#cover r-s-rifki-syarani-fachry-akheiron-id-1.jpg #title Akheiron #author Rifki Syarani Fachry #LISTtitle Akheiron #SORTauthors Rifki Syarani Fachry #SORTtopics poetry, nihilism, egoism #date 2022 #source Trubadur, 2022 #lang id #pubdate 2022-05-03T15:24:09 #publication Public Enemy Books #language Bahasa Indonesia *** Kata Pengantar
Ketika amarah bersalin menjadi teks, kita tidak akan menyaksikan lembar-lembar kertas yang membara. Tapi dari situ kita boleh menduga, ada kepala-kepala yang mungkin saja terbakar karenanya. Ia mungkin tidak sekonyong-konyong mengubah realitas, tapi kita tahu, dorongan-dorongan kognitif bisa memperkuat keputusan seseorang atau kolektif untuk menyalakan titik-titik api. Di situlah pamflet, komunike, termasuk juga puisi mendapat tempatnya. Bukankah di samping kutipan “tidak ada teks yang revolusioner”, kita juga dapat mengingat dengan mudah rangkaian kata, semisal “mempersenjatai imajinasi” atau “peluru dan pena terbuat dari besi yang sama”? Maka, dalam hal ini, kita tidak perlu membagi-bagi tindakan mana yang paling revolusioner: melempar molotov atau menulis puisi? Puisi, sebagai ekspresi emosional, seringkali mendahului revolusi itu sendiri. Ia melampaui kenyataan, keputusasaan bahkan ambisi peradaban. Lewat puisi, juga imajinasi yang menjalar di dalamnya, seorang bocah bisa mempertanyakan Tuhan, meniadakan Tuhan, menciptakan Tuhan atau menjadi Tuhan itu sendiri. Jangan salah kira, ini bukan sebuah glorifikasi buat para penyair – bagaimanapun kita tahu tiap dunia punya banalnya sendiri. Namun, tidak ada salahnya juga menikmati puisi bagus – tentu ini terkesan kualitatif, sayangnya saya tidak peduli. Membaca susunan kata yang kemudian mengonstruksi dan mungkin juga – pada saat bersamaan – mendekonstruksi kenyataan adalah ekstase tanpa menelan sebutir obat. Puisi tidak pernah mampu menghancurkan dunia. Ia hanya menyisipkan racun ke dalam kepalamu: untuk ada, untuk tiada atau untuk menjadi segalanya. Untuk cakrawala yang melampaui dimensi buruk dan baik, di mana Rifki berpijak melayang di atas jurang yang tak berujung.
Reyhard Rumbayan
Penulis buku Mempersenjatai Imajinasi: Catatan Para Anarkis & Egois 2003-2010 (Octopus, 2018). *** Sumpah Malaikat Api
ingin kuhancurkan matahari kulempar bumi ke kegelapan. ke dalam mulutmu, sumur buta nganga yang mengoleksi gema tebing antologi hening.
akan kulempar seperti batu perasaanku.
di jurang batas lambungmu akan kulelapkan bumi dan kiamat kecil tumbuh di hatimu seperti batu yang berkali-kali menjadi tunas bagi kesakitanku.
menjadi gigil demam yang bertahun-tahun melukaiku merusakku.
gerhana menyesali gelap dan ragam kemurungan mencintaimu.
2019-2022 *** Kemudian Ia Mati Dengan sepasang mata prosa, dua halis angin hidung sempurna kuning. bibir pucat hujan, jemari yang terperangkap rambut dan tirus yang tersesat di dua pipi miskinnya.
hal itu menggugurkan kemegahan cahaya ketika gelap mengurung diri di matanya sebegitu lama, seperti puisi yang ditikam, dan luka di lehernya: di tebing perak yang memerangkap napas batu membuat hidup tak sampai ke belah dada.
sebuah lanskap peristiwa pemberontakan yang nanah, bagi mereka yang mati karena kehendaknya sendiri.
wajahnya, ancaman di kaca bayangan udara, dan kabut. ia bukan, ia entah seseorang yang dikenalkan sebagai jurang sebagai yang membuang dirinya : mayat tanpa cinta.
2019-2022 *** Inori
tuhan, sisakan satu neraka untuk puisi-puisiku.
2019-2022 *** Postulat
tuhan tak mengalami apa-apa tuhan tak pernah belajar.
2019-2020 *** Gagasan yang Terbakar
matahari, gaun lebu, mata arang. kebakaran besar menyelinap sebagai puisi memeluk mayat-mayat batu; bangkai bagi segala yang retak. : kehancuran akan menempuh sunyi sebagai debu dari puing-puing dunia, mirip perih yang disisipkan waktu dari tangisan tak terdengar, kepada telinga-telinga tuli untuk lambung-lambung lapar, demi mulut-mulut yang saum dari kepala-kepala yang tak tidur. ketika makna hidup lengang bagi kepulangannya jadi mempelai sasar yang menyimpan luka cabik
aku menghafal bayi di kepalanya seperti doa dan raraban seperti kejadian dari tahun-tahun yang tak kualami. dan di dalam sini (ke sebuah kening), selain tafsirnya, tak ada lagi aku, tubuh terbakar, kesadaran melelehkan kata -kata pintar. awan-awan mati bernapas di dasar jurang mencari tepi.
2018-2020 *** Jika Kau Izinkan
sebelum kematian menemukanku di hatimu bolehkah aku mati lebih dulu. mencacah pergelangan, mencintai beku dan pelukan dingin dikumpulkan di rapuh kelabu (tubuhku). sebab ingin kupahami sendiri bagaimana waktu repih dengan pudar makin asing, dan cahaya leleh pelan- pelan.
hanya suaramu kuingat, dari balik pintu ruangan lain di dalam diriku, memanggil-manggil, mengokohkan sekaligus merobohkanku. beberapa hari setelahnya sebuah pintu benar-benar terbuka bersama kedatangan empat orang polisi, tiga orang kamera, beberapa petugas medis ; orang-orang yang tak ingin mengenalkan dirinya. lalu kusaksikan sendiri sebuah ambulan membawa pergi bayanganku.
bolehkah aku mati lebih dulu, membiarkan masa depan hadir lebih awal daripada saat ini dan kematian hanya akan menemukanku di masalalu bersama janji-janji yang gagal ditepati bersama perasaan-perasaan yang remuk di hatimu sebagai mayat yang berkali-kali diautopsi.
2019 *** Makam
kau tak mesti yakin kepadaku, kemarin sesak memilih rumahnya disini (dadaku). kuhirup agonis tapi rasanya debu, tak membantu. batu berdarah di dalam tubuh, tetap
gurun: tempat pertama kali tuhan membebaskan kesedihannya membiarkan kesedihan itu tersesat dengan ribuan abad kemarau yang dipikulnya hingga punggung kokoh itu hancur.
di sana-disini (tak ada beda): kau tau tempat bangkai cheetah balzac entah sejak kapan, makam itu menjadi ini (tempat sesak yang kurasakan).
kukira puisi mengkhianatiku dan gagasan dunia yang rapuh membuat kesimpulan itu lebih pasti. aku tak dapat menahan kiamat yang debarnya terdengar seperti suara kepala yang dibenturkan.
benteng batu menahan napas ini dan pagi tak pernah lagi dikenali.
2019 *** Dari Dalam Jurang
kukira siapa yang terperosok ke dalam jurang gelap di dadaku. tuhan, membusuklah bersama puisi puisiku yang bangkai, yang belatung.
temanilah gema yang kau ajak bicara saat mati merencanakan cekikan dan hitam hanya mengenalimu sebagai bagian darinya.
tunggulah aku mati, sementara itu bacalah penyesalan yang kupunya bilang, hari-hari mana yang kau lewatkan saat kau bersama semua orang aku hanya berdua bersama diriku.
menangis dan ingatlah kapan serta untuk apa aku kau ciptakan.
2019-2021 *** Dipulas Luka Api
matahari berembun semua yang kita lihat pudar pucat warna mendung.
kau dan aku duduk di bangkai kota ini di atas dada mayat yang dipulas luka api. kita saksikan lengan-lengan harapan yang tulang dipatahkan, diremukkan. melankolia menidurkan mimpinya yang miskin untuk bebas seperti roh-roh angin.
wahyu di langit membuat dirinya sunyi; begitu sendiri mengajari sepasang mata buta membaca apa yang fana sebut cinta –sebagai seorang dungu yang membakar ilmu ilmu yang membangunkan kita rumah rumah tanpa pintu, tanpa jendela.
yang mengumpulkan debu dan arangnya di sebuah guci. dan dari atas sana, dari menara puisi yang dituliskan grafiti kesedihan kita di lehernya: kenyataan yang tutung dengan kesepian bernapas arang dari sisa kebakaran di dalam ketumpuran diri kita.
kau dan aku merasakannya betul kiamat telah menyesaki dada, ketika langit sibuk meniru segala muram untuk wajah kita yang kosong
masalalu menuntun kita naik merenungi hari ini dengan kebencian teror, ketakutan; kekacauan berkali-kali menawarkan kedamaian tapi tak ada tempat untuk cinta yang ingin dipahami dengan bahasa ledakan, pukulan-pukulan.
kita dikepung debu, angin merawat cuaca awan. sedang cemas lebih fiksi dari sebuah gelembung yang mengapung ribuan tahun.
setelah semua hancur, dan kita masih akan merasakan kehilangan demi kehilangan. mari taburkan juga lebu jasad kita masing-masing bersama kenangan dan angan-angan yang tepung dari kepala menara api dan tinggalkan kedua bayangan kita sendiri biarkan mereka mencari-cari tubuhnya sampai lelah membopong mati.
2018-2021 *** kapur
dua tiga belokan kapur kupancang tatapan empat lima kali untuk beberapa tahun depan yang kabur. dengan tubuh ini sebagai marka agar kita lain kali waspada di belokan ke enam pada tikungan licin, kelokan ular yang berkejaran dengan sungai dan anak angin.
di rimbunan jati itu, kelak mataku mengawasimu kedipan celah ranting akan menyamarkannya. setelah enam, tujuh dan delapan tebing pualam memulas umur kita, kuawasi kau hingga tulang-tulang usia menyusun jurang.
laut sedalam wajah langit biru menyamai tinggi ubun ketapang. sembilan dan seterusnya akan kita jenguk jalanan ini sebagai makam-makam tugur batuan sunyi yang mengubur nama kita di kedalaman langit dan jasad ini hanya kulit kulit bersisik, di kelokan emplak di ujung batas kalipucang.
2019-2020 *** Kelahiran Ulang
bangkit kembali jadi tubuh hari-hari makna yang tak henti mencambuki ingatan melubangi punggungku menanamkan batu-batu ke dalamnya.
sebaris nama yang sempat kubaca di nisan-nisan waktu roh yang kembali dari neraka para raksasa datang seperti pikiran-pikiran bunuh diri.
aku tak bisa membedakan ini hidup atau mati. aku kembali bayi, tapi kesedihan hanya dapat kupahami sebagai lelaki
yang hidup di bawah todongan senjata masalalu masalalu yang memandangi jantungnya.
aku merasa tak benar-benar lagi dimiliki –memiliki luka dari masa depan yang mengungsi menjadi sebaris puisi di tubuhku, gelap tak kumengerti.
siapa gerangan, apa yang diinginkan tuhan dari hidupnya orang-orang mati dan kelahiran-kelahiran tak berarti dari doa-doanya perasaan ingin kembali menjalani hidup sebagai aku; obat-obat palsu dan batu.
2019-2021 *** Melatur
di antara lawang arang atap cawang malam-malam. langit kering yang memaknai dirinya ranting ranting angin melepuk menjadi tatap arah : marka ke segala jalan dari buaran sampai ke jantung melayu-melayu kampung.
bagiku, dan seorang malam yang meniduri bulan bernama soneta di bawah jembatan melayang menuntun setiap orang pulang-pergi ke kesepian-kesepian. kenyataan hangus di langit dan aku debu-debunya yang hujan.
tak mengerti, dini hari ke dini hari selasa ke selasa dan angka yang seluruhnya dilingkari. kalender dan klender semuanya cuma sepi.
dari lantai jalanan kupandangi jatuhnya debu-debu semua rapun kembali padaku.
tikus-tikus latur berbagi napas dengan pelacur jakarta timur. aku hanya tahu satu cara hidup : tumpur!
2019-2021 *** Rumah Kosong
terbit enam matahari cahayanya membakar kitab kitab suci di sebuah lemari.
pada meja debu dua ribu pagi berkumpul di sebaris nama dalam buku telepon tua.
sebingkai langit bertanya dari jendela yang selalu terbuka kepada bayangan yang kehilangan tubuhnya.
hantu siapa yang setia menelepon mitos-mitosnya?
2020-2021 *** Abhinaya Cilpacastra
seluruh bidadari bunuh diri hari ini. surga koma di ruang icu rumah sakit nirmala. neraka hanya reruntuhan menara kata-kata. dunia mencair ketika mencoba melewati terowongan api. cinta memadat dan hilang seperti nyawa martir yang dipenggal. benci dilempar dari biru kaspar. sementara malaikat-malaikat tewas di kaki tebing iblis-iblis mati merenungi matahari dari jendela panti rehabilitasi. dan kau lahir, saat tuhan diadopsi orang lain sebagai fiksi dan puisi amatir.
2014-2021 *** Dari Sembilan Orang ASing
petir itu membeku di tangan carducci sementara langit semakin menjauh ke dalam gua tak terketahui di atas menara capuchin.
dari ujung sana sebuah jantung lumpuh bersama hujan.
ketika semua puisi cinta di gereja yang mengantuk itu dinyanyikan biarawati mencekik leher pendeta dan membekam mulutnya.
sembilan tengkorak manusia di kepala bapak menggeser letak hitam matanya ke langit-langit. hingga tulang dan sebuah salib dipatahkan dengan begitu kelahiran digagalkan.
marie melarikan diri lewat jendela terbang setelah gempa menetap di tubuhnya. tapi udara mematahkan sayapnya dan gigil meremukan hatinya yang beku.
lalu mayatnya digantung gerimis di halaman delapan kitab suci szandor sebagai orang-orang moor.
gema seketika kehilangan ruang
di perkampungan bisu tangan-tangan ruam menerima sebutir zakum dari seseorang yang tak pernah tidur dengan dosa-dosa di punggungnya yang hancur.
2018-2021 *** Labirin Waktu
tak ada hujan yang kukenal, dari gelap awan di matamu. ingin kukatakan itu, ketika musim menangis dan gerimis membunuhku. bayangan kita terjebak di aula ini (masalalu) lalu kusadari, kenangan kita tak seabadi renik itu nampaknya, kita bukan batu.
di luar, gedung-gedung bermakna sementara (aku), mayat di hadapannya terbaring memeluk nyawa yang henti seperti kepala yang hancur dipukul waktu. darah hitam yang menetes dijilati usia, tali air membawa warna gerhana menuju menara puisi yang runtuh: kehilangan bahasa –sesuatu, tak bermakna lagi apa-apa selain kenyataan bahwa kini, aku dan bayangan kita hidup di akhirat yang sama.
hanya mampu kurenungi hujan yang terluka itu sebagai luka-luka baru dan apa yang tak kunjung reda hanya jadi dingin yang dituliskan di dinding labirin-labirin cermin.
peta-peta biru, dan kota tinggal lampu-lampu tapi hujan tak berhenti melebami ingatanku.
2016-2021 *** Anon
aku seperti batu mati di kedalaman air. (akhirnya) aku sampai ke lumpuh dan lelap sebagai benih kosong.
di dasar jurang –di rahim neraka: elipsis untuk dirinya sendiri; fiksi yang menghuni kehidupan di dalam perut ibu tiri bernama utopia.
mayat yang terkubur itu –aku dengan tiga belas api yang tertelan leher yang terbakar, dan sebuah piano yang hangus di dalam dirinya menatap gelap dari lubang besar dan menangis seperti hantu.
mengulang-ulang kematiannya menyimak batu-batu bercerita membaringkan luka-luka merasakan, bagaimana perjalanan ini betapa, jauhnya anarki menempuh segala aku.
mayat ini. lepaskan aku! (ingin kukatakan itu). aku ingin keluar dari aku hingga suara kehilangan dirinya ; bahasa dikhianati maknanya ; manusia hidup tanpa nama-nama tanpa memori apa-apa.
2019-2021 *** Aku /1
dalam peti mati yang disebut diri sendiri kukubur batu di jantungku dengan nama orang lain.
kutinggalkan badut di dalam diriku lalu kubiarkan lima ribu nietzsche menihilkan hidupnya seperti ada dan hari-harinya adalah mati.
kulepaskan bayanganku kubiarkan gelap yang bernapas itu membungkus orang-orang mati di tubuhku.
sementara pascawabah bunuh diri pikiran tak dikenal merangkaki punggungku menggali makam sisifus di tebing murung.
pikiran itu bertanya kepada tulang-tulang harus mati di mana aku? –diri sejak kapan aku mati bersamamu?
2020 **** Akheiron
neraka ditemukan tewas tanpa kepala di depan gerbang nyawa. kematian dan surga memandang mayatnya tanpa perasaan apa-apa.
di kota bahasa, meta puisi dan prosa, pabrik boneka, perusahaan uang dan angka meremukkan dirinya.
bayangan seseorang menjahit lubang hitam di dada murung sebuah patung.
dan aku mayat terbakar yang digantung, anarkis yang kaki dan tangannya dibuat buntung aku dilempari batuan dan hukum divonis kurungan penjara seribu tahun.
bagiku hidup adalah bangkai hiena yang membusuk di bawah hujan belatung.
2021 **** Remuk
kurasa kehidupan ini tak pernah benar-benar bersamaku. seperti ada suatu bagian di dalam diriku yang rubuh satu demi satu.
aku tak pernah berhenti hancur, rasanya selalu saja ada luka-luka yang belum kuterima. seperti perasaan-perasaan mati selalu berharap ditubuhi.
aku telah jadi bagian dari sunyi dan waktu berhenti menghitungku jauh sebelum segalanya lebih dulu kuhentikan.
kehidupan telah mengubur mayatku di dalam remuk yang peluk di kenihilan yang sibuk.
2021 **** Menikahlah Dengan Mayatku
seseorang yang hidup dengan jantungku menikahlah dengan mayatku suntuki lebih lama hampa-hampa.
jadilah menantu bagi seluruh kelemahan jadilah bapa, mama, dan pahlawan bagi fiksi paling soliter di dalam kitab-kitab kaos dan eros atau novel-novel tentang mayat-mayat filsafat.
seseorang, yang menangis dengan mataku genapi aku dengan ganjil sehingga aku atau dirimu tak melihat kehadiran kecuali yang nihil.
yang merasakan sakit dengan tubuhku katakan olehmu kepada dirimu sendiri. bahwa, apa pun luka yang kelak kubagi takkan cukup menghukum kebebasan yang kau tubuhi.
apa kau mau menerimaku, seperti apa yang hidup berikan kepadamu kepada kita: belulang rapuh yang mereinkarnasi diri menjadi angin.
seseorang, apa kau cukup neraka untuk menanggung kesedihanmu sendiri? katakan iya atau tidak, katakan dengan apa saja tapi bukan dengan mulutku kecuali jika kau siap mencium keningku lebih waktu dari waktu.
seseorang, maukah kau suntuki aku dan segala sesuatu sebelum aku. menjadi alfa-omega atau teoritikus ada yang bangga menikahi ketiadaannya.
seseorang yang hidup sebagai aku menikahlah dengan mayatku.
2020-2021 **** Orsinian
di orsinia, di hadapan batu nisanku sendiri kudapati kekosongan penuh di dalam diriku membatin dan membatu.
rasanya ribuan mayat dari kesia-siaan membusuk di suatu tempat asing di dalam dadaku. seketika kurasa aku hanya ruang tanpa arti dan seumur hidup yang kujalani hanya sekadar obituari.
ingin kutanyakan kepadanya –kepadaku kepada mayat yang berbaring di makamku atau kepada diriku sendiri yang tengah menyimak kebisuannya.
apa kita dibuang hidup ini? apa kau –aku hanya negasi dari seribu reinkarnasi? lalu, apa lagi artinya mati jika aku telah mati?
dengan wadag yang hanya gema setelah ditelanjangi dari ketelanjangannya hingga kita tak tersebut lagi dengan diksi-kata bahkan aku melampaui fiksi dan nyata.
apa harus kuseberangi jembatan putus ke dalam diriku? apa mesti kuselami lautan yang membusuk di dalamnya?
pertanyaan-pertanyaan itu membentur-benturkan kepalanya pada peti pandora di dalam sebutir debu di jantungku.
utuh, mereka (pertanyaan-pertanyaan itu) memilikiku namun jawabannya tak pernah memilihku.
2021 *** Aku /2
aku ingin hidup di dunia tanpa diriku dan itu berarti tak di mana pun aku ingin berhenti sebagai diriku menjadi yang tak pernah aku menjadi bukan semuanya.
hidup di dunia tanpa aku menjadi yang tak pernah dirinya. melelapi kepenuhan yang kosong aku menjebak sesuatu –yang mau tak mau mesti kusebut diriku.
aku bergerak dengan putaran idiomatik dan ekspresi puitik yang acak dari daftar sijil kata-kata dalam meta bahasa. aku mengurung keberadaanku dalam pembatalan demi pembatalan sebagai puisi yang selalu gagal dituliskan bahkan sebagai yang tak pernah tinggal di kepala mana pun.
aku ingin –dan akan hidup di dunia tanpa diriku. dalam sebuah abstrak tentang aku di dalam mayat busuk orang lain yang kukenal sebagai sosok ini.
negasiku penuh sebagai yang tak pernah hadir. aku hanya akan ada di dunia tanpa dunia dan dirinya sendiri.
2021 **** Rigen
entah kiamat macam apa yang kuderita tapi rasanya seperti seseorang telah melemparkan mayatku ke liang jurang terhampa; ke dalam pusaran waktu yang gulita.
ia membawaku ke dalam perasaan ingin mati jauh ke dasar muasal dari segala sesuatu. ia membuatku jadi menara yang rela merobohkan diri; jadi tubuh yang terus berusaha melepaskan dirinya –dariku.
aku dikilungi nyeri tak terjelaskan bahwa ada semacam kematian yang hidup terpenjara di dalam diriku; ia berusaha melubangi dadaku dari dalam sana –dalam aku.
seperti kesuraman yang membatin berusaha membebaskan dirinya dari sebuah neraka dari rahim rhea dan raksasa betina.
2021 **** Nonsense
apa kau bahagia di dalam diriku jauh di dasar jurang dada seorang mayat memeluk dirimu sendiri, menghormati keheninganku. di sana, kau menjadi segalanya dan penuh mengisi aku.
apa kau bahagia berada di dalam daging-tubuhku melekat padanya, di dalam diriku merasuk kedalaman hatiku yang leleh dan hampir busuk. kau menyangkal semua dan membuat aku menjadi dirinya sendiri.
apa aku bahagia di dalam diriku? meski segalanya tidak bermakna, sekaligus yang maknanya kita ketahui sebagai murung yang mendidih, jiwa yang akan mencoba melepaskan dirinya lagi dan lagi.
2021 *** Aku /3
aku kian terpencil dalam diriku terasing bersama mayat-mayat makna terpasung dalam kekosongan.
dari pedalaman waktu, nama-nama murung menteleportasi dirinya ribuan kali ke dalam sini, menamaiku lalu menyesalkan dirinya sendiri. semua yang keliru mati satu demi satu.
aku kian kerdil, kian debu bahkan aku nyaris tiada. ingatan meragukan keberadaanku dari jeda ke jeda.
sesuatu seperti mengupasku selembar, selembar lalu tumpukannya dibiarkan begitu saja terbakar.
benda asing berusaha menghapusku dari dalam sini, di dalam diriku dunia dan aku seolah hanya esensi yang tak menubuhi lagi apa-apa negasi yang tak menemukan dirinya.
2021 **** Nimic
di suatu tempat di dalam kosong di sebuah dimensi dengan kegelapan tak terukur jauh di dasar jurang yang tak pernah siapa pun ketahui kudapati sesuatu di dalam diriku berhenti.
pusaran waktu membatu, rohku berlepasan segala sesuatu di dadaku melapukkan dirinya aku selesai sebagai diriku terputus, aku kian terhapus.
adakah nyeri lain selain ini kemari. dalam nihil, aku siap dimiliki.
2021 **** Samothrace
untuk R.R. Matheos
bolano damianos, apa penjara itu mengurung juga bayanganmu? mayat seseorang mengaku telah bertemu denganya bangkai itu datang dengan api di sekujur tubuh ia menghampiriku lalu berkata:
negasi, tubuhilah aku bakar sayapmu lengkapi aku dalam kobar ini biarkan aku lebu bersamamu
tapi sayangnya aku hanya batu sekadar patung tanpa lengan dan kepala aku tak dapat membalas apa-apa.
bolano damianos, apa penjara itu mengurung juga bayanganmu? lalu bayangan siapa di kakiku? dan mayat siapa itu?
2021 **** Draf
segala sesuatunya kembali putih darahku, jantung, tubuh dan mataku begitu pula takdir, waktu masa depan, hari ini dan masa lalu. hidupku, bahkan bahasa dan bayanganku. seluruhnya diputihkan, dibersihkan.
aku hanya draf-draf panjang makalah-makalah sempurna dan siapa pun mereka yang membacanya sekalipun cioran, jaun elia takkan menyangka aku manusia.
2021 **** Noir
aku berjalan ke dalam diriku, merayapi relief-relief wajahku sendiri –dari batu-batu makam yang dipahat angin pada dinding-dinding di sepanjang tubuhku.
Mulut dari wajah-wajah batu itu terus memanggil-manggilku dengan nama-nama yang belum kualami.
rasanya seperti –saat kuberjalan ke dalam diriku tengah kususuri setengah sebab-sebab dari kematianku sendiri.
aku berjalan, jauh ke dalam aku: terowongan remang di mana gerhana-gerhana pingsan dalam kebekuan waktu yang mati dan abadi.
dalam diriku kutemukan beberapa potongan tubuh serpihan dunia, debu-debu dari tiap benua ratusan peluru hampa, pamflet-pamflet orang hilang, dan grafiti-grafiti putus asa.
di keredupan yang lengang dan tak terhitung dengan ujung terowongan yang tak terbaca, rasanya perjalanan menuju aku hanya bunuh diri dalam kitab-kitab kajian fiksi.
aku tak dapat sampai tembus atau keluar dari diriku sendiri meski aku terus berjalan ke dalamnya menyusuri seluruh kematianku.
dalam aku: seumur hayatku hanya akan terkubur di sini.
2021 **** Echo
aku tak memiliki kedalaman untuk memahami derita yang kumiliki.
sebab aku adalah dinding batu yang menahan gema suaraku sendiri.
2015-2021 **** Surga Ateis
aku melayang di kehampaan, nyaris tak tersentuh waktu ; hampir abadi, aku tak dibebani –terbebani apa dan siapa pun lagi.
di kehampaan ini ; ruang tanpa ruang dan arti. hal apa yang terakhir kali mengisiku, membuatku sesak, kejang dan meledak yang memaksaku berhenti, mempreteliku hingga tak dapat berfungsi lagi.
mungkin angin jatuh seperti batu, batu besar yang berbaring di dadaku. namun kekekalan membebaskan segala sesuatu dari sesuatunya mirip cahaya yang membuat bayanganku terbakar! –batu itu lenyap ke dalam aku yang debu.
dapatkah aku dilempar ke dalam ingatan, aku hanya ingin menangis kembali seperti masa lalu, mengalami buku-buku, hidup dari dejavu ke dejavu menjadi yang dirusak ruang dan waktu.
2021 *** Tentang Penyair Rifki Syarani Fachry, lahir 1994. *** Respon Pembaca "Puisi-puisi dalam buku ini menyadarkan betapa sengkarutnya kita di kehidupan saat ini. Reaksi terhadap realita itulah basis yang mendorong puisi-puisi ini mengarah pada penggugatan, pemberontakan, pembebasan, hingga ketiadaan--bahkan ketiadaan terhadap diri sendiri. Lewat kedalaman observasi dan permainan kata, Rifki menyeret kita, paling tidak untuk membayangkan betapa tumpurnya hidup ini." –Bagus Pribadi (Penerjemah buku 'BOOM: Tulisan Pengantar Nihilisme dan Anarki' karya Aragorn Moser) "Rifki memerangkap dirinya sendiri dalam perasaan hening yang meluap-luap, yang kita kenal sebagai ketiadaan." – Rafdi Naufan (Penerjemah buku 'Nihilisme sebagai Egoisme' karya Keiji Nishitani, dkk.) "Kesendirian, keputusasaan, dan hal-hal gelap lainnya disajikan dengan sangat ambisius, dan (tentunya) dedikatif. Alih-alih murung, kata-kata yang disusun oleh Rifki ini sangat bergairah." –Pujo Nugroho (Penulis buku 'Kota Merah Hitam -- Lintasan Waktu Anarkisme di Semarang') "Membaca puisi-puisi Rifki dalam 'Akheiron' seperti melihat kekalahan menyelinap di atas panggung, seolah ia berupaya sembunyi dari tontonan sambil menyadari nasibnya sebagai aib yang pantas dirayakan. Suspensi yang ia tawarkan bukan demi apa pun kecuali pengalaman bermain api dengan enigma hingga ia terbakar sendirian(?). Dan, di ujung permainannya, masih ada permainan di panggung yang sama." –Heterotopia (Penulis dan penerjemah) "Kala 'sebagian' masih terjebak dalam uforia receh tentang ke-Aku-an, Akheiron justru membongkar selubung-selubung 'narsisme egologis' yang mengendap dan tertabir di balik ingatan-ingatan muram" –Fahmy Farid Purnama (Penulis buku 'Ontosofi Ibn' Arab') "Akheiron seperti sebuah kota yang dibangun dari pecahan kata-kata kegelapan, kesunyian, dan kehancuran. Memasuki Akheiron, seperti melihat kota dengan mayat yang bergelimpangan, tembok-tembok yang lantak, dan dingin tiba-tiba menyergap. Lalu saya melihat seseorang dengan baju lusuh sedang duduk berdoa, 'tuhan, sisakan satu neraka untuk puisi-puisiku" –Wida Waridah (Penyair)