Ada beberapa definisi cinta yang perlu kita ketahui. Pertama, cinta adalah sebuah konflik. Kedua, cinta merupakan seni. Terdapat satu kesamaan dari kedua definisi tersebut, yaitu, keduanya hadir oleh faktor pembentukan yang absolut dari sebuah ekspresi diri. Berbicara cinta dalam bahasa filsafat, tidak akan lepas dari Friedrich Nietzsche, serta kalimat-kalimat kontroversialnya, seperti, Amor fati fatum brutum (Cinta akan takdir, walau brutal). Lewat filsafatnya, Nietzsche tengah berhasil melampaui hidupnya dengan cinta. Darinya pula saya belajar banyak hal tentang memaknai dunia dan segala isinya. Kitab yang ditulisnya, Zarathustra, sudah mudah ditemukan di mana-mana, mulai dari toko buku loakan, hingga perpustakaan-perpustakaan online.

Namun kali ini, saya mencoba mengulas makna cinta lewat kacamata yang berbeda, yaitu, Max Stirner, seorang filsuf dari Jerman yang terkenal dengan teorinya tentang individualisme radikal, serta salah satu pencetus nihilisme.

Saya bukan seorang penikmat filsafat Stirner. Bukan pula seorang nihilis. Tapi melalui buku “Max Stirner dan Cinta yang Egois” yang ditulis oleh Skye Cleary, dkk ini, saya tertarik untuk melihat cinta dari sudut pandang yang lebih luas, melampaui romantisme itu sendiri.

Sedikit tentang Max Stirner, ia memulai perjalanan berpikirnya diawali dengan menghancurkan gagasan pengabdian diri terhadap sesuatu yang dianggapnya lebih tinggi, termasuk Tuhan, bangsa, umat manusia, dan tujuan umum lainnya. Maka dari itu, tulisan ini bertujuan untuk memahami implikasi tersebut dalam konteks hubungan cinta yang romantis.


1). Masalah Cinta Romantis

Masalah Stirner dengan cinta yang romantis ada dua: pertama, bahwa cinta harusnya tidak egois, dan kedua, cinta menimbulkan istilah ‘kewajiban’ pada yang merasakannya. Alasannya adalah sebagai berikut:

Hubungan yang romantis menimbulkan kewajiban untuk saling mencintai selamanya. Konsekuensi dari hubungan yang romantis adalah timbulnya hal-hal yang menuntut persetujuan dan pengorbanan diri, dan itu dilakukan untuk/demi orang lain. Mematuhi kewajiban untuk mencintai sama saja dengan penyangkalan atas diri sendiri, karena hal itu seakan mengubah makna ‘mencintai’ menjadi ‘memperbudak’ seseorang yang disebut-sebut sebagai ‘kekasih’ dalam sebuah hubungan. Hal ini secara tidak langsung membuat mereka tidak memahami makna dari ‘cinta’-nya tersebut, melainkan hanya gejala maniknya saja. Menurut Stirner, seseorang seharusnya tidak mengubah makna cinta menjadi hantu yang membuat dirinya tunduk kepada ketakutan.

Stirner menegaskan, untuk menjadi manusia, kita harus rela mematahkan heroisme tersebut sehingga kita dapat menetapkan diri sendiri sebagai penentu diri, bukan sebagai yang terikat oleh moralitas. Ia kerap mencemooh gagasan bahwa mencintai harus melibatkan pengorbanan diri tanpa menghadirkan kesenangan diri, dalam artian, pengorbanan yang dilakukan hanya untuk mendapatkan atensi semata saja. Baginya, jika kita melakukan hubungan pengorbanan tanpa kesenangan diri, ia menyatakan hal semacam itu merupakan sifat dari pasien rumah sakit jiwa.

Pada dasarnya, kita kerap menemukan diri sendiri dalam pertempuran – yaitu, saat-saat ketika kita menegaskan, membela, dan mencoba memahami diri sendiri. Oleh karena itu, kita sebagai individu memang ditakdirkan untuk menyendiri dulu sebelum memahami apa itu arti cinta yang sesungguhnya. Stirner menggali lubang yang sulit untuk disebrangi jembatan mana pun yang dapat membawa manusia ke dalam hubungan antarmanusia yang senantiasa berkelanjutan, seperti romantisme. Namun, alih-alih mencintai orang lain tanpa pamrih, Stirner menyarankan pentingnya mencintai diri sendiri.

Alternatif lain untuk cinta yang romantis, adalah cinta atas diri sendiri. Maka hubungan yang didasarkan pada kesenangan diri tentunya akan secara otomatis mendukung konsep cinta atas diri sendiri. Mencintai diri sendiri berarti menghargai diri sendiri sebagai sesuatu ‘yang unik’. Stirner menyebut individu ‘unik’ karena manusia memiliki keadaan yang berbeda masing-masingnya, dalam hal keinginan, tindakan, dan pengalaman. Menjadi ‘unik’ adalah bentuk penguasaan atas diri di mana individu menolak untuk tunduk pada siapa pun atau apa pun. “Bagiku, tidak ada yang lebih, selain diriku sendiri”, kata Stirner pada The Ego and His Own. Saat mencintai diri sendiri, maka muncullah konsep penguasaan atas diri. Penguasaan atas diri memiliki dimensi eksternal dan internal, yang mengharuskan seseorang untuk tidak diatur oleh hasrat atau emosi seperti nafsu berahi.

Pada bukunya, ia memberikan contoh seorang pria yang dengan rakus mengejar materi untuk kesenangan egoisnya sendiri. Stirner menolak egoisme semacam itu sebagai hal sepele. Pasalnya, seseorang yang tamak telah menjadi budak dari satu nafsu yang berkuasa: yaitu, hantu pemuasan materi. Demikian pula orang yang tergila-gila karena cinta, adalah seseorang yang dirasuki oleh keinginan nafsu belaka.

2). Menciptakan Diri Sendiri

Mencintai diri sendiri melibatkan kesadaran bahwa seseorang menciptakan dunia bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Setelah melewati masalah romantisme, seseorang sudah harusnya sadar, bahwa ia adalah pencipta dirinya sendiri. Tapi “penciptaan” ini bukan berarti secara harfiah seperti Tuhan. Melainkan bahwa seseorang menciptakan identitas metafisiknya sendiri. Mengapa seperti itu? Karena pada dasarnya, eksistensial seseorang tidak pernah ditentukan sebelumnya, atau dalam kata lain, dia adalah seseorang yang pertama kali ada di dunia ini, dan bebas untuk menciptakan dirinya sendiri melalui tindakan dan proyeksinya. Itulah mengapa Stirner menganggap bahwa setiap individu adalah ‘unik’.

Seseorang bebas menggunakan kreativitasnya untuk menegaskan dirinya sebagai individu yang berdaulat. Untuk memiliki dirinya sendiri, seorang ‘pencinta’ akan menjadikan dirinya sebagai kekasih yang ‘unik’.

Elemen selanjutnya dari mencintai diri sendiri adalah menerima diri sendiri dengan sepenuhnya. Stirner mengatakan, itu adalah kunci untuk mendapatkan kebahagiaan yang apa adanya. Hal ini dapat disandingkan dengan analogi yang digunakan oleh Jean-Paul Sartre, yaitu, tidak ada yang lebih konkret bagi individu selain keberadaan sendiri.

3). Mencintai Orang Lain

Setelah melewati elemen-elemen tentang diri sendiri, hingga memahami nilai-nilainya, barulah kita beranjak ke orang lain. Stirner berpendapat bahwa cara terbaik untuk mendapatkan nilai dari diri sendiri adalah melalui hubungan dengan orang lain. Seseorang yang berhasil mencintai orang lain merupakan seorang pribadi yang lebih kaya dibanding apa pun. Mencintai orang lain dapat membuat bahagia dan itu merupakan hal yang natural.

Stirner menegaskan, dengan membuka elemen tentang diri, maka ia membuka pula peluang akan mencintai orang lain dengan pengabdian, pengorbanan, dan ketulusan; suatu hal yang sangat tradisional. Ini menunjukan bahwa seseorang yang ‘unik’ masih dapat merasakan hal secara tradisional dikaitkan dengan cinta. “Jika aku melihat orang yang kukasihi menderita, aku akan menderita bersamanya, dan aku tidak akan istirahat sampai aku mencoba segalanya untuk membuatnya nyaman dan merasa terhibur.”

Terlepas dari keinginan Stirner untuk mengorbankan nyawanya, kesejahteraan, kebebasan, dan banyak hal lainnya untuk kekasihnya, dia bersikeras bahwa dia tidak sama sekali melepaskan dirinya sendiri. Dia rela mengorbankan segalanya kecuali ‘kepemilikan’-nya, yaitu, prinsip-prinsip pilihannya sendiri yang dengan itu mendefinisikan dirinya.

Setelah membaca buku ini, saya mengartikulasi cinta ke dalam satu hal: yaitu tentang memahami. Memahami diri sendiri, dan orang lain. Bagaimanapun juga, seseorang hanya akan merasakan gejala manik jika tidak memahami arti cinta yang sesungguhnya. Melihat cinta dari bahasa filsafat sangatlah berbeda dari bahasa keseharian. Setidaknya, di balik kontroversi nihilistiknya, Stirner telah berhasil mendefinisikan cinta dari sudut yang lebih luas. Tegak bersanding bersama Nietzsche, dan Sarte. Masing-masing memiliki harfiahnya sendiri, dan tentunya, kita bebas menentukan harfiah cinta sesuai dengan yang kita inginkan.

Informasi tentang Buku

Sangat cocok dibaca untuk seseorang yang tengah bergelut dengan diri sendiri, memahami diri sendiri, dan mulai mencari arti diri. Memahami pemikiran Stirner berarti membuka hati lebih luas. Stirner berhasil membuat saya berdamai dengan diri sendiri.

Namun terjemahan buku ini tidak baku, membuat saya harus bulak-balik memahami kata per katanya. Namun demikian, saya berusaha mendeskripsikannya dengan se-simpel mungkin di tulisan ini.


Judul: Max Stirner dan Cinta yang Egois
Penulis: Skye Cleary, dkk.
Penerjemah: Rifki Syarani Fachry
Penerbit: Public Enemy Books
Cetakan: Mei 2021
Isi: 76 Halaman
ISBN: - (No Copyright)