Alessandro DeL Piero
Saatnya Memilih untuk Menghancurkan
Ada Banyak Ilusi Dalam Wujud Negara
Kemiskinan Demokrasi Dalam Negara
“Negara, apa itu? apa boleh buat, bukalah kupingmu, sebab kini aku akan mengatakan padamu tentang kematian bangsa-bangsa. Negara adalah monster paling dingin. Dengan dingin ia menipu pula; dan kebohongan ini merangkak dari mulutnya : 'aku, sang negara, adalah rakyat.' Bohong itu! para penciptalah yang menciptakan rakyat dan menaruhkan iman dan cinta di atas mereka : demikianlah mereka melayani kehidupan. Sedang para penghancur memasang jerat bagi orang banyak dan menamainya negara: mereka gantungkan sebilah pedang dan seratus hasrat di atas mereka...”
Friedrich Nietzsche – Tentang Berhala Baru dalam Sabda Zarathustra
Dalam setiap perkembangan kesejarahan, masyarakat selalu menganggap bahwa keberadaan negara sangatlah penting. Mereka berasumsi bahwa eksistensi sebuah negara beserta aparaturnya diperlukan untuk mensejahterahkannya sekaligus melindungi mereka dari serangan pihak luar. Dari asumsi inilah setiap keputusan yang berkaitan dengan kehidupan harian selalu dirancang dan ditentukan oleh segelintir elit negara melalui mekanisme hukum.
Lalu, Apa itu Negara?
Dalam karya F. Engels, Asal-Usul Keluarga, Milik Perseorangan dan Negara, disebutkan bahwa, "Negara, dengan demikian, adalah sama sekali bukan merupakan kekuatan yang dipaksakan dari luar kepada masyarakat, sebagai suatu sesempit 'realitas ide moral', 'bayangan dan realitas akal' sebagaimana ditegaskan oleh Hegel. Malahan, negara adalah produk masyarakat pada tingkat perkembangan tertentu; negara adalah pengakuan bahwa masyarakat ini terlibat dalam kontradiksi yang tak terpecahkan dengan dirinya sendiri, bahwa ia telah terpecah menjadi segi-segi yang berlawanan yang tak terdamaikan dan ia tidak berdaya melepaskan diri dari keadaan demikian itu. Dan supaya segi-segi yang berlawanan ini, kelas-kelas yang kepentingan-kepentingan ekonominya berlawanan, tidak membinasakan satu sama lain dan tidak membinasakan masyarakat dalam perjuangan yang sia-sia, maka untuk itu diperlukan kekuatan yang nampaknya berdiri di atas masyarakat, kekuatan yang seharusnya meredakan bentrokan itu, mempertahankannya di dalam 'batas-batas tata tertib'; dan kekuatan ini, yang lahir dari masyarakat, tetapi menempatkan diri di atas masyarakat tersebut dan yang semakin mengasingkan diri darinya, adalah negara.”
Dari pernyataan Engels tersebut dapat ditarik sebuah argumen bahwa negara adalah produk dari sejarah peradaban masyarakat, di mana negara menjadi bentuk pendamaian antagonisme kelas-kelas dalam masyarakat, yaitu antara ”kelas tertindas” dan ”kelas penindas”. Dan negara pula yang menjadi sebuah jembatan agar ”si kaya” merasa aman dan bahagia karena hartanya dilegalitaskan oleh hukum ”sang negara”, sedang ”si miskin” merasa bahwa hidupnya tidak ada yang salah karena selalu dicekoki ilusi-ilusi nasionalisme dan patriotisme.
Di setiap perkembangan peradaban masyarakat, basis dari sebuah kehidupan sosial ditentukan berdasarkan proses produksi. Pada tahap awal peradaban masyarakat, metode produksi dilakukan seperti apa yang digambarkan oleh Marx, "Mengambil dari setiap manusia sesuai dengan kemampuannya, dan memberikan kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya.” Pada tahap ini masyarakat hidup beriringan bersama sumber daya alam dengan dilandasi prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan. Namun seiring berjalannya waktu, perkembangan peradaban masyarakat pula yang mendorong untuk memberhangus prinsip-prinsip hubungan sosial yang berdasarkan kesetaraan dan keadilan dengan prinsip-prinsip penguasaan, dominasi, eksploitasi, dan privatisasi. Dan prinsip-prinsip ini telah bertansformasi dalam sebuah sistem yang disebut dengan kapitalisme.
Untuk menjalankan prinsip-prinsip hubungan sosial yang berbasiskan penguasaan, dominasi, eksploitasi dan privatisasi, kapitalisme membutuhkan sebuah kekuatan untuk mereproduksi dirinya. Dan kapitalisme telah menemukan kekuatan tersebut dalam sebuah wujud yang disebut negara.
Ada Banyak Ilusi Dalam Wujud Negara
Sejak kapitalisme dan negara adalah sebuah rangkaian yang tak terputuskan, maka sejak itulah kita sering disajikan ilusi-ilusi yang seolah nyata. Salah satu wujud ilusi tersebut termanifestasikan dalam sebuah konsep yang dinamakan dengan ”demokrasi”. Demokrasi yang diusung oleh negara seringkali dimaknai dengan kebebasan berpendapat, maupun berekspresi dalam menentukan sebuah kehidupan. Namun sesungguhnya pemaknaan atas demokrasi yang diusung negara hanyalah sebuah mitologi yang tak pernah menemukan pembenarannya dalam praksis kehidupan sehari-hari.
Makna demokrasi yang disajikan negara dalam praksis kehidupan sehari-hari lebih tepat diartikan sebagai kebebasan bagi ”yang kaya” untuk menindas ”yang miskin”; kebebasan berlomba-lomba dalam menguasai sumber daya alam dan manusia di tangan segelintir manusia; ataupun pula kebebasan para anggota parlemen dalam pemerintahan untuk menentukan kebijakan-kebijakan tanpa dapat kita kontrol kebijakan-kebijakannya tersebut. Makna demokrasi yang sesungguhnya pun semakin tereliminir sejak negara adalah sebuah bentuk kesatuan yang tersentralir, dan dijalankan dengan konsep top down. Untuk memperindah ilusi tentang demokrasi dan meredam kontradiksi dari wujud sebuah demokrasi itu pula, kita sering didengungkan oleh negara dengan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme. Nasionalisme dan patriotisme ini dapat dimaknai sebagai sebuah ninabobo agar kita merasa bahwa tak ada yang salah dengan negara. Dan bahwa apapun bobroknya negara beserta kebijakan dan sistemnya, kita harus tetap dalam konteks kepatuhan dan kecintaan terhadap tanah air.
Sebagai contoh kajian di atas kita dapat berkaca pada kebijakan kenaikan harga BBM yang diterapkan oleh pemerintah beberapa bulan lalu. Padahal kita tahu bahwa alam raya ini kaya akan minyak mentah yang jika didistribusikan secara desentralisir dan merata, kita akan dapat menikmati minyak tersebut sampai 15 tahun ke depan. Namun apa yang terjadi? pemerintah malah menyerahkan pengolahan dan pengelolaannya pada pihak kapitalis yang memang notabene adalah sebagai sebuah wujud konspirasi busuk. Lalu, apakah kita pernah diberikan kesempatan untuk menyuarakan aspirasi kita sesuai dengan makna demokrasi tersebut? Tidak. Tidak pernah.
Mungkin akan ada anggapan bahwa, lain negara akan lain pula bentuknya. Tidak! Negara di mana pun akan tetap sama. Entah itu Amerika, Inggris, Kuba, Korea Utara, ataupun Cina. Kekuasaan tetap dimonopoli oleh struktur-struktur kekuasaan yang dijalankan berdasarkan hierarki di mana selalu ada pemimpin dan yang dipimpin. Individu-individu tetap tak akan memiliki kontrol atas hidupnya karena hidup dan nasibnya ada pada kontrol segelintir individu lain. Bukankah ini artinya bahwa segala sesuatu yang ada dalam wujud negara adalah korup?
Kemiskinan Demokrasi Dalam Negara
Kita sering mendengar demokrasi didengungkan oleh sebuah negara dalam kehidupan sehari-hari kita, entah itu dengan mengatakan bahwa baik kebijakan-kebijakannya maupun sistem pemerintahan yang dijalankannya berlangsung secara demokrasi. Kita pun terbius hingga berasumsi bahwa negara itu selalu benar dan sangatlah demokratis dalam menjalankan sistem pemerintahannya.
Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, ”seberapa demokratisnya sebuah negara hingga kita beranggapan bahwa bentuk demokrasi yang dijalankan oleh negara adalah yang paling demokrasi sekali?” Tak pernah ada demokrasi dalam negara. Demokrasi dalam negara lebih diartikan sebagai memilih sebuah pilihan untuk merepresentasikan hidup kita. Kita tak akan dapat mengenal pilihan dalam hidup karena sedari awal, pilihan hidup kita akan dipilihkan oleh individu yang menjadi perwakilan kita. Para kaum legislatif, eksekutif, yudikatif, sampai politisi murahan pun, akan mengklaim bahwa diri mereka adalah wakil bagi kita. Sampai-sampai segala kebijakan apa pun yang menyangkut hidup harian kita pun, mereka yang putuskan. Inilah yang kami sebut dengan demokrasi perwakilan, di mana segala keputusan yang menyangkut hidup kita diwakilkan oleh segelintir orang yang duduk dalam kursi parlemen.
Di dalam demokrasi perwakilan, minimal diperlukan sebuah gerombolan atau massa agar konsep perwakilan itu menjadi eksis. Ketika itu, konsepsi perwakilan ini akan mendorong massa untuk melegitimasi kekuasaannya dengan landasan kebenaran mutlak. Di sinilah lahir apa yang disebut dengan tirani mayoritas, di mana logika ekonomi kapitalis bahwa ”yang paling banyak adalah yang paling baik” memainkan peran yang paling besar. Dalam konsepsi ini ada sebuah anggapan atau pendekatan psikologis bahwa kepentingan mayoritas berada di atas segala-galanya. Jadi ketika ada sempalan dari massa yang merasa perlu adanya pendapat atau argumen yang berbeda dari pendapat massa maka pendapat itu tidak akan dianggap bahkan mungkin akan direpresi habis-habisan. Contoh mudahnya adalah ketika Pemilihan Kepala Daerah. Calon-calon Kepala Daerah tersebut, dengan gaya politik pencitraanya, akan mencoba untuk mengilusi massa dengan janji-janji manisnya. Apakah juga pendapat kita akan didengarkan? Tidak! Calon tersebut akan tetap terpilih dan kekuasaan akan tetap berjalan sebagaimana mekanisme ”pemimpin dan yang dipimpin” atau ”majikan dan bawahan” berjalan. Dan kita telah dinegasikan atas nama mayoritas. Jadi apa bedanya demokrasi dengan ketidakadilan?
Sangatlah konyol jika Pemilu lima tahunan ataupun Pemilu-Pemilu lain dikatakan sebagai indikator betapa demokratisnya sebuah sistem yang dijalankan oleh negara. Pada prakteknya pemilu tak ubahnya sebagai bentuk pereduksian demokrasi sejak pemilu itu sendiri dimaknai sebagai sebuah agenda penumpukan massa. Bagi partai pengikut pemilu, kesadaran dan kekritisan massa adalah nomer kesekian sedangkan dukungan dan pelipatgandaan massa adalah hal yang utama agar ”agenda-agenda” mereka yang otoritarian dan eksploitatif dapat bergerak leluasa menembus sendi-sendi kehidupan kita. Dalam Pemilu pun, kita hanya dibutuhkan tak lebih dari suara dan dukungan kita agar Partai A ataupun pemimpin A memenangi pemilu tersebut. Sedangkan selebihnya, kita hanya menjadi penonton pasif yang hanya bisa menonton kebijakan-kebijakan yang oh-sangat-demokratis-sekali dari para elit politik yang telah kita pilih saat pemilu tanpa pernah kita ikut aktif mengkonstruksikan kebijakan-kebijakan tersebut.
Hidup Untuk Dipilihkan, Bukan Untuk Memilih
Demokrasi telah memberikan ilusi kepada kita bahwa kebebasan dalam menentukan pilihan hidup sepenuhnya ada pada tangan kita. Itu bohong! Sesungguhnya tak ada kebebasan dalam menentukan pilihan dalam hidup jika kita masih berada pada kekuasaan negara. Sekarang perhatikan, negara dalam hal ini mempunyai definisi minimal sebagai sebuah organisasi besar yang di dalamnya mengharuskan adanya pemimpin dan yang dipimpin, serta interaksi sosial yang otoritatif. Lalu dengan hal ini apakah masih mungkin kebebasan menentukan pilihan hidup ada di tangan kita? Kebebasan tersebut jelas akan dipecundangi oleh bermacam aturan-aturan hukum dan ekonomi yang dibuat demi kepentingan elit penguasa dengan tanpa melibatkan partisipasi kita.
Pemilu yang menurut mitos para penguasa merupakan wujud ekspresi kebebasan memilih bagi tiap individu, sesungguhnya merupakan parodi nyata dari kebebasan itu sendiri. Jika menilik realitanya, Pemilu merupakan sebuah ketidakberdayaan kita untuk mengkreasikan pilihan-pilihan kita sendiri–di mana pada dasarnya kita hanya dibebaskan memilih pilihan-pilihan yang berada pada koridor yang telah ditetapkan. Dalam pemilu memang kita diberikan kebebasan langsung dalam memilih, semisal kita bebas memilih partai A, B, dan C atau pemimpin A, B, dan C. Tapi apakah partai-partai dan pemimpin-pemimpin tersebut telah benar-benar dapat memperjuangkan nasib kita, sehingga partai-partai dan pemimpin-pemimpin tersebut layak kita pilih. Nasib kita akan tetap sama, dan kita akan tetap dipecundangi elit-elit partai dan pemimpin-pemimpin yang kita pilih dengan retorika belaka. Karena pada dasarnya pemimpin-pemimpin yang kita pilih hanya mementingkan suara-suara kita demi memuluskan langkah mereka untuk duduk di kursi kekuasaan dan menikmati segala privelese. Setelahnya, kita akan dicampakkan dengan bermacam alibi-alibi pembenaran mereka. Jadi faktanya adalah bahwa dalam negara hidup kita telah dipilihkan dan bukan kita yang mengkreasikan pilihan-pilihan itu.
Ini Bukan Saatnya Memilih, Tapi Menghancurkan!
"Aku akan mengatakan padamu dengan segenap energi dan kesedihan di dalam hatiku: pisahkan dirimu dari mereka yang mencerabut diri dari dirimu, melalui separasilah kalian akan menang. Tanpa representatif, tanpa kandidat.
P.J Proudhon
Kontradiksi antara negara dengan demokrasi sesungguhnya amatlah lebar. Tak pernah ada korelasi nyata antara negara beserta sistemnya yang sentralis dengan demokrasi. Namun perlu diketahui bahwa ketiadaan korelasi antara negara dan demokrasi bukan terletak pada siapa pemimpinnya dan apa ideologinya, seperti yang sering dikultuskan oleh para aktivis murahan dan para elit politik dengan kata-kata, "kita harus punya pemimpin yang tegas dan mampu memimpin negeri ini menuju iklim demokrasi." Bagaimanapun kita mengganti pemimpin dan sistemnya hingga ribuan kali, negara tetap tak akan menjalankan demokrasi dengan sesungguhnya.
Kontradiksi ini lebih dikarenakan oleh interaksi sosialnya yang koersif dan menghamba pada mekanisme "pimpinan dan yang dipimpin" yang ada pada wujud negara. Interaksi sosial seperti inilah yang telah mereduksi makna demokrasi yang sesungguhnya. Karena demokrasi yang sebenarnya adalah bahwa kita mempunyai kebebasan mengkreasikan segala pilihan hidup kita. Jadi kontradiksi ini sepenuhnya terletak pada sebuah kekuasaan, sehingga dapat dikatakan sebaik apa pun pemimpin, jika kekuasaan masih tetap mengambil peran besar dalam interaksi sosialnya, maka demokrasi adalah absurd adanya.
Jika kita masih menginginkan hidup yang indah di mana kebebasan mengkreasikan hidup terletak di tangan kita sepenuhnya, apakah kita tetap harus memilih pemimpin lain beserta sistemnya namun berada pada kekuasaan? Ttidak memilih di sini haruslah melampaui makna bahwa kita tidak memilih apa pun karena kita tidak mempercayai pemimpin ini ataupun pemimpin itu. Kita golput karena kita telah muak dengan sebuah kekuasaan yang tersentralisir dan telah lelah dipecundangi oleh negara dan elit politiknya. Kenyataannya, jika kekuasaan masih eksis maka ketidakadilan, penindasan, pengeksploitasian, dominasi, dan kemiskinan adalah niscaya. Kita harus memilih untuk menghancurkan kekuasaan tersebut. "Penghapusan eksploitasi dan penindasan manusia hanya bisa dilakukan lewat penghapusan kapitalisme yang rakus dan pemerintahan yang menindas," kata Errico Malatesta. Yang perlu kita lakukan adalah memilih menghancurkan segala kekuasaan yang koersif, yang termanifestasikan dalam negara beserta sistemnya yang sangat otoritatif.
Mungkin sebagian besar dari kita mempunyai ketakutan akan kondisi yang destruktif dan tidak teratur, jika negara tidak eksis. Inilah kebodohan kita. Otak kita telah teracuni oleh sampah imaji yang diciptakan negara dan konspirasinya, sehingga kita tak mampu hidup jika tanpa negara dan sistemnya. Sesungguhnya kita dapat hidup tanpa struktur-struktur kekuasaan yang tersentral. Contoh mudahnya, kita dapat melihat pada konsep interaksi sosial pertemanan, di mana interaksi sosial ini didasari pada interaksi yang nonhierarki dan relatif bebas tanpa ada sebuah kekuasaan yang merepresi satu sama lain. Ini karena dalam diri kita sendiri ada naluri alamiah untuk bebas dari berbagai bentuk eksploitasi dan memiliki kesempatan untuk memilih jenis kehidupan yang diinginkan, serta hidup di dalamnya tanpa ada yang mengganggu, memiliki persamaan hak, serta hidup dalam perdamaian dan harmoni seperti saudara. Tentu saja kita tidak butuh pemimpin, negara, ataupun kekuasaan. Karena yang kita butuhkan sesungguhnya adalah sebuah desentralisasi total atas hidup harian kita, di mana aku, kamu dan kita mempunyai kontrol penuh atas hidup harian dengan tanpa ada keinginan untuk saling menguasai dan mendominasi satu sama lain. Sekarang saatnyalah menghancurkan kekuasaan dan menata ulang interaksi sosial kita dengan landasan antiotoritarian dan demokrasi partisipatoris sehingga kemanusiaan akan makin gemilang selayaknya sebuah sinar mentari yang mencerahkan seluruh umat manusia dan seisi bumi.