Title: Neoliberalisme Sialan!
Author: Simon Springer
Language: Bahasa Indonesia
Date: 07/07/2016
Notes: Ditulis oleh Simon Spinger dari Department of Geography, University of Victoria, dengan judul asli "Fuck Neoliberalism!" dan diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Okty Budiati, 2018.

Neoliberalisme Sialan (Fuck Neoliberalism). Itulah pesan tumpulku. Aku mungkin dapat mengakhiri diskusi ini sekarang, dan itu tidak masalah. Posisiku tetap jelas, dan Anda menangkap inti dari apa yang ingin kukatakan. Aku tidak memiliki sesuatu yang positif untuk ditambahkan dalam diskusi tentang neoliberalisme ini, dan jujur ​​saja, aku sudah terlalu muak untuk memikirkannya. Aku sudah mempertimbangkan, dan menyebut makalahku ini menjadi ‘Neoliberalisme Sialan’ sebagai gantinya, seperti dalam beberapa hal, tepatnya apa yang ingin kulakukan, aku telah menulis tentang masalah ini selama bertahun-tahun (Springer 2008, 2009, 2011, 2013, 2015; Springer dkk. 2016), hingga aku tiba pada satu titik, di mana tidak lagi mau menguras banyak energi hanya untuk mengabadikan ketakutan sebagai pegangan penciptaan ide. Refleksiku menyadari bahwa sebagai manuver politik, hal itu sangat berbahaya, seperti hanya menempelkan kepala kita di dalam pasir, dan secara kolektif mengabaikan fenomena yang berdampak pada penghancuran, hingga melemahkan dunia kita bersama. Seperti ada kekuatan berkelanjutan dari sebuah neoliberalisme yang sulit ditolak, dan aku tidak yakin, bahwa pendekatan yang tepat tidak lain strategi yang membodohkan (Springer 2016a). Jadi, apa yang aku pikirkan akan seperti; ‘baiklah mengalaminya semua itu’, dan sementara menulisnya dengan ketenangan yang lembut dapat mengurangi potensi pelanggaran atas pilihan judul tulisanku sebagai pertimbangannya. Mengapa kita harus menjadi khawatir menggunakan kata-kata kotor tentang wacana keji neoliberalisme itu sendiri? Aku memutuskan untuk melakukan pelanggaran dengan kesal, dengan menyinggung perasaan, karena kita memang harus tersinggung kepada neoliberalisme yang sangat membingungkan, dan karena itu, kita harus melanggarnya. Tidakkah akan melunakkan gelar dengan konsesi lain dalam kekuatan neoliberalisme? Awalnya aku pun khawatir dengan reputasiku atas pilihan judulku ini. Apakah akan menghambat promosi, dan penawaran pekerjaanku di masa depan, seandainya aku ingin mempertahankannya di akademisi, baik ke wilayah atas atau ke wilayah yang baru? Ini terasa seperti rentetan kekalahan bagi disiplin neoliberal. Persetan dengan itu.

Hal itu sama saja membuatku mengakui bahwa tidak akan ada tanggapan yang tepat untuk melawan wacana neoliberalisme. Seakan kita hanya dapat menanggapi format akademis hanya melalui teori geografis yang kompleks tentang variegasi, hibriditas, dan mutasi untuk melemahkan bangunannya. Ini tampak tidak berdaya, dan walaupun aku telah berkontribusi dalam artikulasi untuk beberapa teori ini (Springer 2010), dan aku sering merasa bahwa jenis pembingkaiannya sesuai dengan jenis argumen yang ingin kubuat. Sedangkan di keseharian, biasa, tidak biasa, bahkan duniawi, menurutku harus ada penolakan politik. Maka aku memilih ‘Fuck Neoliberalism‘, karena inilah yang ingin kusampaikan. Aku menginginkan argumenku memiliki nuansa itu dengan lebih banyak menggunakan istilah ‘fuck’ yang mungkin akan kulakukan di lain waktu dalam hidupku. Betapa kata yang sangat bagus! Ia bekerja sebagai kata benda atau kata kerja, dan sebagai kata sifat itu mungkin merupakan tanda seru yang paling sering digunakan dalam bahasa Inggris. Istilah ini memang biasa digunakan dalam mengekspresikan kemarahan, penghinaan, gangguan, ketidakpedulian, kejutan, ketidaksabaran, atau bahkan dapat menjadi penekanan yang tidak berarti karena hanya bantalan lidah. Anda bisa ‘mengacaukan sesuatu’, ‘bercinta dengan seseorang’, ‘bercinta di sekitar’, ‘tidak bercanda’, dan ada titik geografis yang jelas untuk merujuk pada kata sejauh yang Anda mampu perintahkan untuk ‘pergi bercinta sendiri’. Pada titik ini Anda mungkin bahkan berpikir ‘ok, tapi siapa yang memberikan “fuck”?’ Baiklah, aku tahu, jika Anda tertarik untuk mengakhiri neoliberalisme, seharusnya Anda melakukannya. Kemampuan yang kuat dengan menyertakan kata akan mampu menantang potensi neoliberalisme. Untuk menggali dan membongkar kemampuan ini, kita perlu menghargai nuansa apa yang bisa diartikan dengan ungkapan ‘fuck neoliberalism’. Namun pada saat yang sama, bercinta dengan nuansa itu. Seperti yang dikemukakan Kieran Healy (2016: 1), ini “biasanya menghalangi perkembangan teori yang secara intelektual menarik, secara empiris generatif, atau hampir berhasil“. Jadi tanpa bernafaskan nuansa ini, mari kita percepat kinerja ini bersamaku, dan kita harus berani mengacaukan neoliberalisme.

Dalam hal pertama, dan yang paling jelas. Dengan mengatakan ‘fuck neoliberalism‘ maka akan mengekspresikan kemarahan kita terhadap mesin neoliberal. Ini adalah indikasi kemarahan, keinginan, kebencian, dan memuntahkannya kembali racunnya tepat di wajah kejahatan yang paling jahat, dan yang telah ditunjukkannya kepada kita semua. Hal ini akan mampu hadir hanya dalam bentuk memobilisasi lebih banyak demonstrasi melawan neoliberalisme atau dalam menulis lebih banyak makalah, dan buku yang mengkritisi pengaruhnya. Hingga untuk yang terakhir, berkhotbah kepada pertobatan, dan yang pertama berharap, bahwa orang yang sesat akan bersedia untuk mengubah cara-cara mereka. Bukan saya berbagi metode, namun hal ini mampu menjadi taktik penting dalam perlawanan kita, dan saya meyakini bahwa mereka sama sekali tidak cukup kuat untuk mengubah arus dalam melawan neoliberalisme yang menguntungkan kita. Dalam membuat gerakan massa yang agung, maka kita harus berusaha menarik aktor yang berpengaruh ke dalam percakapan yang serius, bahwa mereka mungkin mendengarkan serta mulai mengakomodasi suara penolakan terpopuler (Graeber 2009). Bukankah sebaiknya kita berbicara? Inilah pemikiran yang kedua tentang makna dari ‘fuck neoliberalism‘, yang tidak lain merupakan gagasan penolakan. Ini akan menjadi advokasi untuk mengakhiri neoliberalisme (seperti yang kita ketahui) dengan cara yang lebih maju oleh JK. Gibson-Graham (1996) namun kita berhenti membicarakannya. Para ilmuwan, pada khususnya, lebih memprioritaskan fokusnya hanya kepada studi mereka. Mungkin tidak sepenuhnya melupakan atau mengabaikan neoliberalisme, yang selama ini saya anggap bermasalah, tapi berlanjut dengan tulisan tentang hal-hal lain. Sekali lagi ini adalah titik kontak yang sangat penting bagi kita saat kita bekerja melampaui pandangan dunia neoliberal, tapi di sini juga saya tidak sepenuhnya yakin bahwa ini sudah cukup. Seperti yang dikatakan Mark Purcell (2016: 620), “Kita perlu berpaling dari neoliberalisme, dan menuju diri kita sendiri, untuk memulai usaha yang sulit – tapi juga menyenangkan – untuk mengelola urusan kita, untuk diri kita sendiri”. Sementara ini sebuah penyangkalan, protes, dan kritik sangatlah diperlukan, dan kita juga perlu memikirkan secara aktif bagaimana mengacaukan neoliberalisme, yaitu, dengan melakukan hal-hal di luar jangkauannya.

Tindakan langsung di luar wilayah neoliberalisme adalah berbicara ke dalam politik prefiguratif (Maeckelbergh 2011), yang merupakan pengertian ketiga, dan paling penting dari apa yang kupikir, bahwa kita harus fokus pada saat membuat gagasan ‘fuck neoliberalism‘. Prefigure sendiri berarti adalah menolak sentinis, hierarki, dan otoritas yang datang melalui politik representatif dengan menekankan praktik dalam hubungan horizontal, dan tentunya membangun organisasi yang mencerminkan apa yang dicari oleh masyarakat di masa depan (Boggs 1977). Setelah memasuki tahap prefigurasi, lalu memasuki tindakan langsung yang berpendapat bahwa tidak pernah ada percakapan yang harus dilakukan, dan menyadari bahwa apa pun yang ingin kita lakukan, kita dapat melakukannya sendiri. Walau demikian, hal yang perlu diperhatikan secara signifikan terhadap cara-cara di mana neoliberalisme dapat menangkap, menyesuaikan semua jenis wacana, dan imperatif politik (Barnett 2005; Birch 2015; Lewis 2009; Ong 2007). Bagi para kritikus seperti David Harvey (2015), dan hanya badan negara yang mampu menyelesaikan pertanyaan neoliberal dengan cepat, menolak organisasi non-hirarkis, melakukan politik horizontal, dan mengecohkan masa depan neoliberal yang terjamin. Namun pesimisnya, sepenuhnya salah dalam memahami makna dari politik prefiguratif yang akan menjadi sarana tanpa akhir, selain membuat sarana masa depan (Springer 2012). Dengan kata lain, perlunya kewaspadaan secara terus-menerus, dan terus-menerus, hingga terbangun politik prefiguratif hingga praktiknya tidak terkooptasi. Ini bersifat refleksif sekaligus pandangan menuju produksi, penemuan, dan penciptaan sebagai kepuasan atas keinginan masyarakat. Dengan cara ini, politik prefiguratif secara eksplisit adalah gerakan anti-neoliberal. Mereka memanfaatkan sarana sebagai sarana kita, sarana tanpa akhir. Untuk prefigure yang merangkul keramahan, dan kegembiraan yang datang bersamaan dengan persamaan radikal, bukan sebagai pelopor, dan proletar di jalan menuju janji utopia kosong yang transendental atau ‘tempat yang kosong’, namun sebagai bukti iman yang kokoh di sini, sekarang saatnya membuat sebuah dunia baru ‘di dalam cangkang yang lama’ dengan kerja keras, dan penegasan kembali yang terus-menerus (Ince 2012).

Tidak ada apa-apa tentang neoliberalisme yang pantas untuk kita hormati, dan karena itu dalam konser politik prefiguratif penciptaan, pesan saya cukup sederhana ‘fuck it’. Persetan dengan politik imajinasi kita. Persetan dengan kekerasan yang ditimbulkannya. Persetan dengan ketidaksetaraan yang dianggapnya sebagai kebajikan. Persetan karena semua itu telah merusak lingkungan. Persetan siklus akumulasi, dan kultivasi pertumbuhan tanpa henti. Persetanlah masyarakat Mont Pelerin, dan semua ‘think tank’ yang terus menerus menopang, dan promosikannya. Fuck Friedrich Hayek, dan Milton Friedman, karena telah membebani kita dengan gagasan mereka. Persetan para Thatcher, Reagans, dan semua politisi pengecut yang mementingkan diri sendiri dengan berusaha menggaruk bagian belakang ketamakan. Persetan pengecualian rasa takut yang melihat ‘orang lain’ layak membersihkan toilet kita, dan mengepel lantai kita, tapi bukan sebagai anggota komunitas kita. Persetanlah langkah intens menuju metrik, dan kegagalan untuk menghargai, bahwa tidak semua hal yang diperhitungkan dapat dihitung. Persetan keinginan untuk keuntungan atas kebutuhan masyarakat. Fuck seluruh neoliberalisme, fuck yang menaiki kuda Troya! Telah lama kita diberitahu ‘tidak ada alternatif’, bahwa ‘pasang naik mengangkat semua kapal’, bahwa kita hidup di dunia mimpi buruk Darwin, dari semua melawan semua, ‘survival of the fittest’. Kami telah menelan gagasan tentang ‘tragedi the commons’ hook, line and sinker; padahal kenyataannya semua ini adalah tipu muslihat yang benar-benar mencerminkan ‘tragedi kapitalisme’ dengan perang penjarahannya yang tiada akhir (Le Billon 2012). Garrett Hardin (1968) dalam Achilles’ heels adalah; bahwa dia tidak pernah berhenti untuk memikirkan bagaimana ternak penggembalaan telah dimiliki secara pribadi. Apa yang mungkin terjadi ketika kita menemukan kembali hakekat yang sebenarnya sebagai milik bersama tanpa prasangka kepemilikan pribadi (Jeppesen et al., 2014)? Apa yang mungkin terjadi ketika kita mulai memperhatikan lebih dekat pada pilihan alternatif yang telah terjadi dengan mengistimewakan pengalaman ini sebagai bentuk organisasi yang paling penting (White dan Williams 2012)? Apa yang mungkin terjadi ketika alih-alih menelan pil pahit persaingan dan pernikahan, sebaliknya kita malah memfokuskan energi untuk tidak mengobati neoliberal kita, namun pada penyembuhan yang lebih dalam yang disertai kerjasama dan bantuan timbal balik (Heckert 2010)?

Jamie Peck (2004:403) pernah menyebut neoliberalisme sebagai ‘slogan politik radikal’, namun tidak lagi cukup bertahan lama dalam wilayah kritik. Sudah bertahun-tahun berlalu, sejak kami pertama kali mengidentifikasi musuh, dan sejak saat itu kami telah mengetahuinya dengan baik melalui tulisan dan protes kami. Tetapi bahkan ketika kami pun meyakini kekalahannya, karena setelah krisis keuangan 2008 dalam Gerakan Pendudukan berikutnya, ia akan terus mengudara, berhijrah dengan bentuk zombikasi yang lebih kuat (Crouch 2011; Peck 2010). Japhy Wilson (2016) menyebutnya kekuatan sebagai ‘gothic neoliberal’, dan aku meyakini bahwa untuk mengatasi kejadian horor ini, kita harus pindahkan politik ke dalam dunia yang tidak aktif (Rollo 2016). Bagaimana jika ‘fuck neoliberalism‘ kita jadikan sebagai mantra untuk jenis politik baru? Frasa yang memungkinkan untuk berbicara, tidak hanya untuk tindakan, tapi juga untuk reklamasi kehidupan kita di ruang, dan waktu, di mana kita aktif menjalaninya? Bagaimana jika setiap kali kita menggunakan ungkapan ini, kita menyadari bahwa itu berarti panggilan untuk agen yang tidak aktif, yang melampaui kata-kata belaka, menggabungkan teori dan praktik ke dalam praksis prefigurasi yang indah? Kita harus mengambil pendekatan multi penolakan terhadap neoliberalisme. Meskipun kita tidak dapat mengabaikannya sepenuhnya atau melupakannya, kita dapat secara aktif berupaya melawannya dengan cara yang melampaui kinerja retorika, sekaligus retorika kinerja. Dengan segala cara; mari maju sebuah slogan politik radikal baru. Gunakan hashtag (#fuckneoliberalism), jadikanlah penghinaan ini sebagai virus! Tapi kita harus melakukan lebih dari sekadar mengungkapkan kemarahan kita. Kita harus memiliki tekad dengan mewujudkan harapan sebagai iman dari pengalaman kita yang terkandung di sini, dan sekarang (Springer 2016a). Kita perlu membuat ulang dunia kita sendiri, sebuah proses yang tidak dapat ditunda.

Dengan sengaja kami menipu, dan melemahkan diri dengan terus mengajukan banding atas pengaturan representasi politik yang ada. Iman kita yang buta membuat kita menunggu tanpa henti agar seorang penyelamat turun dari langit. Sistem ini telah terbukti benar-benar rusak parah, di mana berkali-kali kandidat politik besar berikutnya terbukti gagal. Saat ini neoliberal bukanlah masalah individu yang berkuasa. Sebaliknya, kepercayaan terhadap sistem itu sendiri yang menjadi inti dari masalah. Kami memproduksi dan mengaktifkan kondisi kelembagaan demi ‘Lucifer Effect‘ untuk dimainkan sendiri (Zimbardo 2007). ‘Kejahatan yang binal’ sedemikian rupa sehingga para politisi ini hanya melakukan pekerjaan mereka dalam sistem yang hanya memberi imbalan penyimpangan kekuasaan, karena semuanya dirancang untuk melayani hukum kapitalisme (Arendt 1971). Tapi kita tidak harus taat. Kita tidak terikat dalam pesanan ini. Melalui tindakan langsung, dan pengorganisasian alternatif, kita dapat mendakwa seluruh struktur dalam memutus jaring lingkaran pelecehan ini. Ketika sistem politik didefinisikan, dikondisikan, terjerat, dan berasal dari kapitalisme, maka tidak akan pernah dapat mewakili cara kita untuk mengetahui keberadaan di dunia ini, jadi kita perlu mengendalikan jalan hidup ini, dan merebut kembali kolektif kita. Kita harus mulai menjadi tidak aktif dalam politik kita, dan mulai merangkul rasa solidaritas yang lebih relasional, sebuah solidaritas yang mengakui bahwa penaklukan, dan penderitaan seseorang sebenarnya menunjukkan penindasan semua (Shannon dan Rouge 2009; Springer 2014). Kita bisa memulai hidup di dunia lain yang mungkin melalui komitmen baru terhadap praktiknya untuk saling membantu, membuat persekutuan, melakukan timbal balik, membentuk organisasi non-hirarkis demi sebuah demokrasi untuk rakyat. Pada akhirnya, neoliberalisme adalah gagasan yang sangat kotor, yang datang dengan serangkaian konsekuensi vulgar, dan asumsi kasar. Sebagai tanggapan, pantas untuk dipenuhi dengan bahasa, dan tindakan yang sama menyinggungnya. Komunitas kita, kerja sama kita, dan kepedulian kita terhadap satu sama lain sangat menjijikkan bagi neoliberalisme. Mereka membenci apa yang kita rayakan. Jadi ketika kita mengatakan ‘fuck neoliberalism‘ berarti hanya kata-kata saja, biarlah itu menjadi komitmen kita satu sama lain. Ucapkan dengan suara keras, ucapkan bersamaku, dan katakan pada siapa saja yang mau mendengarkannya, tapi yang paling penting, seruan untuk bertindak sebagai wujud nyata dari kekuatan prefiguratif dalam mengubah dunia yang sialan ini. Neoliberalisme Sialan!