“Begitu konyolnya, gerombolan manusia berteriak dalam kalimat; “perjuangkan demokrasi atas hak asasi manusia”, tapi apa yang sebenarnya mereka perjuangkan? Tidak lebih dari kalimat kosong. Ya, inilah negaraku, sebuah bangsa yang telah mendidik masyarakatnya menjadi kaum borjuis dengan rangkaian kalimat santunnya yang apik, namun membangun penjara yang kokoh bagi manusia lain. Singkatnya, sebuah bangsa dengan manusia yang mengkapitalkan manusia lain. Bahkan mereka lebih berisik dari orkestra jangkrik di tengah sawah, dan merusak bumi ini. Maka, enyahlah!”

Fasisme, istilah dari ototritas nasionalisme secara radikal dalam kediktatoran sebagai kontrol industri pada abad ke-20, di Italia, meyebar ke seluruh wilayah Eropa. Fasisme berdiri menjadi penentang liberalisme, anarkisme, dan Marxisme. Para pengikut fasisme adalah mereka yang berada di wilayah kanan, juga kiri, yang radikal. Perang Dunia I menjadi awal revolusi masyarakat, negara dan teknologi. Munculnya perang hingga mobilisasi massa menjadi titik awal bangunan dari perbedaan antara warga sipil dengan militer, sekaligus campur tangan kuasa dalam kehidupan warga negara. Kaum fasis yakin bahwa demokrasi liberal adalah kuno untuk mempersiapkan sebuah bangsa dalam konflik bersenjata, hingga ekonomi. Pada hakikatnya, fasisme adalah reproduksi imperialisme dalam membangun nasionalisme dalam membuat kebijakan ekonomi.

Bagaimana pun, fasisme akan tetap bermunculan selama gerakan imperialisme dengan praktik militerismenya masih menguasai sebuah bangsa atau negara. Hanya saja, istilah fasis sendiri masih sangat jauh disadari, bahwa kosa kata ini merupakan sebuah teror literasi terhadap pemikiran manusia atau tepatnya tirani bagi manusia dalam berpikir secara kritis. Sehingga tanpa disadari, kata fasis yang jelas berakar ke dalam nasionalisme akan berdampak kepada bentuk-bentuk individu untuk menjadi tirani bagi manusia lain, dan membangun sifat rasisme dalam tiap manusia. George Orwell mengatakan; “fasisme” merupakan sinonim dari kata “bully” dalam istilah bahasa Inggris atau yang berarti sebuah gertakan. Namun, saat Perang Dunia II, tahun 1945 berakhir, manusia dari beberapa partai menggunakan istilah tersebut sebagai sikap perang kepada lawan politik mereka. Hingga kemunculan istilah neo-fasis atau post-fasis yang merupakan akar dari gerakan fasis abad ke-20.

Rasisme sendiri merupakan satu gerakan penelitian tentang sejarah manusia purba, sebagai ras biologi dalam pencarian muasal dari spesies manusia. Hingga akhirnya rasisme ini benar-benar muncul ke permukaan masyarakat Eropa saat genosida Herero, dan Namaqua, di masa kolonial. Sebuah pembunuhan secara sistematik merupakan puncak di era modern selama rezim Nazi yang dilakukan oleh negara (The Holocaust). Hanya saja, jika kita mau membaca genocida yang menjadi wujud praktik dari rasisme, pembunuhan sistematis tersebut bersifat penguasaan atas wilayah. Maka, perang harus diadakan agar kuasa dapat tegak berdiri di wilayah kekuasainya.

Namun rasisme menjadi ilmiah sebagai penelitian biologi ras dalam keyakinan pseudoscientific sebagai satu pembenaran akan superioritas dengan mengatasnamakan manusia menjadi ras historis untuk mendapatkan komunitas ilmiah (antropologi fisik). Superioritas ini benar-benar dimanfaatkan kekuasaan dalam periode tahun 1600-an, dan hingga berakhirnya Perang Dunia I. Meski telah mendapatkan kritik karena dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang telah usang, namun tetap dimanfaatkan sebagai pemahaman akan dunia dalam membangun kepercayaan hirarki. Sedangkan, pada Perang Dunia II, teori rasisme ilmiah ditentang dalam gerakan anti rasis, di tahun 1950.

Para pemikir klasik, hingga modern, seperti Benjamin Isaac dalam tulisannya “The Invention of Racism in Classical Antiquity”, bahwa Roman kuno menjadi akar dari terori rasisme ilmiah. Di mana manusia berkulit hitam merupakan pengecut, dan sekaligus pejuang yang berani. Voltaire (1694–1778) menyebutnya sebagai negro. Namun, Hindu, Cina, dan Muslim telah menyebutkan bahwa ras kaum buangan atau barbar adalah ras bangsa Eropa. Namun pemikiran-pemikiran ini terus bersambut hingga masuknya ilmu pengetahuan modern. Sedangkan menurut pendapat Johann Blumenbach (1752–1840), sejak peradaban di mulai per manusia purba, ada lima ras dalam spesies manusia: Kaukasia, Mongolia, Etiopia, Amerika, dan Melayu, dan pembeda warna kulitnya akibat dari kondisi iklim, serta pola makan. Bagaimana pun, bagi saya, seluruh kompleksitas para pemikir ilmiah tetap melupakan satu hal, bahwa perbedaan ras ini tetaplah wujud spesies manusia yang terlahir di bumi yang sama, dan bersama-sama mendiaminya sebagai kehidupan atas kelahiran dan kematian manusia.

Lantas, mengapa bangsa Indonesia masih menerapkan pemikiran-pemikiran ilmu pengetahuan modern? Di kekinian, tepatnya tahun 2018 jelas tidak berpijak di dalam ilmu pengetahuan, tapi ilmu pengetahuan digital yang merupakan visual dari ilmu pengetahuan alam, di mana energi bumi (nuklir) menjadi pijakan baru dalam peradaban manusia sebagai bentuk teknik kekuasaan dari imperialisme militerisme, di mana dampaknya tentu kepada manusia, secara individu, dan sosial.

Baru-baru ini, aku membaca sebuah esai dari Simon Springer, dalam tulisan yang berjudul “Fuck Neoliberalism”, dia menyebutkan; “Pada akhirnya, neoliberalisme adalah gagasan yang sangat kotor, yang datang dengan serangkaian konsekuensi vulgar, dan asumsi kasar.” Bisa aku simpulkan, paham neoliberalisme ini merupakan penggabungan antara fasisme dan rasisme itu sendiri.

Perang kekuasaan ini menjadi benang merah rentetan dari pemahaman liberalisme klasik yang telah berubah dari tujuan awalan untuk memerdekakan manusia, dan menjadi pseudoscience dalam sistem pendidikan global, bahkan sistem pendidikan di Indonesia. Seperti halnya Michel Foucault dalam “Discipline and Punish: The Birth of the Prison”, bahwa untuk menguasai manusia secara sistematis melalui mekanisme sekolah, rumah sakit, dan barak militer yang seakan-akan menjadi satu-satunya keamanan wilayah bagi manusia. Namun pada dasarnya merupakan pengembangan dari praktek sistem imperialisme dengan memanfaatkan liberalisme klasik hingga menjadi neoliberalisme atau aku mengistilahkannya pseudoscience liberalisme.

Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki akar permasalahan yang berbeda, karena akar literasi di negara ini belum sepenuhnya tersentuh antara sastra Melayu dengan sastra Jawa, hingga masuknya Indonesia modern dengan sastra Bahasa Indonesia. Hal ini menjadi kunci kompleksitas sistem imperialisme yang belum tuntas di Indonesia. Kebebasan manusia dalam memerdekakan pikiran, hingga hidupnya haruslah berangkat dari pengalaman individu, bukan dari pemikir-pemikir kritis yang jauh dari jaman kekinian, serta jauh dari kehidupan manusia di kesehariannya. Untuk itu, aku menulis teks ini sebagai pertanyaan bagi kaum pemikir borjuis; apakah akar rasisme, fasisme, hingga disiplin tubuh di Indonesia berakar dari sejarah panjang bangsa Eropa atau sejarah negeri ini sendiri? Max Stirner dalam “The False Principle of Our Education”, menulis;

“pengetahuan harus mati dan bangkit kembali, dan menciptakan dirinya sendiri setiap hari sebagai orang yang bebas.”