Definisi Proletariat

Proletariat, (kb): Kelas yang mendeskripsikan mereka yang harus menjual kekuatan kerjanya sebagai keharusan untuk bertahan hidup tetapi tidak mendapatkan profit dari proses perputaran kapital, dan mereka, tak memiliki kontrol atas bagaimana hidup mereka akan digunakan.

Proletariat berkembang di bawah corak produksi kerja-upahan, di mana masyarakat di bawah corak produksi tersebut menjual kapasitas kerjanya untuk memproduksi komoditi (barang yang gunanya diproduksi adalah untuk diperjual-belikan).

Proletariat berasal dari revolusi industri... (yang mana) ditandai dengan ditemukannya mesin uap, berbagai mesin yang dapat berputar, perkakas tenun mekanik dan sederetan berbagai alat mekanik. Mesin-mesin ini, yang sangat mahal harganya dan yang dengan demikian hanya bisa dimiliki oleh para kapitalis besar, mentransformasikan corak produksi secara keseluruhan, dan menggantikan pekerja-pekerja pada masa tersebut, karena mesin-mesin tersebut mampu menghasilkan komoditi-komoditi yang lebih murah dan lebih baik daripada yang mampu diproduksi oleh para pekerja yang bekerja secara tidak efisien dengan menggunakan tangan. Mesin-mesin tersebut menempatkan keseluruhan industri ke tangan-tangan pada kapitalis besar dan membuat seluruh milik para pekerja menjadi tidak berguna. Hasilnya, para kapitalis dengan segera memiliki segalanya di tangan mereka dan tak ada yang tersisa bagi para pekerja. (Friederich Engels)

Menurut definisi dari Karl Marx, proletariat dicatat: (1) proletariat artinya sama dengan “kelas pekerja modern”; (2) proletarian, atau orang-orang yang termasuk dalam kategori kelas proletariat, tak memiliki cara lain untuk bertahan hidup selain dengan menjual tenaga kerjanya; (3) posisi mereka membuat mereka sangat tergantung hidupnya pada para kapitalis, pemilik kapital; (4) proletariat menjual dirinya sendiri, bukan menjual produk seperti yang dilakukan oleh borjuis-kecil dan kapitalis; (5) mereka menjual diri mereka sendiri untuk mendapatkan upah, bukan seperti budak yang diperjual-belikan oleh individu-individu lain dan menjadi harta milik bagi sang pemilik budak; (6) walaupun terminologi ‘kelas pekerja’ selalu dikonotasikan sebagai pekerja fisikal, dengan menggunakan tenaga fisiknya, Marx telah mendeskripsikan dengan tepat bahwa kerja dengan menggunakan otak pun termasuk proletariat selama ia melakukannya untuk mendapatkan upah dari kapitalis, yang dengan demikian maka (7) proletariat adalah sebuah kelas.

Satu hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya relasi ketat dari definisi proletariat dengan konteks kerja-upahan. Kerja-upahan adalah bentuk produksi di mana proletariat terlibat penuh dalam proses kerjanya, yaitu, dengan menjual tenaga-kerja mereka sesuai dengan waktu-kerja yang ditentukan.

Dengan demikian, terminologi ini yang awalnya mayoritas digunakan untuk mendeskripsikan pekerja industri kerah biru, saat ini, sesungguhnya proletariat telah berkembang termasuk ke dalamnya pekerja jasa (service), pekerja teknis, pekerja rumah tangga, pekerja kerah putih dan tenaga kerja yang miskin secara ekonomi sekaligus menganggur yang sering disebut sebagai lumpen-proletariat—yang dalam faktanya kesemuanya telah berkembang di pusat-pusat industri dan konsumsi kawasan-kawasan urban. Dalam perkembangan selanjutnya, bahkan pelajar dan mahasiswa juga dapat dikategorikan ke dalam proletariat semenjak tujuan utama mereka belajar di sekolah adalah demi mempersiapkan calon-calon pekerja masa depan yang berperan penting dalam proses produksi. Atau dengan kata lain, siapapun juga yang terlibat dalam proses produksi, baik secara langsung ataupun tak langsung.

Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah relasinya dengan perannya yang bersejarah. Proletariat adalah kelas yang harus bekerja untuk bertahan hidup, yang telah lama ada dan selalu bertambah jumlahnya, terdisiplinkan dalam disiplin kerja yang ditentukan oleh kapitalis. Proletariat tak pernah mampu mengeksploitasi kelas lainnya, mereka adalah produsen sesungguhnya dari seluruh produksi yang ada di dunia dan kapitalisme telah melatih mereka dengan berbagai keahlian yang dibutuhkan dalam berbagai divisi kerja. Dalam masyarakat-masyarakat kuno, nenek-moyang proletariat adalah mereka yang tak memiliki harta milik dan tak mampu membayar pajak sehingga mau tidak mau harus menjual tenaganya dengan mengabdi pada para penguasanya sekedar agar dapat terus hidup. Dengan demikian, signifikansi dari proletariat adalah bahwa kelas tersebut bukanlah sekedar mereka yang tertindas, melainkan satu-satunya kelas yang mampu melenyapkan kelas-kelas dalam masyarakat untuk mentransformasikannya menjadi masyarakat tanpa kelas.

Dengan kesadaran kelas seperti di atas, maka mulai bermunculanlah konsep ‘proletarisasi’. Tetapi sesungguhnya para proletariat sendiri termasuk di dalamnya teori-teori revolusioner sebaiknya tidak mengglorifikasi proletariat, ‘budaya/kultur proletar’, ‘moralitas proletar’, dsb. Hal ini hanya akan mengagung-agungkan alienasi terhadap proletariat itu sendiri. Aspek positif dari proletariat adalah kemungkinan swanegasi yang telah dibuktikan sepanjang sejarah: sejak bagi proletariat, membebaskan diri adalah dengan memusnahkan definisi atas diri mereka sendiri, memusnahkan sistem Kapital, masyarakat kelas dan alienasi terhadap kerja. Hal itulah satu-satunya kemenangan yang harus dicapai.


Demagogi Bahasa dan Taktik Pecah-Belah

Pemaknaan terminologi proletariat untuk mendeskripsikan pekerja ada baiknya juga dilihat dari penggunaan dalam bahasa Inggris (berhubung kata ‘proletariat’ juga bukan berasal dari kata dalam bahasa Indonesia). Dalam bahasa Inggris, kata ‘work’ dan ide yang sesuai dengannya diderivasi dari para kaum intelektual Inggris. Dalam bahasa Inggris, kerja praktikal disebut ‘work’ sedangkan kerja dalam artian ekonomi disebut ‘labour’. Karena itu kerja fisik diistilahkan dengan ‘work’ dengan begitu memustahilkan segala kekacauan dengan kerja dalam arti ekonomi. Tidak demikian halnya di Jerman, di mana telah dimungkinkan dalam berbagai literatur semi-ilmiah yang membuat berbagai aplikasi kerja dalam artian fisikal pada kondisi-kondisi ekonomis. Tetapi bagaimanapun juga, kata ‘werk’ dalam bahasa Jerman, persis seperti kata ‘work’ dalam bahasa Inggris, diadaptasi untuk menandakan kerja fisikal (walaupun kata yang lebih dikenal di sana adalah ‘arbeit’, yang mendefinisikan kerja tetapi dalam artian yang terlalu luas.

Sementara dalam bahasa Indonesia, ungkapan kerja dalam artian ekonomi, dikenai terminologi ‘buruh’, sebagai bagian kerja khusus dalam konteks kerja secara keseluruhan. (Misalnya dalam konteks petani. Seorang petani disebut bekerja saat ia membajak dan melikui sawahnya—terlepas apakah ia menggarap sawahnya sendiri ataukah bekerja untuk mendapatkan upah dengan menggarap sawah orang lainnya. Yang disebut pertama tidak dikenai terminologi buruh, sementara yang disebut terakhir dikenai terminologi ‘buruh’ karena ia melakukan kerja ekonomi di mana ia menggarap sawah untuk mendapatkan upah).

Maka, itu juga sebabnya mengapa terminologi ‘working-class’ dalam bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi ‘kelas pekerja’ sekaligus ‘kelas buruh’ atas posisi para anggota kelas ini yang harus melakukan kerja dalam arti ekonomi.

Terminologi proletariat di Indonesia seringkali diganti dengan kata ‘buruh’ (seperti dalam kalimat: “kediktatoran proletariat” diganti dengan “kediktatoran buruh”). Di Indonesia, kata ‘buruh’ di benak sebagian besar publik di Indonesia seringkali hanya berarti ‘pekerja industri kerah biru’; yang dengan demikian terminologi tersebut justru mengalienasikan dan mereduksi makna proletariat itu sendiri (dalam kenyataannya pekerja kerah putih tidak mau mendefinisikan dirinya sebagai buruh). Hal ini sebenarnya digunakan untuk memecah kesadaran dan solidaritas yang dapat muncul apabila seluruh proletariat menyadari persamaan diri mereka semua sebagai sebuah kelas—satu-satunya kelas yang mampu mengubah arah sejarah.

Dalam era masuknya ideologi Marxisme di Indonesia, para Marxis menggunakan terminologi ‘buruh’ untuk mendefinisikan proletariat dan “pemerintahan buruh tani” sebagai sebuah kediktatoran proletariat. Pada masa tersebut, proletariat di Indonesia yang terkuat dan menjadi basis massa perjuangan mereka adalah para pekerja paling rendah secara hirarki sosial di era kolonialisasi Belanda dan Jepang, karena hanya mereka yang paling signifikan untuk bangkit disebabkan oleh penindasan dan kemiskinan yang ekstrim. Tapi sejalan dengan perkembangan sistem kapitalisme internasional menjadi sistem kapitalisme lanjut, yang walaupun masih memegang pola dasar operasi kapitalisme lama, ia mengubah berbagai bentuk kerja dari awalnya yang sekedar kerja industri, menjadi bentuk-bentuk kerja dalam bentuk layanan jasa dan kerja abstrak (kerja dengan menekankan pada kemampuan otak dan kreatifitas, bukan lagi fisik) sebagai salah satu garda depan invasi mereka. Pemerintahan Suharto dengan jeli melihat hal ini dan mempopulerkan terminologi ‘pekerja’ atau ‘karyawan’ untuk menghapuskan dan memecah definisi ‘buruh’ yang dipopulerkan oleh gerakan Marxis sebelumnya.

George Orwell, seorang penulis dari Inggris, mengatakan, “Untuk menghapuskan sesuatu sampai ke akarnya, maka seseorang pada mulanya juga perlu untuk menghapuskan terminologi tersebut dari seluruh hidup keseharian. Sebuah aksi tak akan dapat muncul dan berkembang apabila tak ada terminologi yang mengekspresikannya.

Sementara di sisi lain, Suharto, dengan Menteri yang sangat anti-komunis Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dalam jajaran kabinetnya, mulai mempopulerkan terminologi ‘pekerja’ dan ‘karyawan’ bagi para pekerja layanan jasa dan kerah putih, serta ‘buruh’ bagi pekerja industri kerah biru. Hasilnya, para proletariat baru, yang mendefinisikan diri mereka berbeda dengan proletariat lainnya berdasarkan cara kerja mereka, upah dan kenyamanan material yang mereka peroleh, benar-benar mulai terpisah dari kesadaran akan kelasnya yang sesungguhnya.

Memperhatikan bahwa terminologi ‘buruh’ kini hanya mendeskripsikan ‘pekerja industri kerah biru’ dan semakin mengalienasikan dan memecah kesadaran kelas proletariat, maka itu alasannya mengapa perlu ada batasan tegas antara terminologi ‘pekerja’ bukan ‘buruh’—sesuatu yang justru menjadi semakin kabur di tengah propaganda pecah-belah dari kapitalis. Hal ini dilakukan bukan untuk menyatakan bahwa rezim Suharto benar, tetapi karena terminologi ini memberi aspek penekanan pada kata ‘kerja’ itu sendiri semenjak seluruh kelas proletariat terikat dengan keharusan untuk ‘bekerja’ dan mengembalikan konteks dasar konsep Marxian bahwa kerja adalah bagian instrinsik dari perkembangan kehidupan manusia. Dan dengan penggunaan terminologi tersebut, saat di sini disebutkan tentang pekerja, maka yang dimaksudkan adalah seluruh proletariat, yang tentu saja bukan hanya sekedar pekerja industri kerah biru. Penggunaan terminologi PSK (pekerja seks komersial) yang digunakan dan dipopulerkan kebanyakan oleh para feminis untuk menggantikan terminologi WTS (wanita tuna susila) atau ‘pelacur’ adalah sebuah contoh yang baik tentang bagaimana mereka yang menjual seksualitas tubuhnya adalah juga bagian dari kelas pekerja atau proletariat; terminologi tersebut juga mulai mengubah paradigma umum bahwa hanya perempuanlah yang bekerja menjual seksualitas tubuhnya seperti dalam kata WTS yang begitu populer di tahun-tahun 1980-an. Kesadaran bahwa bahasa sangat berpengaruh dalam pembentukan proses kesadaran akan kelas, seharusnya mulai diperhatikan semenjak demagogi bahasa telah mendominasi mayoritas benak para pekerja kerah biru atas nama ‘budaya buruh’ atau ‘kultur proletariat’.

Dengan demikian juga, mengapa istilah proletariat menjadi penting. Karena ia mampu melampaui perdebatan antara mereka yang menganggap diri buruh, karyawan, pegawai, pekerja, dan mendefinisikan mereka semua dalam satu definisi: proletariat.

Dan dengannya, maka May Day sudah selayaknya menjadi hari kita semua, hari di mana proletariat mengingatnya sebagai hari perang kelas, hari penentangan proletariat terhadap kerja-upahan, terhadap kapitalisme. Bukan hanya hari milik para Marxis dan pekerja industri kerah biru, melainkan juga pekerja kerah putih, pelajar dan mahasiswa, ibu rumah tangga, penganggur, pekerja jasa, dan siapapun juga yang merayakannya atas nama mereka sendiri, bukan lagi atas nama solidaritas terhadap pekerja industri kerah biru. Tapi atas nama diri kita sendiri, diri kita semua, demi solidaritas universal sesama proletariat, bukan hanya bagi kerah biru.