r-s-rifki-syarani-fachry-akheiron-id-1.jpg

      Kata Pengantar

      Sumpah Malaikat Api

      Kemudian Ia Mati Dengan

      Inori

      Postulat

      Gagasan yang Terbakar

      Jika Kau Izinkan

      Makam

      Dari Dalam Jurang

      Dipulas Luka Api

      kapur

      Kelahiran Ulang

      Melatur

      Rumah Kosong

      Abhinaya Cilpacastra

      Dari Sembilan Orang ASing

      Labirin Waktu

      Anon

      Aku /1

        Akheiron

        Remuk

        Menikahlah Dengan Mayatku

        Orsinian

      Aku /2

        Rigen

        Nonsense

      Aku /3

        Nimic

        Samothrace

        Draf

        Noir

        Echo

        Surga Ateis

      Tentang Penyair

      Respon Pembaca

Kata Pengantar


Ketika amarah bersalin menjadi teks, kita tidak akan menyaksikan lembar-lembar kertas yang membara. Tapi dari situ kita boleh menduga, ada kepala-kepala yang mungkin saja terbakar karenanya. Ia mungkin tidak sekonyong-konyong mengubah realitas, tapi kita tahu, dorongan-dorongan kognitif bisa memperkuat keputusan seseorang atau kolektif untuk menyalakan titik-titik api. Di situlah pamflet, komunike, termasuk juga puisi mendapat tempatnya. Bukankah di samping kutipan “tidak ada teks yang revolusioner”, kita juga dapat mengingat dengan mudah rangkaian kata, semisal “mempersenjatai imajinasi” atau “peluru dan pena terbuat dari besi yang sama”? Maka, dalam hal ini, kita tidak perlu membagi-bagi tindakan mana yang paling revolusioner: melempar molotov atau menulis puisi?

Puisi, sebagai ekspresi emosional, seringkali mendahului revolusi itu sendiri. Ia melampaui kenyataan, keputusasaan bahkan ambisi peradaban. Lewat puisi, juga imajinasi yang menjalar di dalamnya, seorang bocah bisa mempertanyakan Tuhan, meniadakan Tuhan, menciptakan Tuhan atau menjadi Tuhan itu sendiri. Jangan salah kira, ini bukan sebuah glorifikasi buat para penyair – bagaimanapun kita tahu tiap dunia punya banalnya sendiri. Namun, tidak ada salahnya juga menikmati puisi bagus – tentu ini terkesan kualitatif, sayangnya saya tidak peduli. Membaca susunan kata yang kemudian mengonstruksi dan mungkin juga – pada saat bersamaan – mendekonstruksi kenyataan adalah ekstase tanpa menelan sebutir obat. Puisi tidak pernah mampu menghancurkan dunia. Ia hanya menyisipkan racun ke dalam kepalamu: untuk ada, untuk tiada atau untuk menjadi segalanya.

Untuk cakrawala yang melampaui dimensi buruk dan baik, di mana Rifki berpijak melayang di atas jurang yang tak berujung.


Reyhard Rumbayan
Penulis buku Mempersenjatai Imajinasi: Catatan Para Anarkis & Egois 2003-2010 (Octopus, 2018).

Sumpah Malaikat Api


ingin kuhancurkan matahari

kulempar bumi ke kegelapan.

ke dalam mulutmu, sumur buta

nganga yang mengoleksi gema tebing

antologi hening.


akan kulempar

seperti batu perasaanku.


di jurang batas lambungmu

akan kulelapkan bumi

dan kiamat kecil tumbuh di hatimu

seperti batu yang berkali-kali

menjadi tunas bagi kesakitanku.


menjadi gigil demam

yang bertahun-tahun melukaiku

merusakku.


gerhana menyesali gelap

dan ragam kemurungan

mencintaimu.


2019-2022

Kemudian Ia Mati Dengan

sepasang mata prosa, dua halis angin

hidung sempurna kuning.

bibir pucat hujan, jemari yang terperangkap rambut

dan tirus yang tersesat di dua pipi miskinnya.


hal itu menggugurkan kemegahan cahaya

ketika gelap mengurung diri di matanya

sebegitu lama, seperti puisi yang ditikam, dan luka

di lehernya: di tebing perak yang memerangkap napas batu

membuat hidup tak sampai ke belah dada.


sebuah lanskap

peristiwa pemberontakan yang nanah, bagi

mereka yang mati karena kehendaknya sendiri.


wajahnya, ancaman di kaca

bayangan udara, dan kabut.

ia bukan, ia entah

seseorang yang dikenalkan sebagai jurang

sebagai yang membuang dirinya

: mayat tanpa cinta.


2019-2022

Inori


tuhan,

sisakan

satu

neraka

untuk

puisi-puisiku.


2019-2022

Postulat


tuhan tak mengalami apa-apa

tuhan tak pernah belajar.


2019-2020

Gagasan yang Terbakar


matahari, gaun lebu, mata arang.

kebakaran besar menyelinap sebagai puisi

memeluk mayat-mayat batu; bangkai bagi segala

yang retak.

: kehancuran akan menempuh sunyi sebagai debu

dari puing-puing dunia, mirip perih yang disisipkan waktu

dari tangisan tak terdengar, kepada telinga-telinga tuli

untuk lambung-lambung lapar, demi mulut-mulut

yang saum

dari kepala-kepala yang tak tidur.

ketika makna hidup lengang bagi kepulangannya

jadi mempelai sasar yang menyimpan luka cabik


aku menghafal bayi di kepalanya seperti doa dan raraban

seperti kejadian dari tahun-tahun yang tak kualami.

dan di dalam sini (ke sebuah kening), selain tafsirnya,

tak ada lagi

aku, tubuh terbakar, kesadaran melelehkan kata

-kata pintar.

awan-awan mati bernapas di dasar jurang mencari tepi.


2018-2020

Jika Kau Izinkan


sebelum kematian menemukanku di hatimu

bolehkah aku mati lebih dulu.

mencacah pergelangan, mencintai beku

dan pelukan dingin dikumpulkan di rapuh kelabu

(tubuhku).

sebab ingin kupahami sendiri bagaimana waktu repih

dengan pudar makin asing, dan cahaya leleh pelan-

pelan.


hanya suaramu kuingat, dari balik pintu ruangan lain

di dalam diriku, memanggil-manggil, mengokohkan

sekaligus merobohkanku.

beberapa hari setelahnya sebuah pintu benar-benar

terbuka bersama kedatangan empat orang polisi,

tiga orang kamera, beberapa petugas medis

lalu kusaksikan sendiri sebuah ambulan membawa

pergi bayanganku.


bolehkah aku mati lebih dulu, membiarkan masa depan

hadir lebih awal daripada saat ini

dan kematian hanya akan menemukanku di masalalu

bersama janji-janji yang gagal ditepati

bersama perasaan-perasaan yang remuk di hatimu

sebagai mayat yang berkali-kali diautopsi.


2019

Makam


kau tak mesti yakin kepadaku, kemarin

sesak memilih rumahnya disini (dadaku).

kuhirup agonis tapi rasanya debu, tak membantu.

batu berdarah di dalam tubuh, tetap


gurun: tempat pertama kali tuhan

membebaskan kesedihannya

membiarkan kesedihan itu tersesat

dengan ribuan abad kemarau yang dipikulnya

hingga punggung kokoh itu hancur.


di sana-disini (tak ada beda):

kau tau tempat bangkai cheetah balzac

entah sejak kapan, makam itu menjadi ini

(tempat sesak yang kurasakan).


kukira puisi mengkhianatiku

dan gagasan dunia yang rapuh membuat

kesimpulan itu lebih pasti.

aku tak dapat menahan

kiamat yang debarnya terdengar seperti suara

kepala yang dibenturkan.


benteng batu menahan napas ini

dan pagi tak pernah lagi dikenali.


2019

Dari Dalam Jurang


kukira siapa yang terperosok

ke dalam jurang gelap di dadaku.

tuhan, membusuklah bersama puisi

puisiku yang bangkai, yang belatung.


temanilah gema yang kau ajak bicara

saat mati merencanakan cekikan

dan hitam hanya mengenalimu

sebagai bagian darinya.


tunggulah aku mati, sementara itu

bacalah penyesalan yang kupunya

bilang, hari-hari mana yang kau lewatkan

saat kau bersama semua orang

aku hanya berdua bersama diriku.


menangis dan ingatlah

kapan serta untuk apa aku kau ciptakan.


2019-2021

Dipulas Luka Api


matahari berembun

semua yang kita lihat pudar

pucat warna mendung.


kau dan aku duduk di bangkai kota ini

di atas dada mayat yang dipulas luka api.

kita saksikan lengan-lengan harapan yang tulang

dipatahkan, diremukkan.

melankolia menidurkan mimpinya yang miskin

untuk bebas seperti roh-roh angin.


wahyu di langit

membuat dirinya sunyi; begitu sendiri

mengajari sepasang mata buta

membaca apa yang fana sebut cinta

–sebagai seorang dungu yang membakar ilmu

ilmu yang membangunkan kita rumah

rumah tanpa pintu, tanpa jendela.


yang mengumpulkan debu dan arangnya di sebuah guci.

dan dari atas sana, dari menara puisi

yang dituliskan grafiti kesedihan kita di lehernya:

kenyataan yang tutung

dengan kesepian bernapas arang

dari sisa kebakaran di dalam ketumpuran diri kita.


kau dan aku merasakannya betul

kiamat telah menyesaki dada, ketika

langit sibuk meniru segala muram

untuk wajah kita yang kosong


masalalu menuntun kita naik

merenungi hari ini dengan kebencian

teror, ketakutan;

kekacauan berkali-kali menawarkan kedamaian

tapi tak ada tempat untuk cinta yang ingin dipahami

dengan bahasa ledakan, pukulan-pukulan.


kita dikepung debu, angin merawat cuaca awan.

sedang cemas lebih fiksi dari sebuah gelembung

yang mengapung ribuan tahun.


setelah semua hancur, dan kita masih akan merasakan

kehilangan demi kehilangan.

mari taburkan juga lebu jasad kita masing-masing

bersama kenangan dan angan-angan yang tepung

dari kepala menara api

dan tinggalkan kedua bayangan kita sendiri

biarkan mereka mencari-cari tubuhnya sampai lelah

membopong mati.


2018-2021

kapur


dua tiga belokan kapur

kupancang tatapan empat lima kali

untuk beberapa tahun depan yang kabur.

dengan tubuh ini sebagai marka

agar kita lain kali waspada di belokan ke enam

pada tikungan licin, kelokan ular

yang berkejaran dengan sungai dan anak angin.


di rimbunan jati itu, kelak mataku mengawasimu

kedipan celah ranting akan menyamarkannya.

setelah enam, tujuh dan delapan tebing pualam

memulas umur kita, kuawasi kau

hingga tulang-tulang usia menyusun jurang.


laut sedalam wajah langit

biru menyamai tinggi ubun ketapang.

sembilan dan seterusnya akan kita jenguk

jalanan ini sebagai makam-makam tugur

batuan sunyi yang mengubur nama kita

di kedalaman langit dan jasad ini hanya kulit

kulit bersisik, di kelokan emplak

di ujung batas kalipucang.


2019-2020

Kelahiran Ulang


bangkit kembali jadi tubuh hari-hari

makna yang tak henti mencambuki ingatan

melubangi punggungku

menanamkan batu-batu ke dalamnya.


sebaris nama yang sempat kubaca di nisan-nisan waktu

roh yang kembali dari neraka para raksasa

datang seperti pikiran-pikiran bunuh diri.


aku tak bisa membedakan

ini hidup atau mati.

aku kembali bayi, tapi kesedihan

hanya dapat kupahami sebagai lelaki


yang hidup di bawah todongan senjata masalalu

masalalu yang memandangi jantungnya.


aku merasa tak benar-benar lagi dimiliki –memiliki

luka dari masa depan yang mengungsi

menjadi sebaris puisi di tubuhku, gelap

tak kumengerti.


siapa gerangan, apa yang diinginkan tuhan

dari hidupnya orang-orang mati

dan kelahiran-kelahiran tak berarti

dari doa-doanya perasaan

ingin kembali menjalani hidup sebagai aku;

obat-obat palsu dan batu.


2019-2021

Melatur


di antara lawang arang

atap cawang malam-malam.

langit kering yang memaknai dirinya ranting

ranting angin melepuk menjadi tatap arah

: marka ke segala jalan

dari buaran sampai ke jantung

melayu-melayu kampung.


bagiku, dan seorang malam

yang meniduri bulan bernama soneta

di bawah jembatan

melayang menuntun setiap orang

pulang-pergi ke kesepian-kesepian.

kenyataan hangus di langit dan aku

debu-debunya yang hujan.


tak mengerti, dini hari ke dini hari

selasa ke selasa dan angka

yang seluruhnya dilingkari.

kalender dan klender semuanya cuma sepi.


dari lantai jalanan

kupandangi jatuhnya debu-debu

semua rapun kembali padaku.


tikus-tikus latur berbagi napas

dengan pelacur jakarta timur.

aku hanya tahu satu cara hidup

: tumpur!


2019-2021

Rumah Kosong


terbit enam matahari

cahayanya membakar kitab

kitab suci di sebuah lemari.


pada meja debu

dua ribu pagi berkumpul di sebaris nama

dalam buku telepon tua.


sebingkai langit bertanya

dari jendela yang selalu terbuka

kepada bayangan yang kehilangan

tubuhnya.


hantu siapa yang setia

menelepon mitos-mitosnya?


2020-2021

Abhinaya Cilpacastra


seluruh bidadari bunuh diri hari ini.

surga koma di ruang icu rumah sakit nirmala.

neraka hanya reruntuhan menara kata-kata.

dunia mencair ketika mencoba melewati terowongan api.

cinta memadat dan hilang seperti nyawa martir

yang dipenggal.

benci dilempar dari biru kaspar.

sementara malaikat-malaikat tewas di kaki tebing

iblis-iblis mati merenungi matahari dari jendela panti

rehabilitasi.

dan kau lahir, saat tuhan diadopsi orang lain

sebagai fiksi dan puisi amatir.


2014-2021

Dari Sembilan Orang ASing


petir itu membeku di tangan carducci

sementara langit semakin menjauh ke dalam gua

tak terketahui di atas menara capuchin.


dari ujung sana sebuah jantung lumpuh bersama hujan.


ketika semua puisi cinta

di gereja yang mengantuk itu dinyanyikan

biarawati mencekik leher pendeta

dan membekam mulutnya.


sembilan tengkorak manusia di kepala bapak

menggeser letak hitam matanya ke langit-langit.

hingga tulang dan sebuah salib dipatahkan

dengan begitu kelahiran digagalkan.


marie melarikan diri lewat jendela

terbang setelah gempa menetap di tubuhnya.

tapi udara mematahkan sayapnya

dan gigil meremukan hatinya yang beku.


lalu mayatnya digantung gerimis

di halaman delapan kitab suci szandor

sebagai orang-orang moor.


gema seketika kehilangan ruang


di perkampungan bisu

tangan-tangan ruam menerima sebutir zakum

dari seseorang yang tak pernah tidur

dengan dosa-dosa di punggungnya yang hancur.


2018-2021

Labirin Waktu


tak ada hujan yang kukenal, dari gelap awan di matamu.

ingin kukatakan itu, ketika musim menangis

dan gerimis membunuhku.

bayangan kita terjebak di aula ini (masalalu)

lalu kusadari, kenangan kita tak seabadi renik itu

nampaknya, kita bukan batu.


di luar, gedung-gedung bermakna

sementara (aku), mayat di hadapannya

terbaring memeluk nyawa yang henti

seperti kepala yang hancur dipukul waktu.

darah hitam yang menetes dijilati usia, tali air

membawa warna gerhana

menuju menara puisi yang runtuh: kehilangan bahasa

–sesuatu, tak bermakna lagi apa-apa

selain kenyataan bahwa kini, aku dan bayangan kita

hidup di akhirat yang sama.


hanya mampu kurenungi hujan yang terluka itu

sebagai luka-luka baru

dan apa yang tak kunjung reda hanya jadi dingin

yang dituliskan di dinding labirin-labirin cermin.


peta-peta biru,

dan kota tinggal lampu-lampu

tapi hujan tak berhenti melebami ingatanku.


2016-2021

Anon


aku seperti batu mati di kedalaman air.

(akhirnya) aku sampai ke lumpuh

dan lelap sebagai benih kosong.


di dasar jurang –di rahim neraka:

elipsis untuk dirinya sendiri;

fiksi yang menghuni kehidupan

di dalam perut ibu tiri bernama utopia.


mayat yang terkubur itu –aku

dengan tiga belas api yang tertelan

leher yang terbakar, dan

sebuah piano yang hangus di dalam dirinya

menatap gelap dari lubang besar

dan menangis seperti hantu.


mengulang-ulang kematiannya

menyimak batu-batu bercerita

membaringkan luka-luka

merasakan, bagaimana perjalanan ini

betapa, jauhnya anarki menempuh segala aku.


mayat ini. lepaskan aku!

(ingin kukatakan itu).

aku ingin keluar dari aku

hingga suara kehilangan dirinya

tanpa memori apa-apa.


2019-2021

Aku /1


dalam peti mati yang disebut diri sendiri

kukubur batu di jantungku

dengan nama orang lain.


kutinggalkan badut di dalam diriku

lalu kubiarkan lima ribu nietzsche

menihilkan hidupnya

seperti ada dan hari-harinya adalah mati.


kulepaskan bayanganku

kubiarkan gelap yang bernapas itu

membungkus orang-orang mati di tubuhku.


sementara pascawabah bunuh diri

pikiran tak dikenal merangkaki punggungku

menggali makam sisifus di tebing murung.


pikiran itu bertanya kepada tulang-tulang

harus mati di mana aku? –diri

sejak kapan aku mati bersamamu?


2020

Akheiron


neraka ditemukan tewas tanpa kepala

di depan gerbang nyawa.

kematian dan surga memandang mayatnya

tanpa perasaan apa-apa.


di kota bahasa, meta puisi dan prosa,

pabrik boneka, perusahaan uang dan angka

meremukkan dirinya.


bayangan seseorang

menjahit lubang hitam di dada murung

sebuah patung.


dan aku

mayat terbakar yang digantung,

anarkis yang kaki dan tangannya dibuat buntung

aku dilempari batuan dan hukum

divonis kurungan penjara seribu tahun.


bagiku

hidup adalah bangkai hiena yang membusuk

di bawah hujan belatung.


2021

Remuk


kurasa kehidupan ini

tak pernah benar-benar bersamaku.

seperti ada suatu bagian di dalam diriku

yang rubuh satu demi satu.


aku tak pernah berhenti hancur, rasanya

selalu saja ada luka-luka yang belum kuterima.

seperti perasaan-perasaan mati

selalu berharap ditubuhi.


aku telah jadi bagian dari sunyi

dan waktu berhenti menghitungku

jauh sebelum segalanya lebih dulu kuhentikan.


kehidupan telah mengubur mayatku

di dalam remuk yang peluk

di kenihilan yang sibuk.


2021

Menikahlah Dengan Mayatku


seseorang yang hidup dengan jantungku

menikahlah dengan mayatku

suntuki lebih lama hampa-hampa.


jadilah menantu bagi seluruh kelemahan

jadilah bapa, mama, dan pahlawan bagi fiksi paling soliter

di dalam kitab-kitab kaos dan eros

atau novel-novel tentang mayat-mayat filsafat.


seseorang, yang menangis dengan mataku

genapi aku dengan ganjil

sehingga aku atau dirimu tak melihat kehadiran

kecuali yang nihil.


yang merasakan sakit dengan tubuhku

katakan olehmu kepada dirimu sendiri.

bahwa, apa pun luka yang kelak kubagi

takkan cukup menghukum kebebasan

yang kau tubuhi.


apa kau mau

menerimaku, seperti apa

yang hidup berikan kepadamu

kepada kita: belulang rapuh

yang mereinkarnasi diri menjadi angin.


seseorang, apa kau cukup neraka

untuk menanggung kesedihanmu sendiri?

katakan iya atau tidak, katakan dengan apa saja

tapi bukan dengan mulutku

kecuali jika kau siap mencium keningku

lebih waktu dari waktu.


seseorang, maukah kau

suntuki aku dan segala sesuatu sebelum aku.

menjadi alfa-omega atau teoritikus ada

yang bangga menikahi ketiadaannya.


seseorang yang hidup sebagai aku

menikahlah dengan mayatku.


2020-2021

Orsinian


di orsinia, di hadapan batu nisanku sendiri

kudapati kekosongan penuh di dalam diriku

membatin dan membatu.


rasanya ribuan mayat dari kesia-siaan

membusuk di suatu tempat asing di dalam dadaku.

seketika kurasa aku hanya ruang tanpa arti

dan seumur hidup yang kujalani

hanya sekadar obituari.


ingin kutanyakan kepadanya –kepadaku

kepada mayat yang berbaring di makamku

atau kepada diriku sendiri yang tengah menyimak

kebisuannya.


apa kita dibuang hidup ini?

apa kau –aku hanya negasi dari seribu reinkarnasi?

lalu, apa lagi artinya mati jika aku telah mati?


dengan wadag yang hanya gema

setelah ditelanjangi dari ketelanjangannya

hingga kita tak tersebut lagi dengan diksi-kata

bahkan aku melampaui fiksi dan nyata.


apa harus kuseberangi jembatan putus ke dalam diriku?

apa mesti kuselami lautan yang membusuk di dalamnya?


pertanyaan-pertanyaan itu

membentur-benturkan kepalanya

pada peti pandora di dalam sebutir debu di jantungku.


utuh, mereka (pertanyaan-pertanyaan itu) memilikiku

namun jawabannya tak pernah memilihku.


2021

Aku /2


aku ingin hidup di dunia tanpa diriku

dan itu berarti tak di mana pun

aku ingin berhenti sebagai diriku

menjadi yang tak pernah aku

menjadi bukan semuanya.


hidup di dunia tanpa aku

menjadi yang tak pernah dirinya.

melelapi kepenuhan yang kosong

aku menjebak sesuatu –yang mau tak mau

mesti kusebut diriku.


aku bergerak dengan putaran idiomatik

dan ekspresi puitik yang acak

dari daftar sijil kata-kata dalam meta bahasa.

aku mengurung keberadaanku

dalam pembatalan demi pembatalan

sebagai puisi yang selalu gagal dituliskan

bahkan sebagai yang tak pernah tinggal

di kepala mana pun.


aku ingin –dan akan

hidup di dunia tanpa diriku.

dalam sebuah abstrak tentang aku

di dalam mayat busuk orang lain

yang kukenal sebagai sosok ini.


negasiku penuh

sebagai yang tak pernah hadir.

aku hanya akan ada di dunia

tanpa dunia dan dirinya sendiri.


2021

Rigen


entah kiamat macam apa yang kuderita

tapi rasanya seperti seseorang telah melemparkan mayatku

ke liang jurang terhampa; ke dalam pusaran waktu yang gulita.


ia membawaku ke dalam perasaan ingin mati

jauh ke dasar muasal dari segala sesuatu.

ia membuatku jadi menara yang rela merobohkan diri;

jadi tubuh yang terus berusaha melepaskan dirinya

–dariku.


aku dikilungi nyeri tak terjelaskan

bahwa ada semacam kematian yang hidup

terpenjara di dalam diriku;

ia berusaha melubangi dadaku dari dalam sana

–dalam aku.


seperti kesuraman yang membatin

berusaha membebaskan dirinya dari sebuah neraka

dari rahim rhea dan raksasa betina.


2021

Nonsense


apa kau bahagia di dalam diriku

jauh di dasar jurang dada seorang mayat

memeluk dirimu sendiri, menghormati keheninganku.

di sana, kau menjadi segalanya dan penuh mengisi aku.


apa kau bahagia berada di dalam daging-tubuhku

melekat padanya, di dalam diriku

merasuk kedalaman hatiku yang leleh dan hampir busuk.

kau menyangkal semua dan membuat aku menjadi

dirinya sendiri.


apa aku bahagia di dalam diriku?

meski segalanya tidak bermakna, sekaligus

yang maknanya kita ketahui

sebagai murung yang mendidih, jiwa yang akan

mencoba melepaskan dirinya lagi dan lagi.


2021

Aku /3


aku kian terpencil dalam diriku

terasing bersama mayat-mayat makna

terpasung dalam kekosongan.


dari pedalaman waktu, nama-nama murung

menteleportasi dirinya ribuan kali

ke dalam sini, menamaiku

lalu menyesalkan dirinya sendiri.

semua yang keliru mati satu demi satu.


aku kian kerdil, kian debu

bahkan aku nyaris tiada.

ingatan meragukan keberadaanku

dari jeda ke jeda.


sesuatu seperti mengupasku

selembar, selembar

lalu tumpukannya dibiarkan begitu saja

terbakar.


benda asing berusaha menghapusku

dari dalam sini, di dalam diriku

dunia dan aku seolah hanya

esensi yang tak menubuhi lagi apa-apa

negasi yang tak menemukan dirinya.


2021

Nimic


di suatu tempat di dalam kosong

di sebuah dimensi dengan kegelapan tak terukur

jauh di dasar jurang yang tak pernah siapa pun ketahui

kudapati sesuatu di dalam diriku berhenti.


pusaran waktu membatu, rohku berlepasan

segala sesuatu di dadaku melapukkan dirinya

aku selesai sebagai diriku

terputus, aku kian terhapus.


adakah nyeri lain selain ini

kemari.

dalam nihil, aku siap dimiliki.


2021

Samothrace


untuk R.R. Matheos


bolano damianos, apa penjara itu

mengurung juga bayanganmu?

mayat seseorang mengaku telah bertemu denganya

bangkai itu datang dengan api di sekujur tubuh

ia menghampiriku lalu berkata:


negasi, tubuhilah aku

bakar sayapmu

lengkapi aku dalam kobar ini

biarkan aku lebu bersamamu


tapi sayangnya aku hanya batu

sekadar patung tanpa lengan dan kepala

aku tak dapat membalas apa-apa.


bolano damianos, apa penjara itu

mengurung juga bayanganmu?

lalu bayangan siapa di kakiku?

dan mayat siapa itu?


2021

Draf


segala sesuatunya kembali putih

darahku, jantung, tubuh dan mataku

begitu pula takdir, waktu

masa depan, hari ini dan masa lalu.

hidupku, bahkan bahasa dan bayanganku.

seluruhnya diputihkan, dibersihkan.


aku hanya draf-draf panjang

makalah-makalah sempurna

dan siapa pun mereka yang membacanya

sekalipun cioran, jaun elia

takkan menyangka aku manusia.


2021

Noir


aku berjalan ke dalam diriku,

merayapi relief-relief wajahku sendiri

–dari batu-batu makam yang dipahat angin

pada dinding-dinding di sepanjang tubuhku.


Mulut dari wajah-wajah batu itu

terus memanggil-manggilku

dengan nama-nama yang belum kualami.


rasanya seperti –saat kuberjalan ke dalam diriku

tengah kususuri setengah sebab-sebab

dari kematianku sendiri.


aku berjalan, jauh ke dalam aku:

terowongan remang

di mana gerhana-gerhana pingsan

dalam kebekuan waktu yang mati dan abadi.


dalam diriku kutemukan beberapa potongan tubuh

serpihan dunia, debu-debu dari tiap benua

ratusan peluru hampa, pamflet-pamflet orang hilang,

dan grafiti-grafiti putus asa.


di keredupan yang lengang dan tak terhitung

dengan ujung terowongan yang tak terbaca, rasanya

perjalanan menuju aku hanya bunuh diri

dalam kitab-kitab kajian fiksi.


aku tak dapat sampai

tembus atau keluar dari diriku sendiri

meski aku terus berjalan ke dalamnya

menyusuri seluruh kematianku.


dalam aku: seumur hayatku

hanya akan terkubur di sini.


2021

Echo


aku tak memiliki

kedalaman untuk memahami

derita yang kumiliki.


sebab aku

adalah dinding batu

yang menahan gema

suaraku sendiri.


2015-2021

Surga Ateis


aku melayang di kehampaan,

nyaris tak tersentuh waktu

–terbebani apa dan siapa pun lagi.


di kehampaan ini

hal apa yang terakhir kali mengisiku,

membuatku sesak, kejang dan meledak

yang memaksaku berhenti,

mempreteliku hingga tak dapat berfungsi lagi.


mungkin angin jatuh seperti batu,

batu besar yang berbaring di dadaku.

namun kekekalan membebaskan

segala sesuatu dari sesuatunya

mirip cahaya yang membuat bayanganku terbakar!

–batu itu lenyap ke dalam aku yang debu.


dapatkah aku dilempar ke dalam ingatan,

aku hanya ingin menangis kembali

seperti masa lalu, mengalami buku-buku,

hidup dari dejavu ke dejavu

menjadi yang dirusak ruang dan waktu.


2021

Tentang Penyair

Rifki Syarani Fachry, lahir 1994.

Respon Pembaca

"Puisi-puisi dalam buku ini menyadarkan betapa sengkarutnya kita di kehidupan saat ini. Reaksi terhadap realita itulah basis yang mendorong puisi-puisi ini mengarah pada penggugatan, pemberontakan, pembebasan, hingga ketiadaan--bahkan ketiadaan terhadap diri sendiri. Lewat kedalaman observasi dan permainan kata, Rifki menyeret kita, paling tidak untuk membayangkan betapa tumpurnya hidup ini."

–Bagus Pribadi (Penerjemah buku 'BOOM: Tulisan Pengantar Nihilisme dan Anarki' karya Aragorn Moser)

"Rifki memerangkap dirinya sendiri dalam perasaan hening yang meluap-luap, yang kita kenal sebagai ketiadaan."

– Rafdi Naufan (Penerjemah buku 'Nihilisme sebagai Egoisme' karya Keiji Nishitani, dkk.)

"Kesendirian, keputusasaan, dan hal-hal gelap lainnya disajikan dengan sangat ambisius, dan (tentunya) dedikatif. Alih-alih murung, kata-kata yang disusun oleh Rifki ini sangat bergairah."

–Pujo Nugroho (Penulis buku 'Kota Merah Hitam -- Lintasan Waktu Anarkisme di Semarang')

"Membaca puisi-puisi Rifki dalam 'Akheiron' seperti melihat kekalahan menyelinap di atas panggung, seolah ia berupaya sembunyi dari tontonan sambil menyadari nasibnya sebagai aib yang pantas dirayakan. Suspensi yang ia tawarkan bukan demi apa pun kecuali pengalaman bermain api dengan enigma hingga ia terbakar sendirian(?). Dan, di ujung permainannya, masih ada permainan di panggung yang sama."

–Heterotopia (Penulis dan penerjemah)

"Kala 'sebagian' masih terjebak dalam uforia receh tentang ke-Aku-an, Akheiron justru membongkar selubung-selubung 'narsisme egologis' yang mengendap dan tertabir di balik ingatan-ingatan muram"

–Fahmy Farid Purnama (Penulis buku 'Ontosofi Ibn' Arab')

"Akheiron seperti sebuah kota yang dibangun dari pecahan kata-kata kegelapan, kesunyian, dan kehancuran. Memasuki Akheiron, seperti melihat kota dengan mayat yang bergelimpangan, tembok-tembok yang lantak, dan dingin tiba-tiba menyergap. Lalu saya melihat seseorang dengan baju lusuh sedang duduk berdoa, 'tuhan, sisakan satu neraka untuk puisi-puisiku"

–Wida Waridah (Penyair)</quote>