“Saya adalah seorang anarkis bukan karena saya percaya dengan anarkisme, tapi karena saya percaya bahwa tidak ada suatu tujuan akhir.”
—Rudolf Rocker

Visi-visi anarki adalah ideal-ideal yang kemudian dijelaskan sebagai kemungkinan dan potensi eksistensi umat manusia. Perkembangan selanjutnya, melalui beragam reinterpretasi, akan menemui beragam artikulasi anarki yang menekankan pada kontinuitas perjuangan yang tanpa batas untuk memperluas lingkup kebebasan, yang secara konsiten didasari pada:


Penentangan terhadap otoritas.

Pada umumnya penentangan anarkis terhadap otoritas terkait pada penentangannya terhadap institusi negara dan institusi agama. Namun penentangan anarkis terhadap otoritas meluas sebagai suatu penolakan terhadap keterasingan manusia (yang diatur oleh otoritas tersebut) terhadap kemampuan, potensi dan hasrat/kehendak manusia itu). Maka penolakan terhadap keterasingan ini juga mencakup penolakan terhadap segala bentuk otoritas yang tidak dapat dilegitimasikan dengan alasan rasional, termasuk bentuk-bentuk kepemimpinan dan perwakilan. Meskipun pada dasarnya anarki menentang otoritas, tentunya terjadi pengecualian-pengecualian dalam kondisi-kondisi kritis ketika kepemimpinan dan perwakilan yang bersifat temporer tidak dapat dihindari.

Pada konstruksi relasi-relasi manusia berdasarkan asosiasi bebas.

Anarki bukan sekedar suatu proposisi negatif yang berkutat pada penolakan, tapi juga menggagas konstruksi relasi manusia yang (lebih) membebaskan. Elaborasi tentang konstruksi relasi sosial adalah perbedaan mendasar dalam praksis anarki dengan aliran-aliran politik lainnya. Proyek-proyek anarkis selalu menekankan pada relasi horisontal di antara para partisipannya, penekanan pada inisiatif individual dan pengembangan potensi individual. Anarki yang terbatas dalam ruang dan waktu, dipraktekkan dalam proyek-proyek anarkis—di mana cara (untuk mencapai tujuan) dan tujuan anarki menjadi sesuatu yang terintegrasi dalam konteks-konteks tersebut.

Di sini pentingnya memaknai anarki, secara berbeda dengan isme-isme lainnya—bahwa anarki menolak doktrin absolut. Sekaligus ini adalah juga kritik terhadap anarki(sme) tradisional yang absolutis dengan cetak biru masa depannya. Bahkan kita dapat menemui artikulasi anarki sebagai kontinuitas perjuangan untuk memperluas lingkup kebebasan yang terus menerus tanpa suatu definisi akhir.

Di awal abad keduapuluh satu ini, teori anarki telah mengalami perkembangan dan pembaharuan, seiring dengan persinggungannya dengan teori-teori dari beragam displin ilmu sosial, di antaranya pengadopsian dan pengadaptasian pendekatan yang dikembangkan beragam wacana postrukturalis. Gerakan dan teori anarki dalam beberapa dekade ini, menjadi cukup lentur untuk “berbaur” dengan beragam gerakan yang secara umum disebut sebagai gerakan antiotoritarian dan gerakan sosial/politk baru, yang secara fundamental didasari pada politik nonhirarkis, desentralis, otonom dan swakelola.

Genealogi Kekuasaan

Anggapan umum yang menyederhanakan anarki sebagai suatu aliran pemikiran yang hanya berurusan dengan pemusnahan negara adalah suatu bentuk pemiskinan terhadap kekayaan intelektual dan wawasan anarki. Anarki bukanlah semata-mata penentangan terhadap negara, tapi merupakan artikulasi tentang kekuasaan yang melandasi relasi manusia, tentang kritik pada hubungan-hubungan antara kekuasaan dan keterasingan manusia terhadap dirinya sendiri, tentang rekonstruksi kekuasaan dan relasi-relasi sosial.

Anarki bertitik tolak dari antagonisme antara kekuasaan/dominasi pada satu sisi dan kooperasi dan subyektifitas manusia (kekuasaan positif) pada sisi lainnya. Monarki-monarki merupakan bentuk kekuasaan absolut yang mendominasi rakyatnya pada zaman feodalisme; disusul oleh negara nasion (sebagai fenomena dominan dalam zaman modern) dalam bentuknya, oligarki dan totalitarian; sedangkan di sebagian besar wilayah di Asia dan Afrika terjadi dominasi oleh pemerintahan kolonial, sebelum wilayah-wilayah ini mencanangkan perjuangan-perjuangan kemerdekaan nasional, yang akhirnya juga membentuk negara nasion-negara nasion baru; saat ini, negara nasion dan neoliberal yang mengglobal, merupakan rezim-rezim yang mendominasi masyarakat secara simultan.

Anarkis awal di wilayah-wilayah Eropa, melontarkan banyak kritiknya terhadap negara, karena memang negara merupakan mode dominasi yang dominan pada waktu itu. Meskipun sebenarnya anarki melontarkan kritik-kritiknya terhadap konsentrasi kekuasaan, pada segala bentuk hirarki yang dikonstruksi secara sosial—pada hirarki laki-laki atas perempuan, tua terhadap muda, atasan terhadap bawahan dalam dunia kerja, pemimpin dan institusi moral terhadap konstituennya, dan lain sebagainya.

Negara menjadi tema sentral anarki karena negara memayungi beragam bentuk hirarki dan kekuasaan elitis, yang mempunyai dampak luas dan mendalam terhadap kehidupan sosial. Negara, dalam beragam bentuknya baik itu oligarki ataupun totalitarian, melalui birokrasi, menggunakan wewenangnya yang mengatur kehidupan mayoritas masyarakat, dan memonopoli kekerasan teroganisir (tentara dan polisi). Meskipun di tiap-tiap negara terdapat perbedaan-perbedaan spesifik pada derajat wewenang birokrasi negara, partisipasi masyarakat, keragaman jenis institusi sektoral di tiap-tiap negara dan bentuk-bentuk monopoli kekerasan, pada dasarnya negara merupakan bentuk sentralisasi kekuasaan oleh minoritas untuk mengatur kehidupan populasi mayoritas.

Dalam negara dengan demokrasi yang paling liberal sekalipun, sistem-sistem pemilihan wakil rakyat tetap tidak dapat mengubah wajah negara. Sejarah parlementarisme Amerika, negara yang dianggap demokratis, menyingkap fakta bahwa parlemen pada awalnya tidak lebih dari kumpulan para tuan tanah (yang pada waktu itu masih lengkap dengan budaknya). Dan mereka berbicara bagaimana sistem parlementarian merupakan sebuah sistem yang akan menjamin kebebasan tiap-tiap orang dan pada saat bersamaan dapat melanggengkan previlase-previlase politik dan ekonomi mereka.

Elitisme sistem parlementarian ditunjukkan juga oleh sejarah abad ke19 di Eropa. Di awal pembangunan sistem parlementarian, mayoritas anggota parlemen, adalah mereka yang ditunjuk oleh elit-elit yang berkekuasaan—anak-anak para tuan tanah, pengusaha, dan pengacara.

Walter Lippmann, seorang demokrat Amerika, ternyata juga seorang perintis apa yang dinamakan konsep mengenai rekayasa opini publik yang dia namakan order demokratis baru, yaitu demokrasi parlementer. Pertama ada peran yang diusung oleh mereka dari “kelas khusus”,

”orang yang bertanggung jawab”, yang mempunyai akses terhadap informasi dan pemahaman—baginya orang-orang inilah yang “bertanggung jawab” untuk membentuk “opini publik yang baik”, Mereka (yang tergabung dalam kelas khusus) berinisiatif, mengadministrasi dan menyelesaikan dan harus dilindungi dari ‘orang luar yang tidak mempunyai kesadaran dan rusuh’. Bagi Lippmann, bukanlah pada tempatnya bagi publik untuk memberikan penilaian, tapi cukup untuk sekedar memberikan ‘kekuasaan’ pada ‘orang-orang yang bertanggung jawab’.

Pada tahap lanjut perkembangan negara-nasion dan kapitalisme modern, praktek-praktek pengontrolan yang semakin sistematis diterapkan pada populasi, melalui beragam teknik pengontrolan, terutama ditujukan pada pengontrolan populasi dan kehidupan manusia/tubuh, melalui statistik dan probabilitas, terutama dalam bidang kesehatan masyarakat dan regulasi ancaman (resiko terhadap kehidupan populasi). Bentuk-bentuk pengontrolan yang termasuk pengelolaan keturunan (keluarga), pengumpulan dan pemetaan sistematis etnisitas dan agama masyarakat.

Negara, sebagai bentuk kekuasaan adalah relasi sosial—dari dirinya sendiri, negara tidak mempunyai kekuasaan—seluruh kekuasaannya berasal dari akumulasi kekuasaan yang diberikan warga negaranya dan dari waktu ke waktu negara mengambilalih lebih banyak kekuasaan dari warganya. Hukum, undang-undang, ritual kenegaraan dan seluruh citra kenegaraan—hanya bisa bermakna ketika terjadi “konsensus” (melalui pemaksaan, hegemoni dan secara subliminal[1] ) antara negara dan warganya. Seluruh asumsi tentang kekuasaan negara, terlepas dari kekuasaan yang diberikan oleh atau diambilalih dari masyarakat, secara bersamaan warga (negara)/masyarakat telah kehilangan kekuasaannya.

Negara/nasionalisme menggunakan loyalitas pada kesamaan bahasa, etnisitas, kultural dan tradisi, lalu mengerucutkannya pada bentuk-bentuknya yang chauvinis untuk melegitimasikan eksistensi negara dalam landasan yang seolah-olah merupakan pijakan bersama. Bentuk chauvinis, loyalitas tanpa batas inilah, yang menjadi esensi dari patriotisme, suatu bentuk keterasingan manusia (yang mengidap patriotisme) dari kesadarannya—kesadaran bahwa dia dan minoritas yang melanggengkan negara tidak mempunyai kepentingan-kepentingan umum. Seperti yang kita ketahui bahwa banyak sekali terjadi kontradiksi-kontradiksi dalam klaim-klaim negara nasion sebagai perluasan komunitas yang berpijak pada kesamaan biologis dan tradisi. Di sini kita dapat mengutip Benedict Anderson yang mendefinisikan nasion sebagai konstruksi sosial yang hanya berada pada tataran “dapat dibayangkan”, bagi mereka yang merasa menjadi bagian dari sebuah nasion. Negara nasion bisa dikatakan sebagai sebuah artefak yang mewarisi sejarah sistem dominasi manusia oleh manusia, tapi yang sampai sekarang masih mempunyai daya tarik yang sangat kuat dan belum dapat dilampaui.

Transformasi

Pasca Perang Dunia Dua, masyarakat dunia hanya mengenal dua ideologi besar yaitu "demokrasi representatif" (kapitalisme pasar bebas) dan komunisme (yang secara esensi adalah kapitalisme negara, ketika representasi yang dikenal adalah Rusia, Cina, dan berbagai negara komunis yang menjadi satelit-satelitnya).

Penemuan kembali anarkisme salah satunya berkat jasa dari orang-orang kiri yang sedang melakukan pencarian alternatif-alenatif dari marxisme ortodoks. Situationist International yang berkembang di tahun 1960-1970-an merupakan kelompok-kelompok intelektual dan seniman-seniman avant-garde yang mencoba menjelaskan kapitalisme yang sedang mengalami transformasi. Menurut situasionis, alienasi yang dicermati oleh Marx telah menyusup ke setiap celah dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat tidak hanya terasing dari barang-barang yang diproduksinya, lebih jauh lagi masyarakat juga teralienasi dari kehidupannya dan hasratnya. Komoditas sebagai ciptaan yang mengalienasi, telah menguasai kehidupan sehari-hari. Kapitalisme moderen menciptakan "masyarakat tontonan" atau masyarakat konsumen yang menjanjikan kepuasan—sesuatu yang tidak pernah dipenuhinya. Revolusi Paris 1968 merupakan momen bagi para situasionis.

Di samping itu, adalah kritik Situasionist International terhadap anarkisme, pada kecenderungan beberapa pemikir anarkis yang bereksperimentasi dengan ide-ide melampaui realisasi praksis, sehingga seringkali teori anarkisme menjadi artikulasi teori yang tidak mempunyai koherensi.

Di Eropa, Autonomen Jerman Barat menciptakan militansi baru dalam resistensi urban. Para Autonomen adalah revolusioner antiotoritarian yang mengenyahkan seluruh label ideologis termasuk anarkis. Gerakan mereka diwarnai praksis aksi langsung, seperti pertarungan jalanan dengan elemen-elemen represif dan fasistik dalam masyarakat (seperti neo-nazi), pendudukan gedung-gedung kosong untuk dijadikan ruang-ruang otonom komunal. Di tahun 1988, dalam sebuah aksi merespon pertemuan IMF/Bank Dunia, Autonomen menggunakan taktik bercadar dalam protes dan melakukan perusakan properti—Black Bloc[2] pelopor yang kemudian menginspirasi banyak anarkis di kemudian hari.

Hakim Bey menerbitkan bukunya “Temporary Autonomous Zone: Ontological Anarchy, Poetic Terrorism” di pertengahan tahun 80-an. Boleh dikatakan bahwa buku ini menjadi suatu tonggak dalam diskursus dan praktek antiotoritarian. “Berhentilah berpikir tentang revolusi sosial yang akan datang.” Setiap revolusioner bisa mengobral janji revolusi tanpa bisa memberikan kepastian kapan ia akan datang. Sedangkan Hakim Bey bisa “menjanjikan” apa yang disebut uprising (yang bagi sejarawan adalah suatu revolusi cacat dan gagal). Uprising yang dirujuk di sini bukan hanya sebatas pagelaran politik spektakular, tapi juga mencakup hal-hal seperti penciptaan komunitas-komunitas otonom dan ruang-ruang yang dibebaskan—di mana komunitas dan individu dapat menerapkan utopia temporer. Temporary autonomous zone (zona otonom temporer) menjadi suatu konsep di mana ideal bertemu dengan realita—ketika konsep “revolusi yang akan datang” menjadi suatu hal yang absurd yang deminya manusia kembali mereproduksi hirarki, elitisme dan dominasi (seperti dalam “partai revolusioner”, serikat buruh birokratis dan bahkan serikat buruh sindikalis). Mungkin juga tidak ada sesuatu yang benar-benar baru yang ditawarkan di sini semenjak anarkis telah menerapkan konsep tentang pentingnya praksis anarki dalam kehidupan sehari-hari. Bey hanya membahasakannya dengan lebih lugas, menawarakan sintesa-sintesa baru tentang konsep anarki dan kaitannya dengan sejarah dan revolusi, menemukan kosa kata-kosa kata yang lebih pas dan meluaskan penjelasannya dengan data-data yang lebih lengkap tentang contoh-contoh TAZ yang terjadi sepanjang sejarah.

Anarkisme tradisional merupakan doktrin sosial yang menyerap ide-ide Pencerahan—penekanannya pada esensi tentang “sifat alamiah” manusia yang mulia dan rasional dan doktrinnya yang mencetuskan tujuan-tujuan yang positivis. Sementara postrukturalis adalah energi wacana kritis menantang ide-ide tentang sifat alamiah, esensi dan positivisme. Anarkisme juga mengintegrasikan analisis-analisis postrukturalis tentang simbol, representasi, dan pemaknaan dalam pengelolaan komunikasi dan informasi oleh kekuasaan dominan. Pendekatan-pendekatan postrukturalis menggagas pandangan kritis terhadap bahasa dalam konstruksi identitas, penyajian, dan pendistorsian isu-isu.

Kekuatan Kontra dan Konstruksi Resistensi

Bagi kebanyakan orang, "neo-anarkisme" lahir dari rintik-rintik hujan dingin dan kabut beracun yang menyambut protes terhadap WTO, pada November 1999. Neo-anarkisme bukanlah anak haram dari gerakan sosial yang banyak bermunculan saat ini. Anarkisme sendiri telah bertransformasi selama beberapa abad. Aksi langsung di Seattle hanya merupakan sebuah momen yang memunculkan kembali anarkisme sebagai wacana publik. Anarkisme telah menyumbangkan praksis yang menarik perhatian banyak orang dalam momen historis Seattle. Sejak saat itu, anarkisme bukan saja turut membentuk gerakan antikapitalis kontemporer; anarkisme juga telah menunjukkan bahwa prinsip-prinsip kebebasan berpotensi untuk menggantikan demokrasi representatif dan kapitalisme. Ke manakah anarki setelah Seattle?

Ketidakpastian-ketidakpastian muncul ketika kita tidak lagi ingin berpretensi tentang harapan berdasarkan determinisme positif pencerahan, dan juga ketika kita menolak segala bentuk pesimisme superior yang menihilkan seluruh kapasitas, potensi dan kemungkinan umat manusia mengkonstruksi masa depan yang lebih baik. Namun tanpa bersikap terlalu optimistis, setidaknya cukup beralasan untuk mengatakan dinamika yang ada masih terus menerus menghadirkan peluang dan potensi.

Ketika kita menolak determinisme sejarah/narasi megah, genealogi menyingkap sejarah sebagai antagonisme, diskontinuitas, ledakan-ledakan peristiwa, yang tidak memiliki logika universal. Di sini sejarah lepas dari segala bentuk determinisme, yang berarti bahwa masa depan berada dalam relung potensi dan kemungkinan—bahwa batas-batas tidak terdefinisikan. Memahami pembebasan sebagai suatu proses produksi dan reproduksi terus menerus yang berada dalam relung potensi untuk pengembangan dan artikulasi hasrat beragam subyektifitas. Narasi pembebasan ini harus menyediakan ruang-ruang yang berlimpah bagi eksperimentasi dan konstruksi, dekontruksi dan rekonstruksi, dalam teori dan praksis.

Dinamika pembebasan ini menolak ketunggalan dalam gerak, arah dan tujuan; menolak seluruh komando sentral; menolak segala jenis subordinasi pada hirarki; menolak seluruh jenis politik representasi dan mediasi. Tujuannya adalah pluralitas maksimum. Secara fundamental, konstruksi resistensi ini terkait dengan pembebasan kehidupan kontemporer. Ia bukan cakrawala mesianistis yang memberikan janji penebusan, bukan suatu mesin politik, yang demi mencapai tujuannya (nanti) akan mengorbankan yang sekarang. Ia adalah kendaraan kemanusiaan, yang ingin berpijak pada kondisi sekarang; yang ingin melampaui alienasi kehidupan sehari-hari manusia (hirarki, identitas representatif, separasi antara kehidupan sehari-hari dan hasrat-hasrat).

Setiap gerakan resistensi saat ini harus menjadikan dirinya sebagai proyek konstruksi komunitas-komunitas yang mampu menjadi wadah untuk mengelaborasi dan mengartikulasikan hasrat kemanusian. Bahwa segala jenis proyek resistensi ini harus mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan yang memang layak untuk dikembalikan dan mencipta nilai-nilai baru seiring dinamika dan konteks.

Catatan:

[1] Transmisi pesan yang disampaikan melalui bawah sadar manusia dan tidak terdeteksi oleh panca indera.

[2] Kolektif-kolektif anarkis yang menggunakan aksi langsung dalam pengrusakan properti dan vandalisme. Black Bloc menjadi terkenal dalam protes anti WTO, November 1999, di Seattle, Amerika.