Rob York

Bapak “Kemandirian”: Nasionalis Korea yang Menjadi Anarkis Visioner, Sin Chae-Ho

11/01/2021

Korea Utara dan Selatan tidak memiliki banyak kesamaan pada saat ini, setelah puluhan tahun dihabiskan dalam sistem politik dan ekonomi yang sangat berbeda.

Namun, ada satu hal yang diwariskan oleh kedua sisi DMZ (Zona Demiliterisasi Korea), yaitu, konsep minjok, sebuah kata yang diterjemahkan sebagai “rakyat” tetapi dapat merujuk, secara lebih luas, kepada bangsa Korea dan ras Korea. Dengan demikian, hal yang umum di kedua sisi Semenanjung Korea untuk mengatakan bahwa hanya ada satu bangsa Korea[2], yang terpisah bertentangan keinginan minjok[1], dan penyatuan adalah keharusan.

Kesamaan lainnya: kedua negara Korea tersebut sama-sama mendapatkan istilah tersebut dari seorang liberal-yang-menjadi-anarkis awal abad ke-20 yang berubah menjadi anarkis yang akan terkejut melihat bagaimana kedua negara telah menggunakan idenya sejak itu.

Asal-Usul Sin

Filsuf, penyair, novelis, dan pembaharu sosial Sin Chae-ho lahir pada tahun 1880, menjelang akhir Dinasti Joseon, ia berasal dari keluarga yang berpengaruh dan dipersiapkan untuk menjadi seorang sarjana Konfusianisme. Hal tersebut merupakan jalan menuju peningkatan derajat sosial di Korea pada akhir abad ke-19: seperti di jaman China kuno, penguasaan ajaran moral Konfusianisme adalah jalan menuju posisi elit dalam tatanan sosial negara. Sin adalah murid berbakat Neo-Konfusianisme, lulus dengan gelar doktor pada usia 25.

Namun, situasi berubah dengan cepat di Asia Timur, seperti halnya arus bawah intelektual pada zaman itu. Pada tahun 1895, Kekaisaran Jepang mengalahkan Dinasti Qing Tiongkok dengan telak pada Perang Tiongkok-Jepang Pertama, mengakhiri status Tiongkok sebagai penguasa daratan, dan Kekaisaran Jepang yang dimodernisasi memantapkan dirinya sebagai penguasa daratan.

Salah satu gagasan yang diwariskan Kekaisaran Jepang kepada tetangganya adalah tentang kesadaran nasional, dan perlunya modernisasi demi kebaikan bangsa. Sementara kerajaan dan kekaisaran di Asia Timur hanya pernah sekali melihat reproduksi sosial dan politik sebagai tujuan – yaitu penekanan moralitas Konfusianisme pada hubungan dan hierarki sosial – namun dimulai pada akhir 1860-an, Jepang pada Era Meiji[3] telah menghancurkan kekuatan kelas istimewa mereka – samurai[4] – sambil menekankan perlunya industrialisasi dan masyarakat publik yang berpendidikan. Beberapa dekade kemudian, kemenangan cepat mereka atas Qing menunjukkan nilai praktis dari perkembangan tersebut.

Oleh karena itu, banyak cendekiawan akhir era Joseon menolak norma-norma Konfusianisme lama, dan mulai berpaling ke Jepang dan negara industri Barat. Tetapi modernisasi mereka tidak berjalan cukup cepat untuk memuaskan Jepang; Jepang melihat Semenanjung Korea yang terbelakang mengundang penaklukan dari negeri Barat yang pada akhirnya dapat mengancam Negeri Matahari Terbit. Pada tahun 1905 merekamelakukan intervensi untuk menegaskan kendali Korea sebelum orang lain melakukannya, pertama menempatkan Korea di bawah protektorat – hanya memberikan diri mereka (Jepang) kendali atas urusan luar negeri Korea dan proses suksesi kerajaan – dan kemudian mencaploknya langsung pada tahun 1910.

Pada titik ini, Sin, yang setelah mendapatkan gelarnya mengambil posisi di sebuah koran lokal, mulai menjadi editorial tentang masa depan Korea. Dia berargumen bahwa, meski banyak kerajaan telah memerintah semenanjung Korea – terkadang secara bersamaan – tidak ada yang tidak dapat dipisahkan dari “bangsa” Korea, yang menurutnya terdiri dari orang-orang yang menduduki wilayah tersebut – maka minjokdiidentifikasikan dengan “rakyat,” bersama dengan “ras” dan “bangsa.” Dan, agak unik untuk zamannya, dia berpendapat bahwa kerajaan, kekaisaran, negara bagian, dll. yang mengecewakan rakyat maka kehilangan hak untuk memerintah.

Dalam tulisannya, dinasti Joseon telah mengecewakan orang-orang di Semenanjung Korea, membuat mereka rentan terhadap gangguan Jepang, dan oleh karena itu reformasi diperlukan. Tetapi reformasi semacam itu tidak dapat terjadi di tangan Jepang – mereka adalah orang asing dan tidak memiliki hak untuk memerintah Semenanjung Korea. Pemikiran berbasis ras Sin mungkin tidak disukai oleh audiens modern, tetapi harus dicatat bahwa itu bukan hal yang aneh pada era itu. Juga, harus dicatat bahwa Sin mengidentifikasi liberalisme (yaitu hak individu) sebagai komponen kunci untuk pemerintahan yang baik, yang akan dibutuhkan – bukan agar ras Korea mendominasi ras lain, tetapi untuk bertahan dalam dekade yang penuh gejolak yang akan datang.

Daya Tarik Ide Kemandirian

Tulisan Sin mulai menarik perhatian walaupun terlambat: pada saat “A New Reading of History” (Doksa Sillon) diterbitkan pada tahun 1907, Jepang telah menghancurkan kedaulatan Korea, dan segera mereka akan mengklaim semenanjung itu secara langsung. Setelah aneksasi, Sin meninggalkan Korea ke Manchuria, di mana dia memperingatkan dunia luar bahwa pencaplokan Jepang atas Semenanjung Korea akan segera menjadi landasan peluncuran untuk ambisi memperlebar teritorial tambahan – sesuatu yang terbukti benar pada tahun 1931 ketika Jepang menyerbu dan menaklukkan Manchuria, yang menunjukkan penaklukannya nanti di Asia dan, akhirnya, persaingan mautnya dengan Amerika Serikat.

Peringatan Sin juga tidak dihiraukan. Pada 1920-an Sin telah meninggalkan nasionalisme Korea dan pemikiran rasial, karena skeptisisme negara terhadap “Bacaan Baru” telah memberi jalan kepada anarkisme langsung[5], dan ia berusaha untuk menghancurkan negara dan musuh rakyat lainnya – dimulai dengan imperialis Jepang. Dia ditangkap pada tahun 1928 karena menyelundupkan uang palsu untuk mendanai kegiatan Asosiasi Anarkis Timur – termasuk pembuatan bom. Dia akan tetap di penjara sampai kematiannya pada tahun 1936 pada usia 55 tahun.

Ide-idenya, bagaimanapun, tidak akan terlupakan. Menyusul pembebasan Korea pada akhir Perang Dunia II, setelah Perang Korea, dan setelah kudeta militer tahun 1961 yang membawa diktator yang berorientasi pembangunan Park Chung-hee ke tampuk kekuasaan, gagasan Sin kembali populer ke garis depan kehidupan intelektual Korea Selatan. Park yang merupakan veteran militer yang beruban melakukan penghinaan yang sama[6] dengan Sin terhadap monarki Joseon yang telah membuat negara itu terbelakang, tunduk pada China, dan lemah. Dia membangkitkan referensi Sin untuk minjok dan, dengan rencana berat pada industrialisasi dan ekspor, membangun ekonomi modern, sehingga membantu Republik Korea mencapai Juche – istilah yang dipinjam dari istilah Jerman Subjekt, di Jepang disebut Shutai, dan yang saat ini biasanya diterjemahkan sebagai “kemandirian.”

Apakah istilah Juche terlihat familiar? Mungkin memang seharusnya: Korea Utara mengklaim itu telah menjadi prinsip pedoman negara sejak pendirian nasional, meskipun beberapa ahli berpendapat bahwa itu tidak menjadi hal yang biasa dalam wacana Korea Utara sampai akhir tahun 60-an, jauh setelah Park Chung-hee mulai menggunakannya. Apa pun masalahnya, banyak pakar[7] telah menyelidiki penggunaan istilah Korea Utara dalam tulisan-tulisan Sin Chae-ho, pembelaannya terhadap minjok, dan kecaman atas ketidakefektifan Joseon.

Tapi seperti Park Chung-hee – yang memerintah Korea Selatan dengan tangan besi sampai pembunuhannya tahun 1979 – mereka tidak pernah membahas liberalisme Sin, atau pandangannya bahwa pemerintah yang mengecewakan rakyat kehilangan hak untuk memerintah – dan dalam kasus Korea Utara, hanya ada sedikit keheranan mengapa. Yang juga diabaikan adalah keyakinan anarkis Sin.

Apa pun yang dipikirkan seseorang tentang teori-teorinya yang berbasis ras sebelumnya, visi yang konsisten di seluruh pemikiran Sin Chae-ho menyatakan bahwa kemajuan tidak direncanakan dari atas ke bawah, tetapi dapat ditemukan dalam upaya individu rakyat jelata – dan bahwa negara sering kali merupakan musuh rakyat.

Sayangnya, aspek pemikirannya itu terlalu sering dilupakan.


Referensi

[1] https://www.researchgate.net/profile/Henry_Em/publication/334093736_Minjok_as_a_Modern_and_Democratic_Construct_Sin_Ch’_aeho’_s_Historiography/links/5d1611f692851cf440534f2c/Minjok-as-a-Modern-and-Democratic-Construct-Sin-Ch-aeho-s-Historiography.pdf

[2] https://publications.aston.ac.uk/id/eprint/25584/1/New_approaches_to_North_Korean_politics_after_reunification.pdf

[3] https://www.history.com/this-day-in-history/meiji-restoration-in-japan

[4] https://www.history.com/topics/japan/samurai-and-bushido#:~:text=As%20servants%20of%20the%20daimyos,abolition%20of%20the%20feudal%20system.

[5] https://theanarchistlibrary.org/library/sin-chaeho-the-declaration-of-joseon-revolution

[6] https://digitalcommons.unl.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1000&context=chadron

[7] https://en.wikipedia.org/wiki/Sin_Chaeho#Juche


Teks aslinya berjudul: The Father of “Self-Reliance”: Korea’s Nationalist Turned Anarchist Visionary, Sin Chae-ho. Lalu diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Ameyuri Ringo untuk C4SS