesolek, mau tidak mau merosot; tetapi pemenangnya berkilau dengan materialitas tembaga (kehijauan) dan tidak lebih baik dari seorang materialis yang tidak memiliki selera[5]. Pesolek dan materialisme berjuang demi hadiah dari anak laki-laki dan perempuan terkasih dan kerapkali dengan menggoda bertukar baju zirah sehingga sang Pesolek tambil dengan sinisme yang kasar dan yang materialis tampil dengan linen putih. Yang jelas, kayu hidup dari klub-klub materialis akan menghancurkan tongkat kering Pesolek yang tak bersumsum; tapi hidup, atau mati, kayu tetaplah kayu, dan jika nyala roh terbakar, kayu musti membubung terbakar.

Sementara itu, mengapa, harus juga realisme, jika (kapasitasnya tak disangkal) itu mengasimilasi aspek-aspek baik humanisme, sekalipun binasa?

Tentu saja itu dapat mengasimilasi yang tak dapat dicabut dan kebenaran humanisme, pendidikan formal, dan asimilasi ini dibuat kian mudah melalui metode ilmiah yang telah menjadi mungkin dan melalui perlakukan masuk akal terhadap semua objek instruksi (aku menarik perhatian sebagai contoh hanya untuk sumbangan Becker[6] atas Gramar Jerman) dan melalui budi bahasa ini dapat mendorong lawannya dari posisi kuarnya. Karena realisme serta humanisme berasal dari gagasan bahwa tujuan dari pendidikan adalah untuk menghasilkan keserbagunaan bagi manusia dan karena keduanya sepakat, misalnya bahwa orang musti demikian terbiasa dengan setiap putaran ekspresi idiomatik, secara matematik musti menganjurkan putaran bukti, dll., sehingga orang harus berjuang demi penguasaan dalam menangani materi, menuju penguasaannya: dengan demikian sudah pasti tidak akan gagal sehingga bahkan realisme pada akhirnya akan mengenai pembentukan rasa sebagai tujuan akhir dan menempatkan tindakan pembentukan di tempat pertama, sebagaimana telah terjadi sebagian. Karena dalam pendidikan, semua materi yang diberikan hanya bernilai sejauh anak belajar melakukan sesuatu dengannya, untuk menggunakannya. Tentu saja hanya yang praktis dan yang berguna yang harus ditekankan, sebagaimana yang diinginkan kaum realis; tetapi sungguh manfaatnya adalah hanya dicari dalam pembentukan, dalam generalisasi, dalam penyajian, dan orang tidak akan bisa menolak klaim humanistik ini. Para humanis benar sebab terutama bergantung pada pendidikan formal—mereka salah karena tidak menemukan hal ini dalam penguasaan setiap pelajaran; para realis menuntut hal yang benar di mana setiap pelajaran musti dimulai dari sekolah, kemudian mereka menuntut hal yang salah saat mereka tidak mau mengindahkan pendidikan formal sebagai tujuan utama. Jika melatih pelepasan-diri dan tidak menyerahkan dirinya pada bujukan materialisme, realisme bisa sampai pada kemenangan ini atas musuhnya dan pada saat yang sama mencapai rekonsiliasi dengannya. Namun kenapa sekarang kita tidak menunjukkan permusuhan dengan itu?

Kemudian apakah itu benar-benar membuang cangkang dari prinsip lama dan apakah itu tegak di atas benteng waktu? Dalam hal itu semuanya harus dinilai, entah ia mengakui gagasan yang telah dicapai sang waktu sebagai yang paling berharga atau apakah ia diam menempati tempat di belakangnya. Ketakutan yang tak terhapuskan itulah yang menyebabkan para realis mundur ketakutan dari abstraksi dan spekulasi yang musti mengejutkan dan oleh karena itu di sini aku akan menetapkan sejumlah pilihan dari Heinsius yang tidak menghasilkan apa pun pada realis yang tak terikat pada poin ini dan aku menyimpan kutipan mereka yang akan mudah untuk dikutip. Di halaman 9 ia berkata:

“Di lembaga pendidikan yang lebih tinggi orang mendengar tentang sistem filsafat Yunani, Aristoteles dan Plato, demikian juga tak syak dari kaum modern, Kant, yang mana ia telah menyingkirkan gagasan tentang Tuhan, kebebasan, imoralitas, sebagai sesuatu yang tak dapat dibuktikan; mengenai Fichte, yang mana ia telah menetapkan tatanan moral dunia di tempat Tuhan personal; mengenai Schelling,[7] Hegel, Herbart,[8] Krause,[9] dan siapa pun yang dapat disebut penemu dan pembawa kebijaksanaan supranatural. Apakah, (atas) apa yang mereka katakan, yang harus dilakukan bangsa Jerman dengan semangat idealis yang bukan merupakan ilmu empirik dan positif maupun kehidupan praktis dan yang tidak menguntungkan keadaan yang, dengan persepsi yang tak jelas yang hanya membingungkan semangat zaman, menggiring pada ketidakpercayaan dan ateisme, membelah pikiran, mendepak para pelajar sendiri dari posisi rasul keprofesoran, dan bahkan mengaburkan bahasa nasional kita karena mengubah konsepsi yang paling jelas dari akal sehat menjadi teka-teki mistis? Itukah kebijaksanaan harus mendidik generasi muda kita untuk bermoral, orang baik, berpikir, makhluk rasional, masyarakat sejati, pekerja yang berguna dan berdaya dalam profesi-profesinya, pasangan yang penuh kasih dan ayah penyokong demi pembentukan kesejahteraan domestik?”


Dan di halaman 45:

“Mari kita tinjau filsafat dan teologi, yang mana, sebagai ilmu berpikir dan yakin ditempatkan di tempat pertama kesejahteraan dunia; menjadi apa mereka melalui friksi timbalk balik sejak Leibniz meretas jalan bagi mereka? Dualisme, materialisme, supranaturalisme, rasionalisme, mistisisme, dan apa pun yang mungkin disebut dari semua abtruse-isme dari spekulasi dan perasaan yang berlebihan: jenis berkat apa yang dibawa kebesaran mereka, gereja, seniman, budaya nasional? Pemikiran dan pengetahuan sudah barang tentu diperluas dalam bidang mereka; namun, apakah yang pertama menjadi lebih jelas dan yang terakhir lebih pasti? Agama, sebagai dogma itu lebih murni, namun keyakinan subjektif itu lebih membingungkan, terlemahkan, kekurangan pendukung, terguncang oleh kritik dan interpretasi, atau menjelma fanatisisme dan penampilan saleh yang hipokrit, dan gereja? oh, hidupanya adalah perpecahan atau kematian. Bukankah demikian?”


Kemudian untuk alasan apa para realis menunjukkan diri mereka demikian tidak ramah terhadap filsafat? Karena mereka salah memahami panggilan mereka dan dengan segenap kekuatan mereka ingin tetap dibatasi alih-alih menjadi tidak terbatas! Kenapa mereka membenci abstraksi? Karena mereka sendiri adalah abstrak karena mereka abstrak dari kesempurnaan diri, dari pengangkatan ke penebusan kebenaran!

Apakah kita ingin menyerahkan pedagogi ke tangan para filsuf? Tak kurang dari itu! Mereka sendiri akan demikian canggung. Itu akan dipercayakan hanya kepada mereka yang lebih dari sekadar filsuf, yang dalam hal itu bahkan lebih dari (yang) humanis atau realis. Yang terakhir adalah aroma yang tepat sehingga bahkan kebangkitan akan menyertai kemunduran mereka: mereka abstrak dari filsafat demi menggapai sorga mereka yang penuh kepentingan tanpa itu, mereka melompat di atasnya, dan jatuh ke dalam jurang dalam kehampaan mereka sendiri; mereka, bagai orang Yahudi yang kekal, tak mati, bukan abadi.

Hanya para filsuf yang bisa mati dan menemukan jati diri mereka dalam kematian; bersama mereka masa reformasi, zaman pengetahuan mati. Ya, demikianlah pengetahuan itu sendiri harus mati supaya dapat berkembang kembali dalam kematian sesuai kehendak; kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan nurani, bunga-bunga indah tiga abad ini akan tenggelam kembali ke pangkuan ibu pertiwi sehingga bahwa kemerdekaan baru, kemerdekaan kehendak, akan dipelihara dengan saripatinya yang terbaik. Pengetahuan dan kebebasannya adalah ideal pasa masa itu yang akhirnya tercapai dalam ketinggian filsafat: di sini sang pahlawan akan membangun tumpukan kayu bakarnya sendiri dan akan menyelamatkan aspek keabadiannya di Gunung Olympus. Dengan filsafat, masa lalu kita tertutup dan para filsuf adalah Raohaels zaman pemikiran yang mana prinsip lama menyempurnakan dirinya dalam kemegahan warna yang cerah dan melalui peremajaan kembali diubah dari kesementaraan ke keabadian. Selanjutnya, siapa pun yang hendak melestarikan pengetahuan akan kehilangannya; namun, ia yang merelakannya akan mendapatkannya. [Bandingkan dengan Mat. 10;39 dan Luk 17;33] Hanya para filsuf yang diseru atas penyerahan ini dan untuk perolehan ini: mereka berdiri di depan api dan, seperti pahlawan yang sekarat, musti membakar wadag fana mereka jika roh abadi hendak bebas.

Sedapat mungkin itu harus dinyatakan dengan lebih jelas. Tepat di situlah kesalahan yang kerap berulang di masa kita, bahwa pengetahuan tidak dibawa ke penyelesaian dan wawasan, bahwa ia tetap menjadi material dan formal, sesuatu yang positif, tanpa mencuat menjadi absolut, bahwa ia memberati kita seperti beban. Seperti orang-orang baheula, orang harus mengharap kelupaan, harus minum dari Lethe yang diberkati: jika tidak orang tidak akan sampai pada satu kesadaran. Segala sesuatu yang unggul musti tahu bagaimana caranya mati dan mengubah dirinya sendiri melalui kematiannya; hanya yang sengsara yang terakumulasi macam mahkamah agung yang berkaki-beku,[10] tumpukan dokumen demi dokumen, dan bermain selama ribuan tahun dalam figur porselen halus, seperti kekanak-kanakan abadi orang Cina. Pengetahuan yang memadai menyempurnakan dirinya sendiri saat ia berhenti jadi pengetahuan dan kembali jadi sekadar menjadi dorongan manusia, kehendak. Jadi, misalnya, dia yang bertahun-tahun telah merunding bertahun-tahun mengenai “panggilan sebagai manusia,” akan tenggelam semua perawatan dan ziarah mencari dalam satu masa dalam Lathe suatu perasaan sederhana, dari sebuah dorongan yang sejak saat itu yang dia temukan secara bertahap menuntunnya. Suatu “panggilan manusia” yang telah ia lacak pada seribu jalan dan jalur penelitian meledak segera setelah diakui ke dalam nyala kehendak etik dan mengobarkan dada orang yang tidak lagi terganggu dengan pencarian melainkan telah menjadi segar dan alami.

Bangun, mandi, murid tanpa bosan,

Dada duniawimu dalam kemerahan fajar.[11]

Itulah akhir dan pada saat yang sama keabadian, keabadian pengetahuan: pengetahuan, yang sekali lagi telah jadi sederhana dan tepat, menetapkan dan menyingkapkan dirinya sebagai yang diinginkannya dalam bentuk baru dan dalam setiap tindakan. Kehendak secara fundamental tidak benar, sebab yang praktis sangat ingin meyakinkan kita; orang mungkin tidak akan melewatkan hasrat demi pengetahuan hanya demi segera berpendirian atas kehendak, tapi pengetahuan menyempurnakan dirinya sediri atas kehendak saat ia merendahkan dirinya dan menciptakan dirinya sendiri sebagai roh “yang membangun wadagnya sendiri.” Oleh karena itu melekatlah pada pendidikan apa pun yang tidak berakhir dalam kematian ini dan kenaikan pengetahuan ini ke sorga, kelemahan kehidupan duniawi ini, formalitas dan materialitas, pesolek dan materialisme. Pengetahuan yang tidak memurnikan dan memusatkan diri sehingga ia terbawa oleh kehendak, atau dengan kata lain, pengetahuan yang hanya membebaniku sebagai kepunyaan dan kepemilikan, ketimbang hilang bersama diriku sama sekali sehingga ego bergerak bebas, tidak terbebani oleh kepemilikan apa pun, berlalu melalui dunia dengan roh yang segar, maka pengetahuan yang demikian, yang belum jadi pribadi, melengkapi persiapan malang bagi hidup. Orang tidak ingin membiarkan itu menjadi abstraksi di mana pentahbisan sejati atas semua pengetahuan yang konkret pertama kali diberikan: sebab melalui itu, kehendak material akan benar-benar terbunuh dan diubah enjadi roh; namun, manusia diberi kebebasan aktual dan terakhir. Hanya dalam abstraksilah kebebasan itu: manusia bebas semata-mata hanyalah ia yang memenangkan anugerah dan bersama-sama telah kembali ke dalam kesatuan egonya yang telah dibujuk secara meragukan dari dirinya sendiri.

Jika itu adalah dorongan masa kita, setelah kebebasan berpikir dimenangkan, untuk mengejarnya menuju kesempurnaan itu yang melaluinya ia berubah ke kebebasan kehendak untuk mewujudkan yang terakhir sebagai prinsip era barum, maka tujuan akhir pendidikan bukan lagi pengetahuan, melainkan kehendak yang lahir dari pengetahuan, dan ekspresi yang diucapkan dari apa yang harus diusahakan adalah: perseorangan atau manusia merdeka. Kebenaran itu sendiri tidak lain adalah terdiri dari ketercerahan dirinya sendiri, dan penemuan miliki dirinya sendiri, pembebasan dari semua yang asing, abstraksi atau pelepasan sepenuhnya dari semua otoritas, kealamian yang dimenangkan lagi. Manusia yang seutuhnya sejati tidak disediakan oleh sekolah: dan jika mereka tetap ada, mereka ada di sana dengki atas sekolah. Hal ini tentu saja membuat kita banyak menguasai hal-ihwal, juga menguasai sifat-sifat kita; ia tidak membuat kita menjadi bebas alamiah. Tidak ada pengetahuan, betapa pun saksama dan ekstensifnya, tidak ada kecerdasan dan kejelasan, tidak ada kecanggihan dialektika, yang melindungi kita dari keumuman pikiran dan kehendak. Benar-benar bukan kebajikan sekolah jika egois tidak ke luar. Setiap jenis kebanggaan yang sesuai dan setiap angin ketamakan, keinginan untuk jabatan, keikutcampuran mekanik dan rendah diri, kemunafikan, dll., terikat dengan pengetahuan yang luas dan elegan, pendidikan klasik, dan karena seluruh instruksi latihan ini tidak memberikan pengaruh apa pun pada perilaku etis kita, karenanya ia sering jatuh pada nasib terlupakan dalam ukuran yang sama sebagaimana tidak digunakan: seseorang mengibaskan debu sekolah.

Dan semua ini karena pendidikan dicari hanya dalam aspek formal atau materialnya saja, paling banyak pada keduanya; bukan yang sejati, dalam pendidikan manusia sejati. Para realis tentu saja membuat kemajuan saat mereka menuntut siswa untuk menemukan dan memahami apa yang dipelajari: misalnya, Diestwerg,[12] tahu bagaimana bicara banyak ihwal “prinsip pengalaman”; namun onjeknya bukanlah kebenaran, bahkan di sini, melainkan sejenis hal yang positif (seperti agama yang mana juga harus dipertimbangkan), ke mana pelajar diarahkan untuk mencapai kesepakatan dan koherensi dengan sejumlah pengetahuan positif lainnya tanpa meningkatkannya sama sekali di atas keadaan kasar pengalaman dan kontemplasi, dan tanpa insentif apa pun untuk bekerja lebih jauh dengan pikiran yang telah ia peroleh melalui kontemplasi dan penciptaan darinya, yakni, menjadi spekulatif, yang dari sudut pandang praktis menyiratkan sedemikian rupa moral dan bermoralitas. Di sisi lain, untuk mendidik manusia rasional, hal itu sudah cukup; itu tidak benar-benar ditujukan untuk manusia bernalar; untuk memahami hal-ihwal dan keadaan-keadaan, demikianlah hal itu berakhir, untuk memahami diri sendiri tampaknya bukan urusan semua orang. Jadi nalar dipromisikan secara positif baik dari sisi formal atau pada saat yang sama dari sisi materialnya, dan pengajarannya: untuk mendamaikan diri dengan yang positif. Dalam hal pedagogis sebagaimana dalam bidang tertentu lainnya kebebasan tidak diperbolehkan meledak, kekuatan oposisi tidak diperbolehkan untuk mengucapkan sepatah kata pun: mere menginginkan kepatuhan. Hanya pelatihan formal dan material yang dituju dan hanya para sarjanawan yang ke luar dari kungkungan kaum humanis, hanya “masyarakat berguna” yang ke luar dari para realis, bersama mereka yang barang tentu tak lain dari orang-orang manut.

Latar belakang kita yang baik tentang ketidakpatuhan sangat dikekang dan dengan itu perkembangan pengetahuan hingga kehendak bebas. Hasil dari kehidupan sekolah kemudian adalah filistinisme.[13] Sebagaimana kami menemukan jalan masuk dan meresap ke dalam sehala hal yang dengannya kita berselisih pada masa kecil kita, sehingga kita menemukan dan berperangai diri pada tahun-tahuk kemudian, meletakkan diri kita sendiri pada waktu, menjadi penghamba dan disebut sebagai masyarakat yang baik. Di mana kemudian semangat oposisi menguat di tempat ketundukan yang telah dibudidayakan hingga sekarang, di mana orang yang kreatif dididik daripada belajar, di mana guru berubah menjadi sekumpulan pekerja, di mana ia menyadari (bahwa) pengetahuan berubah menjadi kehendak, di mana manusia bebas dianggap sebagai tujuan dan bukan sekadar sebagai yang terpelajar semata? Sayangnya, hanya di sejumlah tempat. Wawasan harus jadi lebih universal, tidak sehingga pendidikan, peradaban, tugas tertinggi manusia itu jelas, melainkan penerapan diri. Akankah pendidikan diabaikan karena alasan itu? sesedikit kecenderungan kita untuk menderita sengsara kehilangan kebabasan berpikir sementara kita mengubah itu menjadi kemerdekaan kehendak dan mengagungkannya. Jika manusia mula-mula meletakkan kehormatannya dalam mengandalkan dirinya sendiri, mengenal dirinya dan menerapkan dirinya, dengan demikiand dalam kemandirian, penegasan diri, dan kebebasan, kemudian dia berusaha untuk membebaskan dirinya dari kebodohan yang membuat objek asing yang tak dapat ditembus menjadi penghalang dan rintangan pada pengetahuan diri-nya. Jika seseorang membangkitkan gagasan kebebasan pada manusia maka manusia bebas akan terus menerus membebaskan diri; sebaliknya, jika orang hanya mendidik mereka, maka mereka akan selalu menyesuaikan diri dengan keadaan di dalam tatakrama yang sangat terpelajar dan elegan dan merosot menjadi jiwa yang tunduk, menarik diri. Apa bakat kami dan peran subjek yang terpelajar yang paling utama? Menghinakan, pemilik budak yang tersenyum dan diri mereka sendiri adalah budak.

Kaum realis mungkin bangga akan keuntungan mereka karena mereka tidak hanya mendidik para sarjanawan, tetapi juga masyarakat yang rasional dan berguna: tenu saja, prinsip dasarnya: “orang mengajarkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan praktis,” bahkan bisa menjadi moto yang valid zaman kita jika mereka tidak akan menafsirkan praktik sejati dalam akal sehat. Praktik sejati adalah yang tidak membuat seseorang menjadi hidup, dan pengetahuan lebih berharga dari yang mungkin digunakan orang dan dengan demikian mengamankan tujuan praktik seseorang. Selain itu, praktik tertinggi adalah bahwa manusia bebas mengungkapkan dirinya sendiri, dan pengetahuan yang tahu bahwa mati adalah kebebasan yang menawarkan kehidupan. “Kehidupan praktis!” Dengan itu, orang mengira dia telah mengatakan banyak hal, dan tetap saja, bahkan hewan memimpin kehidupan yang benar-benar praktis dan segera setelah sang ibu menyelesaikan masa penyapihan teoritisnya, mereka akan mencari makanan mereka di ladang dan hutan sebagaimana mereka inginkan atau mereka dipekerjakan dengan kuk untuk melayani. Scheitlin[14] dengan ilmu mengenai jiwa-jiwa hewani akan membandingkan lebih jauh lagi, ke dalam agama, sebagaimana jelas dari Science of Animal Souls, sebuah buku yang sangat instruktif yang hanya untuk alasan itu sebab itu menempatkan hewan demikian dekat dengan peradaban manusia dan dan manusia beradab sangat dekat dengan hewan. Tujuan itu “demi mendidik untuk kehidupan praktis” hanya melahirkan prinsip-prinsip orang yang bertindakan dan berpikir berdasarkan pepatah-pepatah, tetapi tidak ada manusia yang berprinsip, pikiran-pikiran hukum, bukan orang bebas. Hal yang lain lagi adalah orang yang totalitas pikiran dan tindakannya berayun dalam gerakan yang kontinu dan terbarukan dah hal lain lagi adalah manusia yang setia pada keyakinannya: keyakinan itu sendiri tetap tidak tergoyahkan, tidak berdenyut terbarukan bagai nadi darah melalui jantung, melainkan beku, begitu saja, seperti benda padat dan bahkan jika dimenangkan dan tidak digodam kepalanya tentu saja sesuatu yang positif dan terlebih, dianggap sebagai sesuatu yang suci.

Oleh karena itu, pendidikan yang realistis dapat menghasilkan individu yang kuat, rajin, dan sehat, manusia yang tak tergoyahkan, juju; dan itu tentu saja suatu keuntungan yang tak ternilai harganya untuk seks adil kita; tetapi karakter abadi yang tetap hanya terdiri dari banjir yang tiada hentinya dari waktu penciptaan diri mereka dan yang karenanya kekal sebab mereka membentuk diri mereka sendiri setiap saat, karena mereka menetapkan perhatian sementara atas penampakan aktual mereka dari yang tidak pernah layu atau menua kesegaran dan aktivitas kreatif dari semangat kekal mereka bukanlah hasil dari pendidikan itu. Yang disebut karakter suara yang kaku bahkan dalam contoh yang terbaik. Jika ingin menjadi yang sempurna maka harus sekaligus menjadi yang menderita, mengigil dan bergetar dalam hasrat yang terberkati dari peremajaan dan kelahiran kembali yang terus menerus.

Dengan demikian jari-jari seluruh pendidikan berjalan bersama menjadi satu pusat yang disebut kepribadian. Pengetahuan, sebagai kesarjanaan dan mendalam atau seluas dan yang mungkin dapat dipahami, tentu saja hanya tetap menjadi kepunyaan dan kepemilikan saja selama ia tidak lenyap di titik ego yang tak tampak, dari sana untuk menjebol sekuat-kuatnya semaunya, sebagai supersensual dan roh yang tak terpahami. Maka pengetahuan mengalami transformasi ini, saat berhenti melekat hanya pada objek, saat ia telah menjadi pengetahuan itu sendiri atau, dalam hal ini tampak lebih jelas, saat itu telah menjadi pengetahuan mengenai gagasan, kesadaran diri akan pikiran. Kemudian ia berubah dengan sendirinya, sehingga bisa dikatkan, ke dalam dorongan, insting pikiran, ke alam bawah sadar pengetahuan yang setiap orang setidaknya dapat bayangkan jika ia membandingkannya dengan seberapa banyak dan pengalaman yang komprehensif dirinya sendiri menjadi terhaluskan ke perasaan sederhana yang orang sebut kebijaksanaan: segala sesuatu yang menyebarkan pengetahuan ditarik ke luar dari pengalaman-pengalaman itu terkonsentrasi menjadi pengetahuan langsung di mana ia menentukan tindakannya dalam seketika. Bagaimanapun, pengetahuan, musti menembus ke dalam imaterialitas ini sementara ia mengorbankan bagian fananya dan, sebagai yang abadi menjadi kehendak.

Kesulitan dalam pendidikan kita sampai saat ini sebagian besar terletak pada fakta bahwa pengetahuan tidak memurnikan dirinya menjadi kehendak, untuk diterapkan sendiri, untuk praktik murni. Kaum realis merasakan kebutuhan dan memenuhinya, sekalipun dengan cara yang paling menyedihkan, dengan menumbuhkan kurangnya-gagasan dan keterbelengguan “manusia praktis”. Sebagian besar mahasiswa adalah contoh yang nyata dari peristiwa yang menyedihakan ini. Dilatih dengan cara yang paling baik, mereka melakukan pelatihan; dibor, mereka kemudian mengebor. Bagaimanapun, setiap pendidikan, harus bersifar personal dan membendung dari pengetahuan, harus terus menerus menjaga esensi pengetahuan dalam pikiran, yakni, bahwa hal itu tidak boleh jadi kepemilikan, melainkan ego itu sendiri. Singkatnya, bukan pengetahuanlah yang musti diajarkan, melainkan, individu harus mengembangkan diri; pedagogi mustinya tidak melangkah lebih jauh menuju pembudayaan, melainkan menuju pengembangan manusia merdeka, karakter yang berdaulat; dan oleh karena itu, kehendak yang sampai saat ini ada dikekang kuat, mungkin tidak lagi menjadi lemah. Bukankah mereka memang melemahkan kehendak demi pengetahuan, lalu kenapa melemahkan kehendak demi kehendak? Bagaimanapun, kami tidak menghalangi pencarian manusia akan pengetahuan; kenapa kita musti mengintimidasi kehendak bebasnya? Jika kita memelihata yang pertama, demikian pula kita juga musti memelihara yang terakhir.

Kebandelan dan kekeraskepalaan seperti anak kecil memiliki hak sebanyak rasa ingin tahu anak-anak. Yang terakhir ini sedang dirangsang; jadi orang juga akan memunculkan kekuatan alami dari kehendak, oposisi. Jika anak tidak belajar kesadaran diri, maka dengan sederhana dia tidak mempelajari apa yang paling penting. Mereka tidak menekan harga dirinya atau kejujurannya. Kebebasan saya sendiri aman dari dari semangat liarnya. Jika keangkuhan berubah menjadi dendam, maka sang anak akan mendekati saya dengan kekerasan; saya tidak memiliki ketahanan akan hal ini sebab saya sebebeas anak itu. Namun haruskah saya membela diri terhadapnya dengan menggunakan benteng ototritas yang cocok? Tidak, saya menentangnya dengan kekuatan kebebasan saya sendiri; dengan demikian kedengkian anak akan putus dengan sendirinya. Siapa pun manusia sempurna tidak perlu menjadi otoritas. Dan jika kejujuran berubah menjadi keangkuhan, maka ini kehilangan keangkuhannya dalam kekuatan istri sejati yang lembut dalam keibuannya atau dalam keteguhan suaminya; dia sangat lemah sehingga harus meminta bantuan kepada ototritas dan dia melakukan kesalahan jika dia berpikir untuk memperbaiki ketidak sopanan sesegera setelah dia membuatnya takut. Untuk mempromosikan rasa takut dan hormat; itu adalah hal-hal yang masuk dalam periode rococo (baca: arsitektur abad 18) mati.

Lalu apa yang kita keluhkan saat kita meninjau kekurangan pendidikan sekolah kita saat ini? Mengenai fakta bahwa sekolah kita masih berpegang pada prinsip lama, yaitu pengetahuan tanpa kehendak. Prinsip baru ialah kehendak sebagai pengagungan pengetahuan. Oleh karena itu tidak ada “Konkordat antara sekolah dan kehidupan,” melainkan sekolah yang menjadi kehidupan dan di sana, sebagaimana yang di luar darinya, ketersingkapan-diri pribadi menjadi tuntutan. Pendidikan sekolah universal itu menjadi pendidikan untuk kebebasan, bukan untuk jadi tunduk: untuk jadi bebas, itulah hidup yang sejati. Wawasan mengenai ketidakbernyawaan humanisme harus mendorong realisme pada pengetahuan ini. Sementara itu, yang jadi sadar dalam pendidikan humanistik dari kurangnya kapasitas yang disebut praktik kehidupan (borjuis bukan pribadi) dan berbalik menentang pendidikan formal ke pendidikan material, dalam keyakinan bahwa dengan mengkomunikasikan materi yang berguna dalam pergaulan sosial orang tidak hanya melampaui formalisme, melainkan bahkan memenuhi kebutuhan puncak. Tapi bahkan pendidikan praktis masih jauh tertinggal di belakang yang pribadi dan bebas, dan memberikan yang pertama kemampuan untuk bergulat melalui kehidupan, dengan demikian yang terakhir memberikan kekuatan untuk mengeluarkan percikan kehidupan diri sendiri; jika yang lebih dulu dipersiapkan untuk menemukan diri sendiri di rumah di dunia terberi, jadi yang terakhir mengajarkan untuk berada di rumah dengan diri sendiri. Kita belum segalanya saat kita bergerak sebagai anggota masyarakat yang berguna; kita jauh lebih mampu untuk menyempurnakan ini hanya jika kita adalah manusia bebas, manusia yang menciptakan diri (menciptakan diri sendiri).

Sekarang jika gagasan dan dorongan zaman modern adalah kehendak bebas, maka pedagogi harus berada di depan sebagai permulaan dan tujuan dari pendidikan kepribadian bebas. Kaum humanis, seperti realis, masih membatasi diri mereka sendiri pada pengetahuan, dan terlebih, mereka meninjau pemikiran bebas dan membuat kita menjadi pemikir bebas dengan pembebasan teoritis. Bagaimanapun, melalui pendidikan kita hanya menjadi bebas dari dalam, (terlebih kebebasan, tidak akan lagi pernah menyerah); dari luar, dengan semua kebebasan nurani dan kebebasan berpikir, kita akan tetap manjadi budak dan tetap tunduk. Dan tentu saja, kebebasan eksternal itu untuk pengetahuan yang hanya merupakan inti dan sejati, kebebasan moral, itu untuk kehendak.

Oleh karena itu, dalam pendidikan universal ini, karena yang terendah dan tertinggi bertemu di dalamnya, kita menemukan kebenaran kesetaraan bagi semua untuk pertama kalinya, kesetaraan manusia merdeka: hanya kebebasan adalah kesetaraan.

Orang bisa, jika ingin nama, menempatkan para moralis di atas para humanis dan para realis karena tujuan akhir mereka adalah pendidikan moral. Yang jelas, kemudian, protes-protes segera datang yang lagi-lagi mereka hendak mendidik kita untuk setia pada moralitas hukum positif dan pada dasarnya, hal ini telah terjadi sampai saat ini. Karena hal itu sudah terjadi sampai saat ini, oleh karena itu aku tidak sependapat dengan itu, dan bahwa aku ingin menguatkan oposisi untuk bangkit dan (supaya) kehendak diri tidak hancur, melainkan untuk ditransformasi, hal itu dapat memperjelas perbedaannya dengan cukup. Supaya tetap bisa membedakan klaim yang dikemukakan di sini dari upaya terbaik para realis, misalnya, yang demikian, sebagaimana yang diungkapkan dalam program Diesterweg yang dipublikasi baru-baru ini pada halaman 36: “Dalam kurangnya pendidikan karakter terdapat kelemahan sekolah-sekolah kita, seperti kelemahan pendidikan kita secara umum. Kami tidak menanamkan keyakinan apa pun,” aku cenderung berkata, mulai sekarang kita membutuhkan pendidikan pribadi (bukan menekankan keyakinan). Jika orang hendak menyinggung kembali mereka yang mengikuti prinsip-prinsip ini, menurut pendapatku, maka orang bisa menyebutnya personalis.

Oleh karena itu, untuk sekali lagi kembali ke Heinsius, “keinginan kuat bangsa, agar sekolah berjalin lebih erat dengan kehidupan” hanya akan terpenuhi jika orang menemukan kehidupan sejati dalam kepribadian penuh, mandiri dan bebas, sebab siapa pun yang berusaha mencapai tujuan ini tidak akan melepaskan kebaikan humanisme atau realisme, melainkan meningkatkan keduanya jauh lebih tinggi dan memuliakannya. Sekalipun sudut pandang nasional yang diambil Heinsius masih belum bisa dipuji sebagai yang benar, karena hal itu hanya bersifat personal. Hanya manusia personal dan bebas adalah masyarakat yang baik (kaum realis), dan bahkan kurangnya budaya tertentu (kesarjanaan, artistik, dll), selera penghakiman (kaum humanis).

Jika kesimpulanku adalah untuk mengungkapkan dalam beberapa kata yang mana tujuan zaman kita adalah menuju ke depan, maka penurunan yang niscaya dari pembelajaran tak-sukarela dan meningkatnya jaminan-diri yang akan menyempurnakan dirinya sendiri di bawah sinar matahari pribadi bebas yang agung dapat diekspresikan sebagai berikut: pengetahuan musti mati dan bangkit kembali sebagai kehendak dan setiap hari menciptakan dirinya yang baru sebagai manusia bebas.

***

Diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia oleh: Syihabul Furqon


[1] Otto Friedrich Theodeor Heinsius (1770-1849), filolog, professor, dan terakhir direktur Couvent-Gris di Berlin, penulis sejumlah kamus dan gramar kenamaan, sejarah literatur jerman. Buku yang disinggung Stirner adalah Konkordat: zwischen Schule und Leben, oder Vermittelung des Humanismus und Realismus, aus nationalistische Standpunkt betrachtet, dipublikasikan oleh Schultze di Berlin pada 1842. Juga yang berguna yakni Zeitgemäße Pädagogik der Schule: historisch und kritisch aufgefaßt für das gesammte Schulpublikum, terbit di Berlin pada 1844.

[2] Wilhelm-Traugott Krug (1770-1842) flsuf liberal Jerman terkenal dan seorang pengarang, penerus Immanuel Kant menduduki jabatan di Königsberg pada 1805 (dalam bidang) logika dan metafisika, dan dari 1809 hingga 1834 (sebagai) professor filsafat di Leipzig. Karir akademik Krug ditangguhkan demi melawan napoleon pada 1813, dan merupakan rektor Tugendbund. Dia merupakan penulis lebih dari belasan karya, beberapa darinya dalam seri dua hingga lima volume.

[3] Geschichte des brandenburgisch-preussischen Staates. Ein Buch für Jedermann diterbitkan pada 1842. Penulisnya, A. Zimmermann, adalah sosok yang sulit difahami, dan secara virtual tak ada yang diketahui darinya bahkan sekarang. Pada masa tertentu kami terbingungkan dengan tak menentu dengan Wilhelm Zimmermann (1807-1878), penulis prolifik yang terkenal menulis sejarah, banyak bermunculan selama dekade-dekade 1840an dan 1850an.

[4] Bdk. Jer. rücksichtslosen, di sini digunakan dalam arti tertentu, sebagai kebalikan dari kontemplatif, bukan tak tahu adat atau nirpikir.

[5] Bdk. Jer. Industrieller. Dari konteksnya tidak ada bukti bahwa kritik Stirner itu diarahkan pada apa yang kita sebut sebagai industrialis atau para para manufaktur saat ini. Mungkin yang paling dekat yang bisa kita temui atas atas pikirannya di sini adalah istilah Albert Jay Nock, “ekonomisme”, sebagai deskrispi atas pengabdian hidup yang nyaris eksklusif atas produksi dan konsumsi kebaikan semata demi produksi dan konsumsi, alih-alih untuk kenyamanan diskriminatif mereka.

[6] Karl Ferdinand Becker (1775-1849), ahli tata bahasa Jerman terkemuka, murid dari logika retorika Jerman, pembaharu dalam bidang sintaks dan gaya bahasa. Gramatika Deutsche-nya terbit pada 1892, Organismus der deutschen Sprache-nya (dicetak) edisi keduanya pada 1841.

[7] Friedrich Wilhelm Josef von Schelling (1775-1854), tokoh sentral dalam filsafat Jerman, sekaligus juga filolog elementer.

[8] Johann Friedrich Herbart (1776–1841), filsuf Jerman kritikus para filsuf dan filsafat, pengikut Wolf dan Kant dan belakangan mengkritik Kant dan Hegel. Pada suatu waktu seorang profesor di Jena dan kemudian di Königsberg dan Göttingen, bukunya yang memuat sejumlah karya mengenai teori pedagogi dan pendidikan dikenal baik di Jerman.

[9] Karl Christian Friedrich Krause (1781–1832), penulis prolifik dalam bidang filsafat, dan terutama dalam cabang teori mengenai pembelajaran. Dia merupakan pengarang sekitar dua puluh lima dan banyak bagian-bagian kecil, yang dipublikasikan dengan numerta.

[10] Merujuk pada mahkamah agung lama Kerajaan Jerman kedua, yang pada masa Stirner, untuk tujuan praktis telah tak berfungsi lebih dari satu abad, namun keberadaan formalnya berlanjut melalui banyak cara cacat untuk memaksakan putusannya.

[11] Dari Faust karya Goethe, kutipan yang sedemikian rupa telah familiar bergenerasi-generasi bagi para pelajar Jerman.

[12] Friedrich Adolf Wilhelm Diesterweg (1790–1863), filolog Jerman mumpuni dan kritikus pendidikan, direktur di perguruan tinggi keguruan di Berlin pada 1832. Ia menjadwalakan serangan sengit atas kontrol pendidikan oleh Negara dan Gereja, dan sebagai penyokong program untuk pemusatan pendidikan untuk anak-anak yang telah secara luas ia ditunjuk sebagai pendorong dan pelanjut pembaharu pendidikan Swis, Johann Heinrich Pestalozzi (1746–1827). Diestwerg, editor dua jurnal pendidikan yang dianggap penting, dipaksa mundur dari jabatannya pada 1850 setelah serangan yang sengit. Sebagaimana dalam kasus Professor Krug, ia sangat dihormati di Prancis.

[13] Philistinism,

[14] Versuch einer vollständigen Thierseelenkunde oleh Peter Scheitlin dipublikasikan di Stuttgart dan Tübingen pada 1840.