Gagasan anarkis adalah tentang masyarakat merdeka tanpa hierarki sosial, namun mengapa anarkis kerap diidentikkan dengan molotov atau kekerasan?

Stigma yang menempel pada kata “anarkis” ini tidak muncul begitu saja. Dalam sejarah gerakan anarkis, ada sebuah istilah yang sempat populer dipakai untuk menyebut taktik yang menggunakan kekerasan, yakni ‘propaganda dengan perbuatan’. Bagi pengusung taktik ini, ketimbang menggambar molotov di dalam poster propaganda, lebih efektif jika waktu menggambar ini digunakan untuk melempar molotov betulan.

Propaganda dengan perbuatan (propaganda of the deed, dari bahasa Prancis propagande par le fait) adalah aksi politik khusus. Istilah ini diasosiasikan dengan tindak-tindak kekerasan yang dilakukan oleh pendukung anarkisme insureksionis di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Walaupun kaum ini juga melakukan banyak praktik non-kekerasan, pada masa itu marak sekali pemboman dan pembunuhan yang ditujukan pada kelas penguasa. Perbuatan ini dimaksudkan untuk menyulut “semangat pemberontakan” masyarakat dengan menunjukkan bahwa negara tidak mahakuasa dan menawarkan harapan kepada kaum tertindas. Perbuatan ini juga dilakukan untuk memperluas dukungan bagi gerakan anarkis seiring dengan semakin represifnya negara dalam meresponnya.

Pada tahun 1881, Kongres Anarkis Internasional London menyetujui dan menyerukan penggunaan taktik tersebut. Namun pada Kongres Anarkis Internasional tahun 1907, penggunaan taktik ini dievaluasi karena semakin minimnya dukungan masyarakat terhadap taktik ini dan di sisi lain ada kemunculan gerakan anarkis dalam serikat buruh sehingga diperlukan taktik lain.

Menariknya, awal mula istilah propaganda of the deed sebenarnya tidak spesifik berbicara tentang kekerasan. Dalam suratnya pada tahun 1870, Mikhail Bakunin menulis bahwa

“kita harus menyebarkan prinsip-prinsip kita, tidak dengan kata-kata namun dengan tindakan. Karena tindakan adalah bentuk propaganda yang paling merakyat, paling kuat, dan paling menarik. [1]

Namun beberapa anarkis, seperti Johann Most, memang menganjurkan tindak kekerasan terhadap hal-hal yang kontra revolusioner. Ia menyatakan bahwa “kami tidak hanya menganjurkan tindakan saja, tetapi juga tindakan sebagai alat propaganda”. [2] Maksud Most bukanlah melakukan pembunuhan masal melainkan pembunuhan terencana yang menyasar para perwakilan kapitalisme dan pemerintahan di saat tindakan semacam itu dapat mengambil simpati masyarakat, seperti selama periode penindasan pemerintah atau ketika sedang ada konflik perburuhan. Pada tahun 1885, Most menerbitkan The Science of Revolutionary Warfare, sebuah buku manual teknis untuk memperoleh dan mengoperasikan bahan peledak berdasarkan pengetahuan ia dapatkan selama bekerja di sebuah pabrik bahan peledak di New Jersey.

Most memberi pengaruh awal pada anarkis Amerika, Emma Goldman dan Alexander Berkman. Pada tahun 1892, setelah mendengar beberapa buruh pabrik terbunuh waktu sedang melakukan pemogokan, Alexander Berkman mencoba melakukan ‘propaganda dengan perbuatan’ dengan menembak bos pabrik bernama Henry Clay Frick. [3]

Beverly Gage, seorang profesor sejarah Amerika di Universitas Yale menjelaskan maksud konsep ini menurut kaum non-anarkis dan menurut kaum anarkis:

“Bagi orang di luar gerakan anarkis, topik pemboman dan pembunuhan yang tiba-tiba muncul di lingkar revolusioner akhir tahun 1870-an terdengar seperti seruan untuk melakukan kekerasan tanpa pandang bulu. Sebaliknya, bagi Most dan bagi orang-orang yang berada dalam gerakan anarkis, gagasan propaganda dengan perbuatan atau attentat (menyerang) memiliki sebuah logika khusus. Dari sejumlah landasan berdirinya anarkisme, ada gagasan bahwa masyarakat kapitalis adalah tempat terjadinya kekerasan secara terus menerus: setiap hukum, setiap gereja, setiap pemberian upah, dilandaskan pada pemaksaan. Dalam dunia semacam ini, berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa sementara jutaan orang lain menderita pun berarti sedang melakukan tindak kekerasan. Masalahnya bukanlah apakah kekerasan itu sendiri dapat dibenarkan atau tidak, namun lebih tepatnya adalah bagaimana kekerasan dapat secara maksimal diefektifkan untuk, meminjam kalimat Most, memusnahkan ‘monster penguasa properti’ yang ‘membuat umat manusia sengsara, yang merampas dengan kejam dan rakus atas nama ‘kemajuan peradaban’”. [4]

Pada tahun 1880-an, istilah ‘propaganda dengan perbuatan’ mulai digunakan baik di dalam maupun di luar gerakan anarkis untuk merujuk pada pemboman dan pembunuhan raja atau tiran. Aksi ini biasanya dilakukan individu tanpa melibatkan banyak orang (bersifat individual). Pada 1881, ‘propaganda dengan perbuatan’ diadopsi sebagai strategi resmi oleh Kongres Anarkis London.

Pada tahun 1886, anarkis Prancis bernama Clément Duval mencuri uang sebesar 15.000 franc dari rumah seorang sosialita Paris, lalu ia pun secara tidak sengaja membakar rumah tersebut. Ia tertangkap dua minggu kemudian dan ketika diseret dari pengadilan ia berteriak “Hidup Anarki!”. Duval mendapat vonis hukuman mati, namun di kemudian hari hukuman Duval diubah menjadi kerja paksa di Devil’s Island di daerah jajahan Guyana Prancis. Dalam surat kabar anarkis Révolte, Duval menuliskan pernyataannya yang terkenal, “Pencurian hanya terjadi karena ada eksploitasi manusia oleh manusia lain… ketika Masyarakat menolak hak Anda untuk hidup, Anda harus mengambilnya… polisi menangkap saya atas nama Hukum, saya menghantam mereka atas nama Kebebasan”.

Sejak tahun 1887, beberapa tokoh penting dalam gerakan anarkis mulai menjauhkan diri dari tindak kekerasan individual. Pada tahun itu, Peter Kropotkin menulis dalam Le Révolté bahwa “sebuah struktur yang dibangun di atas sejarah berabad-abad tidak dapat dihancurkan dengan beberapa kilo dinamit”. Anarkis dari berbagai aliran pun menganjurkan ditinggalkannya taktik semacam ini dan mulai memperhitungkan aksi revolusioner kolektif, misalnya melalui gerakan serikat buruh. Pada tahun 1895, seorang anarko-sindikalis bernama Fernand Pelloutier berpendapat bahwa kaum anarkis perlu kembali melibatkan diri di dalam gerakan buruh. Argumennya ini didasarkan pada keyakinan bahwa anarkisme dapat berjalan dengan sangat baik tanpa “pembawa dinamit (yang beraksi) seorang diri”. [5]

Taktik ini akhirnya ditinggalkan karena meningkatnya represi negara (termasuk disahkannya undang-undang yang melarang kebebasan pers pada tahun 1894 di Prancis) akibat terjadinya beberapa pemboman dan pembunuhan. Kendatipun demikian, mesti diingat bahwa represi negara jugalah yang pada awalnya berperan dalam melahirkan aksi individu yang terisolasi dari gerakan massa ini. Gerakan sosialis Prancis dihancurkan negara hingga terpecah-pecah menjadi banyak kelompok, lalu terjadi penindasan Komune Paris 1871, di mana ribuan communard (anggota Komune Paris) dieksekusi mati dan diasingkan. Pemberangusan gerakan massa seperti ini memunculkan ekspresi dan tindakan politik yang individualis.

Sejarawan anarkis, Max Nettlau, memberikan konsep propaganda yang lebih kompleks:

“Setiap orang yang berbeda-beda cenderung terbuka terhadap jenis argumen yang berbeda-beda pula, jadi propaganda tidak akan pernah cukup beragam jika kita ingin menyentuh semua orang. Kita ingin ia meresap dan menembus semua ekspresi kehidupan, sosial dan politik, domestik dan artistik, edukasi dan rekreasi. Harus ada propaganda dengan kata-kata dan tindakan, dalam platform dan pers, di sudut jalan, di bengkel, di lingkungan rumah tangga, melalui aksi pemberontakan, ataupun berupa contoh kehidupan kita sendiri sebagai manusia bebas. Mereka yang setuju satu sama lain dapat bekerja sama. Jika tidak, mereka sebaiknya memilih untuk bekerja dalam jalurnya masing-masing dan mencoba meyakinkan satu sama lain tentang keunggulan metodenya sendiri." [6]

Anarkis berikutnya yang menganjurkan “propaganda dengan perbuatan” termasuk anarkis Jerman, Gustav Landauer, dan anarkis Italia, Errico Malatesta serta Luigi Galleani. Bagi Gustav Landauer, ‘propaganda dengan perbuatan’ berarti penciptaan bentuk-bentuk sosial dan komunitas libertarian yang dapat menginspirasi orang lain untuk mentransformasi masyarakat. Dalam Weak Statesmen, Weaker People, ia menulis bahwa negara bukanlah sesuatu “yang dapat diserang untuk dihancurkan. Negara adalah hubungan antar manusia… seseorang dapat menghancurkannya dengan cara menciptakan sebentuk hubungan yang berbeda.”

Sebaliknya, Errico Malatesta menggambarkan ‘propaganda dengan perbuatan’ sebagai pemberontakan komunal penuh kekerasan yang dimaksudkan untuk memicu revolusi yang akan datang. Namun, Malatesta mengecam penggunaan terorisme dan kekerasan fisik terhadap manusia lain. Ia mengatakannya dalam esainya:

“Kekerasan (fisik) yang digunakan untuk menyakiti orang lain merupakan bentuk paling brutal dari konflik antar manusia, ia benar-benar sangat merusak. Sifat dasar kekerasan ini cenderung mencekik sentimen terbaik manusia dan membuatnya jadi mengembangkan kualitas-kualitas antisosial, keganasan, kebencian, balas dendam, semangat dominasi dan tirani, kebencian terhadap yang lemah, penghambaan terhadap yang kuat. Dan kecenderungan berbahaya ini juga muncul bahkan ketika kekerasan ini digunakan untuk tujuan yang baik… Kaum anarkis yang memberontak terhadap segala jenis penindasan – yang berjuang bagi kebebasan menyeluruh tiap manusia – sepatutnya secara naluriah menjauh dari semua tindak kekerasan yang tidak lagi sekadar alat perlawanan terhadap penindasan, dan yang telah menjadi penindas baru. [Bila tidak menjauh], pada gilirannya mereka juga cenderung jatuh ke dalam jurang kekuasaan yang brutal… Kehebohan yang muncul dari beberapa peledakan akhir-akhir ini – dan kekaguman pada keberanian pelempar bom yang siap menghadapi kematian – cukup membuat banyak anarkis melupakan program mereka dan membuat mereka melangkah ke arah yang sangat berkebalikan dari semua gagasan dan ide anarkis.” [7]

Sementara di sisi lain, seorang anarkis bernama Luigi Galleani merupakan salah seorang yang paling vokal mendukung ‘propaganda dengan perbuatan’. Dengan bangga ia menggambarkan dirinya sebagai seorang yang subversif dan seorang propagandis revolusioner. Ia menganjurkan penjungkirbalikan secara paksa pemerintahan dan institusi penindas dengan melakukan “aksi langsung”. “Aksi langsung” yang Galleani maksud adalah pemboman dan pembunuhan, sebab ia adalah seorang yang sepenuh hati pro-kekerasan fisik dan terorisme. Tidak hanya menyasar simbol-simbol pemerintahan dan sistem kapitalis, namun juga dengan pembunuhan yang dilakukan secara langsung terhadap “musuh rakyat”, yaitu kaum pemodal, pemilik pabrik, politikus, hakim, dan polisi. Galleani memiliki ketertarikan khusus pada penggunaan bom hingga memasukkan formula bahan peledak nitroglycerine dalam salah satu pamflet yang diiklankannya melalui majalah bulanan yang ia kelola, Cronaca Sovversiva. Secara umum, Galleani adalah seorang pembicara yang efektif dan pengusung aksi kekerasan yang telah menarik sejumlah pengikut anarkis Italia-Amerika yang dengan loyal menyebut diri mereka ‘Galleanis’. Carlo Buda, saudara salah seorang pembuat bom Galleanis bernama Mario Buda, bercerita tentang Galleani, “Ketika Anda selesai mendengar Galleani berbicara, Anda siap menembak polisi pertama yang Anda lihat.”

[1]Letter to a Frenchman on the Present Crisis” (1870) oleh Mikhail Bakunin

[2]Action as Propaganda” oleh Johann Most, 25 Juli, 1885

[3] Henry Clay Frick terkenal sebagai pengusaha yang anti-serikat buruh. Ketika buruh pabrik besi sedang melakukan pemogokan kerja untuk menuntut hak, Frick tidak segan mengirim 300 orang pasukan bersenjata untuk menghancurkan pemogokan ini. Perkelahian menyebabkan 9 orang buruh dan 7 orang suruhan Frick gugur.

[4] Gage, Beverly (2009). The Day Wall Street Exploded: A Story of America in its First Age of Terror. New York: Oxford University Press. hal. 44–45. ISBN 978-0199759286.

[5]Anarchism: A Documentary History of Libertarian Ideas, Volume One | Robert Graham”. Black Rose Books. Retrieved October 26, 2010.

[6] Max Nettlau. “An Anarchist Manifesto

[7]Violence as a Social Factor” (1895) oleh Malatesta