#title Teknologi dan Totaliterianisme: Gagasan Herbert Marcuse Tentang Sistem Teknologi Kapitalis #subtitle Tulisan ini merupakan semacam ulasan gagasan Herbert Marcuse dalam karyanya Manusia Berdimensi Tunggal (1964). #author Zorosastro Wardoyo #LISTtitle Teknologi dan Totaliterianisme: Gagasan Herbert Marcuse Tentang Sistem Teknologi Kapitalis #SORTauthors Zorosastro Wardoyo #SORTtopics Anti-technology, anti-civ, critique #date 19/12/2011 #source [[http://timkatalis.blogspot.com/2011/12/teknologi-dan-totaliterianisme-gagasan.html]] #lang id #pubdate 2021-02-21T06:27:20 #publication Tim Katalis #language Bahasa Indonesia I
Teknik dan perkakas semula adalah kepanjangan tubuh peningkat hasil kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Keberanjakan manusia dari dunia binatang ke dunia manusia pertama kali ketika Homo Ergaster menggunakan kapak batu-genggam. Teknologi itu membebaskan manusia perlahan-lahan dari sekat-sekat alamiah dan mengistirahatkan manusia dari beban-beban produksi yang berat sehingga kehidupan lebih mudah di tengah-tengah alam. Artinya teknologi itu pada mulanya berpusat-pada-kehidupan dan pembebas.

Persoalannya, produksi di dalam kapitalisme industri bukanlah untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi demi akumulasi dan ekspansi kapital. Di dalam kapitalisme kedudukan teknologi di dalam lingkaran produksi-distribusi-konsumsi kapital sangat penting, bahkan mendasar dari sisi kapital. Teknologi adalah kekuatan produktif karena meningkatkan produktivitas. Untuk akumulasi dan ekspansi kapital perlu pengingkatan kekuatan produktif, terutama teknologi. Untuk peningkatan kekuatan produktif perlu akumulasi kapital. Kedua malaikat penjaga kapitalisme ini berkelindan tanpa bisa dilepaskan satu dengan lainnya. Teknologi dibutuhkan untuk efisiensi, dan kapital dibutuhkan untuk pengembangan teknologi lebih lanjut. Tanpa salah satunya keruntuhan kapitalisme bisa terjadi cepat.

Namun, di dalam kapitalisme keberadaan teknologi mengandung paradoks. Akumulasi kapital hanya mungkin dengan memeras nilai-lebih. Satu-satunya sumber nilai-lebih ialah tenaga kerja sebagai komoditi. Peningkatan perolehan nilai-lebih hanya bisa dengan dua cara: 1) memperpanjang jam kerja pekerja sehingga tenaga kerja yang dihisap nilai-lebihnya bisa lebih banyak, dan 2) meningkatkan kekuatan perkakas produksi sehingga tenaga kerja berlipat-lipat dayanya. Pilihan cara pertama sudah sulit dilakukan dan tidak efisien secara sosial. Keberadaan serikat buruh yang diakhir abad ke-19 telah berhasil memangkas jam curahan tenaga kerja menjadi 8 jam sehari, masih dibenarkan dalam konteks negara-kesejahteraan. Meskipun kekuatannya kian lama kian lemah karena kemenangan perjuangan kapitalis neoliberal di kancah internasional, namun norma-norma perlindungan buruh menjadi bagian dari (meski di pinggiran) norma-norma masyarakat borjuis. Ada pembenaran untuk upaya-upaya pemogokan dan bentuk pemberontakan buruh lainnya. Artinya, pemaksaan penambahan waktu kerja berat ongkos sosialnya. Oleh karena itu, hanya cara kedua yang memungkinkan terus berlangsungnya akumulasi dan ekspansi kapital di tengah-tengah ancaman the law of deminishing return (penyusutan keuntungan rata-rata seiring dengan peningkatan produktivitas). Namun, peningkatan kekuatan perkakas produksi berakibat pada penyusutan kebutuhan tenaga kerja manusia. Bila sebelumnya dengan teknologi sederhana seratus lembar kain dihasilkan oleh 10 pekerja selama 48 jam, maka dengan mesin tenun jumlah komoditi yang sama bisa dihasilkan oleh seorang pekerja dalam waktu 24 jam saja. Ke manakah 9 pekerja dan 24 jam lainnya?

Pengangguran dan penurunan kualitas perlindungan pekerja karenanya merupakan bagian dari paradoks keberadaan teknologi dalam produksi kapitalis. Keadaan ini berujung pada penyusutan pasar secara umum karena jumlah pembeli menyusut sebab jumlah orang yang memiliki uang juga menyusut. Jalan keluar yang dilakukan ialah pengalihan pusat perhatian produksi ke pembuatan barang dan jasa yang semakin mewah atau semakin murah. Kedua-dua pilihan berujung pada tingkat persaingan yang meninggi dan menyusutkan tingkat laba rata-rata di antara kapitalis. Bila tahap ini mencapai apa yang dalam ekonomika disebut over-produksi dan under-konsumsi, maka krisis ekonomi bisa terjadi. Untuk menghindarinya maka kapitalisme mempergunakan teknologi (lagi) untuk menggenjot konsumsi. Teknologi tidak hanya ditempatkan dalam produksi namun juga kian penting dalam sirkulasi kapital, terutama konsumsi konsumtif. Ujung-ujungnya kapitalis merekayasa aneka rupa komoditi baru untuk menciptakan pasar baru yang kian lama kian kategorial dan khusus. Dulu sabun mandi dibuat dan bisa digunakan untuk semua anggota. Sekarang sabun-sabun mandi dibuat khusus untuk golongan jenis kelamin dan usia tertentu saja. Spesifikasi ‘kegunaan’ barang dan jasa memang ‘memperluas’ pasaran namun ia membutuhkan media untuk meyakinkan konsumen mengenai kekhususannya. Di sinilah media massa dan teknologi periklanan menjadi penting.

Semakin lama, produksi imajinasi dan penggempuran dayanya lewat media menjadikan rezim kapitalisme-lanjut bersifat totaliter. Semua segi kehidupan dirambah demia tujuan mulia menghasilkan laba sebesar-besarnya.

II
Teknologi begitu penting dalam semua simpul dalam rangkaian sirkulasi kapital telah mendorong merambahnya nalar teknik ke segenap sendi kehidupan. Dalam istilah Gramscian, teknologi menjadi ideologi hegemonik. Nalar teknik atau rasionalitas teknologi sebagai satu-satunya nalar kebenaran dalam kapitalisme-lanjut menjadi nalar kehidupan sosial, kerangka kerja ekonomi, tuntunan baku politik, dan sumbu bakar kebudayaan. Teknologi bukan hanya alat pengendalian sosial baru yang menata perihidup individu dan kolektif, namun menjadi ‘sosial’ itu sendiri. Ruang, waktu, dan psikologi ditata berdasarkan dan demi Sistem Teknologi.

Salah satu nalar teknik ialah operasionalisme atau sejenis corak pikir yang mendefinisikan segala sesuatu berdasarkan operasionalitasnya. Dalam nalar teknik ini benar-salah atau baik-jahatnya segala sesuatu bergantung pada sasarannya. Simpul nilai-sasaran dalam kapitalisme ialah akumulasi dan ekspansi kapital. Segala hal ditakar berdasarkan kedudukannya dalam proses akumulasi dan ekspansi kapital. Segala hal yang menghambat atau tidak memajukannya akan disingkirkan. Kalau pun tidak bisa, penghambat itu harus dipangkas. Salah satunya ialah kebebasan. Ini merupakan kontradiksi lain lagi dalam kapitalisme. Nalar teknik dalam kapitalisme memangkas kebebasan yang ditempatkan sebagai penghambat pencapaian tujuan akumulasi dan ekaspansi kapital secara efisien, murah, dan cepat. Namun kebebasan merupakan prasyarat pula bagi berkembangnya persaingan dalam pasar bebas sehingga pembaharuan dan pengembangan teknik-teknik (produksi) bisa terjadi.

Seperti halnya demokrasi borjuis, sistem teknologi tidak mengendalikan kehidupan dengan kekerasan vulgar, tapi dengan persetujuan semu. Dalam istilah Foucauldian, sistem teknologi menciptakan ‘tubuh-tubuh patuh’; menjinakkannya tanpa rasa sakit, tanpa kejutan karena berlangsung sejak ‘tubuh’ hadir di panggung kapitalisme. Selain memanipulasi kebutuhan, teknologi juga menunjukkan diri kehadapan individu-individu sebagai sosok ‘yang berjasa’ karena telah memurahkan komoditi. Dalam kerangka pikir Marcuse, teknologi dalam kapitalisme-lanjut menjadikan proletar terserap ke dalam budaya borjuis dan menyetujuinya. Inilah salah satu sumber alienasi dan ketertutupan proletar dari kenyataannya sendiri. Sebab itulah revolusi proletar yang diramalkan Karl Marx bakal muncul di negeri-negeri industrial ternyata tidak. Kesadaran proletar (dan semua orang dari berbagai lapisan sosial) menjadi satu dengan kesadaran borjuis. Hegemoni nalar borjuis ini membuat kapitalisme disetujui bukan hanya oleh kelas yang menikmati keuntungan dalam formasi sosial ini, namun juga oleh kelas-kelas yang tertindas di dalamnya.

Hegemoni nalar borjuis dalam dan melalui teknologi memang begitu kuat sampai-sampai dunia dan kehidupannya sekarang ini dianggap sebagai satu-satunya bentuk kehidupan yang alamiah dan baik. Globalisasi neoliberal adalah keniscayaan alamiah. Ia semacam kehendak Tuhan di bumi yang tidak bisa dielakkan. Tidak ada alternatif lain selain memperbaiki kekeliruan-kekeliruan kecil yang ada di dalamnya. Kebenaran sejati dalam formasi sosial kapitalisme ini meresap bahkan hingga ke sudut-sudut markas serikat buruh dan bedeng-bedeng pemukiman kaum proletar. Kerja yang semestinya menjadi sarana untuk perwujudan diri, kini dalam naungan nalar teknologi kapitalis, menjadi sepenuhnya kegiatan menghasilkan barang dagangan. Tidak ada tempat bagi permainan dan kesenangan dalam kerja-kerja upahan. Keadaan ini tidak hanya menimpa kelas buruh upahan kecil, tetapi juga proletar yang disebut sebagai pekerja kerah putih. Untuk menghibur diri, teknologi kapitalis menyediakan jasa-jasa hiburan yang menjadi sumber akumulasi dan lahan semaian ekspansi kapital juga. Keterasingan kian padat dan mendalam sehingga tidak ada cara lain untuk keluar darinya selain menghibur dan menipu diri.

Bagi Marcuse, hampir-hampir tidak ada harapan bagi perubahan dan pembebasan. Namun masih ada celah renik untuk keluar dari gelimang tirani borjuis, yaitu 1) menolak teknologi kapitalis dan nalarnya lalu mencipta teknologi yang bisa menggabungkan kerja produksi dan kesenangan (atau perwujudan diri); dan 2) melawan totaliterianisme dan pemassalan melalui komuniti-komuniti kecil swadaya dan swakarsa; semacam kolektif-kolektif mandiri.

III
Secara umum cakrawala yang terbangun dalam One Dimensional Man cenderung pada pesimisme. Marcuse melihat kapitalisme dan perangkat-perangkat ideologis dan teknisnya hampir-hampir tidak bisa ditolak atau dijatuhkan. Seperti mahluk kerdil yang berada di kaki raksasa, manusia modern sama sekali tidak punya kuasa melawan hegemoni kebudayaan kapitalis dan sekadar menjadi bahan mentah dari pemassalan dan penunggalan dimensi yang menjadi tujuan-antara kapitalisme. Pandangan ini hampir tidak bisa dibedakan dengan pandangan Jacques Ellul yang juga melihat sistem teknologi kapitalisme sebagai sistem otonom yang mahakuasa.

Kedua pemikir sama-sama menganut sejenis ‘determinisme teknologi’ dan ‘determinisme sosial’ yang bila dirunut akarnya ada dalam pemikiran Karl Marx tentang kapitalisme. Pada satu aras teknologi berkembang dari tatanan dan dinamika kehidupan sosial-ekonomi. Pada aras berikutnya teknologi mengembangkan tatanan baru yang bercorak tertentu pula. Teknologi tidak sepenuhnya otonom meski mempunyai kekuatan dan logika sendiri dalam perkembangannya. Teknologi adalah bagian dari suatu formasi sosial.

Bila dibanding-banding, jalan keluar kedua yang diajukan Marcuse begitu dekat dengan gagasan E.F. Schumacher dalam buku terkenalnya, Small is Beautiful. Bagi Schumacher, jalan keluar dari perekonomian skala besar kapitalisme dengan teknologinya yang juga berskala besar dan ternyata menghancurkan tujuan dari ekonomi itu sendiri, ialah mengembangkan teknologi berskala kecil untuk menopang perekonomian skala kecil pula sehingga masalah-masalah totaliterianisme dan penindasan yang ada di bawah sistem kapitalisme sekarang ini, bisa diatasi.
Zorosastro Wardoyo,
*Perhimpunan Muda*