Sebagaimana diketahui bersama, demokrasi di Indonesia mengalami serangan dari aparat negara dan kelompok-kelompok reaksioner yang disponsori dan dibekingi negara. Isu-isu anti-komunisme disebarkan, pelarangan kegiatan-kegiatan publik dan kebebasan berekspresi, dan sweeping buku-buku Kiri.

Kita sadar bahwa demokrasi yang kita nikmati sekarang adalah demokrasi palsu ala borjuis. Namun setidaknya ini memberikan kita nafas untuk membangun gerakan yang lebih kuat. Kini ruang-ruang tersebut dipersempit bahkan hendak ditutup. Untuk itu perjuangan kita haruslah bermakna mempertahankan dan memperluas ruang-ruang kebebasan tersebut dengan sekuat-kuatnya.

Banyak hal dialami oleh kaum pergerakan di tempat lain, berakhir dengan kekalahan. Pelarangan pemutaran film di Jogjakarta, parade diskusi di Jakarta dan Bandung, berakhir dengan “menyerah” kepada ormas-ormas. Kami tidak mengatakan bahwa mereka takut dan tunduk, namun kawan-kawan kita ini selalu berfikir bahwa konflik selalu dapat dimediasi, terutama melalui negara dan aparatnya.

Di tempat lain, karena menolak tunduk kawan-kawan kita berhasil memukul mundur kaum reaksioner dan fasis. Tindakan ini bukanlah semata-mata karena keberanian yang heroik, melainkan karena tidak percaya bahwa polisi dan aparat tidak mungkin berpihak kepada mereka dan konflik bisa diselesaikan dengan alat negara.

Berkaca pada pengalaman kita, khususnya di Makassar, pada proses-proses perlawanan terhadap upaya penggusuran permukiman warga miskin, barisan-barisan aktivis, mahasiswa, dan warga, cenderung lebih efektif melawan rencana eksekusi dari aparat negara dan preman-preman, terlepas dari beberapa kekurangan atau kelemahannya. Namun taktik tersebut lebih berefek positif pada pergerakan, memobilisasi dan membangun partisipasi dalam perjuangan.

Ada dua hal yang menjadi poin penting dalam taktik tersebut. Pertama adalah modal sosial para organiser, dan lingkar-lingkar pendukung anti-penggusuran. Kedekatan organik dan hubungan yang relatif egaliter di antara sesama, membuat proses seruan dan mobilisasi dapat berjalan lebih efektif (ketimbang elit-elit gerakan yang menyerukan ke massa, atau tokoh-tokoh popular yang bergaya bossy).

Dan yang kedua adalah pilihan untuk melakukan aksi langsung, tidak dimediasi, dan mengandalkan kekuatan sendiri, seberapa pun kekuatan yang dimiliki. Hal tersebut adalah modal yang tidak tergantikan dan mesti dipupuk dan dirawat.

Berdasarkan inilah kami mengajukan proposal pembangunan jaringan aksi. Jaringan yang dapat meng-konsolidasikan kekuatan rakyat dalam menghalau aksi-aksi kaum reaksioner, fasis dan rasis.

Bentuknya paling tidak merupakan sebuah jejaring antara kelompok-kelompok akar rumput dan individu yang bekerja sama untuk melawan kebangkitan dan pertumbuhan fasisme, rasisme dan inteloransi di masyarakat.

Jaringan ini mestilah mengadopsi beberapa prinsip dasar :

  1. Berbasis pada akar rumput dengan semangat solidaritas

  2. Berorientasi aksi langsung dan non-kompromis

  3. Non-hirarkis, tidak tersentral baik pada figur, organisasi, maupun teritori

  4. Tidak berafiliasi bekerjasama dengan polisi dan alat-alat negara

Jaringan anti-fasis ini berorientasi untuk mempertahankan aktifitas-aktifitas dan ruang demokrasi yang diserang oleh kelompok-kelompok reaksioner dan fasis. Tidak hanya bertahan, namun ke depannya, jaringan ini juga harus bisa menghalau aktifitas dan pergerakan dari kaum reaksioner dan fasis.

Dalam bayangan kami, jaringan ini setidak-tidaknya mengadopsi beberapa langkah :

  1. Mempromosikan dan menyebarkan ide-ide anti-fasis, anti-rasis dan intoleran lainnya, melalui berbagai media dan alat, ke masyarakat umum.

  2. Mendiskusikan lebih dalam untuk memahami bahwa taktik-taktik mediasi, lobi-lobi dan pasifisme tidak begitu efektif dan melemahkan.

  3. Mengorganisir organisasi dan individu ke dalam sebuah konsolidasi regular yang solid namun tidak kaku dan tidak birokratis untuk melatih daya respon atas serangan-serangan terhadap demokrasi. Konsolidasi ini berupa rapat-rapat, diskusi, rally/demonstrasi dan kegiatan publik lainnya, yang bertujuan untuk merapatkan barisan dan menggalang keterlibatan baru.

  4. Membagi teritori kota berdasarkan komposisi anggota jaringan, untuk menciptakan desentralisasi gerakan dan memperbesar partisipasi

  5. Mengorganisir latihan-latihan bela diri dan keahlian yang relevan

  6. Menggalang dana untuk aktifitas dan keperluan yang bersifat kontijensi (mendadak)

Tentu saja proposal ini jauh dari ideal, malahan butuh lebih banyak masukan dan perbaikan. Namun yang paling penting adalah, ketimbang menunggu sebuah proposal utuh yang sempurna, kita mesti mewujudkan gagasan dan ide-ide yang diusulkan di sini dan terus memperbaikinya sambil jalan. Hanya dengan itu kita bisa membangun gerakan yang lebih kuat, untuk mempertahakan ruang-ruang kebebasan dan membukanya lebih lebar lagi.

Tumpas Habis Fasis!