#title Menjelang Insureksi: “Wacana” Dibalik Tudingan Terorisme atas Tarnac 9 #author Tim Katalis #LISTtitle Menjelang Insureksi: “Wacana” Dibalik Tudingan Terorisme atas Tarnac 9 #SORTauthors Tim Katalis #SORTtopics analysis, terorism, direct action #date 08/12/2009 #source [[http://timkatalis.blogspot.com/2009/12/menjelang-insureksi-wacana-di-balik.html]] #lang id #pubdate 2021-02-25T15:08:06 #language Bahasa Indonesia #publication Tim Katalis Dalam kesenyapan baru-baru ini sejumlah teks telah menghantui negara Perancis. Teks-teks ini hadir antara tahun 1999 dan 2007 yang membongkar secara efektif setiap kritik-kritik politik yang dangkal. Dikemas di dalam dua isu jurnal bertitel Tiqqun—yang disebut-sebut sebagai Organ Sadar Partai Imajiner—merupakan lumbung ide yang sukar dicerna dan diterjemahkan, antara lain: Theory of Bloom, Theses on Imaginary Party, Man-Machine: Direction for Use, First Materials for a Theory of the Young Girl, Introduction to Civil War, The Cybernetic Hypothesis, Theses on the Terrible Community, This is Not a Program, dan How Is It to Be Done? Selanjutnya, sebuah pamplet anonimus berjudul Call muncul ke permukaan sebagai respon atas provokasi Tiqqun, yang menerjemahkannya secara lebih gamblang tentang ‘bagaimana harus melakukannya.’ Dan puncaknya pada 2007 hadir pamplet The Coming Insurrection (Menjelang Insureksi), beratasnamakan “Komite Bayangan” yang baru-baru ini diklaim oleh pemerintah Perancis sebagai sebuah “manual insureksi”. Dengan menggunakannya sebagai satu-satunya bukti, Menteri Dalam Negeri Perancis telah menuduh para penulisnya melakukan “konspirasi terorisme” terkait dengan sabotase-sabotase jalur kereta di Perancis baru-baru ini... Mungkin, sebelum menyeret diri kita ke dalam thoughtcrime (kejahatan pikiran) semacam ini, ada baiknya untuk memeriksa teks-teks tersebut secara mendalam. Meski di satu sisi pemerintah Perancis bisa saja keliru menuding mereka sebagai teroris hanya karena teks-teks yang mereka hasilkan, namun mereka patut khawatir pada ide-ide yang dikomunikasikan oleh teks-teks tersebut. Bila disimpulkan secara singkat, apa yang mereka paparkan di sejumlah teks tersebut merupakan suatu keinginan untuk membubarkan apa yang disebut sebagai dunia corakren. Bila kalian termasuk sebagai orang-orang yang menginginkan sebuah dunia yang berbeda dari sekarang, dunia yang mana kita dapat bebas mengaktualisasi hasrat kita tanpa ada kekangan negara, kapitalis, atau “masyarakat, maka, teks-teks yang akan dibahas berikut bukanlah sesuatu yang patut kita khawatirkan. Teks-teks yang akan dibahas berikut adalah Introduction to Civil War, How Is It to Be Done, Call, dan The Coming Insurrection—yang diharapkan dapat membimbing saudara ke dalam pemahaman-pemahaman yang terkandung di dalamnya. Introduction of Civil War memaparkan horison biopolitik di mana kehidupan corakren kita terletak. Horison ini dipahami sebagai suatu “perang-sipil” global antara setiap bentuk kehidupan. How Is It to Be Done? Secara puitik menandakan kebutuhan etis untuk menjadi anonimus, dengan menjauhkan diri dari segala klasifikasi politis. Untuk memahami ini secara menyeluruh, kita harus menyelam melalui arus yang tak terdeteksi dari PEMOGOKAN MANUSIA, bahwa bentuk-bentuk tindakan di mana ketidakberfungsian menjadi sinonim dengan kemungkinan. Di dalam tujuh proposisi, Call mengkritik aktivisme kontemporer sebagai tidak hanya tidak relevan tapi juga reaksioner. Ketika ini dipahami, maka desersi dari aktivisme dapat dimulai, di mana komunisme hidup dan penyebaran anarki mengkonstitusikan dua sisi dari struktur pemberontakan. The Coming Insurrection, setelah menggaris bawahi ketujuh lingkaran neraka di mana politik Perancis bernaung, membuka strategi perlawanan yang berpusat pada multiplikasi komune-komune. Komune yang dimaksud adalah kerja-kerja yang mengusahakan kemandirian bersama dan blokade, pembebasan, dan titik-titik konfrontasi yang akan menggenangi dan meretakkan metropolis. Apa alasan dari semua ini? Untuk dapat bertahan hidup dengan riang. Ada dua momen di mana teks-teks ini saling berkaitan satu sama lain, dua kemungkinan aksi yang bertemu dan berkesinambungan yang diartikulasikan melalui perluasan zona yang disebut komune. Dua momen ini, meski secara empirik tidak dapat dibedakan, secara logis memiliki cirinya sendiri; mereka menandakan dua sisi dari pengkomunisasian. Yaitu, pada satu sisi, suatu dekomposisi subyektif hadir melalui SINGULARITAS APAPUN di dalam pemogokan manusia; dan di sisi satunya, suatu rekonstitusi kolektif melalui membentuk dan mengalami suatu konsistensi yang intens atas strategi-strategi seperti berbagi, memblokade, dan membebaskan teritori. “Seperti halnya möbius strip, yang di dalam terlipat keluar ke pusat dari politik-tanpa-nama ini. Contohnya, untuk menjelaskan politik-politik dari singularitas apapun, tertulis, bahwa menjadi apapun lebih revolusioner ketimbang menjadi mahkluk apapun. Membebaskan ruang-ruang seratus kali lebih membebaskan dibanding “ruang-ruang bebas” manapun. Melebihi dari aktivitas melakukan tindakan, Aku menikmati sirkulasi dari potensi-potensiku. Politik-politik singularitas apapun terletak pada ofensif. (How?)” Dalam tatanan imperium kontemporer, di mana hidup itu sendiri adalah obyek serta lahan bagi kekuasaan politis, kemampuan untuk menghindari penangkapan sama halnya dengan kemampuan melawan kekuasaan, yang mana kekuasaan tercangkok ke dalam arsitektur kontrol yang butuh sedikit identifikasi sebelum pada akhirnya menetralisasinya. “Sekarang ini, dipahami sama halnya dengan dikalahkan.” (How?) Menjadi anonimus dan tetap singular merupakan suatu tugas corakren perlawanan hari ini, suatu tugas yang ofensif namun juga defensif. Inilah dasar bentuk dari pemogokan manusia: “Imperium berarti bahwa dalam segala hal momen politis mendominasi momen ekonomik. Suatu pemogokan umum tak berdaya melawan hal yang demikian. Apa yang menjadi lawan dari imperium adalah sebuah pemogokan manusia. Yang tidak hanya menyerang relasi produksi tapi juga simpul ikatan yang menopang mereka. Yang meruntuhkan gairah ekonomi yang memalukan dari imperium, membawa kembali elemen etis—tentang bagaimana—yang terbelenggu antara setiap tubuh-tubuh yang dinetralisir. (How?)” Apa yang diciptakan oleh pemogokan manusia adalah kemungkinan akan dunia-dunia yang diperuntukkan untuk berbagi, dimana saling berkomunikasi tanpa paksaan hadir berdasarkan kebutuhan-kebutuhan mereka. Dunia untuk berbagi ini mengkonstitusikan komune-komune. “Komune adalah unit dasar kehidupan perlawanan. Gelora insureksi mungkin hanyalah multiplikasi dari komune-komune, artikulasi serta saling keberkaitan mereka.” (Insurrection) Pada satu sisi komune terdapat suatu garis pembubaran-diri, sebuah proses di mana identitas-identitas seperti aktivis, squatter, environmentalis, dll, menjadi makna yang kosong. Ketimbang menerima kemenangan dari “liberalisme eksistensial” (Call) dan penekanannya pada pilihan individual, hak milik khusus, kontrak-kontrak sosial, dan manajemen benda-benda, kita seharusnya menciptakan dunia-dunia yang berasal dari keinginan dan gairah kita bersama. Bila kita hidup di sebuah dunia di mana politik hanyalah suatu konsumsi atas identitas-identitas perlawanan, cara mengalahkannya adalah dengan mengenyahkan semua identitas. Menjadikan diri kita tak terlihat di mata para pengelola imperium, yang artinya kita juga harus mengurangi pengamatan mereka terhadap kita. Dengan demikian, “Pengalaman dari desubyektifikasiku sendiri. Aku menjadi singularitas apapun
Kehadiranku mulai membanjiri keseluruhan aparatus kualitas yang tadinya terasosiasikan dengan diriku. (How?)” Menghindar dari “polisi imperial kualitas-kualitas,” pelepasan identifikasi ini membuka ruang baru di mana eksistensi singular yang nyata dapat hadir. Segala sesuatu yang mengisolasikan diriku sebagai sebuah subyek, sebagai tubuh yang dilekati dengan atribut-atribut konfigurasi publik, aku merasa cair. Tubuh-tubuh tiba pada puncak jenuhnya. Pada puncaknya itu, ia menjadi tidak jelas. (How?) Eksistensi semacam ini, meski anonimus, tapi hadir secara materil. Inilah yang dinamakan sebagai BENTUK KEHIDUPAN. “Keterpaduan elementer manusia bukanlah tubuh—individual—tapi bentuk kehidupan” (War). Dengan mengekspresikan kehidupan yang bagaimana dan bukan yang apa, pengaruh ini menciptakan tubuh-tubuh individual yang saling melintang, entah bergabung dengan yang sesuai (persahabatan) atau melawan yang tidak sesuai (permusuhan). Permainan bebas antar bentuk kehidupan ini dinamakan perang sipil. “Oleh karena itu, perang sipil, karena tidak tertarik dengan separasi antara perempuan dan pria, eksistensi politis dan hidup yang biasa, sipil dan militer; karena menjadi netral berarti membuat sisi di dalam permainan bebas dari bentuk kehidupan; karena permainan antara setiap bentuk kehidupan ini tak ada akhir ataupun awal yang dapat dideklarasikan, satu-satunya akhir dari permainan ini adalah akhir fisik dari dunia yang tak ada seorangpun yang berani mendeklarasikannya. (War). Perang sipil dunia merupakan generalisasi situasi yang demikian di seluruh planet. Dalam situasi ini, musuh bukanlah sesuatu yang kita tolak, namun kalangan yang harus kita musuhi. Bila bentuk kehidupan kita adalah bagian dari kelompok-kelompok dalam perang sipil dunia, lalu bagaimana mereka harus berkomunikasi tanpa harus menjadi identitas, tanpa harus meniru bentuk negara? Di sinilah terletak pentingnya apa yang disebut partai imajiner dan komite bayangan. Dalam pencairan kolektif untuk kualitas-kualitas seseorang, ZONA-ZONA BURAM hadir tanpa predikat-predikat, yang secara efektif menghadirkan apa yang disebut BERSAMA. Menyumbang ketidakberfungsian seseorang ke yang lain—yaitu, ikutserta dalam pemogokan manusia—menghadirkan komunikasi antartubuh tanpa memiliki nama-nama. Aku harus menjadi anonimus agar aku dapat hadir. Semakin aku anonimus, semakin aku terlihat. Aku butuh zona-zona yang tak jelas untuk menggapai apa yang disebut BERSAMA. Untuk tidak lagi mengenali diriku dengan namaku. Untuk tidak lagi mendengar apapun atas namaku selain apa yang memanggilnya. Untuk memberi hakikat pada bagaimananya kemenjadian, dan bukan pada apa mereka itu, tapi pada bagaimana mereka menjadi seperti itu: bentuk kehidupan mereka. Aku butuh zona-zona buram di mana atribut kriminal atau brilian sekalipun tidak lagi memisahkan tubuh-tubuh.” (How) Dalam kata lain, “pembentukan strategi secara kolektif adalah satu-satunya cara untuk jatuh kembali ke dalam identitas.” (Call) Di zona-zona tak dikenal ini, yang lahir dari pemogokan manusia, ada kemungkinan bahwa strategi semacam itu dapat hadir. Dengan membuka proses biopolitik desubyektifikasi pada satu sisi komune, kita menemukan diri kita suatu resubyektifikasi insurgen di sisi lainnya. Dengan demikian kita bergerak, dalam suatu pemilinan kemenjadian, melalui logika pemogokan manusia menuju strategi komunisasi. “Dengan demikian strategi kita adalah sebagai berikut,” tutur Call, “untuk segera membuat suatu seri desersi, pemisahan kutub-kutub, tempat-tempat bertemu. Bagi mereka para pelarian. Bagi mereka yang meninggalkan. Suatu tempat berlindung dari kontrol sebuah peradaban yang melangkah menuju jurang” (Call). Desersi semacam ini tidak diberikan atau diciptakan; mereka terbangun dari dan melalui apa yang telah hadir. Mereka adalah mutasi-mutasi topologis dari bentuk-bentuk yang telah dihadirkan kepada kita, pengalaman semacam itu tidak mempunyai nama bagi corak-corak relasi kita dengan mereka, kecuali melalui hubungan antara berbagi dan kebutuhan. “Komunisme dimulai dari pengalaman berbagi. Dan pertama, melalui saling berbagi kebutuhan kita.” Disini “kebutuhan” tertuju pada “hubungan yang mana mahluk tertentu yang bernalar memberi makna pada elemen ini dan itu dari dunianya. (Call) Melalui pandangan ini, komunisme adalah kata lain dari “membagi-bagikan nalar,” praktik mengkoordinasikan dunia-dunia makna melintasi jurang dari hidup yang kosong. Merekonstitusikan dunia-dunia berbagi pengalaman “hanya dapat dilakukan dengan bentuk suatu koleksi tindakan komunisasi, dengan membangun ruang berbagi ini dan itu, mesin ini dan itu, pengetahuan ini dan itu. Dengan kata lain, elaborasi dari cara berbagi yang melekat di mereka” (Call). Berbagi di sini bukanlah tindakan berbagi antar individual secara serampangan, melainkan suatu cara bertahan hidup antara tubuh-tubuh dan ruang-ruang dalam suatu seri yang konsisten dari kejadian-kejadian yang saling berkaitan. Mengkomunisasikan ruang, pengetahuan atau obyek tidaklah merubah relasi produksi, tapi menghapuskan relasi tersebut, membuat mereka secara struktur tak bermakna, tidak dapat dideterminasikan. “Mengkomunisasikan suatu tempat bermakna; membuatnya bebas digunakan, dan dalam basis pembebasan ini bereksperimen dengan relasi yang tersaring, intens, dan rumit.” (Call) Mengkomunisasikan tanpa menganarkisasi itu sia-sia, karena seseorang harus membuat suatu ancaman bila ingin komunisme menjadi lebih dari suatu skandal yang terisolir. Logika anarki yang terkandung di sini adalah tugas untuk menyebabkan kebingungan tak terduga dan kerusakan pada musuh, yang secara berkesinambungan memperluas kekuatan swaorganisasi seseorang dengan kawan-kawannya. Tiga catatan untuk melakukan hal ini tersisih di dalam The Insurrection to Come. Pertama, hembuskan api dari setiap krisis. Kenapa? Karena “interupsi atas alur komoditas, penundaan normalitas dan kontrol polisi melepaskan suatu potensi swaorganisasi yang tak terduga dari keadaan-keadaan normal. Kedua, bebaskan teritori dari pendudukan polisi; jauhi konfrontasi langsung sebisa mungkin. Telanjangi polisi sebagaimana rupa mereka: parasit tak tahu malu yang mengambil keuntungan dari rasa takut masyarakat. Jangan mengglorifikasikan konfrontasi polisi, melainkan konfrontasikan pemberhalaan atas polisi. Dan akhirnya, BLOKADE SEMUANYA. Di sebuah “dunia yang mana kekuasaan adalah organisasinya sendiri di dalam metropolis,” ketika hidup ditunda agar kapital dapat bebas, setiap dan segala interupsi mempunyai kemungkinan untuk membuka kehidupan kembali. Namun blokade hanya dapat bergerak sejauh kapasitas para insurgen untuk memenuhi kebutuhan mereka dan untuk berkomunikasi, sejauh keefektivan swaorganisasi dari komune-komune yang berbeda” (Insurrection). Dalam kata lain, blokade-blokade harus mengkontribusikan mutilasi ekstensif dari bentuk metropolitan serta sirkulasi intesif pengetahuan, pengaruh yang terus bergerak. Mungkin, bila seseorang menjaga kedisiplinan, bertaruh atas keseluruhan eksistensi mereka, maka mungkin saja tergapai suatu gol yang belum pernah tercapai dari setiap insureksi: dimana tidak ada lagi titik kembali. (Insurrection) Poskrip Sejak Desember lalu, gema Yunani dan rangkaian aksi sabotase di Perancis, telah membuat Menteri Dalam Negeri Perancis mengeluarkan pernyataan akan bahaya “terorisme anarkis internasional.” Sejak berbagai protes summit yang berakhir dengan eskalasi kekerasan terhadap otoritas di Eropa, kerusuhan-kerusuhan di Perancis, dan berbagai aksi sabotase dan perusakkan properti, wajar bila penguasa-penguasa Eropa menjadi takut. Kami tidak sedang berkata bahwa rangkaian serangan terhadap kekuasaan tersebut memiliki identitas yang sama, meski karakteristik dari berbagai pemberontakan anti-sistemik ini jelas banyak memiliki kesamaan: kejengahan atas kontrol, politik mediasi, dan bentuknya yang cenderung anonimus dan ‘tak-teridentifikasi’. Kendati demikian, di Eropa secara garis besar berbagai peraturan perbatasan serta undang-undang anti-anarkis telah mulai diimplementasikan untuk mengekang gairah-gairah kaum barbarian baru ini mendapatkan simpati yang lebih luas. Identifikasi pun telah dilancarkan secara serampangan untuk mencoba mengukur kapasitas dan mengontrol ‘api insureksional’ untuk menyebar. Kasus Tarnac 9 adalah sekian contoh dari tindakan-tindakan pencegahan tersebut. Dengan menangkap ‘sekumpulan pimpinan’ gerakan atau memberinya identitas “anarcho-autonomous” dan memanipulasi opini publik dengan menyamakan aktivitas sabotase sebagai terorisme, jelas dapat tercium rasa takut yang hebat dari pemerintah Perancis. Kendatipun, mereka tetap kebingungan ketika aktivitas sabotase sama sekali tak terhenti ketika para “pimpinan” tertangkap. Inilah salah satu karakter rizoma anti-kontrol yang sepatutnya dipahami. Ketika “pusat-pusat” telah dihancurkan, “pinggiran-pinggiran” akan membuat “pusatnya” masing-masing. Mungkin saja, bila membandingkan praksis dan teori anarki-insureksioner, apa yang diwacanakan dan dipraktikan oleh penggiat Tiqqun sama sekali bukan sesuatu yang baru. Menciptakan ruang bersama, membebaskan ruang-ruang—multiplikasi komune—seraya menyerang titik-titik akut metropolis, melumpuhkannya, jelas telah menjadi karakteristik gerak kaum anarkis Eropa yang berpegang pada metodologi insureksioner. Sampai disini, kami para editor bukanlah kaum penggila kerusuhan serta ekstrimisme-ekstrimisme gaya baru, melainkan—seperti yang telah ditorehkan di atas—pemberontakan yang sejati bagi kami adalah yang dapat memangkas setiap rekuperasi, kooptasi, dan pengembalian pada normalitas—yang mana kami lihat mendapatkan banyak karakteristiknya di dalam teori dan praksis insureksioner: suatu cara untuk menyingkap abstraksi-abstraksi palsu dengan memosisikan diri dan musuh dalam garis batas yang tidak tanggung-tanggung. Tapi, bagaimana dengan di Indonesia? Di suatu wilayah di mana kata anarkis hanya sebatas wacana mengambang, senantiasa terperangkap di dalam metodologi kiri dan marxisme setengah hati yang libertarian? Dapatkah kita menemukan konteks perjuangan yang sama, apalagi keberanian yang sama? Bila dicermati dari wacana di atas, perang sipil yang dimaksud jelas tidak terisolasi pada Eropa atau bahkan Perancis saja, perang sipil antara bentuk kehidupan terjadi setiap harinya dimana-mana. Perang sipil tersebut bergerak dalam lingkup imperium yang berdiri seolah-olah sebagai bentuk kehidupan yang tunggal yang mendominasi dunia. Kedudukan kita tidaklah jauh berbeda dengan mereka. Perbedaan kondisi materil dan historis justru menjadi celah kemungkinan yang besar, di mana kita harus menemukan ritme perjuangan kita sendiri. Perang sipil ini jelas bukanlah suatu impian akan menggerakan massa sebesar-besarnya, melainkan suatu pencarian akan gairah BERSAMA untuk mengkonstitusikan apa yang disebut BENTUK KEHIDUPAN yang serta-merta akan mengkonfrontasikannya dengan bentuk kehidupan yang lain. Kondisi historis dan materil di Yunani ataupun Perancis jelas berbeda drastis dengan Indonesia atau di tempat-tempat lain, semua orang tahu itu. Tapi justru di situlah titik krusialnya. Suatu gerakan revolusioner tidak tersebar melalui kontaminasi, tapi dengan resonansi. Sesuatu yang mengkonsitusikan dirinya di sini menggema dengan gelombang kejutan yang dipancarkan oleh sesuatu yang terkonstitusi di sana. Tubuh menggema bersama tindakan menurut coraknya sendiri. Suatu insureksi bukanlah perluasan suatu wabah atau kebakaran hutan, suatu proses yang linear yang timbul oleh pemicu awal. Melainkan, suatu insureksi adalah sesuatu yang mengambil bentuk seperti musik, di mana sumber api--meski tersebar dalam ruang dan waktu--mengelola getar ritmenya sendiri. Untuk senantiasa menjadi tebal. Hingga ke titik di mana pengembalian kepada normalitas tidak lagi diinginkan atau bahkan diimpikan. Bila gema Yunani dapat merangsang anarkis di tempat lain untuk menjadi lebih radikal dalam praksisnya dengan ritme yang berbeda, maka tidak menutup kemungkinan bagi metodologi insureksional untuk menyebar dengan bentuk-bentuknya sendiri ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Untuk terburu-buru berpikir tentang kegagalan karena suatu alasan estetis atau “sistematis”, merupakan kefatalan. Dalam sejarah, insureksi manapun telah menemui kegagalan, dan dalam konteks tertentu juga telah mencapai kemenangannya sendiri. Memang cukup baik untuk bisa menyusun strategi ke depan serta mempunyai pemikiran yang sistematis akan suatu rancangan perjuangan. Meski demikian, rancangan terbaik pun akan ditantang kebenarannya di ranah praksis, oleh karena itu kegagalan bukanlah sesuatu yang patut dikhawatirkan. Apa yang justru patut kita khawatirkan adalah panoptikon dan polisi di dalam kepala kita sendiri, yang mana kita sering tidak sadar bahwa kita masih berpikir dalam konteks yang diberikan kekuasaan pada kita. Banyak yang harus dipelajari, banyak yang harus didebatkan, tapi gairah untuk bebas tak dapat menunggu. “PERANG SIPIL” dari “BENTUK-KEHIDUPAN” harus menyebar. “Bagi siapapun dan dimanapun kalian, bertempurlah dan jangan menyerah. Bagi mereka yang tidak tercekik dalam kemarahan, dan memberi keriangan pada garis ofensif mereka. Bagi kawan-kawan kami, anak-anak kami, saudara-saudari kami, dan komite pendukung. Janganlah takut, jangan menyesal. Kami bukanlah pahlawan, kami bukan martir. Karena skandal ini tidak punya basis legal sama sekali maka kita perlu membawa perang ke dalam relung perpolitikan. Tingkatan penyerangan yang semakin meningkat terhadap kami oleh kekuasaan politik yang absurd memanggil sebuah praktik umum kolektif untuk membela diri dimanapun dibutuhkan. Tak ada sembilan orang yang harus diselamatkan. Tapi ada rejim yang harus diruntuhkan.”
- Aria, Benjamin, Bertrand, Elsa, Gabrielle, Manon, Matthieu, Yldune are, Julien Coupat, TARNAC 9