Title: Coconut Revolution
Subtitle: 'Revolusi Kelapa Bougainville'
Language: Bahasa Indonesia
Publication: Zine Paranoid
Date: 15/03/2014
Notes: Artikel aslinya berjudul Bougainville Coconut Revolution lalu diterjemahkan oleh Edo Apokalips

Eksploitasi Tembaga

Perusahaan tambang terbesar dunia, Rio Tinto Zinc (RTZ) dari Inggris, mulai mengeksplorasi punggung Pulau Bougainville pada 1960, Papua New Guinea (PNG). Tanpa disadari penduduk Bougainville, pertambangan itu terus bertumbuh dan menjadi besar.

Lima ratus lima puluh hekar hutan yang dulunya berfungsi sebagai tempat berburu dan berladang bagi penduduk di daerah itu dibuka untuk pertambangan oleh Bougainville Copper Limited (HCL), anak perusahaan dari RTZ di Australia.

Sementara itu, penduduknya dipindahkan ke pemukiman darurat atau “kota kumuh”, tetapi tidak ada dukungan keuangan yang diberikan oleh pemerintah PNG atau oleh RTZ untuk membantu membangun sekolah dan menunjang sarana produktif. Pada tahun 1967, Korporasi BCL mulai menambang tembaga secara terbuka yang terbesar di bumi — hampir lima ratus meter dan meliputi sekira tujuh kilometer persegi — di jantung subur Bougainville (The Coconut Revolution, 1999).

Sebelum ditutup pada tahun 1989, tambang tersebut menghasilkan tiga juta ton tembaga, tujuh ratus delapan puluh empat ton perak, dan tiga ratus enam ton emas, terhitung sekitar empat puluh empat persen dari produk domestik bruto PNG ("Panguna-Bougainville", 2013).

Tembaga, perak, dan emas semuanya "logam mata uang," yang digunakan untuk membuat koin moneter. Logam ini juga digunakan untuk menghasilkan kemewahan dunia pertama seperti komputer, ponsel, dan perhiasan. Selain itu, tembaga digunakan untuk pipa dan konduktor listrik, perak digunakan untuk perkakas makan dan dalam fotografi non-digital, sementara emas digunakan dalam mikroelektronika dan untuk pekerjaan gigi (Calvert, 2002).

Segera setelah eksploitasi, pertambangan tersebut terbukti mencemari, dan sekitar satu miliar ton limbah industri termasuk tembaga, merkuri, arsen, dan timah diendapkan ke Sungai Jaba, membunuh satwa liar dan mengubah seluruh hutan menjadi “moonscape” yang berdebu atau terasingkan.

Jalur sungai hampir dihancurkan oleh polusi ranjau; sampai hari ini, tidak ada ikan yang ditemukan hidup di perairan, tidak bisa diminum dan tidak aman untuk dikonsumsi. Ketika penduduk setempat memprotes penggalian, tanah mereka dicaplok dengan paksa. Dari tiga miliar dolar AS dalam laba yang dibuat korporasi ekstraksi tersebut, hanya sekira 3 juta dolar USA diberikan kembali kepada orang-orang Bougainville (The Coconut Revolution, 1999).

Pada tahun 1988, Young Land Owners Association (YLO) yang dipimpin oleh Francis Ona menuntut penutupan Tambang, serta ganti kerugian sebesar sepuluh miliar dolar atas dampak pencemaran dan kerusakan ekosistem. Tak lama setelah itu, Ona memasuki area pertambangan itu di malam hari dan mencuri lima puluh kilo bahan peledak tinggi. Dia dan teman-teman pemberontaknya menutup tambang itu sendiri melalui aksi-aksi sabotase.

Karena panik kehilangan hampir separuh pendapatan ekspor mereka, Pemerintah Papua New Guinea (RNG) mengerahkan polisi anti huru-hara, yang kemudian menyerbu Bougainville, membakar rumah-rumah, memukul, memperkosa, dan membunuh warga sipil.

Tindakan represif aparat kepolisian itu hanya memperkuat perlawanan, karena hal itu membuat marah masyarakat setempat dan pada akhirnya banyak orang yang bergabung menjadi pasukan insurgensi yang dikoordinir Francis Ona. (The Coconut Revolution, 1999).

Sekarang setelah Bougainvillians menutup tambang itu sendiri dan Kooporasi RTZ telah angkat kaki, Angkatan Bersenjata Revolusioner Bougainville (BVA) pun diorganisir, dan hal itu meningkatkan eskalasi konflik, sebuah tuntutan politik digaungkan, kemerdekaan dari Papua Nugini. Polisi anti huru hara tidak bisa menangani aksi-aksi insurjensi, sehingga Angkatan Darat PNG, Pasukan Pertahanan Papua Nugini (PNGDF), dikirim.

Pengerahan Militer dan Blokade

PNGDF memblokade pulau itu dan mengantongi perintah untuk tembak-bunuh, sehingga Bougainville benar-benar terputus dari akses sumber daya di luar seperti bensin, solar, produk makanan, obat-obatan, dan persenjataan.

Australia, sebagai mantan negara penjajahnya, menyediakan bantuan alusista kepada PNG seperti helikopter yang segera berubah menjadi kapal perang dan melatih sebagian populasi Bougainville yang tidak bersenjata (The Coconut Revolution, 1999).

Tentara militer PNGDF kemudian mendesak banyak penduduk Bougainville ke pedalaman hutan, di mana banyak orang mulai mati karena hal-hal seperti persalinan yang tidak tertanganu, penyakit malaria, pneumonia, dan tetanus, serta penyakit dari asbes tambang. Pejuang Bougainville, terputus dari semua akses perdagangan, namun mereka kemudian melakukan serangkaian inovasi, menggunakan teknik pengobatan kuno nenek moyangnya dari tumbuh-tumbuhan yang ditemukan tumbuh tersebar di pulau itu.

Markas komandan Francis Ona digandakan fungsinya sebagai tempat pengobatan darurat, baik prajurit insurjensi dan warga sipil akan ke sana untuk mendapat bantuan medis jika mengalami cedera serius. Lebih dari 15.000 penduduk Bougainville (sekira seper sepuluh dari populasi pulau) meninggal selama konflik, yang mungkin paling berdarah dalam sejarah kawasan Pasifik sejak Perang Dunia II (The Coconut Revolution, 1999).

BVA juga harus kreatif. Mereka menyelamatkan sisa bahan dan suku cadang mesin dari tambang yang ditinggalkan untuk membuat senjata rakitan sendiri. Mereka benar-benar berperang melawan serdadu PNGDF yang dilengkapi persenjataan canggih, hanya dengan tongkat, pelontar batu, katapel, busur dan panah beracun yang dibuat sendiri.

Konstruksi persenjataan juga membantu meningkatkan kepercayaan akan kekuatan. BVA akhirnya mendapatkan dua hingga tiga ratus pucuk senjata modern yang ditinggalkan personil PNGDF saat dikalahkan dibanyak pertempuran.

Taktik lain yang digunakan para gerilyawan adalah menciptakan jebakan-jebakan yang melibatkan penanaman rempah-rempah pulau di atas jalur area musuh bergerak. Ketika serdadu PNGDF melintasi tanaman-tanaman khusus ini, maka mereka akan mengalami reaksi alergi yang jauh lebih buruk daripada disebabkan oleh racun ivy, karena testis dan penis mereka akan menjadi bengkak dan menyakitkan. (The Coconut Revolution, 1999).

“Belanja” di Bougainville pada masa konflik ini berarti membawa kembali apa pun yang Anda bisa dari operasi yang sukses, senjata dan obat-obatan hingga bola bola mainan untuk anak-anak. Selain juga menyelamatkan bahan-bahan dari alat-alat pertambangan yang ditinggalkan termasuk switchbox, pipa, dan bagian yang dapat digunakan kembali untuk perbaikan infrastruktur pulau yang runtuh.

Orang-orang "primitif" bahkan membuat generator pembangkit listrik tenaga air gravitasi yang dikonstruksi dari sampah besi tua, pipa, dan suku cadang yang diambil dari mobil-mobil tua. Sekarang terdapat lima puluh dan enam puluh hydros kecil yang menerangi sebagian pulau yang dapat menunjang kekuatan, penjagaan, pengawasan pulau, selama dua puluh empat jam sehari. (The Coconut Revolution, 1999).

Inovasi Pengolahan Kelapa

Karena tidak ada makanan yang diimpor ke pulau itu, orang-orang harus meningkatkan perkebunan dan pembudidayaan lahan. Setiap keluarga harus mandiri untuk bertahan hidup. Bouganvillians menanam kentang, kacang tanah, ubi jagung, tomat, bawang, ubi jalar, singkong, gula tebu, taros, dan pepaya di tanah pulau yang kaya nutrisi. Dan satu hal, Kelapa, bagaimanapun, adalah sumber daya mereka yang paling berharga (The Coconut Revolution, 1999).

Penduduk Bougainville menggunakan setiap bagian kelapa, yang tumbuh subur di daerah itu. Sudah lama diketahui bahwa pohon kelapa menyediakan makanan dan tempat berlindung, tetapi banyak lagi kegunaan yang ditemukan sebagai akibat blokade.

Kulit atau sabut kelapa muda bisa diperas untuk mengobati sariawan. Bisa dibakar untuk mengusir nyamuk pembawa malaria. Daunnya bisa digunakan untuk menenun keranjang. Dan diolah juga untuk menghasilkan minyak yang digunakan sebagai bahan bakar untuk lampu, memasak, dan membuat sabun. Halus, grade Minyak kelapa bisa digunakan untuk membersihkan senjata. Yang paling mengesankan dari penemuan mereka, melalui proses yang melibatkan pengikisan, pemerasan, fermentasi, dan memasak, buah kelapa dapat diolah untuk menghasilkan bahan bakar kendaraan. Itulah kenapa orang-orang Bougainville dapat terus mengendarai mobil dan meninggalkan kendaraan ranjau meskipun kekurangan bensin dan solar.

Dari lima belas buah kelapa, bisa menghasilkan satu liter bahan bakar. Bahan bakar dari olahan kelapa juga lebih sedikit polusi karbon daripada solar, dan menghemat dua kali jarak tempuh (The Coconut Revolution, 1999).

Pada 1996, Tentara Revolusioner Bougainville (BVA) memenangkan perang, dan menguasai sekitar delapan puluh persen wilayah kepulauan. Perhatikan bahwa tidak ada negara lain yang datang untuk membantu mereka melawan Pemerintah Papua New Guinea (PNG) dan tentara Australia. Pada tahun 1997, PNG menyewa sebuah perusahaan tentara bayaran yang berbasis di London yang disebut Sandline International dalam upaya untuk menghapus kepemimpinan pemberontak Bougainville dengan biaya empat puluh enam juta dolar (The Coconut Revolution, 1999). Sandline International adalah perusahaan swasta ("pribadi") yang didirikan pada awal 1990-an. Merasa dipermalukan Pemerintah PNG karena menyewa tentara bayaran dengan bayaran yang sangat tinggi, sementara mereka sendiri dibayar kurang dari itu, PNGDF justeru menangkap para tentara bayaran dan mengusir mereka, sehingga secara tidak langsung membantu BVA (The Coconut Revolution, 1999).

Pada 2001, Dicapai kesepakatan antara PNG dan Bougainville yang memberikan hak pulau tersebut referendum kemerdekaan ("History of Bougainville", 2004). Pada 25 Juli 2005, pemimpin insurjensi BVA, Francis Ona, meninggal karena malaria (The World Today, 2005). Bougainville saat ini terdaftar sebagai "daerah otonom". ("Daerah Otonomi Bougainville", 2008). Tetapi masih jauh dari kemerdekaan sejati. Baru-baru ini, ada issu tentang pembukaan kembali tambang oleh BCL, yang mengklaim, "Daerah Otonom siap untuk pembangunan ekonomi" ("Tentang Perusahaan BCL", 2012). Namun, orang-orang Bougainville telah memenuhi proposal dengan perlawanan yang keras. Sebagai seorang perempuan Bougainvillian, Theonila Roka berkata, “Dalam banyak hal kita sudah merdeka. Kebanyakan orang kita berdikari, menumbuhkan makanan mereka sendiri di tanahnya.”(Loewenstein, 2013).

Kegiatan ekstraktif penambangan di pulau Bougainville membantu wilayah ini mengembangkan model pembangunan berkelanjutan dengan cara yang tidak terduga. Yaitu, perlawanan penduduk pribumi terhadap tambang Rio Tinto Zinc dan Papua Nugini, menginspirasi revolusi swakelola. Menariknya, jika bukan karena kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh Tambang, dan konflik kekerasan yang dihasilkan, Bougainville mungkin masih bergantung pada bahan bakar fosil. Sebaliknya, mereka telah mengembangkan sumber energi hijaunya sendiri: hidro-listrik yang diproduksi menggunakan bahan tambang bekas, dan bahan bakar untuk kendaraan yang dihasilkan dari kelapa!

Tampaknya dorongan untuk pembukaan kembali pertambangan itu berasal dari korporasi-korporasi yang mencari laba seperti RTZ dan dari tuntutan produk dunia pertama. Dalam film dokumenter yang memenangkan berbagai penghargaan, “The Coconut Revolution”, menggambarkan sebagian besar masyarakat Bougainville bertelanjang kaki dan mengenakan pakaian compang-camping yang tentu saja tidak memiliki merek dan logo mencolok di atasnya, tetapi mereka tampak bahagia. Mungkin negara-negara dunia pertama seperti Amerika Serikat dan masyarakat dunia dapat belajar tentang keberlanjutan dan berdikari dari komunitas Bougainville.

Daftar Pustaka:

  1. About the Company BCL.” BCL Home Comments. Bougainville Copper Limited, 2012. Web. 15 Mar. 2014. <http://www.bcl.com.pg>

  2. Autonomous Region of Bougainville.” Papua New Guinea Tourism Promotions Authority <http://www.papuanewguinea.travel/bougainville>

  3. Calvert, J.B. “Copper, Silver and Gold.” Copper, Silver and Gold. 24 Nov. 2002. Web. 15 Mar. 2014. <http://mysite.du.edu/~jcalvert/phys/copper.htm#Roya>

  4. “Coin & Bullion Melt Value Calculators.” Coin & Bullion Melt Value Calculators. 2014. Web. 15 Mar. 2014. <http://coinapps.com>

  5. The Coconut Revolution. Dir. Dom Rotheroe. 1999. Film.<http://topdocumentaryfilms.com/the-coconut-revolution>

  6. "Panguna – Bougainville.” PNG Mining Legacies. Mineral Policy Institute, 2013. Web. 15 Mar. 2014. <http://www.pngmininglegacies.org/mining-projects/panguna/>

  7. The World Today. ABC Local Radio. 25 July 2005. Web. Transcript.

  8. "Panguna – Bougainville.” PNG Mining Legacies. Mineral Policy Institute, n.d. Web. 15 Mar. 2014. <http://www.pngmininglegacies.org/mining-projects/panguna/>

  9. “The Bougainville Crisis.” ANU Press. Australian National University, 1990. Web. 15 Mar. 2014. <http://press.anu.edu.au/sspng/mobile_device/ch13.html>

  10. Loewenstein, Antony. “Bougainville mine: locals who oppose its re-opening must have a voice.” The Guardian. Guardian News and Media, 19 Dec. 2013. Web. 15 Mar. 2014. <http://www.theguardian.com/commentisfree/2013/dec/19/bougainville-mine-locals-who-oppose-its-re-opening-must-have-a-voice>

  11. “Overview of the company.” Sandline International. 16 Apr. 2004. Web. 15 Mar. 2014. <http://www.sandline.com/site/index.html>