Federalisme revolusioner adalah lawan dari sentralisme, yang berbasis pada inisiatif dan kemerdekaan individu atau organisasi anggotanya. Sementara sentralisme justru mengekang kritisisme, inisiatif dan kemerdekaan, dan berpijak pada kepatuhan membabi-buta.

Federalisme revolusioner yang dibahas di sini adalah sebuah rekomendasi praksis untuk mengembangkan gerakan revolusioner yang mampu menuntun ke arah sosialisme.

Praktek metode revolusioner

Federalisme sebagai alternatif atas bentuk otoritarian membuka peluang yang lebih besar untuk egalitarianisme, penghapusan hirarki sosial dan kelas, serta distribusi yang lebih merata. Bentuk ini dibangun berdasarkan prinsip kesukarelaan dan kolektifitas sebagai prinsip utama dari sosialisme. Atas dasar itulah, federalisme menjadi rekomendasi aktual untuk mengatasi virus sentralisme yang telah akut.

Sebagai alternatif revolusioner, federalisme mendorong pengembangan asosiasi sukarela dimana semua orang, komunitas atau organisasi berkedudukan setara dalam kendali dan pengambilan keputusan. Dengan begitu federalisme merupakan gambaran masyarakat pasca-Negara dalam revolusi sosialis. Bentuk ini merupakan antitesa dari kapitalisme dan otoritarianisme, dimana kelompok dan komunitas memegang kendali dalam penentuan hidupnya.

Perlu saya garisbawahi bahwa organisasi revolusioner mempunyai karakter spesifiknya. Agar tidak terjebak dalam jargon politik semata, federalisme haruslah menjadi tumpuan perjuangan untuk sosialisme. Tentu saja dengan melihat sejauh mana praktek federalisme mewujudkan fungsi dan karakter organisasi untuk memperluas otonomi dan partisipasi, membangun kritisisme dan inisiatif dari bawah.

Inilah hakekat dasar federalisme revolusioner sebagai negasi terhadap sentralisme. Untuk itulah tugas organisasi revolusioner memperluas dan mengkonkritkan tatanan sosial yang dituju.

Sentralisme sebagai penyakit akut

Sentralisme adalah virus mematikan yang melumpuhkan egalitarianisme dan kreatifitas proletar. Sentralisme pada hakikatnya berkecenderungan membangun birokrasi baru. Maka gerakan perjuangan sosial yang sentralis patut dicurigai. Dengan karakter yang sentralistik, segala klaim atas tujuan sosialis menjadi terlihat palsu. Legitimasinya terhadap Negara justru meremajakan negara dan watak otoritarianismenya. Banyak pejuang sosial yang naif karena gagal memahami logika internal negara. Sebagaimana slogan “mengadopsi sentralisme adalah taktik dan strategi revolusioner, yang terdengar menggelikan.

Ketidakmampuan memahami watak sentralistik terbukti membuat sejarah revolusi berakhir dengan kegagalan menyedihkan. Revolusi Rusia 1917 adalah contoh lumpuhnya proses emansipasi sosial karena memukul mundur soviet-soviet dan komite-komite pekerja di tempat kerja. Kesalahan lain adalah tidak segera menghapuskan kekuasaan Negara. Kaum Bolshevik juga lantas mengeksploitasi kepercayaan kaum buruh dan petani, dan mereorganisasi kembali negara borjuis sesuai dengan keadaan saat itu. Di bawah kontrol Negara, Bolshevik mematikan kreatifitas massa revolusioner dengan menghambat perkembangan sistem soviet merdeka dan komite di tingkat tempat kerja yang sesungguhnya merupakan sebuah awal menuju pembangunan sebuah masyarakat tanpa negara.

Rosa Luxemburg, sosialis yang mati dibunuh oleh Freikorps[1]yang didukung oleh Menteri Pertahanan Jerman saat itu, Gustav Noskepernah mencatat tentang bahaya sentralisme. Menurut Luxemburg, sentralisme akan membunuh spontanitas dan insting revolusioner proletariat yang sejati.

Diagnosa lain akan akutnya penyakit sentralisme ialah terbukanya jalan bagi otoritas ilegal. Otoritas ini akan menghancurkan kesetaraan dan harmoni dalam struktur organisasi, begitu sentralisme diaktifkan. Tak bedanya dengan kapitalisme, sentralisme pun berpangkal pada otoritarianisme.

Dengan begitu federalisme revolusioner sebagai komitmen membangun sosialisme yang utuh, dengan prinsip umum non-birokratis dan desentralis, memberi peluang bagi tumbuh kembangnya organisasi pekerja dan organisasi rakyat yang revolusioner.

Praksis federalisme di masyarakat

Federalisme revolusioner bertumpu pada tujuan untuk mengembangkan seluruh taktik yang efektif dan mendistribusikan kekuasaan dan kebebasan secara merata. Praksis ini menegaskan bahwa suatu masyarakat sosialis adalah kontrol-proletar terhadap revolusi sosialisnya. Melalui federasi revolusioner, sosialisme dapat diwujudkan dengan menghindarkannya dari retorika kosong yang memanipulasi kediktatoran proletar dengan kepemimpinan borjuasi partai, serta melumpuhkan otonomi organisasi pekerja dan rakyat secara luas.

Contoh penerapan prinsip dan bentuk federalisme revolusioner dapat kita temui dari pengalaman gerakan mahasiswa di Chile. Bastian Fernandez, salah satu aktivis radikal yang terlibat aktif dalam pergerakan mahasiswa Chile, menuturkan bahwa luasnya partisipasi dalam gerakan tidak dapat dipisahkan dari tradisi federalisme yang telah tumbuh di negeri itu sejak dekade 1920-an. Federasi telah efektif sebagai alat bagi gerakan mahasiswa dan gerakan buruh dalam meningkatkan taraf partisipasi dan merangkul partisipan gerakan lebih luas. Federasi mahasiswa, bagi Fernandez adalah, “sebentuk pengorganisasian dimana keputusan-keputusan diambil di basis-basis, dan memiliki organisasi yang kompleks dimana federasi-federasi ada dari bawah ke atas.”

Contoh lainnya bisa dilihat pada gerakan Zapatista di Mesksiko; jaringan global media independen Indymedia yang mencakup 45 negara; dan masyarakat-masyarakat adat di berbagai belahan dunia. Bentuk-bentuk tersebut memberi gambaran mengenai efektifitas federalisme revolusioner.

Sementara di Nusantara, masyarakat Samin di Jawa zaman kolonial disebut-sebut sebagai contoh penerapan model ini. Dalam bukunya Mohammad, Marx and Marhaen, Jeanne S. Mintz menyebut pemberontakan Samin sebagai komunisme-natural atau komunisme-relijius. Sementara Cipto Mangunkusumo tanpa sungkan melabeli orang Samin sebagai komunisme-utopis.

Orang Samin menolak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk negara, melawan tatanan agraria ala kolonial serta menghormati kemerdekaan kolektif dan individu. Gerakannya diorganisir tanpa kepemimpinan terpusat, melainkan melalui dewan-dewan adat yang menjangkau Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, Grobogan dan yang terbanyak di Tapelan. Perlawanan terhadap pemerintah kolonial ini menunjukan, sekali lagi, efektifitas prinsip federasi revolusioner, ketimbang praktek yang sentralistik.

Gambaran-gambaran di atas memberikan pelajaran bahwa keluhuran jiwa membangun masyarakat sosialis di tanah kita adalah menyangkut seberapa fokus kita memenangkan sosialisme. Di tempat kita berpijak, arah taktik dan strategi revolusioner hanya datang dari keinginan eksplorasi dan praksis revolusioner yang meluas. Dalam ikhtiar menggulingkan kapitalisme dan membangun sosialisme, ada banyak peluang yang bisa diraih di sekitar kita. Federalisme revolusioner merupakan salah satu dari yang banyak itu!


Catatan akhir:

[1] Freikorps (free crops) adalah unit paramiliter Jerman yang eksis sejak abad ke-18 hingga awal abad ke-20