m-i-mikhail-isaiah-israel-sebagai-bangsa-anarkis-i-2.png

“Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel, setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri.”

Hakim-Hakim 21:25


Jauh sebelum Kerajaan Israel dan Yehuda berdiri, Israel adalah bangsa anarkis. Menurut seorang sarjana Alkitab, Kenneth Kitchen, sejak zaman penaklukan Kanaan oleh Yosua sampai dengan pembentukan Kerajaan Israel dan Yehuda yang pertama (sekitar 1150–1025 SM), suku-suku Israel telah membentuk konfederasi longgar. Dalam konsepsi ini, tidak ada pemerintah yang terpusat. Kita dapat memperhatikan dalam Alkitab bahwa bangsa Israel hidup dalam komunitas kesukuan yang otonom dengan praktik ibadah yang lebih terdesentralisir. Sementara bukti arkeologis menunjukkan bahwa masyarakat Israel purba hidup dalam pusat-pusat seperti desa, tetapi dengan sumber daya yang lebih terbatas dan populasi yang kecil. Desa-desa memiliki populasi hingga 300 atau 400, yang hidup dari bertani dan menggembala, dan sebagian besar swasembada; pertukaran ekonomi adalah hal lazim (Miller, 2002; McNutt, 1999).

Sekalipun demikian, pada masa krisis, rakyat akan dipimpin oleh kepala suku secara ad hoc, yang dikenal sebagai “hakim” (shoftim). Kitab Hakim-Hakim dan Samuel menggambarkan para hakim secara berurutan, masing-masing dari suku Israel yang berbeda (Hakim-hakim 2:28), yang digambarkan sebagai yang dipilih oleh Allah untuk menyelamatkan orang-orang dari musuh-musuh mereka dan untuk menegakkan keadilan.

Keberadaan para hakim-hakim yang mula-mula telah ditetapkan sejak masa keluarnya umat Israel dari Mesir di bawah kepemimpinan Musa (Keluaran 18:13-27). Dijelaskan bahwa umat Israel “datang kepadaku untuk menanyakan petunjuk Allah. Apabila ada perkara di antara mereka, maka mereka datang kepadaku dan aku mengadili antara yang seorang dan yang lain; lagipula aku memberitahukan kepada mereka ketetapan-ketetapan dan keputusan-keputusan Allah.” Mertua Musa menasihatinya agar mengangkat hakim-hakim agar Musa tidak kelelahan karena bekerja berlebihan untuk penyelesaian perkara. Lebih lanjut, akhirnya diangkatlah pemimpin seribu orang, pemimpin seratus orang, pemimpin lima puluh orang dan pemimpin sepuluh orang. Mereka ini mengadili di antara bangsa itu sewaktu-waktu jika diperlukan. Perkara kecil diadili oleh mereka sendiri, sementara perkara yang sukar dihadapkan kepada Musa.

Cyrus H. Gordon dalam bukunya Greek and Hebrew Civilizations (1962) berpendapat bahwa mereka mungkin berasal dari para pemimpin turun temurun dari aristokrasi yang berkuasa sebagaimana dalam kisah-kisah Homeros. Tetapi argumen ini perlu kita ragukan, sebab setelah pembebasan dari Mesir tidak ada klan pangeran, dan keluarga yang dapat dipandang sebagai aristokratik dihancurkan atau dibinasakan. Mereka adalah “pemimpin-pemimpin” yang diutus Musa untuk mengintai Kanaan, dan menyebabkan segenap umat itu bersungut-sungut kepada Musa dengan menyampaikan kabar busuk tentang negeri itu, mati akibat tulah di hadapan Tuhan (Bilangan 14). Ini juga termasuk pemberontakan Korah, teman-temannya beserta keluarganya yang menikmati keuntungan dari pekerjaan mereka sebagai imam di Mesir. Imam-imam orang Mesir memiliki kekayaan dan pengaruh politik yang besar, inilah yang Korah inginkan bagi dirinya sendiri. Korah mungkin beranggapan bahwa Musa, Harun, dan Israel sama dengan semacam mesin politik, dan dia ingin menjadi bagian di dalamnya. Dia tidak mengerti bahwa keinginan utama Musa adalah melayani Allah, bukan menguasai orang lain. Demikianlah Korah, Datan dan Abiram, yang Musa sebut sebagai “fasik”, ditelan oleh bumi dan dimakan oleh api, beserta kedua ratus lima puluh orang dan segala harta mereka (Bilangan 16).

Kepemimpinan Musa kemudian diganti oleh Yosua, yang digambarkan sebagai pemimpin militer dan memiliki pengaruh rohani yang kuat. Sepanjang zaman Yosua orang Israel tetap setiap kepada Allah dan mereka diberikan berbagai kemenangan dalam penaklukan Kanaan. Umat Israel tetap hidup sebagai bangsa anarkis, dan ini termaktub dalam kitab Hakim-Hakim yang mencakup periode lebih dari 325 tahun, mencatat enam periode berturut-turut dari penindasan dan pembebasan, serta kisah dari hakim sebagai pembebas. Bangsa-bangsa yang menawan dan menindas mereka termasuk bangsa Aram, Moab, Mesopotamia, Filistin, Kanaan, Midian, dan Amon. Hanya ketika orang Israel berseru dan memohon ampun kepada Allah, maka Ia membangkitkan seorang penyelamat untuk membebaskan orang Israel.

Di dalam Alkitab kita menemukan bahwa otoritas mereka (hakim) diakui oleh kelompok-kelompok lokal atau suku di luar mereka sendiri. Para hakim ini berfungsi sebagai pemimpin militer di masa krisis ketika Israel harus maju berperang, pada masa sebelum monarki Israel didirikan. Suku Israel yang maju ke pertempuran melawan bangsa lain yang menindas mereka bukanlah prajurit, tetapi merupakan milisi atau warga sipil yang mempersenjatai dirinya sendiri. Tetapi pada masa damai, mereka menjadi imam di kemah suci (1 Samuel 2:28) dan juga menjadi hakim dalam artian modern atau menjadi mediator dalam penyelesaian sengketa, sebab tampak adanya kekecewaan terhadap hakim-hakim dari anak-anak Samuel yang “mengejar laba, menerima suap dan memutarbalikkan keadilan” (1 Samuel 8:3).

Posisi para hakim tampak lebih sebagai kepemimpinan yang tidak dipilih dan tidak diturunkan (non-hereditary) ketimbang sebagai seorang yang disahkan melalui sebuah ketetapan hukum (Hakim-hakim 12:7-15), mereka dipakai oleh Allah dan dipenuhi dengan Roh Kudus. Kita juga dapat memperhatikan bahwa seorang hakim juga dilatih dan dididik di kemah suci, seperti Samuel yang menjadi pelayan Tuhan di bawah pengawasan Eli untuk menjadi imam (I Samuel 3:1). Para anak-anak hakim juga memiliki peluang lebih besar untuk dapat diangkat menjadi hakim dan melanjutkan kepemimpinan ayah mereka, seperti anak-anak Samuel (I Samuel 8:1-3).

Dengan demikian, para hakim ini dapat dijabarkan sebagai 1) imam, mereka mendapatkan firman dari Tuhan atau dimintai pendapatnya; 2) hakim, mereka mengadili perkara yang sukar yang tidak dapat diselesaikan oleh umat Israel sendiri; dan 3) pemimpin militer, dimana koordinasi dan kesatuan kekuatan bersenjata sangat diperlukan dalam situasi mendesak. Tetapi mereka bukanlah penguasa dan mereka tidak menjadi raja atas bangsa Israel. Tidak mereka memerintah dengan semena-mena, tidak menarik pajak, tidak membangun istananya sendiri serta menimbun kekayaan didalamnya, dan tidak membangun tentaranya sendiri untuk menindas orang-orang. Jika kita dapat membandingkan para hakim ini dengan para pemimpin milisi anarkis, maka kita dapat menyamakannya dengan Nestor Makhno, Buenaventura Durruti dan Subcommandante Marcos. Keperluannya murni taktik perperangan, moderator perselisihan serta mediator antara Tuhan dengan umatnya.

Ini tentu membantah para Kristen pendukung negara yang menyatakan bahwa pemerintahan manusia diperlukan dalam meluruskan jalan moral warga negaranya. Para penafsir Alkitab kerap menyatakan bahwa tanpa adanya kesatuan dalam pemerintahan atau ibadah, penyembahan berhala dan agama buatan manusia membawa kepada ditinggalkannya sama sama sekali iman kepada Allah. Pandangan para penafsir ini berarti mengasumsikan bahwa penguasa dari manusia sangat diperlukan sebagai perantara untuk mengatur ketaatan terhadap penguasa yang sesungguhnya. Para penafsir juga kerap memandang bahwa justru tanpa adanya penguasa dan pemerintahan terpusat, keadaan bangsa Israel selalu kacau balau. Mereka berpandangan bahwa kehancuran moral Israel berasal dari kebebasan yang sangat besar yang dipunyai setiap suku dan hukum yang tidak berfungsi.

Tetapi permasalahannya bukanlah ketiadaan kekuasaan manusia, tetapi justru semakin melemahnya kekuasaan Tuhan Allah atau hilangnya kepatuhan manusia. Israel melakukan apa yang jahat di mata Tuhan! Secara harfiah, inilah yang membangkitkan murka Tuhan terhadap orang Israel dan “menyerahkan mereka ke dalam tangan perampok dan menjual mereka kepada musuh di sekeliling mereka” (Hakim-Hakim 2: 6-23). Kitab Hakim-hakim telah menjadi petunjuk bagaimana bangsa Israel memulai serangkaian perulangan dengan berbuat dosa, menyembah berhala, dihukum, berseru meminta pertolongan, diselamatkan oleh seorang hakim yang diutus oleh Allah, menaati Allah untuk sementara waktu, kemudian jatuh lagi dalam penyembahan berhala, dan diutus kembali seorang hakim, begitu seterusnya. Bangsa Israel telah menjadi contoh mutlak bagaimana ketiadaan pemerintahan dan penyimpangan perintah Tuhan sama sekali tidak berhubungan satu sama lain. Ini murni masalah bangsa itu sendiri, terlepas dari siapapun yang memimpin atau menguasai mereka.

Berbeda dengan nasionalisme dan tokoh pembebasan bangsa-bangsa modern, tidak ada satupun dari 12 pembebas itu yang menjadi raja di antara mereka setelah mereka ditunjuk Tuhan Allah membebaskan bangsa Israel. Sebagai contoh, ketika orang Israel meminta Gideon untuk memerintah Israel karena telah membebaskan mereka dari penindasan orang Midian, ia justru berkata: “Aku tidak akan memerintah kamu dan juga anakku tidak akan memerintah kamu tetapi Tuhan yang memerintah kamu” (Hakim-Hakim 8:23).


m-i-mikhail-isaiah-israel-sebagai-bangsa-anarkis-i-3.jpg
- Gideon dan Tiga Ribu Orangnya.

Upaya manusia yang haus akan kekuasaan dan hendak menjadi raja telah digambarkan dengan jelas melalui kisah Abimelekh, sebagai orang pertama yang menobatkan dirinya sendiri sebagai raja Israel dalam kitab yang sama. Kehausannya akan kekuasaan membawa dia untuk melenyapkan bukan hanya 69 dari 70 saudara tirinya, tetapi juga seluruh kota yang tidak mau tunduk kepadanya. Hanya kematian yang bisa menghentikan dorongan haus darahnya untuk menaklukkan (Hakim-Hakim 9:1-57).

Raja pertama Kerajaan Israel, Saul, tidaklah seorang yang mengangkat dirinya sendiri sebagai raja atau diangkat oleh orang Israel sendiri, melainkan diangkat dengan adanya restu dari Tuhan Allah, yang maha pencemburu. Pada masa kepemimpinan Samuel sebagai hakim, tidak ada satupun anak-anaknya yang cocok untuk memimpin Israel. Selain itu, kedua belas suku Israel terus bermasalah dalam bekerja bersama-sama karena masing-masing suku memiliki pemimpin dan wilayahnya sendiri. Mereka berharap bahwa seorang raja bisa menyatukan suku-suku itu menjadi satu bangsa dan satu pasukan. Mereka menginginkan “seorang raja atas kami untuk memerintah kami, seperti pada segala bangsa-bangsa lain” (I Samuel 8:4).

Pada dasarnya, permohonan ini adalah penggenapan atas Ulangan 17:14-20. Dijelaskan bahwa ketika orang Israel telah masuk ke negeri yang diberikan oleh Tuhan, maka mereka menghendaki raja atas diri mereka, “seperti segala bangsa yang disekelilingku”. Pengangkatan raja ini disertai dengan beberapa syarat.

Pertama, raja yang diangkat haruslah yang dipilih Tuhan, dan itu harus dari sesama umat Israel sendiri, dan bukan seorang yang asing. Ini tentu saja dimaksudkan untuk mencegah umat Israel menjadi semakin mirip terhadap bangsa lain di sekitar mereka. Harapannya, raja ini bisa menjadi panutan, sebab itu hal yang terpenting, adalah untuk menaati firman Tuhan, dengan membuat salinan hukum untuk dirinya sendiri, membawanya sepanjang waktu, membacanya setiap hari dan menaatinya sepenuhnya, “supaya jangan ia tinggi hati terhadap saudara-saudaranya,” dan “jangan menyimpang dari perintah itu ke kanan atau ke kiri.”

Kedua, janganlah memelihara banyak kuda, supaya jangan raja itu kemudian “mengembalikan bangsa ini ke Mesir untuk mendapatkan banyak kuda, sebab Tuhan telah berfirman kepadamu: Janganlah sekali-kali kamu kembali melalui jalan ini lagi.” (Ulangan 17:16). Ini adalah perumpamaan atas peringatan untuk tidak melakukan militerisasi berlebihan, sebab kuda dipergunakan dan menjadi simbol untuk perang, kegagahan dan penaklukan. Ini adalah peringatan bahwa Tuhan akan menghukum umatnya jika sang raja kelak menginginkan kejayaan dan kemegahan duniawi, apalagi melalui cara-cara kekerasan dan peperangan jika itu sama sekali tidak diperlukan. Hal ini tampak dari usaha Allah dalam menuntun umat Israel memutar melintasi padang gurun menuju ke Laut Teberau, yang sebenarnya merupakan rute yang lebih panjang dan tidak langsung untuk menghindari pertempuran dengan orang Filistin (Keluaran 13:17-18). Umat Israel bahkan begitu ketakutan atas kemungkinan perang dalam perjalanan menuju tanah perjanjian dan merengek mengapa “Tuhan membawa kami ke negeri ini, supaya kami tewas oleh pedang, dan isteri serta anak-anak kami menjadi tawanan? Bukankah lebih baik kami pulang ke Mesir?” (Bilangan 14:3).

Ketiga, untuk tidak terpikat terhadap kenikmatan duniawi, yaitu dengan jangan mempunyai banyak istri dan jangan mengumpulkan emas dan perak terlalu banyak. Kita tidak perlu membahas ini lebih lanjut, sebab kekayaan dan kenikmatan duniawi telah dikutuk banyak sekali sepanjang Alkitab.

Permintaan umat Israel untuk menghendaki raja ini membuat Samuel kesal dan berdoa. Tuhan berfirman kepada Samuel: “Dengarkanlah perkataan bangsa itu dalam segala hal yang dikatakan mereka kepadamu, sebab bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah yang mereka tolak, supaya jangan Aku menjadi raja atas mereka… hanya peringatkan dengan sungguh-sungguh dan beritahukanlah kepada mereka apa yang menjadi hak raja yang akan memerintah mereka” (I Samuel 8:1-9).

Apa yang menjadi hak seorang raja? Tuhan memperingatkan bahwa seorang raja manusia akan mengarah pada militerisme, wajib militer dan perpajakan, dan bahwa permohonan mereka untuk belas kasihan dari tuntutan raja tidak boleh dibantah. Samuel menyampaikan kepada orang Israel, bahwa tiap anak laki-laki akan diambil dan dipekerjakan pada kereta dan kuda raja, dan mereka akan berlari didepannya; mereka akan membajak ladangnya dan penuaiannya; anak-anak perempuan akan diambil raja sebagai juru campur rempah dan juru masak; tiap kebun akan diambil hasil panen terbaiknya dan diserahkan pada raja, juga ternak-ternak; tiap orang akan menjadi budak raja. Samuel menyampaikan apa yang telah menjadi peraturan dalam mengangkat raja sebagaimana yang tertulis dalam kitab Ulangan. Terakhir, Samuel juga memperingatkan: “Pada waktu itu kamu akan berteriak karena rajamu yang kamu pilih itu, tetapi Tuhan tidak akan menjawab kamu pada waktu itu” (I Samuel 8:10-22).

Bangsa Israel menolak mendengarkan perkataan Samuel dan tetap menginginkan seorang raja. Allah dan Samuel menerima (dan menghormati) keputusan bangsa Israel (yang buruk) sebagai fakta yang telah dicapai dan melanjutkan untuk hidup dengan memenuhi permintaan itu daripada mencoba untuk menolak permintaan mereka. Mulai sejak itu, Israel tidak lagi menjadi bangsa anarkis, sebagai “Kerajaan Allah” dengan Allah sebagai satu-satunya Raja, tetapi yang telah memiliki penguasa manusia. Tuhan menyatakan bahwa umatnya telah menolaknya sebagai raja mereka.

Saul yang elok rupanya dan tinggi tubuhnya, diurapi menjadi raja. Mereka berpikir bahwa suatu sistem pemerintahan yang baru akan mendatangkan perubahan bagi bangsa itu. Tetapi karena masalah utama mereka adalah ketidaktaatan terhadap Allah, masalah-masalah mereka yang lain hanya akan berlanjut di bawah pemerintahan yang baru. Saul secara sengaja tidak menaati Allah dan menjadi seorang raja yang jahat. Saul mati digantikan oleh Daud, yang dikisahkan sebagai seorang pemimpin yang saleh, berani dan murah hati karena memang ia adalah “orang yang berkenan di hati Allah,” tetapi tepat berbuat dosa (I Samuel 13:14). Raja-raja Israel tidak mengindahkan peringatan dari kitab Ulangan, dan perilaku mereka mengakibatkan kejatuhan mereka. Salomo mengalami segala sesuatu lancar baginya, namun ketika ia menjadi kaya, membangun tentara yang kuat, dan menikahi banyak istri, hatinya berbalik dari Allah (I Raja-raja 11). Salomo tampaknya yang memperkenalkan kuda pada Israel; dan kuda serta kereta yang mereka gunakan terbukti secara simbolik mewakili kekuatan dan kejayaan Kerajaan Utara (lihat 2 Raja-raja 2:12 dan 2 Raja-raja 13:14).

m-i-mikhail-isaiah-israel-sebagai-bangsa-anarkis-i-4.jpg

- Penghakiman Salomo.

Setiap kepemimpinan pada tiap masa selalu memiliki permasalahannya sendiri, dan ini tidak semata-mata terletak hanya pada tabiat seorang penguasa, tetapi juga kepatuhan kepada Tuhan Allah. Hikmat, kekuasaan, dan prestasi-prestasi para raja bangsa Israel dan Yehuda membuat bangsa Israel dan Allah dihormati. Namun kecenderungan mereka untuk meninggalkan Allah dan menyembah ilah-ilah lain membuat mereka mengubah agama dan pemerintahan untuk memenuhi keinginan-keinginan pribadi mereka. Pengabaian terhadap hukum Allah ini membawa kepada kejatuhan mereka. Tidak peduli siapapun yang menjadi penguasa atas kita, kita tidak bisa melakukannya dengan baik kalau kita mengabaikan petunjuk-petunjuk Allah.

Sama seperti saat ini, orang-orang selalu berpikir bahwa ada yang bermasalah dengan kepemimpinan seorang raja, bahwa ada peraturan yang tidak ditegakkan, atau ada yang salah dengan pelaksanaan hukum dan keadilan. Padahal yang mereka butuhkan adalah iman yang satu, bukan peraturan yang seragam atau seorang raja atau keberadaan pemerintah yang sah. Seandainya bangsa Israel tidak perlu tunduk kepada penguasa manusia dan hanya dengan tunduk kepada pimpinan Allah serta mematuhi perintahnya, maka mereka akan maju pesat lebih dari yang mereka harapkan (lihat berkat Tuhan dalam Ulangan 28:1-14).

Setelah mengangkat Saul, Samuel mengundurkan diri sebagai imam dan hakim, sebab ia telah melayani sedari muda dan dirinya sudah beruban. Ia bertanya pada bangsa Israel apakah ia pernah melakukan suatu kesalahan, dan bangsa Israel menjawab: “Engkau tidak memeras kami dan engkau tidak memperlakukan kami dengan kekerasan dan engkau tidak menerima apa-apa dari tangan siapa pun.” Samuel bukanlah raja, dan karena ia adalah seorang imam yang mematuhi Tuhan, maka itu ia tidak melakukan kesalahan-kesalahan yang dapat dilakukan seorang raja untuk memeras, menindas dengan keras dan merampas. Sebagai penutup, ia mengingatkan bangsa Israel agar tetap setia pada Allah, dan tidak melanggar perintahnya. Ia mengingatkan seluruh penyelamatan, pengampunan dan penghakiman Allah atas bangsa, juga “kamu kamu melihat, bahwa Nahas, raja bani Amon, mendatangi kamu, maka kamu berkata kepadaku: Tidak, seorang raja harus memerintah kami, padahal Tuhan, Allahmu, adalah rajamu” dan jika mereka “tidak mendengarkan firman Tuhan dan menentang titah Tuhan, maka tangan Tuhan akan melawan kamu dan melawan rajamu.” Ia mengatakan bahwa telah “besar kejahatan yang telah kamu lakukan itu di mata Tuhan dengan meminta raja bagimu” dan bangsa Israel memohon supaya “jangan kami mati, sebab dengan meminta raja bagi kami, kami menambah dosa kami dengan kejahatan ini.” Samuel menenangkan bangsa Israel, asalkan umatnya tetap beribadah kepada Tuhan, tetapi “jika kamu terus berbuat jahat, maka kamu akan dilenyapkan, baik kamu maupun rajamu itu.” (I Samuel 12).

Yang terpenting dengan demikian bukanlah kekuasaan manusia, tetapi kekuasaan Allah: “Tuhan, Allahmu, harus kamu ikuti, kamu harus takut akan Dia, kamu harus berpegang pada perintah-Nya, suara-Nya harus kamu dengarkan, kepada-Nya harus kamu berbakti dan berpaut” (Ulangan 13:4). Hal ini adalah yang utama dan yang terpenting. Seluruh kitab-kitab lain yang telah ada sebelum dan sesudah Hakim-Hakim memberikan penekanan dan kesimpulan yang sama. Sebab kekuasaan Tuhan tidaklah menindas, “Tuhan adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia” (Mazmur 103:8). Tetapi sebaliknya dengan kekuasaan manusia: “Lagi aku melihat segala penindasan yang terjadi di bawah matahari, dan lihatlah, air mata orang-orang yang ditindas dan tak ada yang menghibur mereka, karena di fihak orang-orang yang menindas ada kekuasaan” (Pengkhotbah 4:1).


Referensi

  • Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan Seri: Life Application Study Bible (2014). Lembaga Alkitab Indonesia.

  • Gordon, Cyrus H. (1962) The Common Background of Greek and Hebrew Civilizations. Norton Library, New York (sebelumnya terbit dengan judul Before the Bible, Harper & Row, New York).

  • Kitchen, Kenneth A. (2003). On the Reliability of the Old Testament. Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company.

  • McNutt, Paula M. (1999). Reconstructing the Society of Ancient Israel. Westminster John Knox. ISBN 978-0-664-22265-9.

  • Miller, Robert D. (2012) [Pertama terbit 2005]. Chieftains of the Highland Clans.